Anda di halaman 1dari 20

PENDIDIKAN ANTIKORUPSI DALAM SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL

INDONESIASEBAGAI SEBUAH KENISCAYAAN

Dharma Kesuma

(Universitas Pendidikan Indonesia)

Kerusakan terhebat Indonesia, negeri yang kaya-raya, akibat kegagalan pembangunan yang berlangsung puluhan tahun
sesungguhnya bukanlah hutan-hutan atau sumber-sumber lainnya

yang habis dan rusak, tetapi adalah kerusakan manusianya oleh korupsi.

Hal-Ikhwal Korupsi

Definisi Korupsi

Korupsi didefinisikan sebagai abuse of public official for private profit (Eigen, 1997; Bardhan, 1997
dalam Mills, 1997)). Definisi ini lebih tertuju pada korupsi yang terjadi di kalangan birokrasi
pemerintahan atau jabatan-jabatan publik. Terdapat definisi yang juga ingin sektor swasta juga terbidik,
abuse of entrusted power for private profit (Eigen, 1997). Berdasarkan kedua definisi di atas dapat dilihat
bahwa kepercayaan, sebagai salah satu esensi dari terbangunnya masyarakat yang sehat dilanggar.
Korupsi adalah suatu penghianatan terhadap masyarakat, kelompok sosial, atau orang lain.

Korupsi terjadi karena adanya motive, opportunity, and means. Motive atau niat korupsi adalah
keuntungan pribadi (dengan cara merugikan pihak lain). Korupsi lebih terjadi pada dunia orang dewasa,
dunia kerja. Korupsi dilakukan dengan mengutamakan uang, harta untuk pribadi; kurang untuk kerja itu
sendiri juga kurang untuk kepentingan orang lain dan masyarakat. Wong (2002) mengungkapkan
moralitas koruptor melalui ungkapan yang menarik: "greed is good, money is god." Sehubungan
dengan hal ini kita dapat memahami pendapat G. Shabbir Cheema, pejabat UNDP, dan Jean Bonvin,
pejabat OECD (1997), tentang korupsi: "that corruption hinders economic growth and sustainable
development and often results in human rights violation." Moralitas korupsi bertentangan dengan
moralitas pembangunan.

Opportunity atau peluang ada karena ada barang atau jasa yang menguntungkan. Dalam bidang publik,
barang atau jasa tersebut adalah milik publik yang penggunaannya diatur secara khusus. Aturan ini pada
dasarnya ditujukan pada kepentingan publik, bukan kepentingan perorangan atau golongan. Korupsi
terjadi ketika penggunaan atau penyebaran barang dan jasa publik ini tidak sesuai dengan peraturan yang
ada dan moralitas luhur. Dalam percakapan harian penulis sering mendengar bahwa Kepala Daerah,
Kepala Dinas, Pimpro dan jajaran pimpinan lainnya memiliki jatah atas dana proyek, dengan demikian
maka jika mereka kaya adalah wajar. Pertanyaannya, yang dimaksud jatah itu ada aturan atau dasar
hukumnya atau tidak, ditulis dalam APBD atau APBD atau tidak? Jika "tidak" tentu mereka adalah
pemangsa uang rakyat.

Peluang belaka tidak cukup bagi timbulnya korupsi. Korupsi timbul karena adanya niat, peluang dan
means atau sarana. Yang dimaksud sarana kiranya adalah kekuasaan (power), yaitu kekuasaan para
pejabat publik dalam mengambil putusan menyangkut untuk apa dan siapa kekuasaan tersebut. Untuk
rakyat atau pribadi dan golongan? Dengan demikian kekuasaan itu sendiri adalah barang publik yang
menguntungkan, menciptakan peluang tersendiri untuk menguntungkan pribadi atau golongan atau
bangsa. Di samping kekuasaan, terdapat sebuah entitas yang sering dinamai dengan monopoli. Banyak
lembaga publik melakukan monopoli, dengan berbagai alasan yang diterima atau tidak dalam masyarakat
yang maju. Monopoli dapat menjadi sarana bagi tindakan korupsi. Monopoli memuat implikasi tiadanya
kontrol dan persaingan, kontrol total atas sesuatu yang menguntungkan. Manusia yang adalah makhluk
terbatas dengan kontrol total atas sesuatu yang menguntungkan, sebetulnya adalah sebuah absurditas.
Hanya Tuhan yang dapat dan mampu demikian. Berdasarkan hal ini dapat dipahami mengapa seorang
pakar antikorupsi internasional Robert Klitgaard (Merino, 2000), pakar antikorupsi internasional, sampai
pada formula:

Banyak perizinan adalah menjadi monopoli pemerintah hingga akibatnya biayanya menjadi tidak jelas
dan mahal. Kekuasaan di suatu kantor pemerintah sering terkonsentrasi atau disamarkan untuk tidak
tampak terkonsentrasi. Inilah penyebab korupsi. Untuk mengatasinya, konsentrasi kekuasaan harus
disebar, kantor pemerintah yang cenderung hierarkhis harus menjadi lebih horisontal, pimpinan dan
bawahan harus mengupayakan transparansi, akuntabilitas, dan proses partisipatif dalam pembuatan
putusan, monopoli andaikan harus ada harus diperbaiki. Ini semua adalah tindakan preventif. Semua
kegiatan yang preventif demikian ini kiranya termasuk sebagai bagian dari reformasi organisasional atau
institusional.

2. Sebab-Sebab Korupsi

Memahami sebab-sebab atau faktor-faktor yang berkaitan dengan terjadinya atau bahkan menyuburnya
korupsi bersifat penting dalam rangka perancangan strategi antikorupsi yang efektif dan sustainable. Doig
dan Riley (1997) mengemukakan bahwa sebuah sumber kunci dari korupsi di banyak lembaga publik
negara-negara berkembang bisa jadi karena suatu kepemimpinan politik yang mementingkan diri sendiri
dan suatu kerangka kerja negara yang besar, tidak efisien dan dipengaruhi kepentingan politik dan salah
arah yang di dalamnya kepentingan individu dan kelompok swasta memiliki prioritas atas kekayaan
kolektif. Para pejabat publik memiliki otoritas yang besar untuk mengakumulasi kekayaan pribadi melalui
eksploitasi jabatan mereka yang monopolistik, gaji yang rendah dan tidak beraturan, sering dengan
berkolusi dengan para politisi dan pebisnis pribumi (indigenuos) dan asing. Korupsi dengan demikian
sering terjadi dalam masyarakat dalam mana terdapat otoritas yang besar dari para pejabat publik,
akuntabilitas yang terbatas dan kekurangan transparansi dalam operasi-operasi pemerintahan; dalam
masyarakat yang demikian ini, lembaga-lembaga masyarakat sipil dan sektor swasta yang independen
sering lemah atau belum berkembang. Pembentukan korupsi menjadi sistematik atau sistemik bisa jadi
merupakan suatu konsekuensi dari lama bertahannya ketidakadilan dan negara yang lemah atau tidak
solid dalam mana hal ini dapat menyebabkan disorganisasi, atau ketiadaan hubungan yang stabil antar
kelompok dan pola otoritas yang diakui. Korupsi menjadi permanen bisa jadi karena ia memiliki a
self-supporting dynamic. Korupsi mengalami perubahan karakter karena responnya terhadap perubahan
faktor-faktor sosioekonomik kultural dan politik.

Analisis Doig dan Riley di atas kiranya dapat disederhanakan dengan cara yang berikut. Dari segi
kronologis terdapat sumber atau pangkal dari korupsi dan perkembangannya menjadi sistematik atau
sistemik. Sumber pertamanya adalah kepemimpinan yang mementingkan diri sendiri (motif atau niat).
Mills (1997) mengungkapkan hal yang sama ini dengan istilah public administration ethics yang lemah.
Adapun Eigen (2000) barangkali melalui konsep National Integrity System-nya akan menyatakan dengan
ungkapan kepemimpinan pilar-pilar publik yang bermoral buruk. UNDP dan OECD (1997) melalui
publikasi hasil konferensi antikorupsi yang mereka selenggarakan menyarankan adanya an exceptional
political and managerial will untuk mempromosikan dan mempertahankan reformasi-reformasi
antikorupsi. Ini juga menyatakan hal yang sama dengan moralitas kepemimpinan dalam perang melawan
korupsi. Adapun sumber keduanya adalah organisasi, atau institusi atau manajemen publik (means) yang
buruk; berkombinasi dengan moralitas kepemimpinan yang buruk.

Perkembangan korupsi menjadi sistematik berkaitan dengan waktu, yaitu lama bertahannya kedua sumber
di atas; dan faktor waktu ini menjadi sebab dan sekaligus akibat dari lemahnya masyarakat sipil dan
sektor swasta. Waktu yang dimaksud disini sebaiknya dipandang sebagai waktu yang digunakan manusia
baik sebagai individu maupun sebagai kelompok. Jadi, pertanyaan yang relevan untuk gerakan
antikorupsi, yaitu sejauh mana bangsa Indonesia sudah berupaya secara cerdas untuk mengendalikan
korupsinya yang sistematik dan sistemik? Melihat Indonesia masa 1998 hingga 2004 ini, dapat
disimpulkan bahwa KKN yang diamanatkan pemberantasannya belum direspon secara cerdas.

