Anda di halaman 1dari 93

RANCANGAN

PERATURAN PEMERINTAH

NOMOR ...TAHUN...
TENTANG
PELESTARIAN CAGAR BUDAYA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA


PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : Bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 16 ayat


(5), Pasal 17 ayat (2), Pasal 22 ayat (3), Pasal 25, Pasal
26 ayat (5), Pasal 27, Pasal 49, Pasal 52, Pasal 60,
Pasal 67, Pasal 70, Pasal 71, Pasal 74, Pasal 76 ayat
(6), Pasal 77 ayat (6), Pasal 81 ayat (2), Pasal 84, Pasal
93 ayat (2), Pasal 97 ayat (5), dan Pasal 99 ayat (3)
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar
Budaya, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah
tentang Pelestarian Cagar Budaya.

Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara


Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11
Tahun 2010 tentang Cagar Budaya (Lembaran
Negara Tahun 2010 Nomor 130, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 5168).

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PELESTARIAN


CAGAR BUDAYA.

1
BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
1. Cagar Budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda
Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs
Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di air
yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting
bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau
kebudayaan melalui proses penetapan.
2. Benda Cagar Budaya adalah benda alam dan/atau benda buatan
manusia, baik bergerak maupun tidak bergerak, berupa kesatuan atau
kelompok, atau bagian-bagiannya, atau sisa-sisanya yang memiliki
hubungan erat dengan kebudayaan dan sejarah perkembangan
manusia.
3. Bangunan Cagar Budaya adalah susunan binaan yang terbuat dari
benda alam atau benda buatan manusia untuk memenuhi kebutuhan
ruang berdinding dan/atau tidak berdinding, dan beratap.
4. Struktur Cagar Budaya adalah susunan binaan yang terbuat dari benda
alam dan/atau benda buatan manusia untuk memenuhi kebutuhan
ruang kegiatan yang menyatu dengan alam, sarana, dan prasarana
untuk menampung kebutuhan manusia.
5. Situs Cagar Budaya adalah lokasi yang berada di darat dan/atau di air
yang mengandung Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya,
dan/atau Struktur Cagar Budaya sebagai hasil kegiatan manusia atau
bukti kejadian pada masa lalu.
6. Kawasan Cagar Budaya adalah satuan ruang geografis yang memiliki
dua Situs Cagar Budaya atau lebih yang letaknya berdekatan dan/atau
memperlihatkan ciri tata ruang yang khas.
7. Objek yang Diduga Cagar Budaya adalah benda, bangunan, struktur,
dan/atau lokasi yang diduga memenuhi kriteria sebagai Cagar Budaya.

2
8. Kepemilikan adalah hak terkuat dan terpenuh terhadap Cagar Budaya
dengan tetap memperhatikan fungsi sosial dan kewajiban untuk
melestarikannya.
9. Dikuasai oleh Negara adalah kewenangan tertinggi yang dimiliki oleh
negara dalam menyelenggarakan pengaturan perbuatan hukum
berkenaan dengan pelestarian Cagar Budaya.
10. Pengalihan adalah proses pemindahan hak Kepemilikan dan/atau
penguasaan Cagar Budaya dari setiap orang kepada setiap orang lain
atau kepada negara.
11. Kompensasi adalah imbalan berupa uang dan/atau bukan uang dari
Pemerintah atau Pemerintah Daerah.
12. Insentif adalah dukungan berupa advokasi, perbantuan, atau bentuk
lain bersifat nondana untuk mendorong pelestarian Cagar Budaya dari
Pemerintah atau Pemerintah Daerah.
13. Tenaga Ahli Pelestarian adalah orang yang karena kompetensi keahlian
khususnya dan/atau memiliki sertifikat di bidang Pelindungan,
Pengembangan, atau Pemanfaatan Cagar Budaya.
14. Pendaftaran adalah upaya pencatatan benda, bangunan, struktur,
lokasi, dan/atau satuan ruang geografis untuk diusulkan sebagai Cagar
Budaya kepada pemerintah kabupaten/kota atau perwakilan Indonesia
di luar negeri dan selanjutnya dimasukkan dalam Register Nasional
Cagar Budaya.
15. Berkas adalah himpunan informasi yang berkaitan dengan Objek
Pendaftaran yang disusun sebagai bahan kajian penyusunan
rekomendasi penetapan sebagai Cagar Budaya.
16. Pengkajian adalah proses pengujian materi oleh Tim Ahli terhadap
Berkas pengusulan Objek Pendaftaran.
17. Penetapan adalah pemberian status Cagar Budaya terhadap Objek
Pendaftaran yang dilakukan oleh pemerintah kabupaten/kota, provinsi,
dan pemerintah pusat berdasarkan rekomendasi Tim Ahli Cagar
Budaya.
18. Pemeringkatan adalah proses penyusunan urutan Cagar Budaya
berdasarkan kepentingannya.

3
19. Pencatatan adalah tindakan mencatat data Cagar Budaya ke dalam
Register Nasional.
20. Register Nasional Cagar Budaya, selanjutnya disebut Register Nasional,
adalah daftar resmi kekayaan budaya bangsa berupa Cagar Budaya
yang berada di dalam dan di luar negeri.
21. Pencabutan adalah penarikan kembali keputusan penetapan status
Cagar Budaya atau surat keterangan kepemilikan Cagar Budaya oleh
pejabat yang berwenang.
22. Penghapusan adalah tindakan menghapus status Cagar Budaya dari
Register Nasional.
23. Pengelolaan adalah upaya terpadu untuk melindungi, mengembangkan,
dan memanfaatkan Cagar Budaya melalui kebijakan pengaturan
perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan untuk sebesar-besarnya
kesejahteraan rakyat.
24. Pelestarian adalah upaya dinamis untuk mempertahankan keberadaan
Cagar Budaya dan nilainya dengan cara melindungi, mengembangkan,
dan memanfaatkannya.
25. Pelindungan adalah upaya mencegah dan menanggulangi dari
kerusakan, kehancuran, atau kemusnahan dengan cara Penyelamatan,
Pengamanan, Zonasi, Pemeliharaan, dan Pemugaran Cagar Budaya.
26. Penyelamatan adalah upaya menghindarkan dan/atau menanggulangi
Cagar Budaya dari kerusakan, kehancuran, atau kemusnahan.
27. Pengamanan adalah upaya menjaga dan mencegah Cagar Budaya dari
ancaman dan/atau gangguan.
28. Pemeliharaan adalah upaya menjaga dan merawat agar kondisi fisik
Cagar Budaya tetap lestari.
29. Pemugaran adalah upaya pengembalian kondisi fisik Benda Cagar
Budaya, Bangunan Cagar Budaya, dan Struktur Cagar Budaya yang
rusak sesuai dengan keaslian bahan, bentuk, tata letak, dan/atau
teknik pengerjaan untuk memperpanjang usianya.
30. Pengembangan adalah peningkatan potensi nilai, informasi, dan
promosi Cagar Budaya serta pemanfaatannya melalui Penelitian,

4
Revitalisasi, dan Adaptasi secara berkelanjutan serta tidak bertentangan
dengan tujuan Pelestarian.
31. Penelitian adalah kegiatan ilmiah yang dilakukan menurut kaidah dan
metode yang sistematis untuk memperoleh informasi, data, dan
keterangan bagi kepentingan Pelestarian Cagar Budaya, ilmu
pengetahuan, dan pengembangan kebudayaan.
32. Revitalisasi adalah kegiatan pengembangan yang ditujukan untuk
menumbuhkan kembali nilai-nilai penting Cagar Budaya dengan
penyesuaian fungsi ruang baru yang tidak bertentangan dengan prinsip
pelestarian dan nilai budaya masyarakat.
33. Adaptasi adalah upaya pengembangan Cagar Budaya untuk kegiatan
yang lebih sesuai dengan kebutuhan masa kini dengan melakukan
perubahan terbatas yang tidak akan mengakibatkan kemerosotan nilai
pentingnya atau kerusakan pada bagian yang mempunyai nilai penting.
34. Pemanfaatan adalah pendayagunaan Cagar Budaya untuk kepentingan
sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat dengan tetap mempertahankan
kelestariannya.
35. Perbanyakan adalah kegiatan duplikasi langsung terhadap Benda Cagar
Budaya, Bangunan Cagar Budaya, atau Struktur Cagar Budaya, baik
seluruh maupun bagian-bagiannya.
36. Di Air adalah berada di laut, sungai, danau, waduk, sumur, kolam, dan
rawa.
37. Di Darat adalah tidak berada Di Air, termasuk di bukit, gunung,
lembah, dan di daratan yang terletak di dalam tanah di bawah air.
38. Zonasi adalah penentuan batas-batas keruangan Situs Cagar Budaya
dan Kawasan Cagar Budaya sesuai dengan kebutuhan.
39. Zona Inti adalah area pelindungan utama untuk menjaga bagian
terpenting Cagar Budaya.
40. Zona Penyangga adalah area yang melindungi zona inti.
41. Zona Pengembangan adalah area yang diperuntukan bagi
pengembangan potensi Cagar Budaya bagi kepentingan rekreasi, daerah
konservasi lingkungan alam, lanskap budaya, kehidupan budaya
tradisional, keagamaan, dan kepariwisataan.

5
42. Zona Penunjang adalah area yang diperuntukan bagi sarana dan
prasarana penunjang serta untuk kegiatan komersial dan rekreasi
umum.
43. Instansi yang Berwenang di Bidang Pelestarian Cagar Budaya adalah
Instansi Pemerintah dan Instansi Pemerintah Daerah yang berwenang di
bidang Pelestarian Cagar Budaya.
44. Instansi Pemerintah yang Berwenang di Bidang Pelestarian Cagar
Budaya adalah Direktorat yang bertanggungjawab di bidang Pelestarian
Cagar Budaya.
45. Instansi Pemerintah yang Berwenang di Bidang Penelitian Arkeologi
adalah pusat penelitian yang bertanggungjawab di bidang arkeologi.
46. Unit Pelaksana Teknis adalah instansi Pemerintah yang berada di
daerah, yang berwenang di bidang Pelestarian Cagar Budaya.
47. Museum adalah lembaga permanen yang bersifat nirlaba, untuk
melestarikan koleksi museum yang bersifat bendawi, dan
mengomunikasikannya kepada masyarakat.
48. Polisi Cagar Budaya adalah polisi khusus yang melaksanakan tugas
fungsi kepolisian terbatas di bidang Pelestarian Cagar Budaya.
49. Setiap Orang adalah perseorangan, kelompok orang, masyarakat, badan
usaha berbadan hukum, dan/atau badan usaha bukan berbadan
hukum.
50. Masyarakat Hukum Adat adalah kelompok masyarakat yang bermukim
di wilayah geografis tertentu yang memiliki perasaan kelompok, pranata
pemerintahan adat, harta kekayaan/benda adat, dan perangkat norma
hukum adat.
51. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden
Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara
Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
52. Pemerintah Daerah adalah gubernur, atau bupati/wali kota, dan
perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
53. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan
di bidang kebudayaan.

6
BAB II

PENGALIHAN KEPEMILIKAN CAGAR BUDAYA

Pasal 2

(1) Setiap orang dan/atau Masyarakat Hukum Adat dapat mengalihkan


kepemilikan Cagar Budaya yang dimilikinya.
(2) Pengalihan Kepemilikan Cagar Budaya sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat diberikan kepada:
a. Perseorangan;
b. Masyarakat Hukum Adat;
c. Pemerintah;
d. Pemerintah Daerah; dan/atau
e. Museum.
(3) Pengalihan kepemilikan Cagar Budaya sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat dilakukan dengan cara diwariskan, dihibahkan,
ditukarkan, dihadiahkan, dijual, diganti rugi, dan/atau penetapan atau
putusan pengadilan.
(4) Pelaksanaan pengalihan kepemilikan Cagar Budaya dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 3

(1) Pengambilalihan Kepemilikan Cagar Budaya oleh Negara dapat


dilakukan apabila pemilik Cagar Budaya:
a. meninggal dunia:
1) tidak mempunyai ahli waris; atau
2) tidak menyerahkannya kepada orang lain berdasarkan wasiat,
hibah, atau hadiah.
b. Warga Negara Asing yang meninggalkan Indonesia selama 5 (lima)
tahun berturut-turut tanpa mengalihkan Kepemilikan dan
penguasaan kepada Setiap Orang dan/atau Masyarakat Hukum
Adat;

7
c. badan hukum asing yang tidak beroperasi lagi di Indonesia tanpa
mengalihkan kepemilikan dan penguasaan kepada Setiap Orang
dan/atau Masyarakat Hukum Adat;
d. tidak dapat membuktikan sahnya Kepemilikan Cagar Budaya;
e. memperoleh Cagar Budaya secara tidak sah;
f. tidak diketahui; dan/atau
g. memiliki Cagar Budaya yang sangat langka jenisnya, unik
rancangannya, dan sedikit jumlahnya di Indonesia.
(2) Pengambilalihan Kepemilikan oleh Negara sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/wali kota sesuai
dengan peringkatnya.
(3) Pengambilalihan Kepemilikan oleh Negara sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) dilakukan dengan memberitahukan kepada pemilik
dan/atau yang menguasai Cagar Budaya dan diumumkan secara
terbuka.

Pasal 4
(1) Pengalihan kepemilikan Cagar Budaya diajukan dengan permohonan
izin kepada Menteri, gubernur, atau bupati/wali kota sesuai dengan
kewenangannya.
(2) Permohonan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi
dengan surat keterangan status dan Kepemilikan Cagar Budaya.
(3) Selain surat keterangan status dan Kepemilikan Cagar Budaya
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), permohonan izin harus
melampirkan:
a. surat keterangan ahli waris untuk yang diwariskan;
b. surat pernyataan hibah untuk yang dihibahkan;
c. surat perjanjian tukar menukar untuk yang ditukarkan;
d. surat pernyataan dari pemberi hadiah untuk yang dihadiahkan;
e. surat perjanjian jual-beli untuk yang dijual;
f. surat berita acara pemberian ganti kerugian untuk yang diganti rugi;
atau

8
g. penetapan atau keputusan pengadilan untuk yang ditetapkan atau
diputuskan oleh pengadilan.

(4) Gubernur, atau bupati/wali kota dalam memberikan izin sebagaimana


dimaksud pada ayat (3), harus memperoleh rekomendasi terlebih
dahulu dari Unit Pelaksana Teknis.
(5) Pengalihan Kepemilikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
ditindaklanjuti dengan surat perubahan status Kepemilikan Cagar
Budaya dan perubahan nama pemilik dalam register nasional.
(6) Dalam hal pemilik Cagar Budaya yang baru tidak mengajukan
permohonan perubahan Kepemilikan, maka tidak berhak mendapatkan
Insentif dari Pemerintah atau Pemerintah Daerah sesuai peraturan yang
berlaku.

Pasal 5
Ketentuan mengenai tata cara Pengalihan Kepemilikan Cagar Budaya diatur
lebih lanjut dengan Peraturan Menteri.

BAB III
PENEMUAN DAN PENCARIAN

Bagian Kesatu
Penemuan

Pasal 6
(1) Setiap Orang dan/atau Masyarakat Hukum Adat yang menemukan
Objek yang Diduga Cagar Budaya wajib melaporkan secara langsung
atau melalui media elektronik seluruh temuannya kepada Unit
Pelaksana Teknis, Kepolisian Negara Republik Indonesia, atau instansi
terkait yang wilayah hukumnya meliputi tempat ditemukannya objek
tersebut.
(2) Setiap Orang dan/atau Masyarakat Hukum Adat yang menemukan
Objek yang Diduga Cagar Budaya yang tidak melaporkan temuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pengurusannya diambil alih oleh

9
Unit Pelaksana Teknis untuk dilakukan Pendaftaran, dengan membuat
surat pemberitahuan kepada penemu.
(3) Objek yang Diduga Cagar Budaya yang tidak dilaporkan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) setelah melalui proses Pendaftaran dan apabila
statusnya dinyatakan sebagai Cagar Budaya, maka penemu tidak
berhak memperoleh Kompensasi.

Pasal 7
(1) Setiap Orang dan/atau Masyarakat Hukum Adat yang menemukan
Objek yang Diduga Cagar Budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
ayat (1) dapat memberikan kuasa kepada pihak lain untuk melaporkan.
(2) Laporan secara langsung dilakukan dengan mengisi formulir laporan
yang harus disediakan oleh Unit Pelaksana Teknis, Kepolisian Negara
Republik Indonesia, atau instansi terkait sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 ayat (1), yang memuat:
a. identitas pelapor;
b. tanggal penemuan;
c. identitas objek:
1) nama/jenis objek;
2) lokasi, desa, kecamatan, kabupaten, dan provinsi;
3) dugaan pemilik atau yang menguasainya;
4) bentuk;
5) jumlah;
6) bahan;
7) warna;
8) ukuran: panjang, lebar, tinggi, tebal, diameter;
9) perkiraan beratnya; dan
10) hal lain yang berhubungan dengan deskripsi Objek yang Diduga
Cagar Budaya.
d. dokumen pendukung berupa foto, film, video, teks, gambar, sket,
peta, dan/atau keterangan lain yang berhubungan dengan dokumen
pendukung;
e. tanggal pelaporan; dan

10
f. tanda tangan pelapor dan yang menerima laporan.
(3) Setiap Orang dan/atau Masyarakat Hukum Adat yang melaporkan
langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) harus:
a. menunjukkan Objek yang Diduga Cagar Budaya kepada Kepolisian
Negara Republik Indonesia atau instansi terkait; atau
b. menyerahkan Objek yang Diduga Cagar Budaya kepada Unit
Pelaksana Teknis selama proses Pendaftaran dan Penetapan.
(4) Laporan melalui media elektronik ditujukan kepada Unit Pelaksana
Teknis, Kepolisian Negara Republik Indonesia, atau instansi terkait,
dalam keadaan darurat atau memaksa, dengan mengemukakan:
a. identitas pelapor;
b. tanggal penemuan; dan
c. identitas Objek yang Diduga Cagar Budaya.
(5) Unit Pelaksana Teknis, Kepolisian Negara Republik Indonesia, atau
instansi terkait sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) harus
mencatat serta menandatangani laporan dalam daftar laporan lisan.
(6) Kepolisian Negara Republik Indonesia dan instansi terkait yang
menerima laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1)
meneruskan laporan kepada Unit Pelaksana Teknis.
(7) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ayat (5), dan ayat (7)
ditindaklanjuti oleh Unit Pelaksana Teknis.

