Sesungguhnya ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah ia dan jan-ganlah kamu mengikuti
jalan-jalan lain, karena itu akan mencerai beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu
diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertaqwa. (QS. Al-Anam:153)
***
Menjadi seorang muslim sejati adalah cita-cita kita. Apapun status sosial yang disandang, bila
kita telah mengikrarkan diri dalam Islam, pasti akan berusaha dengan sungguh-sungguh untuk
melaksanakan syariat Islam. Walaupun tidak sedikit orang yang lalai dari keimanannya dan
terjerumus pada kesesatan.
Memasuki agama Islam memang sesuatu hal yang mudah dan sama sekali tidak ada paksaan,
sebagaimana disinyalir dalam firman Allah; Tidak ada paksaan dalam (memeluk) Islam.
Namun, bukan berarti orang boleh begitu saja melecehkan agama. Justeru dengan ayat ini setiap
orang yang telah yakin memeluk Islam di-tuntut agar menyadari keberadaan masing-masing diri.
Karena Allah memberikan aturan hidup ini bukan untuk kepentingan-Nya, tetapi se-bagai jalan
hidup satu-satunya yang menjaga kelangsungan serta ke-maslahatan manusia di dunia ini.
Untuk itu manusia perlu mawas diri, apakah sudah pantas dirinya menyandang gelar seorang
muslim atau hanya menjadi benalu yang me-rusak citra Islam itu sendiri. Dengan begitu, ia akan
dipacu mendalami dan menghayati bagaimanakah menjadi seorang muslim sejati, serta apa
karakter yang mesti dimilikinya. Urgensi dalam ber-Islam telah dijelas-kan dalam Al-Quran
sebagai satu-satunya syarat meraih kebahagiaan. Firman Allah; Sesungguhnya agama (yang
diridlai) di sisi Allah hanyalah Is-lam...
Sayyid Qutub dalam tafsirnya menjelaskan bahwa seorang muslim tidak diberi kesempatan
menerima alternatif sintesis (ragu) dalam men-gikuti jalan Allah, seperti sikap plin-plannya
Bani Israil. Menurutnya, ketika seseorang masuk Islam, maka dia harus menyelaraskan seluruh
aspek kehidupannya yang iradi (dimana manusia memiliki kebebasan memilih) dengan kehendak
Allah yang suci. Maka karakter dan kepri-badian muslim adalah kiat yang penting untuk dikaji
dan dihayati.
Ibnu Al-Jauzi meriwayatkan sebuah hadits dari Abdullah, ia ber-kata; Rasulullah SAW
menggambar satu garis lurus dengan tangannya, kemudian beliau bersabda; Ini adalah jalan
Allah yang lurus. Kemudian membuat garis ke kanan dan kirinya, kemudian bersabda; jalan
ini tidak ada jalan kecuali syetan terus menyeret kepadanya. Kemudian beliau mem-bacakan
ayat, Sesungguhnya ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah ia dan janganlah kamu
mengikuti jalan-jalan lain.
Makna Islam
Islam adalah agama dan ajaran wahyu yang diturunkan oleh Allah SWT untuk kelangsungan dan
kebahagian makhluq-Nya di dunia sampai di Akhirat kelak. Tidak benar orang yang
beranggapan Islam adalah agama yang hanya diajarkan kepada Nabi Muhammad SAW, sehingga
mereka mengidentikkan Islam sebagai mohamadisme.
Islam ada sejak Nabi pertama Adam AS sampai kepada Nabi tera-khir penutup nabi dan rasul,
Muhammad SAW.
Perhatikanlah ungkapan Nabi Nuh AS,
Dan aku diperintahkan untuk menjadi golongan muslimin.
Doa Nabi Ibrahim;
Ya Tuhan kami, jadikanlah kami orang yang berserah diri (muslim) kepada-Mu.
Nasehat Nabi Yaqub AS;
Sesungguhnya Allah telah memilih untuk kalian agama, maka janganlah kalian mati kecuali
dalam keadaan muslim.
Pengakuan Nabi Yusuf AS;
Wafatkanlah aku dalam keadaan muslim dan masukkanlah aku pada golongan orang-orang
yang shalih.
Demikian pula ikrar Nabi Isa AS;
Aku beriman kepada Allah dan aku bersaksi bahwa aku adalah muslim.
Setiap nabi dan rasul diutus kepada umatnya masing-masing, kec-uali Nabi Muhammad SAW
sebagai khatamun nabiyin diutus untuk selu-ruh umat manusia dan hal ini telah diisyaratkan oleh
kitab-kitab sebe-lum Al-Quran.
Karenanya, syariat Islam dari Nabi terakhir wajib dilaksanakan oleh seluruh umat manusia,
sebab Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW adalah penyempurna seluruh syariat
sebelumnya.
Kata Al-Islam berasal dari akar kata Aslama - Yuslimu - Islaman yaitu berserah diri. Para
ulama mendefinisikan Islam yaitu berserah diri kepada Allah SWT dengan melaksanakan segala
perintah-Nya dan men-jauhi segala larangan-Nya serta seluruh khabar-Nya yang disampaikan
lewat lisan wahyu.
Menurut Said Hawwa, Islam secara umum memiliki dua makna;
1) Yaitu nash-nash yang berupa wahyu Allah SAW sebagai penjela-san akan keberadaan Allah
SWT.
2) Tentang amal manusia dalam mengimani Allah lewat nash-nash-Nya dan berserah diri
melaksanakan nash-nash tersebut.
Sedangkan definisi Islam berdasarkan hadits diantaranya;
Dari Thalhah Bin Ubaidillah, dia berkata; Seorang lelaki datang kepada Rasulullah SAW,
kemudian bertanya tentang Islam. Rasulullah SAW bersabda; Shalat lima waktu dalam sehari
semalam. Dia bertanya lagi; Apakah ada yang lainnya? Beliau bersabda; Tidak, kecuali jika
kau akan melakukan yang sunat. Kemudian beliau menjelaskan kewajiban zakat. Dia bertanya
lagi; Apakah ada yang lainnya ? Beliau bersabda; Tidak, kecuali jika kau akan melakukan
yang sunat. Dia merenung dan berkata; Aku tidak akan menambah atau mengu-ranginya.
Maka Rasulullah SAW bersabda; Jika benar, sungguh kau berun-tung atau masuk surga.
1. Muawiyah Bin Ubaidah dari Bapaknya dari Kakeknya; Aku bertanya kepadamu tentang
Allah, dengan apa engkau diutus kepada kami ? Beliau ber-sabda; Dengan Islam. Aku
bertanya lagi; Apa ciri-ciri Islam ? Sabdanya; Kamu berikrar, aku berserah diri kepada Allah
sepenuh hati dan mendirikan sha-lat, membayar zakat. Setiap muslim dengan muslim lainnya
adalah bersaudara dan saling menolong. Tidak akan diterima amal syirik setelah Islam yang
mem-bedakan kaum musyrikin dan muslimin.
2. Rasulullah SAW bersabda; Islam itu, engkau bersaksi tiada tuhan selain Allah dan
Muhammad adalah hamba-Nya dan rasul-Nya, mendirikan shalat, membayar zakat, berpuasa
Ramadlan dan menunaikan haji jika engkau mampu di jalannya.
Maka asas Islam itu terdiri dari rukun Islam yang berupa aqidah dan ibadah. Aqidah ialah
keyakinan dan iman kepada Allah, Malaikat, kitab-kitab, para nabi, hari akhir dan qadla dan
qadar. Ibadah adalah syahadat, shalat, zakat, shaum dan haji.
Namun, ajaran Islam tidak sampai di situ. Islam juga memberikan sistem hidup untuk pribadi dan
masyarakat bahkan negara, meliputi sis-tem pemerintahan, ekonomi, pendidikan, kebudayaan
dan seluruh aspek kehidupan manusia.
Sesuai makna Islam di atas, tanpa kita berserah diri pada ajaran wa-hyu dari Allah SWT lewat
utusan-Nya apalagi bertolak belakang dengan syariat-Nya, maka hal itu tidak lagi disebut Islam
atau muslim.
Juga menurut Said Hawwa, seseorang yang telah Islam, yang per-tama kali harus difahami dan
dihayati adalah Al-Ushul Ats-Tsalatsah, yaitu tiga dasar yang menentukan kebenaran Islam kita,
Pertama; Allah, kedua; Islam dan ketiga; Rasul. Beliau menegaskan pandangannya dengan
sebuah hadits; Nikmatnya rasa iman ada pada Keridlaan bahwa Allah sebagai Rabb, Islam
sebagai agama dan Muhammad sebagai rasul.
Riwayat lain menyebutkan sabda Rasulullah SAW ; Barangsiapa yang mengucapkan;
RADLITU BILLAHI RABBA WA BIL ISLAM DINA WABI MUHAMMAD SAW NABIYA,
maka dia berhak mendapat surga.
Maka, setiap muslim dituntut untuk menggali makna ketiga aspek tadi dalam rangka
mendapatkan kebenaran Islam dan kenikmatan iman.
Hai orang-orang yang beriman masuklah kamu ke dalam Islam secara kese-luruhannya (kaffah),
dan janganlah kamu turuti langkah-langkah syetan. Se-sungguhnya syetan itu musuh yang nyata
bagi kamu.
(QS. Al-Baqarah:208)
***
Tidak sedikit di antara kita yang mengaku sebagai muslim namun belum merasakan apa bedanya
antara muslim dengan yang bukan. Ban-yak di antara ummat Islam yang menjadi muslim karena
memang dila-hirkan dari orang tua Islam, kemudian menjadi muslim keturunan dan ikut-ikutan.
Tidak pernah merasakan nikmatnya beragama Islam mau-pun bertanggungjawab akan agama
yang dianutnya.
Kesadaran inilah yang harus segera diperingatkan sebelum kita di-mintai pertanggungjawaban
keIslaman kita di hadapan Allah SWT.
Memang Islam agama yang tidak dipaksakan untuk memeluknya, tetapi apabila kita telah siap
untuk memasukinya, di dalamnya terkand-ung beberapa syariat dan ajaran yang mau tidak mau
harus ditaati dan dilaksanakan. Ibaratnya Islam adalah sebuah rumah, setiap orang yang lewat
dipersilahkan menengok dan memperhatikannya serta tidak ada paksaan untuk memasukinya.
Namun jika telah yakin untuk memasu-kinya, maka dia menjadi penghuni rumah itu dan harus
mematuhi setiap aturan yang diberlakukan oleh tuan rumah.
Demikian pula agama Islam. Janganlah kita seperti orang yang hanya melihat Islam dari
jendelanya saja. Artinya hanya mengamalkan sebagian syariat saja, atau memilih-milih mana
yang menguntungkan dirinya, ia laksanakan dan yang merugikan kehidupan materinya, ia buang
jauh-jauh. Seperti yang disitir Allah dalam firman-Nya; Sesung-guhnya Allah telah membeli
dari orang-orang mumin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka
berperang pada jalan Allah, lalu mereka membunuh atau terbunuh. Itu telah menjadi perjanjian
yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al-Quran. Dan siapakah yang lebih me-nepati
janjinya selain Allah. Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu dan
itulah kemenangan yang besar.
Dengan jelas ayat ini mengemukakan tentang kewajiban seorang mumin yang telah
mengadakan perjanjian dengan Allah SWT yaitu un-tuk melaksanakan syariat-Nya dan akan
dibalas dengan kebahagiaan surga yang kekal abadi. Demikian pula ayat yang penulis kutip di
atas, menjelaskan seruan Allah SWT kepada seluruh kaum muminin dan muminat agar
menjalani Islam dengan kaffah, artinya secara sempurna dari A sampai Z, baik dalam
kehidupan pribadi, rumah tangga, masyarakat serta bagaimana menghubungkan diri dengan
Khaliq (Pen-cipta dan Pemelihara seluruh makhluk). Karena apabila kita lengah dan lalai dalam
mengamalkan syariat Islam, di sanalah pintu syetan akan terus mengintai kehidupan kita.
Padahal Allah menegaskan bahwa syetan adalah musuh yang nyata. Mengapa kesadaran tersebut
belum kunjung datang ? Jawabnya, karena kita belum sempurna mempelajari dan mengamalkan
syariat Islam dalam setiap langkah kita. Maka untuk mengantisipasi khutwaat syetan (strategi
syetan dalam menyesatkan manusia) ada beberapa aspek penting yang harus menjadi acuan
setiap muslim agar terwujud seorang muslim yang paripurna.
Pertama: Meluruskan aqidah yang telah kita yakini.
Aqidah adalah masalah yang prinsipil dalam Islam, karena hal inilah yang membedakan antara
muslim dengan manusia lainnya. Aqi-dah atau yang kita kenal dengan iman merupakan syarat
diterimanya amal baik serta perbuatan kita, sebagaimana firman Allah; Barangsiapa yang
mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka
sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami
beri balasan kepada mereka dengan pahala yang le-bih baik dari apa yang telah mereka
kerjakan.
Ayat ini menegaskan bahwa hanya dengan iman-lah amal kita diter-ima oleh Allah dan
mendapat balasan di sisi-Nya. Supaya aqidah dan keimanan kita tetap terpelihara, maka ada
beberapa amalan yang harus dilaksanakan, yaitu;
a. Mengetahui seluk beluk tauhid sebagai intinya aqidah yang ter-kandung dalam Al-Quran dan
As-Sunnah, baik tauhid uluhiah yaitu men-jadikan Allah sebagai Yang berhak disembah dan
dipertuhankan. Atau tauhid Ubudiah yaitu menjadikan Allah SWT yang berhak diibadahi, se-
bagaimana firman Allah; Dan sesungguhnya Kami telah mengutus pada tiap-tiap ummat
seorang rasul (untuk menyerukan); Sembahlah Allah saja, dan jauhilah thaghut itu !, maka di
antara mereka ada orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula orang yang sesat. Maka
berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang yang
mendustakan rasul-rasul.
Juga memahami tauhid Asma wa Sifat yaitu memelihara sifat-sifat Al-lah SWT dengan cara
meyakini serta menerapkannya dalam kehidupan kita. Sabda Rasulullah SAW; Allah SWT
memiliki 99 nama (Asmaul Husna). Barangsiapa yang memeliharanya pasti mendapat surga.
b. Memelihara aqidah dengan melaksanakan taqwa (takut kepada Allah dengan melaksanakan
perintah-Nya dan memelihara hududullah. Dzikir (selalu mengingat Allah dengan lisan dan
sikap), firman Allah; Yaitu orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram
dengan mengingat Allah. Ingatlah hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi ten-teram.
Syukur (menyadari kebesaran nikmat Allah yang telah diberikan. Taubat (mendekatkan diri
kepada Allah dengan iman dan amal shalih. Muraqabah (merasa selalu diperhatikan Allah, baik
ketika menyendiri atau dalam keramaian. Mahabbah, menjadikan Allah SWT sebagai kekasihnya
dengan cara melaksanakan permintaan-Nya dan tawakkal, menjadikan Allah sebagai tempat
mengadu dan berserah diri.
Kedua, Membenahi ibadah kita yang sudah biasa kita lakukan.
Selama ini, terkadang kita melaksanakan ibadah atas dorongan ter-paksa. Akibatnya ibadah
tersebut kurang berpengaruh dalam kehidupan. Untuk menjaga keutuhan ibadah kita, maka
hendaknya kita memeliha-ranya dengan cara;
a. Ittiba yaitu mengikuti ketentuan Allah dalam Al-Quran dan se-suai dengan Sunnah Rasulullah
SAW, termasuk juga memperhatikan setiap amalan yang wajib dan sunat, seperti shalat tahajud,
qira-atul quran, dzikir dan doa serta amal shalih lainnya. Hal ini dalam upaya melak-sanakan
taqarrub (mendekatkan diri kepada Allah), sebagaimana sabda Rasulullah SAW; Sesungguhnya
Allah SWT telah berfirman; Siapa yang memusuhi wali-Ku, maka sungguh Aku akan
menyatakan perang kepadanya. Dan tiada mendekatkan diri kepada-Ku seorang hamba dengan
sesuatu yang lebih Aku sukai daripada menjalankan apa yang telah Aku wajibkan atasnya. Dan
se-lalu hamba-Ku mendekat kepada-Ku dengan menambah amal-amal yang sunat sehingga Aku
sayang kepadanya. Maka apabila Aku telah sayang kepadanya, jadilah Aku sebagai pendengaran
yang ia dengar, penglihatan yang ia saksikan dan tangannya dimana ia bergerak serta kakinya
dimana ia berjalan. Apabila ia meminta pasti aku akan memberinya dan apabila ia mohon
perlindungan pasti Aku melindunginya.
b. Menerapkan ikhlas dalam seluruh ibadah dan khusyu melak-sanakannya. Artinya tujuan dan
niat kita harus lurus dan sejalan dengan kehendak Allah sebagaimana yang selalu kita ikrarkan;
Sesungguhnya shalatku, Ibadahku, hidupku dan matiku hanya bagi Allah, Pengurus semesta
alam.
Ketiga, Memperbaiki akhlaq serta perilaku hidup sehari-hari.
Banyak sekali akhlaq mulia dalam Islam yang belum kita laksana-kan, yang meliputi;
a. akhlaq terhadap diri sendiri.
b. akhlaq terhadap Allah dan Rasul-Nya dan
c. akhlaq terhadap sesama makhluk.
Dengan jelas Rasulullah SAW menyatakan, bahwa Allah mengutus-nya untuk membenahi
akhlaq-akhlaq manusia. Inti dari akhlaq ialah se-lalu menjaga diri dari syubhat (yang meragukan)
dan syahwat yang selalu dihembuskan syetan lanatullah. Sabda Rasulullah SAW; Perkara yang
ha-lal telah jelas dan perkara yang haram pun telah jelas, dan di antara keduanya ada perkara
yang syubhat dan kebanyakan manusia mengetahuinya. Barangsiapa yang berhati-hati dari
syubhat, maka ia telah memelihara agama dan kehorma-tannya. Tetapi barangsiapa yang
melakukan syubhat, maka ia terjerumus pada yang haram. Ingatlah, dalam setiap diri ada
segumpal daging, apabila ia baik maka baik pula seluruh jasadnya dan apabila ia rusak, maka
Binasalah jasadnya. Ingatlah bahwa itulah hati.
Maka selayaknya kita selalu menjaga seluruh aktifitas kita dari se-suatu yang syubhat apalagi
yang haram, menjaga pandangan kita, pendengaran kita, ucapan kita serta bisikan hati kita dari
syahwat yang se-lalu menggoda.
Keempat, Menerapkan kehidupan Islami dalam keluarga dan rumahtangga.
Setelah kita mampu menjaga diri serta membereskan aqidah, ibadah dan akhlaq pribadi, maka
kewajiban kita selanjutnya ialah menjaga ke-luarga serta kerabat dekat kita agar menjadi muslim
kaffah. Hal ini meru-pakan tanggung jawab bersama, apapun status yang kita sandang, apakah
sebagai anak, ayah, ibu, suami atau isteri tetap berkewajiban mengajak keluarga ke dalam
kebaikan. Prinsip kita dalam ber-amar maruf nahi munkar kepada keluarga ini ialah Lebih baik
memaksa mereka ke dalam surga daripada membiarkan mereka menuju neraka. Dengan
demikian keluarga kita telah menjadi keluarga sakinah (tenteram), mawad-dah (saling
menyayangi dalam kebaikan) dan rahmah (penuh kasih sayang Allah).
Empat aspek ini yang termasuk kurikulum atau tingkatan menuju muslim paripurna. Insya Allah,
dengan mengamalkan seluruhnya akan lahir generasi yang selalu konsisten terhadap
keIslamannya serta ber-tanggung jawab atas agama yang dianutnya.
***
Rasulullah SAW bersabda: Tiga Perkara yang merupakan puncak nikmat-nya iman yaitu;
Pertama, orang yang mencintai kepada Allah dan Rasul-Nya melebihi cintanya kepada orang
lain. Kedua, orang yang mencintai sesamanya karena Allah semata. Dan Ketiga, orang yang
benci kembali kepada kekafiran seperti merasa takut dilemparkan ke dalam neraka.
(HR. Al-Bukhari dari Anas RA)
***
Mahabbah atau cinta merupakan amaliah batin yang membuat manusia terlena dan berani
berkorban demi sesuatu yang dicintainya, sekalipun nyawa taruhannya. Sejak manusia pertama
Adam as dan Hawa, masalah cinta telah membuat kehidupan penuh dengan dinamika dan
keramaian. Kisah Kabil dan Habil merupakan salah satu di antara sekian banyak peristiwa cinta
yang romatis sekaligus mendebarkan. Keinginan manusia mencurahkan cintanya adalah naluri
yang sifatnya alamiah dan merupakan sunnatullah yang wajar. Sebagaimana firman Al-lah:
Dihiaskan kepada manusia mencintai syahwat (keinginan nafsu) seperti perempuan-perempuan,
anak-anak dan harta benda yang banyak dari emas, perak kuda yang bagus, binatang-binatang
ternak dan tanaman-tanaman. Demikianlah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah adalah
tempat kembali yang sebaik-baiknya.
Namun, terkadang orang keliru memilih objek yang dicintai dan cara mencintai, sehingga tidak
sedikit yang terjerumus menjadi korban cinta yang salah kaprah tadi. Hal ini sebagaimana
disinyalir dalam fir-man Allah SWT. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik
bagimu. Dan boleh jadi pula, kamu mencintai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu, Allah
mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.
Ayat ini secara jelas mengemukakan tentang perasaan cinta manusia yang relatif kebenarannya
sehingga salah memilih objek yang dicin-tainya. Oleh karena itu, ada baiknya bila kita
memahami sifat yang layak kita cintai dan bagaimana mengekspresikan cinta kita kepadanya,
supaya kita tidak terseret arus dan menjadi korban cinta yang buta akan kebena-ran.
Kecenderungan manusia untuk mencintai makhluk sebagaimana disebutkan pada ayat di atas,
menunjukkan bahwa dunia dan segala is-inya merupakan objek cinta yang mudah melekat pada
setiap manusia. Karena Rasulullah SAW mengingatkan ummatnya, akan dampak yang
ditimbulkan bila kita terlalu mencintai dunia, sabdanya: Akan datang suatu masa dimana ummat
Islam akan diperebutkan dan dikoyak-koyak seperti hidangan oleh ummat lainnya, padahal
jumlah mereka banyak tetapi mereka seperti busa lautan, hal ini terjadi karena telah terjangkit
penyakit, para shaha-bat menanyakan apa penyakit tersebut, Nabi menjawab, Yaitu cinta dunia
dan takut mati. Hadits ini menyebutkan bahwa salah satu akibat dari ter-lalu mencintai dunia,
maka kaum muslimin akan lalai dari tugasnya se-bagai hamba Allah yang diciptakan hanya
untuk beribadah kepada-Nya. Jadi, cinta seseorang kepada sesuatu yang menjadi kekasihnya itu
dapat membuat dirinya melupakan yang lain selain dirinya. Sebagaimana di-ungkapkan dalam
firman Allah SWT yang mengingatkan manusia agar berhati-hati mencintai sesuatu, Hai orang-
orang yang beriman jangan sam-pai harta dan anak-anak mu melalaikan kamu dari ingat kepada
Allah. Barang-siapa yang berbuat demikian, merekalah orang-orang yang rugi...
Secara tegas ayat ini menegur kaum muminin untuk tetap mengin-gat Allah dan jangan sampai
harta dan anak serta perhiasan duniawi me-lalaikannya dari dzikir dan mahabbah kita kepada-
Nya. Bagaimana se-benarnya hakikat cinta itu ? Dari penjelasan di atas, kita dapat sedikit
menyimpulkan makna cinta serta konsekuensinya bila kita jatuh cinta. Lebih jelas lagi,
Rasulullah SAW menggambarkan sikap dan karakter cinta, sabdanya: Cinta sejati akan
terwujud dalam tiga bentuk: Pertama, lebih mementingkan perintah kekasihnya daripada perintah
yang lain, Kedua, lebih mementingkan pertemuan dengan kekasihnya daripada pertemuan
dengan yang lain dan Ketiga, lebih mementingkan mendapat keridlaan kekasihnya daripada
keridlaan yang lainnya.
Ketiga karakter cinta sejati ini, memang harus menjadi bahan pere-nungan kita, sudah sejauh
mana cinta kita terhadap kekasih kita ?, apakah hanya sekedar ucapan saja tanpa memperhatikan
perihal lainnya yang justeru merupakan konsekuensi dari cinta sejati.
Hadits yang penulis kutip di atas menjelaskan tentang objek cinta yang sesungguhnya disertai
dengan pelaksanaannya yang secara nyata menjadi jaminan untuk mendapatkan kelezatan iman.
Terlalu sering kita mendengar istilah iman dan segala yang berkaitan dengannya. Namun kita
sering mempertanyakan tentang kualitas iman yang ada pada pri-badi setiap muslim sekarang.
Kenyataan yang sering terjadi, iman hanya dijadikan hiasan bibir saja. Untuk itu, sudah
selayaknya kita mengerti dan faham di antaranya ialah tiga ciri yang menjadi jaminan keimanan
kita mencapai puncaknya.
Pertama; orang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya melebihi dari kecintaannya kepada yang
lain. Mahabatullah (Cinta kepada Allah) meru-pakan puncak iman yang tertinggi, bahkan
menurut Ibnul Qayim, ke-sempurnaan seorang hamba sangat ditentukan oleh dua kekuatan, yaitu
ilmu dan mahabbah (cinta kepada Allah), karena melalui dua jalan inilah seorang hamba semakin
dekat dengan-Nya. Cinta kepada Allah artinya sesuai dengan pengertian cinta sejati di atas, yaitu
dengan memperhati-kan setiap apa yang difirmankan-Nya sampai masalah sekecil apapun. Cinta
kepada Allah dibuktikan juga dengan kecintaan kepada Rasul SAW yaitu dengan mengikuti
Sunnah-Nya serta menjadikannya sebagai panu-tan dan figur yang mulia. Firman Allah SWT:
Katakanlah (wahai Muham-mad); Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku,
niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu, Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.
Kedua, mencintai seseorang atau sesuatu karena Allah. Maksudnya, setiap kali mencintai sesuatu
baik itu hiasan duniawi atau kekasih lain-nya, maka yang harus menjadi dorongannya ialah
karena Allah semata. Mencintai seorang wanita karena Allah misalnya, dengan niat bahwa
kecintaannya hanya sebatas kasih sayang sesama muslim selama dia ber-jalan di atas keridlaan
Allah. Cinta kepada sesama muslim sangat dian-jurkan dalam Islam, sebuah firman Allah
menyebutkan:
Muhammad utusan Allah dan orang-orang yang bersamanya adalah san-gat keras menghadapi
kekufuran dan belas kasih di antara sesama mereka.
Hal ini juga disinyalir dalam Hadits Nabi SAW sabdanya; Allah ber-firman: Mereka yang
cinta kasih karena kebesaran-Ku, maka baginya beberapa mimbar dari cahaya yang diinginkan
oleh para Nabi dan orang-orang yang sya-hid. Bahkan dalam Hadits Qudsi yang lain, Allah
SWT berfirman; Mereka yang berteman satu sama lain karena Aku, berhak memperoleh cinta-
Ku. Dan tiada seorang mumin yang berserah diri kepada-Ku atas kematian tiga orang anak
kandungnya yang belum dewasa, niscaya Allah memasukannya ke dalam surga dengan limpahan
karunia dan rahmatnya.
Dalam Al-Quran banyak sekali ayat yang menyinggung masalah cinta kasih. Di antara orang
yang dicintai Allah ialah;
(1) Orang yang shabar
(2) Orang yang bersatu dalam jihad fi sabilillah
(3) Orang yang adil
(4) Orang yang bertawakal kepada-Nya
(5) Orang yang berbuat baik
(6) Orang yang taqwa
Ketiga; ciri yang terakhir dari orang yang mendapat kelezatan iman ialah mereka yang benci
untuk kembali kapada kekafiran dan maksiat setelah Allah melepaskannya dengan mengabulkan
taubatnya, sebagai-mana dia benci dilemparkan ke dalam neraka. Sikap seperti ini mutlak
dimiliki oleh setiap muslim sejati yang memilih Allah sebagai kekasihnya. Karena Dia
menghendaki dan mencintai orang-orang yang selalu menjauhi dosa serta membersihkan jiwa.
