Anda di halaman 1dari 14

PERAN DAN TANGGUNG JAWAB WANITA MUSLIMAH

1. Menghambakan diri kepada Allah SWT


2. Mendidik anak-anaknya
3. Pendamping setia suaminya
4. Saudara bagi masyarakatnya

JALAN MENUJU KESEIMBANGAN

1. Tarbiyah dzatiyah (pembinaan diri)


2. Menata waktu
3. Melakukan aktivitas yang menunjang professionalme kerja

Sekilas tentang peran dan tanggungjawab wanita pada masa Rasulullah


Rata-rata kaum wanita pada masa Rasulullah saw. tidak ketinggalan
memberikan kontribusi, peran dan tanggungjawab mereka, mereka ikut berlomba
meraih kebaikan, meskipun mereka juga sibuk sebagai ibu rumah tangga.
Mereka ikut belajar dan bertanya kepada Rasulullah saw.
Wanita yang paling setia kepada Rasulullah adalah Khadijah yang telah
berkorban dengan jiwa dan hartanya. Kemudian Aisyah, yang banyak belajar dari
Rasulullah kemudian mengajarkannya kepada kaum wanita dan pria. Bahkan,
ada pendapat ulama yang mengatakan, seandainya ilmu seluruh wanita
dikumpulkan dibanding ilmu Aisyah, maka ilmu Aisyah akan lebih banyak.
Begitulah Rasulullah saw. memuji Aisyah.
Ada seorang wanita bernama Asma binti Sakan. Dia suka hadir dalam
pengajian Rasulullah saw. Pada suatu hari dia bertanya kepada Rasulullah, "Ya
Rasulullah saw., engkau diutus Allah kepada kaum pria dan wanita, tapi
mengapa banyak ajaran syariat lebih banyak untuk kaum pria? Kami pun ingin
seperti mereka. Kaum pria diwajibkan shalat Jum'at, sedangkan kami tidak;
mereka mengantar jenazah, sementara kami tidak; mereka diwajibkan berjihad,
sedangkan kami tidak. Bahkan, kami mengurusi rumah, harta, dan anak mereka.
Kami ingin seperti mereka. Maka, Rasulullah saw. menoleh kepada sahabatnya
sambil berkata, "Tidak pernah aku mendapat pertanyaan sebaik pertanyaan
wanita ini. Wahai Asma, sampaikan kepada seluruh wanita di belakangmu, jika
kalian berbakti kepada suami kalian dan bertanggung jawab dalam keluarga
kalian, maka kalian akan mendapatkan pahala yang diperoleh kaum pria tadi."
(HR Ibnu Abdil Bar).
Dalam riwayat Imam Ahmad, Asma meriwayatkan bahwa suatu kali dia
berada dekat Rasulullah saw. Di sekitar Rasulullah berkumpullah kaum pria dan
juga kaum wanita. Maka beliau bersabda, "Bisa jadi ada orang laki-laki bertanya
tentang hubungan seseorang dengan istrinya atau seorang wanita menceritakan
hubungannya dengan sumianya." Maka tak seorang pun yang berani bicara,
maka saya angkat suara. "Benar ya Rasulullah, ada pria atau wanita yang suka
menceritakan hal pribadi itu." Rasulullah menimpali, "Jangan kalian lakukan itu,
karena itu jebakan syaitan seakan syaitan pria bertemu dengan syaitan wanita,
kemudian berselingkuh dan manusia pada melihatnya."
Ada juga wanita yang tabah dalam kehidupan rumah tangga yang serba
pas-pasan tapi tidak pernah mengeluh seperti Asma' binti Abi Bakar dan
Fatimah. Kutub Tarajim membenarkan cerita tentang Fatimah. "Suatu saat dia
tidak makan berhari-hari karena nggak ada makanan, sehingga suaminya, Ali bin
Abi Thalib, melihat mukanya pucat dan bertanya, "Mengapa engkau ini, wahai
Fatimah, kok kelihatan pucat?"
Dia menjawab, "Saya sudah tiga hari belum makan, karena tidak ada
makanan di rumah."
Ali menimpali, "Mengapa engkau tidak bilang kepadaku?"
Dia menjawab, "Ayahku, Rasulullah saw., menasehatiku di malam
pengantin, jika Ali membawa makanan, maka makanlah. Bila tidak, maka kamu
jangan meminta."
Luar biasa bukan?
Ada juga wanita yang diuji dengan penyakit, sehingga dia datang kepada
Rasulullah saw. meminta untuk didoakan. Atha' bin Abi Rabah bercerita bahwa
Ibnu Abbas r.a. berkata kepadaku, "Maukah aku tunjukkan kepadamu wanita
surga?" Aku menjawab, "Ya."
Dia melanjutkan, "Ini wanita hitam yang datang ke Rasulullah saw.
mengadu, 'Saya terserang epilepsi dan auratku terbuka, maka doakanlah saya.'
Rasulullah saw. bersabda, "Jika kamu sabar, itu lebih baik, kamu dapat surga.
Atau, kalau kamu mau, saya berdoa kepada Allah agar kamu sembuh."
Wanita itu berkata, "Kalau begitu saya sabar, hanya saja auratku suka
tersingkap. Doakan supaya tidak tersingkap auratku."
Maka, Rasulullah saw. mendoakannya.
Ada juga wanita yang ikut berperang seperti Nasibah binti Kaab yang
dikenal dengan Ummu Imarah. Dia becerita, "Pada Perang Uhud, sambil
membawa air aku keluar agak siang dan melihat para mujahidin, sampai aku
menemukan Rasulullah saw. Sementara, aku melihat pasukan Islam kocar-kacir.
Maka, aku mendekati Rasulullah sambil ikut berperang membentengi beliau
dengan pedang dan terkadang aku memanah. Aku pun terluka, tapi manakala
Rasulullah saw. terpojok dan Ibnu Qamiah ingin membunuhnya, aku
membentengi beliau bersama Mush'ab bin Umair. Aku berusaha memukul dia
dengan pedangku, tapi dia memakai pelindung besi dan dia dapat memukul
pundakku sampai terluka. Rasulullah saw. bercerita, "Setiap kali aku melihat
kanan kiriku, kudapati Ummu Imarah membentengiku pada Perang Uhud."
Begitu tangguhnya Ummu Imarah.
Ada juga Khansa yang merelakan empat anaknya mati syahid. Ia berkata,
"Alhamdulillah yang telah menjadikan anak-anakku mati syahid."
Begitulah peranan wanita pada masa Rasulullah saw. Mereka berpikir untuk
akhiratnya, sedang wanita sekarang yang lebih banyak memikirkan dunia, rumah
tinggal, makanan, minuman, kendaraan, dan lain-lain.