Pasal 8
(1) Unit Pelaksana Teknis yang menerima laporan menyerahkan bukti
laporan kepada tim pendaftaran.
(2) Tim pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan
Pendaftaran sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini.

Pasal 9
Temuan Objek yang Diduga Cagar Budaya yang sudah ditetapkan sebagai
Cagar Budaya, status kepemilikannya ada pada:
a. Pemilik, apabila tidak langka jenisnya, tidak unik rancangannya, dan
jumlahnya telah memenuhi kebutuhan negara; atau

11
b. Negara, apabila tidak diketahui pemiliknya dan /atau sedikit
jumlahnya, unik rancangannya, langka jenisnya, atau bernilai tinggi.

Bagian Kedua
Pencarian

Paragraf 1
Pencarian melalui Penelitian

Pasal 10
(1) Pemerintah berkewajiban melakukan pencarian Objek yang Diduga
Cagar Budaya di darat atau di air.
(2) Pencarian Objek yang Diduga Cagar Budaya sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) hanya dilakukan melalui Penelitian dengan penggalian,
penyelaman, dan/atau pengangkatan
(3) Penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan
menggunakan Pendekatan metode dan prosedur penelitian arkeologi
dan disiplin ilmu bantu lainnya sesuai dengan karakteristik objek kajian
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 11
(1) Setiap Orang dan/atau Masyarakat Hukum Adat dapat melakukan
pencarian Cagar Budaya dan/atau Objek yang Diduga Cagar Budaya.
(2) Dalam melaksanakan pencarian Cagar Budaya dan/atau Objek yang
Diduga Cagar Budaya yang dilakukan oleh Setiap Orang dan/atau
Masyarakat Hukum Adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus:
a. bekerjasama dengan instansi Pemerintah yang berwenang;
b. melalui Penelitian dengan penggalian, penyelaman, dan/atau
pengangkatan, baik Di Darat dan/atau Di Air;
c. memperoleh izin dari Pemerintah atau Pemerintah Daerah sesuai
dengan kewenangannya;
d. tetap memperhatikan hak kepemilikan dan/atau penguasaan lokasi;
dan

12
e. memperhatikan keseimbangan aspek ideologis, akademis, ekologis,
dan ekonomis guna meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Pasal 12
(1) Kegiatan pencarian Di Darat dilaksanakan setelah memperoleh izin dari
bupati/wali kota, dengan tembusan kepada:
a. Menteri;
b. gubernur;
c. instansi terkait; dan
d. pemilik dan/atau yang menguasai lokasi penelitian.
(2) Penelitian sebagaimana dimaksud pada Pasal 11 ayat (2) huruf b yang
dilakukan terhadap Objek yang Diduga Cagar Budaya dan/atau Cagar
Budaya yang dimiliki/dikuasai sendiri tidak memerlukan izin.
(3) Pengajuan permohonan izin terhadap pencarian melalui peneltian yang
dilakukan Di Air diajukan kepada:
a. Menteri;
b. gubernur; atau
c. bupati/wali kota;
sesuai dengan kewenangannya berdasarkan peraturan perundang-
undangan.
(4) Permohonan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3)
harus dilampiri dengan proposal yang memuat:
a. identitas pemohon;
b. maksud dan tujuan pencarian;
c. metode dan teknik pencarian;
d. lokasi pencarian;
e. tenggang waktu pencarian;
f. tenaga yang memiliki kompetensi;
g. peralatan yang memadai; dan
h. pembiayaan.
(5) Lokasi pencarian sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf d untuk
pencarian melalui penelitian yang dilakukan Di Air wajib dilengkapi

13
dengan izin lokasi dari instansi pemerintah yang berwenang di bidang
kelautan dan perikanan.
(6) Setiap Orang yang berasal dari lembaga yang akan melakukan
pencarian, untuk memperoleh izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (3) harus dilengkapi dengan surat tugas dari pimpinan
lembaga.
(7) Sebelum izin diberikan oleh Menteri, gubernur, bupati/walikota harus
memperoleh rekomendasi terlebih dahulu dari Unit Pelaksana Teknis.

Pasal 13
(1) Hasil pencarian dengan cara Penelitian terhadap Objek yang Diduga
Cagar Budaya dianalisis sesuai dengan metode penelitian arkeologi serta
disiplin ilmu bantu lainnya sesuai dengan karakteristik objek kajian.
(2) Hasil analisis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diserahkan kepada
tim pendaftaran untuk diproses sesuai dengan ketentuan dalam
Peraturan Pemerintah ini.

Pasal 14
(1) Setiap Orang dan/atau Masyarakat Hukum Adat yang memiliki
dan/atau yang menguasai lahan tempat dilakukannya pencarian
dengan Penelitian, berhak mendapatkan ganti rugi atas hal-hal atau
kerugian yang ditimbulkan akibat kegiatan pencarian.
(2) Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh yang
melakukan pencarian, sesuai ketentuan yang berlaku.

Paragraf 2

Pencarian terhadap Cagar Budaya yang Hilang

Pasal 15
(1) Setiap orang dan/atau Masyarakat Hukum Adat yang memiliki
dan/atau menguasai Cagar Budaya yang hilang karena bencana alam,
perang, kecelakaan, kelalaian pengelolaan, tindak pidana, dan sebab-
sebab lain, wajib melaporkannya kepada Unit Pelaksana Teknis.

14
(2) Unit Pelaksana Teknis yang menerima laporan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) yang disebabkan tindak pidana, melakukan pencarian dan
berkoordinasi dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia.
(3) Pelaksanaan dan hasil pencarian terhadap Cagar Budaya yang hilang
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), dituangkan ke dalam
berita acara.
(4) Berita acara sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling sedikit
memuat:
a. tanggal dimulai dan berakhirnya pencarian;
b. objek dan deskripsi Cagar Budaya yang dicari;
c. tempat pencarian;
d. hasil pencarian; dan
e. penandatanganan berita acara di atas materai oleh pihak yang
mencari dan yang memiliki atau menguasai.

Pasal 16
(1) Cagar Budaya yang hilang dan ditemukan kembali, dikembalikan
kepada pihak yang memiliki dan/atau menguasai dan dibuatkan berita
acara penyerahan.
(2) Cagar Budaya yang hilang karena tindak pidana dan ditemukan
kembali, penyerahan kepada pemilik dan/atau yang menguasai
dilakukan setelah ada putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap.
(3) Cagar Budaya yang hilang dan ditemukan kembali sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diambil alih kepemilikannya dan/atau
penguasaannya oleh negara dalam hal tidak diketahui lagi pemiliknya
atau pihak yang menguasainya.
(4) Berita acara penyerahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) sekurang-kurangnya memuat:
a. tanggal pembuatan berita acara;
b. identitas yang menemukan;
c. deskripsi hasil penemuan yang meliputi:
1) jumlah;
2) jenis; dan

15
3) kondisi.
d. tempat penemuan;
e. tanggal penemuan; dan
f. penandatangan berita acara di atas materai oleh pihak yang
menemukan dan yang memiliki dan/atau yang menguasai.

Pasal 17
Ketentuan mengenai tata cara Penemuan dan Pencarian Cagar Budaya
dan/atau Objek yang Diduga Cagar Budaya diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Menteri.

BAB IV
REGISTER NASIONAL

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 18
(1) Register Nasional dibentuk untuk menghimpun data dan Kepemilikan
Cagar Budaya, baik di dalam maupun di luar negeri, yang disusun
secara sistematis dengan tetap menghormati Kepemilikan, kerahasiaan,
dan kesuciannya.
(2) Kerahasiaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sifatnya tidak dapat
diakses, kecuali untuk kepentingan penyidikan dengan diketahui oleh
tim pendaftaran dan Tim Ahli.

Pasal 19
(1) Register Nasional mencakup Pendaftaran, Pengkajian, Penetapan,
Pencatatan, Pemeringkatan, dan Penghapusan, yang diselenggarakan
tanpa dipungut biaya.
(2) Pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan
secara digital maupun nondigital, atau secara langsung maupun daring.

16
Bagian Kedua
Pendaftaran

Paragraf 1
Umum

Pasal 20
(1) Pemerintah, Pemerintah Daerah, Setiap Orang, dan/atau Masyarakat
Hukum Adat yang memiliki dan/atau menguasai Objek Pendaftaran
wajib mendaftarkan kepada Menteri, bupati/wali kota, gubernur, sesuai
kewenangannya melalui tim pendaftaran terhadap:
a. Benda Cagar Budaya dan/atau Situs Cagar Budaya yang telah
ditetapkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992
tentang Benda Cagar Budaya, untuk memperoleh Pengkajian ulang
dan Pemeringkatan; atau
b. Objek yang Diduga Cagar Budaya, untuk memperoleh Pengkajian dan
Pemeringkatan.
(2) Dalam hal bupati/wali kota atau gubernur tidak menjalankan tugas
Pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka Pendaftaran
diambil alih oleh Menteri.

Pasal 21
(1) Objek Pendaftaran berasal dari:
a. koleksi Museum;
b. milik dan/atau yang dikuasai oleh Pemerintah atau Pemerintah
Daerah, Setiap Orang, dan/atau Masyarakat Hukum Adat;
c. hasil Penemuan; dan/atau
d. hasil Pencarian.
(2) Objek Pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat:
a. berada di dalam negeri atau di luar negeri; dan/atau
b. berlokasi Di Darat dan/atau Di Air.

Pasal 22

17
Pemerintah dan pemerintah daerah harus melindungi Objek Pendaftaran
dari:
a. kerusakan;
b. kehancuran;
c. kemusnahan; dan/atau
d. kehilangan

Paragraf 2
Tim Pendaftaran

Pasal 23
(1) Pemerintah atau Pemerintah Daerah membentuk tim pendaftaran yang
merupakan bagian dari instansi yang berwenang di bidang Pelestarian
Cagar Budaya.
(2) Tim pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. tim pendaftaran Pemerintah;
b. tim pendaftaran provinsi; dan
c. tim pendaftaran kabupaten/kota.

Pasal 24
(1) Tim pendaftaran terdiri atas seorang ketua merangkap anggota, seorang
sekretaris merangkap anggota, dan paling sedikit 3 (tiga) orang anggota.
(2) Anggota tim pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri
atas:
a. paling sedikit 1 (satu) orang petugas penerima Pendaftaran yang
memeriksa kelengkapan persyaratan Pendaftaran;
b. paling sedikit 3 (tiga) orang petugas pengolah data yang melakukan
deskripsi, dokumentasi, dan verifikasi; dan
c. paling sedikit 1 (satu) orang petugas penyusun Berkas yang
melakukan pemberkasan hasil pengolahan data.
(3) Tim pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai
masa kerja 5 (lima) tahun, dan dapat diperpanjang.

18
(4) Apabila anggota tim pendaftaran tidak dapat melaksanakan tugas
secara tetap sebelum masa kerja berakhir, dapat diganti oleh anggota
baru sampai selesainya masa kerja.

Pasal 25
(1) Petugas penerima pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24
ayat (2) huruf a memiliki kualifikasi pendidikan minimal lulusan
SMA/sederajat, dapat mengoperasikan program komputer dan dapat
menggunakan internet serta laman Pendaftaran Cagar Budaya.
(2) Petugas pengolah data sebagaimana dimaksud pada Pasal 24 ayat (2)
huruf b memiliki kualifikasi pendidikan minimal S1 Arkeologi atau S1
ilmu lain dengan pengalaman kerja minimal 2 (dua) tahun di bidang
pelestarian Cagar Budaya, dapat menggunakan kamera foto/video,
dapat membuat gambar berskala, dapat mengoperasikan program
komputer, dan dapat menggunakan internet dan laman Pendaftaran
Cagar Budaya.
(3) Petugas penyusun Berkas sebagaimana dimaksud pada Pasal 24 ayat
(2) huruf c memiliki kualifikasi pendidikan Minimal SMA/sederajat, dan
dapat mengoperasikan program komputer.

Pasal 26
Tim pendaftaran bertugas:
a. menerima, memeriksa kelengkapan persyaratan Pendaftaran;
b. melakukan deskripsi, klasifikasi, verifikasi, dan dokumentasi; dan
c. melakukan pemberkasan hasil pengolahan data.

Paragraf 3
Kewenangan Pemerintah dan Pemerintah Daerah

Pasal 27
Pemerintah berwenang mendaftar Objek Pendaftaran yang:
a. lokasinya berada di 2 (dua) provinsi atau lebih;
b. merupakan objek vital nasional dan/atau warisan budaya dunia;

19
c. berada di kawasan strategis nasional;
d. memiliki nilai kerahasiaan dan keamanan negara; dan/atau
e. memiliki nilai budaya bagi penguatan kepribadian bangsa.

Pasal 28
Pemerintah Provinsi berwenang mendaftar Objek Pendaftaran yang
lokasinya berada di 2 (dua) kabupaten/kota atau lebih.

Pasal 29
Pemerintah kabupaten/kota berwenang mendaftar Objek Pendaftaran yang
berada di wilayah administrasinya.

Paragraf 4
Pendaftaran di luar negeri

Pasal 30
(1) Pendaftaran terhadap Objek Pendaftaran milik warga negara Indonesia
atau Pemerintah Indonesia yang berada di luar negeri dilakukan oleh
pemilik, atau pihak lain yang diberi kuasa melakukan Pendaftaran.
(2) Pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan kepada
Menteri melalui Kementerian Luar Negeri disampaikan kepada
Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri tempat Objek Pendaftaran
berada.
(3) Data Objek Pendaftaran yang berada di luar negeri sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diserahkan kepada Kementerian Luar Negeri,
untuk kemudian diteruskan kepada Menteri melalui tim pendaftaran
Pemerintah.
(4) Apabila di negara tempat Objek Pendaftaran belum terdapat Perwakilan
Indonesia, maka Pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dilakukan oleh Perwakilan Republik Indonesia yang wilayah akreditasi
atau wilayah kerjanya Negara tempat Objek Pendaftaran.

Paragraf 5

20
Pendaftaran objek yang diduga cagar budaya di air

Pasal 31
(1) Pendaftaran terhadap Objek yang Diduga Cagar Budaya Di Air
dilakukan oleh tim pendaftaran sesuai dengan kewenangannya.
(2) Tim pendaftaran selain melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 24, juga melakukan pemilahan dan pemilihan Objek yang
Diduga Cagar Budaya Di Air.
(3) Pemilahan dan pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilakukan terhadap Objek yang Diduga Cagar Budaya Di Air yang
berjumlah banyak.
(4) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tim
pendaftaran harus berkoordinasi dengan Unit Pelaksana Teknis.

Pasal 32
(1) Hasil Pemilahan dan pemilihan Objek yang Diduga Cagar Budaya Di Air
dapat dialihkan pemilikannya kepada pihak lain di dalam negeri
apabila:
a. jumlahnya banyak;
b. membutuhkan biaya pemeliharaan tinggi; dan/atau
c. rapuh atau mudah rusak.
(2) Hasil pemilahan dan pemilihan Objek yang Diduga Cagar Budaya Di Air
dapat dialihkan pemilikannya kepada pihak lain di luar negeri apabila
Objek yang Diduga Cagar Budaya Di Air tidak bisa dialihkan
pemilikannya kepada pihak lain di dalam negeri.

Pasal 33
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemilahan dan pemilihan Objek yang
Diduga Cagar Budaya Di Air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 serta
pengalihan kepemilikan Objek yang Diduga Cagar Budaya Di Air
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Presiden.

21
Paragraf 5
Partisipasi Pendaftaran

Pasal 34
(1) Setiap orang dan/atau Masyarakat Hukum Adat dapat berpartisipasi
dalam Pendaftaran Objek Pendaftaran.
(2) Partisipasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. memberikan motivasi atau dorongan kepada pemilik dan/atau yang
menguasai Objek Pendaftaran untuk melakukan Pendaftaran;
b. melaporkan Objek Pendaftaran yang belum didaftarkan kepada tim
pendaftaran sesuai dengan kewenangannya;
c. memberikan informasi dan/atau membantu mencatat Objek
Pendaftaran;
d. membantu proses pengumpulan data; dan/atau
e. melakukan pengawasan terhadap proses Pendaftaran.

Pasal 35
Setiap Orang dan/atau Masyarakat Hukum Adat yang berpartisipasi dalam
Pendaftaran harus menjaga kerahasiaan data.

Pasal 36
Setiap Orang dan/atau Masyarakat Hukum Adat yang berpartisipasi dalam
Pendaftaran dapat diberikan penghargaan.

Paragraf 6
Fasilitasi Pembentukan Sistem dan Jejaring Pendaftaran

Pasal 37
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah memfasilitasi pembentukan sistem
dan jejaring Pendaftaran baik secara digital maupun non digital.
(2) Pembentukan sistem dan jejaring Pendaftaran secara digital
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi penyediaan perangkat
keras, perangkat lunak, dan sumber daya manusia.

22
(3) Perangkat keras sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi
penyediaan:
a. komputer;
b. alat dokumentasi;
c. tempat/ruang penyimpanan Objek Pendaftaran yang didaftar; dan
d. sarana transportasi.
(4) Perangkat lunak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi
penyediaan:
a. aplikasi pendaftaran;
b. program pengunggahan data untuk proses pendaftaran; dan
c. program akses informasi hasil pendaftaran.
(5) Sumber daya manusia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa
penyediaan tenaga yang kompeten.

