Anda di halaman 1dari 4

Konvensi Internasional Penghapusan Penyiksaan terhadap

Tahanan

Penggunaan kekerasan oleh polisi dalam penegakan hukum


pidana ternyata masih mengemuka. perilaku sedemikian telah
membudaya, terutama dalam penyidikan untuk mendapatkan
pengakuan terdakwa. Hal ini terbukti dari catatan Kontras antara
Juli 2005 Juni 2006 sebanyak 140 kasus. Kasus lainnya adalah
kematian Tjetje Tadjuddin di Bogor dan Ahmad Sidiq di Situbondo
dalam proses penyidikan (2007), kasus kekerasan terhadap
mahasiswa Universitas Nasional (Maftuh Fauzi) pada 24 Mei 2008
yang berujung pada kematian, kekerasan dalam penyidikan pada
Rimsan dan Rostin di Gorontalo sepanjang Mei Juni 2008 yang
dipaksa mengaku sebagai pembunuh anak (padahal bukan
pelakunya) yang berujung pada pemidanaan terhadapnya.
Penelitian LBH Jakarta, juga memperlihatkan masih adanya
kekerasan dalam penyidikan di wilayah Polda DKI Jakarta.1
Usaha untuk mencegah tindakan menyimpang seperti
penggunaan penyiksaan dalam proses penyidikan ini sebenarnya
telah ditoleransi dan menjadi perhatian penyusun undang-undang
sebagai bagian dari hak-hak tersangka/terdakwa dalam KUHAP.
Pasal 52 KUHAP menyatakan, ''Dalam pemeriksaan pada tingkat
penyidikan dan peradilan, tersangka atau terdakwa berhak
memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik atau
hakim. Menurut penjelasan Pasal 52 KUHAP, supaya
pemeriksaan dapat mencapai hasil yang tidak menyimpang dari
yang sebenarnya, maka tersangka atau terdakwa harus dijauhkan
dari rasa takut. Oleh karena itu wajib dicegah adanya paksaan
atau tekanan terhadap tersangka atau terdakwa. Hal ini juga
dituangkan dalam Pasal 117 KUHAP yang menyatakan bahwa
keterangan tersangka dan atau saksi kepada penyidik diberikan
tanpa tekanan dari siapapun dan atau dalam bentuk apa pun.
Pasal 52 KUHAP maupun Pasal 117 KUHAP itu sebenarnya
berkaitan erat dengan prinsip universal hak asasi manusia
mengenai keterangan tersangka yang dikenal dengan the right of
non self incrimination, yaitu suatu hak tersangka untuk tidak
mempersalahkan dirinya sendiri. Hal ini juga disebutkan dalam
pasal 189 ayat 3 KUHAP yang berbunyi keterangan
tersangka/terdakwa hanya dapat dipergunakan bagi dirinya
sendiri. Namun demikian pasal-pasal ini tidak menyebutkan sama
sekali tentang masalah keabsahan hasil penyidikan yang diperoleh
dengan cara penyiksaan. Berdasarkan data yang diperoleh,
pengakuan tersangka masih merupakan target utama penyidikan
sebagai kelengkapan dalam BAP agar tidak terjadi penolakan oleh
Kejaksaan. Model pemeriksaan yang masih mengutamakan
pengakuan sebagai target utama menyebabkan kepolisian masih
memelihara model inkuisitur yang menjadikan tersangka sebagai
objek saja, dengan kekerasan sebagai modus utama untuk
mendapatkan pengakuan.. Hal ini berbanding terbalik dengan apa
yang diinginkan oleh KUHAP, bahwa pengakuan tidak lagi menjadi
hal utama, akan tetapi bergeser ke arah keterangan tersangka.1
Bahkan hanya menempati urutan terakhir sebagai alat bukti
seperti dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP dengan penyebutan
keterangan terdakwa, bukan suatu "pengakuan terdakwa.
Judge's rules di Inggris dan exclusionary rules di US Supreme
Court jelas mengatur tentang penempatan akibat hukum bagi
penyidik maupun tersangka terhadap perolehan alat bukti secara
tidak sah. Sedangkan KUHAP Indonesia sama sekali tidak
memuat akibat hukum terhadap bukti-bukti yang diperoleh secara
tidak sah, seperti halnya penyidikan yang dilakukan dengan
penyiksaan tersebut. Selain itu tidak ditentukan mengenai institusi
independen manakah yang berwenang untuk menentukan
ketidakabsahan perolehan bukti (misalnya: pengakuan tersangka
yang didasarkan suatu penyiksaan) secara tidak sah, tidak
ada penempatannya dalam KUHAP.
United Nation Organization (PBB) menyerukan tentang
pentingnya Declaration Against Torture And Other Cruel, Inhuman
Or Degrading Treatment Or Punishment sebagai optional protocol
dari International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR)
yang disahkan Majelis Umum PBB pada 9 Desember 1975,
bahkan deklarasi itu ditingkatkan menjadi sebuah konvensi yaitu
Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman
Yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat
Manusia lainnya yang juga disetujui Majelis Umum PBB pada 10
Desember 1984.
