Anda di halaman 1dari 93

Ibnu Abdul Kholiq

Senin, 10 Agustus 2009


menjadi muslim sejati

Sesungguhnya ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah ia dan jan-ganlah kamu mengikuti
jalan-jalan lain, karena itu akan mencerai beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu
diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertaqwa. (QS. Al-Anam:153)

***
Menjadi seorang muslim sejati adalah cita-cita kita. Apapun status sosial yang disandang, bila
kita telah mengikrarkan diri dalam Islam, pasti akan berusaha dengan sungguh-sungguh untuk
melaksanakan syariat Islam. Walaupun tidak sedikit orang yang lalai dari keimanannya dan
terjerumus pada kesesatan.
Memasuki agama Islam memang sesuatu hal yang mudah dan sama sekali tidak ada paksaan,
sebagaimana disinyalir dalam firman Allah; Tidak ada paksaan dalam (memeluk) Islam.
Namun, bukan berarti orang boleh begitu saja melecehkan agama. Justeru dengan ayat ini setiap
orang yang telah yakin memeluk Islam di-tuntut agar menyadari keberadaan masing-masing diri.
Karena Allah memberikan aturan hidup ini bukan untuk kepentingan-Nya, tetapi se-bagai jalan
hidup satu-satunya yang menjaga kelangsungan serta ke-maslahatan manusia di dunia ini.
Untuk itu manusia perlu mawas diri, apakah sudah pantas dirinya menyandang gelar seorang
muslim atau hanya menjadi benalu yang me-rusak citra Islam itu sendiri. Dengan begitu, ia akan
dipacu mendalami dan menghayati bagaimanakah menjadi seorang muslim sejati, serta apa
karakter yang mesti dimilikinya. Urgensi dalam ber-Islam telah dijelas-kan dalam Al-Quran
sebagai satu-satunya syarat meraih kebahagiaan. Firman Allah; Sesungguhnya agama (yang
diridlai) di sisi Allah hanyalah Is-lam...
Sayyid Qutub dalam tafsirnya menjelaskan bahwa seorang muslim tidak diberi kesempatan
menerima alternatif sintesis (ragu) dalam men-gikuti jalan Allah, seperti sikap plin-plannya
Bani Israil. Menurutnya, ketika seseorang masuk Islam, maka dia harus menyelaraskan seluruh
aspek kehidupannya yang iradi (dimana manusia memiliki kebebasan memilih) dengan kehendak
Allah yang suci. Maka karakter dan kepri-badian muslim adalah kiat yang penting untuk dikaji
dan dihayati.
Ibnu Al-Jauzi meriwayatkan sebuah hadits dari Abdullah, ia ber-kata; Rasulullah SAW
menggambar satu garis lurus dengan tangannya, kemudian beliau bersabda; Ini adalah jalan
Allah yang lurus. Kemudian membuat garis ke kanan dan kirinya, kemudian bersabda; jalan
ini tidak ada jalan kecuali syetan terus menyeret kepadanya. Kemudian beliau mem-bacakan
ayat, Sesungguhnya ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah ia dan janganlah kamu
mengikuti jalan-jalan lain.

Makna Islam
Islam adalah agama dan ajaran wahyu yang diturunkan oleh Allah SWT untuk kelangsungan dan
kebahagian makhluq-Nya di dunia sampai di Akhirat kelak. Tidak benar orang yang
beranggapan Islam adalah agama yang hanya diajarkan kepada Nabi Muhammad SAW, sehingga
mereka mengidentikkan Islam sebagai mohamadisme.
Islam ada sejak Nabi pertama Adam AS sampai kepada Nabi tera-khir penutup nabi dan rasul,
Muhammad SAW.
Perhatikanlah ungkapan Nabi Nuh AS,
Dan aku diperintahkan untuk menjadi golongan muslimin.
Doa Nabi Ibrahim;
Ya Tuhan kami, jadikanlah kami orang yang berserah diri (muslim) kepada-Mu.
Nasehat Nabi Yaqub AS;
Sesungguhnya Allah telah memilih untuk kalian agama, maka janganlah kalian mati kecuali
dalam keadaan muslim.
Pengakuan Nabi Yusuf AS;
Wafatkanlah aku dalam keadaan muslim dan masukkanlah aku pada golongan orang-orang
yang shalih.
Demikian pula ikrar Nabi Isa AS;
Aku beriman kepada Allah dan aku bersaksi bahwa aku adalah muslim.
Setiap nabi dan rasul diutus kepada umatnya masing-masing, kec-uali Nabi Muhammad SAW
sebagai khatamun nabiyin diutus untuk selu-ruh umat manusia dan hal ini telah diisyaratkan oleh
kitab-kitab sebe-lum Al-Quran.
Karenanya, syariat Islam dari Nabi terakhir wajib dilaksanakan oleh seluruh umat manusia,
sebab Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW adalah penyempurna seluruh syariat
sebelumnya.
Kata Al-Islam berasal dari akar kata Aslama - Yuslimu - Islaman yaitu berserah diri. Para
ulama mendefinisikan Islam yaitu berserah diri kepada Allah SWT dengan melaksanakan segala
perintah-Nya dan men-jauhi segala larangan-Nya serta seluruh khabar-Nya yang disampaikan
lewat lisan wahyu.
Menurut Said Hawwa, Islam secara umum memiliki dua makna;
1) Yaitu nash-nash yang berupa wahyu Allah SAW sebagai penjela-san akan keberadaan Allah
SWT.
2) Tentang amal manusia dalam mengimani Allah lewat nash-nash-Nya dan berserah diri
melaksanakan nash-nash tersebut.
Sedangkan definisi Islam berdasarkan hadits diantaranya;
Dari Thalhah Bin Ubaidillah, dia berkata; Seorang lelaki datang kepada Rasulullah SAW,
kemudian bertanya tentang Islam. Rasulullah SAW bersabda; Shalat lima waktu dalam sehari
semalam. Dia bertanya lagi; Apakah ada yang lainnya? Beliau bersabda; Tidak, kecuali jika
kau akan melakukan yang sunat. Kemudian beliau menjelaskan kewajiban zakat. Dia bertanya
lagi; Apakah ada yang lainnya ? Beliau bersabda; Tidak, kecuali jika kau akan melakukan
yang sunat. Dia merenung dan berkata; Aku tidak akan menambah atau mengu-ranginya.
Maka Rasulullah SAW bersabda; Jika benar, sungguh kau berun-tung atau masuk surga.
1. Muawiyah Bin Ubaidah dari Bapaknya dari Kakeknya; Aku bertanya kepadamu tentang
Allah, dengan apa engkau diutus kepada kami ? Beliau ber-sabda; Dengan Islam. Aku
bertanya lagi; Apa ciri-ciri Islam ? Sabdanya; Kamu berikrar, aku berserah diri kepada Allah
sepenuh hati dan mendirikan sha-lat, membayar zakat. Setiap muslim dengan muslim lainnya
adalah bersaudara dan saling menolong. Tidak akan diterima amal syirik setelah Islam yang
mem-bedakan kaum musyrikin dan muslimin.
2. Rasulullah SAW bersabda; Islam itu, engkau bersaksi tiada tuhan selain Allah dan
Muhammad adalah hamba-Nya dan rasul-Nya, mendirikan shalat, membayar zakat, berpuasa
Ramadlan dan menunaikan haji jika engkau mampu di jalannya.
Maka asas Islam itu terdiri dari rukun Islam yang berupa aqidah dan ibadah. Aqidah ialah
keyakinan dan iman kepada Allah, Malaikat, kitab-kitab, para nabi, hari akhir dan qadla dan
qadar. Ibadah adalah syahadat, shalat, zakat, shaum dan haji.
Namun, ajaran Islam tidak sampai di situ. Islam juga memberikan sistem hidup untuk pribadi dan
masyarakat bahkan negara, meliputi sis-tem pemerintahan, ekonomi, pendidikan, kebudayaan
dan seluruh aspek kehidupan manusia.
Sesuai makna Islam di atas, tanpa kita berserah diri pada ajaran wa-hyu dari Allah SWT lewat
utusan-Nya apalagi bertolak belakang dengan syariat-Nya, maka hal itu tidak lagi disebut Islam
atau muslim.
Juga menurut Said Hawwa, seseorang yang telah Islam, yang per-tama kali harus difahami dan
dihayati adalah Al-Ushul Ats-Tsalatsah, yaitu tiga dasar yang menentukan kebenaran Islam kita,
Pertama; Allah, kedua; Islam dan ketiga; Rasul. Beliau menegaskan pandangannya dengan
sebuah hadits; Nikmatnya rasa iman ada pada Keridlaan bahwa Allah sebagai Rabb, Islam
sebagai agama dan Muhammad sebagai rasul.
Riwayat lain menyebutkan sabda Rasulullah SAW ; Barangsiapa yang mengucapkan;
RADLITU BILLAHI RABBA WA BIL ISLAM DINA WABI MUHAMMAD SAW NABIYA,
maka dia berhak mendapat surga.
Maka, setiap muslim dituntut untuk menggali makna ketiga aspek tadi dalam rangka
mendapatkan kebenaran Islam dan kenikmatan iman.

Sosok Kepribadian Muslim


Jalan hidup yang Allah bentangkan untuk manusia telah jelas dan nyata, sebagaimana kutipan
ayat diatas. Tinggal manusia memahaminya serta mengaplikasikan dalam perilaku
kehidupannya.
Adapun ciri-ciri pokok dari sosok kepribadian Islam antara lain;
Pertama, Shibghah Ilahiah, yaitu celupan Allah yang berbekas dalam diri setiap muslim. Karena
Islam membentuk manusia dengan warna ter-tentu, baik dalam aqidah, pemikiran, perasaan,
persepsi, cita-cita, tujuan, tingkah laku dan perbuatan serta seluruh aspek hidup manusia. Imam
Al-Qurthubi menafsirkan firman Allah; Shibghah Allah, dan adakah shib-ghah yang lebih baik
daripada shibghah Allah.
Menurutnya, kalimat pinjaman (istiarah) dan majaz dari ayat ini me-rupakan sebuah sikap dan
perbuatan dalam beragama yang tampak dalam diri pemeluknya, sebagaimana bekas celupan
pewarna yang tam-pak jelas pada kain.
Maka, ciri muslim sejati adalah memiliki komitmen pada Allah den-gan jalan menjauhkan diri
dari keinginan-keinginan pribadi maupun hawa nafsu dan konsisten beramal demi Islam serta
selalu memohon pe-tunjuk Allah. Untuk itu ada beberapa jalan yang harus tempuh agar men-
capai shibghah Ilahiah tersebut, yaitu;
(a) Memahami Islam secara benar dan menyeluruh
(b) Bertauhid kepada sumber petunjuk hakiki
(c) Menerapkan ajaran-ajaran Islam
(d) Membersihkan jiwa dan menegakkan kebenar-an Islam
(e) Mendawahkan Islam
Kedua, Memiliki kepekaan dan ketajaman jiwa.
Apabila shibghah telah membentuk pribadinya, seorang muslim se-jati selalu berusaha
menyingkap kegelapan dan kesesatan dalam dirinya, yaitu dengan bashirah (kepekaan akan
cahaya kebenaran).
Cahaya Islam menjadi penerang yang menuntunnya dalam kebai-kan. Firman Allah; Dan
demikianlah Kami wahyukan kepadamu (Al-Quran) dengan perintah Kami. Sebelumnya kamu
tidak mengetahui apakah kitab itu dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami
menjadikan Al-Quran itu cahaya yang Kami tunjuki dengannya siapa yang Kami kehendaki di
antara hamba-hamba Kami.
Ketiga, Memiliki kebanggaan terhadap Islam. Karena Islam adalah agama kebenaran yang
universal dan harus disebarluaskan ke seluruh pelosok negeri, sebagaimana firman Allah;
Siapakah yang lebih baik per-kataannya daripada orang yang mengajak kepada Allah dan
beramal shalih dan berkata; Sesungguhnya kami termasuk orang yang berserah diri (muslim).
Keempat, Berpegang teguh pada kebenaran.
Seorang muslim yang telah meyakini akan kebenaran Islam akan berusaha tetap
mempertahankannya, apapun rintangan yang menggo-danya. Sebuah Hadits menyebutkan ciri
muslim sejati; ...dia akan benci untuk kembali kepada kekafiran sebagaimana dia benci
manakala terlempar ke dalam neraka.
Kelima, Mujahadah
Muslim sejati tidak hanya berdawah lewat lisan saja, tetapi juga ber-jamaah dalam
melaksanakan syariat serta mempertahankannya. Inilah yang dimaksud mujahadah, yaitu
bersungguh-sungguh membela kebena-ran dari tangan-tangan kebatilan.
Keenam, Disamping kelima ciri di atas ialah membina kesinambun-gan muslim mutlak
dipelihara. Sebab tidak mustahil keimanan kita ron-tok akibat derasnya godaan. Sehingga
Rasulullah SAW selalu berdoa; YAA MUQALLIBAL QULUB TSABBIT QALBY ALA
DINIKA (Ya Al-lah Yang membolakbalikkan hati manusia, tetapkanlah hati kami atas agama-
Mu.)
Adapun cara memelihara hati di antaranya;
1. Memohon lindungan kepada Allah
2. Berdzikir dan selalu ingat kepada Allah
3. Membiasakan membaca Al-Quran
4. Memelihara ibadah yang fardlu dan memperbanyak ibadah Sunnah
5. Bergaul dengan orang yang shalih atau menghadiri majlis talim
6. Menjauhkan diri dari tempat maksiat
Ketujuh, Hatinya tenteram dan tulus ikhlas dalam beramal. Hal ini tercermin dalam sikap
hidupnya. Manakala ia mendapat kemudahan dan kebahagiaan selalu bersyukur. Dan jika
ditimpa kesulitan ia bershabar dan berlindung kepada Allah.
Demikianlah sosok muslim sejati yang memiliki beberapa karakter-istik dalam kehidupannya.
Pada dasarnya, untuk merealisasikan sosok muslim sejati ini tidaklah rumit, karena cukup
dengan menghayati te-ladan nyata kehidupan Rasulullah SAW serta keberadaan Islam dari masa
ke masa. Tinggal ummat Islam menyadari sepenuhnya akan tugas mulia ini, termasuk
mempersiapkan generasi pewaris kepribadian mus-lim ini.
Alangkah indahnya ungkapan Ibnu Umar RA.: Aku telah hidup pada zamanku dengan sebuah
penjelasan. Seorang diantara kami ada yang beriman se-belum turunnya al-Quran serta surat
demi surat kepada Muhammad SAW, ke-mudian ia mempelajari halal dan haram darinya, ia-pun
berpegang teguh atasnya sebagaimana kalian mengetahui al-Quran. Aku juga menyaksikan orang
yang di-turunkan al-Quran sebelum beriman, kemudian ia membaca dari awal Al-Fatihah sampai
akhir, ia tidak mengetahui apa yang diperintahkan dan yang diperingatkan di dalamnya, ia-pun
berpegang dengannya dan menyebarkannya seperti tersebarnya kurma busuk dan buruk.
***

Hai orang-orang yang beriman masuklah kamu ke dalam Islam secara kese-luruhannya (kaffah),
dan janganlah kamu turuti langkah-langkah syetan. Se-sungguhnya syetan itu musuh yang nyata
bagi kamu.
(QS. Al-Baqarah:208)

***
Tidak sedikit di antara kita yang mengaku sebagai muslim namun belum merasakan apa bedanya
antara muslim dengan yang bukan. Ban-yak di antara ummat Islam yang menjadi muslim karena
memang dila-hirkan dari orang tua Islam, kemudian menjadi muslim keturunan dan ikut-ikutan.
Tidak pernah merasakan nikmatnya beragama Islam mau-pun bertanggungjawab akan agama
yang dianutnya.
Kesadaran inilah yang harus segera diperingatkan sebelum kita di-mintai pertanggungjawaban
keIslaman kita di hadapan Allah SWT.
Memang Islam agama yang tidak dipaksakan untuk memeluknya, tetapi apabila kita telah siap
untuk memasukinya, di dalamnya terkand-ung beberapa syariat dan ajaran yang mau tidak mau
harus ditaati dan dilaksanakan. Ibaratnya Islam adalah sebuah rumah, setiap orang yang lewat
dipersilahkan menengok dan memperhatikannya serta tidak ada paksaan untuk memasukinya.
Namun jika telah yakin untuk memasu-kinya, maka dia menjadi penghuni rumah itu dan harus
mematuhi setiap aturan yang diberlakukan oleh tuan rumah.
Demikian pula agama Islam. Janganlah kita seperti orang yang hanya melihat Islam dari
jendelanya saja. Artinya hanya mengamalkan sebagian syariat saja, atau memilih-milih mana
yang menguntungkan dirinya, ia laksanakan dan yang merugikan kehidupan materinya, ia buang
jauh-jauh. Seperti yang disitir Allah dalam firman-Nya; Sesung-guhnya Allah telah membeli
dari orang-orang mumin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka
berperang pada jalan Allah, lalu mereka membunuh atau terbunuh. Itu telah menjadi perjanjian
yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al-Quran. Dan siapakah yang lebih me-nepati
janjinya selain Allah. Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu dan
itulah kemenangan yang besar.
Dengan jelas ayat ini mengemukakan tentang kewajiban seorang mumin yang telah
mengadakan perjanjian dengan Allah SWT yaitu un-tuk melaksanakan syariat-Nya dan akan
dibalas dengan kebahagiaan surga yang kekal abadi. Demikian pula ayat yang penulis kutip di
atas, menjelaskan seruan Allah SWT kepada seluruh kaum muminin dan muminat agar
menjalani Islam dengan kaffah, artinya secara sempurna dari A sampai Z, baik dalam
kehidupan pribadi, rumah tangga, masyarakat serta bagaimana menghubungkan diri dengan
Khaliq (Pen-cipta dan Pemelihara seluruh makhluk). Karena apabila kita lengah dan lalai dalam
mengamalkan syariat Islam, di sanalah pintu syetan akan terus mengintai kehidupan kita.
Padahal Allah menegaskan bahwa syetan adalah musuh yang nyata. Mengapa kesadaran tersebut
belum kunjung datang ? Jawabnya, karena kita belum sempurna mempelajari dan mengamalkan
syariat Islam dalam setiap langkah kita. Maka untuk mengantisipasi khutwaat syetan (strategi
syetan dalam menyesatkan manusia) ada beberapa aspek penting yang harus menjadi acuan
setiap muslim agar terwujud seorang muslim yang paripurna.
Pertama: Meluruskan aqidah yang telah kita yakini.
Aqidah adalah masalah yang prinsipil dalam Islam, karena hal inilah yang membedakan antara
muslim dengan manusia lainnya. Aqi-dah atau yang kita kenal dengan iman merupakan syarat
diterimanya amal baik serta perbuatan kita, sebagaimana firman Allah; Barangsiapa yang
mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka
sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami
beri balasan kepada mereka dengan pahala yang le-bih baik dari apa yang telah mereka
kerjakan.
Ayat ini menegaskan bahwa hanya dengan iman-lah amal kita diter-ima oleh Allah dan
mendapat balasan di sisi-Nya. Supaya aqidah dan keimanan kita tetap terpelihara, maka ada
beberapa amalan yang harus dilaksanakan, yaitu;
a. Mengetahui seluk beluk tauhid sebagai intinya aqidah yang ter-kandung dalam Al-Quran dan
As-Sunnah, baik tauhid uluhiah yaitu men-jadikan Allah sebagai Yang berhak disembah dan
dipertuhankan. Atau tauhid Ubudiah yaitu menjadikan Allah SWT yang berhak diibadahi, se-
bagaimana firman Allah; Dan sesungguhnya Kami telah mengutus pada tiap-tiap ummat
seorang rasul (untuk menyerukan); Sembahlah Allah saja, dan jauhilah thaghut itu !, maka di
antara mereka ada orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula orang yang sesat. Maka
berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang yang
mendustakan rasul-rasul.
Juga memahami tauhid Asma wa Sifat yaitu memelihara sifat-sifat Al-lah SWT dengan cara
meyakini serta menerapkannya dalam kehidupan kita. Sabda Rasulullah SAW; Allah SWT
memiliki 99 nama (Asmaul Husna). Barangsiapa yang memeliharanya pasti mendapat surga.
b. Memelihara aqidah dengan melaksanakan taqwa (takut kepada Allah dengan melaksanakan
perintah-Nya dan memelihara hududullah. Dzikir (selalu mengingat Allah dengan lisan dan
sikap), firman Allah; Yaitu orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram
dengan mengingat Allah. Ingatlah hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi ten-teram.
Syukur (menyadari kebesaran nikmat Allah yang telah diberikan. Taubat (mendekatkan diri
kepada Allah dengan iman dan amal shalih. Muraqabah (merasa selalu diperhatikan Allah, baik
ketika menyendiri atau dalam keramaian. Mahabbah, menjadikan Allah SWT sebagai kekasihnya
dengan cara melaksanakan permintaan-Nya dan tawakkal, menjadikan Allah sebagai tempat
mengadu dan berserah diri.
Kedua, Membenahi ibadah kita yang sudah biasa kita lakukan.
Selama ini, terkadang kita melaksanakan ibadah atas dorongan ter-paksa. Akibatnya ibadah
tersebut kurang berpengaruh dalam kehidupan. Untuk menjaga keutuhan ibadah kita, maka
hendaknya kita memeliha-ranya dengan cara;
a. Ittiba yaitu mengikuti ketentuan Allah dalam Al-Quran dan se-suai dengan Sunnah Rasulullah
SAW, termasuk juga memperhatikan setiap amalan yang wajib dan sunat, seperti shalat tahajud,
qira-atul quran, dzikir dan doa serta amal shalih lainnya. Hal ini dalam upaya melak-sanakan
taqarrub (mendekatkan diri kepada Allah), sebagaimana sabda Rasulullah SAW; Sesungguhnya
Allah SWT telah berfirman; Siapa yang memusuhi wali-Ku, maka sungguh Aku akan
menyatakan perang kepadanya. Dan tiada mendekatkan diri kepada-Ku seorang hamba dengan
sesuatu yang lebih Aku sukai daripada menjalankan apa yang telah Aku wajibkan atasnya. Dan
se-lalu hamba-Ku mendekat kepada-Ku dengan menambah amal-amal yang sunat sehingga Aku
sayang kepadanya. Maka apabila Aku telah sayang kepadanya, jadilah Aku sebagai pendengaran
yang ia dengar, penglihatan yang ia saksikan dan tangannya dimana ia bergerak serta kakinya
dimana ia berjalan. Apabila ia meminta pasti aku akan memberinya dan apabila ia mohon
perlindungan pasti Aku melindunginya.
b. Menerapkan ikhlas dalam seluruh ibadah dan khusyu melak-sanakannya. Artinya tujuan dan
niat kita harus lurus dan sejalan dengan kehendak Allah sebagaimana yang selalu kita ikrarkan;
Sesungguhnya shalatku, Ibadahku, hidupku dan matiku hanya bagi Allah, Pengurus semesta
alam.
Ketiga, Memperbaiki akhlaq serta perilaku hidup sehari-hari.
Banyak sekali akhlaq mulia dalam Islam yang belum kita laksana-kan, yang meliputi;
a. akhlaq terhadap diri sendiri.
b. akhlaq terhadap Allah dan Rasul-Nya dan
c. akhlaq terhadap sesama makhluk.
Dengan jelas Rasulullah SAW menyatakan, bahwa Allah mengutus-nya untuk membenahi
akhlaq-akhlaq manusia. Inti dari akhlaq ialah se-lalu menjaga diri dari syubhat (yang meragukan)
dan syahwat yang selalu dihembuskan syetan lanatullah. Sabda Rasulullah SAW; Perkara yang
ha-lal telah jelas dan perkara yang haram pun telah jelas, dan di antara keduanya ada perkara
yang syubhat dan kebanyakan manusia mengetahuinya. Barangsiapa yang berhati-hati dari
syubhat, maka ia telah memelihara agama dan kehorma-tannya. Tetapi barangsiapa yang
melakukan syubhat, maka ia terjerumus pada yang haram. Ingatlah, dalam setiap diri ada
segumpal daging, apabila ia baik maka baik pula seluruh jasadnya dan apabila ia rusak, maka
Binasalah jasadnya. Ingatlah bahwa itulah hati.
Maka selayaknya kita selalu menjaga seluruh aktifitas kita dari se-suatu yang syubhat apalagi
yang haram, menjaga pandangan kita, pendengaran kita, ucapan kita serta bisikan hati kita dari
syahwat yang se-lalu menggoda.
Keempat, Menerapkan kehidupan Islami dalam keluarga dan rumahtangga.
Setelah kita mampu menjaga diri serta membereskan aqidah, ibadah dan akhlaq pribadi, maka
kewajiban kita selanjutnya ialah menjaga ke-luarga serta kerabat dekat kita agar menjadi muslim
kaffah. Hal ini meru-pakan tanggung jawab bersama, apapun status yang kita sandang, apakah
sebagai anak, ayah, ibu, suami atau isteri tetap berkewajiban mengajak keluarga ke dalam
kebaikan. Prinsip kita dalam ber-amar maruf nahi munkar kepada keluarga ini ialah Lebih baik
memaksa mereka ke dalam surga daripada membiarkan mereka menuju neraka. Dengan
demikian keluarga kita telah menjadi keluarga sakinah (tenteram), mawad-dah (saling
menyayangi dalam kebaikan) dan rahmah (penuh kasih sayang Allah).
Empat aspek ini yang termasuk kurikulum atau tingkatan menuju muslim paripurna. Insya Allah,
dengan mengamalkan seluruhnya akan lahir generasi yang selalu konsisten terhadap
keIslamannya serta ber-tanggung jawab atas agama yang dianutnya.
***

Rasulullah SAW bersabda: Tiga Perkara yang merupakan puncak nikmat-nya iman yaitu;
Pertama, orang yang mencintai kepada Allah dan Rasul-Nya melebihi cintanya kepada orang
lain. Kedua, orang yang mencintai sesamanya karena Allah semata. Dan Ketiga, orang yang
benci kembali kepada kekafiran seperti merasa takut dilemparkan ke dalam neraka.
(HR. Al-Bukhari dari Anas RA)