Analisis Doig dan Riley di atas dapat dikatakan sebagai perspektif pihak luar atau internasional mengenai
sebab-sebab korupsi di negara-negara berkembang; juga, sebuah perspektif yang lebih analitis. Adapun
perspektif pribumi (indigenous) yang disajikan ringkas dalam selected papers dari Konferensi
Antikorupsi UNDP 1997 adalah sebagai berikut. Botswana melaporkan sebab-sebab korupsi adalah: "An
over-dominant ruling party in Botswana had undermined democratic safeguard against corruption, as
well as traditional forms of accountability" (Frimpong, 1997 dalam Doig dan Riley, 1997). Dr. Ramiro
Larrea Santos, dari Equador melaporkan sebab-sebab utama korupsi: "The main causes were a breakdown
in ethical values, illiteracy and a non-tranparent, politicised and over-centralised state" (Doig dan Riley,
1997). Hongkong, Bertrand de Speville melaporkan: "The causes of corruption were related to rapid
population and economic growth, Hongkongs recently-arrived immigrant population (principally from
China where corruption was endemic) and the administrations wish to regulate and control the economy"
(Doig dan Riley, 1997). Muganda dari Tanzania melaporkan: "A number of causes of the growth in
corruption were identified, including economic deterioration, a decline in public ethics, and the lack of
political leadership on the issue" (Doig dan Riley, 1997).

Laporan-laporan pribumi ini barangkali berguna sebagai bahan renungan guna menemukan the cores of
the problem. Namun ada yang barangkali dapat kita kategorikan sebagai faktor penyebab yang belum
dipaparkan disini, yaitu faktor internasional. Perdagangan internasional, donor dan loan internasional,
termasuk terorisme, narkoba, persenjataan gelap, money laundering, turut mempersubur korupsi
domestik.

Sebab-sebab korupsi yang dipaparkan di atas kurang mengeksplisitkan perhubungan antar kekuasaan di
tengah kehidupan berbangsa. Kpundeh (1997) menyatakan bahwa ketika " imbalance in power occur
betwenn state and society, corruption is more likely to flourish." Masyarakat yang lemah, seperti yang
dialami Indonesia saat ini, adalah korban pemangsaan kepemimpinan negara yang korup. Juga sama
halnya, sektor swasta yang lemah tidak independen harus mempraktekkan persuapan ketika harus
berhubungan dengan pemerintah. Selain itu, pola perhubungan sosial dalam sebuah masyarakat pun sering
mejadi lahan subur bagi tumbuhnya korupsi. Dalam masyarakat di kota-kota besar di Pulau Jawa, yang
biasanya menjadi reference group bagi masyarakat kota-kota lainnya, berlaku konsep silahturahmi yang
berikut, yaitu patroon-client relationship. Banyak birokrat menempatkan diri sebagai raja feodal kecil
atau besar, lalu orang-orang lain yang statusnya lebih rendah atau membutuhkan jasa/wewenangnya harus
bersilahturahmi kepada birokrat ini demi fasilitas-fasilitas yang mereka kuasai. Silahturahmi, sebagai
sebuah budaya religius, telah berubah bentuk menjadi budaya korup. Sama halnya, menolong saudara
sendiri atau kenalan atau kerabat misalnya dalam sebuah seleksi di kantor pemerintah sering dianggap
sebuah perbuatan ibadah, padahal cara yang dilakukan adalah dengan mem-bypass kriteria.

Sebab-sebab korupsi memang beragam, dan sebetulnya sulit untuk dipukulratakan menjadi sebuah teori
tunggal yang sederhana. Karena itu pemahaman berbagai perspektif tentang korupsi dan strategi
pemecahannya diperlukan.

Anatomi Korupsi

Sebuah survai mengenai pengalaman chapters (saat ini ada 60 chapter di 60 negara) Transparency
International (Eigen, 2000) pada tahun 1995, menyarankan bahwa korupsi di sektor publik memiliki
banyak kesamaan dari segi bentuk dan mempengaruhi bidang-bidang yang sama baik di negara maju
maupun di negara berkembang. Bidang-bidang aktivitas pemerintah yang rawan korupsi adalah:

pengadaan publik;

perubahan lahan (misalnya untuk jalan tol);


pengumpulan sumber-sumber pendapatan pemerintah;

pengangkatan pejabat pemerintah; dan

pemerintah daerah.

Metodologinya juga secara tegas bersifat sama, mencakup:

kroniisme, koneksi, anggota keluarga dan hubungan keluarga;

korupsi politis melalui donasi untuk kampanye politik, dan lain-lain;

uang suap atas kontrak-kontrak pemerintah; dan

berbagai jenis penggelapan.

Dalam bidang pelayanan publik (termasuk politisi, juga para pejabat yang dipilih dan ditunjuk),
jenis-jenis kegiatan yang berikut sering terjadi:

Para pejabat tinggi negara yang "menjual" kekuasaan otoritas mereka. Misalnya, di New
South Wales, Australia, the Minister for Corrective Services dihukum dan dipenjara karena
menjual pelepasan dini dari penjara para pedagang obat terlarang;

para pejabat pemerintah yang menerima persentase atas kontrak-kontrak pemerintah, yang
sering dibayarkan melalui rekening bank asing;

para pejabat pemerintah yang menerima "hospitality" yang berlebihan dari kontraktor-
kontraktor pemerintah dan keuntungan-keuntungan dalam jenis seperti bea siswa untuk
pendidikan anak-anak di universitas mancanegara;

para pejabat yang mengontrak bisnis-bisnis pemerintah untuk diri mereka sendiri, apakah
melalui perusahan samaran dan "mitra" atau bahkan secara terbuka dengan menempatkan diri
sebagai "konsultan";

para pejabat yang dengan sengaja melakukan perjalanan ke luar negeri agar mereka dapat
mengklaim uang perjalanan dengan tingkat yang mewah;

partai-partai politik yang memanfaatkan prospek kekuasaan, atau kontinyuitas kekuasaan,


untuk menarik dana besar khususnya dari bisnis-bisnis internasional, dengan imbalan
kontrak-kontrak pemerintah (yang bisa jadi dikemas sebagai suatu "donasi" untuk
kepentingan "sosial" atau untuk sebuah "rumah sakit"). Misalnya, di Kenya selama
bertahun-tahun masa the Kenyata, kendaraannnya adalah Rumah Sakit Angkatan Bersenjata
Gatundu, yang adalah "penerima" resmi "donasi sosial" bagi siapapun yang ingin berbisnis
dengan rezim penguasa. Jika rumah sakit ini benar-benar sebagai tujuan akhir dari uang
tersebut, maka ia adalah sebuah rumah sakit kedokteran yang besar, bukannya sebuah rumah
sakit sederhana di kawasan suku Presiden;

para pejabat yang berkenaan dengan pendapatan negara mempraktekkan pungli dengan
mengancam akan mengenakan biaya tambahan kepada para pembayar pajak atau importir
kecuali uang suap dibayar, yang dalam kasus ini dilakukanlah penilaian pajak yang rendah
yang tidak adil, atau barang diberi izin impor tanpa pembayaran kewajiban apapun. Misalnya,
pengumpulan pendapatan negara di Tanzania menurun secara dramatis pada tahun 1994-95.
Di Itali, tempat praktek tersebut juga menyebar luas, para pembayar pajak, khususnya
perusahan-perusahaan besar, menuduh polisi keuangan memungli uang dari mereka,
meskipun demikian tingkat ketidakmauan mereka untuk membayar demi pengurangan illegal
tagihan pajak mereka tetap diuji dalam pengadilan kriminal;

para pejabat penegakan hukum memungli uang untuk keuntungan mereka sendiri dengan
mengancam mengenakan hukuman lalu lintas kecuali uang suap dibayar (yang sering bernilai
lebih rendah ketimbang jika hukuman itu di bayar melalui pengadilan);

para penyedia layanan publik (yakni, surat izin mengemudi, surat izin kios di pasar, kontrol
paspor) meminta bayaran atas jasa dalam rangka mempercepat proses atau menghindari
keterlambatan. Di Amerika Latin, praktek ini telah menjadi sedemikian terinstitusionalisasi
hingga keseluruhan profesi menjadi tumbuh untuk "membantu" mereka yang ingin
bertransasksi bisnis dengan suatu departemen pemerintah;

para pimpinan di lembaga layanan publik meminta "uang sewa" dari bawahan mereka,
menuntut mereka meningkatkan jumlahnya setiap minggu atau bulan. Di Mexico City,
berkembang suatu praktek polantas yang sedang bertugas di jalan untuk harus membayar
sewa atas mobil patroli, senjata dan tugasnya, dengan sewa yang terpisah-pisah untuk petugas
yang berbeda-beda yang bertanggung jawab atas kendaraan, senjata dan supervisi; dan,

"hantu-hantu" tercipta mengisi daftar gaji dan daftar pensiunan, atau penciptaan lembaga-
lembaga fiktif, yang jika lembaga ini sungguh-sungguh ada, akan diklaim sebagai dana
pemerintah. Di Uganda "sekolah-sekolah hantu" yang lengkap teridentifikasi dalam sebuah
audit yang mengejutkan yang diselenggarakan dalam konteks suatu proyek reformasi sektor
publik. The Warioba Commission menemukan banyak peristiwa seperti ini di negara-negara
tetangga Tanzania. Bahkan Perancis belum immun. Seorang pejabat penggajian tentara
ditemukan menciptakan satuan-satuan fiktif dalam Angkatan Bersenjata Perancis dalam
rangka menghasilkan pembayaran-pembayaran pribadi.

