Anda di halaman 1dari 7

JOURNAL READING

Perbandingan efektivitas cetirizine dan loratadine untuk rhinitis alergi


pada anak

Pembimbing :
dr. Oki Fitriani, Sp. A, M. Sc.

Disusun oleh :
Mediani Nurdianty Sari
1102012160

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak


RSUD dr. Dradjat Prawiranegara Serang
Periode Mei - Juli 2017
Perbandingan efektivitas cetirizine dan loratadine untuk rhinitis alergi pada anak

Abstrak

Latar belakang: rhinitis alergi merupakan masalah kesehatan global yang mengenai 10-40% populasi
di dunia. Beberapa penelitian dalam beberapa tahun terakhir telah menjelaskan efektifitas dari
antihistamin generasi kedua pada anak kecil. Tetapi tidak dijelaskan bahwa cetirizine lebih efektif
dibandingkan loratadine dalam mengurangi gejala pada rhinitis alergi.

Objektif: objek dari penelitian ini adalah membandingkan efektivitas dari loratadine dan ceitirizen
untuk pengobatan rhinitis alergi.

Metode: dengan melakukan secara acak, double-blind, percobaan terkontrol pada 100 anak, dengan
usia 13 sampai 16 tahun, dari oktober sampai November 2009 pada anak kelas 2 SMP di Medan. Grup
pertama mendapat 10 mg cetirizine dan grup kedua mendapat 10 mg loratadine, satu kali sehari di
pagi hari selama 14 hari. Efektivitas obat dinilai dari skor gejala dan evaluasi dari respon pengobatan
setelah 3 hari, 7 hari, dan 14 hari pengobatan.

Hasil: efektivitas cetirizine dibandingkan dengan loratadine tidak terlalu signifikan secara statistic
pada pengurangan gejala rhinitis setelah 3 hari, 7 hari, dan 14 hari pengobatan (P=0,40, P0.07, dan
P=0.057). Evaluasi terhadap efek samping, terungkap secara signifikan beberapa orang di grup
cetirizen mengalami sakit kepala setelah 3 hari dan 7 hari pengobatan (P=0.01 dan P=0.03)
dibandingkan grup loratadin. Pada grup loratadine beberapa terdapat efek samping yaitu palpitasi
setelah 7 hari pengobatan.

Kesimpulan: tidak ada perbedaan yang signifikan pada cetirizine dan loratadine untuk pengobatan
rhinitis alergi. Tetapi, pada loratadine ditemukan nyeri kepala dan palpitasi dibandingkan cetirizine.

Latar Belakang

Rinitis alergi merupakan masalah kesehatan yang global, menyerang 10-40% populasi
di dunia. Rinitis alergi yang bergejala mengurangi kualitas hidup dan berkontribusi dalam
penurunan nilai psikologi dan fungsi kognitif.

Antihistamine merupakan landasan pengobatan untuk rhinitis alergi, salah satunya


adalah cetirizine dan loratadine sebagai antihistamin generasi kedua. Cetirizine dan loratadine
mempunyai sifat antagonis terhadap reseptor histamine H1. Dan metabolismenya dapat
mengacu ke efek sedative dan efek yang kardiotoksik. Loratadine 98% di metabolism di
dalam hati dan di ekskresi oleh ginjal, sedangkan cetirizine metabolismenya tidak melibatkan
hati, meskipun sebagian besar diekskresikan oleh ginjal. Bucks dkk menemukan bahwa
cetirizine enam kali lebih ampuh dibandingkan loratadine, dengan demikian dosis tinggi
loratadine dapat menghasilkan hasil yang sama. Antihistamin generasi kedua lainnya, seperti
terfenadine dan astemizole, mempunyai efek yang mirip bila dibandingkan dengan cetirizine,
tetapi obat ini di metabolism cepat di hati dan mempunyai efek kardiotoksik. Tujuan dari
penelitian ini adalah membandingkan efektivitas cetirizine dan loratadine untuk pengobatan
rhinitis alergi pada anak.