Dalam pasal 1 konvensi ini disebutkan bahwa istilah
penyiksaan berarti setiap perbuatan yang dilakukan dengan
sengaja, sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang
hebat, baik jasmani maupun rohani, pada seseorang untuk
memperolah pengakuan atau keterangan dari orang itu atau dari
orang ketiga, dengan menghukumnya atas suatu perbuatan yang
telah dilakukan atau diduga telah dilakukan oleh orang itu atau
orang ketiga, atau mengancam atau memaksa orang itu atau
orang ketiga, atau untuk suatu alasan yang didasarkan pada
setiap bentuk diskriminasi, apabila rasa sakit atau penderitaan
tersebut ditimbulkan oleh, atas hasutan dari, dengan persetujuan,
atau sepengetahuan pejabat publik. Hal itu tidak meluputi rasa
sakit atau penderitaan yang semata-mata timbul dari, melekat
pada, atau diakibatkan oleh suatu sanksi hukum yang berlaku.
Dalam pasal 2 konvensi ini disebutkan bahwa penyiksaan, dalam
bentuk dan keadaan apa pun (fisik maupun psikis) tidak
mempunyai sifat eksepsionalitas, apakah negara dalam keadaan
perang, instabilitas politik dalam negeri atau keadaan darurat
lainnya, sehingga bagi penulis adalah wajar apabila dalam semua
jenis perkara tindak pidana (baik yang rendah maupun
tinggi ancaman hukuman pidananya) keberadaan penasihat
hukum sejak mulai penyidikan bersifat imperatif. Karena praktik
membuktikan bahwa adanya penyiksaan itu justru terjadi pada
tahap-tahap awal penyidikan ketika tersangka ditekan agar
tidak didampingi seorang penasihat hukum.1 Disebutkan juga
dalam pasal 3 bahwa perintah dari atasan atau penguasa tidak
boleh digunakan sebagai pembenaran penyiksaan.
Pihak-pihak yang dilarang melakukan penyiksaan terutama
dalam proses penyidikan tercantum dalam Pasal 10 ayat 1. Setiap
negara pihak harus menjamin bahwa pendidikan dan informasi
mengenai larangan terhadap penyiksaan seluruhnya dimasukan
dalam pelatihan bagi para aparat penegak hukum, sipil atau
militer, aparat kesehatan, pejabat publik, dan orang-orang lain
yang ada kaitannya dengan penahanan, dan interogasi, atau
perlakuan terhadap setiap orang yang ditangkap, ditahan, atau
dipenjara. Dalam Pasal 11 konvensi ini disebutkan bahwa setiap
negara pihak harus senantiasa mengawasi secara sistematik
peraturan-peraturan tentang interogasi, instruksi, metode,
kebiasaan-kebiasaan dan peraturan untuk melakukan penahanan
serta perlakuan terhadap orang-orang yang ditangkap, ditahan,
atau dipenjara dalam setiap wilayah kewenangan hukumnya,
dengan maksud untuk mencegah terjadinya kasus penyiksaan.
Dalam Pasal 16 disebutkan bahwa setiap negara pihak harus
mencegah, di wilayah kewenangan hukumnya perlakuan atau
penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, atau
merendahkan martabat manusia, yang tidak termasuk tindak
penyiksaan sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 1, apa bila
tindakan semacam itu telah dilakukan oleh atau atas hasutan atau
dengan persetujuan atau kesepakatan diam-diam pejabat publik
atau orang lain yang bertindak dalam jabatannya.
Seorang tersangka yang disiksa berhak mengadukannya. Hal
ini tercantum dalam pasal 13 yang menyatakan bahwa setiap
negara pihak harus menjamin agar setiap orang yang menyatakan
bahwa dirinya telah disiksa dalam wilayah kewenangan hukumnya
mempunyai hak untuk mengadu, dan agar kasusnya diperiksa
dengan segera dan tidak memihak oleh pihak-pihak berwenang.
Langkah-langkah harus diambil untuk menjamin bahwa orang
yang mengadu dan saksi-saksi dilindungi dari segala perlakuan
buruk atau intimidasi sebagai akibat dari pengaduannya atau
setiap kesaksian yang mereka berikan. Semua korban penyiksaan
berhak mendapatkan ganti rugi. Pasal 14 ayat 1 berbunyi setiap
negara pihak harus menjamin agar dalam sistem hukumnya
korban dari suatu tindak penyiksaan memperolah ganti rugi dan
mempunyai hak untuk mendapatkan kompensasi yang adil dan
layak, termasuk sarana untuk rehabilitasi sepenuh mungkin.
Dalam hal korban meninggal dunia akibat tindak penyiksaan, ahli
warisnya berhak mendapatkan kompensasi.

1. Raharjo A. Perlindungan hukum terhadap tersangka dalam


penyidikan dari kekerasan penyidikan di kepolisian resort
Banyumas. Mimbar Hukum.2011: 23(1): 1 236
2. .Library.ohiou.edu. IN: PMB - Penyiksaan Tersangka Dan
[Internet]. 2016 [cited 12 January 2016]. Available from:
http://www.library.ohiou.edu/indopubs/1996/11/08/0015.html

Anda mungkin juga menyukai