Firman Allah: Sesung-guhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih, mereka
itu adalah sebaik-baiknya makhluk. Balasan mereka di sisi Tuhannya ialah surga yang mengalir
di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah me-ridlai mereka dan merekapun
ridla kepada-Nya.
Inilah ayat yang mendorong kita untuk selalu berusaha meraih keridlaan-Nya dengan iman dan
amal shalih, supaya kita mendapat kasih sayang Allah SWT yang tidak ada bandingannya.
Dengan tiga sikap dan sifat di atas, mudah-mudahan kita termasuk salah seorang di antara
mereka yang mendapat kelezatan iman. Amien.
***
Adalah kamu (kaum muslimin) sebaik-baiknya ummat yang dilahirkan un-tuk manusia,
menyuruh kepada
kebaikan dan mencegah kemunkaran dan beriman kepada Allah. (QS. 3:110)
***
Max Weber dalam bukunya The Protestant Ethic And Spirit Of Capitalism (Etika Protestan
dan Roh Kapitalisme) mengemukakan ten-tang terdapatnya kaitan antara afiliasi keagamaan dan
stratifikasi sosial dengan mendasarkan pada penjelasan akan pengaruh doktrin teologi pada
berbagai sekte keagamaan terhadap etos kerja para pemeluknya. Beberapa contoh membenarkan
teori Max Weber ini. Di antaranya hasil penelitian Yamamoto Shichihei terhadap pendeta Budha
Zen Suzuki Sha-shan (1879-1955). Sebagaimana diketahui, Jepang merupakan negara Timur
yang mampu menandingi Barat dalam kemajuan industri dan perekonomian sehingga mampu
menguasai dunia. Ternyata kemajuan Jepang sangatlah unik karena kesuksesan yang diraihnya
tidak semata-mata mengikuti dan mengambil unsur-unsur ilmu pengetahuan dan teknologi Barat,
melainkan dengan memelihara dan mendekatkan diri pada nilai budaya tradisionalnya yaitu
sistem kepercayaan Budhisme Zen. Ajaran Budhisme Zen ini menekankan bahwa dengan niat
yang benar, maka setiap gerak kerja adalah amal budhis sehingga seluruh pen-ganutnya memiliki
etos kerja yang bersumber pada nilai-nilai agama, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun
dalam bisnis.
Islam adalah agama wahyu yang diyakini dan dianut kebanyakan ummat manusia dari berbagai
etnis dan suku bangsa. Perbedaan warna kulit dan bahasa tidak menjadi masalah karena
semuanya merujuk pada satu azas yang telah disepakati yaitu Al-Quran sebagai satu-satunya
kitab suci dan dijelaskan dengan Sunnah Nabawiah sebagai interpretasinya. Kedua konsep ini
menjadi sumber hukum dan pedoman hidup setiap muslim baik dalam kehidupan pribadi,
keluarga maupun masyarakat dan bernegara. Inilah yang dimaksud dengan Muslim Kaffah atau
muslim paripurna yang selalu mengaplikasikan kedua azas tadi dalam setiap ak-tifitas hidupnya.
Al-Quran dan Sunnah telah terbukti sebagai sumber ajaran yang menganjurkan kerja keras dan
optimisme dalam menjalani kehidupan dunia. Firman Allah;
Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan
yang ada pada diri mereka sendiri...
Petikan ayat ini secara tegas mengajarkan optimisme walaupun ti-dak dipungkiri adanya konsep
taqdir dalam hal ini. Namun jika pema-haman taqdir diletakkan pada makna yang sesungguhnya,
maka akan sampai pada kesimpulan bahwa Islam menghargai kerja keras dan ke-sungguhan niat
dalam berikhtiar, serta Islam mencela ummatnya yang hanya berpangku tangan menanti nasib
atau hanya bangga dengan se-tumpuk konsep tanpa dibuktikan dengan aplikasinya. Dalam
sebuah Hadits dijelaskan; Allah tidak akan menerima ucapan seseorang melainkan diiringi
dengan amalnya, serta Allah tidak akan menerima ucapan dan amal me-lainkan dengan niat,
serta Allah tidak akan menerima ucapan, amal dan niat me-lainkan harus sesuai dengan Al-
Quran dan Sunnah.
Ummat Islam sesungguhnya punya potensi besar seperti yang dica-pai oleh bangsa Jepang
sekarang yang juga berangkat dari sistem keper-cayaannya. Al-Quran menyebut kaum muslimin
sebagai ummatan wa-satha, khairul ummah, golongan yang terbaik seperti dijelaskan dalam fir-
man Allah: Adalah kamu (kaum muslimin) sebaik-baiknya ummat yang dila-hirkan untuk
manusia, menyuruh kepada kebaikan dan mencegah kemunkaran dan ber-iman kepada Allah.
Masalahnya sekarang ialah, sejauh mana ummat Islam memahami konsep-konsep ini sehingga
bisa membawa pada kemajuan dan bisa meningkatkan etos kerja yang kini pasang surut.
Jika kita memperhatian ayat 11 surat Ar-Radu di atas maka sesung-guhnya ajaran Islam tidak
statis, bahkan membantah paham fatalism (ja-bariah) dalam masalah predetinations (taqdir).
Kemudian dipertegas den-gan beberapa Hadits yang mengisyaratkan bahwa Islam menghargai
ummatnya yang optimis menjalani hidup di dunia.
Dengan beberapa penjelasan ini, ada beberapa hikmah yang harus kita pahami, bahwa
seharusnya setiap muslim memiliki etos kerja yang tinggi dan sikap optimis. Namun mengapa
kondisi sekarang justeru se-baliknya ?
Ada beberapa hal yang menjadi penghambat kemajuan ummat Islam dewasa ini. Salah satu di
antaranya ialah masih memandang saktarian dan sempit makna ibadah serta ada salah paham
dalam menjalankan konsep ajaran Islam. Golongan tradisional sebagian menganggap ibadah itu
hanya shalat, dzikir di sudut masjid dan berdoa belaka. Ibadah diba-tasi oleh ruang dan waktu,
dan di luar itu sama sekali tidak ada penga-ruhnya dalam kehidupan pribadi maupun masyarakat.
Padahal antara keduanya memiliki keterkaitan dan merupakan satu kesatuan yaitu ibadah,
sebagaimana firman Allah; Tidak ada kebaikan pada bisikan mereka kecuali bisikan dari orang
yang menyuruh (manusia) memberi sedekah atau ber-buat kebaikan atau mengadakan
perdamaian di antara manusia. Dan barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari keridlaan
Allah maka kelak Kami akan memberi kepadanya pahala yang besar.
Dalam hal ini, seluruh aktifitas manusia bisa bernilai ibadah dan disediakan pahala yang besar
apabila diiringi niat mencari keridlaan Al-lah. Karenanya niat atau motivasi merupakan faktor
yang dapat membe-dakan satu perbuatan bernilai ibadah atau tidak, bukan masalah jenis
perbuatannya. Sabda Rasulullah SAW; Sesungguhnya sah atau tidak suatu amal itu tergantung
pada niat. Bagi setiap orang akan menerima balasan sesuai dengan apa yang telah diniatkannya.
Maka barangsiapa berhijrah dengan niat semata-mata karena Allah dan Rasul-Nya, pastilah
diterima di sisi Allah dan Ra-sul-Nya. Dan barangsiapa yang berhijrah karena keuntungan
duniawi, maka dia akan mendapatkannya. Serta barangsiapa yang berhijrah karena wanita,
diapun akan mendapatkannya. Adalah hijrah itu sesuai dengan niatnya.
Syekhul Islam Ibnu Taimiyah mengemukakan konsep ibadah seba-gai penafsiran dari QS. Adz-
Dzariyat:56 yaitu segala bentuk aktifitas manusia yang dicintai Allah dan yang diridlai-Nya baik
dalam bentuk ucapan maupun perbuatan lahir dan batin. Definisi ini bersifat universal sehingga
memungkinkan kita memasukkan berbagai macam aktifitas manusia setiap saat.
Lebih rinci lagi definisi yang dikemukakan Ibnul Qayim seorang to-koh salaf, bahwa ibadah
memiliki lima belas kaidah. Dengan penjelasan antara lain; Ibadah meliputi tiga aktifitas, yaitu
(1) hati, (2) lisan dan (3) anggota badan. Setiap aktifitas ini masing-masing memiliki lima hukum
yaitu; (1) Wajib, (2) Sunnah, (3) Mubah, (4) Makruh dan (5) Haram. Con-tohnya, lisan dikenai
oleh wajib menyampaikan yang haq dan dikenai haram mengucapkan dusta, dan seterusnya.
Ibnul Qayim lebih menekankan batasan ibadah yang aplikatif. Se-mua definisi ibadah merujuk
pada satu pemahaman bahwa seluruh aspek kehidupan manusia tidak boleh kosong dari ruh
ibadah sebagai-mana firman Allah; Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali
hanya untuk beribadah kepada-Ku.
Pokok ajaran ibadah terkandung dalam tiga disiplin yang satu sama lain tidak bisa dipisahkan
yaitu Islam, Iman dan Ihsan. Unsur Islam yang lima ibarat tiang penyangga bangunan ibadah.
Unsur iman perlam-bang segi enam pondasi yang harus tersusun kokoh. Dan unsur ihsan ba-
gaikan atap yang membuat keteduhan ruangan ibadah. Dengan mema-hami konsep ibadah secara
benar, akan terbentuk pribadi muslim pari-purna yang berprinsip Hayatuna Kulluha Ibadah
(Seluruh hidup kami hanya ibadah semata) sehingga dengan begitu akan menumbuhkan etos
kerja yang tinggi dengan motifasi (niat) mencari keridlaan Allah SWT dalam setiap aktifitas
duniawi maupun ukhrawi.
Allah berfirman; Dan carilah apa yang telah Aku anugerahkan kepadamu dari tempat Akhirat,
janganlah kamu melupakan bagian duniawi. Berbuat baik-lah sebagaimana Allah berbuat baik
kepadamu dan janganlah kamu berbuat keru-sakan di muka bumi. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang yang membuat kerusakan.
***
Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa syirik, dan Dia mengam-puni dosa selainnya, bagi
orang yang ia
kehendaki. Barangsiapa berbuat syirik pada Allah, maka sesungguhnya ia telah bebuat dosa
besar.
(QS. An-Nisa: 48)
***
Begitu mendesaknya masalah syirik dan pirantinya disoroti dan kembali dijadikan tema pokok
kajian dawah Islamiah, agar ummat Islam tidak terkecoh dan semakin waspada terhadap parasit
aqidah yang selalu mengancam kehidupan kita.
Masalah kemusyrikan telah menjadi tantangan agama tauhid sejak para Nabi sebelum
Muhammad SAW, sehingga semua Nabi menyerukan pemurnian aqidah dari syirik ini. Nabi
Ibrahim AS pun seorang Nabi yang menentang kemusyrikan. Firman Allah SWT.:
Sesungguhnya telah ada suri teladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang
bersama dia, ketika mereka berkata kepada kaumnya; Sesung-guhnya kami berlepas diri dari
kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Al-lah, kami ingkari (kekafiran) mu dan telah nyata
antara kami dan kamu per-musuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman
kepada Al-lah.
Demikian juga yang dilakukan oleh Rasulullah SAW beserta para shahabatnya. Beliau mewanti-
wanti ummatnya dari masalah syirik se-kecil apapun, sehingga secara detail dijelaskan. sebuah
Hadits mengung-kapkan betapa syirik selalu mengintai kita setiap saat, sabda Rasulullah SAW:
Syirik menyebar di kalangan ummat lebih tersembunyi dari pada semut kecil yang melata di
atas batu hitam, sedang penghapusnya ialah: Allahumma Innii Audzubika an Usyrika bika
syai-an wa ana alamu, Astaghfiruka minad dzanbil ladzi laa alamu. (Ya Allah, aku berlindung
kepada-Mu dari ter-jerumusnya aku pada menyekutukan-Mu, sedangkan aku mengetahui, aku
mohon ampunan-Mu dari dosa yang tidak aku ketahui.
Pada ayat di atas dengan tegas Allah memurkai syirik kepada-Nya dan tidak akan pernah
mengampuni orang yang berlaku syirik selama ia tidak meninggalkan perbuatannya atau bertobat
sebelum ajalnya datang, sehingga menghukuminya sebagai dosa yang paling besar.
Syirik dan Jenisnya
Asy-Syirku berasal dari Asyraka - Yusyriku yang berarti membuat persekutuan. Dalam
istilah fiqh dikenal sistem Musyarakah yaitu men-gadakan akad bersekutu dalam usaha dan
muamalah.
Beberapa kitab tauhid mendefinisikan Asy-syirku billah dengan men-yekutukan atau membuat
tandingan terhadap Allah SWT. Secara tersirat QS. Al-Ikhlas: 1-4 mengisyaratkan makna tauhid
sebagai lawan dari sy-irik. Firman Allah: Dialah Allah Yang Maha Esa. Allah adalah tempat
bergan-tung. Dia tidak beranak dan tidak diperanakkan (berbapak). Tidak ada satupun yang
menyamainya.
Ditinjau dari sebab turunnya (asbabunnuzul) surat ini berkenaan dengan kaum musyrikin yang
menentang ajaran Tauhid yang dibawa oleh Rasulullah SAW. Sebagaimana dikutip oleh Al-
Maraghi dalam taf-sirnya: Ad-Dhahhak meriwayatkan bahwa kaum musyrik pernah mengu-tus
Amir Ibnu Thufail menghadap Rasulullah SAW untuk menyampai-kan ancaman mereka
terhadap ajaran tauhid dan tawaran-tawaran halus agar meninggalkan dawahnya. Namun dengan
tegas Rasulullah SAW menjawab: Aku adalah utusan Allah untuk mengajak kalian
meninggalkan penyembahan berhala dan supaya menyembah Allah saja! Kemudian Amir
mengatakan: Jelaskanlah Tuhan yang kamu sembah ? apakah terbuat dari emas atau perak ?.
Maka turunlah surat Al-Ikhlas di atas.
Jamaludin Al-Qasimi dalam kitab tafsirnya mengutip pendapat Ab-dul Baqa tentang enam jenis
syirik ketika menafsirkan QS. An-Nisa: 48 di atas antara lain:
Pertama; Syirik Istiqlal, yaitu meyakini adanya tuhan yang berk-edudukan sama sebagai
tandingan Allah SWT. masing-masing memiliki kekuatan sendiri yang sebanding. Syirik Istiqlal
ini dianut oleh orang Ma-jusi dengan ajaran bahwa api mempunyai maha kekuatan.
Kedua; Syirik Tabidl, yaitu berkeyakinan bahwa tuhan terdiri dari beberapa unsur yang tidak
bisa dipisahkan dalam sifat maupun dzatnya. Misalnya ajaran trinitas, trimurti dan sebagainya.
Ketiga; Syirik Taqrib, ialah menjadikan sesuatu sebagai sembahan dengan maksud mendekatkan
diri kepada Allah SWT atau sebagai peran-tara-Nya, seperti keyakinan kaum musyrikin jahiliah
penyembah berhala. Firman Allah: Ingatlah hanya kepunyaan Allah lah agama yang bersih dari
(syirik) dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah berkata kami tidak menyembah
mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.
Keempat; Syirik Taqlid, yaitu melakukan upacara atau penyembahan tertentu karena mengikuti
atau melestarikan nenek moyang walaupun bertentangan dengan akal dan syara. Seperti upacara
yang dilakukan oleh kaum watsaniah.
Kelima; Syirik Asbab, ialah meyakini adanya penyebab selain Allah dan menyandarkan segala
kejadian kepada selain Allah. Misalnya masih ada keyakinan bahwa sapi merupakan binatang
suci pembawa (penye-bab) berkah.
Keenam; Syirik Aghrad, yaitu apabila melakukan suatu perbuatan mengharap maksud selain dari
Allah SWT atau disebut syirik niat. Seperti melaksanakan puasa tertentu dengan niat untuk
mendapat jodoh dan lain-lain.
Kemudian secara garis besar, Al-Qasimi mengklasifikasikan bentuk syirik menjadi:
1. Syirik Fil afal; ialah bentuk syirik yang merupakan perbuatan ang-gota badan seperti
membungkukkan badan ketika menyembah berhala dan sebagainya.
2. Syirik Fil Aqwal; ialah menyekutukan Allah dengan perkataan atau ucapan baik secara
langsung maupun tidak langsung. Misalnya bersum-pah dengan selain nama Allah dan
sebagainya.
3. Syirik Fil Iradah wan Niah; berupa syirik dalam hati yang seringkali tidak terasa kita
melakukannya, misalnya riya (ingin diperhatikan manu-sia), sumah (ingin didengar orang) atau
berbentuk keyakinan terhadap kekuatan selain Allah.
Beberapa contoh di atas hanyalah contoh kecil dari sekian banyak syirik yang masih dianut dan
dilakukan masyarakat kita. Terkadang se-cara tidak disadari, masih ada beberapa unsur syirik
yang masih melekat pada kita.
Demikianlah bahaya dan ancaman syirik yang bertebaran pada masyarakat kita dan meracuni
aqidah ummat Islam yang masih awam dalam ketauhidannya. Padahal kemurnian tauhid serta
keimanan meru-pakan jaminan utama sebuah negara aman sentosa, sebagaimana firman Allah
SWT: Jika sekiranya penduduk negeri beriman dan bertaqwa pastilah kami akan melimpahkan
kepada mereka berkah dari langit dan bumi. Tetapi bila mereka mendustakan (ayat-ayat) Kami,
maka Kami siksa mereka disebabkan per-buatannya.
Sudah saatnya kita mengambil langkah penyelamatan aqidah kita dari parasit-parasit syirik yang
menjalar sampai pada jenis bacaan seka-lipun, supaya terwujud Baldatun Thayibatun wa Rabbun
ghafur, negeri yang tenteram penuh rahmat Allah SWT. Amien.
***
Suraqah datang kepada Nabi SAW, lalu berkata: Ya Rasulallah, apakah kita akan beramal hari
ini dengan apa yang telah ditulis qalam dan telah kering tintanya serta berdasar taqdir dari Allah
ataukah terhadap apa yang akan terjadi? Nabi Menjawab: Kita beramal sekalipun telah tertulis
dengan qalam dan telah di-taqdirkan. Suraqah berkata: Kalau begitu untuk apa kita beramal?
Nabi men-jawab: Beramallah, setiap orang dimudahkan dengan apa yang telah diciptakan
untuknya.(HR. Muslim dari Jabir)
***
Sudah lama perbedaan pendapat masalah taqdir dibahas dan dicari penyelesaiannya oleh para
ulama, namun selalu saja mendapat jalan buntu dan belum dapat terselesaikan. Masalah taqdir
merupakan sesuatu yang esensil dalam Islam, karena salah satu dalam rukun iman itu adalah
meyakini taqdir Allah yang baik dan jelek. Dengan demikian para ulama tidak pernah berhenti
mengungkap rahasia-rahasia taqdir ini sesuai den-gan kemampuan mereka. Dr. Abdullah Nashih
Ulwan, seorang ulama terpandang di Universitas King Abdul Aziz Jeddah menulis sebuah buku
khusus tentang taqdir ini "Af'al Al-Insan bain Al-Jabr wa Al-Ikhtiar" yang diterjemahkan oleh
GIP menjadi "Jawaban Tuntas Masalah Taqdir. Benarkah dengan membaca buku ini masalah
taqdir jadi selesai? Jawab-nya, belum, namun setidaknya keberadaan buku ini menambah
khazanah pemikiran teologi Islam sekaligus membuka satu jalan keluar bagi penyelesaiannya.
Memang, ketika membicarakan masalah taqdir ini, kita harus lebih berhati-hati, karena sedikit
saja kita le-ngah, tidak mustahil kelalaian itu membawa kepada kemusyrikan. Pernah suatu
malam Rasulullah SAW datang ke rumah Ali, lalu beliau bertanya: "Apakah kamu sudah
shalat?" Ali menjawab: "Wahai Rasulullah, jiwa kami ada dalam genggaman Allah, apabila
Allah menghendaki, tentulah kami dibangunkan-Nya untuk shalat. Mendengar jawaban Ali,
Rasulullah SAW meninggalkannya tanpa ber-kata-kata. Sambil keluar Nabi memukul pahanya
sambil membacakan ayat: "Dan adalah manusia lebih banyak berdebatnya. Demikianlah sikap
Ra-sulullah SAW ketika mempermasalahkan taqdir, beliau lebih baik menghentikan
pembicaraan, karena bila diteruskan akan terjadi perde-batan yang tidak ada ujung pangkalnya.
Lalu, bagaimana sesungguhnya mengimani taqdir Allah tersebut? Apakah dengan tidak
membicarakannya dianggap telah beriman?
Ikhtiar adalah taqdir. Kalimat ini merupakan kesimpulan semen-tara dari pemahaman penulis
terhadap beberapa pendapat tentang taqdir ini. Mudah-mudahan dengan penjelasan alakadarnya,
maksud ungkapan ini dapat dipahami dan membuka pikiran sementara orang yang me-mandang
taqdir hanya berlaku dalam masalah bencana dan kejelekan saja. Syekh Muhammad Bin Shalih
Al-Utsamain dalam risalahnya "Nub-dzah fi Al-Aqidah Al-Islamiah" mengemukakan empat
pokok iman ter-hadap qadar/taqdir Allah SWT.
Pertama, meyakini bahwa Allah SWT mengetahui segala sesuatu se-kecil apapun, mengetahui
peristiwa lampau dan yang akan terjadi, apapun yang kita perbuat Dia Maha Melihat.
Kedua, mengimani bahwa Allah SWT telah menentukan segala se-suatu yang terjadi di Lauh
Al-mahfuzh. Firman Allah SWT: "Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah
mengetahui apa yang ada di langit dan di bumi? Bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam
kitab (lauh Al-mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah.
Dalam sebuah Hadits dijelaskan: "Allah telah menuliskan qadar setiap makhluk sebelum Dia
menciptakan langit dan bumi selama lima puluh ribu ta-hun.
Ketiga, mengimani bahwa segala sesuatu yang terjadi adalah atas ke-hendak Allah SWT, baik
perbuatan-Nya sendiri atau perbuatan makhluk-Nya. Firman Allah: "Dan tuhanmu menciptakan
apa saja yang Dia kehendaki dan memilihnya. Sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka. Maha
suci Allah dan Maha tinggi dari apa saja yang mereka sekutukan dengan Dia.
Keempat, mengimani bahwa Allah SWT menguasai seluruh kejadian dengan dzat-Nya, sifat-Nya
dan gerakan-Nya. Firman Allah: ... Dia telah menciptakan segala sesuatu dan Dia menetapkan
ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya. ,
Setelah mengetahui pokok-pokok iman pada taqdir ini yang pada dasarnya menyimpulkan bahwa
amal perbuatan manusia, baik dan bu-ruk, telah tertulis (bukan ditentukan) dalam kitab Lauh
Al-Mahfuzh di sisi Allah SWT. Masalahnya sekarang ialah apa gunanya amal manusia bila
semuanya telah dialas? sebagaimana pertanyaan Umar bin Khathab, serta bagaimana kaitannya
dengan kebebasan memilih (ikhtiar) di antara dua perbuatan. Sebagai contoh, seorang berada di
antara dua jalan, jalan pertama sangat berbahaya dan jalan kedua tidak berbahaya. Jika Allah te-
lah menentukan dia memilih jalan pertama, apakah ikhtiar masih ber-laku? Sebelum menerapkan
makna taqdir dan ikhtiar pada contoh di atas, harus dipahami dulu beberapa faktor yang
memperjelas masalah ini.
Pertama, Allah memang telah menulis qadar dan pilihan seseorang, tetapi manusia tidak
mengetahui putusan yang telah Allah tulis berdasar kemaha tahuan-Nya itu.
Kedua, Allah SWT memberikan penjelasan tentang perbuatan dan akibat-akibatnya melalui para
Rasul. Firman Allah: "Mereka Kami utus se-bagai Rasul pembawa berita gembira dan pemberi
peringatan agar tidak ada ala-san bagi manusia membantah Allah setelah diutusnya rasul-rasul
itu.
Ketiga, Secara syara', Allah SWT menyuruh manusia beramal baik dan memilih jalan yang
selamat sesuai dengan kemampuannya. Ia men-dapat pahala dari kebaikan yang diperbuatnya
dan ia mendapat siksa dari kejahatan yang dilakukannya.
Keempat, berdasarkan kenyataan yang terjadi, sesungguhnya manu-sia tidak menyadari bahwa
dirinya telah ditentukan untuk melakukan perbuatannya, karena mereka diberi akal untuk
menimbang dan memu-tuskan.
Keempat faktor ini mempermudah dalam memahami taqdir dan ik-htiar. Maka pada contoh di
atas bisa dijelaskan sebagai berikut: kepu-tusan yang ia ambil sebagai ikhtiar, sekaligus
taqdirnya. Dia memilih (ik-htiar) jalan pertama, itulah taqdirnya. Sehingga kalau kedua-duanya
adalah taqdir, maka tentu seharusnya memilih jalan yang selamat.
Dikisahkan dalam Al-Bukhari, suatu ketika Umar bin Khathab dan shahabat lainnya hendak ke
Syam. Di tengah perjalanan mereka bertemu dengan pasukan yang baru pulang dari Syam dan
mengabarkan bahwa di Syam sedang dilanda wabah penyakit thaun. Maka Umar memu-tuskan
untuk kembali ke Madinah. Tapi Abu Ubaidah menolak dengan mengatakan: "Tidakkah kita lari
dari taqdir Allah?" Umar menjawab: "Kita lari dari taqdir Allah ke taqdir Allah yang lain.
Bukankah jika kamu meng-gembalakan untamu dan melihat dua lembah yang satu subur dan
satu lagi ker-ing, kamu memilih yang subur. Karena masing-masing keputusan adalah taqdir.
Kisah lainnya, Umar akan menghukum seorang pencuri dengan po-tong tangan. Lalu pencuri itu
membela: "Aku mencuri karena taqdir Allah" kemudian Umar menghukumnya dengan
cambukan tiga puluh kali dan baru dipotong tangannya. Umar berkata: "Sesungguhnya kami
mencam-bukmu dan memotong tanganmu adalah taqdir Allah.
Demikianlah hakikat ikhtiar dan taqdir yang menjadi pendorong se-seorang berbuat dan memilih
keputusannya. Dengan memahami dan mengimani qadha dan qadar Allah, akan timbul beberapa
sikap sebagai buah dari keimananan, di antaranya,
Pertama, selalu optimis dalam beramal shalih dan berusaha memilih keputusan yang terbaik.
Kedua, ketika terjadi cobaan menimpa dirinya seperti musibah atau kesakitan, ia akan mencari
jalan keluar dan berlapang dada pada kepu-tusan akhir, karena ia telah berusaha sebaik-baiknya,
firman Allah: "Tiada suatu bencana pun yang menimpa di muka bumi dan pada dirimu sendiri
me-lainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Al-mahfuzh) sebelum Kami mencipta-kannya.
Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. Kami jelas-kan supaya kamu jangan
berduka cita terhadap apa yang diberikan kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang
yang sombong dan membanggakan diri.
Ketiga, menumbuhkan sikap shabar dan syukur dalam hati setiap mumin yang mengimani taqdir
ini. Sabda Rasulullah SAW: "Sungguh beruntung menjadi seorang mumin, karena setiap yang
menimpanya adalah ke-baikan. Jika menimpanya sesuatu yang menggembirakan ia akan
bersyukur dan jika menimpanya suatu yang menyedihkan ia akan bershabar. Inilah kebai-
kannya.