***
Mahabbah atau cinta merupakan amaliah batin yang membuat manusia terlena dan berani
berkorban demi sesuatu yang dicintainya, sekalipun nyawa taruhannya. Sejak manusia pertama
Adam as dan Hawa, masalah cinta telah membuat kehidupan penuh dengan dinamika dan
keramaian. Kisah Kabil dan Habil merupakan salah satu di antara sekian banyak peristiwa cinta
yang romatis sekaligus mendebarkan. Keinginan manusia mencurahkan cintanya adalah naluri
yang sifatnya alamiah dan merupakan sunnatullah yang wajar. Sebagaimana firman Al-lah:
Dihiaskan kepada manusia mencintai syahwat (keinginan nafsu) seperti perempuan-perempuan,
anak-anak dan harta benda yang banyak dari emas, perak kuda yang bagus, binatang-binatang
ternak dan tanaman-tanaman. Demikianlah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah adalah
tempat kembali yang sebaik-baiknya.
Namun, terkadang orang keliru memilih objek yang dicintai dan cara mencintai, sehingga tidak
sedikit yang terjerumus menjadi korban cinta yang salah kaprah tadi. Hal ini sebagaimana
disinyalir dalam fir-man Allah SWT. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik
bagimu. Dan boleh jadi pula, kamu mencintai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu, Allah
mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.
Ayat ini secara jelas mengemukakan tentang perasaan cinta manusia yang relatif kebenarannya
sehingga salah memilih objek yang dicin-tainya. Oleh karena itu, ada baiknya bila kita
memahami sifat yang layak kita cintai dan bagaimana mengekspresikan cinta kita kepadanya,
supaya kita tidak terseret arus dan menjadi korban cinta yang buta akan kebena-ran.
Kecenderungan manusia untuk mencintai makhluk sebagaimana disebutkan pada ayat di atas,
menunjukkan bahwa dunia dan segala is-inya merupakan objek cinta yang mudah melekat pada
setiap manusia. Karena Rasulullah SAW mengingatkan ummatnya, akan dampak yang
ditimbulkan bila kita terlalu mencintai dunia, sabdanya: Akan datang suatu masa dimana ummat
Islam akan diperebutkan dan dikoyak-koyak seperti hidangan oleh ummat lainnya, padahal
jumlah mereka banyak tetapi mereka seperti busa lautan, hal ini terjadi karena telah terjangkit
penyakit, para shaha-bat menanyakan apa penyakit tersebut, Nabi menjawab, Yaitu cinta dunia
dan takut mati. Hadits ini menyebutkan bahwa salah satu akibat dari ter-lalu mencintai dunia,
maka kaum muslimin akan lalai dari tugasnya se-bagai hamba Allah yang diciptakan hanya
untuk beribadah kepada-Nya. Jadi, cinta seseorang kepada sesuatu yang menjadi kekasihnya itu
dapat membuat dirinya melupakan yang lain selain dirinya. Sebagaimana di-ungkapkan dalam
firman Allah SWT yang mengingatkan manusia agar berhati-hati mencintai sesuatu, Hai orang-
orang yang beriman jangan sam-pai harta dan anak-anak mu melalaikan kamu dari ingat kepada
Allah. Barang-siapa yang berbuat demikian, merekalah orang-orang yang rugi...
Secara tegas ayat ini menegur kaum muminin untuk tetap mengin-gat Allah dan jangan sampai
harta dan anak serta perhiasan duniawi me-lalaikannya dari dzikir dan mahabbah kita kepada-
Nya. Bagaimana se-benarnya hakikat cinta itu ? Dari penjelasan di atas, kita dapat sedikit
menyimpulkan makna cinta serta konsekuensinya bila kita jatuh cinta. Lebih jelas lagi,
Rasulullah SAW menggambarkan sikap dan karakter cinta, sabdanya: Cinta sejati akan
terwujud dalam tiga bentuk: Pertama, lebih mementingkan perintah kekasihnya daripada perintah
yang lain, Kedua, lebih mementingkan pertemuan dengan kekasihnya daripada pertemuan
dengan yang lain dan Ketiga, lebih mementingkan mendapat keridlaan kekasihnya daripada
keridlaan yang lainnya.
Ketiga karakter cinta sejati ini, memang harus menjadi bahan pere-nungan kita, sudah sejauh
mana cinta kita terhadap kekasih kita ?, apakah hanya sekedar ucapan saja tanpa memperhatikan
perihal lainnya yang justeru merupakan konsekuensi dari cinta sejati.
Hadits yang penulis kutip di atas menjelaskan tentang objek cinta yang sesungguhnya disertai
dengan pelaksanaannya yang secara nyata menjadi jaminan untuk mendapatkan kelezatan iman.
Terlalu sering kita mendengar istilah iman dan segala yang berkaitan dengannya. Namun kita
sering mempertanyakan tentang kualitas iman yang ada pada pri-badi setiap muslim sekarang.
Kenyataan yang sering terjadi, iman hanya dijadikan hiasan bibir saja. Untuk itu, sudah
selayaknya kita mengerti dan faham di antaranya ialah tiga ciri yang menjadi jaminan keimanan
kita mencapai puncaknya.
Pertama; orang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya melebihi dari kecintaannya kepada yang
lain. Mahabatullah (Cinta kepada Allah) meru-pakan puncak iman yang tertinggi, bahkan
menurut Ibnul Qayim, ke-sempurnaan seorang hamba sangat ditentukan oleh dua kekuatan, yaitu
ilmu dan mahabbah (cinta kepada Allah), karena melalui dua jalan inilah seorang hamba semakin
dekat dengan-Nya. Cinta kepada Allah artinya sesuai dengan pengertian cinta sejati di atas, yaitu
dengan memperhati-kan setiap apa yang difirmankan-Nya sampai masalah sekecil apapun. Cinta
kepada Allah dibuktikan juga dengan kecintaan kepada Rasul SAW yaitu dengan mengikuti
Sunnah-Nya serta menjadikannya sebagai panu-tan dan figur yang mulia. Firman Allah SWT:
Katakanlah (wahai Muham-mad); Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku,
niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu, Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.
Kedua, mencintai seseorang atau sesuatu karena Allah. Maksudnya, setiap kali mencintai sesuatu
baik itu hiasan duniawi atau kekasih lain-nya, maka yang harus menjadi dorongannya ialah
karena Allah semata. Mencintai seorang wanita karena Allah misalnya, dengan niat bahwa
kecintaannya hanya sebatas kasih sayang sesama muslim selama dia ber-jalan di atas keridlaan
Allah. Cinta kepada sesama muslim sangat dian-jurkan dalam Islam, sebuah firman Allah
menyebutkan:
Muhammad utusan Allah dan orang-orang yang bersamanya adalah san-gat keras menghadapi
kekufuran dan belas kasih di antara sesama mereka.
Hal ini juga disinyalir dalam Hadits Nabi SAW sabdanya; Allah ber-firman: Mereka yang
cinta kasih karena kebesaran-Ku, maka baginya beberapa mimbar dari cahaya yang diinginkan
oleh para Nabi dan orang-orang yang sya-hid. Bahkan dalam Hadits Qudsi yang lain, Allah
SWT berfirman; Mereka yang berteman satu sama lain karena Aku, berhak memperoleh cinta-
Ku. Dan tiada seorang mumin yang berserah diri kepada-Ku atas kematian tiga orang anak
kandungnya yang belum dewasa, niscaya Allah memasukannya ke dalam surga dengan limpahan
karunia dan rahmatnya.
Dalam Al-Quran banyak sekali ayat yang menyinggung masalah cinta kasih. Di antara orang
yang dicintai Allah ialah;
(1) Orang yang shabar
(2) Orang yang bersatu dalam jihad fi sabilillah
(3) Orang yang adil
(4) Orang yang bertawakal kepada-Nya
(5) Orang yang berbuat baik
(6) Orang yang taqwa
Ketiga; ciri yang terakhir dari orang yang mendapat kelezatan iman ialah mereka yang benci
untuk kembali kapada kekafiran dan maksiat setelah Allah melepaskannya dengan mengabulkan
taubatnya, sebagai-mana dia benci dilemparkan ke dalam neraka. Sikap seperti ini mutlak
dimiliki oleh setiap muslim sejati yang memilih Allah sebagai kekasihnya. Karena Dia
menghendaki dan mencintai orang-orang yang selalu menjauhi dosa serta membersihkan jiwa.
Firman Allah: Sesung-guhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih, mereka
itu adalah sebaik-baiknya makhluk. Balasan mereka di sisi Tuhannya ialah surga yang mengalir
di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah me-ridlai mereka dan merekapun
ridla kepada-Nya.
Inilah ayat yang mendorong kita untuk selalu berusaha meraih keridlaan-Nya dengan iman dan
amal shalih, supaya kita mendapat kasih sayang Allah SWT yang tidak ada bandingannya.
Dengan tiga sikap dan sifat di atas, mudah-mudahan kita termasuk salah seorang di antara
mereka yang mendapat kelezatan iman. Amien.
***

Adalah kamu (kaum muslimin) sebaik-baiknya ummat yang dilahirkan un-tuk manusia,
menyuruh kepada
kebaikan dan mencegah kemunkaran dan beriman kepada Allah. (QS. 3:110)

***
Max Weber dalam bukunya The Protestant Ethic And Spirit Of Capitalism (Etika Protestan
dan Roh Kapitalisme) mengemukakan ten-tang terdapatnya kaitan antara afiliasi keagamaan dan
stratifikasi sosial dengan mendasarkan pada penjelasan akan pengaruh doktrin teologi pada
berbagai sekte keagamaan terhadap etos kerja para pemeluknya. Beberapa contoh membenarkan
teori Max Weber ini. Di antaranya hasil penelitian Yamamoto Shichihei terhadap pendeta Budha
Zen Suzuki Sha-shan (1879-1955). Sebagaimana diketahui, Jepang merupakan negara Timur
yang mampu menandingi Barat dalam kemajuan industri dan perekonomian sehingga mampu
menguasai dunia. Ternyata kemajuan Jepang sangatlah unik karena kesuksesan yang diraihnya
tidak semata-mata mengikuti dan mengambil unsur-unsur ilmu pengetahuan dan teknologi Barat,
melainkan dengan memelihara dan mendekatkan diri pada nilai budaya tradisionalnya yaitu
sistem kepercayaan Budhisme Zen. Ajaran Budhisme Zen ini menekankan bahwa dengan niat
yang benar, maka setiap gerak kerja adalah amal budhis sehingga seluruh pen-ganutnya memiliki
etos kerja yang bersumber pada nilai-nilai agama, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun
dalam bisnis.
Islam adalah agama wahyu yang diyakini dan dianut kebanyakan ummat manusia dari berbagai
etnis dan suku bangsa. Perbedaan warna kulit dan bahasa tidak menjadi masalah karena
semuanya merujuk pada satu azas yang telah disepakati yaitu Al-Quran sebagai satu-satunya
kitab suci dan dijelaskan dengan Sunnah Nabawiah sebagai interpretasinya. Kedua konsep ini
menjadi sumber hukum dan pedoman hidup setiap muslim baik dalam kehidupan pribadi,
keluarga maupun masyarakat dan bernegara. Inilah yang dimaksud dengan Muslim Kaffah atau
muslim paripurna yang selalu mengaplikasikan kedua azas tadi dalam setiap ak-tifitas hidupnya.
Al-Quran dan Sunnah telah terbukti sebagai sumber ajaran yang menganjurkan kerja keras dan
optimisme dalam menjalani kehidupan dunia. Firman Allah;
Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan
yang ada pada diri mereka sendiri...
Petikan ayat ini secara tegas mengajarkan optimisme walaupun ti-dak dipungkiri adanya konsep
taqdir dalam hal ini. Namun jika pema-haman taqdir diletakkan pada makna yang sesungguhnya,
maka akan sampai pada kesimpulan bahwa Islam menghargai kerja keras dan ke-sungguhan niat
dalam berikhtiar, serta Islam mencela ummatnya yang hanya berpangku tangan menanti nasib
atau hanya bangga dengan se-tumpuk konsep tanpa dibuktikan dengan aplikasinya. Dalam
sebuah Hadits dijelaskan; Allah tidak akan menerima ucapan seseorang melainkan diiringi
dengan amalnya, serta Allah tidak akan menerima ucapan dan amal me-lainkan dengan niat,
serta Allah tidak akan menerima ucapan, amal dan niat me-lainkan harus sesuai dengan Al-
Quran dan Sunnah.
Ummat Islam sesungguhnya punya potensi besar seperti yang dica-pai oleh bangsa Jepang
sekarang yang juga berangkat dari sistem keper-cayaannya. Al-Quran menyebut kaum muslimin
sebagai ummatan wa-satha, khairul ummah, golongan yang terbaik seperti dijelaskan dalam fir-
man Allah: Adalah kamu (kaum muslimin) sebaik-baiknya ummat yang dila-hirkan untuk
manusia, menyuruh kepada kebaikan dan mencegah kemunkaran dan ber-iman kepada Allah.
Masalahnya sekarang ialah, sejauh mana ummat Islam memahami konsep-konsep ini sehingga
bisa membawa pada kemajuan dan bisa meningkatkan etos kerja yang kini pasang surut.
Jika kita memperhatian ayat 11 surat Ar-Radu di atas maka sesung-guhnya ajaran Islam tidak
statis, bahkan membantah paham fatalism (ja-bariah) dalam masalah predetinations (taqdir).
Kemudian dipertegas den-gan beberapa Hadits yang mengisyaratkan bahwa Islam menghargai
ummatnya yang optimis menjalani hidup di dunia.
Dengan beberapa penjelasan ini, ada beberapa hikmah yang harus kita pahami, bahwa
seharusnya setiap muslim memiliki etos kerja yang tinggi dan sikap optimis. Namun mengapa
kondisi sekarang justeru se-baliknya ?
Ada beberapa hal yang menjadi penghambat kemajuan ummat Islam dewasa ini. Salah satu di
antaranya ialah masih memandang saktarian dan sempit makna ibadah serta ada salah paham
dalam menjalankan konsep ajaran Islam. Golongan tradisional sebagian menganggap ibadah itu
hanya shalat, dzikir di sudut masjid dan berdoa belaka. Ibadah diba-tasi oleh ruang dan waktu,
dan di luar itu sama sekali tidak ada penga-ruhnya dalam kehidupan pribadi maupun masyarakat.
Padahal antara keduanya memiliki keterkaitan dan merupakan satu kesatuan yaitu ibadah,
sebagaimana firman Allah; Tidak ada kebaikan pada bisikan mereka kecuali bisikan dari orang
yang menyuruh (manusia) memberi sedekah atau ber-buat kebaikan atau mengadakan
perdamaian di antara manusia. Dan barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari keridlaan
Allah maka kelak Kami akan memberi kepadanya pahala yang besar.
Dalam hal ini, seluruh aktifitas manusia bisa bernilai ibadah dan disediakan pahala yang besar
apabila diiringi niat mencari keridlaan Al-lah. Karenanya niat atau motivasi merupakan faktor
yang dapat membe-dakan satu perbuatan bernilai ibadah atau tidak, bukan masalah jenis
perbuatannya. Sabda Rasulullah SAW; Sesungguhnya sah atau tidak suatu amal itu tergantung
pada niat. Bagi setiap orang akan menerima balasan sesuai dengan apa yang telah diniatkannya.
Maka barangsiapa berhijrah dengan niat semata-mata karena Allah dan Rasul-Nya, pastilah
diterima di sisi Allah dan Ra-sul-Nya. Dan barangsiapa yang berhijrah karena keuntungan
duniawi, maka dia akan mendapatkannya. Serta barangsiapa yang berhijrah karena wanita,
diapun akan mendapatkannya. Adalah hijrah itu sesuai dengan niatnya.
Syekhul Islam Ibnu Taimiyah mengemukakan konsep ibadah seba-gai penafsiran dari QS. Adz-
Dzariyat:56 yaitu segala bentuk aktifitas manusia yang dicintai Allah dan yang diridlai-Nya baik
dalam bentuk ucapan maupun perbuatan lahir dan batin. Definisi ini bersifat universal sehingga
memungkinkan kita memasukkan berbagai macam aktifitas manusia setiap saat.
Lebih rinci lagi definisi yang dikemukakan Ibnul Qayim seorang to-koh salaf, bahwa ibadah
memiliki lima belas kaidah. Dengan penjelasan antara lain; Ibadah meliputi tiga aktifitas, yaitu
(1) hati, (2) lisan dan (3) anggota badan. Setiap aktifitas ini masing-masing memiliki lima hukum
yaitu; (1) Wajib, (2) Sunnah, (3) Mubah, (4) Makruh dan (5) Haram. Con-tohnya, lisan dikenai
oleh wajib menyampaikan yang haq dan dikenai haram mengucapkan dusta, dan seterusnya.
Ibnul Qayim lebih menekankan batasan ibadah yang aplikatif. Se-mua definisi ibadah merujuk
pada satu pemahaman bahwa seluruh aspek kehidupan manusia tidak boleh kosong dari ruh
ibadah sebagai-mana firman Allah; Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali
hanya untuk beribadah kepada-Ku.
Pokok ajaran ibadah terkandung dalam tiga disiplin yang satu sama lain tidak bisa dipisahkan
yaitu Islam, Iman dan Ihsan. Unsur Islam yang lima ibarat tiang penyangga bangunan ibadah.
Unsur iman perlam-bang segi enam pondasi yang harus tersusun kokoh. Dan unsur ihsan ba-
gaikan atap yang membuat keteduhan ruangan ibadah. Dengan mema-hami konsep ibadah secara
benar, akan terbentuk pribadi muslim pari-purna yang berprinsip Hayatuna Kulluha Ibadah
(Seluruh hidup kami hanya ibadah semata) sehingga dengan begitu akan menumbuhkan etos
kerja yang tinggi dengan motifasi (niat) mencari keridlaan Allah SWT dalam setiap aktifitas
duniawi maupun ukhrawi.
Allah berfirman; Dan carilah apa yang telah Aku anugerahkan kepadamu dari tempat Akhirat,
janganlah kamu melupakan bagian duniawi. Berbuat baik-lah sebagaimana Allah berbuat baik
kepadamu dan janganlah kamu berbuat keru-sakan di muka bumi. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang yang membuat kerusakan.

***
Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa syirik, dan Dia mengam-puni dosa selainnya, bagi
orang yang ia
kehendaki. Barangsiapa berbuat syirik pada Allah, maka sesungguhnya ia telah bebuat dosa
besar.
(QS. An-Nisa: 48)
***
Begitu mendesaknya masalah syirik dan pirantinya disoroti dan kembali dijadikan tema pokok
kajian dawah Islamiah, agar ummat Islam tidak terkecoh dan semakin waspada terhadap parasit
aqidah yang selalu mengancam kehidupan kita.
Masalah kemusyrikan telah menjadi tantangan agama tauhid sejak para Nabi sebelum
Muhammad SAW, sehingga semua Nabi menyerukan pemurnian aqidah dari syirik ini. Nabi
Ibrahim AS pun seorang Nabi yang menentang kemusyrikan. Firman Allah SWT.:
Sesungguhnya telah ada suri teladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang
bersama dia, ketika mereka berkata kepada kaumnya; Sesung-guhnya kami berlepas diri dari
kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Al-lah, kami ingkari (kekafiran) mu dan telah nyata
antara kami dan kamu per-musuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman
kepada Al-lah.
Demikian juga yang dilakukan oleh Rasulullah SAW beserta para shahabatnya. Beliau mewanti-
wanti ummatnya dari masalah syirik se-kecil apapun, sehingga secara detail dijelaskan. sebuah
Hadits mengung-kapkan betapa syirik selalu mengintai kita setiap saat, sabda Rasulullah SAW:
Syirik menyebar di kalangan ummat lebih tersembunyi dari pada semut kecil yang melata di
atas batu hitam, sedang penghapusnya ialah: Allahumma Innii Audzubika an Usyrika bika
syai-an wa ana alamu, Astaghfiruka minad dzanbil ladzi laa alamu. (Ya Allah, aku berlindung
kepada-Mu dari ter-jerumusnya aku pada menyekutukan-Mu, sedangkan aku mengetahui, aku
mohon ampunan-Mu dari dosa yang tidak aku ketahui.
Pada ayat di atas dengan tegas Allah memurkai syirik kepada-Nya dan tidak akan pernah
mengampuni orang yang berlaku syirik selama ia tidak meninggalkan perbuatannya atau bertobat
sebelum ajalnya datang, sehingga menghukuminya sebagai dosa yang paling besar.
Syirik dan Jenisnya
Asy-Syirku berasal dari Asyraka - Yusyriku yang berarti membuat persekutuan. Dalam
istilah fiqh dikenal sistem Musyarakah yaitu men-gadakan akad bersekutu dalam usaha dan
muamalah.
Beberapa kitab tauhid mendefinisikan Asy-syirku billah dengan men-yekutukan atau membuat
tandingan terhadap Allah SWT. Secara tersirat QS. Al-Ikhlas: 1-4 mengisyaratkan makna tauhid
sebagai lawan dari sy-irik. Firman Allah: Dialah Allah Yang Maha Esa. Allah adalah tempat
bergan-tung. Dia tidak beranak dan tidak diperanakkan (berbapak). Tidak ada satupun yang
menyamainya.
Ditinjau dari sebab turunnya (asbabunnuzul) surat ini berkenaan dengan kaum musyrikin yang
menentang ajaran Tauhid yang dibawa oleh Rasulullah SAW. Sebagaimana dikutip oleh Al-
Maraghi dalam taf-sirnya: Ad-Dhahhak meriwayatkan bahwa kaum musyrik pernah mengu-tus
Amir Ibnu Thufail menghadap Rasulullah SAW untuk menyampai-kan ancaman mereka
terhadap ajaran tauhid dan tawaran-tawaran halus agar meninggalkan dawahnya. Namun dengan
tegas Rasulullah SAW menjawab: Aku adalah utusan Allah untuk mengajak kalian
meninggalkan penyembahan berhala dan supaya menyembah Allah saja! Kemudian Amir
mengatakan: Jelaskanlah Tuhan yang kamu sembah ? apakah terbuat dari emas atau perak ?.
Maka turunlah surat Al-Ikhlas di atas.
Jamaludin Al-Qasimi dalam kitab tafsirnya mengutip pendapat Ab-dul Baqa tentang enam jenis
syirik ketika menafsirkan QS. An-Nisa: 48 di atas antara lain:
Pertama; Syirik Istiqlal, yaitu meyakini adanya tuhan yang berk-edudukan sama sebagai
tandingan Allah SWT. masing-masing memiliki kekuatan sendiri yang sebanding. Syirik Istiqlal
ini dianut oleh orang Ma-jusi dengan ajaran bahwa api mempunyai maha kekuatan.
Kedua; Syirik Tabidl, yaitu berkeyakinan bahwa tuhan terdiri dari beberapa unsur yang tidak
bisa dipisahkan dalam sifat maupun dzatnya. Misalnya ajaran trinitas, trimurti dan sebagainya.
Ketiga; Syirik Taqrib, ialah menjadikan sesuatu sebagai sembahan dengan maksud mendekatkan
diri kepada Allah SWT atau sebagai peran-tara-Nya, seperti keyakinan kaum musyrikin jahiliah
penyembah berhala. Firman Allah: Ingatlah hanya kepunyaan Allah lah agama yang bersih dari
(syirik) dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah berkata kami tidak menyembah
mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.
Keempat; Syirik Taqlid, yaitu melakukan upacara atau penyembahan tertentu karena mengikuti
atau melestarikan nenek moyang walaupun bertentangan dengan akal dan syara. Seperti upacara
yang dilakukan oleh kaum watsaniah.
Kelima; Syirik Asbab, ialah meyakini adanya penyebab selain Allah dan menyandarkan segala
kejadian kepada selain Allah. Misalnya masih ada keyakinan bahwa sapi merupakan binatang
suci pembawa (penye-bab) berkah.
Keenam; Syirik Aghrad, yaitu apabila melakukan suatu perbuatan mengharap maksud selain dari
Allah SWT atau disebut syirik niat. Seperti melaksanakan puasa tertentu dengan niat untuk
mendapat jodoh dan lain-lain.
Kemudian secara garis besar, Al-Qasimi mengklasifikasikan bentuk syirik menjadi:
1. Syirik Fil afal; ialah bentuk syirik yang merupakan perbuatan ang-gota badan seperti
membungkukkan badan ketika menyembah berhala dan sebagainya.
2. Syirik Fil Aqwal; ialah menyekutukan Allah dengan perkataan atau ucapan baik secara
langsung maupun tidak langsung. Misalnya bersum-pah dengan selain nama Allah dan
sebagainya.
3. Syirik Fil Iradah wan Niah; berupa syirik dalam hati yang seringkali tidak terasa kita
melakukannya, misalnya riya (ingin diperhatikan manu-sia), sumah (ingin didengar orang) atau
berbentuk keyakinan terhadap kekuatan selain Allah.
Beberapa contoh di atas hanyalah contoh kecil dari sekian banyak syirik yang masih dianut dan
dilakukan masyarakat kita. Terkadang se-cara tidak disadari, masih ada beberapa unsur syirik
yang masih melekat pada kita.
Demikianlah bahaya dan ancaman syirik yang bertebaran pada masyarakat kita dan meracuni
aqidah ummat Islam yang masih awam dalam ketauhidannya. Padahal kemurnian tauhid serta
keimanan meru-pakan jaminan utama sebuah negara aman sentosa, sebagaimana firman Allah
SWT: Jika sekiranya penduduk negeri beriman dan bertaqwa pastilah kami akan melimpahkan
kepada mereka berkah dari langit dan bumi. Tetapi bila mereka mendustakan (ayat-ayat) Kami,
maka Kami siksa mereka disebabkan per-buatannya.
Sudah saatnya kita mengambil langkah penyelamatan aqidah kita dari parasit-parasit syirik yang
menjalar sampai pada jenis bacaan seka-lipun, supaya terwujud Baldatun Thayibatun wa Rabbun
ghafur, negeri yang tenteram penuh rahmat Allah SWT. Amien.