Korupsi, dengan segala bentuknya, bukanlah sesuatu yang unik dalam suatu negara. Korupsi di Cina,
dalam mana para birokrat telah "mengkomersialkan kekuasaan administratif mereka", sungguh-sungguh
tidak berbeda dari korupsi yang di Eropa, dalam mana partai-partai politik telah menerima suapan besar
untuk proyek-proyek pekerjaan umum. (Di Itali, ongkos untuk konstruksi jalan dilaporkan menurun lebih
dari 20 persen sejak "the Clean Hands" memerangi korupsi.) Dana-dana haram telah telah mengendap di
rekening bank Swiss untuk pendanaan partai politik secara illegal, dan dicurigai bahwa dana-dana ini
telah "menyelundup" ke dalam saku pribadi-pribadi. Uang-uang suap juga telah dibayarkan ke partai-
partai politik untuk pengadaan-pengadaan di bidang pertahanan. Perusahaan-perusahan yang
dimenangkan menjamu dan menyuap para pejabat, khususnya dalam perdagangan lintas batas
internasional, untuk memenangkan bisnis secara illegal dan secara tidak fair dan, bukan tidak sering,
dengan konsekuensi yang menghancurkan.

Anatomi korupsi di atas diduga kuat juga berlaku di Indonesia, namun kurang memberi tekanan atau
sorotan pada korupsi dalam bidang pendidikan. Untuk itu akan disajikan sejumlah hasil riset dari
Corruption Online Research and Information System (Corisweb).

CORIS () menyampaikan bahwa sebuah survai membuktikan sumbangan pemerintah pusat Uganda
yang sungguh-sungguh sampai ke sekolah hanyalah 13%. Dana yang sudah dialokasikan ini digunakan
oleh para pejabat publik untuk kepentingan-kepentingan yang tidak berkaitan dengan pendidikan atau
diambil untuk kepentingan pribadi. Di Nicaragua, 86% orang tua berkata mereka harus membayar
"contribuciones" kepada para guru. Banyak dari mereka (73%) juga harus membayar untuk pendaftaran
yang seharusnya bebas biaya. Para mahasiswa di universitas-universitas di Belarus harus membayar para
profesor mereka sebanyak US$ 5000-10000 untuk mendapatkan nilai yang tinggi dalam ujian. Hal-hal ini
adalah sejumlah kecil contoh yang mengilustrasikan sebuah masalah dengan konsekuensi yang besar dan
serius.

Tipe-tipe korupsi dalam pendidikan. Pengetahuan empiris kita tentang hubungan antara korupsi dan
pendidikan sangat kurang. Sebagian praktek korup dalam sektor pendidikan memiliki kesamaan dengan
yang terjadi dalam sektor publik lainnya, dan yang sebagian lagi bersifat sangat spesifik dalam sektor
pendidikan. Perkembangan fakta-fakta bagaimanapun menunjukkan sejumlah tipe korupsi dalam
pendidikan. Dana-dana untuk lembaga pendidikan menguap pada tahapan administratif oleh para
administrator/pejabat publik bahkan sebelum dana tersebut sampai ke tangan yang dituju. Sama halnya,
pengumpulan dana untuk pendidikan kenyataannya adalah untuk kepentingan pribadi. Penyalahgunaan
sumber-sumber yang disediakan oleh APBN atau loans (hutang), misalnya untuk kontrak gedung-gedung;
adalah juga suatu penyakit parah. Penyimpangan seperti ini juga terjadi pada pemberian perizinan untuk
membuka lembaga-lembaga pendidikan yang diberikan pada para penyelenggara pendidikan yang tidak
layak untuk menerimanya; penyimpangan pengadaan buku ajar atau material pengajaran lainnya, atau
seragam sekolah, dan makanan untuk anak sekolah. Masalah lainnya adalah uang suap yang diberikan
selama atau sebelum pengangkatan guru, penjualan posisi atau promosi dan mutasi guru; favoritisme, dan
nepotisme dalam pengangkatan yang mem-bypass peraturan atau kriteria guru.

Di lembaga-lembaga pendidikan itu sendiri dapat terjadi misalnya pembelian/penyuapan untuk


memperoleh kenaikan kelas, atau memasuki lembaga-lembaga pendidikan yang bagus (prasekolah, SD,
SM, universitas). Juga penggelapan akademis seperti penjualan soal ujian, penjualan/pembelian nilai hasil
ujian dan ijazah dan gelar kesarjanaan, atau pem-bypass-an kriteria karena favoritisme dan nepotisme.
Tipe lainnya adalah uang sekolah tambahan (untuk pengajaran di sore hari atau ketika libur), pengurangan
lingkungan pengajaran (anak-anak dimanfaatkan sebagai tenaga kerja gratis untuk keuntungan guru,
penjualan kursi jajaran depan dalam ruang kelas yang penuh sesak) dan "guru-guru hantu" atau
absentiisme.

Belum banyak riset tentang korupsi dalam sektor pendidikan Indonesia. Akan tetapi diduga kuat
korupsipun menyubur dalam persekolahan Indonesia dan kalangan administratifnya mulai dari pemerintah
pusat hingga ke bawah di daerah. Penulis yakin sejumlah orang akan membantah keras hipotesis ini. Akan
tetapi orang-orang yang demikian ini hanya akan membiarkan dunia pendidikan membusuk oleh korupsi.

Dampak Korupsi

Berikut ini akan disajikan sejumlah analisis dari sejumlah orang, praktisi dan akademisi, tentang dampak
korupsi. Peter Eigen (1998) Ketua LSM Transparency International mengemukakan (terjemahan):

Korupsi menghamburkan sumber-sumber melalui penerokan (distortion) kebijakan


pemerintah secara bertentangan dengan kepentingan mayoritas dan membuat tidak
tercapainya tujuan dari kebijakan tersebut. Ia mengalihkan energi dan upaya para pejabat
publik dan warganegara ke arah uang-gampang, bukan ke aktivitas-aktivitas produktif.
Korupsi menghambat pertumbuhan persaingan, memfrustrasikan upaya-upaya untuk
mengentaskan kaum miskin dan menimbulkan sikap apatis dan sisnis. Kerusakan yang
disebabkan oleh korupsi, yang adalah beragam sesuai dengan bentuk korupsi itu sendiri, telah
menghancurkan proyek-proyek pembangunan yang sudah dirancang dengan baik di Selatan
dan menggerogoti transisi ekonomis dan politis di Timur.

Di sebuah negara maju korupsi dapat berlangsung dalam sebuah komponen tunggal dari lembaga politik,
di sebuah negara berkembang, yang sering memiliki lembaga-lembaga administrasi dan politik yang
lemah, masalah korupsi benar-benar dapat menjadi bagian dari sistem. Di Equador, perkembangbiakan
korupsi telah mengancam demokrasi. Di Tanzania, korupsi terdapat di semua sektor masyarakat dan
muncul sebagai sumber utama kekecewaan publik (Eigen, 1998). Hal yang sama juga dirasakan di
Indonesia.
Pejabat UNDP G. Shabbir Cheema dan Pejabat OCD Jean Bonvin (1997) menyatakan komunitas
internasional mengakui "that corruption hinders economic growth and sustainable devolepment and
often results in human rights violations". Michael Johnston (1997), akademisi (Ph.D. Yale University
1997) berdasarkan sejumlah pakar lainnya menyatakan bahwa fakta-fakta menguat menunjukkan korupsi
memperlambat pertumbuhan ekonomi dan berperanan sebagai suatu pajak yang berat bagi investasi. Sama
halnya korupsi menggerogoti perkembangan politik dan memperlemah political will untuk reformasi yang
efektif. Johsnton juga menyimpulkan tidak ada negara, kaya atau miskin, yang tangguh terhadap godaan
korupsi. United Nations (1989) seperti dikutip Doig dan Riley (1997) menyatakan pemerintah-pemerintah
dan agensi-agensinya semakin memahami new forms and dimensions dari korupsi, dan pengaruhnya
yang menyebar luas kemana-mana pada kinerja pemerintah, pada pemanfaatan sumber-sumber publik,
pada moral umum dalam pelayanan publik dan pada legitimasi negara dan hukum. Doig dan Riley (1997)
sendiri menyatakan korupsi melibatkan penggerogotan kepentingan publik untuk keuntungan pribadi,
berkaitan secara rumit dengan bentuk-bentuk lain kekacauan hukum dan maladministrasi, termasuk
penggelapan dan kejahatan terorganisasi. Pelimpah-ruahan dan umur panjangnya memprihatinkan karena
konsekuensi publik dan sosialnya yang merusak: korupsi menggerogoti kapasitas pembangunan negara-
negara, menerokkan prioritas dan sering merupakan sebuah bentuk redistribusi uang dari mereka yang
miskin ke para pemegang jabatan yang kaya. Doig dan Riley (1997) melanjutkan lagi daftar panjang
dampak negatif korupsi, menulis bahwa korupsi menyumbang pada instabilitas politik, intervensi militer,
dan penggantian rezim, dan menggerogoti lembaga-lembaga pemerintah, seperti bea cukai, perpajakan
dan departemen-departemen penghasil uang lainnya, dan pelayanan publik.