Paragraf 7
Syarat dan Prosedur Pendaftaran

Pasal 38
(1) Pendaftaran dapat dilakukan secara manual dan/atau melalui laman
(web site).
(2) Pendaftaran secara manual sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan cara mendaftar langsung ke tim pendaftaran sesuai
dengan kewenangannya, dengan mengisi data baik secara digital
maupun non digital.
(3) Pendaftaran melalui laman sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan cara mengunggah data Objek Pendaftaran melalui
alamat laman Tim Pendaftaran sesuai dengan kewenangannya.
(4) Laman Pendaftaran setiap kabupaten/kota harus tersambung dengan
laman Pendaftaran provinsi dan laman Pendaftaran pada instansi
Pemerintah yang berwenang di bidang Pelestarian Cagar Budaya.
(5) Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya
menyediakan aplikasi dan isian Pendaftaran melalui alamat laman
untuk Pendaftaran.

23
Pasal 39
(1) Setiap Orang dan/atau Masyarakat Hukum Adat mendaftarkan Objek
Pendaftaran kepada tim pendaftaran sesuai dengan kewenangannya,
disertai syarat Pendaftaran.
(2) Setiap Orang dan/atau Masyarakat Hukum Adat dapat memberikan
surat kuasa kepada pihak lain untuk melakukan Pendaftaran.
(3) Syarat Pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. foto kopi identitas diri pemilik dan/atau yang menguasai, dan/atau
yang diberi kuasa mendaftarkan;
b. data Objek Pendaftaran;
c. Dokumen Pendukung; dan
d. Objek Pendaftaran apabila memungkinkan untuk dibawa.
(4) Identitas diri sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a berupa Kartu
Tanda Penduduk (KTP) atau Pasport bagi Warga Negara Asing, yang
masih berlaku.
(5) Data Objek Pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b
berupa:
a. nama/jenis;
b. bentuk;
c. ukuran;
d. bahan;
e. warna;
f. tempat atau lokasi;
g. pemilik atau yang menguasainya;
h. pemanfaatan dan penggunaan; dan/atau
i. informasi lain yang diperlukan.
(6) Dokumen Pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c
berupa rekaman suara, gambar, foto, film, teks, atau bentuk lain yang
terkait dengan Objek Pendaftaran.
(7) Petugas penerima Pendaftaran memberikan:
a. bukti Pendaftaran kepada pendaftar; dan
b. bukti penerimaan penitipan Objek Pendaftaran apabila ada penitipan.

24
(8) Petugas penerima Pendaftaran menyerahkan data Pendaftaran kepada
petugas pengolah data.

Pasal 40
(1) Data Pendaftaran yang dinyatakan lengkap oleh petugas penerima
Pendaftaran diserahkan kepada petugas pengolah data untuk dilakukan
deskripsi, dokumentasi, dan verifikasi.
(2) Deskripsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi uraian tentang:
a. jenis/nama;
b. bentuk;
c. ukuran;
d. bahan;
e. warna;
f. kondisi;
g. lokasi;
h. pemilik atau yang menguasainya;
i. pemanfaatan dan penggunaan; dan/atau
j. hal lain yang berhubungan dengan deskripsi Objek Pendaftaran.
(3) Hasil deskripsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dituangkan dalam
bentuk tertulis sebagai data verbal yang selanjutnya dilakukan
dokumentasi untuk memperoleh data piktorial.
(4) Dokumentasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan
ketentuan:
a. setidak-tidaknya dalam bentuk foto; dan
b. dilakukan dari semua sisi.
(5) Verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk
memperoleh:
a. kebenaran informasi, yaitu pada aspek keakuratan; dan
b. kelengkapan data pada aspek pemenuhan jumlah informasi.

Pasal 41
(1) Petugas pengolah data melakukan deskripsi, dokumentasi, verifikasi,
dan pemeriksaan kelengkapan data dari petugas penerima Pendaftaran.

25
(2) Petugas pengolah data sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dibantu oleh Unit Pelaksana Teknis dan/atau narasumber.
(3) Petugas pengolah data dapat mengembalikan data Pendaftaran apabila:
a. diragukan keaslian Objek Pendaftarannya;
b. diragukan asal usul Kepemilikan dan perolehannya; dan/atau
c. diragukan datanya.
(4) Apabila dari hasil deskripsi, dokumentasi, verifikasi, dan pemeriksaan
kelengkapan data sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan
lengkap dan memenuhi syarat, maka diserahkan kepada petugas
penyusun Berkas.

Pasal 42
(1) Petugas penyusun Berkas melakukan pemberkasan yang memuat:
a. data Pendaftaran yang telah dinyatakan lengkap;
b. deskripsi;
c. dokumentasi; dan
d. dokumen pendukung.
(2) Berkas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selanjutnya diserahkan
kepada Tim Ahli untuk dilakukan Pengkajian.

Pasal 43
(1) Instansi yang berwenang di bidang Pelestarian Cagar Budaya dapat
memberi fasilitas Pendaftaran apabila Objek Pendaftaran:
a. lokasinya sukar dijangkau;
b.berjumlah banyak dan beragam jenisnya; dan/atau
c. berada di luar negeri dan tidak ada Perwakilan Indonesia di negara
yang bersangkutan.
(2) Fasilitas Pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
berupa:
a. petugas penerima Pendaftaran mendatangi lokasi; dan/atau
b. bantuan sarana transportasi.

26
Bagian Ketiga
Pengkajian

Paragraf 1
Tim Ahli

Pasal 44
(1) Menteri, gubernur, atau bupati/wali kota sesuai dengan
kewenangannya mengangkat dan memberhentikan Tim Ahli.
(2) Tim Ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat Ad Hoc.
(3) Syarat untuk dapat diangkat menjadi anggota Tim Ahli meliputi:
a. warga negara Indonesia;
b. sehat jasmani dan rohani dibuktikan dengan surat keterangan
dokter;
c. berkelakuan baik dibuktikan dengan surat keterangan kepolisian;
d. berusia paling rendah 28 (dua puluh delapan) tahun;
e. memiliki keahlian arkeologi, sejarah, filologi, antropologi, kesenian,
arsitektur struktur dan mekanik, biologi, geologi, geografi, hukum
dan/atau keahlian lain yang memiliki wawasan kepurbakalaan
dan/atau wawasan pelestarian Cagar Budaya;
f. memiliki pengalaman kerja minimal 5 (lima) tahun di bidang
pelestarian Cagar Budaya dengan menunjukkan referensi dari
lembaga profesi, instansi tempat bekerja, instansi pemerintahan
daerah yang berwenang dibidang pelestarian Cagar Budaya, atau
tokoh/ pakar yang terpercaya dibidang kebudayaan;
g. berasal dari lembaga formal, non formal dan perseorangan;
h. memiliki komitmen di bidang Pelestarian Cagar Budaya; dan
i. memiliki sertifikat kompetensi.
(4) Syarat keahlian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e untuk Tim
Ahli Provinsi dan Kabupaten/Kota dengan pengalaman kerja paling
sedikit 2 (dua) tahun dibidangnya.

27
(5) Sertifikat kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf h
dapat dikeluarkan oleh Menteri setelah berkonsultasi dengan instansi
yang berwenang menyelenggarakan sertifikasi profesi.

Pasal 45
(1) Sertifikat kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (3)
huruf i berlaku selama 5 (lima) tahun yang dapat diperpanjang setelah
mengikuti uji kompetensi dan dinyatakan lulus.
(2) Sertifikat kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibekukan
apabila pemegang:
a. dinyatakan sebagai tersangka karena melakukan tindak pidana
yang diancam pidana 5 tahun atau lebih dan/atau melakukan
tindak pidana sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang
Cagar Budaya; dan/atau
b. sakit jasmani atau rohani sehingga tidak dapat menjalankan
tugasnya yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter,
psikiater, dan/atau psikolog.
(3) Sertifikat kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicabut
apabila pemegang:
a. melanggar kode etik profesi atau etika pelestarian;
b. tidak bekerja sebagai anggota Tim Ahli selama 3 (tiga) tahun;
c. dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana yang diancam
pidana 5 tahun atau lebih dan/atau melakukan tindak pidana
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Cagar Budaya,
berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap; atau
d. sakit jasmani atau rohani yang tidak bisa disembuhkan sehingga
tidak dapat menjalankan tugasnya yang dibuktikan dengan surat
keterangan dokter, psikiater, dan/atau psikolog.
(4) Pemegang sertifikat kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dapat mengikuti uji kompetensi kembali, kecuali yang bersangkutan
terbukti melakukan tindak pidana korupsi, kolusi, nepotisme, hak asasi

28
manusia, dan pelanggaran terhadap Undang-Undang tentang Cagar
Budaya tetap.

Pasal 46
(1) Tim Ahli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 Ayat (1) memiliki
susunan keanggotaan yang terdiri atas ketua merangkap anggota,
sekretaris merangkap anggota, dan anggota.
(2) Anggota Tim Ahli berjumlah gasal dan terdapat ahli arkeologi yang
memiliki pengalaman kerja sebagaimana dimaksud Pasal 44 ayat (3)
huruf e, serta terdiri dari unsur lembaga formal, nonformal, dan
perseorangan.
(3) Anggota Tim Ahli nasional berjumlah:
a. paling banyak 15 (lima belas) orang, terdiri atas 5 (lima) orang dari
unsur lembaga formal, 10 (sepuluh) orang dari unsur lembaga
nonformal dan perseorangan; atau
b. paling sedikit 9 (sembilan) orang, terdiri atas 3 (tiga) orang dari unsur
lembaga formal, 6 (enam) orang dari unsur lembaga nonformal dan
perseorangan.
(4) Anggota Tim Ahli provinsi berjumlah:
a. paling banyak 9 (sembilan) orang, terdiri atas 3 (tiga) orang dari
unsur lembaga formal, 6 (enam) orang dari unsur lembaga
nonformal dan perseorangan; atau
b. paling sedikit 7 (tujuh) orang terdiri atas 2 (dua) orang dari unsur
lembaga formal, 5 (lima) orang dari unsur lembaga nonformal dan
perseorangan.
(5) Anggota Tim Ahli kabupaten/kota berjumlah:
a. paling banyak 7 (tujuh) orang, terdiri atas 2 (dua) orang dari unsur
lembaga formal, 5 (lima) orang dari unsur lembaga nonformal dan
perseorangan; atau
b. paling sedikit 5 (lima) orang terdiri atas 2 (dua) orang dari unsur
lembaga formal, 3 (tiga) orang dari unsur lembaga nonformal dan
perseorangan.

29
(6) Tim Ahli yang anggotanya kurang dari jumlah sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) ayat (4) dan ayat (5) tidak dapat memberikan rekomendasi
Objek Pendaftaran sebagai Cagar Budaya.
(7) Tim Ahli yang jumlah anggotanya kurang dari jumlah sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) dibantu oleh:
a. anggota Tim Ahli provinsi untuk Tim Ahli kabupaten/kota; dan
b. anggota Tim Ahli nasional untuk Tim Ahli provinsi.
(8) Tim Ahli yang anggotanya berkurang karena alasan sebagaimana
dimaksud pada ayat (7) dan belum ditetapkan penggantinya, tetap
dapat menjalankan tugasnya selama masih memenuhi jumlah minimal.

Pasal 47
(1) Tim Ahli bertugas untuk:
a. melakukan kajian atas Berkas yang diusulkan sebagai Cagar Budaya
nasional oleh tim pendaftaran Cagar Budaya;
b. menyusun dan menetapkan mekanisme kerja; dan
c. melakukan klasifikasi atas jenis Cagar Budaya sesuai dengan
peraturan perundang-undangan tentang Cagar Budaya.
(2) Tim Ahli berwenang untuk:
a. meminta keterangan dari Pemerintah, Pemerintah Daerah, Setiap
Orang, atau Masyarakat Hukum Adat, dan narasumber yang
mendaftarkan Objek Pendaftaran;
b. mengusulkan perbaikan berkas kepada tim pendaftaran Cagar
Budaya;
c. merekomendasikan Objek Pendaftaran, untuk ditetapkan sebagai
Cagar Budaya berdasarkan peraturan perundang-undangan
tentang Cagar Budaya kepada Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota
sesuai dengan kewenangannya;
d. merekomendasikan peringkat kepentingan Cagar Budaya;
e. merekomendasikan pencatatan kembali Cagar Budaya yang hilang
dan telah dihapus dari Register Nasional kemudian ditemukan;
f. merekomendasikan penghapusan Cagar Budaya;

30
g. memberikan pertimbangan dan/atau pandangan kepada Tim Ahli
Cagar Budaya Provinsi dan Kabupaten/Kota; dan
h. merekomendasikan tindakan pencegahan dan penanggulangan
segera terhadap kemungkinan terjadinya kerusakan kepada
Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota.

Pasal 48
(1) Masa kerja anggota Tim Ahli adalah 5 (lima) tahun.
(2) Tim Ahli dapat diangkat kembali setelah masa kerja berakhir setelah
memenuhi persyaratan yang ditentukan.
(3) Anggota Tim Ahli dapat diganti sebelum masa kerja berakhir apabila:
a. meninggal dunia;
b. mengundurkan diri;
c. tidak lagi memenuhi syarat sebagai anggota Tim Ahli; atau
d. tidak melaksanakan tugas selama 4 (empat) kali berturut-turut atau
6 (enam) kali secara keseluruhan tanpa keterangan yang sah.
(4) Dalam hal keanggotaan Tim Ahli berakhir sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) maka diangkat anggota Tim Ahli pengganti.

Pasal 49
Pembinaan terhadap Tim Ahli provinsi dan Tim Ahli kabupaten/kota
dilakukan oleh Tim Ahli nasional.

Paragraf 2
Pengkajian kelayakan

Pasal 50
(1) Tim Ahli melakukan kajian Objek Pendaftaran berdasarkan Berkas yang
diserahkan oleh petugas penyusun Berkas.
(2) Kajian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan metode
dan tata cara yang dapat dipertanggungjawabkan.

Pasal 51

31
(1) Kajian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 meliputi kegiatan:
a. identifikasi dan klasifikasi Objek Pendaftaran; dan
b. penilaian kriteria Objek Pendaftaran.
(2) Penilaian kriteria Objek Pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b sesuai dengan kriteria Cagar Budaya.

Pasal 52
Hasil kajian yang dilakukan Tim Ahli berupa:
a. Objek Cagar Budaya yang tetap atau bukan, berdasarkan Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya; dan
b. Objek yang diduga Cagar Budaya atau bukan Cagar Budaya.

Pasal 53
Tim Ahli Cagar Budaya merekomendasikan Objek yang diduga Cagar
Budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 huruf b untuk ditetapkan
berdasarkan peringkat.

Pasal 54
(1) Hasil kajian Tim Ahli yang berupa Cagar Budaya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 52 disampaikan dalam bentuk surat
rekomendasi Penetapan sebagai Cagar Budaya kepada Menteri,
gubernur, atau bupati/wali kota sesuai dengan kewenangannya.
(2) Tim Ahli selain memberikan rekomendasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) juga memberikan rekomendasi Pemeringkatan Cagar Budaya.
(3) Tim Ahli sebelum memberikan rekomendasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) harus memperhatikan hasil telaah
administrasi terhadap:
a. status kepemilikan;
b. status kependudukan dan/atau kewarganegaraan pemilik;
c. sengketa atas kepemilikan; dan
d. kerawanan sosial yang dapat terjadi sebagai akibat dari Penetapan.

32
(4) Dalam hal hasil kajian Tim Ahli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49
menyatakan bukan sebagai Cagar Budaya, maka Tim Ahli
menyampaikan surat pemberitahuan kepada Pendaftar.
(5) Data dan Dokumen Pendukung Objek Pendaftaran yang dinyatakan
bukan Cagar Budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilarang
dihapus dari pangkalan data.

Pasal 55
(1) Tim Ahli dapat menghentikan atau membatalkan kajian sebelum atau
sesudah rekomendasi disampaikan kepada Menteri, gubernur, atau
bupati/wali kota sesuai dengan kewenangannya.
(2) Penghentian kajian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
dalam hal Objek Pendaftaran hilang, hancur, atau musnah sebelum
direkomendasikan untuk Penetapan sebagai Cagar Budaya.
(3) Pembatalan kajian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
setelah direkomendasikan untuk Penetapan sebagai Cagar Budaya,
dalam hal:
a. Objek Pendaftaran hilang, hancur, atau musnah; dan/atau
b. terjadi pelanggaran terhadap kode etik profesi dan/atau etika
pelestarian

Pasal 56
Objek Pendaftaran diperlakukan sebagai Cagar Budaya selama proses
Pendaftaran, Pengkajian sampai dengan Penetapan.

Pasal 57
Tim Ahli pada saat memberikan rekomendasi Penetapan Cagar Budaya
kepada Menteri, gubernur, atau bupati/wali kota sesuai dengan
kewenangannya sekaligus memberikan rekomendasi mengenai peringkat
Cagar Budaya.

Bagian Keempat
Penetapan

33
Pasal 58
Menteri, gubernur, atau bupati/wali kota sesuai dengan kewenangannya
mengeluarkan Surat Keputusan Penetapan Cagar Budaya dan Surat
Keterangan Kepemilikan Cagar Budaya, dalam hal Tim Ahli setelah
merekomendasikan Objek Pendaftaran sebagai Cagar Budaya.

Pasal 59
(1) Surat Keputusan Penetapan Cagar Budaya dikeluarkan oleh:
a. Menteri, untuk Cagar Budaya:
1) milik warga negara Indonesia atau pemerintah Indonesia yang
berada di luar negeri;
2) yang berada di objek vital nasional;
3) yang berada di kawasan strategis nasional;
4) yang berada dan berhubungan dengan kawasan warisan dunia;
dan
5) yang berupa lokasi atau satuan ruang geografis yang berada di 2
(dua) provinsi atau lebih.
b. gubernur, untuk Situs Cagar Budaya atau Kawasan Cagar Budaya
yang berada di 2 (dua) kabupaten/kota atau lebih, atau kawasan
strategis provinsi; atau
c. bupati/wali kota, untuk Cagar Budaya yang berada di wilayah
kabupaten/kota selain yang disebut dalam huruf a dan huruf b.
(2) Surat Keputusan Penetapan Cagar Budaya sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) berisi:
a. nama dan/atau jenis;
b. bentuk;
c. ukuran;
d. bahan;
e. lokasi atau tempat penyimpanan;
f. koordinat astronomis;
g. usia;
h. latar belakang sejarah; dan

34
i. informasi lain.