***

Suraqah datang kepada Nabi SAW, lalu berkata: Ya Rasulallah, apakah kita akan beramal hari
ini dengan apa yang telah ditulis qalam dan telah kering tintanya serta berdasar taqdir dari Allah
ataukah terhadap apa yang akan terjadi? Nabi Menjawab: Kita beramal sekalipun telah tertulis
dengan qalam dan telah di-taqdirkan. Suraqah berkata: Kalau begitu untuk apa kita beramal?
Nabi men-jawab: Beramallah, setiap orang dimudahkan dengan apa yang telah diciptakan
untuknya.(HR. Muslim dari Jabir)
***
Sudah lama perbedaan pendapat masalah taqdir dibahas dan dicari penyelesaiannya oleh para
ulama, namun selalu saja mendapat jalan buntu dan belum dapat terselesaikan. Masalah taqdir
merupakan sesuatu yang esensil dalam Islam, karena salah satu dalam rukun iman itu adalah
meyakini taqdir Allah yang baik dan jelek. Dengan demikian para ulama tidak pernah berhenti
mengungkap rahasia-rahasia taqdir ini sesuai den-gan kemampuan mereka. Dr. Abdullah Nashih
Ulwan, seorang ulama terpandang di Universitas King Abdul Aziz Jeddah menulis sebuah buku
khusus tentang taqdir ini "Af'al Al-Insan bain Al-Jabr wa Al-Ikhtiar" yang diterjemahkan oleh
GIP menjadi "Jawaban Tuntas Masalah Taqdir. Benarkah dengan membaca buku ini masalah
taqdir jadi selesai? Jawab-nya, belum, namun setidaknya keberadaan buku ini menambah
khazanah pemikiran teologi Islam sekaligus membuka satu jalan keluar bagi penyelesaiannya.
Memang, ketika membicarakan masalah taqdir ini, kita harus lebih berhati-hati, karena sedikit
saja kita le-ngah, tidak mustahil kelalaian itu membawa kepada kemusyrikan. Pernah suatu
malam Rasulullah SAW datang ke rumah Ali, lalu beliau bertanya: "Apakah kamu sudah
shalat?" Ali menjawab: "Wahai Rasulullah, jiwa kami ada dalam genggaman Allah, apabila
Allah menghendaki, tentulah kami dibangunkan-Nya untuk shalat. Mendengar jawaban Ali,
Rasulullah SAW meninggalkannya tanpa ber-kata-kata. Sambil keluar Nabi memukul pahanya
sambil membacakan ayat: "Dan adalah manusia lebih banyak berdebatnya. Demikianlah sikap
Ra-sulullah SAW ketika mempermasalahkan taqdir, beliau lebih baik menghentikan
pembicaraan, karena bila diteruskan akan terjadi perde-batan yang tidak ada ujung pangkalnya.
Lalu, bagaimana sesungguhnya mengimani taqdir Allah tersebut? Apakah dengan tidak
membicarakannya dianggap telah beriman?
Ikhtiar adalah taqdir. Kalimat ini merupakan kesimpulan semen-tara dari pemahaman penulis
terhadap beberapa pendapat tentang taqdir ini. Mudah-mudahan dengan penjelasan alakadarnya,
maksud ungkapan ini dapat dipahami dan membuka pikiran sementara orang yang me-mandang
taqdir hanya berlaku dalam masalah bencana dan kejelekan saja. Syekh Muhammad Bin Shalih
Al-Utsamain dalam risalahnya "Nub-dzah fi Al-Aqidah Al-Islamiah" mengemukakan empat
pokok iman ter-hadap qadar/taqdir Allah SWT.
Pertama, meyakini bahwa Allah SWT mengetahui segala sesuatu se-kecil apapun, mengetahui
peristiwa lampau dan yang akan terjadi, apapun yang kita perbuat Dia Maha Melihat.
Kedua, mengimani bahwa Allah SWT telah menentukan segala se-suatu yang terjadi di Lauh
Al-mahfuzh. Firman Allah SWT: "Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah
mengetahui apa yang ada di langit dan di bumi? Bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam
kitab (lauh Al-mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah.
Dalam sebuah Hadits dijelaskan: "Allah telah menuliskan qadar setiap makhluk sebelum Dia
menciptakan langit dan bumi selama lima puluh ribu ta-hun.
Ketiga, mengimani bahwa segala sesuatu yang terjadi adalah atas ke-hendak Allah SWT, baik
perbuatan-Nya sendiri atau perbuatan makhluk-Nya. Firman Allah: "Dan tuhanmu menciptakan
apa saja yang Dia kehendaki dan memilihnya. Sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka. Maha
suci Allah dan Maha tinggi dari apa saja yang mereka sekutukan dengan Dia.
Keempat, mengimani bahwa Allah SWT menguasai seluruh kejadian dengan dzat-Nya, sifat-Nya
dan gerakan-Nya. Firman Allah: ... Dia telah menciptakan segala sesuatu dan Dia menetapkan
ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya. ,
Setelah mengetahui pokok-pokok iman pada taqdir ini yang pada dasarnya menyimpulkan bahwa
amal perbuatan manusia, baik dan bu-ruk, telah tertulis (bukan ditentukan) dalam kitab Lauh
Al-Mahfuzh di sisi Allah SWT. Masalahnya sekarang ialah apa gunanya amal manusia bila
semuanya telah dialas? sebagaimana pertanyaan Umar bin Khathab, serta bagaimana kaitannya
dengan kebebasan memilih (ikhtiar) di antara dua perbuatan. Sebagai contoh, seorang berada di
antara dua jalan, jalan pertama sangat berbahaya dan jalan kedua tidak berbahaya. Jika Allah te-
lah menentukan dia memilih jalan pertama, apakah ikhtiar masih ber-laku? Sebelum menerapkan
makna taqdir dan ikhtiar pada contoh di atas, harus dipahami dulu beberapa faktor yang
memperjelas masalah ini.
Pertama, Allah memang telah menulis qadar dan pilihan seseorang, tetapi manusia tidak
mengetahui putusan yang telah Allah tulis berdasar kemaha tahuan-Nya itu.
Kedua, Allah SWT memberikan penjelasan tentang perbuatan dan akibat-akibatnya melalui para
Rasul. Firman Allah: "Mereka Kami utus se-bagai Rasul pembawa berita gembira dan pemberi
peringatan agar tidak ada ala-san bagi manusia membantah Allah setelah diutusnya rasul-rasul
itu.
Ketiga, Secara syara', Allah SWT menyuruh manusia beramal baik dan memilih jalan yang
selamat sesuai dengan kemampuannya. Ia men-dapat pahala dari kebaikan yang diperbuatnya
dan ia mendapat siksa dari kejahatan yang dilakukannya.
Keempat, berdasarkan kenyataan yang terjadi, sesungguhnya manu-sia tidak menyadari bahwa
dirinya telah ditentukan untuk melakukan perbuatannya, karena mereka diberi akal untuk
menimbang dan memu-tuskan.
Keempat faktor ini mempermudah dalam memahami taqdir dan ik-htiar. Maka pada contoh di
atas bisa dijelaskan sebagai berikut: kepu-tusan yang ia ambil sebagai ikhtiar, sekaligus
taqdirnya. Dia memilih (ik-htiar) jalan pertama, itulah taqdirnya. Sehingga kalau kedua-duanya
adalah taqdir, maka tentu seharusnya memilih jalan yang selamat.
Dikisahkan dalam Al-Bukhari, suatu ketika Umar bin Khathab dan shahabat lainnya hendak ke
Syam. Di tengah perjalanan mereka bertemu dengan pasukan yang baru pulang dari Syam dan
mengabarkan bahwa di Syam sedang dilanda wabah penyakit thaun. Maka Umar memu-tuskan
untuk kembali ke Madinah. Tapi Abu Ubaidah menolak dengan mengatakan: "Tidakkah kita lari
dari taqdir Allah?" Umar menjawab: "Kita lari dari taqdir Allah ke taqdir Allah yang lain.
Bukankah jika kamu meng-gembalakan untamu dan melihat dua lembah yang satu subur dan
satu lagi ker-ing, kamu memilih yang subur. Karena masing-masing keputusan adalah taqdir.
Kisah lainnya, Umar akan menghukum seorang pencuri dengan po-tong tangan. Lalu pencuri itu
membela: "Aku mencuri karena taqdir Allah" kemudian Umar menghukumnya dengan
cambukan tiga puluh kali dan baru dipotong tangannya. Umar berkata: "Sesungguhnya kami
mencam-bukmu dan memotong tanganmu adalah taqdir Allah.
Demikianlah hakikat ikhtiar dan taqdir yang menjadi pendorong se-seorang berbuat dan memilih
keputusannya. Dengan memahami dan mengimani qadha dan qadar Allah, akan timbul beberapa
sikap sebagai buah dari keimananan, di antaranya,
Pertama, selalu optimis dalam beramal shalih dan berusaha memilih keputusan yang terbaik.
Kedua, ketika terjadi cobaan menimpa dirinya seperti musibah atau kesakitan, ia akan mencari
jalan keluar dan berlapang dada pada kepu-tusan akhir, karena ia telah berusaha sebaik-baiknya,
firman Allah: "Tiada suatu bencana pun yang menimpa di muka bumi dan pada dirimu sendiri
me-lainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Al-mahfuzh) sebelum Kami mencipta-kannya.
Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. Kami jelas-kan supaya kamu jangan
berduka cita terhadap apa yang diberikan kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang
yang sombong dan membanggakan diri.
Ketiga, menumbuhkan sikap shabar dan syukur dalam hati setiap mumin yang mengimani taqdir
ini. Sabda Rasulullah SAW: "Sungguh beruntung menjadi seorang mumin, karena setiap yang
menimpanya adalah ke-baikan. Jika menimpanya sesuatu yang menggembirakan ia akan
bersyukur dan jika menimpanya suatu yang menyedihkan ia akan bershabar. Inilah kebai-
kannya.
Renungkanlah doa Istikharah ini;
Ya Allah, sesungguhnya aku memohon Engkau pilihkan yang baik dengan pengetahuan-Mu,
dan aku mohon Engkau memberi kekuatan dengan kekuasaan-Mu, dan aku mohon kemurahan-
Mu yang Maha luas, karena sesungguhnya Engkau berkuasa, sedang aku tidak berkuasa, dan
Engkau Maha mengetahui, se-dang aku tidak mengetahui, dan Engkau Maha mengetahui perkara
ghaib. Ya Al-lah, kalau sudah memang Engkau ketahui, perkara ini baik bagiku, bagi agamaku
dan kehidupanku serta baik bagi hari penghabisanku, maka berikanlah dia kepadaku dan
mudahkanlah urusannya buatku dan curahkanlah berkah bagiku. Dan kalau sudah memang
Engkau ketahui, perkara ini tidak baik bagiku, bagi agamaku dan kehidupanku serta bagi hari
penghabisanku, maka jauhkanlah dia dariku dan jauhkan aku darinya, dan berikanlah kebaikan
kepadaku, dimanapun adanya serta jadikanlah aku orang yang ridla.
Wallahu a'lam bishshawab.

Renungan Iman Kepada Rasulullah SAW


Sesungguhnya telah ada bagimu pada diri Rasulullah teladan yang baik bagi orang yang
berharap berjumpa de-ngan Allah dan Hari Akhir dan banyak mengingat Allah.
(QS. 33:21)
***
RABIUL AWAL, baru saja kita masuki sebagai bulan ketiga tahun Hijriah. Bulan ini dikenal
juga sebagai bulan dawah yang setiap harinya dipenuhi dengan tablig-tablig menyambut dan
memperingati hari kelahi-ran seorang utusan penutup para Nabi ialah Muhammad Ibn Abdillah
yang kelak menjadi Rasulullah SAW yang ditunggu kelahirannya.
Sejak kelahirannya ke dunia ini, ia selalu menjadi bahan pujian setiap orang yang mengenalnya.
Terutama kakeknya Abdul Muthalib yang menanti kelahiran seorang anak lelaki yang akan
menjadi penerus-nya kelak sebagai pemelihara Kabah yang disucikan. Pada hari ketujuh
kelahirannya itu, Abdul Muthalib minta disembelihkan seekor unta, lalu mengundang
masyarakat Quraisy dan
mengumumkan pemberian nama cucunya dengan nama Muham-mad kemudian berkata:
Kuingatkan, dia akan menjadi orang yang terpuji bagi Tuhan di langit dan bagi makhluknya di
bumi. Keluhuran sifatnya sem-pat diabadikan dalam beberapa syair pujian seperti Barjanzi,
Qashi-dah Burdah serta berbagai bacaan Shalawat yang mengangkat nama-nya.
Rasulullah SAW dan para Rasul lainnya memiliki tugas mulia, dian-taranya;
Menyeru manusia menyembah hanya kepada Allah SWT semata.
Menyampaikan perintah dan larangan Allah kepada manusia.
Menunjukan dan membimbing manusia kepada jalan yang benar dan lurus .
Sebagai teladan dan contoh yang baik bagi manusia.
Memperingatkan manusia tentang kehidupan sesudah mati dan masalah ghaib yang akan
dihadapi setelah mati.
Menyeru manusia mengutamakan kehidupan akhirat yang abadi daripada kehidupan dunia yang
sementara.
Agar manusia tidak membuat alasan mengapa Allah menghisab mereka.
Demikian penjelasan Ash-Shabuni dalam Membela Nabi.
Pada bulan Rabiul Awal tercatat beberapa peristiwa bersejarah yang berkaitan dengan
kelangsungan hidup dan berkembangnya agama Islam di muka bumi ini. Tiga peristiwa penting
yang menentukan eksistensi Is-lam sebagai agama langit untuk seluruh manusia, yaitu:
Pertama: peristiwa lahirnya Muhammad sebagai calon Nabi dan Ra-sul, tepatnya tanggal 12
Rabiul Awal tahun Gajah (20 April 571 M). Peristiwa kelahirannya terjadi di tengah
bergolaknya masyarakat Jazirah Arab, ialah kisah penyerbuan pasukan gajah dibawah komando
Abrahah untuk menghancurkan Kabah yang saat itu menjadi pusat perhatian dunia.
Karena keistimewaan inilah Abrahah ingin menghancurkan dan mengambil alih kekuasaan
dengan membuat gereja Ayya Shafiya sebagai pengganti Kabah. Namun Allah SWT tidak
menghendaki dan kemudian kisah ini diabadikan dalam QS. Al-Fiil: 1-5. Kelahiran inilah yang
me-latarbelakangi adanya Mauludan, walaupun kadangkala pelaksanaannya tidak sejalan dengan
makna kelahiran Nabi SAW.
Memang, pada mulanya Mauludan ini diselenggarakan untuk men-ingkatkan semangat jihad
pasukan yang sudah mulai menurun yaitu dengan mengkaji ulang perjuangan Rasulullah SAW
semasa hidupnya yang penuh dengan cobaan. Namun kenyataan sekarang maulidan ber-makna
lain sehingga Syekh Abdul Aziz Ibn Abdillah Bin Baaz, ketua Or-ganisasi Riset Ilmiah dan
Majlis Fatwa Makah Al-Mukarramah meman-dang bidah yang haram dilaksanakan.
Terlepas dari Khilafiah di atas, yang penting bagi kita ialah memetik hikmah dibalik kelahiran
seorang Nabi yang amat kita junjung, yang memiliki sifat mulia lagi terpuji, agar kita merenungi
setiap perilaku serta akhlaqnya untuk dijadikan teladanhidup dan anutan bagi kita yang
mencintainya. Sungguh banyak perilaku Rasulullah SAW yang belum kita contoh.
Peristiwa Kedua, adalah hijrahnya Rasulullah SAW dari Makah ke Madinah yang pada waktu itu
dikenal dengan nama Yatsrib. Jika kita menghayati kisah perjalanan hijrah ini, maka hal ini
sungguh menggugah hati kita, betapa Rasulullah SAW dan para shahabat memiliki ketabahan
dan semangat jihad yang tangguh. Peristiwa hijrah ini menjadi momen-tum yang menentukan
bagi kelangsungan Islam di jazirah Arab. Karena, setelah tiga belas tahun beliau mendawahkan
Islam di Makah, para pembesar kaum Quraisy semakin menekan kaum muslimin yang lemah
dengan penyiksaan fisik yang tidak berperikemanusiaan, seperti terjadi pada keluarga Ammar
Ibn Yassir.
Kisah penyiksaannya diungkapkan Sabir Abduh Ibrahim; Pada pagi hari berikutnya datang pula
kepada kami Abu Hudzaifah (majikan Ammar). Ia mengikat kaki dan tangan kami hingga datang
waktu Dzu-hur. Dengan tanpa belas, dia seret kami ke tengah padang pasir yang panas sampai
kulit kami hangus terbakar... Kemudian datang Abu Jahal membawa tombak. Dengan tombak
terangkat ia mengancam agar kami meninggalkan Islam. Namun setelah lama ia menunggu,
diarahkannya tombak itu pada ibuku (Sumayyah), lalu ditusukkannya ke arah auratnya dengan
sekuat tenaga akhirnya iapun syahid...
Inilah salah satu alasan mengapa hijrah mesti dilaksanakan disamp-ing sebagai perintah Allah
SWT. Sulit dibayangkan, ketabahan para sha-habat melaksanakan hijrah ini. Walaupun jarak
antara Makah dan Madinah begitu jauh (lk. empat belas hari dengan berjalan kaki) dan keadaan
cuaca teramat gersang. Namun dengan dorongan iman dan ke-setiaan pada Rasulullah SAW
mereka rela meninggalkan harta dan segala kenangan di Makah Al-Mukarramah. Demikianlah
sikap generasi shaha-bat yang telah mencapai kenikmatan iman sebagaimana sabda Rasulullah
SAW: Tiga Perkara yang merupakan puncak nikmatnya iman yaitu; Pertama, orang yang
mencintai kepada Allah dan Rasul-Nya melebihi cintanya kepada orang lain. Kedua, orang yang
mencintai sesamanya karena Allah semata. Dan Ketiga, orang yang benci kembali kepada
kekafiran seperti merasa takut dilempar-kan ke dalam neraka..
Setelah Rasulullah SAW dan para shahabatnya me-ngalami per-jalanan yang cukup panjang,
mereka tiba di Madinah dengan sambutan hangat dari penduduk setempat. Maka dikenallah
golongan ummat Islam saat itu Muhajirin (mereka yang hijrah) dan golongan Anshar (mereka
yang menolong). Tepat pada hari Jumat tanggal 12 Rabiul Awwal tahun Pertama Hijriah (24
September 622 M), Rasulullah SAW sampai di Madinah dan mulai saat itulah Rasulullah SAW
membangun kekuatan Is-lam bersama para shahabatnya selama sepuluh tahun di Madinah.
Peristiwa Ketiga, berkenaan dengan wafatnya Rasulullah SAW te-patnya pada tanggal 12
Rabiul Awal 11 Hijriah (8 Juni 632 M). Peristiwa kewafatannya sungguh amat mengharukan
setelah beliau sakit selama 18 hari pada akhir Bulan Shafar. Kepergiannya memberikan
kenangan tersendiri bagi para shahabat, seperti yang dikisahkan oleh Ibnu Masud RA: Ketika
telah dekat hari kewafatannya, kami (para shahabat) berkumpul di rumah Aisyah RA, Rasulullah
SAW menoleh dan meman-dang wajah kami satu persatu, Kedua matanya berbinar menahan
tangis, kemudian beliau bersabda; Selamat datang, semoga Allah mencurahkan rahmat-Nya
bagi kalian semua, aku berwashiat kepadamu, bertawakkallah kepada-Nya, sungguh telah dekat
perpisahan ini. Hendaklah Ali RA memandi-kanku, Al-Fadlal Ibnu Abbas RA dan Utsman Bin
Zaid RA yang menuangkan airnya, dan kafanilah aku dengan kainku atau kain putih buatan
Yaman, jika te-lah selesai letakkanlah di rumahku di atas pinggir lubang kuburku, kemudian
bawalah keluar sebentar karena Allah SWT sendiri yang pertama kali memberi shalawat atasku
kemudian Jibril, Mikail, Israfil, Izrail dan para malaikat, barulah kamu shalatkan aku.
Setelah kami mendengar washiatnya, tak kuasa kami menahan tangis. Seorang shahabat berkata:
Ya Rasulallah, engkau Rasul kami, pem-bina dan pemimpin kami, apabila engkau mati, kepada
siapa lagi kami mengadu ? Maka Rasul-pun menjawab; Aku tinggalkan kamu di atas jalan
terang dan aku tinggalkan kamu penasehat yang berbicara dan yang diam. Penasehat yang
berbicara adalah Al-Quran dan yang diam adalah maut. Apabila kamu menghadapi persoalan
berat, maka kembalilah kepada Al-Quran dan Sunnah Na-bawiah, dan apabila hatimu gelisah,
maka tuntunlah dia dengan mengambil itibar dari peristiwa kematian !
Demikianlah tiga peristiwa besar bulan Rabiul Awal sebagai kenan-gan dan pelajaran bagi
ummat Islam dewasa ini dengan mamahami makna dan hikmah di balik peristiwa-peristiwa tadi.
Sudah saatnya kita memperingati ketiga peristiwa itu dalam arti yang sesungguhnya, yaitu
menjalankan nasehatnya yang agung dan selalu berpegang teguh kepada Al-Quran dan Sunnah
Nabawiah serta menjadikan teladan hidup baik dalam ibadah maupun dalam perilaku sehari-hari.

ALLAHUMMA SHALLI ALA MUHAMMAD WA ALA ALI MUHAMMAD KAMA


SHALLAITA ALA AALI IBRAHIM WA BAARIK ALA MUHAMMAD WA ALA ALI
MUHAMMAD KAMAA BARAKTA ALA AALI IBRAHIM, AMIEN.
(Ya Allah, curahkanlah rahmat atas Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Engkau
curahkan rahmat kepada keluarga Ibrahim, dan berikanlah berkah keselamatan kepada
Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Engkau berikan berkah keselamatan kepada
keluarga Ibrahim, Amien).
***
Maka hadapkanlah wajahmu (istiqamahlah) kepada agama Allah yang ha-nief. (Tetaplah atas)
fitrah Allah Yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah
Allah. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.
(QS. 30:30)
***
Muharram baru saja kita lewati. Tak terasa sudah sekian tahun abad XV Hijriah yang
dicanangkan sebagai abad kebangkitan Islam sudah kita lewati. Namun dalam kurun waktu yang
cukup panjang ini gaung ke-bangkitan masih belum terdengar, bahkan suaranyapun semakin
samar dijegal oleh hingar bingarnya era modernisasi yang hakikatnya adalah westernisasi
(pembaratan).
Akankah kebangkitan Islam terwujud? Dan sudah seberapa jauhkah langkah ummat Islam
menyikapi era kebangkitan ini ? Mengapa fenomena sekarang justeru sebaliknya, kaum
muslimin menjadi kelom-pok yang tertintas bahkan dijadikan khadim yang penurut dan menjadi
objek kebengisan kaum kapitalis ? Inilah sederet pertanyaan yang harus dijawab seluruh kaum
muslimin. Islam sebagai Ad-Dien Al-Kamil Al-Mutakammil sebenarnya memiliki konsep dan
sumber nilai yang men-dorong ummatnya untuk maju dan mengangkat ummatnya menjadi
khairu ummah (bangsa terhormat) mengungguli ummat lainnya.
Kondisi ini dimungkinkan karena Islam sebagai agama langit yang memiliki dasar ajaran wahyu
Ilahi yaitu Al-Quran dan Sunnah Na-bawiah. Dengan dua azas ini terbukti validnya Islam
menjadi agama dunia serta tercatat dalam sejarah gemilangnya Islam di balik pilar-pilar
kejayaannya, baik ketika Rasulullah SAW berkuasa dengan berdirinya negara Islam pertama
Madinah Al-Munawarah atau pada masa Khula-faurrasyidin yang penuh kedamaian. Demikian
juga pada abad perten-gahan, kejayaan Islam merambah ke seluruh pelosok negeri, bahkan Eropa
sekalipun.
Seddilot seorang orientalis pernah berkomentar; Hanya bangsa Arab pemikul panji-panji
peradaban abad pertengahan. Mereka melenyapkan Barba-risme Eropa yang digoncangkan oleh
serangan suku-suku Utara Bangsa Arab melanglang mendatangi sumber-sumber filsafat Yunani
yang abadi. Mereka tidak berhenti pada batas yang telah diperoleh berupa khazanah-khazanah
ilmu penge-tahuan, tetapi terus berusaha mengembangkannya dan membuka pintu-pintu baru
bagi pengkajian alam.
Bukti majunya peradaban Islam dalam berbagai bidang telah banyak diungkap oleh para
sejarawan, seperti dalam bidang filsafat dan ilmu ke-dokteran,pada abad ke-12 diterjemahkan
buku Al-Qanun karya Ibnu Sina (Avicenne) dan Al-Hawi karya Ar-Razi yang menjadi buku
pegangan pada perguruan tinggi Eropa abad ke-16. Fakta sejarah berupa bangunan dan sarana
lainnya seperti rumah sakit Adhudi di Baghdad yang diban-gun Daulah Bin Buwaihi pada tahun
317 H dengan 24 orang dokter dan peralatan yang cukup lengkap.
Dengan demikian konsep Al-Islamu Yalu Wa laa Yula Alaih (Islam itu tinggi dan tidak ada
yang menandingi ketinggiannya) merupakan konsep yang benar dan bisa
dipertanggungjawabkan setelah kita men-yaksikan pesatnya peradaban Islam pada masa
keemasan.
Untuk memahami kendala ummat Islam dalam menghadapi abad kebangkitan dewasa ini, maka
kita harus membuka kembali lembaran se-jarah masa silam sebagai kilas balik dalam mengambil
sikap dan langkah yang tepat. Peristiwa historis yang terpenting dalam kajian ini adalah peristiwa
penjajahan negeri-negeri Islam pada abad XIII Hijriah oleh bangsa asing non muslim yang
datang dari Barat. Keterbelakangan um-mat Islam di masa lalu sesungguhnya merupakan
konsekuensi logis dari kemerosotan kita di bidang keagamaan, moral dan pemikiran Islam. Se-
lama seratus tahun jatuhnya kerajaan Ottoman pada akhir Perang Dunia I, penghapusan khilafah
pada tahun 1924 dan deklarasi Mustafa Kemal At-Taturk yang menjadikan Turki sebagai negara
nasionalis sekuler, melengkapkan kemunduran ummat Islam yang telah dimulai sejak jatuhnya
Spanyol. Bukti sejarah inilah yang mendasari kesimpulan penu-lis bahwa problematika yang
melanda ummat Islam muncul dari dua fak-tor.
Pertama, faktor internal ummat Islam dan
Kedua, faktor eksternal.
Bila dikaji lebih jauh, ternyata faktor internal lebih dominan terjadi pada ummat Islam dewasa
ini disamping faktor eksternal yang meru-pakan akibat dari faktor sebelumnya.
A. Faktor Internal
Di antara sekian banyak sebab yang menimbulkan kemunduran ummat Islam adalah;
Pertama, jauhnya ummat Islam dari ajaran Islam yang bersumber pada Al-Quran dan Sunnah
Nabawiah yang lurus. Al-Quran tidak di-posisikan sebagaimana mestinya. Yaitu sebagai
petunjuk dan pedoman hidup bagi kebahagiaan dunia dan Akhirat. Pemahaman Al-Quran hanya
sebatas bacaannya saja dan tidak menjadi penggugah semangat dan dasar beramal apalagi
teraplikasi dalam seluruh aspek kehidupan ummat. Syekh Syakib Arselan dalam bukunya
Limadza Ta-akharal Muslimum Wa Taqaddama Ghairuhum (Mengapa Ummat Islam
Terbelakang dan Ummat Lain Maju) menjelaskan bahwa kemunduran ummat Islam disebabkan
mereka telah meninggalkan Al-Quran dan Sunnah. Sedangkan ummat lain maju justeru karena
me-ninggalkan ajarannya. Mengapa demikian ? Sebab ajaran Islam sangat luas dan dalam,
mengandung aspek pendu-kung kemajuan ummat manusia, sedangkan ajaran lain telah banyak
dirubah dan mengekang pemikiran penganutnya.
Disamping gejala di atas, ada sebab lain yang mendukung jauhnya ummat Islam dari Al-Quran
yaitu perlakuan mereka yang keliru terha-dap Al-Quran itu sendiri. Seperti;
(1) Mencampur-adukkan antara hak dan batil.
(2) Iman pada sebagian ayat dan mengingkari sebagian yang lain.
(3) Al-Quran hanya dijadikan benda pusaka atau keramat.
(4) Mempermainkan kandungannya dan dijadikan senda gurau.
Demikian juga terhadap Sunnah. Rasulullah SAW sebagai utusan Allah dengan membawa ajaran
yang terkandung dalam Sunnahnya tidak dijadikan teladan dalam perilaku dan kehidupan ummat
Islam. Perge-seran keteladanan ini lahir akibat misi Barat yang senantiasa dilancarkan ke tubuh
ummat Islam. Sehingga generasi Islam-pun malu untuk berbaju Sunnah Rasulullah SAW Inilah
masa yang mengutip istilah Muhammad Abduh, Al-Islam Mahjubun Bil Muslimin. (Islam
terhalang oleh ummat-nya sendiri).
Kedua, Perpecahan dalam tubuh ummat Islam sendiri sebagai akibat dari kurangnya rasa
tasamuh (toleransi) antar sesama muslim serta saling pengertian. Hal ini dilatarbelakangi oleh
minimnya pemahaman ummat terhadap Al-Quran dan Sunnah yang benar dan lurus,
sebagaimana fir-man Allah; Dan berpegang teguhlah kamu semua kepada tali (agama) Allah
dan janganlah kamu bercerai berai. Ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu
(masa Jahiliah) bermusuhan, maka Allah menjinakkan antara hati kamu, lalu jadilah kamu
karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara dan kamu telah berada di tepi jurang neraka.
Lalu Allah menyelamatkan kamu darinya. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu ayat-ayat-
Nya agar kamu mendapat petunjuk.
Tafarruq (perpecahan) ini bermula dari perbedaan konsep ibadah yang sebenarnya masalah
furuiah (bukan ushul/ aqidah) dan sifatnya ijtihadi (interpretasi). Tetapi kenyataannya menjadi
sumber perpecahan yang maha dahsyat. Kemudian terjadilah sikap saling curiga dan ber-
musuhan antar golongan/organisasi tanpa pandang bulu, sehingga uk-huwah Islamiah tak
kunjung terwujud bahkan semakin kronis menjalar di tubuh ummat Islam.
B. Faktor Eksternal
Adapun faktor eksternal, berupa faham dari luar yang menggerogoti aqidah ummat Islam sebagai
akibat dari lemahnya kondisi intern di atas seperti sekularisme, kristenisasi, westernisasi,
imperialisme, feodalisme atau kapitalisme serta faham lainnya yang menerapkan strategi
Ghazwul Fikri (Invasi Pemikiran) untuk mengacaukan dan meracuni pemikiran ummat dari
dalam sehingga terbentuk ummat Jahiliah Qarnul Isyrin (Ja-hiliah Abad XX), meminjam istilah
Muhammad Qutb.
Langkah-langkah yang dilakukan oleh musuh Islam sebagaimana yang ditulis Prof.
Abdurrahman Habankah dalam bukunya Ajihatul Maktris Tsalatsah Wa khawafiha. (Metode
Merusak Akhlaq dari Barat) antara lain;
Langkah Pertama, merusak ajaran Islam dari segi aqidah, ibadah, etika dan akhlaq di antaranya
dengan mengacaukan dan mencemarinya (tasywih).
Kedua, memecah belah kaum muslimin dengan sukuisme dan na-sionalisme sempit.
Ketiga, menjelek-jelekkan Islam dan ummatnya sekarang dan men-gaburkan sejarah tempo dulu.
Keempat, menyebarkan opini publik bahwa kemajuan itu hanya da-pat dicapai dengan
meninggalkan ajaran Islam.
Pada Konferensi Missionaris V, Zummer -seorang missionaris Kris-ten mengatakan; Kerja kita
hari ini tidak mengkristenkan ummat Islam, tetapi menjauhkan mereka dari Al-Quran dan
Sunnah. Jadikan mereka tidak bangga dengan Nabi Muhammad SAW dan jauhkan mereka dari
sejarah ummat Islam. Jadikan mereka malu mengakui keIslamannya, buatlah mereka jauh dari
ulama mereka.
Istiqamah; Menuju Perbaikan & Pembinaan
Setelah kita mengetahui berbagai kendala yang mengakibatkan merosotnya nilai ummat Islam,
ada satu langkah yang harus segera dila-kukan guna mengantisipasi dua faktor di atas, yaitu
sikap istiqamah se-bagaimana ditegaskan dalam firman Allah; Maka hadapkanlah wajahmu
(istiqamahlah) kepada agama Allah yang hanief. (Tetaplah atas) fitrah Allah yang telah
menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. Itulah agama
yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.
Syekh Abul Ala Al-Maududi menjelaskan secara rinci abstraksi dan aplikasi dari sikap
istiqamah tadi dalam bukunya Waqiul Muslimin Sabil An-Nuhudh Bihim (Kemerosotan
Ummat Islam dan Upaya Pembangkit-nya) antara lain;
Pertama, Pensucian alam pemikiran ummat Islam dan mempersiap-kan untuk menerima
pembinaan selanjutnya. Yaitu upaya menjelaskan kepada masyarakat bagaimana menerapkan
prinsip-prinsip Islam se-hingga ia dapat menjadi sistem yang selaras dengan peradaban, ke-
masyarakatan dan semua aspek kehidupan manusia
Kedua, Menghimpun orang-orang yang shalih dalam organisasi yang rapi. Kemudian
memberikan pendidikan yang secara teknis membantu penyebaran dawah sesuai dengan khittah
gerakan Islam.
Ketiga, Upaya perbaikan seluruh lapisan masyarakat yang mencakup perbaikan seluruh lapisan
sesuai dengan kondisi dan kebutuhan dalam aspek sosial ekonominya serta pendidikannya.
Keempat, Perbaikan pemerintahan, karena kehancuran yang ada di masyarakat sebagian besar
akibat tidak kokohnya sistem perundang-undangan pemerintah, kebijaksanaan dan sejenisnya
yang tidak mungkin diperbaiki hanya dengan khutbah dan pengajian belaka.
Islam seperti disinggung M. Natsir dalam Fiqhud Dawah-nya adalah agama dawah, Islam tidak
memusuhi, tidak menindas unsur-unsur fitrah manusia. Islam mengakui adanya hak jasad, nafsu,
akal, rasa dengan fungsinya masing-masing. Islam memanggil seluruh potensi manusia untuk
menjangkau al-kaun yang tidak tercapai oleh mereka sendiri, sehingga dengan Islam manusia
tidak lagi meraba-raba atau menerka mencari Tuhan dan keghaiban, seperti kisah lima orang buta
yang menerka bentuk gajah. Maka, tugas kita sebagai pengemban risalah Islam berkewajiban
melanjutkan dan menjaganya. Istilah M. Natsir, risalah merintis, dawah melanjutkan.
Dengan demikian lengkaplah konsep Islam sebagai agama yang menjanjikan kemenangan dan
kemajuan.
Masalahnya sekarang, mampukah ummat Islam menindaklanjuti se-luruh konsep tadi dengan
program yang nyata dan benar ? Insya Allah.
***

