Anda di halaman 1dari 5

Rabu 27 september 2017

PPI(Pencegahan Penularan Infeksi)

Dalam rangka menurunkan AKI dari 390 per 100.000 kelahiran menjadi 102 per
100.000 kelahiran AKB dari 69 per 1000 kelahiran menjadi 23 per 100 kelahiran, perlu
dilaksanakan upaya terpadu dalam menangani permasalahan dan penyakit yang terjadi pada
masa hamil, bersalin, nifas dan bayi neonatus, khususnya dalam menangani kasus
kedaruratan obstetri dan neonatus. Untuk memperkuat pencapaian indikator kunci Making
Pregnancy Safer/MPS dan Millenium Development Goals (MDGS), Renstra Kementerian
Kesehatan 2010-2015 menetapkan bahwa seluruh puskesmas kecamatan di Indonesia harus
memberikan pelayanan Obstetri Neonatal Emergensi Dasar (PONED) selama 24 jam.

Sehubungan dengan hal tersebut diatas dalam rangka meningkatkan efektifitas


penanganan PONED di Puskesmas, maka pengendalian penyakit infeksi penting
dilaksanakan, mengingat dewasa ini di Indonesia telah memasuki epidemi HIV/AIDS
gelombang kelima yang ditandai dengan munculnya kasus HIV/AIDS pada ibu rumah
tangga/para isteri, bahkan Ibu dengan janin yang sedang dikandungnya. Data sampai 2001
tercatat 2000 kasus HIV/AIDS yang dilaporkan di Indonesia dan sepertiga diantaranya adalah
wanita. Ternyata kasus infeksi HIV bertambah lebih cepat diantara wanita dan dalam waktu
yang tidak terlalu lama akan menyusul jumlah infeksi pada laki-laki. Kasus HIV (+) tidak
menampilkan gejala dan tanda klinik yang spesifik, tetapi dapat menularkan penyakit
sebagaimana kasus Hepatitis B(+). Sementara itu dalam melakukan pengelolaan kasus
HIV/AIDS, petugas mesehatan dapat terinfeksi bila terjadi kontak dengan cairan tubuh/darah
pasien.

Dalam memberikan pelayanan kesehatan terhadap ibu hamil, bersalin dan nifas,
ataupun diluar masa itu, petugas kesehatan selalu memiliki risiko terinfeksi oleh
mikroorganisme melalui darah/cairn tubuh. Maka setiap petugas pelaksana pelayanan
kesehatan perlu memegang prinsip-prinsip pencegahan infeksi, khususnya prinsip
Kewaspadaan Universal (KU). Kewaspadaan Universal adalah pedoman yang ditetapkan
untuk mencegah penyebaran berbagai penyakit yang ditularkan melalui darah/cairan tubuh di
lingkungan rumah sakit atau sarana kesehatan lainnya. Konsep yang dianut adalah bahwa
semua darah/cairan tubuh harus dikelola sebagai sumber yang dapat menularkan HIV,
Hepatitis B dan berbagai penyakit lain yang ditularkan melalui darah/cairan tub

Pelaksanaan Kewaspadaan Universal.

Petugas kesehatan harus secara rutin memakai sarana yang dapat dipakai untuk
mencegah kontak kulit/selaput lendir dengan darah/cairan tubuh lainnya dari pasien yang
dilayaninya. Setiap petugas kesehatan harus :

1. Menggunakan sarung tangan bila menyentuh darah/cairan tubuh, selaput lendir atau
kulit yang tidak utuh
2. Mengelola peralatan dan sarana kesehatan yang tercemar darah/cairan tubuh
3. Mengerjakan fungsi vena atau prosedur lain yang menyangkut pembuluh darah
4. Sarung tangan harus selalu diganti setiap selesai kontak dengan seorang pasien
5. Memakai masker/pelindung mata/pelindung wajah bila mengerjakan prosedur yang
memungkinkan terjadinya cipratan darah/cairan tubuh guna mencegah terpaparnya
selaput lendir pada mulut, hidung dan mata
6. Memakai pakaian kerja khusus selama melakukan tindakan yang mungkin
menimbulkan cipratan darah/cairan tubuh.