Renungkanlah doa Istikharah ini;
Ya Allah, sesungguhnya aku memohon Engkau pilihkan yang baik dengan pengetahuan-Mu,
dan aku mohon Engkau memberi kekuatan dengan kekuasaan-Mu, dan aku mohon kemurahan-
Mu yang Maha luas, karena sesungguhnya Engkau berkuasa, sedang aku tidak berkuasa, dan
Engkau Maha mengetahui, se-dang aku tidak mengetahui, dan Engkau Maha mengetahui perkara
ghaib. Ya Al-lah, kalau sudah memang Engkau ketahui, perkara ini baik bagiku, bagi agamaku
dan kehidupanku serta baik bagi hari penghabisanku, maka berikanlah dia kepadaku dan
mudahkanlah urusannya buatku dan curahkanlah berkah bagiku. Dan kalau sudah memang
Engkau ketahui, perkara ini tidak baik bagiku, bagi agamaku dan kehidupanku serta bagi hari
penghabisanku, maka jauhkanlah dia dariku dan jauhkan aku darinya, dan berikanlah kebaikan
kepadaku, dimanapun adanya serta jadikanlah aku orang yang ridla.
Wallahu a'lam bishshawab.
MUKADIMAH
Ukhuwah Islamiah, sebuah istilah yang tidak asing lagi. Setiap fo-rum dan kegiatan selalu
menggunakan istilah ini untuk merangkul orang lain. Bisa jadi ukhuwah diselewengkan
maknanya untuk kepentingan-kepentingan pihak tertentu. Namun, pernahkah kita menganalisa
kem-bali, sejauh mana penggunaan istilah ini dalam kamus daulah Islamiah baik pada masa
Rasulullah SAW dan para shahabatnya atau masa kee-masan khilafah Islamiah, sehingga
maknanya menempati proporsi yang sesungguhnya, tidak kabur atau disalah artikan.
Dari kajian-kajian berdasarkan Al-Quran maupun as-Sunnah, kita akan memahami lebih
mendalam karakteristik dan asas (dasar-dasar) ukhuwah yang telah diterapkan serta dibina oleh
Rasulullah SAW, juga oleh simbol ukhuwah yang paling masyhur, yaitu shahabat Muhajirin dan
Anshar.
Allah SWT telah meneguhkan kedudukan Islam bagi generasi per-tama dari ummat ini, yaitu
generasi shahabat. Mereka berhasil dalam meyakini syariat Islam, melahirkan jiwa manusia
sesuai metode Islami, dan dalam membukhulkan Islam sebagai dasar persatuan mereka. Ke-
mudian mereka maju, beramal dengan landasan Islam untuk kepentingan Islam dengan
melancarkan gerakan secara berjamaah. Inilah jalan yang telah mereka tempuh untuk
mengantarkan kepada kedaulatan dan keteguhan posisi dienul Islam. Dan inilah jalan yang harus
kita tempuh kembali, jika pada suatu saat kita sadar dan hendak kembali kepada di-enul Islam.
Dengan demikian, penyadaran kembali menuju ukhuwah Islamiah hendaklah merujuk pada apa
yang telah dibuktikan oleh generasi salaf yang teguh dan komitmen akan Risalah Islam ini. Hal
ini sebenarnya te-lah menjadi janji Allah SWT bagi mereka yang memiliki sifat dan ciri generasi
terbaik sebagaimana yang difirmankan-Nya dalam QS. An-Nur: 55 yang dijadikan piagam
beramal dalam Islam: Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara
kamu dan mengerjakan amal shalih bahwa Dia bersungguh-sungguh akan menjadikan orang-
orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan mereka agama yang telah
diridlai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar keadaan mereka sesudah mereka
berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada
menyekutukan sesuatupun dengan-Ku. Dan barang siapa yang tetap kafir sesudah janji itu, maka
mereka itulah orang-orang yang fasik.
Dengan jelas ayat di atas merupakan bukti komitmen setiap muslim jika mereka benar-benar
dapat mewujudkan satu amal bersama yang di-landasi oleh ukhuwah Islamiah yang benar-benar
sempurna. Dr. Najib Ibrahim dalam bukunya Mitsaq amal Al-Islami mengatakan ayat terse-
but sebagai ayat piagam beramal dalam Islam. Untuk itu penting bagi setiap Muslim agar
memahami serta melaksanakan dengan benar amal Islamnya yang dilandasi ukhuwah Islamiah,
sebagaimana diperintahkan oleh Rasulullah SAW. Allah ridla pada kalian tiga hal dan benci
tiga hal, Dia ridla kamu menyembahnya, tidak menyekutukannya, serta tidak berpecah belah.
Dan benci akan tiga hal, bersandar kata orang atau katanya, banyak bertanya dan menyia-
nyiakan harta.
Demikianlah yang dimaksud beramal yang dilandasi ukhuwah se-bagaimana yang pernah
dilaksanakan oleh para Shahabat dan para Ulama pada masa pertama Islam.
Hai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan Taatilah Rasul-Nya dan Ulil Amri di antara
kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada
Allah (Al-Quran) dan Rasul (Sun-nah), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan Hari
Akhir. Yang demikian itu lebih utama dan lebih baik akibatnya. (QS. 4:59)
***
Banyak di antara kita -kaum muslimin, jika mendengar kata bidah langsung tutup kuping.
Ada juga orang yang phobi terhadap istilah yang satu ini walaupun mereka terkenal seorang dai
atau ulama, sehingga ketika melihat perbuatan yang sudah jelas menyalahi ketentuan syariat
Islam, mereka tidak berani menegur atau memperingatkan bahwa hal itu termasuk bidah yang
dilarang. Inilah sedikit illustrasi bahwa opini masyarakat terhadap kata bidah cukup negatif,
bahkan dianggap se-bagai penghalang terwujudnya ukhuwah Islamiah yang sekarang men-jadi
tema sentral era kebangkitan Islam.
Apa sebenarnya istilah yang menyeramkan ini ? Patutkah kita menghapusnya dalam kamus
dawah, sehingga dengan demikian ukhu-wah Islamiah dalam konteks lain tetap utuh dan
berjalan mulus ?
Beberapa ulama kita ada yang memandang bahwa memvonis suatu masalah agama dengan
ungkapan bidah termasuk menyalahi metoda dawah yang seharusnya dengan lemah lembut
atau dengan hikmah dan mauidzah hasanah. Benarkah demikian ?
Uraian dalam tulisan ini dimaksudkan untuk mengungkap apa dan bagaimana pengertian bidah
yang sesungguhnya serta meluruskan per-sepsi yang keliru tentang penerapan kata bidah
dalam masalah agama ini, sehingga diharapkan kita mengerti dan dapat mengambil sikap ketika
berhadapan dengan istilah ini.
Bidah dan Jenisnya
Biasanya orang merasa takut akan sesuatu padahal belum mengenal lebih dekat hakikat yang
sesungguhnya. Demikian halnya dengan istilah bidah yang kita bicarakan sekarang, kebanyakan
kaum muslimin masih merasa keberatan ketika seorang menegurnya dengan ungkapan bidah
dan harus ditinggalkan. Sementara ada juga yang berpandangan, tidak relevan lagi ungkapan
bidah di kalangan ummat Islam sekarang, orang lain sudah ke bulan, kita hanya berkutat dalam
masalah bidah melulu. Padahal, bila kita memperhatikan kehidupan Rasulullah SAW dan para
shahabatnya, mereka sangat mewanti-wanti akan perbuatan bidah yang dapat menyeret kita
pada jurang kebinasaan, naudzubillah.
Abdullah Ibnu Umar RA pernah berkata; Setiap bidah adalah sesat walaupun dianggap baik
oleh manusia. Ibnu Abbas juga pernah berkata ketika menafsirkan ayat; Artinya; Pada hari itu
ada golongan yang wajah-nya putih bersih dan golongan yang hitam legam. Golongan yang
putih wajahnya ialah AhlusSunnah. Sedangkan yang hitam wajahnya ialah para pelaku bidah.
Diperkuat pula oleh beberapa ulama salaf seperti Hudzaifah, Umar Ibn Abdul Aziz dan ulama
madzhab lainnya yang tidak bosan-bosannya mengingatkan kita akan penyakit bidah yang terus
menggerogoti aqidah ummat Islam. Misalnya ucapan Imam Malik Bin Anas Barangsiapa mem-
buat satu bidah dalam Islam dan dia menganggap baik, maka dia telah menuduh Muhammad
SAW mengkhianati risalah. Karena Allah SWT telah berfirman; Pada hari ini telah Aku
sempurnakan bagi kamu agama. Maka segala se-suatu yang pada masa sebelumnya tidak
termasuk agama, demikian pula sekarang, tetap tidak termasuk dalam agama.
Berdasarkan beberapa hadits yang mengisya-ratkan bahaya bidah, para ulama begitu besar
perhatiannya untuk mengungkap apa itu bidah, jenis dan upaya penanggulangannya. Diantara
kitab yang khusus menyo-roti bidah ialah;
1. Al-Itisham karya Al-Imam Abi Ishaq Ibrahim Bin Musa Ibnu Muham-mad Al-Lakhmini Asy-
Syathibi Al-Gharnaty Al-Maliki (...-790 H.)
2. Al-Bidah Wal Hawadits karya Abi Bakar Muhammad Bin Al-Walid Bin Muhammad Al-
Fahry Al-Maliki At-Tharthusyi (451-560 H.)
3. Al-Baits Ala Inkaril Bida Wal Hawadits karya Syekh Abi Muhammad Abdirrahman Bin
Ismail, yang terkenal dengan Abi Syamah (590-665 H.)
4. Al-Luma Fi Al-Hawadits Wal Bida karya Idris Bin Baidikin Bin Abdul-lah At-Turkumany
Al-Hanafi.
5. Iqtidla As-Shirat Al-Mustaqim Mukhalafah Ashabil Jahim karya Syekhul Islam Ibnu
Taimiyah (661-728 H.)
6. As-Shira Bainal Islam Wal Watsaniyah karya Abdullah Ali Al-Qushaimy.
7. Talbisu Iblis karya Imam Jamaluddin Abil Faraj Abdilrrahman Ibnul Jauzy Al-Baghdady (...-
597 H.)
8. As-Sunan Wal-Mubtadaat karya Muhammad Abdussalam Khadlar As-Syaqiry.
9. Al-Ibda Fi Mudlail Ibtida karya Syekh Ali Mahfuzh.
10. Al-Bidah, Tahdiduha Wa Mauqiful Islam Minha karya Dr. Izzat Ali Id Athiyah.
11. Itqanus Shunah Fi Tahqiq Manal Bidah karya Imam Abil Fadlal Ab-dullah Bin As-Shiddiq
Al-Ghimary Al-Musny.
Masih banyak lagi kitab lainnya baik dari salaf maupun ulama kon-temporer abad ini. Imam Al-
Ghazali pun tidak ketinggalan membahas masalah bidah dalam Ihya-nya dan juga dalam
Iljamul Awam Anil Kalam. Kemudian Shubhi Labib mengadakan studi komparatif tentang
teori Al-Ghazali dalam masalah bidah.
Selama kita berpegang kepada Sunnah Rasulullah SAW pasti di sana kita akan menemui bidah-
bidah yang selalu bermunculan.
Bidah secara terminologi mempunyai makna Al-Hadits yang berarti baru atau sesuatu yang
diadakan padahal sebelumnya tidak pernah ada. Pengertian ini merujuk kepada beberapa ayat Al-
Quran seperti pada QS. 57:27
Dan mereka mengadakan-adakan (bidah) rahbaniah (tidak menikah) pada-hal Kami tidak
menetapkan ketentuan tersebut atas mereka.
Sedangkan menurut istilah syara secara definitif ialah; Perbuatan yang menyalahi Sunnah,
dinamakan bidah apabila seseorang mela-kukan perbuatan (baik ucapan atau amaliah badani)
menyalahi apa yang telah ditetapkan sebelumnya. Lebih tegas lagi, bidah berarti penyimpangan
baru yang tidak ada pada masa shahabat atau tabiin, serta tidak ada dalil syari (dari Al-Quran
atau Sunnah) yang menunjukkan keberadaannya.
At-Tharthusyi mendefinisikan; Setiap perkara yang diada-adakan dalam masalah aqidah
maupun adat dan ajaran sehari-hari yang tidak ada penyandaran hukumnya sama sekali dari
sunnah Nabi SAW baik bersifat amal hati, lisan maupun anggota badan dengan maksud ibadah.
Menurutnya, bidah sama dengan al-muhda-tsah, walaupun Imam Asy-Syafii membedakan
keduanya.
Adapun mengenai jenis bidah terbagi menjadi dua bagian.
Pertama, Bidah dunyawiah yaitu setiap sesuatu yang baru dan kai-tannya dengan masalah
keduniaan. Bidah ini dipandang hasanah (baik) selama membawa kemaslahatan bagi ummat
Islam khususnya dan selu-ruh manusia.
Kedua, Bidah diniah, definisi ini sesuai dengan pengertian bidah menurut istilah syara yaitu
setiap sesuatu yang dibuat-buat menjadi aturan agama (dien) baik ucapan, amaliah ataupun
aqidah yang sesat (batil) setelah Allah SWT menyempurnakan agama tersebut lewat lisan Rasul-
Nya dan bidah ini terjadi setelah Rasulullah SAW.
Dalam hal ini, Al-Fallaty menegaskan bahwa bidah yang dikecam dalam Hadits-Hadits Nabi
SAW dan perkataan ulama ialah bidah fil-ibadah yang kemudian dia membagi bidah diniah ini
menjadi
(1) Bidah Kufriah yaitu perbuatan bidah yang menjerumuskan para pelakunya ke dalam
kekufuran, seperti faham tharekat Tijaniah dengan aqidah yang bertolak belakang dengan Al-
Quran dan Sunnah.
(2) Bidah Dhalaliah yaitu perilaku bidah yang tidak sampai menje-rumuskan kepada kekufuran,
namun termasuk sesat dan diancam api neraka, sebagaimana sabda Rasulullah SAW; Aku
mewasiatkan kepada kalian agar taqwa kepada Allah dan mendengar serta taat walaupun kepada
seo-rang Habsyi. Nanti kalian akan menghadapi masa dimana semakin banyak ikhti-laf
(perbedaan), maka kewajibanmu berpegang pada Sunnahku dan Sunnah Khu-lafa al Rasyidin Al-
mahdiyyin, genggamlah dengan sekuat-kuatnya. Hati-hatilah terhadap perkara yang diada-
adakan. sesungguhnya setiap perkara yang diada-adakan adalah bidah dan setiap bidah adalah
sesat.
Demikian banyak Hadits-Hadits Nabi SAW, yang mengisyaratkan akan bahayanya bidah yang
mungkin saja terjadi bila ummat Islam len-gah. Syekh Muhammad Abdus Salam Khadhar dalam
As-Sunnah Wal Mubtadaat menambahkan pembagian bidah diniah ini disertai contoh
masing-masing antara lain ;
(1) Al-Bidah Al-Mukaffarah,
Yaitu Bidah yang menjadikan pelakunya kafir seperti berdoa kepada selain Allah, meminta
pertolongan kepada Nabi, orang-orang shalih yang telah mati, dll.
(2) Al-Bidah Al-Muharramah,
Yaitu Bidah jelas perbuatan tersebut melanggar syariat Islam seperti bertawassul kepada yang
mati, memuja kuburan, dll. Ibnu Hajar Al-Haitsami menjelaskan secara rinci penyimpangan-
penyimpangan tersebut dalam kitab Al-Zawair Minal Kabair dan mengistilahkannya bidah
dhalalah.
(3) Al-Bidah Al-Makruhah Tahriman,
Yaitu perbuatan bidah tetapi dalil yang mela-rangnya adalah dalil dzanni, bukan dalil qathi,
seperti shalat dzuhur setelah shalat Jumat, membaca Al-Quran dengan upah, membaca doa
tertentu pada malam nishfu Syaban, dll
(4) Al-Bidah Al-Makruhah Tanzihan,
Yaitu bidah yang larangannya tidak tegas namun lebih baik diting-galkan karena dapat
membawanya kepada bidah yang lebih sesat, seperti ketentuan bersalaman setiap akhir shalat,
membaca doa di akhir tahun, dll.
Setiap pembagian ini merujuk pada kesimpulan bahwa bidah diniah semuanya dhalalah.
Kemudian Imam asy-Syafii mengemukakan tentang adanya bidah Mahmudah (Bidah yang
baik) dan bidah madzmumah (bidah yang jelek), berdasarkan ungkapan Umar Bin Khatab
tentang hu-kum shalat tarawih berjamaah. Pengertian kedua bagian ini adalah bila perbuatan itu
sesuai dengan Sunnah maka disebut bidah Mahmudah. Tetapi bila menyalahi Sunnah
dinamakan bidah Madzmumah, jadi tidak bertentangan dengan pengertian sebelumnya.
Ada juga sebagian kaum Muslimin beranggapan bahwa selama per-buatan itu dipandang baik
(oleh dirinya) maka sah-sah saja walaupun tanpa dalil. Inilah salah satu pamahaman yang harus
diluruskan, karena yang namanya amal shalih itu disamping baik menurut kita juga harus sesuai
dengan ajaran Allah (Al-Quran) dan Rasul-Nya (Sunnah Na-bawiah). Hal ini disinyalir Allah
dalam firman-Nya: Katakanlah, akan Kami beritahukan orang-orang yang paling merugi
perbuatannya. Yaitu mereka yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini,
sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.
Ayat ini mengingatkan kita bahwa dalam beramal shalih harus hati-hati dan tidak gegabah
ataupun telah merasa berbuat baik. Lebih jelas lagi Hadits yang diriwayatkan dari Anas Bin
Malik menceritakan tentang tiga orang shahabat yang mengunjungi rumah isteri Rasulullah
SAW un-tuk menanyakan perilaku ibadah Rasulullah SAW. Setelah mendengar penjelasan itu,
mereka merasa jauh dari ibadahnya Rasulullah SAW padahal Beliau telah dijamin Allah SWT
dengan ampunan-Nya. Maka salah seorang berkata: Aku akan bangun tiap malam dan shalat
malam sela-manya. Yang lain berkata: Aku akan berpuasa satu tahun tanpa berbuka. Dan
yang seorang lagi berkata: Aku akan menjauhi wanita dan tidak akan menikah selamanya.
Kemudian datanglah Rasulullah SAW dan bersabda: Kaliankah yang mengatakan begitu?
Wallahi, sesungguhnya aku paling takut dan paling taqwa kepada Allah, aku berpuasa tapi juga
berbuka, aku shalat dan juga tidur, serta aku beristeri dan menikah, maka barang siapa yang
membenci Sunnahku sungguh dia bukan dari golonganku. Dari Hadits ini bisa difa-hami bahwa
ibadah dan amal shalih tidak bisa sekehendak hati dan perasaan, karena banyak juga perbuatan
yang tidak sejalan dengan ke-hendak hati tetapi termasuk amal shalih. Maka dalam hal ini
keimanan kita harus mantap agar perbuatan kita tidak sia-sia.
Hal ini terjadi karena beberapa faktor;
Pertama, ingin lebih (baik) dalam melaksanakan Ibadah dan kedua, Ingin merasa ringan dalam
ibadah. Kedua faktor ini diakibatkan oleh ket-idak tahuan terhadap Al-Quran, As-Sunnah dan
dalil syara serta ilmu pendukungnya, disamping karena taqlid buta dan mengikuti hawa nafsu.
Ihya as-Sunnah dan Kewajiban Dai
Adalah menjadi tugas setiap muslim untuk menyerahkan jiwa raganya fisabilillah dalam rangka
menegakkan kalimatullah setinggi-tingginya, dan inilah yang membuat ummat Islam unggul di
atas ummat lainnya sehingga mereka berhak mendapat julukan ummatan wasathan, khairul
ummat atau ummat yang terbaik.
Maka dalam rangka Amar Maruf Nahi Munkar inilah, selayaknya setiap muslim menyadari
untuk menjalankan kewajibannya ini sesuai dengan kemampuannya serta mengetahui sikap yang
harus diambil ketika menghadapi rintangan dawah dan penyakit-penyakit ummat setiap saat.
Bidah merupakan penyakit ummat yang paling kronis mewabah ummat pada setiap masa.
Adapun sebagai upaya menangkal-nya ialah dengan gerakan Ihya as-Sunnah sebagai lawan
bidah dan me-rupakan metode Rasulullah SAW serta para Salaf as-Shalih baik shahabat
maupun para ulama. Ihya as-Sunnah berarti menghidupkan kembali Sun-nah, maksudnya
menjalankan setiap tapak lacak kehidupan Rasulullah SAW dalam seluruh perilaku setiap
muslim. Dengan demikian pintu bidah akan tertutup dan tidak mendapat kesempatan
mengganggu ke-hidupan ibadah ummat Islam. Namun, bukan berarti perbuatan bidah tersebut
hilang sama sekali, karena selama syetan menghembuskan bisi-kannya, maka bidah akan terus
hidup dan mengintai kehidupan Sunnah. Sabda Rasulullah SAW:
Sesungguhnya syetan telah putus asa mengajak kalian rela menyembah-nya, tetapi dia akan
terus menyesatkan kalian dengan jalan lain, yaitu merusak amal-amal kalian. Maka berhati-
hatilah, aku tinggalkan bagi kalian apa yang ti-dak akan menyesatkan jika kalian pegang teguh
selamanya yaitu Kitabullah (Al-Quran) dan Sunnah Nabi-Nya.
Beberapa ayat Al-Quran menegaskan tentang kewajiban men-ghidupkan dan mengikuti Sunnah
Rasulullah SAW sebagaimana firman Allah:
Katakanlah jika kamu benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan
mengampuni dosa-dosamu, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Ayat ini menjelaskan posisi ummat Islam sebagai pengemban dawah sekaligus sebagai
penyebar kebaikan dan pemberantas ke-munkaran termasuk bidah yang menyesatkan. Ihya as-
Sunnah sudah se-layaknya menjadi acuan utama dalam berdawah disamping juga mem-
peringatkan mereka yang telah terjerumus dalam perbuatan bidah untuk membuang jauh-jauh
perbuatan sesatnya. Memang berat tugas para dai tersebut, tidak sedikit mereka menghadapi
orang-orang yang enggan mendengar Sunnah bahkan menuduhnya aliran sesat. Rasulullah SAW
menegaskan dalam sabdanya:
Sesungguhnya Islam pada awalnya dipandang asing dan akan kembali di-pandang asing, maka
berbahagialah orang-orang yang dianggap asing. Ketika ditanyakan siapa yang dianggap asing
tersebut Rasulullah SAW menjawab: yaitu mereka yang berbuat baik pada saat manusia berbuat
kerusakan dan yang menghidupkan Sunnah-ku dari manusia yang maninggalkannya. .
As-Sayyid Muhammad Aqil Bin Ali Al-Mahdi menjabarkan Ihya-usSunnah dengan beberapa
kiat;
1. Menyebarluaskan Sunnah dan pemahamannya secara menyeluruh.
2. Mengaplikasikan Sunnah dalam kehidupan pribadi dan masyarakat baik dengan pendidikan
maupun pembinaan secara terpadu.
3. Mengantisipasi faktor-faktor penyebab bidah, diantaranya dengan:
Menyeleksi hasil ijtihad serta tidak boleh berijtihad kecuali orang yang ahli dalam bidangnya.
Memberantas benih-benih bidah dan memberi kesadaran untuk kembali kepada al-Quran dan
As-Sunnah.
Menghilangkan sifat fanatik terhadap satu pendapat maupun hasil ijti-had tanpa dalil yang jelas
dan benar.
Mewaspadai pemikiran yang menyimpang dari As-Sunnah serta mem-beri peringatan keras
terhadap pelakunya.
Mencegah orang awam menyatakan pendapat dalam agama apalagi ma-salah yang mereka
belum kuasai.
Mencegah adat dan pemikiran yang menyesatkan baik aqidah maupun akal.
Memperhatikan penjelasan di atas, maka sesungguhnya tidak ada is-tilah pemberantasan bidah
kini tidak relevan lagi dijadikan program dawah, karena itulah yang menjadi kewajiban para
dai disamping menggencarkan penyebaran Sunnah yang bersumber dari Al-Quran dan Hadits
Shahih serta menghindari bidah sekecil apapun.
Kemudian jika kita menghadapi masalah yang meragukan, apakah perbuatan tersebut bidah atau
bukan, maka kembalikan kepada asalnya, adakah Sunnah Rasulullah SAW yang
menganjurkannya serta merujuk pada sebuah kaidah ushul:
Meninggalkan suatu perbuatan yang masih kita ragukan Sunnahnya, le-bih baik daripada
melakukan perbuatan yang kita takutkan bidahnya.
Ibnu Abbas berkata; Pandangan kepada orang dari AhlisSunnah yang mengajak kepada Sunnah
dan mencegah dari bidah adalah ibadah.
Wallahu Alam Bi Ash-Shawab.
***
"Dan katakanlah, bekerjalah! Maka Allah, Rasul-Nya dan orang-orang Mu'min akan melihat
amal kamu dan kamu akan dikembalikan ke alam ghaib dan alam syahadah. Kemudian Allah
akan memberitahukan tentang apa yang telah kalian kerjakan"(QS. At-Taubah: 105)
***
Sejalan dengan munculnya kesadaran kaum muslimin akan pentingnya kebangkitan Islam
dewasa ini, maka upaya ke arah peman-tapan dawah dan strateginya mutlak diperlukan.
Kesadaran inilah yang dapat menyingkap tabir tipu daya dan konspirasi musuh Islam dan antek-
anteknya. Dampaknya semakin nyata de-gan munculnya yel-yel dan gema pembebasan kaum
muslimin dari berbagai pengaruh penjaja-han. Di mana-mana terdengar seruan untuk berjuang
dan berjihad. Demikian pula seruan untuk menegakkan daulah Islamiah dan mengem-balikan
khilafah Islamiah yang dapat merebut kembali setiap tanah kaum muslimin yang dirampas,
terutama bumi Palestina dan Masjidil Aqsha serta menyelesaikan problema ummat Islam Bosnia
Herzegovina. Sebab, dengan tegaknya khilafah Islamiah, nyawa, kehormatan dan tanah serta
harta kaum muslimin dapat terlindungi. Bahkan dengan daulah Islamiah, kaum muslimin dapat
menumbuhkan kembali tanah-tanah baru di bumi Allah dengan menyebarkan Islam sebagai
agama perdamaian. Semua ini merupakan indikasi bahwa perubahan yang terjadi tengah berjalan
menuju perbaikan sejak beberapa puluh tahun terakhir ini. Perubahan ini tentu akibat pengaruh
kegiatan harakah dawah Islamiah yang baik dan profesional, tidak asal-asalan. Bagaimanakah
format harakah dawah Islamiah yang sukses dan benar ?
FIQIH DA'WAH
Kebutuhan kita yang paling mendesak sekarang adalah menyangkut strategi yang paling tepat,
agar dawah bisa terlaksana dengan terencana, terarah dan sistematis, sehingga risalah Islam bisa
tersampaikan dengan baik.
Maka, pembahasan untuk masalah ini diambil dari pengalaman-pengalaman para ulama kita,
yang telah banyak makan garam dalam merambah perjuangan dawah. Karena akan menjadi
suatu kesombongan jika kita mengatakan bahwa pembahasan seperti ini mesti diambil dari
pemikiran dan pengalaman sendiri. Selain karena menuntut pengalaman lapangan yang luas dan
menuntut tingkatan nazhar bagi yang sedang memikirannya, baik menyangkut pemahaman
keislaman, dawah dan re-alitas masyarakat Muslim, pada tingkat lokal maupun internasional,
bahkan juga tentang masyarakat non-Muslim; pengalaman-pengalaman para pembesar kita juga
sangat representatif untuk kita terapkan dalam medan perjuangan dawah kita. Sebab risalah
dawah di manapun sama saja, yang berbeda paling hanya retorika humanioranya (sosial, politi-
knya, budaya dan sebagainya).