Pasal 60
(1) Menteri, gubernur, atau bupati/wali kota sesuai dengan
kewenangannya mengeluarkan Surat Keterangan Kepemilikan Cagar
Budaya kepada pemilik yang sah.
(2) Surat Keterangan Kepemilikan Cagar Budaya sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), diberikan oleh:
a. Menteri, untuk Cagar Budaya:
1) milik warga negara Indonesia atau Pemerintah Indonesia yang
berada di luar negeri;
2) berupa Situs Cagar Budaya atau Kawasan Cagar Budaya yang
berada di 2 (dua) provinsi atau lebih;
3) yang berada di objek vital nasional;
4) yang berada di kawasan strategis nasional; dan
5) yang berada dan berhubungan dengan kawasan warisan dunia.
b. gubernur, untuk Situs Cagar Budaya atau Kawasan Cagar Budaya
yang berada di 2 (dua) kabupaten/kota atau lebih, atau kawasan
strategis provinsi; atau
c. bupati/wali kota, untuk Cagar Budaya yang berada di wilayah
kabupaten/kota.
(3) Surat Keterangan Kepemilikan Cagar Budaya berisi:
a. identitas pemilik;
b. kode register;
c. nama dan/atau jenis; dan
d. lokasi.
(4) Surat Keterangan Kepemilikan Cagar Budaya dapat diubah sesuai
dengan Pengalihan kepemilikannya, dan diterbitkan Surat Keterangan
Kepemilikan Cagar Budaya yang baru oleh Menteri, gubernur, atau
bupati/wali kota sesuai kewenangannya.

Pasal 61

35
Pemilik Cagar Budaya berhak memperoleh Surat Keterangan Status Cagar
Budaya dan Surat Keterangan Kepemilikan setelah Cagar Budaya tercatat
dalam Register Nasional.

Pasal 62
(1) Warga negara asing atau badan hukum asing yang berdomisili atau
berkedudukan di Indonesia paling singkat 5 (lima) tahun berturut-turut
atau 10 (sepuluh) tahun tidak berturut-turut dapat:
a. ditetapkan sebagai pemilik Cagar Budaya;
b. menerima atau menyimpan Surat Keterangan Kepemilikan Cagar
Budaya; dan/atau
c. menerima atau menyimpan Surat Penetapan Cagar Budaya.
(2) Menteri, gubernur, atau bupati/wali kota sesuai dengan
kewenangannya mencabut Surat Keterangan Kepemilikan Cagar Budaya
yang dimiliki warga negara asing atau lembaga asing sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) apabila diketahui tidak berdomisili atau
berkedudukan di Indonesia.

Pasal 63
(1) Menteri, gubernur, bupati dan/wali kota sesuai dengan kewenangannya
dapat mengubah Surat Keputusan Penetapan Cagar Budaya dan/atau
Surat Keterangan Kepemilikan Cagar Budaya apabila:
a. terjadi pemekaran atau penggabungan wilayah;
b. terjadi perubahan nama provinsi, kabupaten, kota, kecamatan,
kelurahan, desa, dan/atau nama wilayah sesuai nama wilayah
hukum adat; dan/atau
c. terdapat kekeliruan dalam pencantuman identitas pemilik, kode
register, nama dan/atau jenis, lokasi, dan/atau informasi lain yang
tidak sesuai dengan yang sebenarnya.
(2) Perubahan terhadap Surat Keputusan Cagar Budaya dan/atau Surat
Keterangan Kepemilikan Cagar Budaya dikeluarkan setelah memperoleh
rekomendasi dari Tim Ahli.

36
(3) Perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus
diikuti dengan perubahan pangkalan data yang dikelola oleh pemerintah
kabupaten/kota, untuk disampaikan kepada pemerintah provinsi dan
selanjutnya disampaikan kepada Pemerintah guna memperbaiki data
Register Nasional.

Pasal 64
Cagar Budaya yang telah ditetapkan, disusun dalam daftar Cagar Budaya
oleh Menteri, gubernur, atau bupati/wali kota sesuai dengan
kewenangannya.

Bagian Kelima
Pemeringkatan

Pasal 65
(1) Cagar Budaya peringkat kabupaten/kota ditetapkan oleh bupati/wali
kota, berdasarkan:
a. Cagar Budaya yang telah didaftar di kabupaten/kota; dan
b. rekomendasi Tim Ahli kabupaten/kota sesuai dengan syarat-syarat
Pemeringkatan.
(2) bupati/wali kota dapat mengusulkan Cagar Budaya yang telah dipilih
dari daftar Cagar Budaya peringkat kabupaten/kota, menjadi Cagar
Budaya peringkat provinsi kepada gubernur, setelah mendapat
rekomendasi dari Tim Ahli kabupaten/kota.

Pasal 66
(1) Cagar Budaya peringkat provinsi ditetapkan oleh gubernur,
berdasarkan:
a. Cagar Budaya yang telah didaftar di provinsi;
b. rekomendasi Tim Ahli provinsi sesuai dengan syarat-syarat
Pemeringkatan; dan
c. usulan dari bupati/wali kota.

37
(2) Gubernur dapat mengusulkan Cagar Budaya yang telah dipilih dari
daftar Cagar Budaya peringkat provinsi, menjadi Cagar Budaya
peringkat nasional kepada Menteri, setelah mendapat rekomendasi dari
Tim Ahli provinsi.

Pasal 67
(1) Cagar Budaya peringkat nasional ditetapkan oleh Menteri, berdasarkan:
a. Cagar Budaya yang telah didaftar di Direktorat yang berwenang di
bidang Pelestarian Cagar Budaya;
b. rekomendasi Tim Ahli nasional sesuai dengan syarat-syarat
Pemeringkatan; dan
c. usulan dari gubernur.
(2) Menteri dapat mengusulkan Cagar Budaya yang telah dipilih dari daftar
Cagar Budaya peringkat nasional, menjadi warisan budaya dunia
kepada badan dunia yang membidangi kebudayaan sesuai konvensi
internasional dan kelaziman tata cara di dunia internasional.

Pasal 68
Tim Ahli dalam memberikan rekomendasi dapat memperoleh dukungan dari
lembaga penelitian formal dan/atau lembaga penelitian non formal yang
memiliki akreditasi sebagai lembaga penelitian di tingkat Pemerintah
dan/atau Pemerintah Daerah.

Pasal 69
(1) Tim Ahli provinsi atau Tim Ahli nasional dapat merekomendasikan
penurunan peringkat Cagar Budaya peringkat provinsi atau peringkat
nasional kepada gubernur atau Menteri sesuai dengan kewenangannya.
(2) Gubernur atau Menteri sesuai dengan kewenangannya dapat
menurunkan peringkat Cagar Budaya peringkat provinsi atau peringkat
nasional dengan memperhatikan syarat pemeringkatan.

Pasal 70

38
(1) Tim Ahli dapat merekomendasikan Pencabutan Penetapan peringkat
Cagar Budaya kepada Menteri, gubernur, atau bupati/wali kota sesuai
dengan kewenangannya, berdasarkan syarat Pencabutan peringkat
Cagar Budaya.
(2) Menteri, gubernur, atau bupati/wali kota sesuai dengan
kewenangannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencabut
penetapan peringkat Cagar Budaya berdasarkan syarat-syarat
Pencabutan peringkat Cagar Budaya.

Bagian Keenam
Pencatatan

Pasal 71
(1) Pemerintah membentuk sistem Register Nasional untuk mencatat data
Cagar Budaya.
(2) Data Cagar Budaya dalam Register Nasional sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) berasal dari:
a. daftar Cagar Budaya kabupaten/kota;
b. daftar Cagar Budaya provinsi;
c. daftar Cagar Budaya nasional; dan
d. daftar Cagar Budaya yang berada di luar negeri.
(3) Daftar Cagar Budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berisi:
a. nomor urut;
b. nomor register
c. nama dan/atau jenis;
d. peringkat;
e. lokasi; dan
f. keterangan tentang Pencabutan, perubahan, Penghapusan, hilang
dan ditemukan kembali.

Pasal 72

39
(1) Instansi kabupaten/kota yang berwenang di bidang Pelestarian Cagar
Budaya, menyampaikan daftar Cagar Budaya kabupaten/kota kepada
instansi provinsi yang berwenang di bidang Pelestarian Cagar Budaya.
(2) Instansi provinsi yang berwenang di bidang Pelestarian Cagar Budaya,
menyampaikan daftar Cagar Budaya provinsi kepada instansi
Pemerintah yang berwenang di bidang Pelestarian Cagar Budaya.
(3) Instansi Pemerintah yang berwenang di bidang Pelestarian Cagar
Budaya mencatat daftar Cagar Budaya sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) ke dalam Register Nasional.
(4) Data Cagar Budaya yang dicatat dalam sistem Register Nasional
meliputi:
a. nomor urut;
b. nomor registrasi;
c. jenis/nama Cagar Budaya;
d. tanggal penetapan Cagar Budaya;
e. lokasi asal Cagar Budaya;
f. peringkat;
g. pemilik/penguasa;
h. deskripsi;
i. dokumentasi; dan
j. keterangan lain yang diperlukan.
(5) Sistem Register Nasional meliputi:
a. penyediaan perangkat lunak dan keras;
b. sistem Pencatatan, akses, dan pengamanan data;
c. penyediaan sumberdaya manusia; dan
d. pelaksanaan, pengawasan, dan pembinaan.
(6) Sistem Register Nasional dikelola oleh Pemerintah.

Pasal 73
Data Cagar Budaya tingkat nasional, tingkat provinsi, tingkat
kabupaten/kota dapat dilakukan perbaikan, penggabungan, atau
Penghapusan.

40
Pasal 74
(1) Usul perbaikan data Cagar Budaya dapat diajukan oleh Pemerintah,
Pemerintah Daerah, Setiap Orang, dan/atau Masyarakat Hukum Adat
kepada Menteri, gubernur, bupati/wali kota sesuai dengan
kewenangannya.
(2) Perbaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh tim
pendaftaran, dalam hal terdapat kekeliruan, perubahan data, dan/atau
kesalahan dalam Pencatatan.
(3) Perbaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan
rekomendasi dari Tim Ahli.

Pasal 75
(1) Penggabungan data dari 2 (dua) atau lebih Cagar Budaya yang
merupakan kesatuan dilakukan oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah
Daerah sesuai dengan kewenangannya setelah melalui kajian Tim Ahli.
(2) Penggabungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam
hal terdapat Cagar Budaya yang merupakan satu kesatuan dan/atau
memiliki hubungan satu sama lain akan tetapi didaftar secara terpisah;
(3) Penggabungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan
cara memberikan keterangan hubungan antara beberapa Cagar Budaya
yang didaftarkan secara terpisah, tanpa mengubah daftar Cagar Budaya
sebelumnya.
(4) Penggabungan dilakukan tanpa menghapus data Cagar Budaya yang
disatukan dalam Register Nasional, dengan menggunakan salah satu
nomor Pendaftaran Cagar Budaya.
(5) Penggabungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditindaklanjuti
dengan perbaikan Surat Keputusan Penetapan Cagar Budaya dan
peringkatnya.

Pasal 76
(1) Pemerintah Daerah mengusulkan Penghapusan Cagar Budaya kepada
Menteri.

41
(2) Penghapusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan dengan
Keputusan Menteri atas rekomendasi Tim Ahli nasional.
(3) Penghapusan dilakukan apabila Cagar Budaya:
a. musnah;
b. hilang dan dalam jangka waktu 6 (enam) tahun tidak ditemukan;
c. mengalami perubahan wujud dan gaya, sehingga kehilangan
keasliannya; atau
d. di kemudian hari diketahui statusnya bukan Cagar Budaya.
(4) Pemerintah Daerah melakukan Penghapusan dari daftar Cagar Budaya
daerah sebagai tindak lanjut Keputusan Menteri sebagaimana dimaksud
pada ayat (2).
(5) Setelah Pemerintah Daerah melakukan Penghapusan sebagaimana
dimaksud pada ayat (4), ditindaklanjuti dengan:
a. pencabutan Surat Keputusan Penetapan Cagar Budaya; dan
b. pencabutan surat keterangan Kepemilikan Cagar Budaya.
(6) Penghapusan dilakukan tanpa menghilangkan data dalam Register
Nasional.
(7) Penghapusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan
memberi tanda pada data Cagar Budaya yang tercatat dalam Register
Nasional.

Pasal 77
(1) Cagar Budaya yang statusnya telah dihapus dari Register Nasional
dapat didaftarkan kembali apabila:
a. Cagar Budaya yang hilang ditemukan kembali setelah lebih dari 6
(enam) tahun; atau
b. terdapat kesalahan pada hasil kajian atau penelitian terdahulu.
(2) Pendaftaran kembali dapat diajukan oleh Pemerintah, Pemerintah
Daerah, Setiap Orang, atau Masyarakat Hukum Adat yang memiliki
dan/atau menguasai Cagar Budaya sebagaimana dimaksud pada ayat
(1).

42
(3) Tim Ahli melakukan evaluasi terhadap kajian sebelumnya sesuai
dengan kondisi terakhir Cagar Budaya untuk direkomendasikan kepada
Menteri, gubernur, bupati/wali kota sesuai dengan kewenangannya.
(4) Pendaftaran kembali dilakukan dengan mengubah keterangan pada
data Cagar Budaya yang tersimpan di dalam Register Nasional.
(5) Perubahan data pada Register Nasional atas Cagar Budaya yang
didaftarkan kembali dilakukan tanpa mengubah nomor pendaftaran.

Pasal 78
Ketentuan mengenai tata cara Register Nasional diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Menteri.

BAB V
PELINDUNGAN

Bagian kesatu
Umum

Pasal 79
(1) Pemerintah, Pemerintah Daerah, Setiap Orang, dan/atau Masyarakat
Hukum Adat berperan aktif melindungi Cagar Budaya dan/atau Objek
yang Diduga Cagar Budaya yang dimiliki dan/atau dikuasainya.
(2) Pelindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara
terkoordinasi.
(3) Pelindungan terhadap Cagar Budaya dan/atau Objek yang Diduga
Cagar Budaya bertujuan untuk mempertahankan keberadaannya dari
ancaman kerusakan, kehancuran, atau kemusnahan yang disebabkan
oleh faktor alam dan/atau gangguan manusia.
(4) Pelindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berupa
Penyelamatan, Pengamanan, Zonasi, Pemeliharaan, dan Pemugaran
Cagar Budaya.
(5) Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri melakukan pelindungan
terhadap Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, dan/atau

43
Struktur Cagar Budaya milik Pemerintah Indonesia atau Warga Negara
Indonesia yang berada di luar negeri.

Bagian Kedua
Penyelamatan

Pasal 80
(1) Penyelamatan Cagar Budaya dan/atau Objek yang Diduga Cagar
Budaya dilakukan sesuai kaidah keilmuan dan etika pelestarian,
dengan meminimalisir dampak kerusakannya.
(2) Kegiatan Penyelamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
setelah diketahui adanya indikasi dan/atau ancaman kerusakan,
kehancuran, dan kemusnahan pada Cagar Budaya dan/atau Objek
yang Diduga Cagar Budaya baik yang berasal dari faktor internal
maupun faktor eksternal.
(3) Faktor internal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi faktor
usia, kualitas bahan, dan teknologi pengerjaan.
(4) Faktor eksternal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi faktor
alam, binatang, tumbuhan dan/atau manusia.
(5) Penyelamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam
keadaan biasa dan keadaan darurat.

Pasal 81
(1) Penyelamatan Cagar Budaya dan/atau Objek yang Diduga Cagar
Budaya dalam keadaan biasa dilakukan dengan cara:
a. perawatan;
b.perkuatan; dan/atau
c. konsolidasi;
(2) Penyelamatan Cagar Budaya dan/atau Objek yang Diduga Cagar
Budaya yang disebabkan oleh faktor eksternal selain dilakukan dengan
cara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga dilakukan dengan:
a. memberi talud;
b. memberi atap;

44
c. memberi pagar;
d. menempatkan petugas Pengamanan; dan/atau
e. pemindahan ke tempat yang aman.
(3) Penyelamatan Cagar Budaya dan/atau Objek yang Diduga Cagar
Budaya dalam keadaan biasa karena dampak kegiatan pembangunan
harus dilakukan melalui kegiatan terencana dengan:
a. didahului kajian;
b. dilakukan oleh Tenaga Ahli Pelestarian; dan
c. mempertahankan nilai penting Cagar Budaya dan/atau Objek yang
Diduga Cagar Budaya.
(4) Penyelamatan Cagar Budaya dan/atau Objek yang Diduga Cagar
Budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), dilakukan
oleh Unit Pelaksana Teknis dan/atau instansi Pemerintah Daerah yang
berwenang di bidang Pelestarian Cagar Budaya.
(5) Setiap Orang dan/atau Masyarakat Hukum Adat yang memiliki,
menguasai, atau mengelolanya dapat melakukan Penyelamatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dengan Unit
Pelaksana Teknis dan/atau instansi Pemerintah Daerah yang
berwenang di bidang Pelestarian Cagar Budaya.

Pasal 82
(1) Setiap Orang dan/atau Masyarakat Hukum Adat melaporkan kepada
Unit Pelaksana Teknis dan/atau instansi Pemerintah Daerah yang
berwenang di bidang Pelestarian Cagar Budaya, apabila mengetahui
Cagar Budaya dan/atau Objek yang Diduga Cagar Budaya yang dimiliki
dan/atau yang dikuasainya berada dalam keadaan darurat atau
memaksa, baik yang disebabkan oleh alam maupun manusia.
(2) Unit Pelaksana Teknis dan/atau instansi Pemerintah Daerah yang
berwenang di bidang Pelestarian Cagar Budaya setelah menerima
laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) segera melakukan
Penyelamatan Cagar Budaya dan/atau Objek yang Diduga Cagar
Budaya dalam keadaan darurat atau memaksa baik yang disebabkan
oleh alam maupun manusia.