Beberapa Karakteristik Korupsi yang Memprihatinkan

Pertama, korupsi bersifat endemik. Pengertian aslinya (Merriam-Webster Inc, Version 2,5, 2000):

Peculiar to a locality or region used of a disease that is constantly present to a greater or less
extent in a particular place; distinguished from epidemic, sporadic synonyms see NATIVE.

Definisi ini menunjukkan dua hal: penyakit yang selalu hadir dan menyebar atau menyeluruh; akan tetapi
bukan hanya di tempat tertentu, yang sebenarnya di sebarang tempat. Selama bertahun-tahun, Botswana,
seperti Hongkong yang mantan koloni Inggris, telah dipuji sebagai sebuah contoh negara yang tingkat
korupsinya relatif rendah dan terkontrol karena integritas publiknya yang tinggi. Dengan alasan apapun,
elit politik Botswana tampak mampu mengendalikan problem korupsi, bahkan mereka menakhodai
sebuah negara dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi yang dapat membuat cemburu bangsa
lainnya (sebanding dengan tingkat pertumbuhan NICs Asia Timur), menganut sistem multipartai dan
memiliki good governance. Pada tahun 1990-an reputasi ini hancur oleh munculnya serangkaian skandal
korupsi. Kwame Frimpong (1997, dalam Doig and Riley, 1997) menjelaskan bahwa korupsi menjadi
sebuah masalah pada tahun 1990-an sebagai akibat dari rasa puas diri politisi dan suatu asumsi optimistik
bahwa masalah korupsi telah dikendalikan secara efektif. Botswana adalah sebuah bukti betapa hebatnya
daya penetrasi korupsi untuk muncul dalam sebuah bangsa. Demikian pun halnya dengan Indonesia, yang
pada tahun 1998 bertekad memberantas korupsi melalui Gerakan Reformasi, tahun-tahun berikutnya
hingga saat ini kita menyaksikan panggung pertunjukkan korupsi yang meriah.

Masih mengenai endemiknya korupsi pada bangsa-bangsa di dunia. Rose-Ackerman (1997) menyatakan
korupsi dalam kontrak-kontrak bisnis terjadi di setiap negara bahkan di negara yang memiliki indeks
kejujuran yang tinggi seperti Singapura dan New Zealand.

Kedua, dibiarkan tidak terkendali, korupsi cenderung menjadi sistematik dan sistemik.
Menurut Kpundeh (1997), kemauan politisi untuk memberantas korupsi yang sistemik
bersifat rendah. Ketiga, barangkali oleh karakteristiknya yang merupakan kejahatan yang
sulit dibuktikan (Eigen, 2000), korupsi adalah klandestin (Mauro, 1997), gerakan kejahatan
bawah tanah; berkombinasi dengan tingkat capaiannya yang sistemik, dapat menimbulkan
dampak yang mengerikan. Keempat, Korupsi adalah fasilitator dan katalisator bagi kejahatan
lainnya, misalnya maraknya perjudian di Indonesia tidak luput dari peranan korupsi yang
efektif; pelacuran; premanisme; penyelundupan barang legal dan barang illegal seperti
persenjataan; obat bius; money laundering; kemenangan politik yang licik dalam pemilihan
presiden, kepala daerah, anggota legislatif, dan anggota DPD.

Kelima, demokrasi, desentralisasi, pasar bebas bukanlan sebuah panacea bagi korupsi
(Kpundeh, 1997; Doig dan Riley, 1997, Eigen, 1997 dan 2000; Khan, 1997). Inilah
optimisme yang naif dari Gerakan Reformasi 1998 yang kurang waspada pada akan
tumbuhnya korupsi pada tahun-tahun berikutnya. Demokrasi terbukti disertai oleh money
politic. Desentralisasi sama dengan pemindahan korupsi ke daerah. Privatisasi ternyata
kesempatan emas para koruptor untuk bebas hukum setelah mengantongi hasil-hasil korupsi.

Korupsi di Indonesia

1. Beberapa Fakta dan Angka mengenai Korupsi

Indeks korupsi Indonesia menurut Transparency International tahun 2003, yang disusun berdasarkan tiga
belas hasil survai independen di dunia, adalah 1,9 dalam skala 0 (sangat korup) sampai dengan 10 (sangat
bersih). Peringkatnya 122 atau ke enam dari bawah setara dengan Kenya dari 133 negara di dunia
(Tranparency International, 2003).

Korupsi di Indonesia terjadi dalam skala yang massive, dapat melibatkan uang dalam jumlah yang luar
biasa besar, sementara sebagian penduduknya hidup berkekurangan. Jumlahnya menurut perkiraan Kwik
Kian Gie (2003) adalah Rp. 305,5 trilyun pada tahun 2003. Agar angka ini menjadi lebih jelas,
bandingkanlah dengan angka APBN kita tahun 2004, yaitu kira-kira Rp. 400 trilyun.

Berapa banyak kasus korupsi Indonesia, dan melibatkan uang dalam jumlah berapa? Ini adalah pertanyaan
yang menarik untuk dijawab, tetapi sulit untuk menjawabnya secara konklusif. Biasanya pertanyaan yang
demikian dalam bidang antikorupsi dijawab oleh kalangan kampus Perguruan Tinggi. Namun disini akan
disajikan sebuah informasi dari Xinhua News Service 25 September 2003. Menurut Xinhua ini Kepala
BPK Satrio B. Judono mengatakan the watchdog melaporkan 6.162 kasus-kasus dugaan korupsi sejak
tahun 2001 ke kantor kejaksaan dan polisi. Bagaimanapun, hanya 505 kasus atau hanya delapan persen
lebih yang sudah diselidiki oleh kedua kantor penegakan hukum tersebut. 505 kasus ini penanganannya
secara hukum memberi kemungkinan kembalinya uang negara sebesar Rp. 24,4 triliun.

Media Indonesia 15 Agustus 2004 melaporkan korupsi kolektif para anggota Dewan Perwakilan Rakyat
di banyak kota sebanyak Rp. 391,687 milliar dari 63 kasus yang terungkap (yang tidak terungkap tetapi
mencolok di depan mata adalah money politic). Masih dari koran yang sama ini, tercatat di Kejaksaan
Agung 269 anggota DPRD tingkat I dan II di seluruh Indonesia diduga terkait kasus korupsi. Juga,
kecaman keras koran ini berlanjut, menyatakan triliunan rupiah uang negara diperkirakan dipakai DPR
dan DPRD periode 1999-2004 untuk biaya studi banding ke mancanegara dan kunjungan kerja ke
berbagai daerah. Namun, hasilnya lebih banyak tidak diterapkan.

2. Derajad Korupsi di Indonesia

Berapa derajad korupsi di Indonesia? Ini pertanyaan penting karena menentukan respon yang hendaknya
disediakan, namun belum ada individu atau lembaga di Indonesia yang sudah menjawabnya. Di negara-
negara yang komitmennya kuat dalam perang melawan korupsi pertanyaan ini menjadi urusan Perguruan
Tinggi. Jawaban yang cukup konklusif adalah dari Transparency International (TI) yang disajikan di atas.
Akan tetapi jawaban TI ini barangkali masih belum membangunkan macan dari tidur lelapnya. Karena itu
berikut ini akan disajikan A Simplified Typology of Corruption (Type Main Actors Mode) dari Shar J.
Kpundeh (1997), setelah diterjemahkan.
Tabel 1 Tipologi Korupsi

Pejabat rendah, Penyalahgunaan uang atau kekayaan


Korupsi pejabat yang berskala kecil dan ketidakjujuran;
berkepentingan, persuapan, favoritisme, dan diskriminasi.
Insidental individu atau
kelompok kecil yang
oportunistik

Pejabat publik; Persuapan; kolusi untuk mencuri hak


Korupsi politisi; perwakilan publik; penyalahgunaan berskala besar
donor dan negara dan ketidakjujuran melalui tender publik
Sistematik penerimanya; elit dan penjualan kekayaan publik;
birokrat; pebisnis dan pemberian hak istimewa ekonomis;
perantara donasi dan persuapan politis.