I. Tugas dan Tujuan Dawah
A. Tugas Dawah
Kurang lebih ada tujuh tugas dan kewajiban seorang dai. Tugas-tugas itu antara lain:
1. Berusaha keras untuk menyampaikan risalah agamanya kepada orang lain.
QS. Ali Imran :187 dan QS. Al-Baqarah: 146 memberikan kata haram untuk menyembunyikan
kebenaran (al-haq ) bagi setiap orang yang men-getahuinya, padahal Allah dan agama adalah al-
haq. Maka setiap orang diwajibkan untuk menyampaikan kebenaran yang diketahuinya.
2. Meyakinkan orang, bahwa hanya agama Islamlah yang wajib diikuti.
Jika saja ada agama lain yang wajib diikuti selain Islam, maka Islam tak mempunyai hak untuk
penyempurna terhadap agama-agama yang diturunkan Allah sebelumnya. Dan karenanya nash-
nash Islam tak mem-punyai hak untuk mengklaim kesyumuliyahan risalahnya. Dalam se-buah
Hadits dinyatakan: Demi Allah yang diriku ada dalam kekuasaan-Nya, tidak seorangpun dari
umatku yang mendengar dawahku, baik seorang Yahudi atau Nasrani, kemudian ia mati dengan
tidak beriman kepada risalahku, maka ia akan menjadi penghuni api neraka.
3. Mengajarkan masalah-masalah agama dan dunia kepada setiap orang.
Urusan keagamaan yang harus diajarkan oleh seorang dai, secara ringkas ada tiga;
a. Mengajarkan tauhid, Maka ketahuilah, sesungguhnya tidak ada Tu-han selain Allah.
b. Mengajarkan cabang-cabang iman. Dalam sebuah hadits dijelas-kan tentang rincian dari iman:
Iman adalah, engkau beriman kepada Allah, Malaikat, Kitab, para Rasul, hari akhir dan engkau
beriman kepada qadla dan qadar.
c. Mengajarkan rukun Islam, makna ihsan, dan menjelaskan halal dan haram.
Sedangkan urusan keduniaan yang harus diajarkan sangatlah ban-yak, semuanya bersumber dari
dua prinsip dalam Islam, yaitu al-mashlahah al-mursalah dan saddudzariah. Dalam arti, kaidah
seorang dai dalam menilai suatu urusan keduniaan yang tak ada nashnya dalam agama, baik
tentang halal atau haramnya adalah, jika mendatangkan maslahat bagi umat manusia maka
hukumnya halal. Tetapi jika sebali-knya jika mendatangkan madarat, maka hukumnya menjadi
haram.
4. Mendorong manusia untuk melakukan kebajikan.
Kewajiban ini merupakan tugas dawah yang paling asasi, karena melakukan kebajikan dalam
hidup akan membuat hidup manusia aman tenteram, terbebas dari rasa cemas dan takut, dan
sebagai upaya untuk memberantas kejahatan dan permusuhan. Oleh karena itu maka Allah
memerintahkan orang-orang mumin untuk berbuat kebajikan: Wahai orang-orang yang
beriman, ruku dan sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan berbuat baiklah, semoga kamu
beruntung.
5. Menumbuhkan loyalitas terhadap Islam dalam hati umat manusia.
Loyalitas terhadap Islam berarti merasa bangga sebagai seorang muslim. Bukan sekedar bangga
dengan nama Islamnya, tetapi bangga dengan mengerjakan ajaran-ajaran Islam. Konsekwensi
dari kebanggaan ini adalah menanggalkan rasa bangga dari selain Islam, baik harta, ke-luarga,
kemashuran dan sebagainya, yang biasa dijadikan sumber ke-banggaan oleh orang-orang yang
lupa bahwa semua itu hanyalah semen-tara. Sedangkan kebanggaan dengan Islam, berarti bangga
dengan Allah, ajaran dan Kitab-Nya akan abadi. Bukan saja akan terasa berkahnya di dunia,
tetapi juga pahalanya di akhirat kelak.
6. Menumbuhkan komitmen umat terhadap Islam dalam setiap perilakunya.
Keimanan seperti yang dikatakan Hadits bertambah dan berkurang, bertambah dengan
melaksanakan taat dan berkurang dengan melakukan maksiat; maka komitmen dengan Islam
baik sebagai akidah dan ibadah, pikiran dan perilaku, adab dan akhlaq adalah unsur yang paling
penting dalam menumbuhkan dan menguatkan iman, sehingga bisa mendekat-kan pada
kesempurnaan iman. Maka secara singkat komitmen ini berarti taat dan taqarub kepada Allah
dengan melaksanakan yang fardu dan nafilah. Sedemikian penting komitmen ini, sehingga orang
yang beriman tanpa komitmen dengan ajaran-ajarannya hanya disebut sebagai Mumin hukmi,
bukan Mumin yang sesungguhnya. Sebab keimanan yang se-sungguhnya terpatri dalam dada
dan dibenarkan oleh amal perbua-tannya.
7. Memobilisasi potensi umat untuk mendapatkan kebaikan agama dan dunia.
Sesungguhnya absennya umat Islam dari pentas kehidupan dewasa ini, karena setiap orang yang
bekerja demi Islam, semata-mata hanya menurut visinya sendiri dan bekerja secara sendiri-
sendiri. Padahal orang lain tak mustahil mempunyai potensi dan kemampuan yang lebih besar
untuk kerja Islam. Jika seluruh potensi itu dikoordinasi dan dimobilisasi secara profesional akan
melahirkan hasil yang sangat menakjubkan. Dan sebaliknya, jika tidak dilakukan mobilisasi
terhadap sumber daya umat ini justru akan menjadi kendala bagi amal Islam itu sendiri. Baik
pada tingkap pribadi maupun jamaah, dan pada gilirannya akan memaling-kan dari tujuannya
yang paling besar, yaitu terlaksananya syariat dan kukuhnya agama Allah di muka bumi.
B. Tujuan Da'wah:
1. Membantu orang untuk beribadat kepada Allah SWT. sesuai dengan ta-tacara yang
disyariatkan-Nya.
Tujuan ini membutuhkan penjelasan, penafsiran, petunjuk, peneran-gan yang bisa membantu
orang untuk marifat kepada Allah SWT: dzat, si-fat, asma, af'al, Malaikat, Kitab, Rasul, hari
akhir, qadla dan qadar dan segala yang datang dari Nabi Muhammad SAW.
2. Membantu orang untuk saling mengenal antara sesama manusia tanpa memandang perbedaan
ras, warna kulit dan bahasa.
Dalam iklim yang saling mengenal ini akan tercipta solidaritas dan persaudaraan atas nama Allah
sehingga bisa bersama-sama menyelesai-kan segala persoalan hidup.
3. Merubah kondisi umat yang jelek, yang sedemikian jauh jarak mereka dengan Islam, menjadi
masyarakat Islam yang dekat dengan Allah, kebenaran dan kebaikan dunia dan akhirat.
4. Mendidik pribadi Muslim dengan pendidikan Islam yang benar yang mencakup seluruh sendi
kemanusiaan: ruh, akal, jasmani, perilaku dan sosial.
Sebab jika ada di antara salah satu sendi dari sendi-sendi kemanu-siaan ini yang tak terdidik, ia
tak akan menjadi Muslim yang paripurna. Sehingga dengan demikian akan mengalami kesulitan
dalam men-jalankan missinya dalam hidup.
5. Mempersiapkan keluarga Muslim dan mendidik anggota keluarga sesuai dengan ajaran Islam.
Keluarga ini diharapkan menjadi sekolah yang akan mencetak gen-erasi umat yang mampu
melaksanakan kewajibannya terhadap masyara-kat.
6. Mempersiapkan masyarakat Muslim yang dihiasi de-ngan nilai, ajaran dan akhlaq Islam, agar
setiap orang bisa melaksanakan kewajibannya dalam me-laksanakan amar ma'ruf dan nahyi
munkar, keadilan dan ihsan untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.
7. Mengupayakan iklim kehidupan bernegara yang sejalan dengan ajaran Allah.
8. Membebaskan bangsa dari segala bentuk permusuhan, ketergantungan dan pengekoran
terhadap bangsa lain.
9. Mengusahakan terwujudnya persatuan antara bangsa-bangsa negara Muslim; dalam bentuk
kesatuan pikiran, budaya, tujuan ekonomi dan politik.
10. Bekerja untuk menyebarkan da'wah Islam di seluruh negeri, sebab Islam adalah agama
seluruh umat manusia.
II. Fase-fase Pembinaan Dawah
Agar dawah Islam dapat tersampaikan dengan terarah, terencana dan sistematis, dan dapat
menuai hasilnya yang memuaskan, ada lima fase yang harus dilewati seorang dai. Lima fase itu
antara lain:
a. Fase Tamhidi (Pendahuluan)
Fase ini dimaksudkan untuk mempersiapkan umat dalam memasuki fase pengenalan (ta'rif)
tentang hakikat ajaran Islam. Target yang ingin dicapai adalah membuat orang mempunyai
semangat keislaman. Terbi-asa melaksanakan shalat fardu dan menghadiri majlis-majlis ta'lim.
Se-cara pribadi, mereka juga diharapkan berjanji untuk terus memperdalam semangat
keberagamaan, dan terus mendorong dirinya untuk selalu menambah amal-amal baik, belajar
membaca al-Qur'an, Sunnah Rasulul-lah, Sirah nabawiyah, memperkuat hubungan persaudaraan
antara sesama Muslim dan menjalin kekompakan masyarakat dalam melaksanakan kerja-kerja
sosial.
b. Fase Ta'rif (Pengenalan)
Adalah sebuah marhalah dalam da'wah, di mana umat yang menjadi objek da'wah diajak agar
dengan penuh kesadaran untuk berfikir dan mendalami penghayatannya terhadap ayat-ayat Allah
di sekelilingnya, untuk mengetahui hakikat Islam, tujuan, risalah, rukun, kewajiban, syarat dan
akhlaqnya. Untuk itu nilai-nilai Islam harus diterangkan dengan seje-las-jelasnya, mendalam dan
menyeluruh, dengan pemahaman yang men-yentuh segala aspek yang terjadi di sekelilingnya.
Ciri utama dari fase ini adalah sifatnya yang umum, diarahkan kepada semua orang yang sudah
melewati fase tamhidi. Sebab setiap orang harus mengetahui Islam secara benar, jelas dan
mendalam.
Hal-hal yang harus dilakukan seorang da'i pada fase ini secara umum adalah sebagai berikut:
1. Menjelaskan ushulul Islam dan kaidah-kaidahnya.
Yang termasuk ushulul Islam adalah al-Qur'an, Sunnah termasuk di dalamnya Sirah nabawiah,
ijma, qiyas, jalbul mashalih dan daf'ul mafasid.
Sedang kaidah-kaidah Islam mencakup: iman, Islam, ihsan, keadi-lan, amar ma'ruf, nahyi
munkar dan berjuang di jalan Allah.
2. Menafsirkan nash-nash Islam (al-Qur'an dan Sunnah) dengan penaf-siran yang sesuai dengan
dinamika zaman dan lingkungan di mana ia hidup dan berjuang.
Dengan demikian seorang da'i -yang berarti seorang ulama, dituntut untuk selalu melihat kembali
penafsiran-penafsiran lama terhadap nash, dengan analisa yang tajam terhadap seluruh dilalah
nash, agar ia bisa membawa kehidupan manusia sejalan dengan nilai, dan akhlaq Islam. Tentu
saja dengan syarat tidak berlebihan dalam menafsirkan nash.
Di antara kaidah-kaidah menafsirkan ayat antara lain adalah sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa
Arab (nahwu, sharaf dan fiqih lugah), dilalah lafadl dan ibarah, menafsirkan al-Qur'an dengan
hadits, mengetahui asba-bun nuzul dan nasakh-mansukh. Sedangkan untuk menafsirkan hadits
ha-rus sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa Arab dan merujuk kepada rijal dan ulama hadits yang
tsiqat.
3. Memerangi syubuhat dan kebohongan-kebohongan tentang Islam.
Ketidakmampuan seorang da'i dalam melaksanakan kewajiban ini akan memalingkannya dari
tanggung jawab da'wah, lebih dari itu akan menggoncangkan keimanan dan loyalitasnya
terhadap Islam. Untuk itu seorang da'i dituntut untuk cerdas, sehingga dengan cara-cara yang
me-todologis dan mujadalah billati hiya ahsan bisa membedakan mana yang benar dan mana
yang batil.
4. Mengenali hambatan-hambatan da'wah dan menghilangkannya.
Hambatan-hambatan ini di antaranya dibuat musuh-musuh Islam untuk merintangi jalannya
da'wah. Hambatan ini ada yang bersifat pri-badi dan ada yang bersifat jama'ah. Yang bersifat
pribadi ini bisa dalam bentuk menakut-nakuti atau mengancam seorang Muslim agar tidak me-
laksanakan amal islami; sedang yang bersifat jama'ah di antaranya men-campakan label-label
negatif kepada jama'ah yang melaksanakan ajaran-ajaran Islam. Seperti misalnya masyarakat
yang terbelakang, fanatik, fundamentalis, teroris dan banyak lagi istilahnya. Semua itu sedapat
mungkin harus berhasil difahami, dianalisa dan diupayakan cara-cara untuk memberantasnya.
5. Menyatukan umat manusia dan mengarahkannya untuk memahami dan mengamalkan ajaran
Islam sesuai dengan kemampuannya.
Tugas ini mempunyai peranan yang sangat menentukan, sebab me-rupakan tugas yang melandasi
pembentukan dan pembinanan jamaah yang akan mengerjakan kewajiban-kewajiban Islam.
Termasuk dalam tu-gas ini adalah membuat rencana kerja dan aturan-aturan bagi kelompok
da'wah yang akan melaksanakan kerjanya untuk Islam.
Rencana kerja ini di antaranya adalah:
a. Meyakinkan umat dengan alasan-alasan yang pasti tentang pentingnya pembentukan dan
pembinaan jamaah yang akan bekerja un-tuk Islam.
b. Menjelaskan manhaj Islam dalam hubungannya dengan seluruh sendi kehidupan manusia.
c. Menjelaskan fondasi atau dasar-dasar Islam dan menyebarkannya, khususnya nilai-nilai akhlaq
dan kerukunan yang menyangkut hubun-gannya dengan sesama Muslim dan non-Muslim.
d. Menjelaskan sumber-sumber yang menjadi pijakan dalam mema-hami sendi-sendi keislaman
(seperti yang sudah disebutkan pada point satu).
e. Menentukan bentuk atau bidang kerja apa saja yang harus dilaku-kan oleh jamaah.
Garapan kerja ini diantaranya adalah: 1) bidang pemikiran; 2) kebu-dayaan; 3) da'wah; 4)
membantu orang untuk menjadi shalih, baik shalih untuk dirinya, keluarga, masyarakat, bangsa
dan bagi dunia Islam secara umum, 5) mendukung semangat ta'aruf dan gotong royong sesama
manusia, untuk mengembangkan kemaslahatan masyarakat dan menolak petaka yang akan
menimpanya, 6) mengajak orang untuk selalu melak-sanakan kewajiban-kewajiban langsungnya
terhadap Allah SWT di mas-jid dan membantu orang untuk berakhlaq dengan akhlaq Islam
dalam setiap perbuatan yang dilakukannya.
f. Membuat prioritas kerja Islam dalam fase ini, karena dengan me-lakukan prioritas akan lebih
menjamin tercapainya target yang hendak dicapai.
Tugas dai dalam fase ini antara lain:
1. Mengajarkan Islam dengan tepat.
Dalam arti menafsirkan dan menjelaskannya dengan pemahaman yang sejalan dengan dinamika
zaman kapan kita hidup di satu pihak, dan kemampuan orang (yang dida'wahi) dalam menyerap
ajaran Islam di pihak lain. Dalam hal terakhir ini seorang da'i dituntut untuk melaksana-kan
konsep Hadits: "Khatibunnasa 'ala qadri 'uqulihim."
2. Membina masyarakat agar selalu berpikir dalam menyelesaikan segala persoalan hidup dalam
setiap profesinya secara islami.
Setiap lapisan kehidupan harus disentuh da'wah dan diberikan pe-mahaman yang mendalam
tentang bagaimana harus menyelesaikan problematika hidupnya dari norma Islam.
4. Membina barisan da'wah, yang dipilih dari segenap lapisan masyarakat untuk memahami
Islam secara benar.
5. Membina kekuatan barisan orang-orang yang mempunyai loyalitas dan komitmen yang tinggi
terhadap Islam.
Kriteria loyalitas adalah:
1. Bangga dengan loyalitasnya terhadap Islam,
2. Tsabat dan istiqomah dalam loyalitas , dan
3. Bisa mewariskan loyalitas ini kepada orang lain.
Sedang komitmen adalah:
1. Mempunyai komitmen yang tegas terhadap segala yang bersifat Islami,
2. Kemampuannya dalam mewariskan komitmen ini kepada orang lain.
3. Membina barisan orang-orang yang bergabung dalam amal jama'i.
Amal jama'i ini merupakan inti kekuatan umat, karena tanpa amal jama'i berarti perpecahan yang
terjadi. Amal jama'i ini harus ditegakkan dalam seluruh segi kehidupan: pemikiran, kebudayaan,
sosial, ekonomi, politik, pendidikan, da'wah dan lain-lain.
4. Membina barisan mutafaqihin fi al-din.
5. Membina barisan orang-orang yang pantas masuk ke dalam fase pembinaan.
c. Fase Takwin (Pembinaan)
Fase ketiga ini diarahkan kepada sekelompok tertentu yang me-menuhi kriteria tertentu dari fase
pengenalan. Sifat da'wah yang paling utama dari fase pembinaan ini adalah lebih bersifat amali
ketimbang naz-hari. Satu lagi adalah sifatnya yang khusus. Khusus dari segi da'wahnya itu
sendiri, da'inya, objek da'wahnya, kerja Islamnya bahkan manage-mennya. Dan yang menjadikan
khusus karena objek da'wahnya terbatas pada orang-orang yang memenuhi keriteria-keriteria
tertentu dari fase ta'rif.
Di antara kriteria-kriteria itu antara lain:
a. Mempunyai pemahaman yang mendalam tentang Islam, baik dari segi sumber-sumbernya,
akhlaq, manhaj dan sistemnya dalam ke-hidupan.
b. Mempunyai segi amaliah yang mendalam dalam melaksanakan ajaran-ajaran agama. Sehingga
diharapkan bisa menjadi profil Islam yang hidup, yang melaksanakan segala manhaj Islam secara
menyeluruh: dalam makan, minum, pakaian, urusan rumah tangga, dan seluruh kegiatan
kesehariannya.
c. Mempunyai pengetahuan dan kebudayaan Islam yang mendalam.
Pengetahuan dan kebudayaan ini mencakup:
Menguasai betul kondisi dunia Islam, baik menyangkut sosial, politik, ekonomi dan pemikiran.
Bagian dunia Islam yang paling penting tentu saja negerinya sendiri.
Memahami betul segala problematika yang sedang dihadapi oleh dunia Islam. Mengenali
sebab-sebab, akibat-akibat, mempelajari dan mencarikan pemecahannya.
Mempelajari masalah-masalah minoritas Muslim, dari segi kondisi, problematika dan
kebutuhan-kebutuhannya, serta diusahakan pemecahannya.
Mempelajari gerakan-gerakan reformasi yang terjadi di dunia Is-lam dan mengambil pelajaran
darinya.
4. Mempunyai pengalaman praktek lapangan yang luas.
5. Mempunyai kepribadian yang berdimensi banyak, dalam arti cakap dalam banyak hal.
Ada dua muqadimah yang melandasi keterdesakan umat untuk me-lakukan pembinaan:
a. Kondisi umat yang tak berdaya dalam menghadapi arus ke-hidupan, maka diperlukan
pembinaan sehingga umat mempunyai arus dan gelombangnya sendiri.
b. Ilmu dalam pandangan syariat itu terbagi dua: fardu 'ain dan fardu kifayah. Yang pertama
dituntut dari setiap Muslim dalam bentuk ilmu-ilmu syariat, dan kedua diperlukan umat untuk
bisa mengurusi persoa-lan-persoalan duniawi dan agama. Kelalaian umat dalam melaksanakan
dua kewajiban ini menjadikannya terbelakang dari segi peradaban: segala barang-barang
kebutuhan hidupnya diproduksi bangsa lain dan karenanya menjadi sangat tergantung kepada
orang lain. Dan karenanya umat Islam tetap terbelakang dari segi budaya.
Dari tiga muqadimah ini, pembinaan kepribadian Muslim menca-kup tiga bidang: bidang
kebudayaan (tsaqafah), kepribadian (khasaish) dan komitmen (iltizam).
a. Budaya. Pembentukan budaya ini terfokus pada empat hal:
1. Ilmu-ilmu keislaman.
-Sebelum menguasai ilmu-ilmu yang lain seorang Muslim dituntut untuk mempelajari ushul al-
tsalasah (ma'rifat kepada Allah, Rasul dan Is-lam). Ini merupakan Sunnah Rasul dalam metode
pendidikannya terha-dap para Sahabat. Karena Rasul mengajarkannya sebelum mengajarkan al-
Qur'an itu sendiri, seperti yang disinyalir sebuah Hadits yang diri-wayatkan oleh Ibn Umar ra.
-Ilmu-ilmu lain yang kemudian harus diajarkan adalah 'akidah, fiqh, akhlaq, ushul fiqh, bahasa
Arab, sekitar kondisi dunia Islam kontem-porer, sejarah Islam, tentang siasat bangsa lain untuk
menghancurkan Is-lam, studi-studi keislaman modern dan fiqh da'wah.
2. Kebudayaan modern.
Seorang Muslim yang tidak menguasai ilmu zamannya tidak mung-kin bisa merespon dan
mengantisipasi persoalan-persoalan yang timbul. Dirinya sendiri akan hidup tergusur zaman,
maka bagaimana dia bisa membawa Islam dalam mengarungi zamannya. Untuk itulah umat
Islam harus menguasai budaya masanya.
3. Ilmu-ilmu tentang keahlian hidup.
Umat Islam tidak akan bisa memecahkan mitos kemaha perkasaan (supremasi) asing kecuali jika
mereka memiliki para bintang yang men-guasai seluruh sektor kehidupan: sipil-militer, produksi,
pertanian, ke-dokteran, farmasi, arsitek dan sebagainya. Kewajiban ini terasa sangat mendesak
untuk zaman kita.
4. Keahlian amal untuk Islam. Mulai dari aktifitas pribadi, pendidi-kan keluarga, mendirikan
halaqah-halaqah, memimpin masyarakat dan seterusnya.
b. Pembentukan watak/kepribadian.
Pada generasi Islam pertama, anggota masyarakat yang berada di papan atas adalah Rasulullah
SAW. Para sahabat kemudian mengambil suri tauladan darinya sehingga mereka menjadi
pewaris yang sempurna dari watak dan kepribadian Rasulullah SAW (tentu saja dengan perbe-
daan derajat satu sama lain), sehingga keseluruhan umat dari generasi ini adalah umat mujahidin.
Ketika tingkat mujahadah ini semakin berkurang dari zaman ke zaman maka satu-satunya
alternatif di zaman kita adalah berjuang untuk membalikkan umat pada karakter-karakter
generasi per-tama. Diantara sifat-sifat mujahidin itu adalah: cinta kepada Allah SWT, bersikap
lembut kepada sesama Mu'min, bersikap tegas kepada orang-orang kafir, berjuang dan
membebaskan komitmen dan loyalitas dari se-lain Allah SWT.
c. Komitmen.
Sifat Mu'min yang paling utama adalah menjadikan satu sama lain sebagai sahabat dekat.
Dengan terbinanya komitmen sesama individu Mu'min ini akan lahir rasa solidaritas yang
membentuk suatu kekuatan umat sehingga kondisi ghutsaiyyah ummat akan terkikis habis.
Ketiga kerangka ini harus betul-betul terjalin secara bersamaan dalam proses pembinaan.
Target yang ingin dicapai dari fase ini:
1. Ishtifa. Memilih orang-orang yang pantas untuk menanggung be-ban perjuangan.
Pemilihan ini harus didasarkan atas pertimbangan sebagai berikut:
a. Kemampuan ruhiyah. Mempunyai ruh yang bersih, yang selalu sadar tentang wujud Allah
disetiap saat, merasa mendapat pengawasan Allah dalam setiap perbuatan yang dilakukannya,
merasakan hangatnya kecintaan kepada Allah dan ridla dengan qadla dan qadar-Nya; juga
mempunyai hubungan yang kuat dengan Allah dengan cara banyak me-lakukan amal-amal
nafilah.
b. Kemampuan akal. Sifat-sifat yang harus dimiliki adalah: tingkat kecerdasan akal yang
memungkinkannya untuk menerima pengajaran, bisa berpikir kritis sehingga tidak mudah
menerima segala permasalahan yang didasarkan pada prasangka (zhanni/wahmi), hati-hati dalam
memberikan suatu putusan kepada manusia dan selalu merenungkan kemaha kuasaan Allah
lewat makhluk-makhluk yang disaksikan di seke-lilingnya.
c. Kekuatan fisik. Karena fase ini merupakan fase perjuangan maka, yang bisa memasuki fase ini
adalah orang-orang yang mempunyai fisik yang kuat dan indera yang sehat. Ciri-cirinya adalah
selalu membiasakan makan makanan yang sehat, memperhatikan kebersihan, berolah raga,
menjauhi segala yang bisa merusak kesehatan dan tidak membiasakan bergadang.
d. Mempunyai kemampuan bergaul antara sesama manusia.
e. Bisa menarik orang untuk bergabung ke dalam barisan yang ber-juang untuk Islam, sehingga
ia menyadari betul tentang keberadaan dir-inya sebagai seorang pengemban da'wah.
2. Taudlif. Menugaskan kerja tertentu kepada setiap orang yang ma-suk ke dalam barisan amal
Islam, sesuai dengan potensi dan keahlian yang dimilikinya. Pembagian ini harus dibarengi
dengan menjelaskan ba-tasan maksud dari setiap kerja, cara yang tepat untuk menjamin keberha-
silan kerja, menentukan orang yang tepat dan batas waktu yang harus dilewati. Empat hal ini
kemudian menjadi rukun taudlif.
3. Takwin. Mempersiapkan barisan da'wah dengan membina kekua-tan fisiknya, akal dan
akhlaqnya, sehingga menjadi orang-orang yang kuat, yang mampu menanggung beban
perjuangan di jalan Allah. Den-gan sendirinya pembinaan ini mencakup segi-segi ruh, akal,
akhlaq dan fisik.
4. Indlibath. Kecermatan dan kesungguhan seorang da'i dalam me-laksanakan kerjanya dengan
sebaik-baiknya sesuai dengan syariat Allah. Target ini merupakan pembinaan umat dalam
tujuan agama. Sebab tu-juan agama adalah mengarahkan manusia dari segi aqidah, akhlaq,
ibadah dan mua'malahnya sesuai dengan syariat Allah.
Cara yang bisa dipergunakan untuk tercapainya target adalah:
1. Pendidikan keluarga
2. Kutaibah, pengelompokan anggota pembinaan (tiap kelompok 40 orang) agar terkoordinasi
dengan baik.
3. Rihlah
4. Daurah, mengadakan pendidikan da'wah secara berjenjang.
5. Nadwah, atau seminar-seminar
6. Kemping
7. Mu'tamar
Program-program yang harus dilakukan dalam fase pembinaan:
1. Pendidikan ruh
Pendidikan ruhiyah ini merupakan aspek pendidikan yang ter-penting. Sebab ruh berbeda dengan
potensi akal yang sangat terikat den-gan ruang dan waktu, awal, akhir dan fana; ruh sama sekali
tidak terikat dengan keterbatasan ini. Dan ia mempunyai tugas yang paling mulia, adalah
berhubungan dengan Allah SWT. Maka pendidikan Islam untuk ruh ini mencakup, antara lain:
a. Mengupayakan hubungan yang terus berlanjut antara ruh dengan Tu-hannya, di setiap saat.