45
(3) Penyelamatan Cagar Budaya dan/atau Objek yang Diduga Cagar
Budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan
manajemen Penyelamatan sebagai berikut:
a. mitigasi bencana;
b. tindakan siaga bencana;
c. tanggap darurat;
d. tindakan pemulihan;
e. koordinasi; dan
f. pemantauan serta pembinaan.
(4) Manajemen Penyelamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dilakukan oleh Unit Pelaksana Teknis dan/atau instansi Pemerintah
Daerah yang berwenang di bidang Pelestarian Cagar Budaya bekerja
sama dengan instansi terkait.

Pasal 83
Mitigasi bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (3) huruf a
berupa tindakan terhadap Cagar Budaya dan/atau Objek yang Diduga
Cagar Budaya, meliputi:
a. melakukan pendataan lengkap di daerah rawan bencana;
b. melakukan pemetaan dan permasalahan di daerah rawan bencana serta
analisis resikonya;
c. menentukan prioritas Penyelamatan;
d. sosialisasi dan penyebarluasan informasi tentang tata cara Penyelamatan
dalam menghadapi bencana; dan
e. meningkatkan kerja sama dengan kelompok sosial masyarakat di sekitar
lokasi.

Pasal 84
Tindakan siaga bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (3)
huruf b, meliputi:
a. penyusunan kebijakan dan strategi;
b. penyiapan sumber daya manusia;
c. penyiapan sarana dan prasarana;

46
d. penyusunan prosedur operasi standar;
e. pelatihan dan simulasi secara berkala;
f. membuat dan menempatkan tanda-tanda peringatan, bahaya, larangan
memasuki daerah rawan bencana;
g. membuat rencana dan memberi informasi jalur-jalur evakuasi jika
terjadi bencana;
h. penyimpanan sementara Cagar Budaya dan/atau Objek yang Diduga
Cagar Budaya; dan
i. tindakan lain yang dipandang perlu sesuai peraturan perundang-
undangan.

Pasal 85
Tanggap darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (3) huruf c
terhadap Cagar Budaya dan/atau Objek yang Diduga Cagar Budaya
dilakukan melalui tindakan:
a. penjagaan;
b. pemasangan sarana pelindung;
c. pemasangan garis Pengamanan;
d. pengumpulan bagian-bagian yang hancur;
e. pengangkatan, pemindahan, dan penyimpanan sebagian atau seluruhnya
ke tempat aman; dan/atau
f. pencatatan dan perekaman.

Pasal 86
Tindakan pemulihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (3) huruf
d meliputi pembersihan, perbaikan, pemulihan keterawatan objek,
pemulihan lingkungan, dan Pemeliharaan, dengan melibatkan Setiap Orang
dan/atau Masyarakat Hukum Adat.

Pasal 87
(1) Koordinasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (3) huruf e,
meliputi:
a. identifikasi pihak-pihak yang terlibat;

47
b. penentuan tugas, peran dan tanggung jawab masing-masing pihak;
dan
c. penyediaan dana yang diperlukan.
(2) Pihak-pihak yang terlibat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
terdiri atas:
a. instansi yang yang bertanggung jawab di bidang Pekerjaan Umum,
Perhubungan, Energi dan Sumber Daya Mineral, Kehutanan,
Lingkungan Hidup, Kelautan, dan/atau Badan Penanggulangan
Bencana Nasional/Daerah;
b. Tentara Nasional Indonesia dan/atau Kepolisian Negara Republik
Indonesia;
c. lembaga penelitian dan/atau perguruan tinggi;
d. lembaga swadaya masyarakat; dan/atau
e. Setiap Orang dan/atau Masyarakat Hukum Adat.
(3) Penentuan tugas, peran dan tanggung jawab masing-masing pihak
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disesuaikan dengan ketentuan
yang berlaku.
(4) Koordinasi dalam pencegahan dan penanggulangan resiko bencana
terhadap Cagar Budaya dan/atau Objek yang Diduga Cagar Budaya
dilakukan oleh Unit Pelaksana Teknis dan/atau instansi Pemerintah
Daerah yang berwenang di bidang Pelestarian Cagar Budaya.
(5) Penyediaan dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c menjadi
tanggung jawab Unit Pelaksana Teknis dan/atau instansi yang
berwenang di bidang Pelestarian Cagar Budaya, dengan bantuan dana
dari instansi terkait serta pihak-pihak yang terlibat.

Pasal 88
Pemantauan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (3) huruf f
meliputi langkah-langkah untuk:
a. mengetahui pelaksanaan penanggulangan bencana;
b. melakukan penilaian;
c. melakukan pembenahan terhadap pelaksanaan penanggulangan
bencana; dan

48
d. memantau secara terus-menerus terhadap proses penanggulangan
bencana.

Pasal 89
(1) Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (3) huruf f
dilakukan dengan cara pendidikan dan pelatihan atau bimbingan
teknis.
(2) Pendidikan dan pelatihan atau bimbingan teknis sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditujukan untuk meningkatkan pengetahuan,
keterampilan, kesadaran, kepedulian, kesiapsiagaan dalam mencegah
dan menghadapi bencana terhadap Cagar Budaya dan/atau Objek yang
Diduga Cagar Budaya.
(3) Bentuk pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. memasukkan pengetahuan tentang resiko bencana terhadap Cagar
Budaya dalam kurikulum pendidikan formal; dan
b. menyelenggarakan penyuluhan dan sosialisasi.
(4) Bentuk pelatihan atau bimbingan teknis sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) meliputi:
a. pelatihan dasar;
b. pelatihan lanjutan;
c. pelatihan teknis; dan/atau
d. simulasi.

Paragraf 1
Pengangkatan

Pasal 90
(1) Pengangkatan Cagar Budaya dan/atau Objek yang Diduga Cagar
Budaya Di Air hanya dapat dilakukan dalam rangka penyelamatan.
(2) Pengangkatan Cagar Budaya dan/atau Objek yang Diduga Cagar
Budaya Di Air sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dapat dilakukan
oleh Unit Pelaksana Teknis, Instansi Pemerintah Daerah yang

49
berwenang di bidang Pelestarian Cagar Budaya, Setiap Orang, dan/atau
Masyarakat Hukum Adat.
(3) Instansi Pemerintah Daerah yang berwenang di bidang Pelestarian
Cagar Budaya, Setiap Orang dan/atau Masyarakat Hukum Adat, yang
melakukan pengangkatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus
berkoodinasi dengan Unit Pelaksana Teknis.

(4) Unit Pelaksana Teknis dan instansi Pemerintah Daerah yang berwenang
di bidang Pelestarian Cagar Budaya sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dapat bekerja sama dengan pihak lain yang memiliki kualifikasi di
bidang pengangkatan Cagar Budaya dan/atau Objek yang Diduga Cagar
Budaya Di Air.

Pasal 91
(1) Pengangkatan Cagar Budaya dan/atau Objek yang Diduga Cagar
Budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (2) dilakukan
dengan memperhatikan keutuhan, keselamatan, dan keamanan, sesuai
standar pengangkatan Cagar Budaya dan/atau Objek yang Diduga
Cagar Budaya Di Air.
(2) Pengangkatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang
mengakibatkan kerusakan, kehancuran, atau kemusnahan menjadi
tanggung jawab pelaksana.
(3) Pengangkatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditindaklanjuti
dengan perawatan, sesuai standar perawatan Cagar Budaya dan/atau
Objek yang Diduga Cagar Budaya Di Air, dan dilakukan pemindahan ke
tempat lain yang aman.
(4) Lokasi asal Cagar Budaya dan/atau Objek yang Diduga Cagar Budaya
Di Air yang diangkat harus dicatat kedalaman serta titik koordinatnya.

Pasal 92
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengangkatan Objek yang Diduga Cagar
Budaya Di Air dalam rangka penyelamatan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 89, diatur dengan Peraturan Presiden.

50
Paragraf 2
Pemindahan

Pasal 93
(1) Pemindahan Cagar Budaya dan/atau Objek yang Diduga Cagar Budaya
dalam rangka Penyelamatan dilakukan oleh Unit Pelaksana Teknis dan
instansi Pemerintah Daerah yang berwenang di bidang pelestarian
Cagar Budaya, dapat bekerja sama dengan pihak lain yang memiliki
kualifikasi di bidang pemindahan Cagar Budaya dan/atau Objek yang
Diduga Cagar Budaya.
(2) Pemindahan Cagar Budaya dan/atau Objek yang Diduga Cagar Budaya
dapat dilakukan oleh Setiap Orang dan/atau Masyarakat Hukum Adat
dengan melaporkan kepada Unit Pelaksana Teknis dan/atau instansi
yang berwenang di bidang Pelestarian Cagar Budaya.
(3) Pemindahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), dapat
didahului dengan tindakan ekskavasi penyelamatan.

Pasal 94
(1) Pemindahan Cagar Budaya dan/atau Objek yang Diduga Cagar Budaya
dilakukan dengan memperhatikan keutuhan bentuk, keselamatan, dan
keamanan, serta dilakukan sesuai standar pemindahan Cagar Budaya
dan/atau Objek yang Diduga Cagar Budaya.
(2) Pemindahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang mengakibatkan
kerusakan, kehancuran, atau kemusnahan menjadi tanggung jawab
pelaksana.
(3) Keselamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi faktor:
a. lingkungan, berupa tingkat kelembaban udara, suhu udara,
pencahayaan, curah hujan, air, angin, dan/atau api; dan
b. tindakan, berupa benturan, gerakan, tekanan, dan/atau gesekan.
(4) Keamanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kemungkinan
terjadinya:
a. pencurian;
b. perusakan;

51
c. penyanderaan;
d. pemusnahan; dan/atau
e. penghancuran.
(5) Pemindahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan ke
tempat lain yang aman serta lokasi asal Cagar Budaya dan/atau Objek
yang Diduga Cagar Budaya yang dipindah harus diberi tanda dan
dicatat titik koordinatnya.

Paragraf 3
Penyimpanan

Pasal 95
(1) Penyimpanan Cagar Budaya dan/atau Objek yang Diduga Cagar
Budaya dalam rangka Penyelamatan dilakukan dengan memperhatikan
keutuhan, keselamatan, dan keamanannya.
(2) Penyimpanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan di
dalam ruangan, di bawah pelindung, maupun di alam terbuka.
(3) Penyimpanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan
memperhatikan faktor:
a. lokasi;
b. kondisi;
c. jenis bahan;
d. kerapuhannya;
e. kelompok; dan
f. kesatuannya.
(4) Penyimpanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
dilakukan dengan menggunakan metode, teknik, dan peralatan yang
sesuai.
(5) Penyimpanan Cagar Budaya dan/atau Objek yang Diduga Cagar
Budaya yang sedikit jumlahnya, unik rancangannya, langka jenisnya,
atau bernilai tinggi harus dilakukan pada tempat khusus untuk
menjaga keamanan dan keselamatannya.

52
Pasal 96
(1) Penyimpanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95, dilakukan oleh
Unit Pelaksana Teknis dan/atau instansi Pemerintah Daerah yang
berwenang di bidang Pelestarian Cagar Budaya.
(2) Penyimpanan dalam rangka Penyelamatan dapat dilakukan oleh Setiap
Orang dan/atau Masyarakat Hukum Adat dengan melaporkan kepada
Unit Pelaksana Teknis dan/atau instansi Pemerintah Daerah yang
berwenang di bidang Pelestarian Cagar Budaya.
(3) Unit Pelaksana Teknis dan/atau instansi Pemerintah Daerah yang
berwenang di bidang Pelestarian Cagar Budaya melakukan pemeriksaan
terhadap lokasi penyimpanan.
(4) Unit Pelaksana Teknis dan/atau instansi Pemerintah Daerah yang
berwenang di bidang Pelestarian Cagar Budaya memerintahkan
pemindahan Cagar Budaya dan/atau Objek yang Diduga Cagar Budaya
ke tempat yang lebih aman apabila dari hasil pemeriksaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) terbukti lokasi penyimpanan tidak memenuhi
syarat.

Bagian Ketiga
Pengamanan

Pasal 97
(1) Pengamanan Cagar Budaya dan/atau Objek yang Diduga Cagar Budaya
dilakukan untuk mencegah atau menanggulangi terjadinya kerusakan,
kehancuran, atau kemusnahan, baik disebabkan oleh faktor alam atau
tindakan manusia dengan tetap memperhatikan pemanfaatannya bagi
kepentingan sosial, pendidikan, pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi, agama, kebudayaan, dan/atau pariwisata.
(2) Pengamanan terhadap Cagar Budaya dan/atau Objek yang Diduga
Cagar Budaya dilakukan dengan tindakan:
a. memberi pelindung;
b. menyimpan;

53
c. menempatkannya pada tempat yang terhindar dari gangguan alam
dan manusia; dan/atau
d. menempatkan juru pelihara, dan/atau Polisi Khusus; dan/atau
e. memberi sarana Pengamanan.
(3) Memberi pelindung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a
dilakukan dengan memagar, menutup, atau memberi atap pada Cagar
Budaya dan/atau Objek yang Diduga Cagar Budaya.
(4) Memberi sarana Pengamanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf d dilakukan dengan menempatkan peralatan untuk melakukan
pemantauan, pemindaian, dan pelacakan.

Pasal 98
(1) Pengamanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97, dilakukan oleh
pemilik dan/atau yang menguasai Cagar Budaya dan/atau Objek yang
Diduga Cagar Budaya dengan pendanaan ditanggung oleh pemilik
dan/atau yang menguasainya.
(2) Unit Pelaksana Teknis dan/atau Instansi yang berwenang di bidang
Pelestarian Cagar Budaya dapat memberikan bantuan juru pelihara
dan/atau Polisi Khusus apabila pemilik Cagar Budaya dan/atau Objek
yang Diduga Cagar Budaya tidak mampu menyediakannya.

Pasal 99
(1) Unit Pelaksana Teknis dan/atau instansi Pemerintah Daerah yang
berwenang di bidang Pelestarian Cagar Budaya melakukan pembinaan
dan/atau pemantauan terhadap upaya Pengamanan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 97.
(2) Unit Pelaksana Teknis dan/atau instansi Pemerintah Daerah yang
berwenang di bidang Pelestarian Cagar Budaya dapat mengambil alih
Pengamanan apabila pemilik dan/atau yang menguasai Cagar Budaya
dan/atau Objek yang Diduga Cagar Budaya tidak melakukan
Pengamanan sesuai ketentuan yang berlaku dengan biaya ditanggung
oleh pemilik dan/atau yang menguasainya.

54
(3) Pemilik dan/atau yang menguasai Cagar Budaya dan/atau Objek yang
Diduga Cagar Budaya dapat mengajukan permohonan agar
Pengamanan dikembalikan kepadanya, dengan membuat pernyataan
bahwa pemilik dan/atau yang menguasai Cagar Budaya dan/atau
Objek yang Diduga Cagar Budaya akan melakukan Pengamanan sesuai
ketentuan yang berlaku.

Pasal 100
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah dapat mengangkat juru pelihara
dan/atau Polisi Khusus untuk melakukan Pengamanan Cagar Budaya
dan/atau Objek yang Diduga Cagar Budaya.
(2) Juru pelihara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berstatus
Pegawai Negeri Sipil maupun tenaga honorer.
(3) Polisi Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berstatus Pegawai
Negeri Sipil.
(4) Polisi Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam
melaksanakan tugasnya, berkoordinasi dengan Penyidik Pegawai Negeri
Sipil yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang pelestarian
Cagar Budaya, Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Unit
Pelaksana Teknis dan/atau instansi Pemerintah Daerah yang
berwenang di bidang Pelestarian Cagar Budaya.

Pasal 101
(1) Pemilik dan/atau yang menguasai benda, bangunan, dan/atau struktur
Cagar Budaya atau yang diduga Cagar Budaya dapat:
a. mengalihkan Kepemilikan;
b. memindahkan;
c. memisahkan;
d. mengubah fungsi; dan/atau
e. melakukan Perbanyakan,
setelah memperoleh izin Menteri, gubernur, atau bupati/wali kota
sesuai dengan kewenangannya setelah memperoleh rekomendasi
terlebih dahulu dari Unit Pelaksana Teknis.

55
(2) Dalam hal benda, bangunan, dan/atau struktur Cagar Budaya atau
yang diduga Cagar Budaya dibawa ke luar wilayah Indonesia, ke luar
wilayah provinsi, ke luar wilayah kabupaten/kota harus memperoleh
izin Menteri, gubernur, atau bupati/wali kota sesuai dengan
kewenangannya setelah memperoleh rekomendasi terlebih dahulu dari
Unit Pelaksana Teknis.
(3) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dengan syarat-
syarat:
a. diajukan oleh pemilik dan/atau yang menguasai dengan surat
permohonan yang memuat:
1) identitas pemohon;
2) identitas Cagar Budaya; dan
3) maksud dan tujuan.
dan
b. melampirkan proposal apabila bertujuan untuk kegiatan.
(4) Membawa ke luar wilayah Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat
(1):
a. hanya dapat dilakukan untuk kepentingan penelitian, promosi
kebudayaan, dan/atau pameran;
b. sedapat mungkin diasuransikan; dan
c. melampirkan sistem Pengamanan untuk memindahkan dan/atau
memisahkan.
(5) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dengan syarat-
syarat:
a. diajukan oleh pemilik dan/atau yang menguasai dengan surat
permohonan yang memuat:
4) identitas pemohon;
5) identitas Cagar Budaya; dan
6) maksud dan tujuan.
dan
b. melampirkan proposal apabila bertujuan untuk kegiatan.

56
(6) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) diajukan kepada
Menteri, gubernur, atau bupati/wali kota sesuai dengan
kewenangannya.
(7) Gubernur, atau bupati/wali kota dalam memberikan izin sebagaimana
dimaksud pada ayat (4), harus memperoleh rekomendasi terlebih
dahulu dari Unit Pelaksana Teknis.