Elit birokrat; politisi; Penyalahgunaan berskala besar melalui


Korupsi pebisnis; pekerja "ghost worker" pada daftar gaji
kerah putih pemerintah; penyalahgunaan dana
Sistemik pemerintah melalui pengadaan secara
salahpembayaran untuk barang yang
tidak ada; pengucuran dana publik
berskala besar kepada pihak yang spesial
dan berhak istimewa dengan dalih
"kepentingan nasional"; favoritisme dan
diskriminasi yang menuntungkan partai
penguasa dalam rangka mendapatkan
kontribusi politis.

Korupsi insidental terjadi ketika korupsi bersifat kekecualian, ketimbang the rule. Pejabat senior dan
pengusaha besar tidak merasa terganggu oleh korupsi tipe ini. Selama masa transisi pemerintahan,
kemauan politik politisi untuk menghentikannya kuat (Kpundeh, 1997). Korupsi insidental adalah sebuah
ciri kehidupan dalam hampir semua masyarakat, tetapi ia dapat menjadi sistematik dalam banyak lembaga
publik di negara-negara berkembang, jika tidak sistemik dalam masyarakat (Riley, 1983, dalam Doig dan
Riley, 1997). Korupsi insidental adalah a temporary disease dari masyarakat-masyarakat yang sedang
melakukan modernisasi yang dapat sembuh melalui keterdidikan (literacy), pembangunan, dan etika
publik yang bagus (Doig dan Riley, 1997).

Adapun korupsi sistematik dilakukan secara terorganisasi, meskipun tidak harus pervasive/omnipresent
atau terinstitusionalisasi, tetapi berulang. Korupsi ini biasanya melibatkan dana besar dan subjek dari
skandal populer; kokoh mengakar dan berfungsi pada sejumlah besar pejabat, perantara dan
wirausahawan; berasal dari pegawai negeri kelas atas yang mengenali dan mengeksploitasi peluang-
peluang illegal dalam departemen dan agen pemerintah. Praktek korupsi sistematik ini merupakan
pelanggaran langsung terhadap the rule of law, tetapi tidak seperti korupsi yang sistemik, jika para
pelakunya disingkirkan maka korupsipun tersingkir. Banyak paradigma reformasi belum sistematik tetapi
sekedar sebagai sehimpunan manuver politik untuk meredakan kekecewaan publik dan komunitas donor
internasional, juga untuk meraih suara dalam masa pemilihan. Penyelundupan adalah sebuah ilustrasi dari
pelanggaran hukum yang sistematik dan adalah bisnis besar dalam banyak negara. Para pejabat bea cukai
seringkali menjadi pihak yang beruntung besar dari penyelundupan (Kpundeh, 1997)

Korupsi sistemik adalah pervasive/omnipresent, terinstitusionalisasi (bisa jadi diterima, ditoleransi, tetapi
tidak harus disetujui), terbangun permanen dalam intitusi ekonomik dan politik. Korupsi ini terjadi ketika
perbuatan illegal telah menjadi suatu bagian integral dari setiap proses pelayanan publik. Ia tumbuh subur
dalam situasi-situasi dalam mana upah sektor publik berada di bawah kebutuhan baku untuk hidup
normal. Tidak seperti korupsi sistematik, ia melibatkan semua jajaran pegawai. Bahkan manajer jajaran
junior dan karyawan terlibat dalam pelanggaran hukum ini. Korupsi sistemik adalah sebuah spiral yang
tertuju ke bawah dimulai dengan para pegawai negeri yang mencari penghasilan tambahan dengan cara
memasarkan pengaruh atau kooperasi dari tanggung jawab mereka yang paling "recehan". Para politisi
bisa jadi sangat tidak bermotivasi untuk bertindak melawan korupsi yang sistemik ini. Strategi-strategi
reformasi tidak secara langsung dapat tampak jelas dan ongkos politiknya mahal, diukur dari dampak
birokrasi yang tidak kooperatif dan kalangan militer dan kepolisian yang memusuhi. Para aktor politik
sering mendefinisikan suatu program antikorupsi yang berhasil dalam kaitannya dengan keuntungan-
keuntungan politis atau kemampuan mengkonsolidasikan dan meningkatkan dukungan massa. Melalui
pengendalian yang dikembangkan secara cermat dan perundangan dan regulasi yang dibangun ketat,
korupsi sistemik dapat ditekan secara signifikan (Kpundeh, 1997).

Bagaimana halnya dengan Indonesia, apakah korupsinya sudah mencakup ketiga tipe di atas? Pertanyaan
ini sebaiknya dijawab melalui sebuah riset yang credible. Akan tetapi tulisan ini berupaya menjawabnya
secara kualitatif.

Jawaban pertama, tidak mungkin korupsi di Indonesia bersifat insidental. Korupsinya terjadi setiap waktu,
bahkan harian, dan di mana-mana. Pembuktiannya, secara harian di banyak kota di Indonesia banyak
anggota polantas selalu melakukan pungli. Pemandangan harian di kelurahan-kelurahan dan kecamatan-
kecamatan di banyak kota Indonesia, banyak warga masyarakat yang berkepentingan dengan layanan
kantor-kantor tersebut juga dipungli. Sama halnya, dapat dipastikan di kantor-kantor imigrasi, jasa yang
diberikannya sering tanpa tarif yang jelas. Bahkan terakhir diberitakan di TV para atlet nasional yang
keturunan Cina mengadu kepada Presiden Megawati perihal buruknya layanan kantor imigrasi terhadap
mereka. Lebih dari semua ini, koran-koran kita menyorot korupsi dan pemborosan di kalangan anggota
DPRD termasuk anggota MPR, padahal mereka tokoh publik yang tentu korupsinya menjadi sorotan
publik. Korupsi insidental dapat dipastikan sudah dilewati oleh Bangsa Indonesia.

Kemudian bagaimana halnya dengan tipe kedua dan ketiga, korupsi sistematik dan sistemik? Korupsi
sistematik juga dapat dipastikan sudah dilewatinya. Sulit mengatakan korupsi kakap (grand corruption)
sebagai tidak sistematik. Banyak orang akan bersepakat dengan simpulan ini. Banyak korupsi kakap
memiliki sifat ini karena keharusan untuk melindungi diri dari jerat hukum. Misalnya para aktor korupsi
yang merencanakan untuk tidak menggunakan alat bukti pembayaran bagi uang suap yang terlibat, atau
juga perencanaan siapa saja yang harus dibagi uang suap agar gerakan tutup mulut efektif dan sustainable.
Bahkan ada korupsi kolektif yang terorganisasi secara vertikal yang di Indonesia diduga kuat juga terjadi.
Korupsi jenis ini contohnya adalah kewajiban setor dari setiap aktor korup pada atasan atau komandan
mereka. Melihat karakteristik korupsi yang sistematik ini, adalah suatu keniscayaan bahwa korupsi adalah
kejahatan yang paling sulit untuk dibuktikan.

Yang terakhir, yaitu korupsi yang sistemik, yaitu korupsi yang omnipresent atau hadir dimana-mana dan
menjadi bagian permanen dari sistem. Saat ini, kita sulit menemukan lembaga-lembaga publik yang
bersih dari korupsi. Semua, kalau tidak sangat banyak, jajaran pegawai negeri, politisi, pengusaha harus
melakukan korupsi dalam menjalankan urusannya. Dan, diduga kuat korupsi adalah suatu bagian integral
dari banyak lembaga publik Indonesia. Korupsi Indonesia saat ini sempurna sudah memiliki ketiga
kategori korupsi tersebut. Ini adalah bangsa yang toleran dan menerima korupsi, sekalipun tidak
menyetujuinya.

Strategi-Strategi Antikorupsi

1. Internasional
Bagian tulisan ini disarikan dari sebagian tulisan Pauline Tamesis (1997) Different Perspectives of
International Development Organisations in the Fight Against Corruption,a selected paper dalam
publikasi Konferensi UNDP tentang Korupsi pada tahun 1997; dan sebagian kutipan dari Deklarasi Lima
1997.

UNDP

Korupsi sebagai governance problem. Minimisasi korupsi bersifat sentral untuk pencapaian keseluruhan
tujuan UNDP mengenai pengurangan kemiskinan dan pencapaian pembangunan berkelanjutan yang
berpusat pada msyarakat dan manusia.UNDP bertujuan memperkuat peranan dalam fasilitasi keterlibatan
masyarakat sipil dan sektor swasta dalam pengembangan kebijakan dan dalam managemen sumber-
sumber pembangunan, sebuah peranan yang meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dari proses-
proses ekonomi dan manajemen finansial.

b. The United Nations Mandate in the Fight against Corruption

PBB memandang korupsi membahayakan stabilitas dan keamanan masyarakat-masyarakat, menggerogoti


nilai-nilai demokrasi dan moralitas dan mengancam pembangunan sosial, ekonomi, dan politik. Juga,
PBB prihatin atas kaitan antara korupsi dengan bentuk-bentuk lain kejahatan dan kejahatan ekonomi,
termasuk pencucian uang. Di samping itu, karena korupsi adalah sebuah fenomena lintas batas bangsa dan
mempengaruhi semua masyarakat dan ekonomi, kooperasi internasional bersifat esensial untuk mencegah
dan mengendalikannya.