Tangan dan bagian tubuh lainnya harus segera dicuci dengan sabun dan air mengalir
sebersih mungkin bila terpapar darah/cairan tubuh. Cuci tangan harus dilakukan setiap kali
melepas sarung tangan.

Petugas kesehatan harus selalu waspada terhadap kemungkinan tertusuk jarum, pisau dan
benda/alat tajam lainnya selama membersihkan/mencuci peralatan, membuang sampah atau
membenahi peralatan setelah berlangsungnya prosedur/tindakan.

Untuk mencapai tujuan ini, jangan menutup kembali jarum suntik setelah dipakai, jangan
sengaja membengkokkan jarum suntik dengan tangan, jangan melepas jarum suntik dari
tabungnya atau melakukan apapun pada jarum suntik dengan menggunakan tangan terbuka.
Setelah semua benda tajam selesai digunakan, maka harus ditaruh dalam wadah khusus yang
tahan/anti tusukan. Kemudian wadah kumpulan benda tajam harus terjamin aman untuk
dibawa ke tempat pemrosesan alat atau dalam proses pengenyahannya.

Walaupun air liur belum terbukti menularkan HIV, tindakan resusitasi dari mulut ke
mulut harus dihindari. Jadi setiap tempat dimana terdapat kemungkinan resusitasi, perlu
tersedia alat resusitasi.

Petugas kesehatan yang mengalami luka atau lesi yang mengeluarkan cairan, misalnya
dermatitis basah, harus menghindari tugas yang bersifat kontak langsung dengan peralatan
bekas pakai pasien.

Petugas kesehatan yang hamil tidak mempunyai risiko lebih besar untuk tertular HIV.
Namun demikian, bila terjadi infeksi HIV selama kehamilan, janin yang dikandungnya
berisiko untuk mengalami transmisi perinatal. Karena itu petugas kesehatan yang sedang
hamil harus lebih memperhatikan segala prosedur yang dapat menghindari penularan HIV.

Dengan menerapkan KU, setiap petugas kesehatan akan terlindung secara maksimal dari
kemungkinan terkena infeksi penyakit yang ditularkan melalui darah/cairan tubuh, baik dari
kasus yang terdiagnosis maupun yang tidak terdiagnosis.

Dalam pelaksanaan kewaspadaan universal disadari bahwa diagnosis dini adanya infeksi
oleh mikroorganisme pada pasien penting peranannya dalam keberhasilan penangan kasus.
Akan tetapi berdasarkan berbagai pertimbangan saat ini, penapisan terhadap berbagai infeksi
virus tidak mungkin dilakukan secara rutin,. Bahkan pada infeksi HIV terdapat Window
Period dimana pada masa tersebut darah/cairan tubuh sudah dapat menularkan infeksi,
walaupun adanya HIV belum dapat terdeteksi melalui pemeriksaan laboratorium. Karena itu
prinsip KU dalam pencegahan infeksi merupakan kunci utama keberhasilan memutuskan
rantai transmisi penyakit yang ditularkan melalui darah/cairan tubuh lainnya.

Kewaspadaan dalam tindakan medik dilakukan dengan mentaati semua prosedur


pembedahan yang membuka jaringan organ, pembuluh darah dan pertolongan persalinan atau
tindakan abortus, termasuk tindakan medik invasif berisiko tinggi menularkan HIV bagi
tenaga kesehatan. Untuk memutuskan rantai penularan, perlu pembatas berupa :

1. Kacamata pelindung untuk menghindari percikan cairan tubuh ke mata


2. Masker pelindung hidung/mulut untuk mencegah percikan pada mukosa hidung/mulut
3. Plastik penutup badan (apron) untuk mencegah kontak dengan darah/cairan tubuh
pasien
4. Sarung tangan yang sesuai untuk pelindung tangan yang aktif melakukan tindakan
medik invasif
5. Penutup kaki untuk melindungi kaki dari cairan yang infektif.

Kegiatan di unit gawat darurat pada umumnya melayani kasus gawat darurat awal di suatu
rumah sakit, harus meyediakan peralatan yang berkaitan dengan pelaksanaan KU. Sara
seperti sarung tangan, masker dan gaun khusus harus selalu ada, mudah dicapai dan mudah
dipakai.