Sesungguhnya orang-orang mumin itu


bersaudara, maka baiklah antara saudaramu dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu
mendapat rahmat. (QS. Al-Hujurat:10)
***

MUKADIMAH
Ukhuwah Islamiah, sebuah istilah yang tidak asing lagi. Setiap fo-rum dan kegiatan selalu
menggunakan istilah ini untuk merangkul orang lain. Bisa jadi ukhuwah diselewengkan
maknanya untuk kepentingan-kepentingan pihak tertentu. Namun, pernahkah kita menganalisa
kem-bali, sejauh mana penggunaan istilah ini dalam kamus daulah Islamiah baik pada masa
Rasulullah SAW dan para shahabatnya atau masa kee-masan khilafah Islamiah, sehingga
maknanya menempati proporsi yang sesungguhnya, tidak kabur atau disalah artikan.
Dari kajian-kajian berdasarkan Al-Quran maupun as-Sunnah, kita akan memahami lebih
mendalam karakteristik dan asas (dasar-dasar) ukhuwah yang telah diterapkan serta dibina oleh
Rasulullah SAW, juga oleh simbol ukhuwah yang paling masyhur, yaitu shahabat Muhajirin dan
Anshar.
Allah SWT telah meneguhkan kedudukan Islam bagi generasi per-tama dari ummat ini, yaitu
generasi shahabat. Mereka berhasil dalam meyakini syariat Islam, melahirkan jiwa manusia
sesuai metode Islami, dan dalam membukhulkan Islam sebagai dasar persatuan mereka. Ke-
mudian mereka maju, beramal dengan landasan Islam untuk kepentingan Islam dengan
melancarkan gerakan secara berjamaah. Inilah jalan yang telah mereka tempuh untuk
mengantarkan kepada kedaulatan dan keteguhan posisi dienul Islam. Dan inilah jalan yang harus
kita tempuh kembali, jika pada suatu saat kita sadar dan hendak kembali kepada di-enul Islam.
Dengan demikian, penyadaran kembali menuju ukhuwah Islamiah hendaklah merujuk pada apa
yang telah dibuktikan oleh generasi salaf yang teguh dan komitmen akan Risalah Islam ini. Hal
ini sebenarnya te-lah menjadi janji Allah SWT bagi mereka yang memiliki sifat dan ciri generasi
terbaik sebagaimana yang difirmankan-Nya dalam QS. An-Nur: 55 yang dijadikan piagam
beramal dalam Islam: Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara
kamu dan mengerjakan amal shalih bahwa Dia bersungguh-sungguh akan menjadikan orang-
orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan mereka agama yang telah
diridlai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar keadaan mereka sesudah mereka
berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada
menyekutukan sesuatupun dengan-Ku. Dan barang siapa yang tetap kafir sesudah janji itu, maka
mereka itulah orang-orang yang fasik.
Dengan jelas ayat di atas merupakan bukti komitmen setiap muslim jika mereka benar-benar
dapat mewujudkan satu amal bersama yang di-landasi oleh ukhuwah Islamiah yang benar-benar
sempurna. Dr. Najib Ibrahim dalam bukunya Mitsaq amal Al-Islami mengatakan ayat terse-
but sebagai ayat piagam beramal dalam Islam. Untuk itu penting bagi setiap Muslim agar
memahami serta melaksanakan dengan benar amal Islamnya yang dilandasi ukhuwah Islamiah,
sebagaimana diperintahkan oleh Rasulullah SAW. Allah ridla pada kalian tiga hal dan benci
tiga hal, Dia ridla kamu menyembahnya, tidak menyekutukannya, serta tidak berpecah belah.
Dan benci akan tiga hal, bersandar kata orang atau katanya, banyak bertanya dan menyia-
nyiakan harta.
Demikianlah yang dimaksud beramal yang dilandasi ukhuwah se-bagaimana yang pernah
dilaksanakan oleh para Shahabat dan para Ulama pada masa pertama Islam.

Dasar-dasar Ukhuwah Islamiah


Membina sikap ukhuwah di kalangan kaum muslimin memang ti-dak mudah apalagi
merealisasikan seluruh aspek yang menjadi landasan ukhuwah tersebut. Namun, tidak berarti
terwujudnya ukhuwah meru-pakan suatu yang mustahil, karena telah terbukti pada masa
Rasulullah SAW sebuah ukhuwah yang harmonis dan ideal.
Merujuk pada ayat Al-Quran serta Hadits Rasulullah SAW dan juga atas para Shahabat
salafussalih, ada lima hal yang menjadi dasar-dasar ukhuwah Islamiah, antara lain:
1. Iman, tauhid dan berpegang teguh pada Al-Quran dan Sunnah
Landasan pertama dan utama dalam ukhuwah Islamiah ialah; keimanan yang terpatri kuat pada
setiap pribadi muslim dan aqidah yang lurus terhadap Allah SWT, serta menjadikan Rasulullah
SAW seba-gai teladan yang baik. Tauhid adalah pendorong yang menggerakkan setiap muslim
menuju tujuan yang lurus dan menjadi pemandu arah, jangan sampai menyimpang apalagi
berbalik arah. Apabila aqidah itu te-lah timpang ataupun lemah di hati, maka daya dorongnya
pun lenyap sehingga seorang Muslim tidak akan mampu meraih tujuannya bahkan menjadi sesat
dan menyesatkan. Pada kondisi ini, kadang kala ia mengingat Allah dan kadang berpaling jauh.
Kalau imannya masih ada maka ia akan kembali kepada Allah, tapi jika hilang, maka syetanlah
yang akan menariknya jauh dari kebenaran. Allah SWT berfirman Se-sungguhnya orang-orang
yang beriman dan mengerjakan amal shalih, mereka itulah sebaik-baiknya makhluk.
Aqidah adalah suatu keyakinan yang meresap di hati, kemudian memantul dalam bentuk amal
perbuatan. Aqidah yang benar akan mela-hirkan bekas yang tampak, dan inilah bukti kebenaran
pengakuan iman. Ukuran kebenaran iman serta aqidah ini adalah Al-Quran dan Hadits,
sebagaimana firman-Nya: Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan
janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Al-lah kepada kamu ketika dulu
bermusuhan maka Allah mempersatukan hatimu. Dan dengan nikmat-Nya, jadilah kamu
bersaudara.
2. Cinta kepada Allah, Rasul-Nya dan sesama Muslim.
Landasan ukhuwah yang tidak kalah pentingnya ialah cinta kasih yang tumbuh dari kesadaran
serta tanggung jawab. Cinta kepada Allah dan Rasul-Nya ialah dengan selalu memperhatikan
setiap kehendak-Nya, karena cinta yang sejati menuntut pengorbanan yang tidak ringan. Fir-man
Allah: Hai orang-orang yang beriman, jika kamu ada yang murtad, Allah akan mendatangkan
satu kaum yang Dia cintai dan mereka mencintai-Nya, le-mah lembut kepada sesama muslim
serta keras kepada orang-orang kafir, berjihad di jalan Allah, tidak takut celaan. Itulah karunia
Allah kepada yang Dia kehen-daki.
Di antara bukti kecintaan itu adalah sikap saling percaya dan loyali-tas yang kuat kepadanya.
Jika benih-benih cinta kepada Allah, Rasul-Nya serta sesama muslim benar-benar terhujam kuat,
maka janji Allah, akan terwujud ukhuwah yang melahirkan kemenangan. Firman Allah: Barang
siapa menjadikan Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi pe-nolongnya, maka
sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang.
Belas kasih terhadap sesama muslim merupakan pokok utama dalam terwujudnya ukhuwah,
Rasulullah SAW bersabda: Perumpamaan kaum mumin dalam cinta dan rahmat serta kasih
sayang, bagaikan satu badan. Jika satu anggota sakit, maka seluruh badan merasa sakit.
3. Nasehat, dawah dan amar maruf nahi munkar.
Suasana kebersamaan kadang kala mendapat tangtangan bahkan menyimpang. Karenanya
pembinaan dari dalam mutlak dilakukan guna mengantisipasi benturan tadi. Untuk itulah
ukhuwah Islamiah dapat terwujud, jika di dalamnya terdapat landasan ketiga yaitu nasehat me-
nasehati, dawah serta saling mengingatkan dengan amar maruf nahi munkar hal ini berdasarkan
firman Allah; Orang-orang mumin dan muminat adalah penolong satu sama lainnya,
menganjurkan berbuat baik dan mencegah kemunkaran, mendirikan Shalat, berzakat dan taat
kepada Allah serta Rasul-Nya. Merekalah yang akan mendapatkan rahmat dari Allah.
Rasulullah memberikan perumpamaan, sabdanya; Perumpamaan orang yang teguh menjalankan
hukum Allah dan orang-orang yang terjerumus di dalamnya, bagaikan satu kaum yang berbagi
tempat dalam perahu, sebagian di atas dan yang lain di bawah. Sedangkan bagian bawah jika
memerlukan air harus naik, dan mengganggu yang di atas. Maka mereka berkata: lebih baik
kami me-lubangi bagian kami ini, supaya tidak mengganggu orang di atas. Maka jika di-biarkan
oleh orang di atas, pastilah binasa semua isi perahu itu, tapi jika mereka mencegahnya maka
selamatlah seluruh isi perahu itu.
4. Amal jamai dan taawun (bergotong royong).
Landasan keempat ini ada kaitannya dengan dasar ketiga, yang dari sikap saling menasehati ini
lahirlah ikrar kebersamaan dalam suka mau-pun duka. Hidup berjamaah dengan satu tujuan
yaitu beribadah kepada Allah SWT merupakan asas ukhuwah yang pokok.
Ibnu Taimiyah pernah berkata: Allah dan Rasul-Nya memerintahkan kita agar berjamaah serta
bersatu, dan melarang kita berpecah serta berselisih. Juga memerintah kita agar bergotong
royong dalam kebaikan dan ketaqwaan serta melarang bergotong royong dalam dosa dan
permusuhan. Firman Allah: Dan tolong menolonglah kamu dalam mengerjakan kebaikan dan
taqwa, dan jan-ganlah tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.
Sumber kekuatan pertama bagi ummat adalah persatuan, sedangkan persatuan tak mungkin
terwujud tanpa cinta. Tingkatan cinta yang paling rendah adalah berlapang dada, bersih hatinya
dari iri dan dengki, se-dangkan tingkatan cinta yang paling tinggi adalah itsar, yaitu selalu
mendahulukan kepentingan orang lain daripada kepentingan dirinya sendiri.
Keempat asas di atas saling terkait satu sama lainnya dan harus ter-padu dalam pribadi muslim
dengan sempurna agar lahir ukhuwah Isla-miah dalam arti sesungguhnya. Karena mewujudkan
ukhuwah Islamiah adalah kewajiban setiap muslim, dan jika tidak dilaksanakan, Allah SWT
sangat mengecamnya. Rasulullah SAW menegaskan: Hendaklah kamu me-luruskan barisanmu,
atau nanti Allah merubah bentuk-bentuk wajahmu.
Dia-lah yang memperkuatmu dengan pertolongan-Nya dan dengan para mumin, dan Yang
telah mempersatukan hati orang-orang yang beriman. Walaupun kamu membelanjakan semua
kekayaan yang ada di muka bumi, nis-caya kamu tak akan bisa mempersatukan hati mereka.
Akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka. Sesungguhnya Dia Maha Perkasa lagi
Maha Bijak-sana.
***

Hai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan Taatilah Rasul-Nya dan Ulil Amri di antara
kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada
Allah (Al-Quran) dan Rasul (Sun-nah), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan Hari
Akhir. Yang demikian itu lebih utama dan lebih baik akibatnya. (QS. 4:59)
***
Banyak di antara kita -kaum muslimin, jika mendengar kata bidah langsung tutup kuping.
Ada juga orang yang phobi terhadap istilah yang satu ini walaupun mereka terkenal seorang dai
atau ulama, sehingga ketika melihat perbuatan yang sudah jelas menyalahi ketentuan syariat
Islam, mereka tidak berani menegur atau memperingatkan bahwa hal itu termasuk bidah yang
dilarang. Inilah sedikit illustrasi bahwa opini masyarakat terhadap kata bidah cukup negatif,
bahkan dianggap se-bagai penghalang terwujudnya ukhuwah Islamiah yang sekarang men-jadi
tema sentral era kebangkitan Islam.
Apa sebenarnya istilah yang menyeramkan ini ? Patutkah kita menghapusnya dalam kamus
dawah, sehingga dengan demikian ukhu-wah Islamiah dalam konteks lain tetap utuh dan
berjalan mulus ?
Beberapa ulama kita ada yang memandang bahwa memvonis suatu masalah agama dengan
ungkapan bidah termasuk menyalahi metoda dawah yang seharusnya dengan lemah lembut
atau dengan hikmah dan mauidzah hasanah. Benarkah demikian ?
Uraian dalam tulisan ini dimaksudkan untuk mengungkap apa dan bagaimana pengertian bidah
yang sesungguhnya serta meluruskan per-sepsi yang keliru tentang penerapan kata bidah
dalam masalah agama ini, sehingga diharapkan kita mengerti dan dapat mengambil sikap ketika
berhadapan dengan istilah ini.
Bidah dan Jenisnya
Biasanya orang merasa takut akan sesuatu padahal belum mengenal lebih dekat hakikat yang
sesungguhnya. Demikian halnya dengan istilah bidah yang kita bicarakan sekarang, kebanyakan
kaum muslimin masih merasa keberatan ketika seorang menegurnya dengan ungkapan bidah
dan harus ditinggalkan. Sementara ada juga yang berpandangan, tidak relevan lagi ungkapan
bidah di kalangan ummat Islam sekarang, orang lain sudah ke bulan, kita hanya berkutat dalam
masalah bidah melulu. Padahal, bila kita memperhatikan kehidupan Rasulullah SAW dan para
shahabatnya, mereka sangat mewanti-wanti akan perbuatan bidah yang dapat menyeret kita
pada jurang kebinasaan, naudzubillah.
Abdullah Ibnu Umar RA pernah berkata; Setiap bidah adalah sesat walaupun dianggap baik
oleh manusia. Ibnu Abbas juga pernah berkata ketika menafsirkan ayat; Artinya; Pada hari itu
ada golongan yang wajah-nya putih bersih dan golongan yang hitam legam. Golongan yang
putih wajahnya ialah AhlusSunnah. Sedangkan yang hitam wajahnya ialah para pelaku bidah.
Diperkuat pula oleh beberapa ulama salaf seperti Hudzaifah, Umar Ibn Abdul Aziz dan ulama
madzhab lainnya yang tidak bosan-bosannya mengingatkan kita akan penyakit bidah yang terus
menggerogoti aqidah ummat Islam. Misalnya ucapan Imam Malik Bin Anas Barangsiapa mem-
buat satu bidah dalam Islam dan dia menganggap baik, maka dia telah menuduh Muhammad
SAW mengkhianati risalah. Karena Allah SWT telah berfirman; Pada hari ini telah Aku
sempurnakan bagi kamu agama. Maka segala se-suatu yang pada masa sebelumnya tidak
termasuk agama, demikian pula sekarang, tetap tidak termasuk dalam agama.
Berdasarkan beberapa hadits yang mengisya-ratkan bahaya bidah, para ulama begitu besar
perhatiannya untuk mengungkap apa itu bidah, jenis dan upaya penanggulangannya. Diantara
kitab yang khusus menyo-roti bidah ialah;
1. Al-Itisham karya Al-Imam Abi Ishaq Ibrahim Bin Musa Ibnu Muham-mad Al-Lakhmini Asy-
Syathibi Al-Gharnaty Al-Maliki (...-790 H.)
2. Al-Bidah Wal Hawadits karya Abi Bakar Muhammad Bin Al-Walid Bin Muhammad Al-
Fahry Al-Maliki At-Tharthusyi (451-560 H.)
3. Al-Baits Ala Inkaril Bida Wal Hawadits karya Syekh Abi Muhammad Abdirrahman Bin
Ismail, yang terkenal dengan Abi Syamah (590-665 H.)
4. Al-Luma Fi Al-Hawadits Wal Bida karya Idris Bin Baidikin Bin Abdul-lah At-Turkumany
Al-Hanafi.
5. Iqtidla As-Shirat Al-Mustaqim Mukhalafah Ashabil Jahim karya Syekhul Islam Ibnu
Taimiyah (661-728 H.)
6. As-Shira Bainal Islam Wal Watsaniyah karya Abdullah Ali Al-Qushaimy.
7. Talbisu Iblis karya Imam Jamaluddin Abil Faraj Abdilrrahman Ibnul Jauzy Al-Baghdady (...-
597 H.)
8. As-Sunan Wal-Mubtadaat karya Muhammad Abdussalam Khadlar As-Syaqiry.
9. Al-Ibda Fi Mudlail Ibtida karya Syekh Ali Mahfuzh.
10. Al-Bidah, Tahdiduha Wa Mauqiful Islam Minha karya Dr. Izzat Ali Id Athiyah.
11. Itqanus Shunah Fi Tahqiq Manal Bidah karya Imam Abil Fadlal Ab-dullah Bin As-Shiddiq
Al-Ghimary Al-Musny.
Masih banyak lagi kitab lainnya baik dari salaf maupun ulama kon-temporer abad ini. Imam Al-
Ghazali pun tidak ketinggalan membahas masalah bidah dalam Ihya-nya dan juga dalam
Iljamul Awam Anil Kalam. Kemudian Shubhi Labib mengadakan studi komparatif tentang
teori Al-Ghazali dalam masalah bidah.
Selama kita berpegang kepada Sunnah Rasulullah SAW pasti di sana kita akan menemui bidah-
bidah yang selalu bermunculan.
Bidah secara terminologi mempunyai makna Al-Hadits yang berarti baru atau sesuatu yang
diadakan padahal sebelumnya tidak pernah ada. Pengertian ini merujuk kepada beberapa ayat Al-
Quran seperti pada QS. 57:27
Dan mereka mengadakan-adakan (bidah) rahbaniah (tidak menikah) pada-hal Kami tidak
menetapkan ketentuan tersebut atas mereka.
Sedangkan menurut istilah syara secara definitif ialah; Perbuatan yang menyalahi Sunnah,
dinamakan bidah apabila seseorang mela-kukan perbuatan (baik ucapan atau amaliah badani)
menyalahi apa yang telah ditetapkan sebelumnya. Lebih tegas lagi, bidah berarti penyimpangan
baru yang tidak ada pada masa shahabat atau tabiin, serta tidak ada dalil syari (dari Al-Quran
atau Sunnah) yang menunjukkan keberadaannya.
At-Tharthusyi mendefinisikan; Setiap perkara yang diada-adakan dalam masalah aqidah
maupun adat dan ajaran sehari-hari yang tidak ada penyandaran hukumnya sama sekali dari
sunnah Nabi SAW baik bersifat amal hati, lisan maupun anggota badan dengan maksud ibadah.
Menurutnya, bidah sama dengan al-muhda-tsah, walaupun Imam Asy-Syafii membedakan
keduanya.
Adapun mengenai jenis bidah terbagi menjadi dua bagian.
Pertama, Bidah dunyawiah yaitu setiap sesuatu yang baru dan kai-tannya dengan masalah
keduniaan. Bidah ini dipandang hasanah (baik) selama membawa kemaslahatan bagi ummat
Islam khususnya dan selu-ruh manusia.
Kedua, Bidah diniah, definisi ini sesuai dengan pengertian bidah menurut istilah syara yaitu
setiap sesuatu yang dibuat-buat menjadi aturan agama (dien) baik ucapan, amaliah ataupun
aqidah yang sesat (batil) setelah Allah SWT menyempurnakan agama tersebut lewat lisan Rasul-
Nya dan bidah ini terjadi setelah Rasulullah SAW.
Dalam hal ini, Al-Fallaty menegaskan bahwa bidah yang dikecam dalam Hadits-Hadits Nabi
SAW dan perkataan ulama ialah bidah fil-ibadah yang kemudian dia membagi bidah diniah ini
menjadi
(1) Bidah Kufriah yaitu perbuatan bidah yang menjerumuskan para pelakunya ke dalam
kekufuran, seperti faham tharekat Tijaniah dengan aqidah yang bertolak belakang dengan Al-
Quran dan Sunnah.
(2) Bidah Dhalaliah yaitu perilaku bidah yang tidak sampai menje-rumuskan kepada kekufuran,
namun termasuk sesat dan diancam api neraka, sebagaimana sabda Rasulullah SAW; Aku
mewasiatkan kepada kalian agar taqwa kepada Allah dan mendengar serta taat walaupun kepada
seo-rang Habsyi. Nanti kalian akan menghadapi masa dimana semakin banyak ikhti-laf
(perbedaan), maka kewajibanmu berpegang pada Sunnahku dan Sunnah Khu-lafa al Rasyidin Al-
mahdiyyin, genggamlah dengan sekuat-kuatnya. Hati-hatilah terhadap perkara yang diada-
adakan. sesungguhnya setiap perkara yang diada-adakan adalah bidah dan setiap bidah adalah
sesat.
Demikian banyak Hadits-Hadits Nabi SAW, yang mengisyaratkan akan bahayanya bidah yang
mungkin saja terjadi bila ummat Islam len-gah. Syekh Muhammad Abdus Salam Khadhar dalam
As-Sunnah Wal Mubtadaat menambahkan pembagian bidah diniah ini disertai contoh
masing-masing antara lain ;
(1) Al-Bidah Al-Mukaffarah,
Yaitu Bidah yang menjadikan pelakunya kafir seperti berdoa kepada selain Allah, meminta
pertolongan kepada Nabi, orang-orang shalih yang telah mati, dll.
(2) Al-Bidah Al-Muharramah,
Yaitu Bidah jelas perbuatan tersebut melanggar syariat Islam seperti bertawassul kepada yang
mati, memuja kuburan, dll. Ibnu Hajar Al-Haitsami menjelaskan secara rinci penyimpangan-
penyimpangan tersebut dalam kitab Al-Zawair Minal Kabair dan mengistilahkannya bidah
dhalalah.
(3) Al-Bidah Al-Makruhah Tahriman,
Yaitu perbuatan bidah tetapi dalil yang mela-rangnya adalah dalil dzanni, bukan dalil qathi,
seperti shalat dzuhur setelah shalat Jumat, membaca Al-Quran dengan upah, membaca doa
tertentu pada malam nishfu Syaban, dll
(4) Al-Bidah Al-Makruhah Tanzihan,
Yaitu bidah yang larangannya tidak tegas namun lebih baik diting-galkan karena dapat
membawanya kepada bidah yang lebih sesat, seperti ketentuan bersalaman setiap akhir shalat,
membaca doa di akhir tahun, dll.
Setiap pembagian ini merujuk pada kesimpulan bahwa bidah diniah semuanya dhalalah.
Kemudian Imam asy-Syafii mengemukakan tentang adanya bidah Mahmudah (Bidah yang
baik) dan bidah madzmumah (bidah yang jelek), berdasarkan ungkapan Umar Bin Khatab
tentang hu-kum shalat tarawih berjamaah. Pengertian kedua bagian ini adalah bila perbuatan itu
sesuai dengan Sunnah maka disebut bidah Mahmudah. Tetapi bila menyalahi Sunnah
dinamakan bidah Madzmumah, jadi tidak bertentangan dengan pengertian sebelumnya.
Ada juga sebagian kaum Muslimin beranggapan bahwa selama per-buatan itu dipandang baik
(oleh dirinya) maka sah-sah saja walaupun tanpa dalil. Inilah salah satu pamahaman yang harus
diluruskan, karena yang namanya amal shalih itu disamping baik menurut kita juga harus sesuai
dengan ajaran Allah (Al-Quran) dan Rasul-Nya (Sunnah Na-bawiah). Hal ini disinyalir Allah
dalam firman-Nya: Katakanlah, akan Kami beritahukan orang-orang yang paling merugi
perbuatannya. Yaitu mereka yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini,
sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.
Ayat ini mengingatkan kita bahwa dalam beramal shalih harus hati-hati dan tidak gegabah
ataupun telah merasa berbuat baik. Lebih jelas lagi Hadits yang diriwayatkan dari Anas Bin
Malik menceritakan tentang tiga orang shahabat yang mengunjungi rumah isteri Rasulullah
SAW un-tuk menanyakan perilaku ibadah Rasulullah SAW. Setelah mendengar penjelasan itu,
mereka merasa jauh dari ibadahnya Rasulullah SAW padahal Beliau telah dijamin Allah SWT
dengan ampunan-Nya. Maka salah seorang berkata: Aku akan bangun tiap malam dan shalat
malam sela-manya. Yang lain berkata: Aku akan berpuasa satu tahun tanpa berbuka. Dan
yang seorang lagi berkata: Aku akan menjauhi wanita dan tidak akan menikah selamanya.
Kemudian datanglah Rasulullah SAW dan bersabda: Kaliankah yang mengatakan begitu?
Wallahi, sesungguhnya aku paling takut dan paling taqwa kepada Allah, aku berpuasa tapi juga
berbuka, aku shalat dan juga tidur, serta aku beristeri dan menikah, maka barang siapa yang
membenci Sunnahku sungguh dia bukan dari golonganku. Dari Hadits ini bisa difa-hami bahwa
ibadah dan amal shalih tidak bisa sekehendak hati dan perasaan, karena banyak juga perbuatan
yang tidak sejalan dengan ke-hendak hati tetapi termasuk amal shalih. Maka dalam hal ini
keimanan kita harus mantap agar perbuatan kita tidak sia-sia.
Hal ini terjadi karena beberapa faktor;
Pertama, ingin lebih (baik) dalam melaksanakan Ibadah dan kedua, Ingin merasa ringan dalam
ibadah. Kedua faktor ini diakibatkan oleh ket-idak tahuan terhadap Al-Quran, As-Sunnah dan
dalil syara serta ilmu pendukungnya, disamping karena taqlid buta dan mengikuti hawa nafsu.
Ihya as-Sunnah dan Kewajiban Dai
Adalah menjadi tugas setiap muslim untuk menyerahkan jiwa raganya fisabilillah dalam rangka
menegakkan kalimatullah setinggi-tingginya, dan inilah yang membuat ummat Islam unggul di
atas ummat lainnya sehingga mereka berhak mendapat julukan ummatan wasathan, khairul
ummat atau ummat yang terbaik.
Maka dalam rangka Amar Maruf Nahi Munkar inilah, selayaknya setiap muslim menyadari
untuk menjalankan kewajibannya ini sesuai dengan kemampuannya serta mengetahui sikap yang
harus diambil ketika menghadapi rintangan dawah dan penyakit-penyakit ummat setiap saat.
Bidah merupakan penyakit ummat yang paling kronis mewabah ummat pada setiap masa.
Adapun sebagai upaya menangkal-nya ialah dengan gerakan Ihya as-Sunnah sebagai lawan
bidah dan me-rupakan metode Rasulullah SAW serta para Salaf as-Shalih baik shahabat
maupun para ulama. Ihya as-Sunnah berarti menghidupkan kembali Sun-nah, maksudnya
menjalankan setiap tapak lacak kehidupan Rasulullah SAW dalam seluruh perilaku setiap
muslim. Dengan demikian pintu bidah akan tertutup dan tidak mendapat kesempatan
mengganggu ke-hidupan ibadah ummat Islam. Namun, bukan berarti perbuatan bidah tersebut
hilang sama sekali, karena selama syetan menghembuskan bisi-kannya, maka bidah akan terus
hidup dan mengintai kehidupan Sunnah. Sabda Rasulullah SAW:
Sesungguhnya syetan telah putus asa mengajak kalian rela menyembah-nya, tetapi dia akan
terus menyesatkan kalian dengan jalan lain, yaitu merusak amal-amal kalian. Maka berhati-
hatilah, aku tinggalkan bagi kalian apa yang ti-dak akan menyesatkan jika kalian pegang teguh
selamanya yaitu Kitabullah (Al-Quran) dan Sunnah Nabi-Nya.
Beberapa ayat Al-Quran menegaskan tentang kewajiban men-ghidupkan dan mengikuti Sunnah
Rasulullah SAW sebagaimana firman Allah:
Katakanlah jika kamu benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan
mengampuni dosa-dosamu, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Ayat ini menjelaskan posisi ummat Islam sebagai pengemban dawah sekaligus sebagai
penyebar kebaikan dan pemberantas ke-munkaran termasuk bidah yang menyesatkan. Ihya as-
Sunnah sudah se-layaknya menjadi acuan utama dalam berdawah disamping juga mem-
peringatkan mereka yang telah terjerumus dalam perbuatan bidah untuk membuang jauh-jauh
perbuatan sesatnya. Memang berat tugas para dai tersebut, tidak sedikit mereka menghadapi
orang-orang yang enggan mendengar Sunnah bahkan menuduhnya aliran sesat. Rasulullah SAW
menegaskan dalam sabdanya:
Sesungguhnya Islam pada awalnya dipandang asing dan akan kembali di-pandang asing, maka
berbahagialah orang-orang yang dianggap asing. Ketika ditanyakan siapa yang dianggap asing
tersebut Rasulullah SAW menjawab: yaitu mereka yang berbuat baik pada saat manusia berbuat
kerusakan dan yang menghidupkan Sunnah-ku dari manusia yang maninggalkannya. .
As-Sayyid Muhammad Aqil Bin Ali Al-Mahdi menjabarkan Ihya-usSunnah dengan beberapa
kiat;
1. Menyebarluaskan Sunnah dan pemahamannya secara menyeluruh.
2. Mengaplikasikan Sunnah dalam kehidupan pribadi dan masyarakat baik dengan pendidikan
maupun pembinaan secara terpadu.
3. Mengantisipasi faktor-faktor penyebab bidah, diantaranya dengan:
Menyeleksi hasil ijtihad serta tidak boleh berijtihad kecuali orang yang ahli dalam bidangnya.
Memberantas benih-benih bidah dan memberi kesadaran untuk kembali kepada al-Quran dan
As-Sunnah.
Menghilangkan sifat fanatik terhadap satu pendapat maupun hasil ijti-had tanpa dalil yang jelas
dan benar.
Mewaspadai pemikiran yang menyimpang dari As-Sunnah serta mem-beri peringatan keras
terhadap pelakunya.
Mencegah orang awam menyatakan pendapat dalam agama apalagi ma-salah yang mereka
belum kuasai.
Mencegah adat dan pemikiran yang menyesatkan baik aqidah maupun akal.
Memperhatikan penjelasan di atas, maka sesungguhnya tidak ada is-tilah pemberantasan bidah
kini tidak relevan lagi dijadikan program dawah, karena itulah yang menjadi kewajiban para
dai disamping menggencarkan penyebaran Sunnah yang bersumber dari Al-Quran dan Hadits
Shahih serta menghindari bidah sekecil apapun.
Kemudian jika kita menghadapi masalah yang meragukan, apakah perbuatan tersebut bidah atau
bukan, maka kembalikan kepada asalnya, adakah Sunnah Rasulullah SAW yang
menganjurkannya serta merujuk pada sebuah kaidah ushul:
Meninggalkan suatu perbuatan yang masih kita ragukan Sunnahnya, le-bih baik daripada
melakukan perbuatan yang kita takutkan bidahnya.
Ibnu Abbas berkata; Pandangan kepada orang dari AhlisSunnah yang mengajak kepada Sunnah
dan mencegah dari bidah adalah ibadah.
Wallahu Alam Bi Ash-Shawab.
***