Cara yang bisa dilakukan adalah: 1) menggerakan hati agar selalu merasakan wujud Allah
dengan merenungkan segala ciptaan-Nya; 2) membangkitkan perasaan hati agar selalu
merasakan adanya pengawa-san Allah dalam setiap gerak hidupnya; 3) membangkitkan rasa
takut dan taqwa kepada Allah; 4) menggerakan rasa cinta kepada Allah dan mengharap akan
keridlaan-Nya; dan 5) membangkitkan rasa ketenangan hati untuk menerima qadla dan qadar
Allah SWT.
b. Menjadikan ruh agar senantiasa terjaga untuk berada dalam ketaatan kepada Allah SWT.
Cara yang bisa dilakukan adalah: 1) menjadikan ruh untuk iltizam, ta'at dan dekat dengan Allah
SWT, dengan banyak melaksanakan nawafil, dzikir, qiyamul lail, sedekah dan lain-lain; 2)
menjauhkannya dari maksiat kepada Allah yang akan membuatnya buta; 3) terus melakukan
kegiatan-kegiatan ruhiah dengan mentadaburi segala apa yang terkandung dalam al-Qur'an,
tentang ciptaan Allah, keagungan, hikmah-Nya dan seba-gainya; 4) mengajak untuk
merenungkan dan memikirkan segala ciptaan Allah; dan 5) mengarahkan ruh untuk mengetahui
akan keluasan ilmu Allah yang menyeluruh, sehingga merasakan betul tentang keagungan Allah
SWT.
c. Mendidik ruh dengan ibadah kepada Allah.
Hal ini merupakan wasilah yang paling penting dalam pendidikan ruh, karena ibadah merupakan
ketundukan mutlak kepada Allah SWT.
Ada dua bentuk ibadah yang bisa mendidik ruh: 1) ibadah fardu seperti, thaharah, shalat, puasa,
zakat dan haji; dan 2) ibadat dalam arti-nya yang luas, yang mencakup segala aktifitas manusia,
dari yang dilak-sanakan dan ditinggalkannya, bahkan seluruh perasaan untuk mendekatkan diri
kepada Allah SWT.
Hasil akhir yang bisa dicapai dari pendidikan ruh ini adalah: 1) memperkuat hubungan manusia
dengan Allah; 2) memperbaiki hubun-gan manusia dengan dirinya sendiri; 3) memperjelas
hubungan manusia dengan al-kaun; 4) membuat kecintaan manusia terhadap saudaranya sesama
Muslim; 5) membuat kecintaan manusia terhadap makhluk-makhluk Allah; 6) membuat
kecintaan manusia untuk melakukan segala bentuk kebajikan; 7) bisa menundukan syahwatnya;
8) bisa mengen-dalikan kekuatan materi; 9) bisa mengekang segala kekuatan materi dan non-
materi yang bisa mengancam manusia untuk memalingkannya dari Allah SWT.; dan 10)
mengharapkan segala kekuatan datang dari Allah SWT.
2. Pendidikan akal
Adalah membangun kemampuan akal untuk berpikir, merenung dan tadabur yang membuatnya
mampu mengemban beban da'wah.
Pendidikan Islam terhadap akal ini diarahkan kepada hal-hal seba-gai berikut:
a. Manusia harus bisa membebaskan akalnya dari segala hal yang biasa diterima orang secara
sederhana, yang dibangun di atas prasangka, perkiraan atau taqlid.
b. Ketetapan akal untuk selalu berhati-hati dalam menyikapi dan mempercayai segala persoalan,
sebelum menjadi suatu keyakinan.
c. Mengajak akal untuk selalu merenungi dan mentafakuri alam se-mesta.
d. Mengajak akal untuk merenungkan hikmah dari segala ajaran yang disyariatkan Allah kepada
hamba-Nya, baik ibadah, mua'malah, akhlaq dan sebagainya.
e. Mengajak akal untuk merenungkan sunnah Allah terhadap manu-sia sepanjang sejarah umat
manusia.
Hasil yang bisa diharapkan dari pendidikan akal adalah: member-sihkan akal dari waham dan
khurafat, mengokohkan kematangan akal agar selalu berhati-hati, membiasakan akal untuk
menggali hakikat dan raha-sia al-kaun yang dihuninya, komitmen akal untuk mengetahui
kebenaran dari dekat dan dengan ainul yakin, membuat akal untuk merenungkan dan
memikirkan hikmah-hikmah dari segala yang disyariatkan Allah kepada manusia, dan membuat
akal selalu merenungkan sejarah umat manusia.
3. Pendidikan akhlaq.
Pertama-tama yang dimaksud dengan ahklak adalah setiap perbua-tan yang bisa disifati dengan
baik atau buruk. Maka pendidikan akhlaq yang dimaksud di sini adalah nilai-nilai kebajikan yang
harus menghiasi setiap manusia secara umum, dan Muslim pada khususnya. Akhlaq yang mulia
ini akan selalu sejalan dengan kebenaran yang datang dari Allah SWT. lewat wahyu-Nya, dan
akan selalu terkait dengan terciptanya ke-manfaatan bagi manusia di dunia dan di akhirat.
Pendidikan akhlaq dalam Islam itu menekankan beberapa hal:
1. Manusia mempunyai kebebasan kehendak dalam melaksanakan segala perbuatannya.
2. Manusia akan diminta pertanggung jawaban di hadapan Allah terhadap segala sesuatu yang
dilakukannya, dan akan mendapat balasan sesuai dengan ketaatan atau kemaksiatan yang
dilakukannya.
3. Akhlaq dalam Islam bersumber dari wahyu Allah SWT. yang bisa dibaca dalam Kitab-Nya,
dan dari Sunnah Rasulullah SAW. yang bisa di-baca dalam kitab-kitab Hadits dan sirah
nabawiah.
4. Akhlaq dalam Islam berdiri di atas dua dasar: yaitu keadilan (adil dengan Allah, dengan diri
sendiri dan dengan sesama manusia) dan ih-san.
5. Amar ma'ruf dan nahyi munkar. Dalam arti, seorang Mumin yang berakhlaq mulia, ketika
mengetahui suatu perbuatan baik mesti menger-jakan dan mengajak orang untuk
mengamalkannya. Demikian sebali-knya, ketika ia mengetahui sesuatu yang munkar, ia
meninggalkanya dan mencegah orang dari mengerjakannya. Sehingga baik dan buruk menjadi
semacam karakter, untuk selalu dilaksanakan atau ditinggalkan, baik un-tuk dirinya maupun
untuk orang lain.
Sehingga secara ringkas pendidikan Islam terhadap akhlaq mene-kankan dua hal: al-takhliyah
dan al-tahliyah. Yang pertama membersihkan diri dari setiap bentuk kejelekan, kejahatan dan
memunkaran atau dari setiap yang diharamkan Allah kepada hamba-Nya, baik yang nampak
maupun yang tersembunyi. Sedangkan yang kedua, menghiasi diri den-gan segala bentuk
kebaikan yang datang dari Islam.
4. Pendidikan fisik
Fisik merupakan potensi manusia yang ketiga, sekaligus menjadi penyangga potensi ruh dan
akal. Pendidikan ini jelas sangat mendesak, sebab diperlukan keseimbangan di antara ketiga
potensi tadi, sehingga terjadi keserasian yang harmonis, yang satu sama lain saling menguat-kan.
Karenanya al-Quran dan Sunnah begitu memperhatikan kebutuhan-kebutuhan fisik, tentang
makanan, pakaian, tempat tinggal, istirahat dan sebagainya.
Jika pendidikan fisik ini diterapkan dengan benar sesuai dengan tuntutan-tuntutan Islam, maka
akan melahirkan masyarakat Muslim yang kuat, yang mampu mengemban kewajibannya dengan
sebaik-baiknya; masyarakat yang bersih dan sehat dari berbagai bentuk pen-yakit; masyarakat
yang bebas dari penyakit-penyakit kejiwaan; dan masyarakat yang gesit, dinamis dan energik,
jauh dari sikap kemalasan. Pendidikan fisik ini karena merupakan kebutuhkan seluruh umat
manu-sia secara kontinu, maka karenanya menjadi kewajiban bersama bagi para pengemban
dawah dan yang menjadi objek dawah secara ber-samaan.
5. Pendidikan rasa sosial
Pendidikan ini dimaksudkan sebagai penggemblengan bagi pribadi Muslim agar sadar tentang
hubungannya dengan masyarakat, faham ten-tang kedudukannya di tengah masyarakat dan selalu
sadar tentang hak dan kewajibannya. Seorang Muslim dengan kesadaran ini merupakan orang
yang memiliki rasa solidaritas sosial, yang selalu merasa terlibat untuk berperan secara aktif
dalam menghadapi segala masalah sosial. Jika bersikap aktif ini merupakan kewajiban manusia
secara keseluruhan, maka bagi seorang Muslim tentu saja lebih wajib lagi. Sehingga dengan
demikian mempunyai rasa solidaritas sosial merupakan kewajiban syariat.
d. Fase Tanfidz (pelaksanaan)
Fase ini menggambarkan pelaksanaan dari nilai-nilai dan akhlaq Is-lam yang telah diterima dari
pengajaran dan pendidikan. Dengan kata lain merupakan praktek dari setiap pengajaran yang
telah didapatkannya dari fase-fase sebelumnya (tamhid, tarif dan takwin).
Seperti halnya fase-fase lain, fase ini mesti mempunyai kejelasan tu-juan, wasail dan manhaj
yang jelas. Dan perlu dicatat bahwa fase ini hanya diperuntukan bagi orang-orang yang telah
menyelesaikan fase-fase sebe-lumnya. Tujuan, wasail, manhaj dan program-program yang jelas
ini ha-rus betul-betul difahami, baik oleh para pengemban dawah itu sendiri maupun oleh orang-
orang yang menjadi obyek dawahnya. Dengan pe-mahaman yang baik ini bisa membuat cara
dan hasil kerja yang baik pula, seperti yang diisyaratkan oleh lebih dari lima puluh kali dalam al-
Quran: Alladzina amanu wa amilus shalihat, orang-orang beriman yang beramal (secara)
baik.
Sehingga fase ini secala gamblang bisa didefinisikan sebagai: Fase orang-orang Mumin yang
membuktikan segala apa yang telah mereka janjikan kepada Allah, dan mempersiapkan kerjanya
untuk Islam, den-gan segala pengetahuan dan kekuasaan yang diperlukannya; adalah fase
perjuangan di jalan Allah, hatta takuna kalimatullahi hiyal ulya.
Kerangka umum dalam fase tanfidz:
1. Orang-orangnya telah sampai pada tingkat nazhar dalam fiqih Is-lam.
Derajat nazhar ini dimaksudkan sebagai kemampuannya untuk merefleksikan, merenungkan, dan
memikirkan nash-nash agama, baik ayat maupun Sunnah, untuk kemudian mengistinbat hukum-
hukum syara. Sehingga yang masuk ke dalam fase ini bisa disebut sebagai faqih.
2. Membina sekelompok orang yang mempunyai keahlian-keahlian tertentu dalam setiap aspek
kehidupan.
Bidang pembinaan ini harus mencakup: 1) pembinaan ulama yang mutafaqih fi al-din, 2)
pembinaan orang-orang yang mempunyai keahlian dalam bidang ilimu-ilmu kemanusiaan atau
humaniora (misalnya sosi-ologi, politik, ekonomi, pendidikan, penerangan, pertanian, astronomi,
dan sebagainya), 3) bidang fiqh dawah, 4) kepemimpinan dan strategi, 5) dan yang ahli tentang
dunia internasional.
3. Pendalaman loyalitas terhadap agama dan dawah Islam.
Artinya setiap orang dituntut untuk melaksanakan amal Islami den-gan sebaik-baiknya.
Pendalaman komitmen dan loyalitas terhadap Islam dan dawahnya ini harus dilakukan dengan
pendalaman komitmen ter-hadap manhaj dan aturannya menyangkut kehidupan.
4. Islam amali merupakan syiar yang paling tepat untuk fase ini.
Dalam arti setiap orang mempunyai keinginan atau himmah yang kuat untuk melaksanakan
segala yang telah diterimanya tentang Islam. Diantara sifat-sifat yang harus dimiliki dalam
rangka kerja Islam itu antara lain: ikhlas, kontinu, keinginan yang kuat dan hati-hati, sabar,
sungguh-sungguh, ihsan dan tidak terburu-buru untuk menggapai ke-menangan dari Allah SWT.
Tuntutan Fase:
Ada empat tuntutan dari fase ini:
1. Tuntutan terhadap setiap orang dari marhalah.
Ada tiga hal yang harus dilakukan dalam menentukan siapa orang yang akan masuk ke dalam
fase ini, adalah ishtifa (pemilihan), ikhtibar (penyeleksian) dan tawsiq (pengujian).
Setiap orang yang yang memasuki marhalah ini harus dipilih dari kelompok orang-orang yang
telah menyelesaikan fase pembinaan sesuai dengan jenjang dan program yang telah
direncanakan. Pemilihan ini ha-rus didasarkan atas tiga kriteria, agar setiap orang bisa
melaksanakan kerjanya dan bisa merealisasikan tujuannya. Ketiga kriteria ini adalah:
a) Keshalihan dan ketaqwaan, sehingga bisa menjaga dirinya dari setiap betuk maksiat dengan
meninggalkan segala sesuatu yang dilarang. Dan shalih, dengan melaksanakan ajaran-ajaran dan
akhlaq Islam dengan komitmen terhadap perintah Allah dan menjauhi segala yang dila-rangnya.
b). Akal dan kecerdasan, pada tingkat intelegensia tertentu yang memungkinkannya untuk
mencerna ilmu pengetahuan dan menjaganya dari kesalahan-kesalahan dalam berpikir.
Kecerdasan ini juga bisa diarti-kan sebagai kemampuan untuk menganalisa, menghadapi
persoalan-persoalan baru dan menyelesaikannya dengan cara-cara yang cerdas.
c). Kuat dan amanah, dalam arti kemampuannya untuk bekerja den-gan penuh amanah.
Setelah memilih orang-orang ini kemudian melakukan seleksi untuk mengetahui sejauh
kemampuan dan kesiapannya untuk bekerja demi Is-lam. Seleksi ini merupakan pengujian antara
lain:
a) segi-segi ilmiah, untuk mengetahui sejauh mana penguasaan ma-teri-materi keislaman, dari
aqidah dan syariah, ibadah dan muamalah, Sunnah, sirah nabawiyah, sejarah Islam,
pengetahuan umum tentang Is-lam dan tentang agama-agama secara umum.
b) Pengujian segi-segi amali untuk mengukur kemampuan seorang calon dalam berinteraksi dan
menyelesaikan berbagai persoalan yang di-hadapi.
Dan terakhir melakukan uji coba untuk mengecek kesungguhan dan loyalitasnya terhadap Islam
dan amal islami, sehingga pada akhirnya ia akan dipercaya sebagai orang yang betul-betul
berjuang untuk Islam.
2. Tuntutan pergerakan setiap orang dari marhalah.
Tuntutan ini dimaksudkan sebagai sifat-sifat atau karakter-karakter seorang dai pada fase ini
yang bisa menjamin tercapainya tujuan dawah. Sifat-sifat ini antara lain adalah:
a) kemampuannya dalam bergaul di tengah-tengah manusia, mem-perhatikan dan ikut merasakan
gembira atau sedihnya orang lain. Sifat ini sungguh sangat asasi, karena tanpa sifat ini seseorang
tak akan bisa berperan aktif dalam kancah dawah, bahkan justeru sebaliknya akan membuatnya
bersifat pasif dan mejauhkan diri dari masyarakat.
b) Kemampuan dalam melakukan pendekatan dan menarik simpati orang, sehingga akan
mencintai dan dicintai masyarakat.
c) Senantiasa mendambakan kebaikan bagi masyarakat dan bekerja keras untuk menolak
bencana yang mungkin menimpanya.
d) Mempunyai kemampuan untuk mengkoordinasi dan memobi-lisasi potensi masyarakat.
Karena selama masih melakukan kerjanya sendiri-sendiri tak akan mencapai target yang
diinginkan. Oleh karena itu diperlukan orang-orang yang mampu memimpin, mengarahkan kerja
mereka dan menumbuhkan semangat gotong royong di antara anggota masyarakat.
e) rela dan bahkan senang untuk berkorban demi tercapainya per-juangan.
3. Tuntutan taktik dan strategi
Setiap orang yang bergerak di bidang dawah ini harus memahami taktik dan strategi, agar bisa
merintis tujuan dawahnya dengan teren-cana, teratur dan sistematis.
4. Tuntutan managemen
Target Fase Tanfidz:
1. Menerapkan nilai-nilai, ajaran dan etika yang telah disyariatkan Islam lewat nash-nashnya
menjadi ajaran yang betul-betul praktis.
2. Memperdalam hubungan kebersamaan antar sesama anggota fase ini, dan memperkuat
hubungan persaudaran ke tingkat ikatan persauda-ran tertinggi yang hanya didasarkan atas
keimanan murni. Sehingga se-luruh anggota menjadi satu bangunan yang kokoh, yang jika salah
satu anggotanya sakit bagian anggota lain juga ikut merasa sakit.
3. Memperdalam kesucian ruh anggota marhalah dengan banyak melakukan latihan-latihan
spiritual. Dengan demikian, satu kelebihan marhalah ini dari fase-fase sebelumnya adalah
mempunyai kedalaman spiritual.
4. Memperkuat dimensi fisik anggota dengan banyak melakukan olah raga, sehingga mampu
mengemban beban dawah. Termasuk mem-perhatikan kekuatan fisik ini adalah tidur dan makan
yang teratur, serta menjauhi segala yang bisa merusak kesehatan.
5. Bersifat kontinue dalam melakukan kerja dawah dengan segala pengorbanan, baik harta,
tenaga, waktu dan bahkan dirinya sendiri. Se-hingga lebih mengutamakan kerja dawah dari pada
dirinya sendiri.
6. Bekerja dengan sungguh-sungguh dalam memikirkan dan me-menuhi kebutuhan masyarakat,
sebagai pelaksanaan dari kewajibannya terhadap masyarakat dan sebagai praktek lapangan dari
bekerja sama dalam melakukan kebaikan dan taqwa. Target ini pada prakteknya menuntut untuk
berdirinya lembaga-lembaga sosial.
7. Mempersiapkan diri untuk memasuki fase selanjutnya (fase tam-kin, pengokohan), sebab fase
itu merupakan fase yang dicita-citakan, se-dangkan sebuah cita-cita tak akan terwujud kecuali
dengan kerja keras dengan selalu meminta pertolongan Allah, sabar, shalat, ikhlas, saling
menasehati antara sesama Muslim dan komitmen dalam jamaah.
Hal-hal yang harus selalu disadari oleh setiap anggota adalah, bahwa kerja yang dituntut jauh
lebih besar dari waktu yang dimiliki. Karena itu setiap anggota harus selalu taushiyah untuk
selalu menjaga waktunya agar tidak dipergunakan dalam hal-hal yang mubadzir. Dan satu lagi
adalah, semuanya harus sadar bahwa tujuan yang dicita-citakan itu jauh lebih besar dari
jangkauan kerja yang mungkin bisa dilaku-kannya. Karenanya semua orang harus bekerja
semaksimal mungkin, dengan selalu didasari oleh kesungguhan, ihsan dan itqan (apik) dalam
bekerja.
Cara-cara yang bisa dilakukan dalam menggapai target yang ingin dicapai antara lain lewat:
1. Training, merupakan latihan amal Islam dengan mempraktekan nilai dan ajaran Islam dalam
segala kegiatan hidupnya dari mulai bangun sampai bangun kembali.
2. Kemping, untuk mempertajam hubungan persahabatan dan per-saudaraan antara sesama
anggota.
3. Kutaibah, merupakan pengelompokan anggota marhalah (40 orang, seperti yang sudah
dijelaskan dalam bagian terdahulu) dengan melakukan kegiatan intensif selama empat puluh hari.
4. Rihlah.
5. Nadwah.
Prioritas Kerja pada Fase ini:
1. Praktek kerja Islam, baik bagi masing-masing individu, keluarga, pada profesi dan di
masyarakat secara keseluruhan. Yang dimaksud dengan praktek kerja ini adalah, komitmen
anggota dalam setiap kata, perbuatan dan tindakan dengan akhlaq dan ajaran Islam, tanpa mere-
mehkan suatu apapun.
2. Memperdalam loyalitas terhadap Islam dan dawah. Kerja kedua ini merupakan kesimpulan
yang pasti dari kerja pertama. Karena loyali-tas berarti, komitmen yang mutlak terhadap akhlaq
dan ajaran Islam dengan penuh rasa bangga sebagai seorang Muslim.
3. Mempersiapkan kader-kader yang ahli dalam berbagai bidang kerja Islam. Baik dalam bidang
kecendekiaan, ekonomi, politik, pendidi-kan dan sebagainya.
4. Ada anggota marhalah yang sampai pada tingkat nazhar dalam agama. Ini selanjutnya menjadi
kewajiban kelompok, kalau tak mungkin bisa dicapai oleh setiap orang dari anggota marhalah.
e. Fase Tamkin (pengukuhan)
Kalau saja fase-fase dawah ini diibaratkan sebagai kegiatan berco-cok tanam, maka fase terakhir
ini merupakan tahap berbuah untuk ke-mudian dipetik hasilnya. Fase-fase sebelumnya memang
betul-betul me-rupakan fase persiapan dan pembinaan untuk mendapatkan hasil yang
memuaskan. Hanya perlu dicatat bahwa, orang-orang yang memasuki fase ini mesti telah
melewati jenjang marhalah sebelumnya. Menjalani pendidikannya dengan sebaik mungkin,
hingga kemudian sampai pada tujuan akhir yang menjadi target dari setiap marhalah. Sebagai
mana ke-menangan yang akan diraih jelas tidak sepenuhnya bersifat manusiawi, karena
pertolongan Allah merupakan kunci penentu dari setiap derap perjuangan yang kita lakukan. Kita
hanya berkewajiban untuk merambah sebab-sebab yang manusiawi. Seperti firman Allah:
Sesunguhnya kami te-lah mengukuhkan baginya (Dzulkarnain) di atas bumi, dan Kami berikan
baginya sebab-sebab bagi segala sesuatu.
Maka fase tamkin dalam dawah berarti, Allah mengukuhkan kedudukannya di atas bumi, lewat
perantara orang-orang yang beramal shalih dalam segala lapangan kehidupan. Seperti yang
dijanjikan Allah SWT.: Dan Allah telah menjanjikan bagi orang-orang yang beriman di antara
kalian dan beramal shalih, bahwa Allah akan memberikan kepada mereka kekua-saan di atas
bumi, sebagai mana Allah telah memberikan kepada orang-orang yang sebelumnya, dan bahwa
Allah akan mengukuhkan bagi mereka agama yang telah diridlai-Nya bagi mereka, dan akan
memberikan rasa aman dan tenteram setelah mereka merasa takut. Mereka menyembah-Ku dan
tidak menyekutukan-Ku dengan sesuatu apapun, dan barang siapa yang kufur setelah itu, mereka
adalah orang-orang yang fasiq. Dan dirikanlah shalat, berikanlah zakat dan taat-lah kalian kepada
Rasul semoga kalian mendapat rahmat. Dalam pengertian ayat-ayat inilah kurang lebih cita-cita
fase tamkin.
Hanya saja, walaupun memang fase ini merupakan fase puncak dari marhalah dawah, tidak
berarti perjuangan dawah terus berhenti. Ada perjuangan untuk menjaga keberlangsungan
tahapan yang sudah dica-pai. Dan lebih dari itu, fase-fase ini tidak mesti dipahami sebagai
marha-lah-marhalah yang terpisah, sesungguhnya bisa jadi dilakukan secara serentak, bagi
anggota dawah yang berbeda.
Untuk selanjutnya, tentang fase ini hanya akan disebutkan kerangka umum.
Kerangka umum yang harus dilakukan dalam fase ini:
1. Melaksanakan kekuasaan hukum yang telah diturunkan Allah, al-Quran dan Sunnah, dalam
seluruh urusan kehidupan, sehingga umat manusia merasakan hidup aman, tenteram dan
mendapatkan keadilan yang sesungguhnya.
2. Mencetak kehidupan sehari-hari secara islami.
3. Membentuk lembaga-lembaga yang menyentuh segala sektor ke-hidupan umat secara islami.
4. Mempersiapkan para ahli, secara akademis, dalam seluruh sektor kehidupan.
5. Mempersiapkan para ahli yang bisa merancang lapangan kerja un-tuk menutupi kebutuhan
kerja Islam dalam seluruh fase dawah.
III. Ushul al-Tsalatsin
(Tiga puluh prinsip dalam berda'wah)
1. Islam adalah sistem syumul yang mengurusi seluruh sendi ke-hidupan, dari kenegaraan dan
kebangsaan, etika dan kekuasaan, kebu-dayaan dan hukum, materi dan kekayaan, perjuangan dan
da'wah. Seba-gaimana ia adalah aqidah dan ibadah yang benar.
2. Al-Qur'an dan Sunnah adalah rujukan setiap Muslim dalam men-getahui seluruh hukum Islam.
Al-Qur'an itu harus difahami sesuai den-gan kaidah-kaidah bahasa Arab tanpa berlebihan dan
serampangan. Dan dalam memahami sunnah ia harus dikembalikan kepada Rijalul hadits yang
tsiqat.
3. Keimanan dan ibadah yang benar serta mujahadah mempunyai ca-haya dan rasa manis yang
dianugerahkan Allah SWT kedalam hati orang-orang yang dikehendaki dari hamba-hamba-Nya.
Tetapi ilham, in-tuisi, kasyf dan mimpi tidak bisa menjadi dalil dalam hukum syari'at, dan tidak
bisa dijadikan i'tibar (hujjah) kecuali dengan syarat tidak bertentan-gan dengan hukum agama
dan nash-nashnya.
4. Azimat, jampe-jampe, paranormal, perdukunan dan mengaku mengetahui hal-hal yang ghaib
adalah kemunkaran yang harus diperangi (kecuali do'a-do'a yang ma'tsur).
5. Pendapat imam atau wakilnya, dalam hal yang tidak ada nashnya, mengandung berbagai
kemungkinan tentang keshahihannya, dalam arti nisbi, tidak mutlak. Dalam al-mashalih al-
mursalah pendapat Imam ini bisa dipakai selama tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah
syari'at. Dan penilaian ini terkadang bisa berubah sesuai dengan kondisi 'urf dan adat yang
berlaku dan shahih. Masalah ibadah pada dasarnya bersifat ta'abudi, karenanya tak harus melihat
'illat-'illatnya; sedangkan adat harus dilihat apa rahasia, hikmah dan maksud yang ingin
dicapainya.
6. Setiap orang bisa diambil pendapatnya atau ditinggalkan kecuali al-Ma'shum SAW. Setiap
pendapat yang datang dari salaf ash-Shalih yang sejalan dengan Kitab dan Sunnah harus kita
ambil, dan jika ternyata bertentangan maka Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya lebih berhak kita
ikuti. Tetapi walaupun begitu, dalam hal yang berbeda pendapat, kita ti-dak boleh
mempersoalkan kepribadian atau orangnya, dengan mencerca atau meremehkan. Kita percaya
akan niat baik mereka, dan kita yakin bahwa mereka telah melakukan hal yang terbaik tentang
apa yang ingin mereka sampaikan.