Pasal 102
(1) Petugas bea dan cukai memeriksa benda, bangunan, dan/atau struktur
Cagar Budaya atau yang diduga Cagar Budaya yang dibawa ke luar
wilayah Indonesia.
(2) Pemeriksaan terhadap benda, bangunan, dan/atau struktur
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang diduga melanggar ketentuan
mengenai Cagar Budaya dilakukan berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang kepabeanan.
(3) Dalam hal hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
terdapat pelanggaran terhadap ketentuan peraturan perundang-
undangan, pejabat bea dan cukai melakukan penegahan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan.
(4) Benda yang ditegah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diselesaikan
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian Keempat
Zonasi

Pasal 103
(1) Zonasi dibuat berdasarkan prinsip:
a. pelindungan;
b. keseimbangan;
c. kelestarian;
d. koordinasi; dan
(2) Zonasi dibuat berdasarkan kriteria lokasi atau satuan ruang geografis
yang sudah ditetapkan sebagai Situs Cagar Budaya dan/atau Kawasan
Cagar Budaya yang:

57
a. rawan ancaman yang disebabkan faktor alam maupun manusia;
b. mempunyai potensi Pengembangan dan Pemanfaatan; dan/atau
c. memerlukan pengelolaan khusus.

Pasal 104
(1) Zonasi dibuat berdasarkan hasil kajian terhadap ruang Situs Cagar
Budaya atau Kawasan Cagar Budaya untuk kepentingan Pelindungan
Cagar Budaya.
(2) Kajian Zonasi dilakukan oleh Direktorat yang bertanggungjawab di
bidang Pelestarian Cagar Budaya, Unit Pelaksana Teknis, atau instansi
Pemerintah Daerah yang berwenang di bidang Pelestarian Cagar Budaya
bekerja sama dengan:
a. kementerian teknis di bidang penataan ruang dan/atau instansi yang
berwenang di bidang tata ruang; dan
b. akademisi.
(3) Kajian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan
untuk menentukan luas zona, batas zona, sistem zona, dan tata letak
dengan memperhatikan:
a. kepentingan negara, kepentingan daerah, dan kepentingan
masyarakat;
b. kepadatan serta persebaran Cagar Budaya dan/atau Objek yang
Diduga Cagar Budaya dalam satuan ruang geografis;
c. pelestarian kebudayaan pendukung Cagar Budaya yang masih hidup
di masyarakat; dan
d. lingkungan alam.
(4) Penentuan luas zona, batas zona, dan sistem zona sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan secara horizontal maupun
vertikal terhadap Cagar Budaya maupun lingkungannya sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
(5) Lingkungannya sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat berupa:
a. daratan;
b. perairan;
c. perbatasan antara daratan dengan perairan;

58
d. perbatasan antara perairan dengan perairan; atau
e. udara dan angkasa.

Pasal 105
(1) Zonasi dilakukan dengan membagi ruang menjadi beberapa zona
berdasarkan tingkat kepentingan dan rencana pemanfaatannya, yaitu:
a. Zona Inti;
b. Zona Penyangga;
c. Zona Pengembangan; dan/atau
d. Zona Penunjang.
(2) Zona Inti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan area
pelindungan utama untuk menjaga bagian dari Situs Cagar Budaya
dan/atau Kawasan Cagar Budaya yang mengandung Benda Cagar
Budaya, Bangunan Cagar Budaya, atau Struktur Cagar Budaya yang
paling penting.
(3) Zona Penyangga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
merupakan area yang melindungi Zona Inti.
(4) Zona Pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c
merupakan area yang diperuntukan bagi Pengembangan potensi Cagar
Budaya untuk kepentingan rekreasi, konservasi lingkungan alam,
lanskap budaya, kehidupan budaya tradisional, keagamaan, dan
kepariwisataan.
(5) Zona Penunjang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d
merupakan area yang diperuntukkan bagi penempatan sarana dan
prasarana penunjang untuk mendukung kegiatan usaha dan/atau
rekreasi umum.
(6) Zonasi pada satu Kawasan Cagar Budaya dapat terdiri atas lebih dari
satu Zona Inti.
(7) Komposisi jumlah zona, penempatan, dan keluasannya dibuat
berdasarkan keadaan dengan mengutamakan Pelindungan Benda Cagar
Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, dan/atau
lanskap budaya yang berada di dalam Situs Cagar Budaya dan/atau
Kawasan Cagar Budaya.

59
Pasal 106
(1) Zona Inti, Zona Penyangga, Zona Pengembangan, dan Zona Penunjang,
dapat dimanfaatkan untuk rekreasi, edukasi, apresiasi, dan religi.
(2) Pemanfaatan Zona Inti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan
pada kriteria:
a. mengutamakan untuk mempertahankan keaslian Cagar Budaya;
b. tidak boleh merusak atau mencemari Cagar Budaya maupun nilainya;
c. boleh mengubah fungsi dengan tetap mempertahankan prinsip
Pelestarian Cagar Budaya;
d. tidak boleh untuk kepentingan komersial, kecuali memenuhi
kepatutan;
e. boleh mendirikan fasilitas pendukung Pelestarian Cagar Budaya; dan
f. tidak menjadi ruang kegiatan yang bertentangan dengan nilai
kesakralan.
(3) Pemanfaatan Zona Penyangga sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus memenuhi ketentuan:
a. untuk melindungi Zona Inti;
b. tidak boleh untuk kepentingan komersial, kecuali memenuhi
kepatutan;
c. tidak boleh didirikan bangunan baru atau fasilitas lain kecuali
taman, fasilitas pendukung, dan fasilitas Pengamanan; dan
d. dapat digunakan untuk ruang kegiatan yang tidak bertentangan
dengan kelestarian.
(4) Pemanfaatan Zona Pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
didasarkan pada kriteria:
a. mengembangkan nilai manfaat dari Cagar Budaya;
b. dapat dipergunakan untuk tempat fasilitas umum;
c. dapat dipergunakan untuk kawasan permukiman dan fasilitas
pendukung; dan/atau
d. dapat untuk kepentingan komersial dengan mempertahankan nilai
lingkungan budaya.
(5) Pemanfaatan Zona Penunjang sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
didasarkan pada kriteria:

60
a. diperuntukkan bagi penempatan sarana dan prasarana penunjang;
b. untuk kegiatan komersial dan rekreasi umum; dan
c. luas Zona Penunjang disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan
setempat.

Pasal 107
(1) Pemanfaatan ruang secara vertikal dapat dilakukan pada zona
horizontal, yaitu ruang yang berada di atas dan di bawah Zona Inti,
Zona Penyangga, Zona Pengembangan, dan Zona Penunjang.
(2) Pemanfaatan ruang secara vertikal di atas Zona Inti dan Zona
Penyangga harus memenuhi kriteria:
a. tidak boleh mengganggu kelayakan pandang Bangunan Cagar
Budaya;
b. tidak boleh melakukan penerbangan di atasnya yang dapat
menimbulkan kerusakan Cagar Budaya;
c. tidak boleh dilewati kabel jaringan saluran ultra tegangan tinggi; dan
d. ketinggian fasilitas pendukung, dan fasilitas Pengamanan tidak boleh
menyamai dan melebihi Bangunan Cagar Budaya.
(3) Pemanfaatan ruang secara vertikal di bawah Zona Inti dan Zona
Penyangga tidak boleh mengancam keberadaan Cagar Budaya yang ada
di atasnya.
(4) Pemanfaatan ruang secara vertikal dalam Zona Pengembangan dan
Zona Penunjang untuk berbagai kepentingan dilakukan dengan tetap
mengutamakan kelestarian Cagar Budaya.

Pasal 108
Zonasi Cagar Budaya wajib digunakan sebagai acuan dalam penyusunan
dan penetapan Rencana Umum Tata Ruang dan rencana rinci sesuai
dengan peringkat Cagar Budaya.

Pasal 109
(1) Cara penentuan Zonasi dilakukan dengan:
a. teknik blok;

61
b. teknik sel; dan
c. teknik gabungan.
(2) Teknik blok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat
diterapkan jika Zonasi mencakup keseluruhan Situs Cagar Budaya atau
Kawasan Cagar Budaya menjadi satu kesatuan.
(3) Teknik sel sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diterapkan
pada wilayah yang mengandung sebaran Situs Cagar Budaya yang
jaraknya relatif dekat dan tidak teratur.
(4) Teknik gabungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c
diterapkan pada satu Kawasan Cagar Budaya jika persebaran Situs
Cagar Budaya tidak merata.

Pasal 110
(1) Penentuan batas zona dapat dibedakan atas:
a. batas asli;
b.batas budaya;
c. batas arbitrer;
d.hubungan kontekstual;
e. cakupan pandangan; dan/atau
f. batas alam.
(2) Batas asli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan
batas Cagar Budaya yang masih dapat dikenali berdasarkan sebaran
dan kepadatan temuan arkeologi.
(3) Batas budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan
batas kewilayahan menurut kesepakatan pendukung yang berbeda atau
persebaran kelompok etnik tertentu.
(4) Batas arbitrer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c merupakan
batas yang ditentukan berdasarkan kebutuhan Pengamanan, batas
wilayah pemerintahan, atau batas Kepemilikan tanah.
(5) Batas hubungan kontekstual sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf d merupakan batas antara Cagar Budaya dengan lingkungan
alam dan sosial budaya.

62
(6) Batas cakupan pandangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e
merupakan batas pandangan mata terhadap Bangunan Cagar Budaya
atau Struktur Cagar Budaya.
(7) Batas alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f merupakan
batas yang terbentuk secara alamiah.

Pasal 111
Penetapan Zonasi terhadap Bangunan Cagar Budaya peninggalan kolonial
dan/atau Situs Cagar Budaya yang berada di perkotaan dilakukan dengan
radius 100 (seratus) meter dari batas terluar Zona Inti.

Pasal 112
(1) Zonasi untuk Cagar Budaya Di Air dibagi menjadi Zona Inti, Zona
Penyangga, Zona Pengembangan, dan Zona Pemanfaatan.
(2) Zonasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan berdasarkan
posisi dan persebaran Cagar Budaya.
(3) Penetapan Zonasi Cagar Budaya Di Air dilakukan oleh:
a. Menteri, apabila Cagar Budaya Di Air berada di laut dengan jarak
lebih dari 12 (dua belas) mil laut dari garis pantai dan dari Garis
Pangkal Kepulauan Indonesia;
b. gubernur, apabila Cagar Budaya Di Air berada di laut dengan jarak
antara 4 (empat) sampai dengan 12 (dua belas) mil laut dari garis
pantai; dan
c. bupati atau wali kota, apabila Cagar Budaya Di Air berada di laut
dengan jarak kurang dari 4 (empat) mil laut dari garis pantai.

Pasal 113
(1) Menteri, gubernur, atau bupati/wali kota sesuai dengan
kewenangannya mengeluarkan Surat Keputusan tentang luas dan
batas-batas zona berdasarkan hasil kajian teknis Unit Pelaksana
Teknis.
(2) Pengaturan Zonasi Cagar Budaya yang berada di dalam atau
bersinggungan dengan sistem Zonasi lain:

63
a. ditetapkan tanpa dilakukan perubahan batas selama zonasi lain
mempunyai fungsi Pelestarian;
b. ditetapkan batas baru yang disepakati oleh pihak yang
berkepentingan apabila fungsi zonasi lain bukan untuk Pelestarian
akan tetapi dapat mendukung upaya Pelestarian; atau
c. apabila fungsi zonasi lain bertentangan dengan upaya Pelestarian,
sistem Zonasi lain dapat:
1) dibatalkan sebagian atau seluruhnya untuk kepentingan
Pelestarian Situs Cagar Budaya atau Kawasan Cagar Budaya;
atau
2) dilakukan perubahan atas luas dan batasnya untuk disesuaikan
dengan kebutuhan Pelestarian Situs Cagar Budaya atau
Kawasan Cagar Budaya.
(3) Pengaturan Zonasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) didasarkan
atas hasil Penelitian yang melibatkan pemangku kepentingan.

Pasal 114
(1) Zonasi dibuat setelah suatu lokasi ditetapkan sebagai Situs Cagar
Budaya atau satuan ruang geografis yang memiliki dua Situs Cagar
Budaya atau lebih ditetapkan sebagai Kawasan Cagar Budaya.

(2) Zonasi dilakukan tanpa mengubah luas dan batas Situs Cagar Budaya
atau Kawasan Cagar Budaya yang telah ditetapkan.

Bagian Kelima
Pemeliharaan

Pasal 115
(1) Pemeliharaan Cagar Budaya dan/atau Objek yang Diduga Cagar
Budaya dilakukan dengan perawatan secara preventif maupun kuratif.
(2) Perawatan secara preventif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan cara perawatan rutin, sehari-hari, maupun berkala
dengan tujuan untuk menjaga kebersihan atau keterawatan Cagar
Budaya dan/atau Objek yang Diduga Cagar Budaya.

64
(3) Perawatan secara kuratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan cara perawatan tradisional maupun modern untuk
menanggulangi Cagar Budaya dan/atau Objek yang Diduga Cagar
Budaya yang telah rusak dan/atau lapuk.

Pasal 116
(1) Biaya perawatan Cagar Budaya dan/atau Objek yang Diduga Cagar
Budaya dibebankan kepada pemilik dan/atau yang menguasai.
(2) Pemilik dan/atau yang menguasai Cagar Budaya dan/atau Objek yang
Diduga Cagar Budaya yang tidak mampu membiayai perawatan dapat
mengajukan permohonan bantuan biaya perawatan kepada Pemerintah
dan Pemerintah Daerah, disertai dengan surat keterangan tidak mampu
dari pejabat yang berwenang.

Pasal 117
(1) Perawatan Cagar Budaya dan/atau Objek yang Diduga Cagar Budaya
dilakukan melalui tahap studi teknis perawatan, pelaksanaan
perawatan, dan pengawasan perawatan.
(2) Unit Pelaksana Teknis dan/atau instansi Pemerintah Daerah yang
berwenang di bidang Pelestarian Cagar Budaya melaksanakan
perawatan Cagar Budaya dan/atau Objek yang Diduga Cagar Budaya,
dengan mengangkat juru pelihara yang bertugas merawat dan
memelihara Cagar Budaya dan/atau Objek yang Diduga Cagar Budaya
sesuai dengan keterampilannya.

Bagian Keenam
Pemugaran

Pasal 118
(1) Unit Pelaksana Teknis atau instansi Pemerintah Daerah yang
berwenang di bidang Pelestarian Cagar Budaya melakukan Pemugaran
Bangunan Cagar Budaya dan/atau Struktur Cagar Budaya sesuai
dengan peringkat Cagar Budaya.

65
(2) Pemilik dan/atau yang menguasai Bangunan Cagar Budaya dan/atau
Struktur Cagar Budaya dapat melakukan Pemugaran didasarkan izin
dengan syarat:
a. mengajukan surat permohonan izin Pemugaran yang memuat:
1) identitas pemohon;
2) identitas Bangunan Cagar Budaya dan/atau Struktur Cagar
Budaya yang akan dipugar; dan
3) waktu dan lokasi Pemugaran.
b. melampirkan foto kopi surat Penetapan Cagar Budaya yang
dilegalisir;
c. melampirkan foto kopi Surat Keterangan Kepemilikan Cagar
Budaya yang dilegalisir;
d. dokumen studi kelayakan untuk dapat dipugar;
e. rencana studi teknis dan rencana Pemugaran;
f. menginformasikan Tenaga Ahli Pelestarian yang akan menjadi
konsultan;
g. izin lingkungan; dan
h. surat keterangan pendanaan;
i. izin mendirikan bangunan yang dikeluarkan oleh Pemerintah
Daerah.
(3) Permohonan izin Pemugaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diajukan kepada Menteri, gubernur, atau bupati/wali kota sesuai
dengan kewenangannya.
(4) Gubernur, atau bupati/wali kota dalam memberikan izin sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), harus memperoleh kajian teknis terlebih
dahulu dari Unit Pelaksana Teknis.
(5) Pemilik dan/atau yang menguasai Bangunan Cagar Budaya dan/atau
Struktur Cagar Budaya dalam melakukan Pemugaran sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) didampingi oleh Unit Pelaksana Teknis
dan/atau instansi Pemerintah Daerah yang berwenang di bidang
Pelestarian Cagar Budaya dalam bentuk konsultasi.

66
Pasal 119
(1) Pemugaran terhadap Bangunan Cagar Budaya dan/atau Struktur Cagar
Budaya dapat dilakukan, baik sebagai satu kesatuan maupun
kompleks, untuk mengembalikan kondisi fisik yang rusak.
(2) Kondisi fisik yang rusak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
keadaan melesak, miring, roboh, retak, pecah, runtuh, patah, lapuk,
dan/atau melendut pada struktur maupun komponen Bangunan Cagar
Budaya dan/atau Struktur Cagar Budaya.
(3) Pemugaran Bangunan Cagar Budaya dan/atau Struktur Cagar Budaya
harus memperhatikan:
a. prinsip-prinsip keaslian bahan, bentuk, tata letak, gaya, dan/atau
teknologi pengerjaan;
b. kondisi semula, dengan kemungkinan tingkat perubahan sekecil
mungkin;
c. penggunaan teknik, metode, dan bahan yang tidak bersifat merusak;
dan
d. kompetensi pelaksana di bidang Pemugaran.

Pasal 120
Kompetensi pelaksana di bidang Pemugaran sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 119 ayat (3) huruf d, dinilai oleh Unit Pelaksana Teknis dengan
memperhatikan keahlian dan pengalaman pelaksana dalam Pemugaran
Bangunan Cagar Budaya dan/atau Struktur Cagar Budaya.

Pasal 121
Pemugaran terhadap Bangunan Cagar Budaya dan/atau Struktur Cagar
Budaya dilakukan dengan tahapan pra Pemugaran, Pemugaran, dan pasca
Pemugaran.

Pasal 122
(1) Tahapan pra Pemugaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 121
meliputi kegiatan studi kelayakan, studi teknis, dan perencanaan
Pemugaran.

67
(2) Studi kelayakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk
menetapkan kelayakan Pemugaran berdasarkan penilaian atas nilai
sejarah dan kepurbakalaan yang terkandung dalam Bangunan Cagar
Budaya dan/atau Struktur Cagar Budaya.
(3) Studi teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kegiatan
untuk mengumpulkan data teknis sebagai bahan perencanaan
Pemugaran.
(4) Perencanaan Pemugaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
tatacara dan teknik Pemugaran berdasarkan data studi teknis.