Metode

Kami melakukan secara acak, double-blind, dan percobaan terkontrol dari Oktober
hingga November 2009 pada anak SMP kelas 2 di Medan. Data dikumpulkan dengan
menggunakan kuisioner. Pasien yang terdaftar di penelitian jika mereka mempunyai gejala
rhinitis alergi (pilek, bersin-bersin, terasa sesak, gatal pada mata, kemerahan pada mata, tidur
yang terganggu, fungsi kognitif yang terganggu atau tidak hadir di sekolah karena penyakit
ini) dan bersifat atopic. Kami memasukkan kriteria anak berusia 13 sampai 16 tahun yang
didiagnosa dengan rhinitis alergi yang sudah dibuktikan dengan pemeriksaan hidung. Untuk
mengevaluasi keparahan dari penyakit ini, kami menggunakan sistem skor untuk rhinitis
alergi, yaitu: 0= tidak terdapat gejala, 1= gejala yang ringan tidak mengganggu aktivitas
sehari-hari dan/atau tidur, 2= gejala yang sedang dan beberapa kali mengganggu aktivitas
sehari-hari dan/ tidur, dan 3= gejala yang berat dengan terganggunya aktivitas sehari-hari
dan/ tidur. Kami mengeluarkan subjek dengan riwayat asma, sinusitis, otitis media,
abnormalitas anatomi hidung, menggunakan kortikosteroid dalam waktu dua minggu setelah
tes dosis pertama, menggunakan oral atau topical dekongestan dan antihistamin dalam 24 jam
dari tes dosis pertama, dan yang menolak untuk mengkonsumsi obat tersebut.

Pasien dibagi kedalam dua grup dengan pengacakan yang simple menggunakan tabel
acak. Grup I mendapatkan cetirizine 10 mg, dan grup II mendapatkan 10 mg loratadine, dan
pengobatan tersebut diminum sekali sehari selama 14 hari.

Kami megevaluasi pasien pada visit pertama untuk skrining, setelah 3 hari (visit ke 2),
setelah 7 hari (visit ke 3), setelah 14 hari (visit ke empat) selama pengobatan. Subjek tidak
diperbolehkan untuk mengkonsumsi antihistamin lainnya atau kortikosteroid selama masa
pengobatan.

Efektivitas pengobatan dinilai dari perubahan gejala dan efek samping yang dinilai
setelah pengobatan selama 3 hari, 7 hari dan 14 hari pengobatan. Gejala-gejala diobservasi
dan pemeriksaan fisik dilakukan saat visit.

Chi square di gunakan untuk menganalisa efek pengobatan dan efek sampingnya.
Perbedaan yang signifikan bila P<0,05.
Hasil

Kami menskrining 475 murid, dimana 150 anak terkena rhinitis alergi. 50 murid
dikeluarkan dari penelitian ini karena: 40 murid dibawah 13 tahun, 5 anak menolak untuk
berpartisipasi, dan 5 anak lainnya sudah mengkonsumsi antihistamin. 100 murid lainnya
dibagi secara acak dalam 2 grup, 50 orang mendapat 10 mg loratadine, dan 50 orang lainnya
mendapatkan 10 mg cetirizine.

Karakteristik subjek terlihat pada tabel 1, usia rata-rata pada grup cetirizine adalah
13.40 tahun dan grup loratadine adalah 13.38 tahun. Diantaranya 34 perempuan pada grup
cetirizine (68%) dan 29 di grup loratadine (58%). Pada visit pertama, 21 murid pada grup
cetirizine mempunyai skor gejala sedang pada rhinitis alergi dan 29 murid memiliki gejala
yang berat. Pada grup loratadine 16 memiliki gejala yang sedang dan 34 memiliki gejala yang
berat.
Tabel ke 2 menunjukkan skor rhinitis alergi di hari ke 3,7 dan 14 dari pengobatan.
Pada hari ke 3 dan ke 7, terdapat pengurangan gejala di kedua grup, tetapi tidak ada
perbedaan yang signifikan diantara kedua grup. Pada hari ke 14 subjek di kedua grup sudah
terbebas dari gejala. Tetapi tidak ada perbedaan yang signifikan diantara kedua grup.