Kaum Wanita pada Masa Berikutnya


Ketika Utsman bin Affan mengerahkan pasukan melawan manuver-
manuver Romawi, komandan diserahkan kepada Hubaib bin Maslamah al-Fikir.
Istri Hubaib termasuk pasukan yang akan berangkat perang. Sebelum perang
dimulai, Hubaib memeriksa kesiapan pasukan. Tiba-tiba istrinya bertanya, "Di
mana saya menjumpai Anda ketika perang sedang berkecamuk?"
Dia menjawab, "Di kemah komandan Romawi atau di surga."
Ketika perang sedang berkecamuk, Hubaib berperang dengan penuh keberanian
sampai mendapatkan kemenangan. Segera dia menuju ke kemah komandan
Romawi menunggui istrinya. Yang menakjubkan, saat Hubaib sampai ke tenda
itu, dia mendapatkan istrinya sudah mendahuluinya. Allahu Akbar.
Pada masa Dinasti Abbasiyah yang dipimipin oleh Harun al-Rasyid, ada
seorang Muslimah disandera oleh tentara Romawi. Maka, seorang ulama
bernama Al-Manshur bin Ammar mendorong umat Islam untuk berjihad di dekat
istana Harun al-Rasyid dan dia pun menyaksikan ceramahnya. Tibatiba ada
kiriman bungkusan disertai dengan surat. Surat itu lalu dibuka dan dibaca oleh
ulama tadi dan ternyata berasal dari seorang perempuan dan berbunyi, "Aku
mendengar tentara Romawi melecehkan wanita Muslimah dan engkau
mendorong umat Islam untuk berjihad, maka aku persembahkan yang paling
berharga dalam diriku. Yaitu, seuntai rambutku yang aku kirimkan dalam
bungkusan itu. Dan, aku memohon agar rambut itu dijadikan tali penarik kuda di
jalan Allah agar aku dapat nantinya dilihat Allah dan mendapatkan rahmatnya."
Maka, ulama itu menangis dan seluruh hadirin ikut menangis. Harun al-Rasyid
kemudian memutuskan mengirim pasukan untuk membebaskan wanita
Muslimah yang disandera itu.
Seorang istri Shaleh bin Yahya ditinggal suaminya dan hidup bersama dua
anaknya. Ia mendidik anak-anaknya dengan ibadah dan qiyamul lail (shalat
malam). Ketika anak-anaknya semakin besar, dia berkata, "Anak-anakku, mulai
malam ini tidak boleh satu malam pun yang terlewat di rumah ini tanpa ada yang
shalat qiyamullail."
"Apa maksud ibu?" tanya mereka.
Ibu menjawab, "Begini, kita bagi malam menjadi tiga dan kita masing-
masing mendapat bagian sepertiga. Kalian berdua, dua pertiga, dan saya
sepertiga yang terakhir. Ketika waktu sudah mendekati subuh, saya akan
bangunkan kalian."
Ternyata kebiasan ini berlanjut sampai ibu mereka meninggal. Dan amalan
itu tetap dilanjutkan oleh dua anak itu karena mereka sudah merasakan
nikmatnya qiyamullalil.
Dari kisah diatas dapat kita fahami bahwa begitu besarnya peran dan
tanggungjawab wanita pada masa salafussalih, mereka tidak pernah berhenti
memberikan kontribusi dari apa yang mereka memiliki.
Secara umum wanita memiliki peran dan tanggung jawab amat besar dan
penting dalam berbagai aspek kehidupannya; baik dalam kehidupan individu,
keluarga (suami dan anak), masyarakat sosial sebagai warga ditempat dirinya
tinggal dan berdiam bersama diri keluarganya, dan negara sebagai bagian dari
anak bangsa, dan tempat dirinya dan keluarganya bernaung.
Sebagaimana pula wanita memiliki peran tanggung jawab khusus, yaitu
sebagai pendidik dan pemberi kontribusi kebaikan sosial, yang tanpanya,
kehidupan tidak akan berjalan semestinya. Sebab ia adalah pencetak generasi
baru. Sekiranya di muka bumi ini hanya dihuni oleh laki-laki, kehidupan mungkin
sudah terhenti beribu-ribu abad yang lalu. Oleh sebab itu, wanita tidak bisa
diremehkan dan diabaikan, karena dibalik semua keberhasilan dan kontinuitas
kehidupan, di situ ada wanita.
Adapun secara rinci dari peran dan tanggungjawab wanita muslimah
adalah sebagai berikut:

1. Menghambakan diri kepada Allah SWT


Menghambakan diri kepada Allah adalah merupakan ciri dari Wanita yang
soleh. Sementara itu keshalehan sang istri merupakan asas yang terpenting
sekali daripada asas-asas yang lain. Kegagalan asas ini dapat mengakibatkan
asas-asas lain tidak akan berfungsi untuk memberi kebahagiaan sebenarnya di
dalam kehidupan. Tanpa Wanita yang soleh maka keluarga-keluarga Islam tidak
akan dapat diwujudkan, padahal pembinaan dan terbentuknya pergerakan Islam
itu bergantug kepada kelahiran keluarga-keluarga Islam ini. Kalau sekiranya
pergerakan Islam itu penting untuk membawa dan mempraktikkan Islam maka
Wanita yang Soleh juga sama pentingnya.
Adapun Sifat-sifat dari istri yang menghambakan diri kepada Allah adalah
sebagai berikut:
1. Wanita yang menghambakan diri kepada Allah adalah yang taat kepada
Allah dan Rasul dan patuh kepada perintah-Nya. Sanggup menjaga
kesucian dirinya walaupun di tempat-tempat yang sunyi dari pandangan
orang lain, juga yang sering berdzikir kepada Allah serta takut kepada-
Nya.
Firman Allah S.W.T maksudnya:
Wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika
suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka)" (An-Nisa': 34)
2. Wanita yang menghambakan diri kepada Allah adalah istri yang selalu
bersyukur terhadap nikmat yang diberikan oleh Allah kepada suaminya,
karena ia meyakini bahwa Allah telah menakdirkannya, sementara takdir
Allah tidak pernah mencelakan dirinya.
3. Wanita yang menghambakan diri kepada Allah adalah juga Wanita yang
taat kepada suaminya dan memahami hak dan kewajiban terhadap
suaminya. Seperti yang pernah disabdakan oleh Rasulullah saw.



"Kalau boleh aku menyuruh seseorang supaya sujud kepada orang yang
lain niscaya aku menyuruh Wanita supaya sujud kepada suaminya". (HR.
Thabrani, Hakim dan ulama hadits)
Wanita menjaga hak dan kehormatan suaminya, baik suaminya ada di
rumah atau tidak. Memiliki mingkah laku yang disukai oleh suaminya. Pandai
menyembunyikan harta benda suaminya. Mendahului hak suaminya daripada
hak dirinya sendiri atau kaum kerabatnya.
4. Wanita yang menghambakan diri kepada Allah adalah wanita yang
senantiasa menunjukkan himmah (rasa senang) yang tinggi, lemah
lembut tidak suka memaki, mengucapkan sumpah serapah, mengumpat-
keji, berbantah bantahan dan lain-lain dari sikap dan prilaku yang negative
dan tidak terpuji. Menunjukkan sikap yang jernih dan lapang dada serta
segala hal yang menyebabkan suaminya senang saat ada di rumah.
Seperti sabda Nabi saw:










"Sebaik-baik wanita ialah perempuan yang apabila engkau memandangnya
ia menyukakan hati dan mentaati apabila engkau memerintah, dan apabila
engkau tidak ada ia menjaga harta engkau dan memelihara dirinya."
5. Wanita yang menghambakan diri kepada Allah adalah Wanita yang
berpengetahuan, berakhlak mulia, tahu melayani suami serta mengasihi
dan mendidik anak-anak ke jalan hidup yang dikehendaki oleh Allah dan
mentauladani sunnah Rasulullah saw.