PBB memiliki komitmen untuk menyediakan bantuan teknis, atas dasar permintaan, yang dirancang untuk
memperbaiki sistem manajemen publik untuk meningkatkan akuntabilitas dan transparansi.

The World Bank

Sebelumnya, korupsi dianggap suatu gangguan pada prosedur pengadaan dan pencairan loan. Mulai tahun
1996, korupsi dipandang sebagai sebuah masalah untuk pembangunan ekonomi. Lembaga ini menilai
perlunya keterlibatan masyarakat sipil dalam perang melawan korupsi.

The World Bank bertumpu pada strategi tiga "pilar" dalam rangka menangani korupsi:

Reformasi kebijakan ekonomi

Penguatan institusi

Aksi internasional

The Economic Development Institute (EDI)

EDI adalah lembaga milik The World Bank, bekerja sama dengan Transparency International (TI) telah
menyelenggarakan lokakarya di banyak negara yang melibatkan orang-orang dari sektor publik dan
swasta mendiskusikan masalah korupsi dan merancang strategi-strategi untuk memeranginya.
Ringkasnya, pendekatan EDI untuk memerangi korupsi dan meningkatkan governance memusat pada
pengendalian korupsi melalui pembangunan integritas dan perbaikan pemberian layanan kepada publik.

OECD Development Centre and the Development Assistance Committee

OECD menangani korupsi dengan empat cara. Pertama, the OECD Working Group on Bribery in
International Business Transactions sudah sejak tahun 1989 menangani korupsi dalam bisnis internasional
dalam rangka membantu terciptanya keadilan dalam berkompetisi untuk semua perusahaan. Kegiatan ini
menggiring pada penandatanganan sebuah Konvensi oleh 33 negara, termasuk lima negara bukan-
Anggota OECD, menjadikan persuapan pejabat publik asing oleh aktor-aktor ekonomi nasional sebagai
sebuah pelanggaran kriminal. Kedua, the OECD Public Management Service sudah dan sedang
menganalisis cara-cara untuk memperkuat sistem-sistem antikorupsi dalam administrasi publik dari
negara-negara anggota OECD. Tantangannya berupa penegakan etika berbaku tinggi dalam konteks
perubahan peranan Negara dan sektor publik. Ketiga, the Development Assistance Committee (DAC)
sudah dan sedang memusatkan diri pada kontrol korupsi, khususnya dalam proyek-proyek pengadaan
dengan dana-bantuan, dan pada pembangunan kemitraan di kalangan donor, pemerintah-pemerintah lokal,
masyarakat sipil, dan sektor swasta di negara-negara bukan-Anggota, untuk memperbaiki integritas dan
kualitas governance. Terakhir, the OECD Development Centre sedang menyelenggarakan riset tentang
masalah korupsi di negara-negara bukan-Anggota, ditujukan pada sebab-sebab dan konsekuensi-
konsekuensi, juga analisis tindakan dan kondisi untuk reformasi.

The Lima Declaration

Deklarasi Lima tahun 1997 yang diikuti oleh 1.000 orang dari 93 negara yang beragam di dunia,

MEMPERCAYAI bahwa

memerangi korupsi adalah urusan setiap orang dalam setiap masyarakat;

perang ini melibatkan pemertahanan dan penguatan nilai-nilai etis dalam seluruh masyarakat;

adalah esensial bahwa koalisi-koalisi dibentuk antara pemerintah, masyarakat sipill dan sektor
swasta;

suatu keinginan untuk bergabung dalam suatu koalisi yang demikian adalah sebuah tes
kesungguhan dari komitmen pemerintah individual terhadap penyingkiran korupsi;

peranan masyarakat sipil memiliki kepentingan yang istimewa untuk mengatasi resistensi mereka
yang mempertaruhkan status quo dan untuk memobilisasi masyarakat pada umumnya dalam
mengusung reformasi-reformasi yang bermakna. (Ini adalah bagian-bagian dari Deklarasi Lima
yang menyangkut aktor-aktor dalam menangani masalah korupsi). (UNDP, 1997)

Indonesia

Upaya-upaya reformasi yang masih belum memadai. Indonesia sejak tahun 1998 sedang melakukan apa
yang disebut reformasi, dan salah satu amanat pentingnya adalah pemberantasan KKN. Reformasi
berlangsung secara massive, semua bidang kehidupan tampaknya mengalami reformasi. Akan tetapi
korupsi justru melimpah ruah dan berjalan melenggang di depan mata hampir tanpa hambatan yang
berarti.

Kelemahan program antikorupsi Indonesia. Korupsi di Indonesia diperangi melalui pengembangan


hukum dan penegakannya, reformasi institusional, aktivitas sejumlah LSM yang terutama bergerak dalam
bidang hukum, dan aktivitas media cetak dan elektronik; pendidikan antikorupsi tampaknya belum
dipandang sebagai suatu kebutuhan

Tabel 2 Peta Reformasi yang Ada

Bidang Hasil Total


Taksiran Kwik Kian Gie (2004) korupsi selama tahun
1 Pengembangan 2003 diperkirakan Rp.300,05 triliun, sebagai
Hukum perbandingan APBN 2004 kita Rp. 400 triliun.

2 Penegakan Xinhua News Service 25 September 2003: 6.162 kasus


Hukum dugaan korupsi sejak tahun 2001, hanya 505 ( 8%)
yang ditangani secara hukum.
3 Reformasi
Institusional Korupsi berkembang pesat sejak Reformasi.

4 Pendidikan PNS Kekecewaan publik luas dan dalam.

5 Watchdogs

6 Media

Apakah strategi yang seperti ini bersifat memadai, terutama mengingat korupsi di Indonesia bersifat
sistemik, seperti yang banyak terjadi di negara berkembang dan transisi? Jawaban atas pertanyaan ini, ya
ataupun tidak, akan selalu mengundang perdebatan. Setiap jawaban akan selalu berdasarkan sebuah
perspektif. Jawaban yang bernasib sama akan kita peroleh dari pertanyaan: Apakah korupsi dapat ditekan
oleh reformasi dan kegiatan antikorupsi yang ada hingga suatu hari Indonesia relatif bersih dari korupsi?

Jawaban optimis atas pertanyaan-pertanyaan di atas boleh-boleh saja. Reformasi yang ada sudah tertuju
pada pembentukan good government dan good governance ditambah lagi oleh pengembangan hukum dan
penegakan hukum dalam memerangi korupsi dan ditambah oleh badan khusus antikorupsi yang
indipenden. Orang boleh tidur nyenyak atas jawaban ini, karena upaya ekstra yang menguras energi tidak
dibutuhkan. Akan tetapi jawaban ini mengandung resiko, berapa lama waktu yang dibutuhkan agar
korupsi dapat ditekan pada tingkat yang dapat ditoleransi? Waktu adalah sebuah komponen penting dalam
keadaan bangsa yang masih belum keluar dari krisis multidimensi ini. Waktu memuat kerugian dan
pengorbanan, bahkan nyawa, karena korupsi di negara-negara berkembang juga ditandai oleh fenomena
kekerasan (Khan, 1997). Di samping itu, bagaimana sustainability-nya mengingat korupsi adalah
endemik?

Di samping itu, kita kembali pada pertanyaan pertama, "Apakah strategi yang ada bersifat cukup?"
Berdasarkan strategi-strategi antikorupsi yang ada di dunia, dan tingkat korupsi yang sudah sistemik di
Indonesia, strategi antikorupsinya dapat dikatakan memuat kelemahan.