Kegiatan di kamar operasi, seperti :

1. Dalam prosedur operasi. Selain kontak langsung dengan darah, tertusuknya bagian
tubuh oleh benda tajam merupakan kejadian yang harus dicegah. Oleh karena itu bagian
instrumen yang tajam jangan diberikan dan dari operator oleh asisten atau ahli
instrumen. Untuk memudahkan hal ini dipakai nampan guna menyerahkan instrumen
tajam atau mengembalikannya. Operator bertanggungjawab menempatkan benda tajam
secara aman.
2. Pada saat menjahit. Pada saat menjahit lakukan sedemikian rupa sehingga jari/tangan
terhindar dari tusukan.
3. Memisahkan jaringan. Jangan gunakan tangan untuk memisahkan jaringan, karena hal
itu akan menambah risiko pemaparan infeksi melalui tangan operator.
4. Operator sulit. Untuk operasi yang membutuhkan waktu lebih dari 60 menit dan ruang
kerjanya sempit, dianjurkan unttuk menggunakan sarung tangan ganda.
5. Melepaskan baju operasi. Melepaskan baju operasi harus dilakukan sebelum membuka
sarung tangan agar tidak terpapar darah/cairan tubuh dari baju operasi.
6. Pencucian instrumen bekas Pakai. Pencucian instrumen bekas pakai dilakukan
sebaiknya secara mekanik. Bila mencuci instrumen secara manual, petugas harus
menggunakan sarung tangan rumah tangga dan instrumen sebelumnya telah di
dekontaminasi dengan merendam dalam larutan klorin 0,5% selama 10 menit.
7. Seorang dokter yang melakukan prosedur pembedahan sebaiknya telah diuji
kelayakannya untuk melakukan pembedahan secara khusus tersebut.

Kegiatan di kamar bersalin. Kegiatan di kamar bersalin, selain memperhatikan kebutuhan


pembatas yang telah disebutkan diatas, perlu diingatkan bahwa :

1. Kegiatan di kamar bersalin yang membutuhkan lengan/tangan untuk manipulasi


instrauterin harus menggunakan apron dan sarung tangan yang mencapai siku
2. Menolong bayi baru lahir harus menggunakan sarung tangan
3. Cara pengisapan lendir bayi dengan mulut harus ditinggalkan
4. Potong tali pusat diantara dua klem setelah diurut kearah ibu untuk menghindari
percikan darah
5. ASI dari ibu yang terinfeksi HIV berisiko untuk bayi baru lahir, tetapi tidak berisiko
untuk tenaga kesehatan.
Prosedur anestesi. Prosedur anestesi prosedur merupakan aktifitas yang dapat memaparkan
infeksi virus pada tenaga kesehatan. Beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah :

1. Perlu disediakan nampan/troli untuk alat yang telah selesai digunakan


2. Jarum harus dibuang segera setelah pemakaian ke wadah yang aman
3. Pakailah obat sedapat-dapatnyya untuk dosis satu kali pemberian
4. Menutup spuit adalah prosedur berisiko tinggi
5. Sangat dianjurkan bahwa petugas anestesi melalui uji kelayakan terlebih dahulu untuk
meminimalkan risiko terluka oleh jarum suntik//alat tajam lain yang tercemar
darah/cairan tubuh.

Manajemen untuk tenaga kesehatan yang terpapar darah/cairan tubuh, dapat dilakukan
dengan :

1. Paparan secara parenteral melalui tusukan jarum, kena potong dan lain-lain. Keluarkan
darah sebanyak mungkin, cuci tangan dengan sabun dan air mengalir
2. Paparan pada selaput lendir melalui percikan, seperti percikan pada : Mata, cucilah
mata dalam keadaan terbuka menggunakan air atau cairan NaCL; Mulut, keluarkan
cairan mengandung infeksi dengan cara berludah kemudian kumur dengan air beberapa
kali; Kulit, (kulit yang utuh, kulit yang sedang luka, lecet atau dermatitis). Cuci
sebersih mungkin dengan sabun dan air mengalir. Selanjutnya, mereka yang terpapar
ini perlu mendapatkan pemantauan HIV yang sesuai dan perhatian terhadap kondisi
kesehatannya.