2. Mendidik anak-anaknya

Allah SWT berfirman:





"Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya
meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir
terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa
kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar. (An-
Nisa 4:9)
Diantara peran dan tanggungjawab seorang wanita muslimah adalah
memberikan pendirikan yang terbaik kepada anak-anaknya. Hendaknya juga
seorang wanita muslimah takut dan khawatir jika meninggalkan keturunan yang
lemah; baik lemah finansialnya ataupun lemah akal danpendidikannya. Dan
lemah pendidikan harus lebih lebih diperhatikan daripada lemah harta dan
finansialnya.
Dan pendidikan anak sangat disarankan dimulai sejak dini, bahkan sejak
dalam kandungan. Ketika sang ibu rajin beribadah, insya Allah, kelak janin yang
dikandungnya akan menjadi ahli ibadah. Ketika sang ibu rajin membaca Al
Quran, insya Allah, kelak anak yang dilahirkannya pun akan mencintai Al Quran.
Dan ketika sang ibu sangat berhati-hati menjaga dirinya dari hal-hal yang
diharamkan, insya Allah, kelak anaknya pun akan menjadi hamba-Nya yang
ikhsan. Karena itu tidak keliru kalau ada yang mengatakan: Seorang ibu adalah
madrasah pertama bagi anak-anaknya.
Betapa besarnya peranan seorang wanita dalam mencetak generasi
robbani. Sebagaimana visi pernikahannya untuk menjadikan rumah tangga
sebagai lahan tumbuhnya generasi yang akan menegakkan panji islam.
Generasi yang tumbuh dalam rumah tangga yang menjadi pusat kaderisasi
terbaik.
Ketika sang anak hadir ke dunia, sebuah tugas sangat berat telah diemban
di pundak seorang ibu. Tugas mendidiknya, membekalinya dengan life-skill, agar
kelak anaknya siap terjun ke dunia yang berubah dengan cepatnya setiap hari.
Sepuluh atau 15 tahun lagi, akan sangat berbeda kondisinya dengan masa kini.
Ketika sang anak mulai banyak bertanya, Ini apa?, Itu apa?, Kenapa
begini?, Kenapa begitu?, seorang ibu dituntut untuk dapat memberikan
jawaban yang terbaik. Jawaban yang tidak mematikan rasa ingin tahu anak,
bahkan sebaliknya, jawaban yang membuat anak semakin terpacu untuk belajar.
Masa yang penting ini, yang disebut golden-age, masa di mana anak
sangat mudah menyerap segala informasi, belajar tentang segala sesuatu. Dan
ibu adalah orang yang terdekat dengan anak, yang lebih sering berinteraksi
dengan anak. Menjadilah ibu sebagai sumber ilmu, pendidik pertama bagi anak-
anak, yang menanamkan pondasi awal dan utama bagi generasi yang akan
menjadi pemimpin masa depan ini.
Ketika anak mulai memasuki dunia sekolah, tugas ibu tak lantas menjadi
tergantikan oleh sekolah. Bahkan sang ibu dituntut untuk dapat mengimbangi
apa yang diajarkan di sekolah.
Peran yang demikian strategis ini, menuntut wanita untuk membekali
dirinya dengan ilmu yang memadai. Maka, wanita harus terus bergerak
meningkatkan kualitas dirinya. Karena, untuk mencetak generasi yang
berkualitas, dibutuhkan pendidik yang berkualitas pula. Hal itu berarti, seorang
wanitia tidak boleh berhenti belajar.
Wanita adalah lembaga pendidikan bila dipersiapkan, darinya akan lahir
pemuda-pemuda berjiwa mulia. Duhai ukhti muslimah, teruslah mencari ilmu,
bekali dirimu dengan ilmu. Ilmu yang dapat meluruskan akidah, menshahihkan
ibadah, membaguskan akhlaq, meluaskan tsaqofah, membuat mandiri, tidak
bergantung pada orang lain sekaligus bermanfaat bagi orang lain.
Teladanilah wanita Anshar yang tidak malu bertanya tentang masalah
agama. Teladanilah para sahabiyah yang bahkan meminta kepada Rasulullah
untuk diberikan kesempatan di hari tertentu khusus untuk mengajari mereka.
Sehingga, akan bermunculan kembali Aisyah-Aisyah yang mempunyai
pemahaman yang luas dan mendalam tentang agamanya.
Duhai ukhti muslimah, didik putra-putrimu agar mengenal Allah dan taat
pada-Nya, agar gemar membaca dan menghapal kalam-Nya. Ajarkan mereka
mencintai Rasulullah dan meneladani beliau. Bekali dengan akhlak imani,
mencintai sesama, menghormati yang tua dan menyayangi yang muda.
Sehingga akan bermunculan kembali Khonsa-Khonsa yang mencetak para
syuhada.