Pasal 123
(1) Pemugaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 121 dilakukan dengan
memperbaiki, memperkuat, dan/atau mengawetkan Bangunan Cagar
Budaya dan/atau Struktur Cagar Budaya dengan tujuan memperbaiki
struktur dan pemulihan arsitekturalnya.
(2) Pemugaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara
rekonstruksi, konsolidasi, rehabilitasi, dan restorasi.

Pasal 124
(1) Keandalan Bangunan Cagar Budaya harus memperhatikan persyaratan
keselamatan, persyaratan kenyamanan, dan kemudahan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang bangunan gedung.
(2) Pemugaran atas bangunan Cagar Budaya dan lingkungannya hanya
dapat dilakukan sepanjang tidak mengubah nilai dan/atau karakter
Cagar Budaya yang dikandungnya.
(3) Pemugaran bangunan Cagar Budaya dan lingkungan Cagar Budaya yang
dilakukan menyalahi ketentuan fungsi dan/atau karakter Cagar Budaya
harus dikembalikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

Pasal 125
Pasca Pemugaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 121 dilaksanakan
dalam bentuk penataan lahan dan lingkungan Situs Cagar Budaya

68
dan/atau Kawasan Cagar Budaya, yang bertujuan untuk kelestarian
Bangunan Cagar Budaya dan/atau Struktur Cagar Budaya.

Pasal 126
(1) Setiap tahapan Pemugaran dilakukan Penelitian, pendokumentasian,
dan pengawasan.
(2) Penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan
pengamatan dan pengkajian terhadap temuan-temuan yang diperoleh
dalam seluruh proses Pemugaran.
(3) Pendokumentasian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan
untuk perekaman data dan nilai-nilai yang terkandung dalam Cagar
Budaya dalam bentuk tulisan, gambar, dan foto atau film sebagai
sumber informasi bagi Pengembangan dan Pemanfaatan Cagar Budaya.
(4) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk
menjamin dan mengarahkan agar pelaksanaan teknis Pemugaran tidak
menyimpang dari rencana dan tujuan yang telah ditetapkan sesuai
peraturan yang berlaku.

Pasal 127
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah dapat memberikan bantuan dana
kepada pemilik dan/atau yang menguasai Bangunan Cagar Budaya
dan/atau Struktur Cagar Budaya yang akan melakukan Pemugaran.
(2) Besarnya bantuan dana ditentukan berdasarkan kebutuhan Pemugaran
dan kemampuan Pemerintah dan Pemerintah Daerah, dengan tetap
memperhatikan peringkat Cagar Budaya, kondisi ekonomi pemilik
dan/atau yang menguasai Cagar Budaya, serta kelestarian Cagar
Budaya yang akan dipugar.
(3) Pemilik dan/atau yang menguasai Bangunan Cagar Budaya dan/atau
Struktur Cagar Budaya dapat memperoleh bantuan dana sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dengan syarat:
a. mengajukan surat permohonan yang memuat:
1) identitas pemohon;

69
2) identitas Bangunan Cagar Budaya dan/atau Struktur Cagar
Budaya;
3) kebutuhan dana Pemugaran;
4) alasan pengajuan bantuan dana; dan
5) waktu dan lokasi Pemugaran.
dan
b. melampirkan surat keterangan tidak mampu dari lurah/kepala desa
yang dikuatkan oleh camat.
(4) Selain bantuan dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) instansi yang
berwenang di bidang Pelestarian Cagar Budaya dapat memberikan
bantuan lain dalam bentuk tenaga teknis, bahan, peralatan, advokasi,
dan/atau fasilitas lainnya.

Pasal 128
Pemerintah, Pemerintah Daerah, Setiap Orang, dan/atau Masyarakat
Hukum Adat dilarang melakukan Pemugaran dengan membuat bangunan
baru dan/atau struktur baru yang menggunakan keseluruhan dan/atau
bagian-bagian Bangunan Cagar Budaya dan/atau Struktur Cagar Budaya
yang ada.

Pasal 129
Ketentuan mengenai Pelindungan diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Menteri.

BAB VI
PENGEMBANGAN

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 130
(1) Pengembangan Cagar Budaya bertujuan untuk meningkatkan potensi
nilai, informasi, promosi, dan Pemanfaatan Cagar Budaya.

70
(2) Pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui
kegiatan Penelitian, Revitalisasi, dan Adaptasi.
(3) Peningkatan potensi nilai dalam rangka Pengembangan Cagar Budaya
meliputi peningkatan potensi nilai akademis, nilai ideologis serta nilai
ekonomis.
(4) Peningkatan informasi dan promosi untuk Pengembangan Cagar
Budaya dilakukan dengan cara:
a. penerbitan buku, leaflet, brosur, poster;
b. pameran, sosialisasi, workshop.

Pasal 131
Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri melakukan pembinaan dan
pengawasan terhadap pengembangan Benda Cagar Budaya milik
Pemerintah Indonesia atau Warga Negara Indonesia yang berada di luar
negeri.

Bagian Kedua
Penelitian

Pasal 132
(1) Penelitian dalam rangka Pengembangan Cagar Budaya bertujuan untuk
menghimpun informasi serta mengungkap, memperdalam, dan
menjelaskan nilai-nilai budaya.
(2) Penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh:
a. instansi Pemerintah yang berwenang di bidang Penelitian arkeologi;
b. Instansi Pemerintah yang Berwenang di Bidang Pelestarian Cagar
Budaya;
c. Instansi Pemerintah Daerah yang berwenang di bidang Pelestarian
Cagar Budaya;
d. instansi Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah lainnya;
dan/atau
e. Setiap Orang dan/atau Masyarakat Hukum Adat.

71
(3) Penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan
terhadap Cagar Budaya milik dan/atau yang dikuasai oleh:
a. Setiap Orang dan/atau Masyarakat hukum Adat;
b.Pemerintah; dan/atau
c. Pemerintah Daerah.
(4) Penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) didasarkan izin dari
Menteri, gubernur, bupati/wali kota sesuai dengan kewenangannya.
(5) Permohonan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disertai syarat:
a. mengajukan surat permohonan yang memuat:
1) identitas peneliti;
2) Cagar Budaya yang akan diteliti;
3) jenis Penelitian;
4) metode penelitian;
5) tujuan Penelitian;
6) jangka waktu Penelitian; dan
7) lokasi Penelitian.
b. melampirkan proposal Penelitian;
c. pernyataan kesanggupan menyerahkan laporan Penelitian dan
mempublikasikan hasil Penelitian; dan
d. menyerahkan laporan Penelitian dan bukti publikasi hasil Penelitian
apabila sebelumnya pernah melakukan Penelitian.
(6) Menteri, gubernur, atau bupati/wali kota sesuai dengan
kewenangannya memeriksa dan mempertimbangkan:
a. kelengkapan syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (2);
b. prinsip keamanan, kemanfaatan, keterawatan, keaslian, serta nilai-
nilai yang melekat pada Cagar Budaya;
c. kemanfaatan hasil Penelitian bagi Pengembangan Cagar Budaya; dan
d. dipenuhinya kewajiban publikasi laporan hasil Penelitian yang sudah
dilakukan pada masa sebelumnya.

Pasal 133
(1) Penelitian untuk Pengembangan Cagar Budaya meliputi Penelitian dasar
dan/atau Penelitian terapan.

72
(2) Penelitian dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan
tujuan untuk Pengembangan ilmu pengetahuan, rekonstruksi sejarah
kebudayaan, cara hidup manusia masa lampau, dan proses budaya.
(3) Penelitian terapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
dengan tujuan untuk mengembangkan metode dan teknik Pelestarian
Cagar Budaya yang hasilnya secara langsung dapat dimanfaatkan oleh
masyarakat.
(4) Penelitian dasar dan Penelitian terapan terhadap Cagar Budaya
dilakukan dengan menggunakan metode Penelitian ilmiah yang relevan
dengan objek penelitian.

Pasal 134
(1) Penelitian yang dilakukan orang asing atau badan hukum asing berlaku
ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 132 ayat (1), ayat (3), dan
ayat (5), dan Pasal 133.
(2) Selain ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Penelitian bagi
orang asing atau lembaga asing harus izin Menteri, disertai:
a. rekomendasi dari kementerian atau lembaga yang membidangi
Penelitian dan Pengembangan; dan
b. bermitra kerja dengan Instansi Pemerintah yang Berwenang di Bidang
Pelestarian Cagar Budaya yang dituangkan dalam bentuk nota
kesepahaman atau bentuk lain dari perjanjian.
(3) Menteri memeriksa dan mempertimbangkan:
a. kelengkapan syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (2);
b. prinsip keamanan, kemanfaatan, keterawatan, keaslian, serta nilai-
nilai yang melekat pada Cagar Budaya;
c. kemanfaatan hasil Penelitian bagi Pengembangan Cagar Budaya; dan
d. dipenuhinya kewajiban publikasi laporan Penelitian yang sudah
dilakukan pada masa sebelumnya.

Bagian Ketiga
Revitalisasi

73
Pasal 135
(1) Revitalisasi dilakukan terhadap Situs Cagar Budaya dan Kawasan Cagar
Budaya, dengan melakukan kegiatan yang berupa:
a. menata kembali fungsi ruang;
b.menumbuhkan kembali nilai budaya; dan
c. menguatkan informasi tentang Cagar Budaya.
(2) Revitalisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan oleh
Instansi yang Berwenang di Bidang Pelestarian Cagar Budaya.
(3) Setiap Orang dan/atau Masyarakat Hukum Adat dapat melakukan
Revitalisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 136
(1) Setiap Orang dan/atau Masyarakat Hukum Adat yang akan melakukan
Revitalisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 135 ayat (3) didasarkan
izin.
(2) Permohonan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada
Menteri, gubernur, atau bupati/wali kota sesuai dengan
kewenangannya.
(3) Permohonan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan syarat:
a. mengajukan surat permohonan yang berisi identitas pemohon,
identitas Situs Cagar Budaya dan/atau Kawasan Cagar Budaya,
jenis kegiatan, tujuan, jangka waktu, dan lokasi;
b. melampirkan izin pemilik dan/atau yang menguasai Situs Cagar
Budaya dan/atau Kawasan Cagar Budaya bagi pemohon yang bukan
pemilik dan/atau yang menguasai;
c. melampirkan rencana induk (master plan) kegiatan Revitalisasi;
d. melampirkan hasil kajian teknis dari Unit Pelaksana Teknis;
e. melampirkan izin mengubah fungsi ruang situs Cagar Budaya
dan/atau kawasan Cagar Budaya;
f. melampirkan perjanjian kerja sama tentang pemanfaatan hasil
Revitalisasi antara pemilik dan/atau yang menguasai Situs Cagar
Budaya dan/atau Kawasan Cagar Budaya, dengan pengelola;

74
g. melampirkan dokumen Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan;
dan
h. izin mendirikan bangunan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah.
(4) Gubernur, atau bupati/wali kota sesuai dengan kewenangannya
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat melimpahkan kewenangan
kepada instansi Pemerintah Daerah yang berwenang di bidang
Pelestarian Cagar Budaya.
(5) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) dapat dicabut
apabila pelaksanaan kegiatan Revitalisasi tidak sesuai dengan prinsip
Pelestarian Cagar Budaya.

Bagian Keempat
Adaptasi

Pasal 137
(1) Adaptasi dapat dilakukan terhadap Bangunan Cagar Budaya dan/atau
Struktur Cagar Budaya, dengan melakukan kegiatan yang berupa:
a. mempertahankan nilai-nilai yang melekat;
b. menambah fasilitas sesuai kebutuhan;
c. mengubah susunan ruang secara terbatas; dan/atau
d. mempertahankan gaya arsitektur, konstruksi asli, dan
keharmonisan estetika lingkungan di sekitarnya.
(2) Adaptasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh
Instansi yang Berwenang di Bidang Pelestarian Cagar Budaya, Setiap
Orang dan/atau Masyarakat Hukum Adat.

Pasal 138
(1) Setiap Orang dan/atau Masyarakat Hukum Adat yang akan melakukan
Adaptasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 137 ayat (2) didasarkan
izin.
(2) Permohonan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada
Menteri, gubernur, atau bupati/wali kota sesuai dengan
kewenangannya.

75
(3) Permohonan izin untuk melakukan Adaptasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dengan syarat:
a. mengajukan surat permohonan berisi identitas pemohon, identitas
Bangunan Cagar Budaya dan/atau Struktur Cagar Budaya, jenis
kegiatan, tujuan kegiatan, jangka waktu kegiatan, dan lokasi;
b. melampirkan izin dari pemilik dan/atau yang mengusai Bangunan
Cagar Budaya dan/atau Struktur Cagar Budaya;
c. melampirkan rencana induk (master plan) kegiatan Adaptasi; dan
d. melampirkan hasil kajian teknis dari Unit Pelaksana Teknis.
(4) Gubernur, atau bupati/wali kota sesuai dengan kewenangannya
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat melimpahkan kewenangan
kepada instansi Pemerintah Daerah yang berwenang di bidang
Pelestarian Cagar Budaya.
(5) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) dapat dicabut
apabila pelaksanaan kegiatan Adaptasi tidak sesuai dengan prinsip
Pelestarian Cagar Budaya.

Pasal 139
Setiap orang dan/atau Masyarakat Hukum Adat yang melakukan kegiatan
Pengembangan wajib mendokumentasikan proses dan hasil kegiatan
Pengembangan dalam bentuk laporan, serta menyerahkannya kepada
pemberi izin.

Pasal 140
Ketentuan mengenai Pengembangan diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Menteri.

BAB VII
PEMANFAATAN

Bagian Kesatu
Umum

76
Pasal 141
(1) Pemanfaatan Cagar Budaya dilakukan dengan memperhatikan upaya
Pelestarian Cagar Budaya dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
(2) Pemanfaatan Situs Cagar Budaya dan/atau Kawasan Cagar Budaya
harus sesuai dengan Zonasi berdasarkan pembagian zona yang telah
ditetapkan.
(3) Pemanfaatan Cagar Budaya dapat dilakukan untuk kepentingan agama,
sosial, pendidikan, ilmu pengetahuan dan teknologi, kebudayaan, dan
pariwisata.
(4) Pemerintah dan Pemerintah Daerah melakukan pemantauan terhadap
Pemanfaatan yang dilakukan oleh Setiap Orang dan/atau Masyarakat
Hukum Adat.

Pasal 142
Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri melakukan pembinaan dan
pengawasan terhadap pemanfaatan Benda Cagar Budaya milik Pemerintah
Indonesia atau Warga Negara Indonesia yang berada di luar negeri.

Bagian Kedua
Pemanfaatan untuk Kepentingan Agama

Pasal 143
(1) Pemanfaatan Cagar Budaya untuk kepentingan agama sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 141 ayat (3) dapat dilakukan untuk kegiatan
penyelenggaraan perayaan hari besar dan upacara/ritual keagamaan.
(2) Pemanfaatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilaksanakan
pada semua zona.
(3) Pemanfaatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dipungut
biaya.

Pasal 144

77
(1) Pemanfaatan Cagar Budaya untuk kepentingan agama sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 143 didasarkan izin, kecuali untuk living
monument.
(2) Permohonan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan syarat:
a. mengajukan surat permohonan yang berisi identitas penanggung
jawab kegiatan, bentuk perayaan dan upacara, waktu pelaksanaan,
dan jumlah peserta; dan
b. melampirkan proposal kegiatan.
(3) Jumlah peserta sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a harus
disesuaikan dengan luas Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar
Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya.

Bagian Ketiga
Pemanfaatan untuk Kepentingan Sosial

Pasal 145
(1) Pemanfaatan Cagar Budaya untuk kepentingan sosial sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 141 ayat (3) dapat dilakukan untuk kegiatan
sosial kemasyarakatan.
(2) Pemanfaatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus tetap
memperhatikan dan menghormati nilai yang terkandung dalam Cagar
Budaya dan dapat meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap Cagar
Budaya.
(3) Pemanfaatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilaksanakan
pada Zona Penyangga, Zona Pengembangan, Zona Pendukung, dan
Zona Penunjang.
(4) Pemanfaatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk living
monument dapat dilaksanakan pada semua Zona.

Pasal 146
(1) Pemanfaatan Cagar Budaya untuk kegiatan sosial kemasyarakatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 145 didasarkan izin.
(2) Permohonan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan syarat:

78
a. mengajukan surat permohonan yang berisi identitas penanggung
jawab kegiatan, bentuk kegiatan sosial, waktu pelaksanaan, jumlah
peserta; dan
b. melampirkan proposal kegiatan.
(3) Jumlah peserta sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a harus
disesuaikan dengan luas Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar
Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya.

Bagian Keempat
Pemanfaatan untuk Kepentingan Pendidikan

Pasal 147
(1) Pemanfaatan Cagar Budaya untuk kepentingan pendidikan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141 ayat (3) dapat dilakukan
melalui kegiatan:
a. kemah budaya;
b. lokakarya; dan
c. kegiatan lainnya yang bertujuan meningkatkan pengetahuan,
pemahaman, dan kesadaran masyarakat tentang Pelestarian Cagar
Budaya.
(2) Pemanfaatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus tetap
memperhatikan dan menghormati nilai yang terkandung dalam Cagar
Budaya dan dapat meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap Cagar
Budaya.
(3) Pemanfaatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilaksanakan
pada semua Zona.

Pasal 148
(1) Pemanfaatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 147 didasarkan izin.
(2) Permohonan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan syarat:
a. mengajukan surat permohonan yang berisi identitas penanggung
jawab kegiatan, bentuk kegiatan pendidikan, waktu pelaksanaan,
jumlah peserta; dan

79
b. melampirkan proposal kegiatan.
(3) Jumlah peserta sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a harus
disesuaikan dengan luas Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar
Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya.