PR yang Belum Dikerjakan Indonesia

Agaknya terdapat sejumlah asumsi yang hendaknya mendasari strategi antikorupsi yang sistemik.
Pertama, tidak ada panacea untuk penyakit korupsi, tidak ada strategi tunggal untuk memberantas
korupsi. Kedua, korupsi harus ditangani dengan melibatkan tiga aktor: pemerintah, sektor swasta, dan
masyarakat sipil. Usul ini diduga kuat berasal dari TI, tetapi kemudian diterima oleh banyak pihak. The
World Bank yang meskipun bidangnya terbatas juga mengapresiasi hal ini. Ketiga, korupsi harus
diperangi "in all its fronts ", demikian kata Eigen dari TI (1997). Hongkong, kemudian diadopsi Botswana
dan Slovakia dan pihak-pihak lain juga memuji, mengembangkan apa yang disebut serangan trisula (three
pronged-attack) terhadap korupsi, meliputi bidang hukum, institusional, dan pendidikan. Keempat,
political will atau "the demonstrated credible intent of political actors (elected or appointed leaders,
civil society, watchdods, stakeholders group, etc.)" (Kpundeh, 1997).
Berdasarkan keempat asumsi di atas, dapat disimpulkan bahwa gerakan antikorupsi Indonesia belum
bersifat cukup. Masyarakat sipil, asumsi yang kedua, masih belum signifikan perkembangannya untuk
dapat partsipatif dalam gerakan antikorupsi, mereka hanya diwakili oleh sejumlah LSM yang aktifitasnya
fokus pada bidang hukum, bidang lainnya kurang disentuh. Sepanjang pengetahuan penulis, hanya satu
LSM antikorupsi yang aktivitasnya bukan hukum, yaitu BIGS di Bandung. Inipun tidak terasa menggigit.
BIGS bergerak dalam bidang transparansi APBD, tetapi ini tidak direspon oleh komponen masyarakat
sipil lainnya. Masyarakat sipil ini membutuhkan sentuhan pendidikan antikorupsi yang hingga saat ini
masih di abaikan oleh Bangsa Indonesia.

Disamping keempat asumsi di atas, suatu strategi antikorupsi hendaknya mencakup pendekatan jangka
panjang dan pendek, punitif dan preventif, symptom dan disease. Pendekatan jangka panjang dan bersifat
preventif umumnya meliputi pendidikan, pengembangan institusi atau organisasi pemerintahan, dan
pengembangan hukum. Akan tetapi dari bidang-bidang ini mungkin saja terdapat perubahan jangka
pendek yang bisa dicapai, di samping pendekatan jangka pendek dan punitif dari bidang penegakan
hukum. Hukum hanya menangani symptom atau apa yang dirasakan si pasien, bukan penyakitnya.

Agar menjadi lebih jelas gambaran tentang strategi antikorupsi yang komprehensif, berikut ini akan
disajikan bagan National Integrity System (NIS) dari Transparency International.

Bagan 3 The Pillars of National Integrity

(Eigen, 1997 dan 2000)

Eigen (2000) memandang masyarakat yang relatif bersih dari korupsi adalah masyarakat yang memiliki
National Integrity System (NIS) yang bagus. NIS ini dapat dibayangkan sebagai sebuah gedung megah
candi Yunani kuno. Sistem integritas sebagai sebuah bagian dari gedung diperlukan untuk
mengembangkan kualitas kehidupan yang baik, pembangunan berkelanjutan, dan kekuasaan berdasarkan
hukum. Dengan hal ini, sistem integritas adalah faktor crucial bagi ketiga hal tersebut. Akan tetapi sistem
integritas dapat berdiri tegak dengan ditopang oleh banyak pilar bangsa: eksekutif, legislatif, yudikatif,
media, ombudsman, auditor umum, sektor swasta, watchdog, dan lain-lain. Satu pilar keropos membuat
tanggung jawab pilar lainnya membesar. Jika semuanya atau banyak yang keropos apa jadinya masa
depan bangsa dipertaruhkan. Pilar-pilar ini berdiri di atas fundasi kesadaran publik dan nilai-nilai sosial.

Demikianlah, berdasarkan uraian di atas, singkatnya PR Indonesia mulai hari ini dan ke depan adalah:

Perbaikan lebih lanjut reformasi hukum dan penegakannya; reformasi ekonomi;


reformasi kelembagaan/organisasional termasuk on-the job training antikorupsi untuk
para PNS; reformasi politik termasuk revitalisasi political will sebagai titik awal dari
reformasi yang tulen.

Pendidikan antikorupsi untuk persekolahan, pemberdayaan publik untuk antikorupsi,


pendidikan etika untuk profesional masa depan.

Bagaimana hubungan pendidikan dengan program antikorupsi, yaitu melalui pendidikan yang
menghasilkan informed active citizen, akan disarankan sebuah bagan dari Zemanovicova (2000).

Bagan 1 Strategi Antikorupsi Transparansi Internasional Slovakia

Pendidikan Antikorupsi

Pendidikan antikorupsi pada dasarnya sama seperti yang disarankan Rousseau pada zamannya,
pendidikan dalam rangka melakukan koreksi budaya (Eby, 1952), tidak cukup jika hanya koservasi dan
inovasi budaya. Pendidikan antikorupsi dalam rangka tindakan yang sistemik sangat diharapkan dapat
mencakup kegiatan-kegiatan yang dideskripsikan di bawah ini.

1. Pendidikan Umum

Tujuan:

pembentukan pengetahuan dan pemahaman mengenai berbagai bentuk korupsi


dan aspek-aspeknya;

pengubahan persepsi dan sikap terhadap korupsi; dan

pembentukan keterampilan dan kecakapan baru yang dibutuhkan untuk melawan


korupsi.

Pendidikan Sekolah (prasekolah - perguruan tinggi)

Kegunaan jangka panjangnya barangkali menyumbang pada sustainability


Sistem Integritas Nasional dan program antikorupsi; kegunaan jangka pendeknya
adalah pembangunan political will bangsa Indonesia dalam memerangi korupsi.
Bahan ajarnya dapat disajikan tersendiri atau dipadukan ke mata pelajaran yang
ada yang relevan seperti Agama, Bahasa Indonesia, PPKN, IPS. Berikut ini
adalah sebuah contoh bahan ajar:

Material Pendidikan Antikorupsi di Sekolah (Keen,):

UNIT 1: APA DAN DIMANA KORUPSI ITU?;

UNIT 2: ISU MORAL;

UNIT 3: KORUPSI DAN HAM;

UNIT 4: MEMERANGI KORUPSI;

UNIT 5: KORUPSI DAN EKONOMI PASAR;

UNIT 6: KORUPSI DAN HUKUM;

UNIT 7: KORUPSI DAN MASYARAKAT DEMOKRASI.

Pendidikan Luar Sekolah (PLS) atau pendidikan publik

Pendidikan publik ini membutuhkan kerjasa sama dari pihak LSM. Partisipasi
publik secara berkelompok biasanya lebih tersalur jika melalui LSM.

PLS yang dirancang baik dapat memberi hasil dalam waktu yang relatif cepat
dalam bentuk warganegara yang partisipatif-konstruktif dalam memberantas
korupsi.

Peranan-peranan yang dapat dimainkan sebagai warganegara sebagai hasil PLS


antikorupsi antara lain: dalam kelompok pelobi pejabat publik agar melakukan
perubahan, dalam kelompok pemantau kegiatan-kegiatan penting (proses
pengadilan, beacukai, perpajakan, tender/kontrak publik), aktif dalam kampanye
antikorupsi, melakukan pelaporan melalui saluran pengaduan, terlibat dalam
kelompok diskusi, pemilih yang cerdas dalam pemilu.

Program Antikorupsi PLS (sebuah contoh) (Keen, ):

UNIT 1: PROGRAM UJI DIRI

Masyarakat sipil perlu mengkaji peranannya yang nyata dalam

praktek korupsi, dan peranan potensialnya dalam memerangi

korupsi.

UNIT 2: PROGRAM PENYEMARAKAN

Individu-individu perlu merasa bahwa upaya mereka tidak

terisolasi, tetapi merupakan bagian dari upaya nasional dalam

memerangi korupsi.

UNIT 3: PROGRAM PEMANTAUAN


Orang-orang didorong untuk mengawasi peristiwa-peristiwa

malapraktek dalam kehidupan harian.

UNIT 4: PROGRAM UNTUK PENGERITIK, PEMBEBER

SKANDAL, DAN PELOBI

Tekanan dalam bagian ini adalah pada pendorongan publik

untuk bertindak, dan bukan hanya dalam kapasitas pribadi,

tetapi atas nama dan dalam hubungannya dengan angota lain

masyarakat. Para pejabat publik perlu memulai merasakan

bahwa mereka berada di bawah pengawasan umum, dan bahwa

konsekuensi-konsekuensi tertentu akan mengikuti jika mereka

terlibat dalam praktek-praktek yang tidak adil. Publik sendiri

perlu mengapresiasi potensi yang dapat dihasilkannya untuk

mempengaruhi dengan cara ini.

2. Pendidikan Khusus

Pendidikan Etika Profesional, yaitu pendidikan yang diberikan untuk para calon
profesional dalam banyak bidang profesi. Tujuannya adalah pembentukan integritas
profesional.

Pendidikan PNS, yaitu pendidikan yang disediakan untuk para PNS agar memiliki
integritas dan agar mereka partisipatif dalam kegiatan reformasi institusional. Material
pendidikannya dapat mencakup:

GOOD GOVERNMENT DAN GOOD GOVERNANCE;

ETIKA PELAYANAN PUBLIK; dan

PRINSIP, STRATEGI, DAN TEKNIK TRANSPARANSI DAN


AKUNTABILITAS.