3. Pendamping setia suaminya





Mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi
mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu,
karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma'af kepadamu. (Al-
Baqoroh:187)

Seorang laki-laki lebih cenderung menggunakan akalnya di dalam


mengatur urusan keluarga. Adapun seorang Wanita lebih cenderung
menggunakan perasaannya di dalam mengatur semua permasalahannya,
termasuk mengatur masalah urusan rumah tangga. Wanita yang mecintai
suaminya dan yang subur keturunannya, maka itulah Wanita yang didambakan,
karena rasa cinta, kasih sayang yang ada pada diri seorang Wanita dalam
mengelola rumah tangga adalah salah satu bentuk rahmat yang nantinya akan
dapat mengarahkan anak ke jenjang yang lebih baik. Dan adanya anak di suatu
rumah itu tidak lain adalah benar-benar sebagai penobatan hubungan yang
mulia yang mengikat antara suami dan Wanita.
Sesungguhnya keberadaan seorang anak pada setiap tahapan dari
beberapa tahapan yang dijalani suami Wanita adalah sebagai penguat unsur-
unsur yang mengikat di antara keduanya (suami Wanita) dan sebagai
pembaharu ikatan yang merajut antara mereka berdua.
Dan setiap kali bertambahnya rasa cinta dan penghormatan di antara
mereka berdua, maka hubungan tersebut akan semakin bertambah (kuat)
sehingga menjadi pasangan yang sejati.
Sehingga akhirnya sang Wanita menjadi pendamping setia bagi sang suami
di dalam mengarungi bahtera kehidupannya yang panjang, dan dia menjadi
tempat mencurahkan rahasia sang suami. Karena manusia secara tabiatnya
mencari teman yang baik dan dekat untuk membuka semua rahasianya dengan
berterus-terang.
Kelanggengan hubungan suami Wanita yang selalu diiringi rasa cinta,
menuntut seorang Wanita untuk melakukan pekerjaan yang begitu banyak, baik
yang berkaitan dengan materi maupun maknawi.
Di antaranya yaitu:
1. Menertibkan dan mengatur rumahnya dengan suatu cara yang
memuaskannya, tetapi wajib pula baginya untuk meminta
pendapat/perhatian dari suaminya, dan jika suaminya menyutujui, maka
itulah yang diharapkan.
2. Wajib bagi Wanita untuk berusaha sekuat tenaga untuk lebih
proforsional di dalam melaksanakan tugas-tugasnya, dan tidak
mempersoalkan kekurangan-kekurangan yang ada pada suaminya.
Wajib baginya untuk memperbaiki kekurangan-kekurangan ini dengan
cara tidak memberitahukan kepada suaminya. Maka seandainya
seorang suami tidak memperhatikan dalam meletakkan pakaian pada
tempat yang semestinya dan dia meletakkan pakaian-pakaian tersebut
di atas kursi dan sofa, maka mau tidak mau sang Wanita dituntut untuk
mengambil dan meletakkan pada tempatnya yang sekiranya tempat
tersebut dapat menjaga keindahan/keserasiannya.Bila kebiasaan itu
telah terjadi dan Wanita sedang dalam keadaan sakit, maka sang suami
merasakan kesusahan, dia akan berusaha untuk menggantikan posisi
sang Wanita dalam mengurus rumahnya, dia akan meletakkan pakaian
pada tempat yang semestinya dan mulai dari sanalah dia akan
melaksanankan kebiasaan yang baik tersebut.
3. Sang Wanita wajib merasa bahwa dia adalah suaminya dengan tujuan
untuk saling melengkapi antara yang satu dengan yang lain, maka sang
Wanita dituntut lebih mempersembahkan rasa cinta dan kasih sayang
dan begitu pula sang suami harus berkoban dengan jiwa dengan penuh
tanggung jawab, keperkasaan dan keberaniannya.
4. Jika keduanya sudah sampai pada perasaan yang sedemikian rupa,
menyadari mereka sebagai dua jenis yang saling memahami dan saling
melengkapi antara yang satu dengan yang lainnya, maka mereka
berdua akan hidup bahagia sepanjang hayatnya.
5. Seorang Wanita wajib setia, tidak egois seperti halnya dia seharusnya
tidak menuntut macam-macam kepada suami, seperti membebani
suami dari berbagai segi, baik itu berupa materi maupun maknawi.
Sebagai contoh jika suaminya seorang pegawai dan dia tahu gajinya
hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, maka hendaklah
ia tidak meminta beberapa permintaan berat yang dapat
menyusahkannya, sehingga terkadang seorang suami mengadu kepada
salah seorang temannya untuk meminjam uang agar dia tidak diketahui
kekurangannya oleh sang Wanita.
6. Seorang Wanita wajib menghilangkan tabir penghalang yang ada pada
mereka berdua, sekiranya keduanya menjadi sebuah lembaran kertas
yang putih di hadapan yang lain, mengungkapkan perasaan kepadanya
dalam menghadapi semua masalah yang ada, dan sesungguhnya jiwa
keterbukaan yang ada pada mereka berdua itu dapat menenangkannya
dan dapat membersihkan setiap keduanya dihadapan yang lain dengan
penuh kebebasan dan penuh kemerdekaan