7. Bagi setiap Muslim yang belum sampai kepada tingkat nazhar dalam dalil-dalil hukum far'i
hendaknya ia mengikuti salah satu imam dari imam-imam agama. Dan bersama ittiba
(pengikutan) terhadap imam ini, alangkah baiknya jika ia berusaha untuk menguasai dalil-dalil
yang mungkin bisa dikuasainya. Ia harus menerima setiap petunjuk yang di-barengi dengan dalil-
dalil jika orang yang memberikan petunjuk itu pan-tas dan mampu. Demikian pula ia harus
berusaha untuk melengkapi ke-kurangan ilmunya (bagi kelompok terdidik) supaya bisa sampai
pada tingkat nazhar.
8. Perbedaan pendapat fiqhiyah tidak boleh menjadi sebab terjadinya perpecahan dalam agama,
permusuhan atau kebencian. Sebab bagi setiap mujtahid mendapat pahala dari upaya ijtihadnya.
Hanya saja tak ada salahnya untuk melakukan pengecekan ilmiah terhadap masalah-masalah
khilafiah tadi selama didasari oleh kecintaan kepada Allah SWT, bekerjasama untuk menemukan
titik kebenaran tanpa mengakibatkan adanya fanatisme yang tercela.
9. Setiap masalah yang tidak berdimensi amali maka melakukan pendalaman terhadapnya
termasuk yang dilarang syara'. Termasuk dalam kaidah ini misalnya, melakukan pembagian
hukum-hukum far'i yang tidak terjadi; mendalami makna-makna ayat al-Qur'an yang belum
dijamah oleh ilmu pengetahuan dan membanding-bandingkan kelebihan antara shahabat serta
membicarakan dan mempertajam perselisihan yang terjadi diantara mereka. Sebab setiap
shahabat mempu-nyai nilai kedeka-tan dan persahabatannya dengan Rasul serta mempunyai niat
baiknya yang tak mungkin diragukan lagi.
10. Ma'rifat kepada Allah SWT, Tauhid dan tanzih adalah aqidah Is-lam yang paling utama.
Ayat-ayat sifat, hadits-hadits shahih tentang sifat dan ayat-ayat mutasyabihat, harus kita imani
seperti adanya tanpa ta'wil dan ta'thil (meniadakan segala atribut bagi Allah SWT). Kita tak perlu
menggubris perbedaan pendapat para ulama di sekitar masalah ini, cu-kuplah Rasul dan
shahabatnya menjadi teladan. Merekalah orang-orang yang disebut oleh al-Qur'an: "Dan orang-
orang yang ilmunya rasikh mereka berkata: "Kami beriman, semuanya itu berasal dari Tuhan
kami."
11. Setiap bentuk kebid'ahan yang tak ada landasannya dalam agama --yang dianggap baik oleh
hawa nafsu manusia-- adalah kesesatan yang wajib diberantas; dengan acara yang terbaik
sehingga tidak membuat se-suatu yang lebih jelek dari kebid'ahan itu sendiri.
12. Bid'ah idzafi, tarkibi dan iltizam dalam melakukan ibadah mut-lak tertentu adalah perbedaan
fiqhiyah, yang setiap orang boleh mem-punyai pendapat yang berbeda. Tak ada salahnya hakikat
persoalan seperti ini dianalisa dengan dalil dan bukti-bukti.
13. Mencintai orang-orang shalih, menghormati dan memuji mereka karena amal baik yang telah
dilakukannya adalah termasuk usaha mendekatkan diri kepada Allah SWT.
14. Ziarah kubur hukumnya sunnah, asal dengan kaifiyah atau cara-cara yang ma'tsur, diajarkan
oleh Rasulullah SAW. Tetapi meminta per-tolongan kepada orang-orang yang mati dan
memanggilnya, meminta pertolongan kepada mereka agar kebutuhan hidupnya terpenuhi, baik
dari jauh atau dari dekat, memperingatinya, mendirikan bangunan di atasnya, menutupinya
dengan gargeng, meneranginya, memberikan wangi-wangian, meminta berkah kepadanya,
bersumpah atas nama se-lain Allah dan berbagai kebid'ahan yang diakibatkannya adalah dosa be-
sar yang wajib diluruskan. Kita tak boleh menta'wil, untuk membenarkan perbuatan-perbuatan
seperti ini karena sadudzari'ah, agar tak terjerembab pada hal-hal yang diharamkan.
15. Do'a, jika seseorang ber-tawasul dengan dibarengi salah seorang dari makhluk Allah adalah
termasuk perbedaan far'iyah dalam hal ber-do'a, bukan masalah aqidah.
16. Urf atau kebiasaan yang salah dalam menggunakan suatu istilah, tak bisa merubah hakikat
syari'ah. Karenanya perlu ditegaskan tentang apa isi dan kandungan makna yang dimaksud oleh
lafadz itu. Kita juga harus menjauhi apologi kata (permainan kata-kata), baik dalam masalah-
masalah agama ataupun dunia. Kata sebuah kaidah "Al-ibratu bi al-musamayat la bi al-asma",
atau yang dijadikan patokan adalah kandungan dari istilah itu sendiri.
17. Aqidah adalah asas dari setiap perbuatan, dan amal hati (amal qulub) lebih penting dari amal
lahir (amal khariji). Terciptanya kesempur-naan dari kedua amal itu adalah menjadi tuntutan
syariat, walaupun ada perbedaan tingkat dalam tuntutan itu.
18. Islam membebaskan kemerdekaan akal, mendorong untuk mere-nungkan al-kaun,
menghargai setinggi-tingginya ilmu dan ulama, dan menyambut baik terhadap segala yang baik
dan bermanfaat. Karena hikmah adalah barang berharga Mu'min yang hilang, maka kapan saja ia
menemukannya ia lebih berhak untuk memungutnya kembali.
19. Terkadang bisa terjadi perselisihan di antara pandangan akal dan pandangan syara. Tetapi
bagaimanapun kedua pandangan itu tak akan berselisih dalam hal-hal yang sifatnya qath'i, pasti.
Maka kebenaran ilmiah yang pasti, tak akan bertentangan dengan kaidah syar'iyah yang tsabit.
Jika derajat kedua pandangan itu berbeda, maka kebenaran yang zhani harus dita'wil agar sejalan
dengan kebenaran yang qath'i. Tetapi jika kedua-duanya zhanni maka kezhanian syara lebih
berhak diikuti, sampai kemudian ditemukan kepastian tentang kebenaran akal atau kepastian
tentang ketidak benarannya.
20. Kita tidak mengkafirkan seorang Muslimpun --yang mengakui dua syahadat, mengerjakan
tuntutan dan faraidlnya- hanya karena menge-luarkan suatu pendapat atau melakukan
kemaksiatan tertentu. Kecuali jika ia mengaku bahwa dirinya kufur, mengingkari sesuatu yang
pasti dalam agama, mendustakan kebenaran yang sangat jelas dari al-Qur'an (sharih al-Qur'an),
menafsirkannya dengan cara yang tidak sesuai dengan uslub dan bahasa Arab, atau melakukan
suatu perbuatan yang tidak bisa dita'wil lagi kecuali memang perbuatan itu benar-benar suatu
kekufuran.
21. Wanita adalah saudaranya laki-laki. Mencari ilmu dan demikian pula amar ma'ruf dan nahyi
munkar adalah kewajiban bersama.
Dan wanita dalam batas-batas etika Islam mempunyai hak dan ke-wajiban untuk bersama-sama
membangun dan melindungi masyarakat.
22. Keluarga adalah pondasi bangunan akhlaq dan sosial umat, dan merupakan basis yang alami
untuk pertumbuhan generasi umat manusia. Karena itu kedua orang tua mempunyai kewajiban
bersama untuk men-ciptakan lingkungan yang baik bagi pertumbuhan anak.
Lelaki adalah pemimpin rumah tangga. Meski demikian kewenan-gan dan tanggung jawabnya
terbatas pada hal-hal yang disyariatkan Al-lah bagi seluruh anggota keluarga.
23. Manusia mempunyai hak-hak materi (madi) dan moral (adabi) yang sebanding dengan
kemuliaan dan kedudukan yang telah dianu-gerakan Allah kepadanya. Islam telah menjelaskan
hak-hak ini dan men-gajak untuk menghormatinya.
24. Para pemimpin dan penguasa bekerja untuk mengabdi kepada rakyatnya, demi menjaga
kemaslahatan agama dan dunianya. Maka ke-beradaan mereka dalam jabatannya sangat
tergantung pada komitmen mereka dalam menjalankan dan menjaga kewajiban ini, serta kerelaan
rakyat atas mereka. Sama sekali seorang pemimpin tak berhak untuk memaksakan suatu
keputusan secara despotik kepada rakyat.
25. Syura adalah asas pemerintahan. Bagi setiap bangsa berhak un-tuk memilih cara yang paling
tepat untuk menerapkannya. Cara yang paling baik bagi pelaksanaan syura ini adalah yang paling
mendukung untuk ketundukan umat terhadap Allah SWT dan menjauhkannya dari riya, penipuan
dan keserakahan duniawi.
26. Hak pemilikan pribadi dijamin oleh syara, dengan syarat-syarat dan hak-haknya yang telah
diatur oleh Islam.
Keseluruhan umat adalah ibarat satu tubuh, yang satu sama lain saling melengkapi. Karenanya
satu bagian tubuhpun tak boleh diperdaya oleh sekelompok lain. Maka persaudaraan umum
adalah hukum yang mengatur masing-masing anggota jamaah, karenanya baik persoalan ma-teri
ataupun moral harus tunduk pada hukum jama'ah ini.
27. Keluarga Islam internasional bertanggung jawab atas terlak-sananya da'wah Islam. Seperti
halnya ia bertanggung jawab untuk men-jawab tuduhan-tuduhan dan menolak kesengsaraan yang
menimpa ang-gota keluarganya. Keluarga Islam juga berkewajiban untuk mengerahkan usahanya
untuk menghidupkan kembali khilafah dalam bentuknya yang layak dan sebanding dengan
kebesaran agamanya.
28. Perbedaan agama tidak menjadi sumber permusuhan antara sesama manusia. Tetapi
terjadinya permusuhan, persengketaan, peper-angan, fitnah dan semua bentuk kezhaliman itu
terjadi karena ulah sekelompok manusia, oknumnya.
29. Hubungan muslimin dengan keluarga masyarakat internasional didasari oleh persaudaraan
kemanusiaan yang murni. Umat Islam harus mendawahkan agamanya hanya dengan
argumentasi dan kerelaan: La iqraha fi al-dini qat tabayyana al-rusydu min al-ghayyi.
30. Umat Islam bersama-sama kelompok lain --dengan perbedaan agama dan madzhabnya--
berkewajiban untuk mewujudkan kese-jahteraan umat manusia, baik secara materi maupun
secara nilai (ma'nawi). Ini adalah pijakan fitrah keislaman dan nilai-nilai yang kita warisi dari
pembesar para nabi, Nabi Muhammad SAW.
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh- Ku dan musuhmu menjadi
teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa
kasih
sayang, padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebena-ran yang datang kepadamu,
mereka mengusir Rasulullah dan men-gusir kamu karena kamu beriman kepada Allah,
Tuhanmu.
(QS. 60:1)
***
Sungguh sangat disayangkan, sebagian besar mereka yang mengaku golongan AhlusSunnah
Wal-Jamaah telah terseret menjadi orang-orang yang membenarkan praktek golongan "pencinta
Ahlulbait. Akhirnya ti-dak ada lagi jarak antar pemuja Syiah dan pembela AhlusSunnah.
Bahkan kini telah beredar buku-buku yang menyerukan persatuan antara AhlusSunnah dan
Syiah Rafidhah, baik yang ditulis oleh orang Syiah maupun mereka yang pro dari
AhlusSunnah.
Jika kita kembalikan pengertian dari persatuan dan ukhuwah Isla-miah, sesungguhnya tidak tepat
bergumul dengan mereka dan menga-tasnamakan persatuan. Karena telah jelas bahwa persatuan
harus be-dasarkan persamaan prinsip-prinsip pokok (ushul). Bagaimana dengan mereka? Apakah
kita akan bersatu dengan keyakinan bahwa Allah bersi-fat bodoh dan pelupa? Bahwa Al-Quran
Al-Karim belum sempurna? Bahwa mencela dan mendiskreditkan shahabat dan salafusshalih
adalah ibadah? Bahwa mereka adalah para perusak sejarah Islam? Dan perbe-daan prinsip
lainnya.
Ketahuilah, perbedaan antara AhlusSunnah dan Syiah Rafidhah adalah perbedaan dalam ushul
(prinsip dasar) bukan dalam masalah furu (cabang). Ketika terjadi revolusi Iran, banyak orang
terkesan akan kekua-tan dien Syiah. Kemudian dijadikan momentum untuk merangkul kaum
muslimin dengan seruan berbaiat kepada Khomaeni sebagai Imam selu-ruh ummat Islam.
Apa yang terjadi merupakan akibat dari lemahnya pemahaman ummat Islam terhadap Al-Quran
dan Sunnah serta kurang selektifnya menerima setiap faham dan keyakinan.
Beberapa Sikap Syiah terhadap AhlusSunnah
Penulis menjelaskan beberapa bagian tentang sikap Syiah terhadap AhlusSunnah berdasarkan
kepada rujukan kitab-kitab Syiah yang masih dijadikan pegangan para penganutnya.
Pengertian Al-Nashib menurut Syiah
Kitab-kitab Syiah yang saya kaji, sangat banyak memuat istilah-istilah, kunyah dan laqab yang
sebelumnya belum pernah digunakan oleh para ulama. Ada juga istilah yang sama, namun
pengertiannya berten-tangan dengan yang sebenarnya. Misalnya, dalam kitab mereka terdapat
kunyah "Al-awwal", "Al-tsani", "Al-tsalits", "Habtar. (burung Pelanduk), "Zaraiq (nama
burung). Dengan shighat menghina, mereka maksudkan Al-Awwal adalah Al-Shiddiq, Al-tsani
Umar, Al-tsalits Usman, Habtar ialah Abu Bakr, Zaraiq adalah Umar dan banyak lagi istilah
ejekan lainnya. Be-gitu juga istilah "Nashib" atau "An-Nawashib. Menurut Ahlus Sunnah,
Nashib ialah orang-orang yang membenci Ali RA dan Ahlulbaitnya serta melaknat mereka.
Namun, menurut Syiah pengertiannya ialah golongan AhlusSunnah yang menyetujui
kekhalifahan Abu Bakar RA, Umar RA dan shahabat lainnya. Kitab-kitab Syiah yang
menjelaskan seperti ini di antaranya, "Al-Hadaiqun Nadlirah fi Ahkamil 'Atrahuthahirah" karya
Al-Bahrani, "Al-Mahasinun Nafsaniah fi Ajwabati Masail lil Kharasaniah" Karya Husain Al-
Usfuur. "Al-Anwarun Nu'maniah karya Ni'matullah Al-Jazairy. "Maratul Anwar Wa Misykatul
Asrar" karya Abul Hasan Al-Amily.
Hanyalah yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada
Allah dan hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut kepada
siapapun selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang mendapat petunjuk.
(QS. 9:18)
***
Masjid adalah sebuah tempat ibadah ritual ummat Islam dimana di-laksanakan shalat, Jumatan
atau dzikir dan pengajian. Demikian angga-pan sebagian orang akan fungsi dan peranan masjid,
karena pada ken-yataannya memang sebagian besar masjid dewasa ini hanya untuk upacara ritual
seperti itu. Tidak sedikit masjid yang terkunci dan hanya dibuka ketika waktu shalat fardlu saja.
Padahal jika kita memperhatikan fungsi masjid pada masa Rasulullah SAW sangat luas. Memang
diakui jumlah masjid di Indonesia semakin hari kian bertambah. Menurut data tahun 1990
mencapai 120.252 buah, langgar 372.243 buah dan mushalla 32.774 buah. Bahkan menurut data
statistik tahunan terdapat kenaikan 5% dalam setiap tahunnya. Kondisi ini membuat kita merasa
kagum dan bangga. Namun ada kek-hawatiran jika melihat kualitas yang biasanya jauh tertinggal
dari kuanti-tasnya. Sehingga ada ungkapan Seribu masjid, satu jumlahnya. Kekha-watiran ini
sedikit terobati dengan banyak berdirinya Dewan Keluarga Masjid (DKM) yang secara khusus
menangani kegiatan dan organisasi masjid. Memang, tidak salah bila ada yang memandang
masjid sebagai-mana pemahaman di atas. Karena menurut bahasa masjidun itu berarti tempat
sujud sebagai simbol ibadah mahdlah. seperti juga dikemukakan oleh Imam Al-Maraghi dalam
tafsirnya; Masajid bentuk jamak dari mas-jid artinya tempat sujud kemudian menjadi nama
sebuah bangunan yang dijadikan tempat beribadah kepada Allah SWT. Hal ini berdasarkan fir-
man-Nya; Dan sesungguhnya masjid-masjid itu kepunyaan Allah, janganlah kamu menyeru
kepada selain Allah dengan sesuatu apapun. ,
Pada ayat di atas dengan tegas Allah SWT menyatakan bahwa yang berhak dan berkewajiban
memelihara masjid itu ialah orang yang memiliki lima sifat.
Pertama, beriman kepada Allah SWT dengan segala aspeknya terma-suk menjalankan segala
titah-Nya.
Kedua, beriman pada Hari Akhir yang merupakan bagian iman yang esensial disamping rukun
iman lainnya.
Ketiga, selalu melaksanakan shalat yang memenuhi sifat shalat Nabi SAW.
Keempat, menunaikan zakat, baik yang wajib maupun shadaqah yang sunat.
Kelima, mereka yang merasa takut hanya kepada Allah SWT, se-hingga ikhlas dalam beramal
shalih. Ayat ini secara khusus berkaitan dengan pemeliharaan Masjidil haram oleh kaum
musyrikin saat itu. Ketika perang Badar, kaum muslimin menawan beberapa tokoh musyrikin di
antaranya Abbas Bin Abdul Muthalib.
Kemudian Ali Bin Abi Thalib RA menyampaikan kejelekan-kejelekan mereka memerangi
Rasulullah SAW serta memutuskan per-saudaraan. Kemudian Abbas membantah: Mengapa
kamu sebut kejelekan kami, padahal kami adalah pemelihara masjidil haram dan menghijabi
Kabah serta menyediakan minuman bagi yang berhaji. Maka turunlah ayat ini ber-kaitan
dengan hak dan kewajiban pemeliharaan masjid.
Pedoman Tamirul Masjid
Abu Hayyan menjelaskan bahwa memakmurkan masjid (Tamirulmasjid) ialah menjaga
kebersihan bangunan dan fisik masjid, mengunjunginya untuk beribadah, mudzakarah atau
menuntut ilmu, serta menjauhkannya dari masalah duniawi yang menyalahi fungsi mas-jid.
Dalam hal ini, Abu Hayyan memandang makna ibadah dalam masjid secara luas termasuk
pengajian dan majlis talim guna mempersiapkan generasi Rabbani yang berilmu. Bahkan
menurut Jumhur Ulama, penger-tian Tamirulmasjid mencakup dua maksud. Pertama,
pemeliharaan fisik (hissiah) seperti membangun, merenovasi dan kegiatan nyata dalam ben-tuk
sarana masjid. Hal ini diisyaratkan sebuah Hadits; Barang siapa yang membangun masjid
karena Allah walaupun di atas sepetak tanah, Allah akan membangun sebuah rumah baginya di
surga. Kedua pemeliharaan non fisik (manawi), seperti meramaikan kegiatan masjid,
menunaikan shalat, dzikir atau membaca Al-Quran dan setiap kegiatan yang mendekatkan diri
kepada Allah. Firman-Nya; Pelita itu dalam rumah (masjid) yang telah Allah izinkan
menghormatinya dan menyebut nama-Nya serta tasbih di dalam-nya pagi dan petang. ,
Terlepas dari berbagai penafsiran di atas, masalah yang dihadapi sekarang ialah bagaimana
mewujudkan masjid yang paripurna di tengah kondisi masyarakat maju dalam era globalisasi
informasi maupun indus-trialisasi yang sedikit banyak membawa pengaruh terhadap fungsi dan
peran masjid dewasa ini. Format masjid pun akan menyesuaikan diri dengan keadaan masyarakat
Islam dalam masalah pemeliharaannya.
KH. Salimuddin, MA. mengemukakan empat fungsi masjid setelah beliau mengutip pendapat
KH. Drs. Miftah Faridl dalam bukunya Pokok-pokok Ajaran Islam. Keempat fungsi tersebut
ialah:
Pertama, sebagai pusat pembinaan keIslaman.
Kedua, sebagai pusat syiar agama Islam dan peradabannya.
Ketiga, Pendidikan Islam baik formal maupun informal.
Keempat, sebagai pusat dawah secara umum, dengan berbagai me-tode seperti ceramah, lewat
audio visual dan lainnya.
Dalam hal ini, diperlukan beberapa pembinaan yang serius dari ber-bagai pihak, mulai dari
jamaah, pemuka agama dan tokoh masyarakat serta pemerintah agar peran serta masjid lebih
luas dalam memberi in-formasi dan motivasi program pembangunan melalui bahasa agama
kepada masyarakat. Secara umum, pembinaan dalam rangka tamirul masjid ini meliputi tiga
aspek, antaralain;
(1) Pembinaan Idarah (administrasi organisasi) mencakup masalah kepengurusan, personalia,
perencanaan, sarana perlengkapan masjid, keuangan dan sebagainya.
(2) Pembinaan Imarah atau kesejahteraan yang ber-fungsi membina peribadatan terutama yang
sifatnya bersama (jamaah), pembinaan pen-didikan formal maupun informal, majlis talim,
pembinaan remaja, wanita, perpustakaan, tabligh akbar dan sebagainya.
(3) Pembinaan Riayah atau perawatan. Tugasnya meliputi pemeli-haraan perlengkapan,
kebersihan, keindahan, dan sebagainya.
Maka, untuk mengelolanya membutuhkan struktur organisasi yang mantap sekurang-kurangnya
terdiri dari ketua, sekretaris atau ketua bidang idarah, bendahara, ketua bidang imarah dan ketua
bidang riayah dan setiap bidang-bidang memiliki seksi-seksi yang ditunjuk sesuai ke-butuhan.
Sebagai contoh, berikut ini susunan organisasi yang diperluas den-gan seksinya masing-masing.
Semua ideologi yang berorientasi kepada strategi revolusi, men-ganggap pemuda sebagai
tenaga
paling revolusioner yang telah dan akan terjadi di
seantero dunia ini. Pada prinsipnya, revolusi selalu akan tetap men-gandalkan pemuda dalam
mencapai cita-citanya. (Pemuda dan Revolusi, 1987: 10)
***
Peran pemuda Islam tidak lepas dari keterkaitannya terhadap Di-enul Islam. Motivasi agama
yang ada pada para pemuda sebenarnya me-rupakan perkembangan psikologis yang wajar,
seperti dikemukakan J.J. Rouseau, bahwa pada periode puberitas, seseorang akan mengalami
gevoelige periode (masa peka) terhadap pendidikan keagamaan, walau-pun menurut R. Cassimir,
masa ini juga merupakan awal timbulnya stum and drang (kegoncangan jiwa) yang sangat
membutuhkan tempat per-lindungan dan pengarahan positif. Maka, dasar-dasar Islam secara
jelas menyoroti keterlibatan pemuda dalam upaya membina dan membangun generasi yang
terhormat dan berwibawa.
Untuk itu, peranan Islam dan pemuda Islam harus selalu berjalan bersama dan menjadi topik
utama dalam mengetengahkan sisi pergera-kan dawah Islamiah. Dan salah satu kajiannya ialah
bagaimana pemuda Islam mampu menanamkan fikrah Islamiah dalam dirinya masing-masing.
Tanpa itu sebuah pergerakan Islam atau cita-cita menjadi ummat terhor-mat hanyalah angan-
angan kosong. Imam Hasan Al-Banna, tokoh nomor satu Ikhwanul Muslimin Mesir ketika
menyampaikan nasehatnya untuk pemuda Islam mengatakan: Wahai pemuda tampillah dengan
nama Allah untuk menyelamatkan dunia ini. Seluruh manusia membutuhkan juru selamat.
Sesungguhnya hanya satu juru selamat, yaitu Risalah Islam yang kalian dawahkan dan nyalakan
obornya...
Dengan demikian pemuda Islam harus lebih memahami karakter-istik Risalah Islam ini, serta
mengetahui problematikanya agar peristiwa-peristiwa masa lalu yang kelabu tidak terulang lagi.
Ternyata, bentuk kemunduran itu dilatarbelakangi oleh ketidak mengertian ummat Islam
terhadap Risalah Islam yang bersumber dari Al-Quran dan Sunnah Rasu-lullah SAW. Hal ini
dipertegas lagi dengan sebuah Hadits: Aku ting-galkan bagi kalian dua perkara, barang siapa
yang berpegang teguh kepada keduanya pasti tidak akan tersesat, yaitu Kitabullah (Al-Quran)
dan Sunnah Ra-sulullah SAW.
Dengan menguasai secara mendalam dua sumber ini, diharapkan pemuda Ummat Islam dapat
menghayati karakteristik Risalah Islam yang sebenarnya, dan tidak terpengaruhi faham lain yang
lebih merusak pemikirannya melalui Gazwulfikri (Invasi Pemikiran).
Adapun yang menjadi sebab kemajuan yang dicapai ummat Islam terdahulu (generasi salaf), Al-
Amir Syakib Arsalan mengemukakan; Pada pokoknya secara singkat, agama Islam yang baru
lahir di seluruh jazirah Arab pada masa itu, lalu dengan segera diikuti dan ditaati benar-benar
oleh bangsa Arab dan kabilah-kabilah di sekitarnya. Mereka dengan petunjuk dan pimpinan
Islam yang benar itu telah berubah dari berpecah belah dan bercerai berai, kini menjadi bersatu,
seia sekata. Dari biadab menjadi beradab. Dari bodoh menjadi pandai. Dari dungu menjadi
cerdik. Dari keras hati dan kasar menjadi halus, ramah dan kasih sayang terhadap sesamanya dan
dari penyembah berhala menjadi penyembah Allah.
Dengan penjelasan ini, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa pemuda Islam dulu pernah jaya
dengan keislamannya disebabkan mereka benar-benar mendalami dan menghayati risalah
Islamiah secara lurus dan penuh keimanan.
Figur-figur Pemuda Islam
Banyak dikisahkan figur-figur pemuda Islam dan keberadaannya dalam menegakkan panji
tauhid. Di antaranya akan penulis kemukakan beberapa nama yang telah dikisahkan dalam Al-
Quran untuk diambil pe-lajarannya.
1. Ibrahim as.
Allah SWT menjelaskan dalam firman-Nya; Sesungguhnya telah ada suri teladan yang baik
bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersamanya. Ketika mereka berkata kepada kaum
mereka; Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain
Allah, kami ingkari kekafiranmu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan
kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja.
Sikap yang dimiliki Ibrahim as. adalah iman yang kuat kepada Allah dan yakin akan Hari Akhir
serta tegar dalam mempertahankan ke-benaran tauhid walaupun beresiko kematian dengan
ancaman dibakar hidup-hidup. Namun semua itu tidak menggoyahkan tekadnya untuk
menyerukan dawah agama tauhid kepada penguasa yang musyrik saat itu. Ia yakin akan janji
Allah; Wahai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong agama Allah, niscaya Dia akan
menolong kalian dan mengokohkan kedudukan kalian.
Kepribadian Ibrahim as yang shabar dan penuh semangat menjadi jundullah yang tegar dan
militan.
2. Ismail as.
Dia adalah putra Ibrahim as dari Hajar. Keimanannya dibentuk sejak ia masih kecil dengan
mujizat air zamzamnya. Allah SWT berfirman; Dan ceritakanlah (hai Muhammad) kepada
mereka kisah Ismail (yang tersebut) dalam Al-Quran. Sesungguhnya ia adalah seorang rasul dan
Nabi. Dan ia menyuruh ahlinya (ummatnya) untuk shalat dan menunaikan zakat dan ia adalah
seorang yang diridlai di sisi Tuhannya.