"Dan katakanlah, bekerjalah! Maka Allah, Rasul-Nya dan orang-orang Mu'min akan melihat
amal kamu dan kamu akan dikembalikan ke alam ghaib dan alam syahadah. Kemudian Allah
akan memberitahukan tentang apa yang telah kalian kerjakan"(QS. At-Taubah: 105)
***
Sejalan dengan munculnya kesadaran kaum muslimin akan pentingnya kebangkitan Islam
dewasa ini, maka upaya ke arah peman-tapan dawah dan strateginya mutlak diperlukan.
Kesadaran inilah yang dapat menyingkap tabir tipu daya dan konspirasi musuh Islam dan antek-
anteknya. Dampaknya semakin nyata de-gan munculnya yel-yel dan gema pembebasan kaum
muslimin dari berbagai pengaruh penjaja-han. Di mana-mana terdengar seruan untuk berjuang
dan berjihad. Demikian pula seruan untuk menegakkan daulah Islamiah dan mengem-balikan
khilafah Islamiah yang dapat merebut kembali setiap tanah kaum muslimin yang dirampas,
terutama bumi Palestina dan Masjidil Aqsha serta menyelesaikan problema ummat Islam Bosnia
Herzegovina. Sebab, dengan tegaknya khilafah Islamiah, nyawa, kehormatan dan tanah serta
harta kaum muslimin dapat terlindungi. Bahkan dengan daulah Islamiah, kaum muslimin dapat
menumbuhkan kembali tanah-tanah baru di bumi Allah dengan menyebarkan Islam sebagai
agama perdamaian. Semua ini merupakan indikasi bahwa perubahan yang terjadi tengah berjalan
menuju perbaikan sejak beberapa puluh tahun terakhir ini. Perubahan ini tentu akibat pengaruh
kegiatan harakah dawah Islamiah yang baik dan profesional, tidak asal-asalan. Bagaimanakah
format harakah dawah Islamiah yang sukses dan benar ?
FIQIH DA'WAH
Kebutuhan kita yang paling mendesak sekarang adalah menyangkut strategi yang paling tepat,
agar dawah bisa terlaksana dengan terencana, terarah dan sistematis, sehingga risalah Islam bisa
tersampaikan dengan baik.
Maka, pembahasan untuk masalah ini diambil dari pengalaman-pengalaman para ulama kita,
yang telah banyak makan garam dalam merambah perjuangan dawah. Karena akan menjadi
suatu kesombongan jika kita mengatakan bahwa pembahasan seperti ini mesti diambil dari
pemikiran dan pengalaman sendiri. Selain karena menuntut pengalaman lapangan yang luas dan
menuntut tingkatan nazhar bagi yang sedang memikirannya, baik menyangkut pemahaman
keislaman, dawah dan re-alitas masyarakat Muslim, pada tingkat lokal maupun internasional,
bahkan juga tentang masyarakat non-Muslim; pengalaman-pengalaman para pembesar kita juga
sangat representatif untuk kita terapkan dalam medan perjuangan dawah kita. Sebab risalah
dawah di manapun sama saja, yang berbeda paling hanya retorika humanioranya (sosial, politi-
knya, budaya dan sebagainya).
I. Tugas dan Tujuan Dawah
A. Tugas Dawah
Kurang lebih ada tujuh tugas dan kewajiban seorang dai. Tugas-tugas itu antara lain:
1. Berusaha keras untuk menyampaikan risalah agamanya kepada orang lain.
QS. Ali Imran :187 dan QS. Al-Baqarah: 146 memberikan kata haram untuk menyembunyikan
kebenaran (al-haq ) bagi setiap orang yang men-getahuinya, padahal Allah dan agama adalah al-
haq. Maka setiap orang diwajibkan untuk menyampaikan kebenaran yang diketahuinya.
2. Meyakinkan orang, bahwa hanya agama Islamlah yang wajib diikuti.
Jika saja ada agama lain yang wajib diikuti selain Islam, maka Islam tak mempunyai hak untuk
penyempurna terhadap agama-agama yang diturunkan Allah sebelumnya. Dan karenanya nash-
nash Islam tak mem-punyai hak untuk mengklaim kesyumuliyahan risalahnya. Dalam se-buah
Hadits dinyatakan: Demi Allah yang diriku ada dalam kekuasaan-Nya, tidak seorangpun dari
umatku yang mendengar dawahku, baik seorang Yahudi atau Nasrani, kemudian ia mati dengan
tidak beriman kepada risalahku, maka ia akan menjadi penghuni api neraka.
3. Mengajarkan masalah-masalah agama dan dunia kepada setiap orang.
Urusan keagamaan yang harus diajarkan oleh seorang dai, secara ringkas ada tiga;
a. Mengajarkan tauhid, Maka ketahuilah, sesungguhnya tidak ada Tu-han selain Allah.
b. Mengajarkan cabang-cabang iman. Dalam sebuah hadits dijelas-kan tentang rincian dari iman:
Iman adalah, engkau beriman kepada Allah, Malaikat, Kitab, para Rasul, hari akhir dan engkau
beriman kepada qadla dan qadar.
c. Mengajarkan rukun Islam, makna ihsan, dan menjelaskan halal dan haram.
Sedangkan urusan keduniaan yang harus diajarkan sangatlah ban-yak, semuanya bersumber dari
dua prinsip dalam Islam, yaitu al-mashlahah al-mursalah dan saddudzariah. Dalam arti, kaidah
seorang dai dalam menilai suatu urusan keduniaan yang tak ada nashnya dalam agama, baik
tentang halal atau haramnya adalah, jika mendatangkan maslahat bagi umat manusia maka
hukumnya halal. Tetapi jika sebali-knya jika mendatangkan madarat, maka hukumnya menjadi
haram.
4. Mendorong manusia untuk melakukan kebajikan.
Kewajiban ini merupakan tugas dawah yang paling asasi, karena melakukan kebajikan dalam
hidup akan membuat hidup manusia aman tenteram, terbebas dari rasa cemas dan takut, dan
sebagai upaya untuk memberantas kejahatan dan permusuhan. Oleh karena itu maka Allah
memerintahkan orang-orang mumin untuk berbuat kebajikan: Wahai orang-orang yang
beriman, ruku dan sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan berbuat baiklah, semoga kamu
beruntung.
5. Menumbuhkan loyalitas terhadap Islam dalam hati umat manusia.
Loyalitas terhadap Islam berarti merasa bangga sebagai seorang muslim. Bukan sekedar bangga
dengan nama Islamnya, tetapi bangga dengan mengerjakan ajaran-ajaran Islam. Konsekwensi
dari kebanggaan ini adalah menanggalkan rasa bangga dari selain Islam, baik harta, ke-luarga,
kemashuran dan sebagainya, yang biasa dijadikan sumber ke-banggaan oleh orang-orang yang
lupa bahwa semua itu hanyalah semen-tara. Sedangkan kebanggaan dengan Islam, berarti bangga
dengan Allah, ajaran dan Kitab-Nya akan abadi. Bukan saja akan terasa berkahnya di dunia,
tetapi juga pahalanya di akhirat kelak.
6. Menumbuhkan komitmen umat terhadap Islam dalam setiap perilakunya.
Keimanan seperti yang dikatakan Hadits bertambah dan berkurang, bertambah dengan
melaksanakan taat dan berkurang dengan melakukan maksiat; maka komitmen dengan Islam
baik sebagai akidah dan ibadah, pikiran dan perilaku, adab dan akhlaq adalah unsur yang paling
penting dalam menumbuhkan dan menguatkan iman, sehingga bisa mendekat-kan pada
kesempurnaan iman. Maka secara singkat komitmen ini berarti taat dan taqarub kepada Allah
dengan melaksanakan yang fardu dan nafilah. Sedemikian penting komitmen ini, sehingga orang
yang beriman tanpa komitmen dengan ajaran-ajarannya hanya disebut sebagai Mumin hukmi,
bukan Mumin yang sesungguhnya. Sebab keimanan yang se-sungguhnya terpatri dalam dada
dan dibenarkan oleh amal perbua-tannya.
7. Memobilisasi potensi umat untuk mendapatkan kebaikan agama dan dunia.
Sesungguhnya absennya umat Islam dari pentas kehidupan dewasa ini, karena setiap orang yang
bekerja demi Islam, semata-mata hanya menurut visinya sendiri dan bekerja secara sendiri-
sendiri. Padahal orang lain tak mustahil mempunyai potensi dan kemampuan yang lebih besar
untuk kerja Islam. Jika seluruh potensi itu dikoordinasi dan dimobilisasi secara profesional akan
melahirkan hasil yang sangat menakjubkan. Dan sebaliknya, jika tidak dilakukan mobilisasi
terhadap sumber daya umat ini justru akan menjadi kendala bagi amal Islam itu sendiri. Baik
pada tingkap pribadi maupun jamaah, dan pada gilirannya akan memaling-kan dari tujuannya
yang paling besar, yaitu terlaksananya syariat dan kukuhnya agama Allah di muka bumi.
B. Tujuan Da'wah:
1. Membantu orang untuk beribadat kepada Allah SWT. sesuai dengan ta-tacara yang
disyariatkan-Nya.
Tujuan ini membutuhkan penjelasan, penafsiran, petunjuk, peneran-gan yang bisa membantu
orang untuk marifat kepada Allah SWT: dzat, si-fat, asma, af'al, Malaikat, Kitab, Rasul, hari
akhir, qadla dan qadar dan segala yang datang dari Nabi Muhammad SAW.
2. Membantu orang untuk saling mengenal antara sesama manusia tanpa memandang perbedaan
ras, warna kulit dan bahasa.
Dalam iklim yang saling mengenal ini akan tercipta solidaritas dan persaudaraan atas nama Allah
sehingga bisa bersama-sama menyelesai-kan segala persoalan hidup.
3. Merubah kondisi umat yang jelek, yang sedemikian jauh jarak mereka dengan Islam, menjadi
masyarakat Islam yang dekat dengan Allah, kebenaran dan kebaikan dunia dan akhirat.
4. Mendidik pribadi Muslim dengan pendidikan Islam yang benar yang mencakup seluruh sendi
kemanusiaan: ruh, akal, jasmani, perilaku dan sosial.
Sebab jika ada di antara salah satu sendi dari sendi-sendi kemanu-siaan ini yang tak terdidik, ia
tak akan menjadi Muslim yang paripurna. Sehingga dengan demikian akan mengalami kesulitan
dalam men-jalankan missinya dalam hidup.
5. Mempersiapkan keluarga Muslim dan mendidik anggota keluarga sesuai dengan ajaran Islam.
Keluarga ini diharapkan menjadi sekolah yang akan mencetak gen-erasi umat yang mampu
melaksanakan kewajibannya terhadap masyara-kat.
6. Mempersiapkan masyarakat Muslim yang dihiasi de-ngan nilai, ajaran dan akhlaq Islam, agar
setiap orang bisa melaksanakan kewajibannya dalam me-laksanakan amar ma'ruf dan nahyi
munkar, keadilan dan ihsan untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.
7. Mengupayakan iklim kehidupan bernegara yang sejalan dengan ajaran Allah.
8. Membebaskan bangsa dari segala bentuk permusuhan, ketergantungan dan pengekoran
terhadap bangsa lain.
9. Mengusahakan terwujudnya persatuan antara bangsa-bangsa negara Muslim; dalam bentuk
kesatuan pikiran, budaya, tujuan ekonomi dan politik.
10. Bekerja untuk menyebarkan da'wah Islam di seluruh negeri, sebab Islam adalah agama
seluruh umat manusia.
II. Fase-fase Pembinaan Dawah
Agar dawah Islam dapat tersampaikan dengan terarah, terencana dan sistematis, dan dapat
menuai hasilnya yang memuaskan, ada lima fase yang harus dilewati seorang dai. Lima fase itu
antara lain:
a. Fase Tamhidi (Pendahuluan)
Fase ini dimaksudkan untuk mempersiapkan umat dalam memasuki fase pengenalan (ta'rif)
tentang hakikat ajaran Islam. Target yang ingin dicapai adalah membuat orang mempunyai
semangat keislaman. Terbi-asa melaksanakan shalat fardu dan menghadiri majlis-majlis ta'lim.
Se-cara pribadi, mereka juga diharapkan berjanji untuk terus memperdalam semangat
keberagamaan, dan terus mendorong dirinya untuk selalu menambah amal-amal baik, belajar
membaca al-Qur'an, Sunnah Rasulul-lah, Sirah nabawiyah, memperkuat hubungan persaudaraan
antara sesama Muslim dan menjalin kekompakan masyarakat dalam melaksanakan kerja-kerja
sosial.
b. Fase Ta'rif (Pengenalan)
Adalah sebuah marhalah dalam da'wah, di mana umat yang menjadi objek da'wah diajak agar
dengan penuh kesadaran untuk berfikir dan mendalami penghayatannya terhadap ayat-ayat Allah
di sekelilingnya, untuk mengetahui hakikat Islam, tujuan, risalah, rukun, kewajiban, syarat dan
akhlaqnya. Untuk itu nilai-nilai Islam harus diterangkan dengan seje-las-jelasnya, mendalam dan
menyeluruh, dengan pemahaman yang men-yentuh segala aspek yang terjadi di sekelilingnya.
Ciri utama dari fase ini adalah sifatnya yang umum, diarahkan kepada semua orang yang sudah
melewati fase tamhidi. Sebab setiap orang harus mengetahui Islam secara benar, jelas dan
mendalam.
Hal-hal yang harus dilakukan seorang da'i pada fase ini secara umum adalah sebagai berikut:
1. Menjelaskan ushulul Islam dan kaidah-kaidahnya.
Yang termasuk ushulul Islam adalah al-Qur'an, Sunnah termasuk di dalamnya Sirah nabawiah,
ijma, qiyas, jalbul mashalih dan daf'ul mafasid.
Sedang kaidah-kaidah Islam mencakup: iman, Islam, ihsan, keadi-lan, amar ma'ruf, nahyi
munkar dan berjuang di jalan Allah.
2. Menafsirkan nash-nash Islam (al-Qur'an dan Sunnah) dengan penaf-siran yang sesuai dengan
dinamika zaman dan lingkungan di mana ia hidup dan berjuang.
Dengan demikian seorang da'i -yang berarti seorang ulama, dituntut untuk selalu melihat kembali
penafsiran-penafsiran lama terhadap nash, dengan analisa yang tajam terhadap seluruh dilalah
nash, agar ia bisa membawa kehidupan manusia sejalan dengan nilai, dan akhlaq Islam. Tentu
saja dengan syarat tidak berlebihan dalam menafsirkan nash.
Di antara kaidah-kaidah menafsirkan ayat antara lain adalah sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa
Arab (nahwu, sharaf dan fiqih lugah), dilalah lafadl dan ibarah, menafsirkan al-Qur'an dengan
hadits, mengetahui asba-bun nuzul dan nasakh-mansukh. Sedangkan untuk menafsirkan hadits
ha-rus sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa Arab dan merujuk kepada rijal dan ulama hadits yang
tsiqat.
3. Memerangi syubuhat dan kebohongan-kebohongan tentang Islam.
Ketidakmampuan seorang da'i dalam melaksanakan kewajiban ini akan memalingkannya dari
tanggung jawab da'wah, lebih dari itu akan menggoncangkan keimanan dan loyalitasnya
terhadap Islam. Untuk itu seorang da'i dituntut untuk cerdas, sehingga dengan cara-cara yang
me-todologis dan mujadalah billati hiya ahsan bisa membedakan mana yang benar dan mana
yang batil.
4. Mengenali hambatan-hambatan da'wah dan menghilangkannya.
Hambatan-hambatan ini di antaranya dibuat musuh-musuh Islam untuk merintangi jalannya
da'wah. Hambatan ini ada yang bersifat pri-badi dan ada yang bersifat jama'ah. Yang bersifat
pribadi ini bisa dalam bentuk menakut-nakuti atau mengancam seorang Muslim agar tidak me-
laksanakan amal islami; sedang yang bersifat jama'ah di antaranya men-campakan label-label
negatif kepada jama'ah yang melaksanakan ajaran-ajaran Islam. Seperti misalnya masyarakat
yang terbelakang, fanatik, fundamentalis, teroris dan banyak lagi istilahnya. Semua itu sedapat
mungkin harus berhasil difahami, dianalisa dan diupayakan cara-cara untuk memberantasnya.
5. Menyatukan umat manusia dan mengarahkannya untuk memahami dan mengamalkan ajaran
Islam sesuai dengan kemampuannya.
Tugas ini mempunyai peranan yang sangat menentukan, sebab me-rupakan tugas yang melandasi
pembentukan dan pembinanan jamaah yang akan mengerjakan kewajiban-kewajiban Islam.
Termasuk dalam tu-gas ini adalah membuat rencana kerja dan aturan-aturan bagi kelompok
da'wah yang akan melaksanakan kerjanya untuk Islam.
Rencana kerja ini di antaranya adalah:
a. Meyakinkan umat dengan alasan-alasan yang pasti tentang pentingnya pembentukan dan
pembinaan jamaah yang akan bekerja un-tuk Islam.
b. Menjelaskan manhaj Islam dalam hubungannya dengan seluruh sendi kehidupan manusia.
c. Menjelaskan fondasi atau dasar-dasar Islam dan menyebarkannya, khususnya nilai-nilai akhlaq
dan kerukunan yang menyangkut hubun-gannya dengan sesama Muslim dan non-Muslim.
d. Menjelaskan sumber-sumber yang menjadi pijakan dalam mema-hami sendi-sendi keislaman
(seperti yang sudah disebutkan pada point satu).
e. Menentukan bentuk atau bidang kerja apa saja yang harus dilaku-kan oleh jamaah.
Garapan kerja ini diantaranya adalah: 1) bidang pemikiran; 2) kebu-dayaan; 3) da'wah; 4)
membantu orang untuk menjadi shalih, baik shalih untuk dirinya, keluarga, masyarakat, bangsa
dan bagi dunia Islam secara umum, 5) mendukung semangat ta'aruf dan gotong royong sesama
manusia, untuk mengembangkan kemaslahatan masyarakat dan menolak petaka yang akan
menimpanya, 6) mengajak orang untuk selalu melak-sanakan kewajiban-kewajiban langsungnya
terhadap Allah SWT di mas-jid dan membantu orang untuk berakhlaq dengan akhlaq Islam
dalam setiap perbuatan yang dilakukannya.
f. Membuat prioritas kerja Islam dalam fase ini, karena dengan me-lakukan prioritas akan lebih
menjamin tercapainya target yang hendak dicapai.
Tugas dai dalam fase ini antara lain:
1. Mengajarkan Islam dengan tepat.
Dalam arti menafsirkan dan menjelaskannya dengan pemahaman yang sejalan dengan dinamika
zaman kapan kita hidup di satu pihak, dan kemampuan orang (yang dida'wahi) dalam menyerap
ajaran Islam di pihak lain. Dalam hal terakhir ini seorang da'i dituntut untuk melaksana-kan
konsep Hadits: "Khatibunnasa 'ala qadri 'uqulihim."
2. Membina masyarakat agar selalu berpikir dalam menyelesaikan segala persoalan hidup dalam
setiap profesinya secara islami.
Setiap lapisan kehidupan harus disentuh da'wah dan diberikan pe-mahaman yang mendalam
tentang bagaimana harus menyelesaikan problematika hidupnya dari norma Islam.
4. Membina barisan da'wah, yang dipilih dari segenap lapisan masyarakat untuk memahami
Islam secara benar.
5. Membina kekuatan barisan orang-orang yang mempunyai loyalitas dan komitmen yang tinggi
terhadap Islam.
Kriteria loyalitas adalah:
1. Bangga dengan loyalitasnya terhadap Islam,
2. Tsabat dan istiqomah dalam loyalitas , dan
3. Bisa mewariskan loyalitas ini kepada orang lain.
Sedang komitmen adalah:
1. Mempunyai komitmen yang tegas terhadap segala yang bersifat Islami,
2. Kemampuannya dalam mewariskan komitmen ini kepada orang lain.
3. Membina barisan orang-orang yang bergabung dalam amal jama'i.
Amal jama'i ini merupakan inti kekuatan umat, karena tanpa amal jama'i berarti perpecahan yang
terjadi. Amal jama'i ini harus ditegakkan dalam seluruh segi kehidupan: pemikiran, kebudayaan,
sosial, ekonomi, politik, pendidikan, da'wah dan lain-lain.
4. Membina barisan mutafaqihin fi al-din.
5. Membina barisan orang-orang yang pantas masuk ke dalam fase pembinaan.
c. Fase Takwin (Pembinaan)
Fase ketiga ini diarahkan kepada sekelompok tertentu yang me-menuhi kriteria tertentu dari fase
pengenalan. Sifat da'wah yang paling utama dari fase pembinaan ini adalah lebih bersifat amali
ketimbang naz-hari. Satu lagi adalah sifatnya yang khusus. Khusus dari segi da'wahnya itu
sendiri, da'inya, objek da'wahnya, kerja Islamnya bahkan manage-mennya. Dan yang menjadikan
khusus karena objek da'wahnya terbatas pada orang-orang yang memenuhi keriteria-keriteria
tertentu dari fase ta'rif.
Di antara kriteria-kriteria itu antara lain:
a. Mempunyai pemahaman yang mendalam tentang Islam, baik dari segi sumber-sumbernya,
akhlaq, manhaj dan sistemnya dalam ke-hidupan.
b. Mempunyai segi amaliah yang mendalam dalam melaksanakan ajaran-ajaran agama. Sehingga
diharapkan bisa menjadi profil Islam yang hidup, yang melaksanakan segala manhaj Islam secara
menyeluruh: dalam makan, minum, pakaian, urusan rumah tangga, dan seluruh kegiatan
kesehariannya.
c. Mempunyai pengetahuan dan kebudayaan Islam yang mendalam.
Pengetahuan dan kebudayaan ini mencakup:
Menguasai betul kondisi dunia Islam, baik menyangkut sosial, politik, ekonomi dan pemikiran.
Bagian dunia Islam yang paling penting tentu saja negerinya sendiri.
Memahami betul segala problematika yang sedang dihadapi oleh dunia Islam. Mengenali
sebab-sebab, akibat-akibat, mempelajari dan mencarikan pemecahannya.
Mempelajari masalah-masalah minoritas Muslim, dari segi kondisi, problematika dan
kebutuhan-kebutuhannya, serta diusahakan pemecahannya.
Mempelajari gerakan-gerakan reformasi yang terjadi di dunia Is-lam dan mengambil pelajaran
darinya.
4. Mempunyai pengalaman praktek lapangan yang luas.
5. Mempunyai kepribadian yang berdimensi banyak, dalam arti cakap dalam banyak hal.
Ada dua muqadimah yang melandasi keterdesakan umat untuk me-lakukan pembinaan:
a. Kondisi umat yang tak berdaya dalam menghadapi arus ke-hidupan, maka diperlukan
pembinaan sehingga umat mempunyai arus dan gelombangnya sendiri.
b. Ilmu dalam pandangan syariat itu terbagi dua: fardu 'ain dan fardu kifayah. Yang pertama