Tabel ke 3 menunjukkan observasi gejala setelah hari ke 3,7,14 dari pengobatan. Terdapat
penurunan gejala dari kedua grup, tapi perbedaannya tidak terlalu signifikan.
Tabel ke 4 menunjukkan efek samping setelah pengobatan hari ke 3,7, 14. Tidak ada
perbedaan yang signifikan diantara kedua grup setelah hari ke 3 dan hari ke 7 setelah
pengobatan. Sakit kepala lebih banyak terjadi pada grup loratadine dibandingkan grup
cetirizine. Pada hari ke 7, kami mengobservasi bahwa kejadian palpitasi pada grup loratadine
terjadi lebih banyak dibandingkan grup cetirizine.

Diskusi

Diperkirakan 20 sampai 40 juta orang Amerika terkena rhinitis alergi. Menurut


International Study on Asthma and Allergy in childhood (ISAAC), prevalensi dari rhinitis
alergi adalah 1.4-39.7 % pada usia 13 sampai 14 tahun. Pada penelitian ini 32 % (150/475)
pada murid sudah di skrining mempunyai kondisi. Subjek penelitian ini adalah usia 13.4
tahun.

Diagnosis rhinitis alergi dibuat sesuai riwayat pasien dan hasil dari pemeriksaan fisik.
Gejala klasik merupakan hidung tersumbat, hidung gatal, bersin-bersin, pilek, mata berair,
riwayat keluarga rhinitis alergi, dan riwayat penyakit atopik, dan riwayat pengobatan. Tujuan
dari penelitian ini adalah mendiagnosis rhinitis alergi melalui gejala klasik rhinitis, terdapat
riwayat keluarga rhinitis alergi, riwayat penyakit atopic, dan pemeriksaan fisik.

Dalam penelitian ini tidak dilakukan tes diagnostic untuk menegakkan diagnosis
rhinitis alergi karena subjek menolak untuk memberikan sampel darah dan juga tidak setuju
dilakukan skin prick test. Tes diagnostic termasuk skin prick test, tes intradermal, dan tes
darah in vitro.

Antihistamin generasi kedua merupakan reseptor yang selektif terhadap H1 perifer.


Agen ini terkait dengan efek antikolinergik dan sedikit sedative dibandingkan anti histamine
golongan pertama yang non selektif. Terdapat beberapa penelitian yang tidak sama dengan
penelitian ini yaitu penelitian di Mexico bahwa 10 mg cetirizine dapat mengurangi gejala
utama dari rhinitis alergi ( pilek, bersin-bersin, hidung gatal, dan mata yang berair) lebih baik
daibandingkan loratadine dan placebo. Pada penelitian ini menunjukkan tidak ada perbedaan
yang signifikan pada kefektivitasan dari loratadine dan ceitirzine untuk pengobatan rhinitis
alergi.

Pada penelitian ini, gejala rhinitis alergi diklasifikasikan pada kategori ringan, sedang,
berat. Ringan didefinisikan bahwa gejala tersebut tidak mengganggu aktivitas dan/ tidur.
sedang didefinisikan bahwa gejala tersebut dapat mengganggu aktivitas sehari-hari dan/ tidur.
berat didefinisikan gejala tersebut sangat mengganggu aktivitas sehari-hari dan/ tidur.

Antihistamin generasi kedua seperti cetirizine, loratadine, fexofenadine, dan ebastine


mempunyai efek kardiotoksisk seperti hipertensi, hipotensi, palpitasi,
supravetrikulartachyaritmia, sinkop, dan takikardi meskipun konsentrasi plasmanya lebih
tinggi dibandingkan astemizol dan terfenadine. Pada penelitian ini terdapat perbedaan yang
signifikan pada palpitasi diantara 2 grup di pengobatan hari ke 7.

Kesimpulan penelitian ini bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan diantara
cetirizine dan loratadine pada pengobatan untuk rhinitis alergi. Meskipun loratadine
mempunyai efek samping yang lebih besar pada nyeri kepala dan palpitasi.

Anda mungkin juga menyukai