Penelitian dan Pengembangan

Penelitian dan pengembangan adalah fungsi khas perguruan tinggi, dalam perang nasional
terhadap korupsi fungsi ini sangat dibutuhkan. Selain penelitian dan pengembangan
mengenai korupsi dan strategi untuk mengendalikannya, action research antikorupsi akan
dibutuhkan oleh masyarakat pada umumnya, dan juga oleh kelompok-kelompok sosial
lainnya dan lembaga-lembaga pemerintah dan swasta.

Simpulan dan Saran

1. Simpulan
Korupsi adalah penyakit moral, sosial, ekonomi dan politik yang dapat memiliki dampak yang
menghancurkan bagi masyarakat. Dibiarkan tumbuh, atau tidak dikendalikan melalui strategi yang
sistemik, korupsi dapat menjadi sistematik dan sistemik hingga sulit untuk diberantas. Di dunia, banyak
gerakan antikorupsi yang hanya menambah daftar panjang kegagalan ketimbang yang berhasil. (Juga,
korupsi dapat muncul begitu saja dalam masyarakat yang sehat sekalipun.) Pemandangan yang sama ini
kita alami di Indonesia sejak beberapa rezim pemerintahan yang lalu hingga sekarang, hingga sebagai
akibatnya kita menyaksikan korupsi menjadi sistemik di Indonesia.

Korupsi di Indonesia saat ini membutuhkan counter-action yang komprehensif yang tertuju pada
pembangunan dan revitalisasi Sistem Integritas Nasional. Tidak ada panacea yang dapat dimanfaatkan,
juga tidak ada strategi tunggal atau a single pillar strategy seperti dengan hanya melalui reformasi hukum
untuk menyembuhkan kanker korupsi yang stadiumnya sudah gawat. Juga, pemerintah dan sektor swasta
saja merupakan aktor-aktor yang tidak cukup dalam perang melawan korupsi; seharusnya adalah oleh
koalisi tiga aktor: pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sipil. Dalam hal ini, masyarakat sipil
hendaknya ditumbuhkan menjadi informed active citizen melalui suatu pendidikan antikorupsi berskala
nasional.

2. Saran

Masyarakat pendidikan, apalagi kalangan perguruan tinggi, melalui momentum KONASPI IV ini
diharapkan merevitalisasi political will-nya guna suatu perjuangan diselenggarakannya pendidikan
antikorupsi berskala nasional. Banyak bangsa lain sudah menyelenggarakan hal ini, mereka antara lain:
Hongkong, Botswana, Slovakia, Kamboja, Maroko. Sasaran-sasarannya sesudah ini, adalah mendorong
kelompok-kelompok dan institusi-institusi lainnya agar juga melakukan hal yang sama, revitalisasi
political will tersebut. Langkah berikutnya adalah putusan nasional, formal dan aktual, untuk
mengendalikan korupsi secara tuntas dan sustainable. Untuk hal ini, diharapkan perguruan tinggi
mengalokasikan energi dan sumber-sumbernya untuk melakukan studi-studi korupsi dan strategi
pemecahannya.

Jika saran-saran ini berkenan di hati Bangsa Indonesia, insyaallah korupsi dapat di atasi dalam waktu
belasan tahun paling lama, tidak sampai puluhan apalagi seratus tahun, seperti yang dialami Hongkong
yang saat ini rating-nya 8, dekat dengan rating tertinggi, yaitu 10.

Referensi

Akesbi, Azeddine. 2001. Sensitisation against Corruption: The Morroccan Experience in the
Educational Sector. 10th International Anti-Corruption Conference, Prague. Tersedia di
http://www.10iacc.org/content-ns.phtml?docoments=400 19.08.04

Barret, Derm. 1995. The TQM Paradigm Key Ideas That Make It Work. Productivity Press,
Portland, Oregon.

Bush, Tony. 1986. Theories of Educational Management. Harper & Row Publisher, London.

Doig, Alan dan Riley, Stephen. 1997. Corruption and Anti-Corruption Strategies: Issues and
Case Studies from Developing Countries. A selected paper of Conference on Corruption and
Integrity Improvement in Developing Countries 1997. UNDP, New York. Tersedia di:
http://magnet.undp.org/Docs/efa/corruption.htm 07.08.04

Eby, Frederick. 1952 (second ed.). The Development of Modern Education. Prentice-Hall,
Inc., New York. (pp.319-362).

Eigen, Peter. 1997. The Role of Civil Society. A selected paper of Conference on Corruption
and Integrity Improvement in Developing Countries 1997. UNDP, New York. Tersedia di:
http://magnet.undp.org/Docs/efa/corruption.htm 07.08.04

--------------. 2000. Transparency International Sourcebook. Transparency International,


Berlin. Tersedia di: http://www.transparency.org. 14.08.04

-------------, 2003. Global Perception Index. Transparency International, Berlin. Tersedia di:
http://www.transparency.org. 10.09.03

Ervin, Carolyn. 1997. OECD Actions to Fight Bribery in International Business


Transactions. A selected paper of Conference on Corruption and Integrity Improvement in
Developing Countries 1997. UNDP, New York. http://magnet.undp.org/Docs/efa
/corruption.htm 07.08.04

Johnston, Michael. 1997. "Cross-Border Corruption": Points of Vulnerability and Challenges


for Reform. A selected paper of Conference on Corruption and Integrity Improvement in
Developing Countries 1997. UNDP, New York. http://magnet.undp.org/Docs/efa
/corruption.htm 07.08.04

Kaufmann, Daniel. 1997. Revisiting Anti-Corruption Strategies: Tilt Towards Incentive-


Driven Approaches. A selected paper of Conference on Corruption and Integrity
Improvement in Developing Countries 1997. UNDP, New York. Tersedia di:
http://magnet.undp.org/Docs/efa/corruption.htm 07.08.04

Keen, Ellie. ... Fighting Corruption Through Education. Open Society Institute, Hungary.
Tersedia di: www.osi.hu/colpi 05.11.03

Khan, Mushtaq H. 1997. The Role of Civil Society and Patron-Client Networks in the
Analysis of Corruption. A selected paper of Conference on Corruption and Integrity
Improvement in Developing Countries 1997. UNDP, New York. Tersedia di:
http://magnet.undp.org/Docs/efa/corruption.htm 07.08.04

Kian Gie, Kwik. 2003 (edisi II). Pemberantasa Korupsi Untuk Meraih Kemandirian,
Kemakmuran, Kesejahteraan, dan Keadilan. .., Jakarta.

Kpundeh, Sahr J. 1997. Political Will in Fighting Corruption. A selected paper of Conference
on Corruption and Integrity Improvement in Developing Countries 1997. UNDP, New York.
Tersedia di: http://magnet.undp.org/Docs/efa/corruption.htm 07.08.04

Lester, John. . Public Education To Combat Corruption And Economic Crime The Future For
Developing Countries. An article of the Fifteenth International Symposium on Economic
Crime, Jesus College, Cambridge.

Merino, Valeria. 2001. Institutional Indicators to Strengthen Anti-corruption Policy Work:


The Judiciary. 10th International Anti-Corruption Conference, Prague. Tersedia di
http://www.10iacc.org/content-ns.phtml?docoments=400 19.08.04

Mauro, Paolo. 1997. Why Worry About Corruption? Economic Issues International Monetery
Fund, Washington, D.C. Tersedia di: http://www.imf.org/external/pubs/ft/issues6/issue6.pdf
10.07.03

Mills, Alexandra. 1997. Strengthening Domestic Institutions Against Corruption: A Public


Ethics Checklist. A selected paper of Conference on Corruption and Integrity Improvement in
Developing Countries 1997. UNDP, New York. Tersedia di: http://magnet.undp.org/Docs/efa
/corruption.htm 07.08.04

Rose-Ackerman, Susan. 1997. Corruption and the Global Economy. A selected paper of Conference on
Corruption and Integrity Improvement in Developing Countries 1997. UNDP, New York.
http://magnet.undp.org/Docs/efa/corruption.htm 07.08.04

Sun, Neou. 2001. The Transparency Task Force. 10th International Anti-Corruption
Conference, Prague. Tersedia di http://www.10iacc.org/content-ns.phtml?docoments=400
19.08.04

Tamesis, Pauline. 1997. Different Perspectives of International Organisations in the Fight


Against Corruption. A selected paper of Conference on Corruption and Integrity
Improvement in Developing Countries 1997. UNDP, New York. Tersedia di:
http://magnet.undp.org/Docs/efa/corruption.htm 07.08.04

Wong, Paul T. P. 2002. Lessons from the Enron Debacle: Corporate Culture Matters! Article,
February 22, 2002. Trinity Western University Langley, BC, Canada. Tersedia di:
http://www.meaning.ca/articles/lessons_from_enron.htm 04.08.04

Zemanovikova, Daniela. 2001. Education Experience of the Transparency International Slovakia.


10th International Anti-Corruption Conference, Prague. Tersedia di http://www.10iacc.org/content-
ns.phtml?docoments=400 19.08.04

Anda mungkin juga menyukai