dituntut dari setiap Muslim dalam bentuk ilmu-ilmu syariat, dan kedua diperlukan umat untuk
bisa mengurusi persoa-lan-persoalan duniawi dan agama. Kelalaian umat dalam melaksanakan
dua kewajiban ini menjadikannya terbelakang dari segi peradaban: segala barang-barang
kebutuhan hidupnya diproduksi bangsa lain dan karenanya menjadi sangat tergantung kepada
orang lain. Dan karenanya umat Islam tetap terbelakang dari segi budaya.
Dari tiga muqadimah ini, pembinaan kepribadian Muslim menca-kup tiga bidang: bidang
kebudayaan (tsaqafah), kepribadian (khasaish) dan komitmen (iltizam).
a. Budaya. Pembentukan budaya ini terfokus pada empat hal:
1. Ilmu-ilmu keislaman.
-Sebelum menguasai ilmu-ilmu yang lain seorang Muslim dituntut untuk mempelajari ushul al-
tsalasah (ma'rifat kepada Allah, Rasul dan Is-lam). Ini merupakan Sunnah Rasul dalam metode
pendidikannya terha-dap para Sahabat. Karena Rasul mengajarkannya sebelum mengajarkan al-
Qur'an itu sendiri, seperti yang disinyalir sebuah Hadits yang diri-wayatkan oleh Ibn Umar ra.
-Ilmu-ilmu lain yang kemudian harus diajarkan adalah 'akidah, fiqh, akhlaq, ushul fiqh, bahasa
Arab, sekitar kondisi dunia Islam kontem-porer, sejarah Islam, tentang siasat bangsa lain untuk
menghancurkan Is-lam, studi-studi keislaman modern dan fiqh da'wah.
2. Kebudayaan modern.
Seorang Muslim yang tidak menguasai ilmu zamannya tidak mung-kin bisa merespon dan
mengantisipasi persoalan-persoalan yang timbul. Dirinya sendiri akan hidup tergusur zaman,
maka bagaimana dia bisa membawa Islam dalam mengarungi zamannya. Untuk itulah umat
Islam harus menguasai budaya masanya.
3. Ilmu-ilmu tentang keahlian hidup.
Umat Islam tidak akan bisa memecahkan mitos kemaha perkasaan (supremasi) asing kecuali jika
mereka memiliki para bintang yang men-guasai seluruh sektor kehidupan: sipil-militer, produksi,
pertanian, ke-dokteran, farmasi, arsitek dan sebagainya. Kewajiban ini terasa sangat mendesak
untuk zaman kita.
4. Keahlian amal untuk Islam. Mulai dari aktifitas pribadi, pendidi-kan keluarga, mendirikan
halaqah-halaqah, memimpin masyarakat dan seterusnya.
b. Pembentukan watak/kepribadian.
Pada generasi Islam pertama, anggota masyarakat yang berada di papan atas adalah Rasulullah
SAW. Para sahabat kemudian mengambil suri tauladan darinya sehingga mereka menjadi
pewaris yang sempurna dari watak dan kepribadian Rasulullah SAW (tentu saja dengan perbe-
daan derajat satu sama lain), sehingga keseluruhan umat dari generasi ini adalah umat mujahidin.
Ketika tingkat mujahadah ini semakin berkurang dari zaman ke zaman maka satu-satunya
alternatif di zaman kita adalah berjuang untuk membalikkan umat pada karakter-karakter
generasi per-tama. Diantara sifat-sifat mujahidin itu adalah: cinta kepada Allah SWT, bersikap
lembut kepada sesama Mu'min, bersikap tegas kepada orang-orang kafir, berjuang dan
membebaskan komitmen dan loyalitas dari se-lain Allah SWT.
c. Komitmen.
Sifat Mu'min yang paling utama adalah menjadikan satu sama lain sebagai sahabat dekat.
Dengan terbinanya komitmen sesama individu Mu'min ini akan lahir rasa solidaritas yang
membentuk suatu kekuatan umat sehingga kondisi ghutsaiyyah ummat akan terkikis habis.
Ketiga kerangka ini harus betul-betul terjalin secara bersamaan dalam proses pembinaan.
Target yang ingin dicapai dari fase ini:
1. Ishtifa. Memilih orang-orang yang pantas untuk menanggung be-ban perjuangan.
Pemilihan ini harus didasarkan atas pertimbangan sebagai berikut:
a. Kemampuan ruhiyah. Mempunyai ruh yang bersih, yang selalu sadar tentang wujud Allah
disetiap saat, merasa mendapat pengawasan Allah dalam setiap perbuatan yang dilakukannya,
merasakan hangatnya kecintaan kepada Allah dan ridla dengan qadla dan qadar-Nya; juga
mempunyai hubungan yang kuat dengan Allah dengan cara banyak me-lakukan amal-amal
nafilah.
b. Kemampuan akal. Sifat-sifat yang harus dimiliki adalah: tingkat kecerdasan akal yang
memungkinkannya untuk menerima pengajaran, bisa berpikir kritis sehingga tidak mudah
menerima segala permasalahan yang didasarkan pada prasangka (zhanni/wahmi), hati-hati dalam
memberikan suatu putusan kepada manusia dan selalu merenungkan kemaha kuasaan Allah
lewat makhluk-makhluk yang disaksikan di seke-lilingnya.
c. Kekuatan fisik. Karena fase ini merupakan fase perjuangan maka, yang bisa memasuki fase ini
adalah orang-orang yang mempunyai fisik yang kuat dan indera yang sehat. Ciri-cirinya adalah
selalu membiasakan makan makanan yang sehat, memperhatikan kebersihan, berolah raga,
menjauhi segala yang bisa merusak kesehatan dan tidak membiasakan bergadang.
d. Mempunyai kemampuan bergaul antara sesama manusia.
e. Bisa menarik orang untuk bergabung ke dalam barisan yang ber-juang untuk Islam, sehingga
ia menyadari betul tentang keberadaan dir-inya sebagai seorang pengemban da'wah.
2. Taudlif. Menugaskan kerja tertentu kepada setiap orang yang ma-suk ke dalam barisan amal
Islam, sesuai dengan potensi dan keahlian yang dimilikinya. Pembagian ini harus dibarengi
dengan menjelaskan ba-tasan maksud dari setiap kerja, cara yang tepat untuk menjamin keberha-
silan kerja, menentukan orang yang tepat dan batas waktu yang harus dilewati. Empat hal ini
kemudian menjadi rukun taudlif.
3. Takwin. Mempersiapkan barisan da'wah dengan membina kekua-tan fisiknya, akal dan
akhlaqnya, sehingga menjadi orang-orang yang kuat, yang mampu menanggung beban
perjuangan di jalan Allah. Den-gan sendirinya pembinaan ini mencakup segi-segi ruh, akal,
akhlaq dan fisik.
4. Indlibath. Kecermatan dan kesungguhan seorang da'i dalam me-laksanakan kerjanya dengan
sebaik-baiknya sesuai dengan syariat Allah. Target ini merupakan pembinaan umat dalam
tujuan agama. Sebab tu-juan agama adalah mengarahkan manusia dari segi aqidah, akhlaq,
ibadah dan mua'malahnya sesuai dengan syariat Allah.
Cara yang bisa dipergunakan untuk tercapainya target adalah:
1. Pendidikan keluarga
2. Kutaibah, pengelompokan anggota pembinaan (tiap kelompok 40 orang) agar terkoordinasi
dengan baik.
3. Rihlah
4. Daurah, mengadakan pendidikan da'wah secara berjenjang.
5. Nadwah, atau seminar-seminar
6. Kemping
7. Mu'tamar
Program-program yang harus dilakukan dalam fase pembinaan:
1. Pendidikan ruh
Pendidikan ruhiyah ini merupakan aspek pendidikan yang ter-penting. Sebab ruh berbeda dengan
potensi akal yang sangat terikat den-gan ruang dan waktu, awal, akhir dan fana; ruh sama sekali
tidak terikat dengan keterbatasan ini. Dan ia mempunyai tugas yang paling mulia, adalah
berhubungan dengan Allah SWT. Maka pendidikan Islam untuk ruh ini mencakup, antara lain:
a. Mengupayakan hubungan yang terus berlanjut antara ruh dengan Tu-hannya, di setiap saat.
Cara yang bisa dilakukan adalah: 1) menggerakan hati agar selalu merasakan wujud Allah
dengan merenungkan segala ciptaan-Nya; 2) membangkitkan perasaan hati agar selalu
merasakan adanya pengawa-san Allah dalam setiap gerak hidupnya; 3) membangkitkan rasa
takut dan taqwa kepada Allah; 4) menggerakan rasa cinta kepada Allah dan mengharap akan
keridlaan-Nya; dan 5) membangkitkan rasa ketenangan hati untuk menerima qadla dan qadar
Allah SWT.
b. Menjadikan ruh agar senantiasa terjaga untuk berada dalam ketaatan kepada Allah SWT.
Cara yang bisa dilakukan adalah: 1) menjadikan ruh untuk iltizam, ta'at dan dekat dengan Allah
SWT, dengan banyak melaksanakan nawafil, dzikir, qiyamul lail, sedekah dan lain-lain; 2)
menjauhkannya dari maksiat kepada Allah yang akan membuatnya buta; 3) terus melakukan
kegiatan-kegiatan ruhiah dengan mentadaburi segala apa yang terkandung dalam al-Qur'an,
tentang ciptaan Allah, keagungan, hikmah-Nya dan seba-gainya; 4) mengajak untuk
merenungkan dan memikirkan segala ciptaan Allah; dan 5) mengarahkan ruh untuk mengetahui
akan keluasan ilmu Allah yang menyeluruh, sehingga merasakan betul tentang keagungan Allah
SWT.
c. Mendidik ruh dengan ibadah kepada Allah.
Hal ini merupakan wasilah yang paling penting dalam pendidikan ruh, karena ibadah merupakan
ketundukan mutlak kepada Allah SWT.
Ada dua bentuk ibadah yang bisa mendidik ruh: 1) ibadah fardu seperti, thaharah, shalat, puasa,
zakat dan haji; dan 2) ibadat dalam arti-nya yang luas, yang mencakup segala aktifitas manusia,
dari yang dilak-sanakan dan ditinggalkannya, bahkan seluruh perasaan untuk mendekatkan diri
kepada Allah SWT.
Hasil akhir yang bisa dicapai dari pendidikan ruh ini adalah: 1) memperkuat hubungan manusia
dengan Allah; 2) memperbaiki hubun-gan manusia dengan dirinya sendiri; 3) memperjelas
hubungan manusia dengan al-kaun; 4) membuat kecintaan manusia terhadap saudaranya sesama
Muslim; 5) membuat kecintaan manusia terhadap makhluk-makhluk Allah; 6) membuat
kecintaan manusia untuk melakukan segala bentuk kebajikan; 7) bisa menundukan syahwatnya;
8) bisa mengen-dalikan kekuatan materi; 9) bisa mengekang segala kekuatan materi dan non-
materi yang bisa mengancam manusia untuk memalingkannya dari Allah SWT.; dan 10)
mengharapkan segala kekuatan datang dari Allah SWT.
2. Pendidikan akal
Adalah membangun kemampuan akal untuk berpikir, merenung dan tadabur yang membuatnya
mampu mengemban beban da'wah.
Pendidikan Islam terhadap akal ini diarahkan kepada hal-hal seba-gai berikut:
a. Manusia harus bisa membebaskan akalnya dari segala hal yang biasa diterima orang secara
sederhana, yang dibangun di atas prasangka, perkiraan atau taqlid.
b. Ketetapan akal untuk selalu berhati-hati dalam menyikapi dan mempercayai segala persoalan,
sebelum menjadi suatu keyakinan.
c. Mengajak akal untuk selalu merenungi dan mentafakuri alam se-mesta.
d. Mengajak akal untuk merenungkan hikmah dari segala ajaran yang disyariatkan Allah kepada
hamba-Nya, baik ibadah, mua'malah, akhlaq dan sebagainya.
e. Mengajak akal untuk merenungkan sunnah Allah terhadap manu-sia sepanjang sejarah umat
manusia.
Hasil yang bisa diharapkan dari pendidikan akal adalah: member-sihkan akal dari waham dan
khurafat, mengokohkan kematangan akal agar selalu berhati-hati, membiasakan akal untuk
menggali hakikat dan raha-sia al-kaun yang dihuninya, komitmen akal untuk mengetahui
kebenaran dari dekat dan dengan ainul yakin, membuat akal untuk merenungkan dan
memikirkan hikmah-hikmah dari segala yang disyariatkan Allah kepada manusia, dan membuat
akal selalu merenungkan sejarah umat manusia.
3. Pendidikan akhlaq.
Pertama-tama yang dimaksud dengan ahklak adalah setiap perbua-tan yang bisa disifati dengan
baik atau buruk. Maka pendidikan akhlaq yang dimaksud di sini adalah nilai-nilai kebajikan yang
harus menghiasi setiap manusia secara umum, dan Muslim pada khususnya. Akhlaq yang mulia
ini akan selalu sejalan dengan kebenaran yang datang dari Allah SWT. lewat wahyu-Nya, dan
akan selalu terkait dengan terciptanya ke-manfaatan bagi manusia di dunia dan di akhirat.
Pendidikan akhlaq dalam Islam itu menekankan beberapa hal:
1. Manusia mempunyai kebebasan kehendak dalam melaksanakan segala perbuatannya.
2. Manusia akan diminta pertanggung jawaban di hadapan Allah terhadap segala sesuatu yang
dilakukannya, dan akan mendapat balasan sesuai dengan ketaatan atau kemaksiatan yang
dilakukannya.
3. Akhlaq dalam Islam bersumber dari wahyu Allah SWT. yang bisa dibaca dalam Kitab-Nya,
dan dari Sunnah Rasulullah SAW. yang bisa di-baca dalam kitab-kitab Hadits dan sirah
nabawiah.
4. Akhlaq dalam Islam berdiri di atas dua dasar: yaitu keadilan (adil dengan Allah, dengan diri
sendiri dan dengan sesama manusia) dan ih-san.
5. Amar ma'ruf dan nahyi munkar. Dalam arti, seorang Mumin yang berakhlaq mulia, ketika
mengetahui suatu perbuatan baik mesti menger-jakan dan mengajak orang untuk
mengamalkannya. Demikian sebali-knya, ketika ia mengetahui sesuatu yang munkar, ia
meninggalkanya dan mencegah orang dari mengerjakannya. Sehingga baik dan buruk menjadi
semacam karakter, untuk selalu dilaksanakan atau ditinggalkan, baik un-tuk dirinya maupun
untuk orang lain.
Sehingga secara ringkas pendidikan Islam terhadap akhlaq mene-kankan dua hal: al-takhliyah
dan al-tahliyah. Yang pertama membersihkan diri dari setiap bentuk kejelekan, kejahatan dan
memunkaran atau dari setiap yang diharamkan Allah kepada hamba-Nya, baik yang nampak
maupun yang tersembunyi. Sedangkan yang kedua, menghiasi diri den-gan segala bentuk
kebaikan yang datang dari Islam.
4. Pendidikan fisik
Fisik merupakan potensi manusia yang ketiga, sekaligus menjadi penyangga potensi ruh dan
akal. Pendidikan ini jelas sangat mendesak, sebab diperlukan keseimbangan di antara ketiga
potensi tadi, sehingga terjadi keserasian yang harmonis, yang satu sama lain saling menguat-kan.
Karenanya al-Quran dan Sunnah begitu memperhatikan kebutuhan-kebutuhan fisik, tentang
makanan, pakaian, tempat tinggal, istirahat dan sebagainya.
Jika pendidikan fisik ini diterapkan dengan benar sesuai dengan tuntutan-tuntutan Islam, maka
akan melahirkan masyarakat Muslim yang kuat, yang mampu mengemban kewajibannya dengan
sebaik-baiknya; masyarakat yang bersih dan sehat dari berbagai bentuk pen-yakit; masyarakat
yang bebas dari penyakit-penyakit kejiwaan; dan masyarakat yang gesit, dinamis dan energik,
jauh dari sikap kemalasan. Pendidikan fisik ini karena merupakan kebutuhkan seluruh umat
manu-sia secara kontinu, maka karenanya menjadi kewajiban bersama bagi para pengemban
dawah dan yang menjadi objek dawah secara ber-samaan.
5. Pendidikan rasa sosial
Pendidikan ini dimaksudkan sebagai penggemblengan bagi pribadi Muslim agar sadar tentang
hubungannya dengan masyarakat, faham ten-tang kedudukannya di tengah masyarakat dan selalu
sadar tentang hak dan kewajibannya. Seorang Muslim dengan kesadaran ini merupakan orang
yang memiliki rasa solidaritas sosial, yang selalu merasa terlibat untuk berperan secara aktif
dalam menghadapi segala masalah sosial. Jika bersikap aktif ini merupakan kewajiban manusia
secara keseluruhan, maka bagi seorang Muslim tentu saja lebih wajib lagi. Sehingga dengan
demikian mempunyai rasa solidaritas sosial merupakan kewajiban syariat.
d. Fase Tanfidz (pelaksanaan)
Fase ini menggambarkan pelaksanaan dari nilai-nilai dan akhlaq Is-lam yang telah diterima dari
pengajaran dan pendidikan. Dengan kata lain merupakan praktek dari setiap pengajaran yang
telah didapatkannya dari fase-fase sebelumnya (tamhid, tarif dan takwin).
Seperti halnya fase-fase lain, fase ini mesti mempunyai kejelasan tu-juan, wasail dan manhaj
yang jelas. Dan perlu dicatat bahwa fase ini hanya diperuntukan bagi orang-orang yang telah
menyelesaikan fase-fase sebe-lumnya. Tujuan, wasail, manhaj dan program-program yang jelas
ini ha-rus betul-betul difahami, baik oleh para pengemban dawah itu sendiri maupun oleh orang-
orang yang menjadi obyek dawahnya. Dengan pe-mahaman yang baik ini bisa membuat cara
dan hasil kerja yang baik pula, seperti yang diisyaratkan oleh lebih dari lima puluh kali dalam al-
Quran: Alladzina amanu wa amilus shalihat, orang-orang beriman yang beramal (secara)
baik.
Sehingga fase ini secala gamblang bisa didefinisikan sebagai: Fase orang-orang Mumin yang
membuktikan segala apa yang telah mereka janjikan kepada Allah, dan mempersiapkan kerjanya
untuk Islam, den-gan segala pengetahuan dan kekuasaan yang diperlukannya; adalah fase
perjuangan di jalan Allah, hatta takuna kalimatullahi hiyal ulya.
Kerangka umum dalam fase tanfidz:
1. Orang-orangnya telah sampai pada tingkat nazhar dalam fiqih Is-lam.
Derajat nazhar ini dimaksudkan sebagai kemampuannya untuk merefleksikan, merenungkan, dan
memikirkan nash-nash agama, baik ayat maupun Sunnah, untuk kemudian mengistinbat hukum-
hukum syara. Sehingga yang masuk ke dalam fase ini bisa disebut sebagai faqih.
2. Membina sekelompok orang yang mempunyai keahlian-keahlian tertentu dalam setiap aspek
kehidupan.
Bidang pembinaan ini harus mencakup: 1) pembinaan ulama yang mutafaqih fi al-din, 2)
pembinaan orang-orang yang mempunyai keahlian dalam bidang ilimu-ilmu kemanusiaan atau
humaniora (misalnya sosi-ologi, politik, ekonomi, pendidikan, penerangan, pertanian, astronomi,
dan sebagainya), 3) bidang fiqh dawah, 4) kepemimpinan dan strategi, 5) dan yang ahli tentang
dunia internasional.
3. Pendalaman loyalitas terhadap agama dan dawah Islam.
Artinya setiap orang dituntut untuk melaksanakan amal Islami den-gan sebaik-baiknya.
Pendalaman komitmen dan loyalitas terhadap Islam dan dawahnya ini harus dilakukan dengan
pendalaman komitmen ter-hadap manhaj dan aturannya menyangkut kehidupan.
4. Islam amali merupakan syiar yang paling tepat untuk fase ini.
Dalam arti setiap orang mempunyai keinginan atau himmah yang kuat untuk melaksanakan
segala yang telah diterimanya tentang Islam. Diantara sifat-sifat yang harus dimiliki dalam
rangka kerja Islam itu antara lain: ikhlas, kontinu, keinginan yang kuat dan hati-hati, sabar,
sungguh-sungguh, ihsan dan tidak terburu-buru untuk menggapai ke-menangan dari Allah SWT.
Tuntutan Fase:
Ada empat tuntutan dari fase ini:
1. Tuntutan terhadap setiap orang dari marhalah.
Ada tiga hal yang harus dilakukan dalam menentukan siapa orang yang akan masuk ke dalam
fase ini, adalah ishtifa (pemilihan), ikhtibar (penyeleksian) dan tawsiq (pengujian).
Setiap orang yang yang memasuki marhalah ini harus dipilih dari kelompok orang-orang yang
telah menyelesaikan fase pembinaan sesuai dengan jenjang dan program yang telah
direncanakan. Pemilihan ini ha-rus didasarkan atas tiga kriteria, agar setiap orang bisa
melaksanakan kerjanya dan bisa merealisasikan tujuannya. Ketiga kriteria ini adalah:
a) Keshalihan dan ketaqwaan, sehingga bisa menjaga dirinya dari setiap betuk maksiat dengan
meninggalkan segala sesuatu yang dilarang. Dan shalih, dengan melaksanakan ajaran-ajaran dan
akhlaq Islam dengan komitmen terhadap perintah Allah dan menjauhi segala yang dila-rangnya.
b). Akal dan kecerdasan, pada tingkat intelegensia tertentu yang memungkinkannya untuk
mencerna ilmu pengetahuan dan menjaganya dari kesalahan-kesalahan dalam berpikir.
Kecerdasan ini juga bisa diarti-kan sebagai kemampuan untuk menganalisa, menghadapi
persoalan-persoalan baru dan menyelesaikannya dengan cara-cara yang cerdas.
c). Kuat dan amanah, dalam arti kemampuannya untuk bekerja den-gan penuh amanah.
Setelah memilih orang-orang ini kemudian melakukan seleksi untuk mengetahui sejauh
kemampuan dan kesiapannya untuk bekerja demi Is-lam. Seleksi ini merupakan pengujian antara
lain:
a) segi-segi ilmiah, untuk mengetahui sejauh mana penguasaan ma-teri-materi keislaman, dari
aqidah dan syariah, ibadah dan muamalah, Sunnah, sirah nabawiyah, sejarah Islam,
pengetahuan umum tentang Is-lam dan tentang agama-agama secara umum.
b) Pengujian segi-segi amali untuk mengukur kemampuan seorang calon dalam berinteraksi dan
menyelesaikan berbagai persoalan yang di-hadapi.
Dan terakhir melakukan uji coba untuk mengecek kesungguhan dan loyalitasnya terhadap Islam
dan amal islami, sehingga pada akhirnya ia akan dipercaya sebagai orang yang betul-betul
berjuang untuk Islam.
2. Tuntutan pergerakan setiap orang dari marhalah.
Tuntutan ini dimaksudkan sebagai sifat-sifat atau karakter-karakter seorang dai pada fase ini
yang bisa menjamin tercapainya tujuan dawah. Sifat-sifat ini antara lain adalah:
a) kemampuannya dalam bergaul di tengah-tengah manusia, mem-perhatikan dan ikut merasakan