4. Saudara bagi masyarakatnya


Maksudnya adalah seorang wanita muslimah juga memiliki peran dan
tanggungjawab dalam kehidupan masyarakatnya, sehingga dengan itu dirinya
memiliki kontribusi dalam melakukan perbaikan dan pembanguan di tengah
masyarakatnya, terutama dalam rangka mencetak individu yang baik yang kelak
menjadi anggota masyarakat yang baik. Dan baik buruknya wanita dapat
mempengaruhi kondisi suatu masyarakat.
Perbaikan masyarakat ada dua macam, yaitu:
1. Perbaikan yang Zhahir (Tampak)
Yaitu perbaikan yang biasa dilakukan di tempat-tempat terbuka, seperti:
Masjid, pasar, tempat kerja dan sejenisnya. Perbaikan ini tertuju kepada
kelompok laki-laki karena merekalah yang banyak melakukan aktivitas
di luar dan sering menampakkan diri.
2. Perbaikan di Balik Tabir (di belakang layar, red)
Yaitu adalah perbaikan yang dilakukan di dalam rumah. Urusan ini
biasanya diperankan oleh kaum wanita, karena merekalah pengatur
urusan-urusan intern rumah tangga, sebagaimana difirmankan oleh
Allah kepada Wanita-Wanita Nabi saw , yang artinya: Dan hendaklah
kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah
laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu. (Al-Ahzab: 33)

Pentingnya peran wanita dalam memperbaiki masyarakat


Sesungguhnya perbaikan separuh dari jumlah masyarakat yang ada,
bahkan sebagian besarnya tidak akan pernah bisa dipisahkan dari peran wanita,
hal ini karena dua alasan:
Pertama, jumlah wanita sama banyak dengan jumlah laki-laki, bahkan bisa
lebih banyak dari laki-laki sebagaimana pernah disebutkan dalam hadits
Rasulullah saw. Akan tetapi, perbandingan ini terkadang berubah-ubah setiap
waktunya atau berbeda-beda antara tempat yang satu dengan yang lain.
Kadangkala di suatu negara wanitanya lebih banyak dibanding laki-laki, namun
di negara lain sebaliknya, laki-lakinya yang lebih banyak.
Demikian pula pada suatu waktu terkadang wanita lebih banyak dari laki-
laki dan di waktu lain terjadi sebaliknya laki-laki yang lebih banyak. Yang jelas
bagaimanapun keadaannya, wanita tetap memiliki peran yang penting dalam
perbaikan masyarakat.
Kedua, pertumbuhan generasi muda pada awalnya pasti beranjak dari
pangkuan seorang ibu (wanita). Dengan demikian, maka tampak jelas
bagaimana pentingnya peran yang harus diemban oleh para wanita dalam
memperbaiki masyarakat.
Bagaimanakah cara yang seharusnya dilakukan oleh wanita dalam
melakukan kontribusi perbaikan masyarakat? Ada beberapa langkah yang harus
diperhatikan, diantaranya:

1. Kesalehan Wanita
Sebagaimana yang telah kita bahas sebelumnya bahwa menghambakan
diri kepada Allah adalah merupakan ciri dari wanita yang soleh. Sementara itu
keshalehan seorang wanita merupakan asas yang terpenting sekali daripada
asas-asas yang lain. Kegagalan asas ini dapat mengakibatkan asas-asas lain
tidak akan berfungsi untuk memberi kebahagiaan yang sebenarnya di dalam
kehidupan. Tanpa wanita yang soleh maka keluarga-keluarga Islam tidak akan
dapat diwujudkan, padahal pembinaan dan terbentuknya pergerakan Islam itu
bergantug kepada kelahiran keluarga-keluarga Islam ini. Kalau sekiranya
pergerakan Islam itu penting untuk membawa dan mempraktikkan Islam maka
Wanita yang Soleh juga sama pentingnya.
Karena itu, hendaknya wanita yang berperan dalam memperbaiki
masyarakat adalah wanita yang shalihah agar ia dapat menjadi contoh dan
teladan bagi wanita lain. Agar seorang wanita mencapai derajat shalihah, maka
ia harus memiliki ilmu, yaitu ilmu syari yang dapat ia pelajari melalui kitab-kitab
(buku) atau melalui apa yang ia dengar dari lisan para ulama. Ia dapat
mendengarkan rekaman ceramah-ceramah mereka, dan media kaset ini cukup
berperan dalam mengarahkan masyarakat menuju perbaikan dan keshalehan.