Penanganan alat-alat yang terkontaminasi. Proses dasar pencegahan infeksi yang harus
digunakan untuk mengurangi transmisi penyakit dari peralatan, sarung tangan dan bahan-
bahan lain yang terkontaminasi adalah :

1. Pembuangan sampah dan dekontaminasi


2. Pencucian dan pembilasan
3. Sterilisasi
4. Desinfeksi tingkat tinggi.

Pembuangan sampah secara aman. Tujuan pembuangan sampah klinik secara benar adalah
:

1. Mencegah penyebaran infeksi kepada petugas klinik yang menangani sampah dan
kepada masyarakat
2. Melindungi orang-orang yang menangani sampah dari luka karena kecelakaan.

Sampah yang tidak terkontaminasi tidak memberikan risiko infeksi kepada orang yang
menangani sampah tersebut. Contoh sampah yang tidak terkontaminasi termasuk kertas,
kardus, botol dan wadah-wadah plastik yang merupakan produk rumah tangga biasa yang
digunakan di dalam klinik. Biar bagaimanapun, kebanyakan sampah suatu fasilitas kesehatan
adalah sampah terkontaminasi.

Sampah terkontaminasi dapat membawa mikroorganisme dalam jumlah besar yang


mempunyai potensi menularkan infeksi kepada orang yang kontak atau menangani sampah
tersebut dan juga kepada masyarakat jika sampah tersebut tidak ditangani dengan benar.
Sampah terkontaminasi termasuk darah, nanah, air seni, tinja dan cairan tubuh lainnya dan
juga termasuk bahan-bahan habis pakai yang terkena/kontak dengan darah, nanah dan
sebagainya. Sampah yang berasal dari ruang operasi harus dikatagorikan sebagai sampah
terkontaminasi. Sebagai tambahan sampah terkontaminasi, juga termasuk barang-barang yang
mungkin dapat menyebabkan luka (misalnya jarum suntik, scapel) atau dapat menyebarkan
penyakit melalui darah (Blood-Borne Disease) seperti Hepatitis B dan AIDS.

Penanganan yang benar terhadap sampah . Penanganan yang benar terhadap sampah akan
mengurangi penyebaran infeksi kepada petugas klinik dan kepada masyarakat setempat. Jika
memungkinkan, sampah yang tidak terkontaminasi harus ditransportasikan ke tempat
pembuangan sampah dalam wadah tertutup. Petugas yang menangani sampah harus
menggunakan sarung tangan tebal. Sampah terkontaminasi harus dibakar dalam insinerator
atau dikubur. Incinerator memberikan suhu yang tinggi dan membunuh mikroorganisme,
karena itu merupakan pilihan utama untuk menangani sampah terkontaminasi. Insinerator
juga mengurangi volume sampah yang perlu dikubur. Jika tidak terdapat incinerator semua
sampah terkontaminasi harus dikubur untuk mencegah sampah tersebut berhamburan
(Sumber: JHPIEGO IP Manual, Chapter 9:97, 1992).

Pemeliharaan lingkungan yang aman. Pemeliharaan lingkungan yang aman, dalam hal ini
bebas dari infeksi, merupakan proses yang berlangsung terus menerus dan memerlukan
pelatihan dan supervisi yang ketat, yang diulang secara berkala bagi staf klinik. Bila praktik
pencegahan infeksi diterapkan sebaik-baiknya, sesuai apa yang dianjurkan, infeksi yang
mungkin terjadi sebagai kelanjutan atau akibat pelayanan Keluarga Berencana dan
penyebaran penyakit seperti Hepatitis B dan HIV/AIDS dapat dihindari. Namun demikian
seluruh praktik pencegahan infeksi sesuai anjuran yang telah dijelaskan di atas harus
diterapkan secara tepat sebelum, selama dan sesudah tiap prosedur dilakukan. Keteledoran
pada setiap langkah dalam pelayanan rutin dapat mengakibatkan hasil yang buruk bagi
tingkat keamanan prosedur selanjutnya.

Sumber : Pelatihan Poned, Kemenkes RI, Pusdiklat Aparatur 2011.

Oleh : Ni Nyoman Kristina, SKM, MPH. WIDYAISWARA MUDA DINAS


KESEHATAN PROVINSI BALI

Anda mungkin juga menyukai