gembira atau sedihnya orang lain. Sifat ini sungguh sangat asasi, karena tanpa sifat ini seseorang
tak akan bisa berperan aktif dalam kancah dawah, bahkan justeru sebaliknya akan membuatnya
bersifat pasif dan mejauhkan diri dari masyarakat.
b) Kemampuan dalam melakukan pendekatan dan menarik simpati orang, sehingga akan
mencintai dan dicintai masyarakat.
c) Senantiasa mendambakan kebaikan bagi masyarakat dan bekerja keras untuk menolak
bencana yang mungkin menimpanya.
d) Mempunyai kemampuan untuk mengkoordinasi dan memobi-lisasi potensi masyarakat.
Karena selama masih melakukan kerjanya sendiri-sendiri tak akan mencapai target yang
diinginkan. Oleh karena itu diperlukan orang-orang yang mampu memimpin, mengarahkan kerja
mereka dan menumbuhkan semangat gotong royong di antara anggota masyarakat.
e) rela dan bahkan senang untuk berkorban demi tercapainya per-juangan.
3. Tuntutan taktik dan strategi
Setiap orang yang bergerak di bidang dawah ini harus memahami taktik dan strategi, agar bisa
merintis tujuan dawahnya dengan teren-cana, teratur dan sistematis.
4. Tuntutan managemen
Target Fase Tanfidz:
1. Menerapkan nilai-nilai, ajaran dan etika yang telah disyariatkan Islam lewat nash-nashnya
menjadi ajaran yang betul-betul praktis.
2. Memperdalam hubungan kebersamaan antar sesama anggota fase ini, dan memperkuat
hubungan persaudaran ke tingkat ikatan persauda-ran tertinggi yang hanya didasarkan atas
keimanan murni. Sehingga se-luruh anggota menjadi satu bangunan yang kokoh, yang jika salah
satu anggotanya sakit bagian anggota lain juga ikut merasa sakit.
3. Memperdalam kesucian ruh anggota marhalah dengan banyak melakukan latihan-latihan
spiritual. Dengan demikian, satu kelebihan marhalah ini dari fase-fase sebelumnya adalah
mempunyai kedalaman spiritual.
4. Memperkuat dimensi fisik anggota dengan banyak melakukan olah raga, sehingga mampu
mengemban beban dawah. Termasuk mem-perhatikan kekuatan fisik ini adalah tidur dan makan
yang teratur, serta menjauhi segala yang bisa merusak kesehatan.
5. Bersifat kontinue dalam melakukan kerja dawah dengan segala pengorbanan, baik harta,
tenaga, waktu dan bahkan dirinya sendiri. Se-hingga lebih mengutamakan kerja dawah dari pada
dirinya sendiri.
6. Bekerja dengan sungguh-sungguh dalam memikirkan dan me-menuhi kebutuhan masyarakat,
sebagai pelaksanaan dari kewajibannya terhadap masyarakat dan sebagai praktek lapangan dari
bekerja sama dalam melakukan kebaikan dan taqwa. Target ini pada prakteknya menuntut untuk
berdirinya lembaga-lembaga sosial.
7. Mempersiapkan diri untuk memasuki fase selanjutnya (fase tam-kin, pengokohan), sebab fase
itu merupakan fase yang dicita-citakan, se-dangkan sebuah cita-cita tak akan terwujud kecuali
dengan kerja keras dengan selalu meminta pertolongan Allah, sabar, shalat, ikhlas, saling
menasehati antara sesama Muslim dan komitmen dalam jamaah.
Hal-hal yang harus selalu disadari oleh setiap anggota adalah, bahwa kerja yang dituntut jauh
lebih besar dari waktu yang dimiliki. Karena itu setiap anggota harus selalu taushiyah untuk
selalu menjaga waktunya agar tidak dipergunakan dalam hal-hal yang mubadzir. Dan satu lagi
adalah, semuanya harus sadar bahwa tujuan yang dicita-citakan itu jauh lebih besar dari
jangkauan kerja yang mungkin bisa dilaku-kannya. Karenanya semua orang harus bekerja
semaksimal mungkin, dengan selalu didasari oleh kesungguhan, ihsan dan itqan (apik) dalam
bekerja.
Cara-cara yang bisa dilakukan dalam menggapai target yang ingin dicapai antara lain lewat:
1. Training, merupakan latihan amal Islam dengan mempraktekan nilai dan ajaran Islam dalam
segala kegiatan hidupnya dari mulai bangun sampai bangun kembali.
2. Kemping, untuk mempertajam hubungan persahabatan dan per-saudaraan antara sesama
anggota.
3. Kutaibah, merupakan pengelompokan anggota marhalah (40 orang, seperti yang sudah
dijelaskan dalam bagian terdahulu) dengan melakukan kegiatan intensif selama empat puluh hari.
4. Rihlah.
5. Nadwah.
Prioritas Kerja pada Fase ini:
1. Praktek kerja Islam, baik bagi masing-masing individu, keluarga, pada profesi dan di
masyarakat secara keseluruhan. Yang dimaksud dengan praktek kerja ini adalah, komitmen
anggota dalam setiap kata, perbuatan dan tindakan dengan akhlaq dan ajaran Islam, tanpa mere-
mehkan suatu apapun.
2. Memperdalam loyalitas terhadap Islam dan dawah. Kerja kedua ini merupakan kesimpulan
yang pasti dari kerja pertama. Karena loyali-tas berarti, komitmen yang mutlak terhadap akhlaq
dan ajaran Islam dengan penuh rasa bangga sebagai seorang Muslim.
3. Mempersiapkan kader-kader yang ahli dalam berbagai bidang kerja Islam. Baik dalam bidang
kecendekiaan, ekonomi, politik, pendidi-kan dan sebagainya.
4. Ada anggota marhalah yang sampai pada tingkat nazhar dalam agama. Ini selanjutnya menjadi
kewajiban kelompok, kalau tak mungkin bisa dicapai oleh setiap orang dari anggota marhalah.
e. Fase Tamkin (pengukuhan)
Kalau saja fase-fase dawah ini diibaratkan sebagai kegiatan berco-cok tanam, maka fase terakhir
ini merupakan tahap berbuah untuk ke-mudian dipetik hasilnya. Fase-fase sebelumnya memang
betul-betul me-rupakan fase persiapan dan pembinaan untuk mendapatkan hasil yang
memuaskan. Hanya perlu dicatat bahwa, orang-orang yang memasuki fase ini mesti telah
melewati jenjang marhalah sebelumnya. Menjalani pendidikannya dengan sebaik mungkin,
hingga kemudian sampai pada tujuan akhir yang menjadi target dari setiap marhalah. Sebagai
mana ke-menangan yang akan diraih jelas tidak sepenuhnya bersifat manusiawi, karena
pertolongan Allah merupakan kunci penentu dari setiap derap perjuangan yang kita lakukan. Kita
hanya berkewajiban untuk merambah sebab-sebab yang manusiawi. Seperti firman Allah:
Sesunguhnya kami te-lah mengukuhkan baginya (Dzulkarnain) di atas bumi, dan Kami berikan
baginya sebab-sebab bagi segala sesuatu.
Maka fase tamkin dalam dawah berarti, Allah mengukuhkan kedudukannya di atas bumi, lewat
perantara orang-orang yang beramal shalih dalam segala lapangan kehidupan. Seperti yang
dijanjikan Allah SWT.: Dan Allah telah menjanjikan bagi orang-orang yang beriman di antara
kalian dan beramal shalih, bahwa Allah akan memberikan kepada mereka kekua-saan di atas
bumi, sebagai mana Allah telah memberikan kepada orang-orang yang sebelumnya, dan bahwa
Allah akan mengukuhkan bagi mereka agama yang telah diridlai-Nya bagi mereka, dan akan
memberikan rasa aman dan tenteram setelah mereka merasa takut. Mereka menyembah-Ku dan
tidak menyekutukan-Ku dengan sesuatu apapun, dan barang siapa yang kufur setelah itu, mereka
adalah orang-orang yang fasiq. Dan dirikanlah shalat, berikanlah zakat dan taat-lah kalian kepada
Rasul semoga kalian mendapat rahmat. Dalam pengertian ayat-ayat inilah kurang lebih cita-cita
fase tamkin.
Hanya saja, walaupun memang fase ini merupakan fase puncak dari marhalah dawah, tidak
berarti perjuangan dawah terus berhenti. Ada perjuangan untuk menjaga keberlangsungan
tahapan yang sudah dica-pai. Dan lebih dari itu, fase-fase ini tidak mesti dipahami sebagai
marha-lah-marhalah yang terpisah, sesungguhnya bisa jadi dilakukan secara serentak, bagi
anggota dawah yang berbeda.
Untuk selanjutnya, tentang fase ini hanya akan disebutkan kerangka umum.
Kerangka umum yang harus dilakukan dalam fase ini:
1. Melaksanakan kekuasaan hukum yang telah diturunkan Allah, al-Quran dan Sunnah, dalam
seluruh urusan kehidupan, sehingga umat manusia merasakan hidup aman, tenteram dan
mendapatkan keadilan yang sesungguhnya.
2. Mencetak kehidupan sehari-hari secara islami.
3. Membentuk lembaga-lembaga yang menyentuh segala sektor ke-hidupan umat secara islami.
4. Mempersiapkan para ahli, secara akademis, dalam seluruh sektor kehidupan.
5. Mempersiapkan para ahli yang bisa merancang lapangan kerja un-tuk menutupi kebutuhan
kerja Islam dalam seluruh fase dawah.
III. Ushul al-Tsalatsin
(Tiga puluh prinsip dalam berda'wah)
1. Islam adalah sistem syumul yang mengurusi seluruh sendi ke-hidupan, dari kenegaraan dan
kebangsaan, etika dan kekuasaan, kebu-dayaan dan hukum, materi dan kekayaan, perjuangan dan
da'wah. Seba-gaimana ia adalah aqidah dan ibadah yang benar.
2. Al-Qur'an dan Sunnah adalah rujukan setiap Muslim dalam men-getahui seluruh hukum Islam.
Al-Qur'an itu harus difahami sesuai den-gan kaidah-kaidah bahasa Arab tanpa berlebihan dan
serampangan. Dan dalam memahami sunnah ia harus dikembalikan kepada Rijalul hadits yang
tsiqat.
3. Keimanan dan ibadah yang benar serta mujahadah mempunyai ca-haya dan rasa manis yang
dianugerahkan Allah SWT kedalam hati orang-orang yang dikehendaki dari hamba-hamba-Nya.
Tetapi ilham, in-tuisi, kasyf dan mimpi tidak bisa menjadi dalil dalam hukum syari'at, dan tidak
bisa dijadikan i'tibar (hujjah) kecuali dengan syarat tidak bertentan-gan dengan hukum agama
dan nash-nashnya.
4. Azimat, jampe-jampe, paranormal, perdukunan dan mengaku mengetahui hal-hal yang ghaib
adalah kemunkaran yang harus diperangi (kecuali do'a-do'a yang ma'tsur).
5. Pendapat imam atau wakilnya, dalam hal yang tidak ada nashnya, mengandung berbagai
kemungkinan tentang keshahihannya, dalam arti nisbi, tidak mutlak. Dalam al-mashalih al-
mursalah pendapat Imam ini bisa dipakai selama tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah
syari'at. Dan penilaian ini terkadang bisa berubah sesuai dengan kondisi 'urf dan adat yang
berlaku dan shahih. Masalah ibadah pada dasarnya bersifat ta'abudi, karenanya tak harus melihat
'illat-'illatnya; sedangkan adat harus dilihat apa rahasia, hikmah dan maksud yang ingin
dicapainya.
6. Setiap orang bisa diambil pendapatnya atau ditinggalkan kecuali al-Ma'shum SAW. Setiap
pendapat yang datang dari salaf ash-Shalih yang sejalan dengan Kitab dan Sunnah harus kita
ambil, dan jika ternyata bertentangan maka Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya lebih berhak kita
ikuti. Tetapi walaupun begitu, dalam hal yang berbeda pendapat, kita ti-dak boleh
mempersoalkan kepribadian atau orangnya, dengan mencerca atau meremehkan. Kita percaya
akan niat baik mereka, dan kita yakin bahwa mereka telah melakukan hal yang terbaik tentang
apa yang ingin mereka sampaikan.
7. Bagi setiap Muslim yang belum sampai kepada tingkat nazhar dalam dalil-dalil hukum far'i
hendaknya ia mengikuti salah satu imam dari imam-imam agama. Dan bersama ittiba
(pengikutan) terhadap imam ini, alangkah baiknya jika ia berusaha untuk menguasai dalil-dalil
yang mungkin bisa dikuasainya. Ia harus menerima setiap petunjuk yang di-barengi dengan dalil-
dalil jika orang yang memberikan petunjuk itu pan-tas dan mampu. Demikian pula ia harus
berusaha untuk melengkapi ke-kurangan ilmunya (bagi kelompok terdidik) supaya bisa sampai
pada tingkat nazhar.
8. Perbedaan pendapat fiqhiyah tidak boleh menjadi sebab terjadinya perpecahan dalam agama,
permusuhan atau kebencian. Sebab bagi setiap mujtahid mendapat pahala dari upaya ijtihadnya.
Hanya saja tak ada salahnya untuk melakukan pengecekan ilmiah terhadap masalah-masalah
khilafiah tadi selama didasari oleh kecintaan kepada Allah SWT, bekerjasama untuk menemukan
titik kebenaran tanpa mengakibatkan adanya fanatisme yang tercela.
9. Setiap masalah yang tidak berdimensi amali maka melakukan pendalaman terhadapnya
termasuk yang dilarang syara'. Termasuk dalam kaidah ini misalnya, melakukan pembagian
hukum-hukum far'i yang tidak terjadi; mendalami makna-makna ayat al-Qur'an yang belum
dijamah oleh ilmu pengetahuan dan membanding-bandingkan kelebihan antara shahabat serta
membicarakan dan mempertajam perselisihan yang terjadi diantara mereka. Sebab setiap
shahabat mempu-nyai nilai kedeka-tan dan persahabatannya dengan Rasul serta mempunyai niat
baiknya yang tak mungkin diragukan lagi.
10. Ma'rifat kepada Allah SWT, Tauhid dan tanzih adalah aqidah Is-lam yang paling utama.
Ayat-ayat sifat, hadits-hadits shahih tentang sifat dan ayat-ayat mutasyabihat, harus kita imani
seperti adanya tanpa ta'wil dan ta'thil (meniadakan segala atribut bagi Allah SWT). Kita tak perlu
menggubris perbedaan pendapat para ulama di sekitar masalah ini, cu-kuplah Rasul dan
shahabatnya menjadi teladan. Merekalah orang-orang yang disebut oleh al-Qur'an: "Dan orang-
orang yang ilmunya rasikh mereka berkata: "Kami beriman, semuanya itu berasal dari Tuhan
kami."
11. Setiap bentuk kebid'ahan yang tak ada landasannya dalam agama --yang dianggap baik oleh
hawa nafsu manusia-- adalah kesesatan yang wajib diberantas; dengan acara yang terbaik
sehingga tidak membuat se-suatu yang lebih jelek dari kebid'ahan itu sendiri.
12. Bid'ah idzafi, tarkibi dan iltizam dalam melakukan ibadah mut-lak tertentu adalah perbedaan
fiqhiyah, yang setiap orang boleh mem-punyai pendapat yang berbeda. Tak ada salahnya hakikat
persoalan seperti ini dianalisa dengan dalil dan bukti-bukti.
13. Mencintai orang-orang shalih, menghormati dan memuji mereka karena amal baik yang telah
dilakukannya adalah termasuk usaha mendekatkan diri kepada Allah SWT.
14. Ziarah kubur hukumnya sunnah, asal dengan kaifiyah atau cara-cara yang ma'tsur, diajarkan
oleh Rasulullah SAW. Tetapi meminta per-tolongan kepada orang-orang yang mati dan
memanggilnya, meminta pertolongan kepada mereka agar kebutuhan hidupnya terpenuhi, baik
dari jauh atau dari dekat, memperingatinya, mendirikan bangunan di atasnya, menutupinya
dengan gargeng, meneranginya, memberikan wangi-wangian, meminta berkah kepadanya,
bersumpah atas nama se-lain Allah dan berbagai kebid'ahan yang diakibatkannya adalah dosa be-
sar yang wajib diluruskan. Kita tak boleh menta'wil, untuk membenarkan perbuatan-perbuatan
seperti ini karena sadudzari'ah, agar tak terjerembab pada hal-hal yang diharamkan.
15. Do'a, jika seseorang ber-tawasul dengan dibarengi salah seorang dari makhluk Allah adalah
termasuk perbedaan far'iyah dalam hal ber-do'a, bukan masalah aqidah.
16. Urf atau kebiasaan yang salah dalam menggunakan suatu istilah, tak bisa merubah hakikat
syari'ah. Karenanya perlu ditegaskan tentang apa isi dan kandungan makna yang dimaksud oleh
lafadz itu. Kita juga harus menjauhi apologi kata (permainan kata-kata), baik dalam masalah-
masalah agama ataupun dunia. Kata sebuah kaidah "Al-ibratu bi al-musamayat la bi al-asma",
atau yang dijadikan patokan adalah kandungan dari istilah itu sendiri.
17. Aqidah adalah asas dari setiap perbuatan, dan amal hati (amal qulub) lebih penting dari amal
lahir (amal khariji). Terciptanya kesempur-naan dari kedua amal itu adalah menjadi tuntutan
syariat, walaupun ada perbedaan tingkat dalam tuntutan itu.
18. Islam membebaskan kemerdekaan akal, mendorong untuk mere-nungkan al-kaun,
menghargai setinggi-tingginya ilmu dan ulama, dan menyambut baik terhadap segala yang baik
dan bermanfaat. Karena hikmah adalah barang berharga Mu'min yang hilang, maka kapan saja ia
menemukannya ia lebih berhak untuk memungutnya kembali.
19. Terkadang bisa terjadi perselisihan di antara pandangan akal dan pandangan syara. Tetapi
bagaimanapun kedua pandangan itu tak akan berselisih dalam hal-hal yang sifatnya qath'i, pasti.
Maka kebenaran ilmiah yang pasti, tak akan bertentangan dengan kaidah syar'iyah yang tsabit.
Jika derajat kedua pandangan itu berbeda, maka kebenaran yang zhani harus dita'wil agar sejalan
dengan kebenaran yang qath'i. Tetapi jika kedua-duanya zhanni maka kezhanian syara lebih
berhak diikuti, sampai kemudian ditemukan kepastian tentang kebenaran akal atau kepastian
tentang ketidak benarannya.
20. Kita tidak mengkafirkan seorang Muslimpun --yang mengakui dua syahadat, mengerjakan
tuntutan dan faraidlnya- hanya karena menge-luarkan suatu pendapat atau melakukan
kemaksiatan tertentu. Kecuali jika ia mengaku bahwa dirinya kufur, mengingkari sesuatu yang
pasti dalam agama, mendustakan kebenaran yang sangat jelas dari al-Qur'an (sharih al-Qur'an),
menafsirkannya dengan cara yang tidak sesuai dengan uslub dan bahasa Arab, atau melakukan
suatu perbuatan yang tidak bisa dita'wil lagi kecuali memang perbuatan itu benar-benar suatu
kekufuran.
21. Wanita adalah saudaranya laki-laki. Mencari ilmu dan demikian pula amar ma'ruf dan nahyi
munkar adalah kewajiban bersama.
Dan wanita dalam batas-batas etika Islam mempunyai hak dan ke-wajiban untuk bersama-sama
membangun dan melindungi masyarakat.
22. Keluarga adalah pondasi bangunan akhlaq dan sosial umat, dan merupakan basis yang alami
untuk pertumbuhan generasi umat manusia. Karena itu kedua orang tua mempunyai kewajiban
bersama untuk men-ciptakan lingkungan yang baik bagi pertumbuhan anak.
Lelaki adalah pemimpin rumah tangga. Meski demikian kewenan-gan dan tanggung jawabnya
terbatas pada hal-hal yang disyariatkan Al-lah bagi seluruh anggota keluarga.
23. Manusia mempunyai hak-hak materi (madi) dan moral (adabi) yang sebanding dengan
kemuliaan dan kedudukan yang telah dianu-gerakan Allah kepadanya. Islam telah menjelaskan
hak-hak ini dan men-gajak untuk menghormatinya.
24. Para pemimpin dan penguasa bekerja untuk mengabdi kepada rakyatnya, demi menjaga
kemaslahatan agama dan dunianya. Maka ke-beradaan mereka dalam jabatannya sangat
tergantung pada komitmen mereka dalam menjalankan dan menjaga kewajiban ini, serta kerelaan
rakyat atas mereka. Sama sekali seorang pemimpin tak berhak untuk memaksakan suatu
keputusan secara despotik kepada rakyat.
25. Syura adalah asas pemerintahan. Bagi setiap bangsa berhak un-tuk memilih cara yang paling
tepat untuk menerapkannya. Cara yang paling baik bagi pelaksanaan syura ini adalah yang paling
mendukung untuk ketundukan umat terhadap Allah SWT dan menjauhkannya dari riya, penipuan
dan keserakahan duniawi.
26. Hak pemilikan pribadi dijamin oleh syara, dengan syarat-syarat dan hak-haknya yang telah
diatur oleh Islam.
Keseluruhan umat adalah ibarat satu tubuh, yang satu sama lain saling melengkapi. Karenanya
satu bagian tubuhpun tak boleh diperdaya oleh sekelompok lain. Maka persaudaraan umum
adalah hukum yang mengatur masing-masing anggota jamaah, karenanya baik persoalan ma-teri
ataupun moral harus tunduk pada hukum jama'ah ini.
27. Keluarga Islam internasional bertanggung jawab atas terlak-sananya da'wah Islam. Seperti
halnya ia bertanggung jawab untuk men-jawab tuduhan-tuduhan dan menolak kesengsaraan yang
menimpa ang-gota keluarganya. Keluarga Islam juga berkewajiban untuk mengerahkan usahanya
untuk menghidupkan kembali khilafah dalam bentuknya yang layak dan sebanding dengan
kebesaran agamanya.
28. Perbedaan agama tidak menjadi sumber permusuhan antara sesama manusia. Tetapi
terjadinya permusuhan, persengketaan, peper-angan, fitnah dan semua bentuk kezhaliman itu
terjadi karena ulah sekelompok manusia, oknumnya.
29. Hubungan muslimin dengan keluarga masyarakat internasional didasari oleh persaudaraan
kemanusiaan yang murni. Umat Islam harus mendawahkan agamanya hanya dengan
argumentasi dan kerelaan: La iqraha fi al-dini qat tabayyana al-rusydu min al-ghayyi.
30. Umat Islam bersama-sama kelompok lain --dengan perbedaan agama dan madzhabnya--
berkewajiban untuk mewujudkan kese-jahteraan umat manusia, baik secara materi maupun
secara nilai (ma'nawi). Ini adalah pijakan fitrah keislaman dan nilai-nilai yang kita warisi dari
pembesar para nabi, Nabi Muhammad SAW.