2. Fasih di Dalam Berbicara


Hendaknya wanita tersebut adalah wanita yang dianugerahi oleh Allah
kefasihan dalam berbicara. Dengan kata lain ia mampu berbicara dengan lancar
dan mampu mengungkapkan apa yang ada dalam benaknya dengan baik dan
benar. Sehingga dapat menyingkap semua makna yang ada dalam hati dan
jiwanya. Apalagi makna tersebut kadang juga ditemukan dalam diri orang lain,
namun ia tidak mampu untuk mengungkapkannya dengan kata-kata atau
mungkin ia mampu mengungkapkannya, akan tetapi kurang jelas dan kurang
tepat sehingga perbaikan yang diharap-kan tidak mencapai hasil yang optimal.
Agar seorang wanita dapat berbicara dengan lancar dan fasih serta mampu
mengungkapkan apa yang ada dalam benaknya secara benar dan jelas, maka
hendaknya ia mempunyai pengetahuan bahasa Arab baik nahwu, sharaf dan
balaghah. Demikian pula ia harus menguasai bahasa yang digunakan oleh
masyarakat yang di dakwahinya.

3. Hikmah
Hikmah: ialah Perkataan yang tegas dan benar yang dapat membedakan
antara yang hak dengan yang bathil.
Hikmah dan sikap bijaksana merupakan anugerah yang diberikan oleh Allah
kepada hambaNya, sebagaimana firman Allah,





Allah memberikan hikmah kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan
barangsiapa yang diberi hikmah, sungguh telah diberi kebajikan yang banyak.
Dan tak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang berakal.
(Al Baqarah: 269)
Dan sebagaimana juga Allah berfirman memerintahkan para duat (laki-laki
dan wanita) untuk memilki al-hikmah dalam melakukan dakwahnya:






Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah[845] dan
pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.
Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang
tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang
mendapat petunjuk. (An-Nahl:125)
Betapa sering tujuan tak tercapai, bahkan kesalahpahamanlah yang timbul
karena tidak adanya hikmah dan sikap bijaksana dalam berdakwah. Termasuk
dalam kategori hikmah dalam berdakwah adalah memposisikan orang yang
didakwahi pada posisi yang semestinya. Jika ia seorang jahil, maka ia
diperlakukan sesuai keadaannya. Jika ia seorang yang memiliki ilmu, namun
pada dirinya ada sikap tafrith (menyia-nyiakan), ihmal (meremehkan) dan ghaflah
(melalaikan) maka hendaknya diperlakukan sesuai kondisinya. Begitu pula, jika
seorang yang berilmu namun suka bersikap sombong dan menolak kebenaran,
maka ada cara tersendiri dalam memperlakukannya.
Di antara contoh penerapan hikmah di dalam dakwah Rasulullah saw,
yakni:
1. Kasus Orang Badui Kencing di Pojok Masjid.
Para sahabat ketika itu meneriakinya dan berkeinginan untuk
mencegahnya, namun Rasulullah dengan penuh bijaksana bersabda, Jangan
kalian putuskan kencingnya! Maka tatkala orang tersebut selesai dari
kencingnya, Nabi menyuruh agar tempat yang terkena air kencing tersebut
disiram dengan seember air, lalu memanggil orang Badui tadi dan bersabda
kepadanya, Sesungguhnya masjid ini tidak layak untuk membuang kotoran di
dalamnya, namun ia dipersiapkan untuk shalat, membaca al Quran dan
dzikrullah. (riwayat al Bukhari-Muslim).
Nabi membiarkan orang Badui tersebut meneruskan kencingnya, sebab jika
ia berdiri untuk menghentikan kencingnya maka akan terjadi dua kemungkinan:
Pertama, ia akan berdiri dalam keadaan aurat terbuka untuk menghin-dari
terkenanya air kencing pada pakaiannya dan saat ia berdiri maka air kencing
akan meluas. Di samping itu ia akan dilihat oleh orang banyak dalam keadaan
auratnya terbuka. Maka pada saat itu akan terjadi dua mafsadah (keburukan)
baru yaitu melebarnya air kencing dan terbukanya aurat di hadapan orang.
Kedua, ia akan berdiri dengan menutup auratnya, sehingga pakaiannya
akan kotor terkena air kencing. Maka untuk menghindari efek tambahan ini, Nabi
membiarkannya meneruskan kencing untuk meminimalisir mafsadah.
Dari sini dapat diambil pelajaran bahwa suatu kemungkaran hendaknya
dibiarkan saja, jika mencegahnya ternyata akan menimbulkan kemungkaran baru
yang lebih besar. Inilah salah satu ibrah atau pelajaran yang dapat diambil dari
kisah ini.
2. Seorang Shahabat Nabi Bersin pada Waktu Shalat.
Muawiyah ibnul Hakam ketika ia sedang shalat bersama Rasulullah
Shallallaahu alaihi wa Sallam, tiba-tiba ada seseorang yang bersin lalu
mengucapkan, Alhamdulillah, maka Muawiyah mengucapkan, Yarhamukallah.
Seketika itu juga para shahabat yang lain memandanginya pertanda marah
dengan kejadian itu, maka Muawiyah berkata, Celaka kalian! lalu orang-orang
pada menepuk pahanya masing-masing sebagai isyarat agar ia diam, iapun lalu
diam.
Setelah selesai shalat, Rasulullah memanggil Muawiyah dan bersabda,
Shalat itu tidak boleh ada perkataan manusia di dalamnya sedikitpun, namun
shalat hanyalah takbir dan membaca al Quran. Maka berkatalah Muawiyah,
Aku tidak pernah melihat seorang guru yang lebih bagus cara mengajarnya dari
pada Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam. Demi Allah, beliau tidak
membentakku dan tidak pula menghardikku.
3. Seorang Laki-Laki yang Memakai Cincin Emas.
Ia memakai cincin tersebut, padahal Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam
sudah menjelaskan haramnya emas bagi kaum laki-laki dari umat ini. Maka
beliau bersabda, Salah seorang dari kalian sengaja mengambil bara api
kemudian ia taruh di tangannya, lalu Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam
mencopot cincin itu (dari tangan orang tersebut), kemudian melemparkannya.
Setelah Nabi pergi orang-orang berkata kepadanya, Ambillah cincinmu itu dan
manfaatkanlah. Maka ia menjawab, Aku tidak akan mengambil cincin yang
telah dibuang oleh Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam.
Di dalam kasus ini Rasulullah bersikap agak keras, hal ini dikarenakan
orang tersebut sudah mengetahui tentang haramnya memakai emas bagi kaum
laki-laki. Sikap ini berbeda dengan (sikap) beliau ketika menghadapi orang yang
belum mengerti, sebagaimana di dalam contoh sebelumnya.