Ismail termasuk figur pemuda Islam yang taat kepada Allah, se-hingga berani mengorbankan
jiwa raganya untuk memenuhi perintah Al-lah lewat bapaknya Ibrahim as. Dengan penuh
keikhlasan dan kesha-baran serta iman yang kokoh terhadap jaminan Allah kelak.
3. Ashabul Kahfi
Mereka adalah para pemuda yang berjihad menentang penguasa yang dzalim. Namun, karena
kekuatan mereka lemah, akhirnya mereka bersembunyi di balik gua sampai beberapa tahun
lamanya. Allah men-gabadikan nama mereka dalam 18 ayat-Nya dan Dia memberikan nama
untuk sebuah surat Al-Quran dengan Al-Kahfi.
4. Yusuf as.
Kisah Yusuf yang terkenal ialah ketika ia tumbuh menjadi seorang pemuda yang tampan. Namun
dengan ketampanannya ia tidak tergoda oleh rayuan dan bisikan syetan. Ia dengan tegas menolak
melakukan perbuatan yang dilarang Allah SWT dan tegar menghadapi penguasa saat itu.
Sebagaimana diceritakan dalam Al-Quran; Dia (Yusuf) berkata; Tuhanku, penjara lebih aku
sukai daripada apa yang akan mereka ajak aku kepadanya.
Banyak lagi kisah pemuda Islam yang patut diteladani. Di kalangan para shahabat Rasulullah
SAW tercatat nama-nama pemuda yang ber-gelora semangat jihadnya dan melibatkan diri dalam
harakah dawah Islamiah. Seperti Ali Bin Abi Thalib RA yang dengan penuh keberanian
menemani Rasulullah SAW dalam beberapa peperangan. Usamah Bin Zaid yang menjadi
panglima perang ketika usianya masih muda belia.
Problematika Harakah Dawah
Sesungguhnya, setiap pemuda yang melibatkan diri dengan harakah dawah pasti akan menemui
tantangan dan cobaan. Karena hal ini meru-pakan sunnatullah yang diberikan untuk menguji
kekuatan iman mereka, sebagaimana firman Allah: Apakah kamu mengira bahwa kamu akan
masuk surga, padahal belum datang kepadamu cobaan sebagaimana halnya orang-orang
terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta
digoncangkan dengan bermacam-macam cobaan sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang
yang bersamanya Bilakah datangnya pertolongan Allah? In-gatlah, sesungguhnya pertolongan
Allah itu amat dekat.
Ayat ini secara jelas menyatakan bagaimana para Nabi terdahulu se-lalu menghadapi cobaan
dawah dalam mengajak ummat manusia ke jalan yang lurus. Tidak sedikit dari mereka dihadang
oleh berbagai an-caman kematian.
Dengan memperhatikan beberapa kisah dan pengalaman para pe-muda Islam dalam menjalankan
harakah dawahnya, baik yang masih bersifat personal maupun bentuk jamai, penulis melihat
adanya dua problematika yang selalu menjadi kendala terwujudnya harakah dawah yang mapan.
Di antara kedua problem tersebut adalah:
A. Problematika Internal
Kenyataannya, pemuda Islam lebih banyak mendapatkan tantangan dari dalam. sehingga tidak
sedikit harakah dawah yang vakum akibat terbengkalainya usaha daiah melanjutkan
programnya. Disamping itu, ada beberapa tipe pemuda yang menjauhi harakah dawah bahkan
men-jadi penghalang jalannya harakah dawah tersebut. Inilah yang penulis maksud dengan
problematika internal.
Beberapa hal yang menjadi penyebab munculnya problema ini antara lain:
a. Sikap kurang perhatian terhadap aturan Islam yang bersumber dari Al-Quran dan Sunnah
Rasulullah SAW, Al-Quran tidak diamalkan sebagaimana mestinya, yaitu sebagai petunjuk dan
pedoman hidup un-tuk meraih kebahagiaan di dunia dan di Akhirat. pemahaman terhadap Al-
Quran, baru sampai pada taraf bacaan saja, belum sampai pada taraf penghayatan dan
pelaksanaannya. Bahkan terdapat beberapa sikap pe-muda Islam yang kurang proporsional
terhadap Al-Quran. Se-perti men-campuradukkan antara hak dan batil , mengimani sebagian
tetapi mengingkari sebagian yang lain , mempermainkan kandungan Al-Quran. Demikian pula
terhadap Sunnah Rasulullah SAW Karena kuatnya penga-ruh faham dari luar, akhirnya generasi
Islam malu untuk berbaju Sunnah Rasulullah SAW
b. Krisis iman dan akhlaq karena kurangnya kesiapan mental.
Akhlaq dan budi pekerti ini merupakan salah satu faktor yang pal-ing penting dalam kehidupan
seorang pemuda. Salah satu Hadits men-yebutkan, sabda Rasulullah SAW: Tujuh golongan
manusia yang mendapat perlindungan di hari yang tidak ada perlindungan kecuali perlindungan
Allah; (1) Imam yang adil (2) Pemuda yang senantias beribadah kepada Allah (3) Pe-muda yang
hatinya senantiasa terikat ke masjid (4) Dua orang yang berkasih sayang karena Allah (5)
Pemuda yang dirayu wanita cantik dan terhormat ia menolak: aku takut kepada Allah. (6)
Pemuda yang memberikan sedekah tanpa pamrih, bahkan tangan kirinya tidak tahu apa yang
diberikan tangan kanannya (7) Pemuda yang apabila di tengah malam ia mengingat Allah
terharulah dia.
Sifat-sifat yang dikemukakan dalam Hadits ini hanyalah sebagian kecil dari bagian akhlaq Islam
yang patut dimiliki oleh setiap pemuda guna meraih keberhasilan yang gemilang.
c. Hilangnya rasa memiliki dan tanggung jawab terhadap masa de-pan Islam, akibat dari
pendidikan yang telah dipengaruhi faham luar. Hal ini mungkin saja terjadi, karena musuh-
musuh Islam selalu menginginkan kehancuran Ummat Islam dari dalam. Sebagaimana penje-
lasan Abu Ala Al-Maududi: Pada dasarnya kaum penjajah tidak menghirau-kan asas Islam,
tetapi mereka telah mengambil kesimpulan, bahwa keadaan um-mat Islam yang berpegang teguh
kepada ajaran agama tauhid ini bersikap sesuai dengan asas Islam, adalah suatu bahaya yang
besar bagi penjajah. Oleh karena itu mereka tetapkanlah suatu metode pengajaran dan
pendidikan di negara-negara Islam yang mereka duduki dengan cara yang halus, untuk
melemahkan dan melonggarkan aqidah Islam dan sendi-sendi iman dalam jiwa ummat.
B. Problematika Eksternal
Para pemuda Islam memiliki tantangan yang jelas lebih besar, sebab merekalah yang paling
banyak terlibat dalam harakah dawah ini. Prob-lematika eksternal ini lebih banyak faham-faham
dari luar Islam yang se-cara jelas akan merugikan dan menyesatkan ummat. Di antaranya ialah
sekulerisme, westernisme, kapitalisme, marksisme, serta faham lainnya yang menerapkan
strategi ghazwul fikri (invasi pemikiran).
Menghadapi problematika ini, pemuda Islam dituntut untuk lebih waspada karena secara halus
faham-faham ini merasuk ke dalam dan ti-dak terasa akan meracuni pola pikir ummat Islam,
kemudian akan saling berpengaruh. Bahkan Rasulullah SAW pernah mengingatkan; Orang
mumin senantiasa berada di antara lima ancaman amat berat yaitu: (1) mumin yang
mendengkinya, (2) munafik yang membencinya, (3) kafir yang memer-anginya, (4) syetan yang
menyesatkannya dan (5) nafsu yang melawannya.
Kiat Pemuda Islam dalam Harakah Dawah
Menegakkan risalah Islamiah bukanlah tugas ringan dan mudah. Demikian juga bagi para
pemuda Islam yang terlibat dalam harakah dawah. Hal ini menuntut kesungguhan dan jihad
serta pengorbanan se-penuhnya.
Untuk itu ada beberapa kiat yang selayaknya dihayati oleh setiap pemuda Islam, supaya risalah
Islam tetap tegak berdiri di antara ben-turan-benturan dawah yang tiada henti. Di antara langkah
tersebut ialah;
1. Membangkitkan semangat ruhaniah (Al-Yaqdzah Ar-Ruhiah)
Pemuda Islam bagai lelap tertidur sehingga lupa akan tugasnya se-bagai pengemban panji-panji
Islam. Oleh karena itu, dengan membangun kembali mentalitas pemuda Islam, Insya Allah,
harakah Islam akan tetap kokoh. Upaya menuju kebangkitan rohani ini dilakukan dengan be-
berapa metode, antara lain:
a. Penanaman Pendidikan Islam (Tarbiah Islamiah)
Pendidikan Islam merupakan kewajiban bagi setiap para pengem-ban dawah, karena tanpa itu
akan menimbulkan dampak negatif terha-dap harakah dawah Islam itu sendiri. Sehingga pantas
Allah mengemu-kakan dalam firman-Nya: Allah mengangkat orang-orang yang beriman dan
berilmu beberapa derajat dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Dengan menguasai ilmu dan hikmah, para pemuda Islam akan se-makin mapan melaksanakan
program dawahnya, baik untuk pribadi maupun masyarakatnya. Tarbiah Islamiah ini mencakup
setiap ilmu yang dapat mempertebal keimanan kepada Allah SWT serta meningkatkan akhlaq
qurani yang luhur. Abu Ala Al-Maududi memberikan petunjuk kepada para pemuda;
Hendaknya diketahui dengan sempurna hidayah Allah yang diturunkan kepada Rasulullah
SAW. Imani hidayah tersebut dengan tulus dan ikhlas sepenuh hati. Jadikan iman sebagai bagian
dari kehidupan di dunia, agar kalimatullah membumbung tinggi dan kalimatul kufri terhina dan
tercam-pakkan. Hendaknya para pemuda mempersenjatai dengan akhlaq dan budi pekerti
sehingga kaum diktator yang dzalim mengubah haluan hidupnya dan para pen-gikut mereka
kembali kepada kebenaran yaitu jalan yang lurus bagi fitrah manu-sia.
Al-Maududy juga memberikan tiga aspek ajaran yang harus difa-hami oleh para pemuda agar
dapat bergerak mengangkat peradaban Is-lam, yaitu ;
1. Tauhid, 2. Risalah dan 3. Hari kemudian setelah mati.
b. Penguasaan Wawasan KeIslaman (Taammuq Tsaqafah Islamiah)
Ustadz Husni Adham Jawarar pernah mengatakan; Seorang dai di-tuntut untuk memiliki
tsaqafah (wawasan) Islam terus menerus dikembangkan dan bahkan tidak cukup sumber itu jika
diambil dari buku saja, koran, majalah ataupun bulletin dapat juga dijadikan sebagai sumber
informasi. Diharapkan dengan keluasan wawasan Islam setiap pemuda Islam akan menyadari
ketertinggalannya dari ummat lain dan bangkit membangun harakah dawah yang bertujuan
menegakkan kalimatullah.
Syekh Said Hawwa dalam Al-Madkhal Ila Dawatil Ikhwan Al-Muslimin menguraikan
tentang wawasan ilmu Islam yang harus dikua-sai seorang daiah muda yaitu marifatullah,
marifaturrasul, marifatul Is-lam, ulumul quran dan Hadits, aqaid, fiqh dan ushul fiqh, lughah
Ara-biah, fiqh dawah, wawasan tentang dunia Islam dan wawasan tentang konspirasi musuh-
musuh Islam. Insya Allah, dengan menguasai dasar-dasar wawasan Islam ini, pemuda Islam
semakin berani tampil menyuarakan haq.
2. Membina Kaderisasi Kepemimpinan Harakah Islam (Qiyadah Harakiah Islamiah)
Pemuda Islam adalah calon pemimpin masa depan yang harus ber-tanggung jawab kepada Allah
atas ummat yang dipimpinnya. Allah SWT sendiri mengatakan; Dan Kami jadikan di antara
mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami, ketika mereka
shabar dan mereka meyakini ayat-ayat Kami.
Kepemimpinan pemuda Islam harus sudah dikader sejak usia aqil baligh, agar mereka bisa
memimpin. Dalam hal ini ada beberapa bentuk kaderisasi yang mendukung terwujudnya
pemimpin-pemimpin Islam, antara lain;
a. Menanamkan kepribadian militan (Syakhsiah Jundiah)
Para pemuda Islam diperkenalkan dengan pribadi-pribadi yang tangguh, cepat tanggap dan
penuh kedisiplinan, baik melalui figur sha-habat atau para Nabi yang memimpin ummatnya.
b. Membentuk organisasi yang rapi (Bina Quwwatut Tandzimiah)
Tiada lain tujuan dari pembentukan organisasi ini ialah untuk menggalang rasa ukhuwah
Islamiah di antara sesama pemuda Islam, se-hingga terjadi saling nasehat dalam haq dan
keshabaran. Dengan demikian, upaya membina kepemimpinan Islam harus berlanjut sampai
tercapainya tujuan yaitu pelaksanaan amal jamai yang benar dan terarah.
3. Melatih para pemuda Islam agar berjiwa istiqamah dan shabar (Itsbatul Istiqamah was shabri)
Sebagaimana dikemukakan sebelumnya tentang figur-figur pemuda Islam yang patut diteladani,
di antara sifat yang selalu melekat dalam pribadi mereka ialah istiqamah dan shabar. Istiqamah
adalah sikap tetap dalam pendirian yang diyakini kebenarannya. Firman Allah SWT; Maka
tetapkanlah pendirianmu pada agama yang hanif, itulah agama Allah yang di-jadikannya
manusia sesuai dengan-Nya, tiadalah tertukar perbuatan Allah. Itu-lah agama yang lurus tetapi
kebanyakan manusia tidak mengetahui.
Adapun sikap shabar dapat dibentuk dengan memperhatikan be-berapa faktor, antara lain:
a. Menyadari bahwa Allah SWT selalu memberikan cobaan kepada para pengemban dawah
supaya semakin kuat keshabaran kita mengha-dapinya. Oleh karena itu setiap pemuda harus
tahan uji dan tawakkal (berserah diri kepada Allah setelah berusaha keras) agar menjadi manu-
sia yang shabar.
b. Meneladani keshabaran para ulama terdahulu, karena dengan demikian akan menghibur
kesulitan yang akan dihadapi. Rasulullah SAW pernah bersabda menghibur para shahabatnya;
Di antara orang-orang sebelum kamu dahulu ditanam hidup-hidup, ada yang dibelah kepalanya,
ada yang disisir tubuhnya dengan sisir besi yang tajam sampai kulitnya terkelu-pas, tetapi
siksaan itu tidak menggoyahkan tekad mereka untuk tetap memper-tahankan diennya. Demi
Allah, pasti Allah akan mengakhiri semua cobaan itu sehingga orang berani berjalan dari Shana
ke Hadratul Maut tanpa rasa takut kepada siapapun selain kepada Allah dan takut kambingnya
diserang srigala. Tetapi kalian tampak terburu-buru dan kurang bershabar.
c. Mengendalikan diri dari sifat yang dapat merusak keshabaran seperti pemarah, pendendam,
mengeluh dan putus asa.
Jadi, kunci dari keberhasilan harakah dawah bagi pemuda Islam itu di antaranya tergantung dari
kuat tidaknya sikap istiqamah dan shabar.
Demikianlah uraian sekitar problematika dawah dan langkah pe-muda Islam dalam
mengantisipasinya. Semoga lahir generasi Islam yang tangguh untuk mempertahankan dan
menyebarkan kalimatullah ke selu-ruh pelosok dunia.
Wallahu Alam
***
Berhati-hatilah kalian pada dunia dan berhati-hatilah kalian pada wanita, karena awal
kehancuran Bani Israil adalah dari wanita.
(Al-Hadits)
***
Wanita adalah tiang negara, jika akhlaqnya rusak maka hancurlah negara. Demikian bunyi
sebuah hadits mengingatkan kita agar selalu memperhatikan eksistensi kaum hawa. Karena di
tangan merekalah ter-bentuk generasi baru yang akan menjadi penyangga dan pengisi kelang-
sungan pembangunan sebuah peradaban.
Akhir-akhir ini keberadaan wanita sering dipertanyakan oleh kalan-gan ulama, terutama
menyangkut peran mereka yang semakin memun-cak bahkan terlalu kentara melebihi kaum pria.
Padahal kondisi ini sebe-lumnya jauh dari keadaan sekarang, namun begitu cepat perubahan ter-
jadi ketika gaung emansipasi diteriakkan di negara belahan Barat sana.
Secara tidak disadari kemudian banyak wanita Timur khususnya muslimah terpengaruh keadaan
yang pada hakikatnya menyalahi keten-tuan-ketentuan syariat Islam maupun budaya ketimuran.
Inilah salah satu dampak negatif dari era keterbukaan yang menglobal dengan cepat.
Istilah wanita karierpun meningkat pamornya sehingga menjadi se-buah kebanggaan tersendiri
bagi mereka yang menyandangnya. Bahkan tipe wanita karir tersebut dijadikan standar dalam
menilai idealisme wanita masa depan. Sementara itu, beberapa pihak memanfaatkan situasi ini
untuk mengeruk keuntungan dengan mengeksploitasi kaum hawa yang telah terbuai oleh
idealisme yang salah kaprah.
Dengan dalih emansipasi atau persamaan hak mereka menerjuni profesi yang seharusnya oleh
kaum pria bahkan pekerjaan yang menya-lahi kodrat mereka sekalipun. Lebih gawat lagi,
semakin banyak kaum wanita yang melanggar ketentuan agama demi mencapai impiannya.
Hal ini merupakan pertanda bahwa ummat Islam kecolongan lagi dalam satu bidang yang paling
esensi dan sensitif yaitu masalah wanita yang telah dirasuki oleh pemikiran Barat dalam rangka
ghazwul fikri (in-vasi pemikiran). Dr. Mustafa As-Sibai mengungkapkan; Secara historis yang
menjadi penyebab terbesar runtuhnya kebudayaan Yunani dan Romawi adalah sikap para wanita
yang terlalu bertabarruj (mengumbar aurat) dan berik-htilath dengan orang yang bukan
muhrimnya.
Prof. Abdurrahman H. Habankah dalam bukunya Ajnihatul Makris Tsalatsah Wa Khawafiha
memperinci metode merusak akhlaq dari Barat dan mencantumkan poin kelima yaitu merusak
akhlaq kaum wanita dan memperalat mereka dengan berbagai dalih dan faham yang menyesat-
kan. Pada mulanya perusakan ini dimulai dari setiap individu kemudian melembaga dan semakin
tidak disadari, sebagaimana disitir oleh Dr. Ibrahim Allabban, Mula-mula dekadensi ini tampak
pada perilaku individu lalu orangpun menyimpang dari jalan konsepsi agama
Inilah yang dikhawatirkan dalam hadits di atas, dimana kedudukan wanita seolah di ujung
tanduk. Hadits lain yang semakna, sabda Rasulul-lah SAW: Tidak akan ada fitnah setelahku
yang lebih berbahaya bagi kaum pria selain wanita.
Figur Wanita Shalihah
Salah satu yang menjadi penyebab menurunnya akhlaq wanita de-wasa ini ialah kurangnya
keimanan serta hilangnya sifat iffah dan muru-ah yang seharusnya mereka miliki. Dan penyebab
menurunnya keimanan tersebut di antaranya ialah telah hilangnya figur yang dijadikan contoh
maupun rujukan dalam beramal serta berperilaku. Karenanya Allah SWT mengutus para rasul-
Nya sebagai pembawa risalah sekaligus menjadi te-ladan para pengikutnya. Disamping Allah
SWT mengutus para Rasul, dia menurunkan beberapa kisah tentang orang-orang shalih dan sesat
seba-gai pelajaran dan bahan perbandingan dalam segala tingkah laku manu-sia.
Firman Allah: Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka terdapat pelajaran bagi orang-orang yang
menggunakan akal. Al-Quran itu bukan cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan kitab
sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu serta sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang
ber-iman.
Al-Quran banyak menyinggung masalah wanita sehingga salah satu suratnya diberi nama An-
Nisa, bukankah ini menunjukkan bahwa Islam menghormati kaum wanita dan menempatkannya
pada tempat yang mu-lia. Namun masalahnya menjadi lain tatkala kaum wanita melebihi batas-
batas Islam yang pada hakikatnya memelihara kemuliaan mereka.
Memang Islam tidak melarang wanita keluar rumah dalam masalah-masalah yang tidak
menyalahi kodrat mereka. Namun tidak seperti pe-mahaman kaum feminisme Barat seperti
Anton Nemilan, Bartrand Rus-sel, Anne Roud dan yang lainnya, yang hanya memperhatikan sisi
eman-sipasi an sich. Bahkan menurut Dr. Najat Hafidz, wanita muslimah harus berperan serta
dalam gelanggang dawah dalam bentuk apapun, dia me-nasehati; Wahai kaum wanita,
hendaklah engkau menekuni bidang pekerjaan yang sedang dibutuhkan oleh kaummu dan
membantu mereka untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka dalam berbagai bidang
kewanitaan.
Maka, ketika seorang ulama, Wahbi Sulaiman Ghawji ditanya ten-tang hukum wanita bekerja di
luar rumah, dia menjawab, dalam keadaan darurat boleh, dengan memperhatikan beberapa
syarat:
Pertama, memperoleh izin dari walinya, suaminya atau bapaknya.
Kedua, tidak terjadi khalwat dan ikhtilath.
Ketiga, selalu mengenakan pakaian yang menutup auratnya dengan jilbab dan pakaian longgar
dan tidak mencolok.
Dan tidak disangkal bahwa ada masalah tertentu dan tidak bisa di-lakukan oleh kaum pria,
sebagaimana terjadi ketika Rasulullah SAW menjelaskan tentang fiqh wanita dan terpaksa
Aisyah RA menjelaskan kembali secara detail.
Menurut Hibat Rauf Izzat, MA. Selama tabarruj dan fitnah syahwat bisa diatasi, wanita boleh
bekerja dalam profesi apapun, sekalipun dalam profesi yang berkaitan dengan politik asal dalam
batas-batas yang telah ditetapkan syara.
Syekh Jabir Asyal menulis sebuah buku khusus tentang kisah wanita dalam Al-Quran dengan
judul Qashash an-Nisa Fi Al-Quran Al-Karim, mengisahkan dua puluh satu wanita dengan
masing-masing karakter yang berbeda. Wanita-wanita yang baik akhlaqnya patut dijadikan figur
yang ditiru dalam perilaku, dan sebaliknya, wanita yang buruk akhlaqnya sebagai cermin bening
agar kaum wanita tidak terjerumus ke dalam kesesatan.
Di antara kisahnya adalah (1) Raithah, sosok wanita yang putus asa dan pesimis, tidak tabah
menghad a dan tunduk pada suaminya. (7) Khulah Binti Tsalabah, isteri yang taat beribadah dan
ikhlas berbakti pada suaminya (Aus Ibnu Shamit) se-hingga ucapannya didengar oleh Allah
SWT (8) Zainab Binti Jahsy, wanita yang bersyukur atas keadaan yang menimpanya, berhati
lembut dan kasih sayang. (9) Aisyah RA Ummul Muminin, figur wanita cer-das yang
memelihara kehormatan, amanah dan tahan uji (ketika menghadapi kasus Haditsul Ifki) (10)
Mariah Al-Qibtiah, isteri Rasulul-lah yang melahirkan Ibrahim, wanita terhormat namun penuh
khidmat kepada suaminya. (11) Shafura Binti Syuaib, isteri Musa as, wanita yang menyayangi
suaminya dan selalu menemaninya dalam kesusahan (12) Asia isteri Firaun, wanita yang kuat
memegang prinsip dalam ke-benaran. (13) Maimunah Binti Harits, seorang wanita yang berserah
diri kepada suaminya. (14) Masikah, wanita tuna susila yang bertaubat dan kuat pendiriannya
untuk kembali ke jalan yang benar. (15) Hawwa, figur wanita pertama yang beristighfar (16)
Sarah isteri Nabi Ibrahim, wanita yang rela dimadu untuk kebaikan suaminya serta wanita yang
mendidik puteranya sendiri menjadi generasi shalih. (17) Ummu Kultsum Binti Aqabah,
pelopor wanita pertama bagi kaumnya untuk hijrah ke Madinah karena Allah dan Rasul-Nya,
memiliki seman-gat jihad yang tinggi. (18) Kabisyah Binti Maan, wanita yang menuntut haknya
dalam Islam dan membebaskan kedzaliman terhadap kaum hawa. (19) Ummi Musa, seorang
yang beriman dan shabar dan mencin-tai anaknya. (20) Ummu Kajjah, sosok wanita yang
membela keadilan dan penuh perhatian terhadap suaminya.
Adapun tugas utama seorang wanita ialah bertanggung jawab ter-hadap suami dan anak-anaknya,
sebagaimana sabda Rasulullah SAW: ... Wanita juga adalah pemimpin yang bertanggung jawab
akan suami dan anak-anaknya... Lalu bagaimana bila wanita memiliki dualisme tugas
disamping dalam rumah, juga di luar rumah?
Simaklah pengakuan Marilyn Monroe - wanita tenar tahun 60-an - sebelum kematiannya yang
mengenaskan, Berhati-hatilah dari gemerlapnya ketenaran yang menipu kalian, sesungguhnya
aku adalah wanita yang paling ce-laka di dunia. Aku tak mampu menjadi seorang ibu.
Sesungguhnya aku amat mencintai rumah dan kehidupan keluarga. Di sanalah tempat wanita
yang se-benarnya.
Rasulullah SAW mengingatkan kaum wanita, sabdanya; Wahai para wanita, berbuat benarlah,
karena aku menyaksikan kebanyakan penghuni neraka adalah wanita. Mereka bertanya;
mengapa wahai Rasulullah SAW ? Beliau bersabda; Kalian banyak menggunjing dan
menelantarkan suami, kalian ada ke-kurangan dalam akal dan agama yang tidak pernah ada pada
pribadi lelaki yang kuat dari salah seorang diantara kalian. Mereka bertanya; Apa kekurangan
agama dan akal kami Ya Rasulallah SAW ? Beliau bersabda; Bukankah saksi seorang
perempuan itu setengahnya seorang lelaki ? Mereka menjawab; benar ! Beliau bersabda;
Itulah kekurangan akalnya, Bukankah jika dia haid tidak shalat dan puasa? Mereka menjawab;
benar ! Beliau bersabda; Itulah ke-kurangan agamanya.
Wahai wanita, Faaina Tadzhabna ?
***
Katakanlah; Sesungguhnya orang-orang yang rugi ialah orang-orang yang menyiksa diri
mereka sendiri dan demikian pula keluarganya pada Hari Kia-mat. Ingatlah yang demikian itu
adalah kerugian yang nyata.
(QS. Az-Zumar/39:15)
***
Keluarga adalah bagian terkecil dari sebuah komunitas masyarakat. Dari himpunan keluarga
yang berbeda akan membentuk typologi masyarakat tertentu. Karenanya, sebuah masyarakat
akan dipandang baik dan sejahtera apabila pada masing-masing keluarganya berperilaku baik.
Namun sebaliknya, kehancuran sebuah masyarakat mungkin saja terjadi, bila pada masing-
masing keluarga tidak lagi memperhatikan norma-norma agama dan perilaku yang baik. Hal ini
menunjukkan bahwa peran keluarga sangat menentukan kelangsungan hidup manusia di dunia
ini.
Kutipan ayat di atas menjelaskan bahwa kehidupan sebuah keluarga ternyata tidak hanya dapat
diraih di dunia saja tetapi sampai ke Akhirat kelak akan dikumpulkan bersama menjadi sebuah
keluarga seperti ketika di dunia.
Ayat inipun menjelaskan bahwa manusia yang paling merugi dan hina di hadapan Allah ialah
jika dia dan keluarganya sama-sama menjadi penghuni neraka karena perbuatan jahat yang
mereka kerjakan di dunia.