Bagian Kelima
Pemanfaatan untuk Kepentingan
Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

Pasal 149
(1) Pemanfaatan Cagar Budaya untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan
teknologi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141 ayat (3) dapat
dilakukan melalui kegiatan Penelitian dengan memanfaatkan Cagar
Budaya sebagai objek Penelitian, serta kegiatan lain yang bertujuan
untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan/atau teknologi.
(2) Pemanfaatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus tetap
memperhatikan dan menghormati nilai yang terkandung dalam Cagar
Budaya, meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap Cagar Budaya,
dan/atau meningkatkan ilmu pengetahuan dan/atau teknologi yang
berbasis pada nilai-nilai kearifan budaya lokal.
(3) Pemanfaatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilaksanakan
pada semua Zona.

Pasal 150
(1) Pemanfaatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 149 didasarkan izin.
(2) Permohonan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan syarat:
a. mengajukan surat permohonan yang berisi identitas koordinator
kegiatan, bentuk kegiatan kebudayaan, waktu pelaksanaan, dan
jumlah peserta; dan
b. melampirkan proposal kegiatan.
(3) Jumlah peserta sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a harus
disesuaikan dengan luas Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar
Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya.

80
Bagian Keenam
Pemanfaatan untuk Kepentingan Kebudayaan

Pasal 151
(1) Pemanfaatan Cagar Budaya untuk kepentingan kebudayaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141 ayat (3) dapat dilakukan
melalui kegiatan pagelaran, festival, pameran seni dan budaya, dan
kegiatan lain yang bertujuan meningkatkan upaya Pelestarian,
memperkuat identitas nilai budaya, serta meningkatkan promosi
budaya.
(2) Pemanfaatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus tetap
memperhatikan dan menghormati nilai yang terkandung dalam Cagar
Budaya, meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap Cagar Budaya
dan kearifan lokal.
(3) Pemanfaatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilaksanakan
pada Zona Penyangga, Zona Pengembangan, Zona Pendukung, dan
Zona Penunjang.
(4) Pemanfaatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk living
monument dapat dilakukan pada semua Zona.

Pasal 152
(1) Pemanfaatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 didasarkan izin.
(2) Permohonan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan syarat:
a. mengajukan surat permohonan yang berisi identitas penanggung
jawab kegiatan, bentuk kegiatan budaya, waktu pelaksanaan, dan
jumlah peserta; dan
b. melampirkan proposal kegiatan.
(3) Jumlah peserta sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a harus
disesuaikan dengan luas Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar
Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya.

Bagian Ketujuh

81
Pemanfaatan untuk Kepentingan Pariwisata

Pasal 153
(1) Pemanfaatan Cagar Budaya untuk kepentingan pariwisata sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 141 ayat (3) dapat dilakukan melalui kegiatan
kunjungan wisata dan kegiatan lain yang bertujuan untuk wisata religi,
wisata minat khusus, wisata arkeologi, atau wisata alam yang berkaitan
dengan Cagar Budaya.
(2) Pemanfaatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus tetap
memperhatikan dan menghormati nilai yang terkandung dalam Cagar
Budaya, meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap Cagar Budaya,
dan kesejahteraan masyarakat.
(3) Pemanfaatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilaksanakan
pada semua Zona.

Pasal 154
(1) Pemanfaatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 153 untuk wisata
arkeologi didasarkan izin.
(2) Permohonan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan syarat:
a. mengajukan surat permohonan yang berisi identitas penanggung
jawab kegiatan, bentuk kegiatan pariwisata, waktu pelaksanaan,
dan jumlah peserta; dan
b. melampirkan proposal kegiatan dan mengisi surat pernyataan
tentang kesanggupan untuk menjaga kelestarian Cagar Budaya
sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Jumlah peserta sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a harus
disesuaikan dengan luas Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar
Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya.

Bagian Kedelapan
Izin dan Pelaksanaan Pemanfaatan

Pasal 155

82
(1) Izin Pemanfaatan Cagar Budaya diajukan kepada Menteri, gubernur,
atau bupati/wali kota sesuai dengan kewenangannya.
(2) Gubernur atau bupati/wali kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat melimpahkan kewenangannya kepada Instansi Pemerintah
Daerah yang Berwenang di Bidang Pelestarian Cagar Budaya.
(3) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat dicabut
apabila pelaksanaan kegiatan Pemanfaatan Cagar Budaya tidak sesuai
dengan tujuannya.

Pasal 156
Pelaksanaan Pemanfaatan Cagar Budaya harus dikonsultasikan kepada
dan didampingi oleh Unit Pelaksana Teknis dan/atau Instansi Pemerintah
Daerah yang berwenang di bidang Pelestarian Cagar Budaya sesuai dengan
kewenangannya.

Bagian Kesembilan
Pemberian Fasilitasi Pemanfaatan dan Promosi

Pasal 157
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah memfasilitasi Pemanfaatan dan
promosi Cagar Budaya yang dilakukan oleh Setiap Orang dan/atau
Masyarakat Hukum Adat.
(2) Fasilitasi Pemanfaatan dan promosi Cagar Budaya sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. pemberian izin Pemanfaatan;
b. dukungan Tenaga Ahli Pelestarian;
c. dukungan dana; dan/atau
d. pelatihan.
(3) Fasilitasi Pemanfaatan dan promosi Cagar Budaya sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat diberikan terhadap
Pemanfaatan yang:
a. mengutamakan kelestarian;
b. menambah potensi nilai Cagar Budaya; dan

83
c. memberdayakan masyarakat.
(4) Setiap Orang dan/atau Masyarakat Hukum Adat dapat memperoleh
fasilitasi Pemanfaatan dan promosi Cagar Budaya sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dengan mengajukan permohonan
kepada Menteri, gubernur, atau bupati/wali kota sesuai dengan
kewenangannya.

Bagian Kesepuluh
Pemanfaatan yang dapat Menyebabkan Terjadinya Kerusakan

Pasal 158
(1) Pemanfaatan Cagar Budaya oleh Setiap Orang dan/atau Masyarakat
Hukum Adat yang dapat menyebabkan terjadinya kerusakan wajib
didahului kajian dan Penelitian.
(2) Setiap Orang dan/atau Masyarakat Hukum Adat yang memanfaatkan
Cagar Budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyerahkan
proposal dan mempresentasikan kegiatan Pemanfaatan pada saat
pengajuan permohonan izin kepada Menteri, gubernur, atau bupati/wali
kota sesuai dengan kewenangannya, apabila dapat menimbulkan
kerusakan terhadap Cagar Budaya, beserta nilainya.
(3) Dalam hal kegiatan pemanfaatan dapat menimbulkan kerusakan
dan/atau pencemaran lingkungan cagar budaya wajib disertai izin
lingkungan dari instansi lingkungan hidup.
(4) Pemberi izin memverifikasi proposal beserta kajian, Penelitian, dan/atau
analisis mengenai dampak lingkungan.

Bagian Kesebelas
Pemanfaatan dengan Cara Perbanyakan

Pasal 159
(1) Setiap Orang dan/atau Masyarakat Hukum Adat dapat melakukan
Pemanfaatan Benda Cagar Budaya dengan cara Perbanyakan hanya

84
dengan izin Menteri, gubernur, atau bupati/wali kota sesuai dengan
kewenangannya.
(2) Perbanyakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan syarat:
a. mengajukan surat permohonan yang berisi identitas pihak yang akan
melakukan Perbanyakan;
b. melampirkan rencana Perbanyakan yang memuat ukuran, bahan,
bentuk, warna, corak, dan gaya Perbanyakan yang sama dengan
bentuk asli;
c. melampirkan teknik, alat, dan proses Perbanyakan, yang tidak
merusak dan/atau mengurangi bentuk asli Benda Cagar Budaya
serta nilai yang terkandung di dalamnya; dan
d. untuk kepentingan koleksi Museum, Penelitian dan pendidikan.
(3) Perbanyakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terhadap Benda
Cagar Budaya yang dimililiki dan/atau dikuasai Setiap Orang dan/atau
Masyarakat Hukum Adat, dilakukan dengan seizin pemilik dan/atau
yang menguasainya.
(4) Gubernur atau bupati/wali kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dapat melimpahkan kewenangannya kepada instansi Pemerintah
Daerah yang berwenang di bidang Pelestarian Cagar Budaya.
(5) Hasil Perbanyakan Benda Cagar Budaya harus diberi tanda.
(6) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4)
dapat dicabut apabila pelaksanaan Perbanyakan tidak sesuai dengan
tujuannya.

Bagian Keduabelas
Pendokumentasian Cagar Budaya

Pasal 160
(1) Setiap Orang dan/atau Masyarakat Hukum Adat dapat melakukan
pendokumentasian Cagar Budaya untuk kepentingan komersial hanya
dengan izin Menteri, gubernur, atau bupati/wali kota sesuai dengan
kewenangannya.

85
(2) Pendokumentasian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
dengan syarat:
a. mengajukan surat permohonan yang memuat identitas pemohon,
tujuan pendokumentasian, bentuk pendokumentasian, dan waktu
pelaksanaan;
b. tidak menyebabkan kerusakan, mengurangi keaslian serta nilai-nilai
yang terkandung di dalamnya; dan
c. menyerahkan hasil dokumentasi kepada pemberi izin dan kepada
pemilik dan/atau yang menguasai Cagar Budaya.
(3) Pendokumentasian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
terhadap Benda Cagar Budaya yang dimililiki dan/atau dikuasai Setiap
Orang dan/atau Masyarakat Hukum Adat, dilakukan dengan seizin
pemilik dan/atau yang menguasainya.
(4) Gubernur, atau bupati/wali kota dalam memberikan izin sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), harus memperoleh rekomendasi terlebih
dahulu dari Unit Pelaksana Teknis dan/atau instansi Pemerintah
Daerah yang berwenang di bidang Pelestarian Cagar Budaya.
(5) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4)
dapat dicabut apabila pelaksanaan pendokumentasian tidak sesuai
dengan tujuannya.

Pasal 161
Ketentuan mengenai Pemanfaatan diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Menteri.

BAB VIII
PENGELOLAAN KAWASAN CAGAR BUDAYA

Pasal 162
(1) Pengelolaan Kawasan Cagar Budaya dilakukan oleh badan pengelola.
(2) Badan pengelola sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk oleh
Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau Masyarakat Hukum Adat.

86
(3) Badan pengelola sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
dapat terdiri atas unsur Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah,
dunia usaha, dan masyarakat.
(4) Dunia usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat terdiri atas:
a. BUMN;
b.BUMD; dan/atau
c. BUMS.

Pasal 163
(1) Badan pengelola yang dibentuk oleh Pemerintah ditetapkan oleh Menteri
berdasarkan kriteria:
a. Kawasan Cagar Budaya peringkat nasional;
b. Kawasan Cagar Budaya yang sudah ditetapkan sebagai warisan dunia
atau Cagar Budaya bersifat internasional; atau
c. Kawasan Cagar Budaya milik Masyarakat Hukum Adat terletak di dua
provinsi atau lebih.
(2) Badan pengelola sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
lembaga non struktural dan mandiri serta bertanggung jawab kepada
Menteri.

Pasal 164
(1) Badan pengelola yang dibentuk oleh Pemerintah Daerah ditetapkan oleh
gubernur atau bupati/walikota berdasarkan kriteria Kawasan Cagar
Budaya peringkat provinsi atau kabupaten/kota.
(2) Badan pengelola sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
lembaga non struktural dan mandiri serta bertanggung jawab kepada
Pemerintah Daerah.

Pasal 165
(1) Badan pengelola yang dibentuk oleh Masyarakat Hukum Adat
ditetapkan oleh gubernur atau bupati/walikota sesuai dengan
kewenangannya.

87
(2) Badan pengelola sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
lembaga non struktural dan mandiri serta bertanggung jawab kepada
Pemerintah Daerah.

Pasal 166
Badan pengelola mempunyai tugas:
a. melakukan pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan Kawasan
Cagar Budaya.
b. melakukan pengendalian pemanfaatan Kawasan Cagar Budaya.
c. melakukan koordinasi dan sinkronisasi pemanfaatan Kawasan Cagar
Budaya.
d. melakukan evaluasi pelaksanaan pengelolaan Kawasan Cagar Budaya.
e. melaporkan pelaksanaan Pengelolaan Kawasan Cagar Budaya kepada
Menteri.

Pasal 167
Dalam melaksanakan tugasnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 164,
badan pengelola berkoordinasi dengan Kementerian terkait dan pemerintah
daerah di provinsi dan kabupaten/kota.

BAB IX
PENGAWASAN

Pasal 168
(1) Pengawasan terhadap Pelestarian Cagar Budaya dilakukan Pemerintah
dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya.
(2) Setiap Orang dan/atau Masyarakat Hukum Adat ikut berperan serta
dalam pengawasan Pelestarian Cagar Budaya.

Pasal 169
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 168 ayat (1) dalam melakukan Pengawasan dilaksanakan secara
fungsional maupun struktural.

88
(2) Pemerintah dan Pemerintah Daerah melakukan Pengawasan Pelestarian
Cagar Budaya yang dilakukan Setiap Orang dan/atau Masyarakat
Hukum Adat melalui Unit Pelaksana Teknis dan/atau instansi
Pemerintah Daerah yang berwenang di bidang Pelestarian Cagar
Budaya.

Pasal 170
(1) Setiap Orang dan/atau Masyarakat Hukum Adat berperan serta dalam
pengawasan Pelestarian Cagar Budaya sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 169 ayat (2) dengan cara:
a. memantau upaya Pelestarian Cagar Budaya;
b. mencegah terjadinya pelanggaran;
c. meminta informasi kepada instansi atau pihak terkait;
d. memberi masukan terhadap upaya Pelestarian Cagar Budaya ;
e. melaporkan terjadinya pelanggaran; dan/atau
f. mengajukan gugatan perwakilan kelompok atau gugatan oleh
Lembaga Swadaya Masyarakat terhadap perbuatan melawan hukum
yang berkaitan dengan Cagar Budaya.
(2) Laporan oleh Setiap Orang dan/atau Masyarakat Hukum Adat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e disampaikan kepada:
a. Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang lingkup tugas dan tanggung
jawabnya di bidang pelestarian Cagar Budaya; atau
b. Kepolisian Negara Republik Indonesia.
(3) Laporan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf b disampaikan dalam hal belum ada
Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang diangkat.
(4) Dalam hal Penyidik Pegawai Negeri Sipil belum dapat melaksanakan
tugas dan fungsinya, tindakan penyelidikan dan penyidikan diambil alih
oleh penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia.

BAB X
INSENTIF DAN KOMPENSASI

89
Bagian Kesatu
Umum

Pasal 171
(1) Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah dapat memberikan insentif
kepada Setiap Orang atau Masyarakat Hukum Adat yang memiliki
dan/atau menguasai Cagar Budaya yang telah melakukan Pelindungan
Cagar Budaya.
(2) Insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
a. fasilitas perpajakan berupa penguranan pajak bumi dan bangunan
dan/atau pajak penghasilan sesuai dengan ketentuan perundang-
undangan dibidang perpajakan;
b. advokasi;
c. tenaga teknis;
d. tenaga ahli;
e. sarana dan prasarana; dan/atau
f. tanda penghargaan.
(3) Pelaksanaan pemberian fasilitas perpajakan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf a dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perpajakan yang berlaku.
(4) Ketentuan mengenai tata cara pengajuan dan pemberian insentif
sebagaimanaa dimaksud pada ayat (2) huruf b sampai dengan huruf f
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri.

Pasal 172
(1) Kompensasi dapat diberikan oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah
Daerah kepada:
a. Setiap Orang dan/atau Masyarakat Hukum Adat yang menemukan
Objek yang Diduga Cagar Budaya yang temuannya ditetapkan
sebagai Cagar Budaya; dan/atau
b. pemilik dan/atau yang menguasai Cagar Budaya yang telah
melakukan Pelindungan Cagar Budaya.

90
(2) Ketentuan mengenai tata cara pemberian kompensasi diatur dengan
Peraturan Menteri.

BAB XI
PENDANAAN

Pasal 173
(1) Pendanaan Pelestarian Cagar Budaya dan/atau yang diduga Cagar
Budaya menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah,
Pemerintah Daerah, dan masyarakat.
(2) Dana Pelestarian Cagar Budaya berasal dari:
a. APBN untuk cagar budaya peringkat nasional;
b. APBD untuk cagar budaya peringkat provinsi, kabupaten dan/atau
kota;
c. hasil pemanfaatan cagar budaya; dan/atau
d. sumber lain yang sah dan tidak mengikat sesuai dengan ketentuan
perundangan yang berlaku.
(3) Dalam hal pemerintah daerah dan masyarakat tidak mampu
menyediakan dana untuk Pelestarian Cagar Budaya dan/atau yang di
duga Cagar Budaya maka Pemerintah dapat mengalokasikan anggaran
pendukungan.
(4) Kriteria cagar budaya yang mendapat pendukungan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 174
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah menyediakan dana untuk
Penyelamatan Cagar Budaya dalam keadaan darurat dan penemuan
yang telah ditetapkan sebagai Cagar Budaya.
(2) Dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam bentuk
insentif dan/atau kompensasi.
(3) Pendanaan untuk Insentif dan Kompensasi disediakan oleh:

91
a. Pemerintah, dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara pada
bagian anggaran Kementerian yang membidangi kebudayaan; dan
b. Pemerintah Daerah, dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah pada bagian anggaran satuan kerja perangkat daerah yang
membidangi kebudayaan.

BAB XII
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 175
Pada saat berlakunya Peraturan Pemerintah ini semua ketentuan yang
mengatur Pelestarian Cagar Budaya dan Objek yang Diduga Cagar Budaya
masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan
Pemerintah ini.

Pasal 176
(1) Benda Cagar Budaya dan/atau Situs Cagar Budaya yang pernah
ditetapkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang
Benda Cagar Budaya masih tetap diakui sepanjang tidak bertentangan
dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya.
(2) Dalam hal Benda Cagar Budaya dan/atau Situs Cagar Budaya yang
pernah ditetapkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992
tentang Benda Cagar Budaya tidak sesuai dengan Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, dilakukan penyesuaian
peringkat dan klasifikasi.

BAB XIII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 177
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

92
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

SUSILO BAMBANG YUDHOYONO


Diundangkan di Jakarta
pada tanggal
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

AMIR SYAMSUDDIN

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN NOMOR ...

93

Anda mungkin juga menyukai