4. Bisa Mendidik dengan Baik


Seorang wanita hendaknya bisa mendidik anak-anaknya dengan baik,
karena anak-anak adalah harapan di masa depan. Pada awal pertumbuhan-nya,
anak-anak lebih banyak bergaul dengan ibu mereka. Jika sang ibu memiliki
akhlak dan perilaku yang baik, maka kelak anak-anak tersebut akan mempunyai
andil yang sangat besar di dalam memperbaiki masyarakat.
Oleh karenanya, seorang wanita yang memiliki anak-anak harus
memperhatikan pendidikan mereka. Seandainya ia sendiri tidak mampu untuk
memperbaiki dan mendidik mereka maka hendaknya ia meminta bantuan dari
ayah anak-anak tersebut. Jika anak-anak sudah tidak punya ayah, maka bisa
meminta bantuan kepada wali mereka, seperti: Saudara, paman, anak saudara
(keponakan) dan selainnya.
Seorang wanita juga tidak boleh menyerah dengan keadaan dan berdiam
diri sebab jika demikian maka perubahan dan perbaikan tak akan bisa terlakasan
dengan baik.

5. Giat di dalam Berdakwah


Hendaknya seorang wanita giat di dalam meningkatkan taraf keilmuan
kaumnya. Hal itu dapat dilakukan di tengah-tengah masyarakat, baik sekolah,
universitas ataupun jenjang yang lebih tinggi lagi. Hal itu juga dapat dilakukan
disela-sela ziarah atau kunjungan antara sesama wanita dengan menyampaikan
beberapa kalimat yang mungkin bermanfaat bagi mereka.
Tidak diragukan lagi bahwa peran aktif kaum wanita di dalam berdakwah,
mengadakan kajian-kajian ilmu syari, pengajaran Bahasa Arab khusus bagi
mereka merupakan amalan yang bagus dan layak mendapat acungan jempol.
Pahala dari ilmu yang bermanfaat akan terus mengalir, sekalipun mereka telah
meninggal dunia, sebagaimana yang pernah disabdakan oleh Rasulullah
Shallallaahu alaihi wa Sallam.
Kami memohon kepada Allah Subhanahu wa Taala , semoga Dia berkenan
menjadikan kita semua sebagai dai yang mendapatkan petunjuk. Dai yang baik
dan senantiasa berusaha memperbaiki orang lain. Dan semoga Dia juga
memberikan rahmat-Nya, sesungguhnya Dia adalah Tuhan yang Maha Memberi.

JALAN MENUJU KESEIMBANGAN


Tarbiyah dzatiyah (pembinaan diri)
Menata waktu
Melakukan aktivitas yang menunjang professionalme kerja

Anda mungkin juga menyukai