Karenanya, keutuhan sebuah keluarga selayaknya dipertahankan dan dibina ke arah yang baik
mulai dari masing-masing pribadi, anggota keluarga serta hubungan di antara mereka. Allah
SWT dengan sifat Ra-him-Nya mengingatkan manusia khususnya orang yang beriman untuk
menjaga keutuhan keluarga ini. Firman-Nya;
Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka, yang bahan
bakarnya manusia dan batu.
Pada ayat ini ditegaskan tentang kewajiban setiap mumin untuk menjaga dirinya dan setiap
anggota keluarganya yang terdekat agar se-lalu terpelihara dari perbuatan maksiat dan dosa
kepada Allah SWT, yang dapat menjerumuskan mereka ke dalam neraka.
Maka, jika kita melihat salah seorang di antara keluarga belum men-gamalkan perintah Allah
SWT, dengan dorongan ayat ini wajib kita mengingatkannya. Insya Allah, dengan sikap
demikian keutuhan keluarga akan sampai ke Akhirat kelak.
Dalam surat lain, terdapat ayat yang semakna dengan ayat di atas, Dan orang-orang yang
beriman berkata: Sesungguhnya orang-orang yang pal-ing merugi ialah orang-orang yang
kehilangan diri mereka sendiri dan kehilan-gan keluarganya pada Hari Kiamat, ingatlah
sesungguhnya orang-orang yang dzalim itu berada dalam adzab yang kekal.
Memang, terkadang muncul perasaan berat dan ragu, ketika kita akan menegur saudara, ibu,
bapak atau keluarga kita sewaktu mereka melakukan maksiat. Tetapi bila didasari oleh rasa iman
yang kuat dan dorongan kasih sayang, maka sepantasnya mereka diperingatkan.
Allah SWT memerintahkan dengan firman-Nya: Dan berilah peringa-tan kepada kerabat-
kerabatmu yang terdekat.
Salah satu contohnya ialah memerintahkan anggota keluarga untuk melakukan shalat. Firman
Allah: Perintahkanlah keluargamu shalat, dan shabarlah atas melakukannya.
Secara tersirat ayat ini menyuruh setiap muslim untuk selalu me-melihara hubungan keluarga
dengan cara saling menasehati dan saling memperingatkan bila terjadi kesalahan, juga saling
menganjurkan amal shalih sebagai upaya menghindari panasnya api neraka.
Disamping itu, dengan melaksanakan amar maruf nahi munkar di antara keluarga, maka Allah
akan tetap menurunkan rahmat-Nya. Tetapi jika tidak, sebaliknya Allah menurunkan adzab-Nya
karena kelalaian di antara keluarga.
Firman Allah dalam Hadits Qudsi: Ajaklah (manusia) berbuat kebaji-kan dan cegahlah dari
berbuat kemunkaran sebelum tiba saatnya dimana kalian berdoa kepada-Ku tapi Aku tidak
mengabulkan doa kalian. Kalian meminta se-suatu kepada-Ku, tapi Aku tidak akan memberinya
dan kalian meminta pertolon-gan kepada-Ku tapi Aku tidak akan menolong kalian.
Rasulullah SAW sendiri mengajarkan bagaimana menanamkan amar maruf nahi munkar di
antara keluarganya. Sebuah Hadits yang dikisahkan oleh Abu Hafsh (Umar) Bin Abi Salamah,
anak tiri Rasulullah SAW:
Ketika saya masih kecil dibawah asuhan Nabi SAW, biasa waktu makan tangan saya mengacak
piring-piring hidangan, maka Rasulullah SAW memper-ingatkan saya, sabdanya: Hai anakku,
bacalah Basmalah dan makanlah dengan tangan kananmu, dan makanlah dari hidangan yang
dekat denganmu. Setelah itu saya tidak lagi berlaku demikian.
Sikap kasih sayang Rasulullah SAW terhadap keluarganya itu patut dijadikan suri teladan bagi
keluarga muslim saat ini, dimana antara ang-gota keluarga terjadi saling amar maruf nahi
munkar yang didasari kasih sayang karena Allah SWT.
Hadits lainnya menjelaskan sabda Rasulullah SAW: Suruhlah anak-anakmu shalat ketika
mereka berusia tujuh tahun, dan pukullah mereka apabila meninggalkan shalat jika telah berumur
sepuluh tahun dan pisahkanlah anak laki-laki dari anak perempuan dalam tempat tidur mereka.
Tanggung jawab akan keutuhan keluarga sebenarnya merupakan tugas bersama setiap anggota
keluarga, baik bapak, ibu, anak, suami ataupun isteri. Karena mereka mempunyai tugas masing-
masing dengan tujuan yang sama, yaitu memelihara keutuhan keluarga dan menggapai
kebahagiaan di dunia sampai Akhirat. Sebagaimana Hadits menegaskan, sabda Rasulullah SAW:
Kamu sekalian adalah pemimpin dan akan ditanya tentang kepemimpinanmu. Imam adalah
pemimpin dan akan ditanya tanggung jawabnya. Seorang suami adalah pemimpin keluarganya
dan bertanggung jawab atas kepemimipinannya. Isteri adalah pemimpin rumah tangga suaminya
dan bertanggung jawab atas kepemimpinannya. Pembantu adalah pemimpin harta majikannya
dan akan ditanya tentang pemeliharaannya. Maka kalian semua adalah pemimpin dan masing-
masing bertanggung jawab atas kepemimpi-nannya.
Demikianlah kiat mempertahankan keutuhan rumah tangga dan ke-luarga sampai Hari Akhir.
Sepantasnya kita semua dapat meraih keba-hagiaan itu sebagaimana doa kita setiap saat,
RABBANA HAB LANA MIN AZWAJINA WADZURRIYYATINA QURRATA AYUN
WAJALNA LIMUTTAQIINA IMMAMA,
(Ya Tuhan kami anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan ketu-runan kami sebagai
penyenang hati kami dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertaqwa.)
***
Rasulullah SAW bersabda:
Kewajiban seorang muslim terhadap muslim lainnya ada enam; (1) Apabila engkau bertemu
dengannya, ucapkanlah salam, (2) Apabila ia mengun-dangmu, maka hadirilah, (3) Apabila ia
meminta nasehatmu, maka berilah, (4) Apabila bersin dan mengucap hamdalah, maka
doakanlah, (5) Apabila ia sakit, maka jenguklah dan (6) Apabila ia meninggal, maka
antarkanlah.
(HR. Muslim dari Abu Hurairah RA)
***
Menjadi seorang muslim tidaklah sulit, hanya dengan mengucap dua kalimah syahadat Asyhadu
Alla Ilaha Illalah; Muhammadur Rasu-lullah saja ia bisa disebut seorang muslim. Namun,
pernahkah kita mer-enung sejenak, apa yang sudah kita lakukan sebagai seorang muslim ? Sudah
sampai dimana tingkat keislaman kita ?.
Kita memang harus bangga menjadi seorang muslim dan itu harus diimbangi dengan amal dan
prilaku kita serta bagaimana pergaulan kita di masyarakat, baik terhadap sesama muslim maupun
masyarakat umum. Rasulullah SAW mengajarkan apa saja yang menjadi kewajiban seorang
muslim terhadap muslim lainnya. Hadits di atas menjelaskan kewajiban setiap muslim terhadap
muslim lainnya.
(1) Apabila engkau bertemu dengannya, ucapkanlah salam
Mengucapkan salam merupakan simbol keramahan seorang mus-lim disamping sebagai doa
bagi sesama muslim. Ucapan yang paling ringkas adalah Assalamualaikum sedangkan yang
paling baik adalah Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Sedangkan menjawab salam juga merupakan kewajiban dan jawa-bannya minimal sama dan
sebaiknya lebih, yaitu Waalaikumussalam Warahmatullahi Wa Barakatuh.
(2) Apabila ia mengundangmu, maka hadirilah
Undangan dari sesama muslim untuk suatu kebaikan, wajib di-hadiri, baik acara resmi maupun
undangan lewat lisan saja. Karena di sana akan banyak keberkahan yang bisa diraih, mempererat
silaturrahmi dan menyenangkan hati yang punya hajat. Menghadiri undangan tidak perlu
memaksakan diri untuk membawa sesuatu atau disediakan sesuatu oleh yang punya hajat.
Karena bagi muslim, seluruh amalnya bernilai ibadah walau hanya memberi senyum manis
untuk menggembirakan muslim lainnya.
(3) Apabila ia meminta nasehatmu, maka berilah
Nasehat di sini tidak hanya nasehat agama, tapi juga nasehat ba-gaimana berusaha, mengurus
sesuatu, mendidik anak, memperbaiki barang yang rusak dan nasehat cara hidup bermasyarakat.
Adalah kewa-jiban setiap muslim untuk saling mengarahkan saudaranya kepada ke-hidupan yang
lebih baik dan maju. Karena hakikatnya, kesuksesan seo-rang muslim adalah untuk kemajuan
umat Islam pada umumnya. Tak ada saling menyudutkan, merasa tersaingi, saling dengki dan
menghasud.
(4) Apabila bersin dan mengucap hamdalah, maka doakanlah
Jika bersin dan mengucap Alhamdulillahi-rabbil Alamin, maka kewajiban muslim lainnya
yang mendengar adalah mendoakannya den-gan doa Yarhamukallah, kemudian dijawab lagi
oleh yang bersin tadi dengan Yahdikumullah Wa Yuslih Balakum. Intinya, saling mendoakan
agar selalu berada dalam ridla dan rahmat Allah SWT. Hal ini tidak hanya dalam bersin saja,
tetapi juga gejala-gejala penyakit yang melanda umat Islam harus dilakukan tindakan
pencegahannya.
(5) Apabila ia sakit, maka jenguklah
Setiap muslim harus merasakan kepedihan dan derita muslim lain-nya. Jika dia ditimpa musibah
sakit, maka minimal ia memberi perhatian dengan menjenguk dan menghibur hatinya agar
mempercepat proses penyembuhannya. Kemudian mendoakannya, karena doa yang baik itu
harus dibarengi usaha yang baik pula.
(6) Apabila ia meninggal, maka antarkanlah
Musibah kematian memang hal yang pasti terjadi. Duka keluarga pasti akan terasa dengan
kehilangan salah satu anggotanya. Maka kewa-jiban sesama muslim harus saling mengobati duka
saudaranya. Mengu-rus jenazah adalah bukti perhatian kita, disamping kita mengambil pela-jaran
dari kematian untuk meningkatkan amal kita selagi hidup di dunia fana ini.
Keenam kewajiban muslim ini selayaknya kita renungkan dan kita berusaha untuk
mengamalkannya dengan sempurna, sehingga perum-pamaan hidup sesama muslim seperti yang
digambarkan Rasulullah SAW sebagai satu tubuh yang satu sama lain saling mendukung kelang-
sungan hidup, bisa tercapai dan menjadi simbol kebersamaan umat Islam yang kokoh dan kuat.
Wallahu Alam Bish Shawwab
***
MUKADIMAH
Suatu hari penulis mendapat kiriman surat kaleng bercap pos Bandung dari seorang missionaris
yang berisi copian selembaran ajakan meyakini bangkitnya Yesus Kristus yang telah mati untuk
menebus dosa manusia.
Bagi penulis, keyakinan beragama adalah hak masing-masing orang dan sama sekali tidak ada
paksaan dalam menganut suatu ajaran. Hanya saja dalam lembaran tersebut mengutip beberapa
ayat al-Quran untuk mempropagandakan (baca; provokasi) keyakinan kristiani dengan membuat
pertentangan pada ayat-ayat al-Quran. Redaksi lengkapnya sebagai berikut; Dalam al-
Quran sendiri sangat jelas dituliskan bahwa Nabi Isa itu mati lalu dibangkitkan (Baca S.
Maryam : 30-33) tetapi dalam S. An-Nisa:157 dikatakan Nabi Isa tidak disalib berarti tidak
mengalami kematian dan kebangkitan. Mengapa pewahyuan dalam al-Quran bisa tidak sama ?
Sangat disesalkan surat tersebut tanpa alamat pengirim, sehingga penulis terdorong membuat
jawaban ini yang diharapkan membentengi kaum muslimin dari propaganda kaum salib yang
bermental seperti pengirim surat kaleng tersebut. Karena dengan cara surat kaleng seperti ini
menunjukkan bahwa mereka sendiri meragukan kebenaran/keyakinan mereka dengan bersikap
monolog dan tertutup. Jika mereka yakin akan kebenaran apa yang mereka yakini, mengapa
tidak dengan cara berdialog terbuka, karena di kalangan ulama Islam juga sangat banyak yang
mendalami masalah kekristenan (kristolog), seperti Ahmed Deedat dan ulama lainnya serta yang
mendapat hidayah Allah menjadi muslim atas dasar keyakinan akan kebenaran ajaran Islam,
daripada ajaran yang sebelumnya mereka anut.
Mudah-mudahan Allah menjadikan tulisan ini sebagai proses dakwah seperti disinyalir dalam
firman-Nya: Katakanlah: Hai ahli kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan)
yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan
tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan
sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada
mereka: Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang muslim. Hai ahli kitab, mengapa kamu
bantah membantah tentang hal Ibrahim, padahal Taurat dan Injil tidak diturunkan melainkan
sesudah Ibrahim. Apakah kamu tidak berpikir ? Demikianlah kalian, kalian sepatutnya berbantah
tentang hal yang kamu ketahui, maka mengapa kamu berbantahan tentang hal yang tidak kamu
ketahui ? Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui. (QS. Ali Imran/3:64-66)
Masalah Nabi Isa termasuk masalah ghaib, sebagaimana firman Allah: Hal itu adalah diantara
berita-berita ghaib. (QS. Ali Imran:44). Setiap mumin wajib beriman akan adanya para nabi
dan rasul. Beriman kepada para utusan Allah termasuk salah satu masalah aqidah yang harus
dilandasi dalil qathi dan mutawatir, yaitu dalil yang tegas dan kuat dalam memutuskan segala
ketentuan yang berkaitan dengannya. Demikian halnya dengan nabi Isa Bin Maryam, untuk
mengetahui keberadaannya dibutuhkan dalil qathi dari al-Quran dan hadits mutawatir, bukan
hadits ahad atau penafsiran dan pikiran. Dan sebagai argumen tambahan, penulis merujuk pada
Kitab Injil Barnabas yang orisinalitasnya masih diakui, tidak seperti Kitab Injil versi lainnya
yang terdapat banyak kerancuan. (periksa, Dialog Masalah Ketuhanan Yesus, KH. Bahaudin
Mudhary, Pustaka Dai, Surabaya).
AL-QURAN MUSTAHIL BERTENTANGAN
Penulis memaklumi adanya umat kristiani yang menyatakan al-Quran bertentangan antara satu
ayat dengan ayat lainnya, karena memang karakteristik mereka yang selalu berbantahan tanpa
ilmu, sebagaimana yang disinyalir Allah : Demikianlah kalian, kalian sepatutnya berbantah
tentang hal yang kamu ketahui, maka mengapa kamu berbantahan tentang hal yang tidak kamu
ketahui ? Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui. (QS. Ali Imran/3:64-66) Bahkan,
penyusun buku Al-Quran Berbicara tentang Kristen menceritakan pengalamannya berdebat
dengan penganut Kristiani, berikut penuturannya : tanggal 11 Desember 1995 penulis
menelpon Herman O.T.M Simanjuntak untuk meminta buku Abdul Masih Menjawab. Dia
mengatakan buku itu ada di kantor Gema Nehemia. Penulis datang sendirian ke kantor itu dan
berbincang santai dengan beberapa misionarisnya, ternyata mereka semua yang bernaung di
lembaga yang dipimpin oleh dr. Suradi itu, meskipun sudah lama melakukan kajian Alquran
untuk dimanipulasi, masih belum mengerti Al-Quran, apalagi bahasa Arab. Saat itu mereka
menunjukkan kesalahan Al-Quran tentang maqam Ibrahim yang disebut dalam surat Ali Imran
96 dan 97 yang berbunyi: Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangunkan untuk manusia
(beribadah) ialah (bait Allah) yang di Makkah (Kabah), yang diberi berkat dan petunjuk untuk
semesta alam. Di sana ada beberapa tanda nyata, (diantaranya) makam Ibrahim. Barangsiapa
yang masuk ke negeri Makkah, niscaya aman sentosa. Menurut anggapan mereka, yang
dimaksud dengan kata-kata makam Ibrahim itu adalah kuburan Ibrahim. Seketika kami
tertawa mendengarnya (1999 : ix)
Al-Quran adalah wahyu Allah terakhir yang diturunkan sebagai pedoman hidup seluruh umat
manusia sampai hari kiamat. Allah Sendiri yang senantiasa menjaga otentisitas dan kemurnian
al-Quran. (QS. Al-Hijr:9) Isinya sama sekali tidak terdapat pertentangan karena dari Satu
Sumber Yang Maha Benar. Tidak seperti Bible atau Injil, Taurat dan Zabur yang ada sekarang
yang merupakan ungkapan/penafsiran/terjemahan manusia, dan rentan terjadi kekeliruan
penulisan dan pemahaman dengan banyaknya versi bahasa. Sedangkan Al-Quran sejak
diturunkan sampai detik ini di seluruh penjuru bumi tetap sama. Jika terdapat perbedaan
terjemahan atau penafsiran bukan al-Qurannya yang berbeda. Allah menyatakan : Maka
apakah mereka tidak memperhatikan al-Quran ? kalau kiranya al-Quran itu bukan dari sisi
Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya. (QS. 4:82)
Seorang orientalis mengakui: It will be seen, from the above, that a final and complete text of
the Koran was prepared wihin twenty years after death (A.D. 632) of Muhammad, And that this
has remained the same, without any change, or alteration by enthusiasts, translators or
interpolators, up to the present time. It is tobe regretted that the same can not be said all the
books of the Old dan New Testaments. (FF Arbuthnot, The Contruction of The Bible And The
Koran, London, 1885, h. 5)
Dari uraian di atas dapat diketahui, bahwa teks al-Quran yang final dan lengkap itu disiapkan
dalam waktu 12 tahun setelah Muhammad wafat (632 M.) Dan teks itu sampai sekarang tetap
sama tanpa ada perubahan atau pergantian dari pembacanya, penerjemah maupun pemalsu.
Sangat disayangkan, keaslian seperti al-Quran in tidak bisa ditemui dalam Kitab Suci Perjanjian
Lama maupun Perjanjian Baru (Bible). (Al-Quran Berbicara tentang Kristen, 1999: 21-22)
PENCIPTAAN & KELAHIRAN ISA BIN MARYAM
Al-Quran menjelaskan secara rinci penciptaan Isa dan proses kelahirannya, untuk
memperlihatkan kekuasaan-Nya dan menunjukkan bahwa Isa adalah manusia bukan tuhan atau
anak tuhan sebagaimana keyakinan kristiani. Berikut firman-Nya:
Sesungguhnya misal (penciptaan) Isa di sisi Allah, adalah seperti (penciptaan) Adam. Allah
menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya: Jadilah maka jadilah
dia. (QS. Ali Imran :59)
Dan ceritakanlah (kisah) Maryam di dalam al-Quran,, yaitu ketika ia menjauhkan diri dari
keluarganya ke suatu tempat di sebelah timur, maka ia mengadakan tabir (yang melindunginya)
dari mereka; lalu Kami mengutus roh Kami (Jibril) kepadanya, maka ia menjelma di hadapannya
(dengan bentuk) manusia yang sempurna. Maryam berkata: Sesungguhnya aku berlindung
daripadamu kepada Tuhan Yang Maha Pemurah, jika kamu seorang yang bertakwa. Ia (Jibril)
berkata: Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang utusan Tuhanmu untuk memberimu seorang
anak laki-laki yang suci. Maryam berkata: Bagaimana akan ada bagiku seorang anak laki-laki,
sedang tidak pernah seorang manusiapun menyentuhku dan aku bukan (pula) seorang pezina.
Jibril berkata: Demikianlah Tuhanmu berfirman: Hal itu adalah mudah bagiKu; dan agar dapat
Kami menjadikannya suatu tanda bagi manusia dan sebagai rahmat dari Kami; dan hal itu adalah
suatu perkara yang sudah diputuskan. Maka Maryam mengandungnya, lalu ia menyisihkan diri
dengan kandungannya itu ke tempat yang jauh. Maka rasa sakit akan melahirkan anak memaksa
ia (bersandar) pada pangkal pohon kurma. ia berkata: Aduhai alangkah baiknya aku mati
sebelum ini, dan aku menjadi sesuatu yang tidak berarti, lalu dilupakan. Maka Jibril
menyerunya dari tempat yang rendah: Janganlah kamu bersedih hati, sesungguhnya Tuhanmu
telah menjadikan anak sungai di bawahmu. Dan goyanglah pangkal pohon kurma itu ke arahmu,
niscaya pohon itu akan menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu. Maka makan, minum
dan bersenang hatilah kamu. Jika kamu melihat seorang manusia, maka katakanlah:
Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pemurah, maka aku tidak
akan berbicara dengan seorang manusiapun pada hari ini. Maka Maryam membawa anak itu
kepada kaumnya dengan menggendongnya. Kaumnya berkata: Hai Maryam, sesungguhnya
kamu telah melakukan sesuatu yang amat mungkar. Hai saudara perempuan Harun, ayahmu
sekali-kali bukanlah seorang yang jahat dan ibumu sekali-kali bukanlah seorang pezina. Maka
Maryam menunjuk kepada anaknya. Mereka berkata: Bagaimana kami akan berbicara dengan
anak kecil yang masih dalam ayunan. Berkata Isa: Sesungguhnya aku ini hamba Allah, Dia
memberiku Al-Kitab (Injil) dan Dia menjadikan aku seorang nabi, dan Dia menjadikan aku
seorang yang diberkati di mana saja aku berada, dan Dia memerintahkan kepadaku (mendirikan)
shalat dan (menunaikan) zakat selama aku hidup; dan berbakti kepada ibuku, dan Dia tidak
menjadikan aku seorang yang sombong lagi celaka. Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan
kepadaku, pada hari aku dilahirkan, pada hari aku meninggal dan pada hari aku dibangkitkan
hidup kembali. Itulah Isa putera Maryam, yang mengatakan perkataan yang benar, yang mereka
berbantah-bantahan tentang kebenarannya. Tidak layak bagi Allah mempunyai anak, Maha Suci
Dia. Apabila Dia telah menetapkan sesuatu, maka Dia hanya berkata kepadanya: Jadilah, maka
jadilah ia. Sesungguhnya Allah adalah Tuhanku dan Tuhanmu, maka sembahlah Dia oleh kamu
sekalian. Ini adalah jalan yang lurus. (QS. Maryam : 16-36)
Perbedaan proses kelahiran Isa yang tanpa ayah, bukanlah suatu yang istimewa bagi Allah
sehingga janganlah menimbulkan pertentangan atau pengkultusan terhadap Nabi Isa.
Ibnu Jarir, Ibnu Ishaq, Ibnul Mundzir meriwayatkan bahwa ayat-ayat ini (Ali Imran 1-9) dan
ayat-ayat sesudahnya, yang berjumlah delapan puluh ayat diturunkan berkenaan dengan kaum
Nasrani negeri Najran. Yaitu ketika mereka datang menemui Rasulullah SAW. Kedatangan
mereka melibatkan delapanpuluh orang penunggang kuda. Lalu, mereka bertengkar dengan Nabi
mengenai Isa Bin Maryam. Mereka mengatakan, Siapakah sebenarnya ayah Isa ? Kemudian
mereka mengatakan kepada Allah akan hal-hal bohong dan tidak terbukti. Maka, Rasulullah
SAW menjawab: Tidakkah kamu mengetahui bahwa Tuhan kami Maha Hidup dan tidak mati ?
Dan Isa, pasti akan mengalami kematian ? Mereka menjawab, Sudah pasti itu benar. Nabi
bersabda: Tidakkah kamu mengetahui bahwa Tuhan kami Mahakuasa terhadap segala sesuatu.
Dia-lah yang menanggungnya. Dia-lah Yang memeliharanya, dan Dia Yang memberi rezeki
padanya ? Mereka menjawab : Benar ! Nabi SAW bersabda, Apakah Isa memiliki sesuatu
selain yang telah tersebut ? Mereka menjawab: Tidak. Nabi bersabda: Tidakkah kamu tahu
bahwa Allah telah menggambarkan (bentuk) Isa di dalam rahim (ibunya) menurut yang Allah
kehendaki ? Dan Tuhan kami tidak makan, tidak minum, dan tidak pernah berhadats ? Jawab
mereka: Benar ! Beliau bersabda: Tidakkah kamu tahu bahwa Isa telah dikandung oleh
ibunya sebagaimana wanita (lainnya) melahirkan anaknya, kemudian ia diberi makan
sebagaimana seorang bayi diberi makan. Lalu, Isa makan, dan minum serta berhadats ? Mereka
menjawab, Benar. Nabi SAW bersabda: Lalu, bagaimana Nabi Isa itu bisa seperti yang kamu
duga ?
NABI ISA BIN MARYAM AS DIUTUS KEPADA BANI ISRAIL &
MENENTANG KEYAKINAN TRINITAS
Al-Quran menjelaskan kenabian Isa Bin Maryam dan ajaran yang dibawanya. Diantaranya:
1- QS. An-Nisa:171
Wahai Ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, dan janganlah kamu
mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar. Sesungguhnya Al-masih, Isa putra Maryam itu,
adalah utusan Allah dan (yang diciptakan dengan) kalimat-Nya. Maka berimanlah kamu kepada
Allah dan rasul-rasul-Nya dan janganlah kamu mengatakan: (Tuhan itu) tiga, berhentilah (dari
ucapan itu). (Itu) lebih baik bagimu. Sesungguhnya Allah Tuhan Yang Maha Esa, Maha Suci
Allah dari mempunyai anak, segala yang di langit dan di bumi adalah kepunyaan-Nya. Cukuplah
Allah sebagai Pemelihara.
2- QS. Al-Maidah:116-117
Dan (ingatlah) ketika Allah berfirman, Hai Isa putera Maryam, adakah kamu mengatakan
kepada manusia: Jadikanlah aku dan ibuku dua orang tuhan selain Allah ? Isa menjawab:
Maha suci Engkau, tidaklah patut bagiku mengatakan apa yang bukan hakku (mengatakannya).
Jika aku pernah mengatakannya maka tentulah Engkau telah mengetahuinya. Engkau
mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku tidak mengetahui apa yang ada pada diri Engkau.
Sesungguhnya Engkau Maha mengetahui perkara yang ghaib-ghaib. Aku tidak pernah
mengatakan kepada mereka kecuali apa yang Engkau perintahkan kepadaku (mengatakannya)
yaitu: Sembahlah Allah, Tuhanku dan Tuhanmu. Dan adalah aku menjadi saksi terhadap
mereka, selama aku berada di antara mereka. Maka setelah Engkau wafatkan aku, Engkaulah
yang mengawasi mereka. Dan Engkau adalah Maha menyaksikan atas segala sesuatu.
3- QS. Az-Zukhruf: 59
Isa tidak lain hanyalah seorang hamba yang Kami berikan kepadanya nimat (kenabian) dan
Kami jadikan dia sebagai tanda bukti (kekuasaan Allah) untuk Bani Israil.
(Lihat, Injil Barnabas, Fasal 21:21)
Posting Komentar
Pengikut
Arsip Blog
2009 (15)
o Agustus (11)
The Politically Incorrect Guide Of Islam (And Crus...
perang salib
ISLAM SCIENCE TECHENOLOGY & CIVILIZATION Rahsia...
mahkota sufi 1
mahkota sufi 2
<!--[if gte mso 9]> Normal 0 false ...
sirru assrar dari syeikh abdul qadir jailani
artikel perang salib
Globalisasi Kearifan Menangkap Perubahan Zaman
menjadi muslim sejati
jengis khan
o Oktober (4)
Mengenai Saya
faizin kholiq
Lihat profil lengkapku