IV. Asas-Asas Dawah


Syekh Musthafa Masyhur menganalisa beberapa gerakan dan or-ganisasi dawah khususnya
Ikhwanul Muslimin yang telah lama dige-lutinya. Beliau menyimpulkan delapan issue penting
dalam dawah dan secara tematis memperluas pembahasannya dengan beberapa poin pokok.
1. Ar-Ru-yah Al-Wadlihah (Pandangan yang jelas)
Seorang dai dituntut untuk mengetahui dan memahami dengan benar seluk beluk jalan dawah.
Mengenal dengan pasti petunjuk-petunjuknya serta seluruh bagian penting dari dawah ini.
Langkah per-tama ialah menentukan ghayah (tujuan) yang harus dicapai yaitu Allah SWT
Maksudnya dengan berjalan di atas jalan dawah, kita harus beru-saha mencapai keridlaan-Nya,
meraih kenikmatan dan keselamatan api neraka. Firman Allah SWT; Hai orang-orang yang
beriman, sukakah kamu Aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkan kamu dari
adzab yang pedih ? Yaitu kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, dan berjihad di jalan
Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagi kamu jika kamu mengetahuinya,
niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosamu dan mema-sukkan kamu ke dalam surga yang
mengalir di bawahnya sungai-sungai, dan memasukkan kamu ke tempat tinggal yang baik di
dalam surga Adn. Itulah ke-beruntungan yang besar. Dan (ada lagi) karunia lain yang kamu
sukai, (yaitu) pertolongan Allah dan kemenangan yang dekat waktunya. Dan sampaikanlah berita
gembira ini kepada orang-orang yang beriman.
Adapun sasaran yang akan dicapai para aktifis dawah ialah tegaknya dienullah di bumi dengan
berdirinya daulah Islamiah Alamiah yang dipimpin oleh sistem khilafah Islamiah. Waktu dan
masa penca-paian sasaran dawah tidak boleh diukur dengan usia seseorang, tetapi harus diukur
dengan umur dawah atau generasi. Sehubungan dengan ini, Imam Hasan Al-Banna dalam
Risalah Khamis mengatakan; Se-sungguhnya langkah-langkah dan batas-batas jalan kalian
sangat jelas ru-musannya. Saya tidak akan menyalahi batas-batas ini karena saya yakin seyakin-
yakinnya bahwa kadang-kadang jalan yang harus ditempuh panjang. Tetapi tidak ada jalan lain
selain jalan ini. Jalan ini memerlukan orang yang shabar, teguh, sungguh-sungguh dan bekerja
serius. Jika di antara kalian ada yang terburu-buru ingin memetik buah sebelum masak atau
memetik bunga sebelum mekar, maka ketika itu saya tidak bersamanya, sebaiknya ia menempuh
jalan lain, bukan jalan ini. Barangsiapa yang shabar bersamaku sampai benih tumbuh, batangnya
kuat dan berbuah ranum serta layak untuk dipetik, maka pahalanya ada pada Al-lah. Kita akan
mendapatkan salah satu dari dua kebaikan; Menang dan memim-pin atau mati syahid dan
bahagia.
Ujian dawah adalah salah satu tanda sunnatullah dalam dawah, dan dengan menyadari hal ini
seorang dai tahu bahwa di balik imtihan (co-baan dan ujian) tersebut terkadang faktor-faktor
kemenangan yang tidak akan berhenti dengan sebab-sebab adanya rintangan. Kemenangan selalu
mengiringi ujian dan penderitaan. Sebuah jamaah yang berjalan di jalan dawah yang lurus
harus menjelaskan beberapa sifat asasi yang menjadi karakteristiknya. Di antaranya; Pertama,
Manhaj dan sasarannya ialah tegaknya daulah Islamiah Alamiah, terutama tegaknya sistem
khilafah. Kedua, Pemahamannya terhadap Islam. Yaitu pemahaman yang menyelu-ruh dan
bersih, bersumber dari Kitab dan Sunnah. Ketiga, Cara mewu-judkan sasarannya sejalan dengan
cara Rasulullah SAW dalam membina daulah Islamiah pertama. Secara tertib daulah ini
ditegakkan di atas tiga azas, yaitu; (1) Kekuatan aqidah dan iman, (2) kekuatan wihdah (per-
satuan) dan ukhuwah, dan (3) Kekuatan fisik dan sarana penunjangnya. Keempat,
Internasionalisasi gerakan, tidak boleh hanya bersifat lokal atau regional kecuali ada koordinasi
dengan gerakan pusat.
2. Al-Istimrariah (kesinambungan)
Banyak tenaga dawah, jamaah, organisasi atau partai politik tum-buh dan kuat, tetapi tidak
lama kemudian melemah dan bubar. Mengapa ini terjadi ? Faktor penyebabnya banyak, antara
lain karena tidak orisinil dan tidak memiliki kemampuan bertahan atau buruknya manajemen se-
hingga tidak mampu mengantisipasi tipu daya dan konspirasi musuh. Yang dimaksud
kesinambungan di sini ialah tetap adanya orang yang memikul beban dawah dan berusaha
mewujudkan sasaran-sasarannya serta mewariskannya kepada generasi selanjutnya. Jika jalan
dawah dii-baratkan sebatang pohon, maka tarbiah dan tazkiah ruhiah adalah humus dan
pupuknya, disamping persiapan setiap afrad juga kesatuan jamaah mesti dibina. Di antara sebab
paling berbahaya yang dapat menghentikan perjalanan bahkan menggagalkan dawah ialah
adanya perselisihan dan pertentangan dalam shaf. Firman Allah; Dan janganlah kamu
berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu.
3. An-Namwu Wal Quwwah (Pertumbuhan dan Kekuatan)
Kesinambungan yang dikehendaki ialah disertai dengan perluasan medan gerakan yang continual
dan kuantitas afrad (anggota) dan simpa-tisan gerakan semakin berkembang serta kekuatan
struktur harakah afrad dan pirantinya yang semakin meluas. Ada dua jenis pertumbuhan dan
perkembangan yang harus diperhatikan, yaitu; Pertama, Perkembangan horizontal, ialah
berkembangnya hasil keseriusan manuver dawah se-hingga medan dawah semakin meluas,
bukan saja kawasan-kawasan Is-lam tetapi juga di seluruh dunia. Di antaranya dengan
memperhatikan berbagai wasilah (sarana) nasyrud dawah seperti buku, surat kabar, ma-jalah,
brosur, seminar, diskusi, kaset, radio, televisi, film dan sebagainya. Kedua, Pertumbuhan
vertikal, ialah meningkatkan mustawa (tingkat) afrad dan pembinaannya. Ini jelas merupakan
lapangan tarbiah seperti penga-jaran, usrah, rihlah, muaskar dan lainnya. Berkenaan dengan
kekuatan ke-pribadian, Imam Hasan Al-Banna dalam risalah Ila Ayna Nadu an-Nas dibawah
judul Min Ayna Nabda, menyatakan; Sesungguhnya membentuk ummat, mentarbiah bangsa,
mewujudkan cita-cita dan membela prinsip memerlukan kekuatan jiwa besar dari ummat atau
kelompok yang mem-perjuangkannya. Hal ini tercermin dalam beberapa hal; (1) Iradah Qawiah
yang tidak dapat diserang kelemahannya. (2) Wafa Tsubut yang tidak mengenal tukar bulu atau
khianat. (3) Tadhhiah Azizah yang tidak dapat dihalangi oleh ketamakan dan kekikiran. (4)
Marifatul Mabda dan mengimaninya yang dapat melindungi dari kesalahan, penyimpangan,
tawar menawar dan ketertipuan.
4. Al-Muhafadzah ala Al-Ashalah (Menjaga Orisinalitas)
Menjaga orisinalitas berarti berpegang teguh kepada Islam dan tidak menyalahinya, baik dalam
teori maupun praktek. Imam Syahid selalu menekankan agar jamaah beriltizam dengan Islam,
Kitab dan Sunnah serta melangkah sesuai dengan Sirah Rasulullah SAW ketika beliau membina
daulah Islamiah pertama. Firman Allah; Sehingga tidak ada lagi fitnah dan agama semuanya
bagi Allah.
Dalam menjaga orisinalitas ini diperlukan sikap takamul dan itidal (integral dan proporsional).
Takamul ialah menerapkan Islam dengan se-luruh aspek, tuntunan dan universalitasnya tanpa
meremehkan satu sisipun darinya. Sedangkan itidal ialah bahwa setiap anggota bekerja dalam
seluruh sisi Islam dengan seimbang dan proporsional, jauh dari si-fat keterlaluan (ekstrimitas)
dan di luar ketentuan yang wajar, serta jauh dari peremehan aspek Islam.
5. At-Takhtith Wa At-Tathwir (Perencanaan dan Pengembangan)
Untuk mencapai sasaran dawah, amal Islami harus berjalan dengan takhtith (perencanaan) yang
teliti, tidak boleh asal-asalan, spontanitas atau reaksioner. Karena itu perlu lebih dirinci sasaran
tersebut dengan program yang jelas dan alat/sarana yang memadai. Selanjutnya Amal Islami
melakukan evaluasi seluruh pelaksanaan program pencapaian sa-saran yang telah digariskan.
Kita harus memanfaatkan penemuan baru dalam bidang jihad dan persiapannya, baik dalam
perekonomian, indus-tri, perdagangan, pertanian atau keuangan. Karena prinsip Islam yang tetap
ini membutuhkan alat pencapaiannya yang selalu diperbaharui terus sesuai perkembangan
zaman.
6. Jamu Kalimatil Muslimin (Kesatuan Pandangan)
Jalan pertama menyatukan pandangan setiap masyarakat muslim dan mempersatukan kaum
muslimin ialah melalui usaha menghidupkan aqidah Islamiah dalam diri dan membangkitkan
keimanan di dalam hati. Kemudian memperkenalkan kaum muslimin akan hakikat agama Islam,
keagungan dan kesyumulannya.
7. Al- Amalu Fi Majalid Dawah (Bekerja dalam lapangan Dawah)
Amal shalih merupakan refleksi keimanan dan pembuktian terha-dap pengakuan imannya. Amal
shalih dan iman adalah faktor penyebab memperoleh kemenangan, kekuasaan dan kenikmatan
surga. Firman Al-lah; Dan katakanlah, bekerjalah kamu, maka Allah dan rasul-Nya serta orang-
orang mumin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada Allah Yang
Maha Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitahukan-Nya kepada kamu apa
yang telah kamu kerjakan.
8. At-Taurits Wat-tuham Al-Ajyal (Pewarisan dan Regene-rasi)
Agar pemahaman terhadap masalah pewarisan dan regenerasi di kalangan anggota dawah dan
urgensinya dalam persoalan perubahan yang merupakan sunatullah dalam ciptaannya lengkap
dan integral, maka kita harus menatap sekilas tentang perkembangan dawah Islamiah masa lalu,
masa kini dan proyeksinya untuk masa yang akan datang, serta mewujudkan sasaran jamaah
yang telah menjadi cita-cita bersama. Secara teoritis pewarisan tidak akan berjalan mulus hanya
dengan me-lalui buku dan risalah-risalah. Agar pewarisan ini benar, maka mau tidak mau harus
melalui muayasyah (koeksistensi) dan regenerasi antar tingka-tan. Karena itu keteladanan akan
berpengaruh efektif di dalam peruba-han dan pewarisan. Sebab dengan keteladanan akan
melahirkan ta-alluf (kesatuan hati), persenyawaan dan kecintaan yang tulus dan akan mela-
hirkan generasi yang lebih baik.
***
Keberadaan sebuah gerakan keagamaan ataupun pemikiran, dewasa ini tidak lagi menjadi hal
yang asing, disebabkan oleh melebarnya isu keterbukaan setiap bangsa dan golongan. Abad kini
yang kita kenal se-bagai era globalisasi informasi telah melahirkan sebuah kondisi masyara-kat
modern dalam konteks yang beragam. Lompatan-lompatan besar yang belum pernah terjadi
sebelumnya kini dapat disaksikan. Zaman ini merupakan sebuah revolusi komunikasi terutama di
bidang transformasi pemikiran dan informasi budaya. Tentu saja semua perubahan ini mela-
hirkan sejumlah akibat serta problema yang belum pernah dihadapi gen-erasi terdahulu. Politik
isolasi (Uzlah) menjadi sesuatu yang mustahil dapat dilakukan, baik secara pribadi maupun
negara. Manusia modern dihadapkan kepada badai informasi yang membingungkan serta kon-
tradiksi di sekitar partai politik, gelombang pemikiran, aliran-aliran agama dan filsafat atau
sejenisnya yang mungkin akan mengaburkan pandangannya terhadap kebenaran objektif.
Salah satu lembaga pengkajian Riyad -WAMI (An-Nadwah Al-Alamiyah Li Asy-Syabab Al-
Islamy) mencoba mengantisipasi fenomena di atas dengan menyusun sebuah ensiklopedi akar
ideologi berbagai aliran keagamaan dan pemikiran kontemporer. Ensiklopedi ini dimak-sudkan
agar menjadi rujukan ketika kita berhadapan dengan aliran-aliran yang muncul sekarang-
sekarang ini. Walaupun dengan format neoisme, namun sebenarnya jika ditelusuri akan sampai
kepada akar pokoknya yang telah diisyaratkan dalam al-Quran dan As-Sunnah.
Ada tiga puluh satu aliran keagamaan dan pemikiran yang dimuat dalam ensiklopedi ini, antara
lain; (1) Ibadiyah, (2) Al-Ikhwan Al-Muslimun, (3) Orientalisme (Istisyraq), (4) Isma-iliyah, (5)
El-Opus Dei Instuto Secular, (6) Babiyah dan Bahaiyah, (7) Partai Baats Sosialis Arab, (8)
Bareilawisme, (9) The Bilalians, (10) BNai BRith, (11) Budhisme, (12) Jamaah Tabligh, (13)
Tijaniyah, (14) Hizbu Al-Tahrir, (15) Westernisasi, (16) Kristenisasi, (17) Jamaat Islami
(Pakistan), (18) Al-Hizb Al-Jumhuri, (19) Jinisme, (20) Assasin, (21) Darwinisme, (22) Droze,
(23) Kapitalisme, (24) Rotary Club, (25) Ruhani Baru, (26) Zaidiyah, (27) Hizbus Salamah al-
Wathani, (28) Komunisme, (29) Sikhisme, (30) Saksi Yehova, dan (31) Syiah Imamiyah (Dua
Belas).
Yang menarik dari ensiklopedi ini ialah analisis yang objektif dan terbuka dalam menelusuri
setiap aliran tersebut, apalagi dikuatkan den-gan referensi yang diambil dari masing-masing
aliran.
Salah satu aliran yang ada di Indonesia yaitu Rotary Club. Menurut-nya, Rotary adalah sebuah
organisasi mantel Free Massonry yang sepe-nuhnya dikendalikan Yahudi Internasional. Tokoh
utamanya ialah Paul Harris, seorang advokat yangmendirikan Rotary Club ini pada tahun 1905 di
Chicago. Tiga tahun kemudian Charly Berry bergabung dan memperluas gerakannya dengan
cepat. Ia kemudian menjadi sekretaris club dan mengundurkan diri pada tahun 1942. Paul Harris
meninggal ta-hun 1947 setelah gerakannya berkembang ke 80 negara dan mempunyai 6800 club
serta 327.000 anggota.
Tentang pemikiran dan doktrin-doktrinnya, Rotary tidak menjadi-kan agama sebagai standar
dalam pemilihan anggota, juga tidak diper-masalahkan tentang kewarganegaraan. Dengan
demikian memudahkan ajaran Yahudi merasuk ke dalam berbagai aktifitas kehidupan. Terbukti
dengan dianggap perlunya keberadaan minimal dua orang Yahudi dalam setiap club. Charles
Marden yang pernah menjadi anggota Rotary selama tiga tahun, telah melakukan studi terhadap
organisasi ini. Kemudian ia mengemukakan beberapa data berikut;
1. Setiap 421 orang anggota Rotary Club, 159 orang diantaranya mempunyai keterikatan kuat
dengan Free Massonry. Loyalitas mereka terhadap Free Massonry melebihi clubnya.
2. Dalam beberapa hal, keanggotaan Rotary hanya terbatas untuk orang-orang Free Massonry,
seperti di Edinburg Inggris pada tahun 1921.
3. Dalam sebuah perkumpulan yang disebut Nans di Perancis dise-butkan; Jika orang-orang
Free Massonry membentuk organisasi yang bekerjasama dengan golongan lain, maka urusan
organisasi tidak boleh berada di tangan orang lain. Personil organisasinya harus dipegang orang-
orang Free Massonry dan harus berjalan sesuai dengan prinsip Free Massonry.
4. Ketika Free Massonry mengalami penyusutan, juteru Rotary men-dapat dukungan sangat
besar dan aktifitasnya semakin kuat. Hal ini di-karenakan orang-orang Free Massonry mendapat
tekanan keras dari ber-bagai pihak, kemudian mengalihkan segala aktifitasnya kepada Rotary
Club sampai tekanan itu hilang dan kondisinya kembali seperti semula.
5. Rotary didirikan tahun 1905, yaitu tahun-tahun menjelang aktifnya Free Massonry di
Amerika.
Beberapa club yang seidealitas Rotary antara lain Lions, Kiwany, Ex-change, Meja Bundar,
Pulpen dan BNai BRith. Motivasi Rotary yang se-benarnya ialah membaurkan orang-orang
Yahudi dengan bangsa lain dengan mengatasnamakan kasih dan persaudaraan. Melalui jalan ini
mereka mampu mengumpulkan berbagai maklumat yang dapat mem-bantu mereka dalam
mendukung tujuan mereka yang bersifat ekonomis dan politis. Juga membantu mereka dalam
menyebarkan tradisi tertentu yang akan memastikan timbulnya kemerosotan (degenerate) sosial.
Ini dapat kita lihat melalui persyaratan keanggotaan yang hanya diberikan kepada orang-orang
penting dan menonjol di masyarakat.
Ada enam belas referensi yang dijadikan bahan ensiklopedi tentang Rotary ini, diantaranya;
Rotary And Its Brothers, karya Charles F. Marden (Princebton University Press, 1963), To
Wards My Neighbour G.R.H. Nitt, My Rode To Rotary Ravl P.Harris, Al-Masuniyah Fi
Ara Dr. Syekh Muhammad Ali Az-Zaby dan lain-lain.
Aliran lain yang dikupas dengan jelas ialah Jamaah Tabligh yang kini menyebar ke setiap
pelosok Indonesia.
Jamaah Tabligh adalah sebuah jamaah Islamiah yang dawahnya berpijak pada penyampaian
(tabligh) tentang keutamaan-keutamaan ajaran Islam (Fadlilah) kepada setiap orang yang dapat
dijangkau. Jamaah yang didirikan oleh Syekh Muhammad Ilyas Kandahlawy (1303-1364) ini
menekankan kepada setiap pengikutnya agar meluangkan wak-tunya untuk menyampaikan dan
menyebarkan dawah dengan menjauhi bentukbentuk kepartaian dan masalah-masalah politik.
Pendiri Jamaah telah menetapkan enam prinsip yang menjadi asas dawahnya, yaitu (1)
Kalimah agung, (2) Menegakkan shalat, (3) Ilmu dan dzikir, (4) Memuli-akan setiap muslim, (5)
Ikhlas dan (6) Berjuang fi sabilillah.
Secara umum metode dawah mereka antara lain; Para anggota menyusun sebuah kelompok
(halaqah) yang bertugas melakukan dawah di sekitar tempat diam mereka dengan membawa
peralatan hidup seder-hana. Sebagian dari mereka ada yang membersihkan tempat yang diting-
gali (biasanya di masjid) dan sebagian lagi keluar (khuruj) mengunjungi kota, kampung, pasar
dan warung-warung sambil berdzikir kepada Al-lah. Mereka mengajak orang-orang untuk
mendengarkan bayan (ce-ramah). Mereka berkeyakinan, jika pribadi-pribadi telah diperbaiki satu
persatu, maka secara otomatis kemunkaran akan hilang. Mereka meman-dang taqlid kepada
madzhab tertentu adalah wajib. Konsekuensinya, mereka melarang ijtihad dengan alasan
sekarang ini tidak ada ulama yang memenuhi syarat seorang mujtahid. Jamaah Tabligh banyak
dipengaruhi oleh sufisme India, diantara praktek sufistiknya ialah;
1. Setiap pengikut diharuskan baiat kepada syekhnya. Barangsiapa meninggal tanpa tanda baiat
di tekuknya, maka ia mati dalam keadaan jahiliyah.
2. Sangat berlebihan mencintai syekh.
3. Menjadikan mimpi sebagai landasan kebenaran dalam dawahnya.
4. Meyakini tashawuf sebagai jalan terdekat mewujudkan keimanan.
5. Senantiasa menyebut tokoh-tokoh sufi seperti Abdul Qadir Jailani, Suhrawardi dan lain-lain.
Jamaah Tabligh memperluas dirinya secara horizontal kuantitatif, tetapi mereka lemah dalam
mencapai keunggulan kualitatif. Sebab men-capai kualitas yang baik memerlukan pembinaan
dan ketekunan yang berkesinambungan. Inilah yang tidak dimiliki Jamaah Tabligh, karena
orang yang mereka dawahi hari ini belum tentu akan mereka jumpai sekali lagi. Malah tidak
jarang orang yang telah mereka dawahi kembali lagi ke dalam kehidupan semula. Pengaruh
dawah mereka lebih mem-bekas secara jelas kepada pengurus masjid. Sedangkan kepada orang-
orang yang telah memiliki pemikiran dan ideologi tertentu, hampir-hampir pengaruhnya tidak
ada. Dapat juga dikatakan bahwa mereka mengambil Islam sebagian dan meninggalkan
sebagiannya. Memilah-milah hakikat Islam jelas bertentangan dengan watak Islam yang utuh.
Kitab utama yang dipelajari oleh anggota Jamaah Tabligh ialah Hayatus Shahabah karya
pendiri aliran ini.
Alangkah beragamnya pola pemikiran dan aliran yang terjadi di dunia ini, yang tentunya ada sisi
positif dan negatifnya. Bagi kita selaku muslim yang meyakini Islam sebagai ajaran yang kamil
mutakammil, se-layaknya membentengi diri dari faham-faham sesat dan menyesatkan.
***

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh- Ku dan musuhmu menjadi
teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa
kasih
sayang, padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebena-ran yang datang kepadamu,
mereka mengusir Rasulullah dan men-gusir kamu karena kamu beriman kepada Allah,
Tuhanmu.
(QS. 60:1)
***
Sungguh sangat disayangkan, sebagian besar mereka yang mengaku golongan AhlusSunnah
Wal-Jamaah telah terseret menjadi orang-orang yang membenarkan praktek golongan "pencinta
Ahlulbait. Akhirnya ti-dak ada lagi jarak antar pemuja Syiah dan pembela AhlusSunnah.
Bahkan kini telah beredar buku-buku yang menyerukan persatuan antara AhlusSunnah dan
Syiah Rafidhah, baik yang ditulis oleh orang Syiah maupun mereka yang pro dari
AhlusSunnah.
Jika kita kembalikan pengertian dari persatuan dan ukhuwah Isla-miah, sesungguhnya tidak tepat
bergumul dengan mereka dan menga-tasnamakan persatuan. Karena telah jelas bahwa persatuan
harus be-dasarkan persamaan prinsip-prinsip pokok (ushul). Bagaimana dengan mereka? Apakah
kita akan bersatu dengan keyakinan bahwa Allah bersi-fat bodoh dan pelupa? Bahwa Al-Quran
Al-Karim belum sempurna? Bahwa mencela dan mendiskreditkan shahabat dan salafusshalih
adalah ibadah? Bahwa mereka adalah para perusak sejarah Islam? Dan perbe-daan prinsip
lainnya.
Ketahuilah, perbedaan antara AhlusSunnah dan Syiah Rafidhah adalah perbedaan dalam ushul
(prinsip dasar) bukan dalam masalah furu (cabang). Ketika terjadi revolusi Iran, banyak orang
terkesan akan kekua-tan dien Syiah. Kemudian dijadikan momentum untuk merangkul kaum
muslimin dengan seruan berbaiat kepada Khomaeni sebagai Imam selu-ruh ummat Islam.
Apa yang terjadi merupakan akibat dari lemahnya pemahaman ummat Islam terhadap Al-Quran
dan Sunnah serta kurang selektifnya menerima setiap faham dan keyakinan.
Beberapa Sikap Syiah terhadap AhlusSunnah
Penulis menjelaskan beberapa bagian tentang sikap Syiah terhadap AhlusSunnah berdasarkan
kepada rujukan kitab-kitab Syiah yang masih dijadikan pegangan para penganutnya.
Pengertian Al-Nashib menurut Syiah
Kitab-kitab Syiah yang saya kaji, sangat banyak memuat istilah-istilah, kunyah dan laqab yang
sebelumnya belum pernah digunakan oleh para ulama. Ada juga istilah yang sama, namun
pengertiannya berten-tangan dengan yang sebenarnya. Misalnya, dalam kitab mereka terdapat
kunyah "Al-awwal", "Al-tsani", "Al-tsalits", "Habtar. (burung Pelanduk), "Zaraiq (nama
burung). Dengan shighat menghina, mereka maksudkan Al-Awwal adalah Al-Shiddiq, Al-tsani
Umar, Al-tsalits Usman, Habtar ialah Abu Bakr, Zaraiq adalah Umar dan banyak lagi istilah
ejekan lainnya. Be-gitu juga istilah "Nashib" atau "An-Nawashib. Menurut Ahlus Sunnah,
Nashib ialah orang-orang yang membenci Ali RA dan Ahlulbaitnya serta melaknat mereka.
Namun, menurut Syiah pengertiannya ialah golongan AhlusSunnah yang menyetujui
kekhalifahan Abu Bakar RA, Umar RA dan shahabat lainnya. Kitab-kitab Syiah yang
menjelaskan seperti ini di antaranya, "Al-Hadaiqun Nadlirah fi Ahkamil 'Atrahuthahirah" karya
Al-Bahrani, "Al-Mahasinun Nafsaniah fi Ajwabati Masail lil Kharasaniah" Karya Husain Al-
Usfuur. "Al-Anwarun Nu'maniah karya Ni'matullah Al-Jazairy. "Maratul Anwar Wa Misykatul
Asrar" karya Abul Hasan Al-Amily.

Ilah AhlusSunnah berbeda dengan Ilah Syiah.


Ni'matullah Al-Jazairy seorang tokoh terkemuka Syiah menyatakan: "Kami tidak ada persamaan
dengan mereka (ahlus Sunnah) tentang Allah Nabi dan Iman. Mereka berkata bahwa Tuhan
mereka adalah yang Nabinya Muham-mad SAW dan khalifah penggantinya ialah Abu Bakar
RA. Sedangkan Tuhan kami bukan seperti itu, bukan Tuhan yang Nabinya Muhammad SAW
dan khali-fah penggantinya Abu Bakar RA. Itu bukan Tuhan kami dan bukan pula Nabi kami.
Sebelum kita menarik kesimpulan, sebaiknya harus di jelaskan dulu Aqidah Yahudi dan Syiah
dalam memandang Allah SWT. Allah menu-rut Aqidah Yahudi "Jahil" tidak mengetahui
sesuatupun kecuali setelah terjadi, bahkan Dia bersifat manusiawi seperti lupa, lelah, lemah dan
si-fat-sifat kekurangan lainnya. Demikian dijelaskan dalam Taurat versi mereka. Ternyata
Aqidah sesat seperti ini meracuni pikiran Syiah. Yaitu dengan istilah "Al-Bada", artinya
semakna dengan "jahil" yaitu mem-benarkan pengetahuan tentang sesuatu setelah tidak
diketahui. Al-Kulaini menulis Bab khusus dalam kitabnya "Al-Kafi" dengan judul "Al-Bada.
Riwayat dari Rayyan Bin Ash-Shilt, mengatakan: "Aku menden-gar Ar-Ridha (Ali Bin Musa,
Imam ke-8) mengatakan: "Allah tidak mengu-tus seorang Nabi kecuali membawa perintah
mengharamkan arak dan menetap-kan bahwa Allah mempunyai sifat "Al-Bada.
Syiah menghalalkan harta dan darah AhlusSunnah
Menurut riwayat dari imam Syiah dan kitab-kitab mereka, harta dan darah AhlusSunnah halal
bagi mereka. Hafs bin Al-Bukhtury mendengar Ali Abdillah mengatakan: "Ambillah harta Al-
Nashib (Ahlus-Sunnah) dimana saja kamu temui dan serahkan kepada kami seperlimanya.
Khomaeni membolehkan perampasan harta AhlusSunnah walaupun dengan cara yang
bertentangan dengan syara. Syiah juga menghalal-kan pertumpahan darah AhlusSunnah
walaupun dengan cara batil. Atas perilaku yang dilegalisasi menjadi aqidah ini, Syekh Ahmad
Mufti Zadah, seorang ulama terkenal AhlusSunnah asal Iran berkomentar dalam dua suratnya
yang cukup panjang, ia menjelaskan dalam suratnya yang pertama yang dikirimkan kepada para
ulama dan pemimpin Iran, di antara isinya menggugah kesadaran para ulama (khususnya Syiah)
dan penguasa agar tidak memaksakan faham Syiah kepada AhlusSun-nah apalagi dengan
kekerasan, ancaman, pembunuhan, pengusiran dan sebagainya yang mereka anggap pengamalan
aqidah Syiah yang funda-mentalis. Surat kedua ditujukan khusus kepada Khomaeni, isinya
hampir senada dan hal ini disampaikan kepadanya, karena segala keputusan di Iran ada di
tangannya sebagai Imam tertinggi.
Shalat di belakang AhlusSunnah
Syiah melarang pengikutnya shalat di belakang AhlusSunnah kec-uali untuk taqiyah. Banyak
sekali Hadits riwayat para imam yang dikutip kitab-kitab mereka. Di antaranya Al-Kafi, Man
laa yadhurruhui Al-fiqhiah, Al-tahdzib, Al-istibshar. Sebagian ikhwan mengatakan, orang
Syiah tidak pernah menghadiri masjid AhlusSunnah, kecuali jika akan membagikan selembaran
Khomaeni atau mengumpulkan sedekah. Riwayat dari Al-Fadl bin Yassar, ia berkata: "Aku
bertanya kepada Abu Ja'far tentang menikahi Al-Nashib dan shalat di belakangnya, ia men-
jawab: "Janganlah menikah dengannya dan jangan shalat di belakangnya. Terdapat 39 riwayat
yang senada dengan riwayat di atas.
Syiah dan menikahi AhlusSunnah
Berdasarkan riwayat-riwayat Syiah, mereka memandang golongan AhlusSunnah sebagai kafir,
fasiq dan sesat. Sehingga dalam fiqh Syiah pun terdapat beberapa hukum yang disesuaikan
dengan pandangan aqi-dah mereka, seperti masalah hukum menikah dengan AhlusSunnah.
Syiah melarang para pengikutnya menikah dengan AhlusSunnah, bahkan mereka memandang
lebih utama menikahi Yahudi, Nasrani atau Majusi daripada menikahi Sunni. Syiah
mengharamkan nikah dengan AhlusSunnah secara mutlak. Karenanya, mereka tidak mengakui
Ruqay-yah dan Ummu Kul-tsum karena pernah menikah dengan Utsman bin Affan RA. Kitab-
Kitab yang menjelaskan hal itu di antaranya, Al-Istigha-taha fi Bida'i Al-Tsalatsah (yaitu Abu
Bakar RA, Umar dan Utsman RA) karya Abu Al-Qasim Al-Kufi, Anwar Al-Nu'maniah karya
Nikmatullah Al-Jazairi dan kitab Syiah lainnya. Banyak sekali riwayat yang menyatakan
keharaman nikah dengan AhlusSunnah, di antara 16 riwayat tersebut adalah dari Abdullah bin
SaIman dari Abi Abdillah, ia berkata: "Ayahku bertanya kepadanya dan aku mendengarkan,
tentang menikahi Yahudi dan Nashrani. Ia menjawab: "Menikahi keduanya lebih disukai olehku
daripada menikahi Al-Nashibiah.
Wajib Berbeda dengan AhlusSunnah,.
Menjadi suatu kewajiban bagi setiap pengikut Syiah, berbeda den-gan pengikut AhlusSunnah,
baik dalam aqidah maupun hal yang ber-hubungan dengan syariah. Pandangan semacam ini,
bukan berdasarkan prasangka belaka atau menurut kitab Syiah klasik saja. Tapi merupakan
rangkuman dari kitab kontemporer yang disusun oleh ulama Syiah den-gan gelar Al-Mahdi,
Al-Muntazhar atau Al-Ayat.
Pendapat Khomaeni tentang kewajiban berbeda dengan AhlusSun-nah telah kami tanggapi
dengan kitab yang kami susun Mauqif Al-Khomaeni Min AhlusSunnah. Sebagai bahan
perbandingan, kami mengemukakan komentar Syekh Muhammad Bin Abdil Wahhab dalam
kitab Risalah ri Al-Radd ala Al-Rafidhi: "Sesungguhnya mereka kaum Syiah menjadikan
berbeda dengan AhlusSunnah waljamaah yang berpegang teguh kepada Rasulullah SAW dan
para shahabatnya sebagai prinsip pokok menuju kebahagiaan. Maka setiap kali AhlusSunnah
melaksanakan sesuatu, mereka sengaja meninggalkannya. Dan setiap kali AhlusSunnah
meninggalkan sesuatu mereka sengaja melakukannya. Karenanya mereka keluar dari Al-dien se-
cara bulat-bulat. Syetan telah memperdaya mereka dan menghiasi angan-angan mereka serta
menyerukan pada mereka bahwa berbeda ini merupakan ciri golon-gan yang selamat. Padahal
Rasulullah SAW telah bersabda: "Golongan yang se-lamat adalah himpunan terbesar dari kaum
muslimin dan yang sejalan dengan apa yang saya pegang dan para shahabatku. Perhatikanlah
golongan mereka dengan aqidah dan amalnya sama sekali tidak sejalan dengan Nabi SAW dan
para shahabatnya tetapi mereka mengaku menjadi golongan yang selamat. Se-dangkan
AhlusSunnah adalah golongan yang berpegang pada atsar Rasulullah SAW dan para
shahabatnya. Merekalah yang berhak menjadi golongan yang se-lamat dan ciri khas keselamatan
mereka adalah keteguhannya (istiqamah) dalam Al-Dien tanpa penyimpangan. Madzhab mereka
jelas, kekuasaannya terlihat pada negeri yang merdeka dan keberadaan para ulama yang haq,
muhaddits, auliya dan shalihin mereka. Sedangkan kekuasaan Rafidhah (Syiah) telah hilang,
pen-guasanya pun tak lagi terdengar.
Persekongkolan Syiah dengan Tartarian, Yahudi dan Nashrani.
Syaikul Islam Ibnu Taimiyah menyatakan: "Al-Rafidlah (Syiah) sangat mempertuhankan hawa
nafsu dengan kebodohan dan kezhaliman. Mereka meny-impang dari batas awliya yang mulia
setelah Nabi yaitu Al-Sabiqun Al-Awwalun, Muhajirin dan Anshar yang setia. Bahkan mereka
menjadikan kuffar, munafiq dari Yahudi, Nashrani, Musyrikin, komunis seperti Nashiriyah, Is-
mailiah dan golongan sesat lainnya sebagai wali kepercayaan. Sehingga kebanya-kan mereka
berbeda dalam masalah ketuhanan sebagaimana perbedaan antara mumin dan kafir atau orang
yang berselisih tentang apa yang dibawa para Nabi, di antara mereka ada yang percaya ada yang
menolak. Baik persoalan pendapat atau amaliah. Ketika terjadi peperangan antara muslim
dengan ahli kitab. Misal-nya bantuan mereka ketika kaum musyrikin Turki menyerang penduduk
muslim di Khurasan, Irak, jazirah dan lain-lain. Bantuan terhadap kaum kafir atau Ya-hudi
sangat besar, seolah-olah mereka bagaikan keledai.
Persekongkolan mereka dengan kaum penjajah sangat jelas. Sampai sekarang sikap mereka tidak
berubah, karena memang demikianlah ke-yakinan dan karakter mereka yang sesungguhnya.
Apalagi kini bahasa dan faham Israel meracuni mereka, khususnya di Iran. Kekuatan mereka di
bidang militer diprakarsai oleh Israel, baik kesepakatan jual beli sen-jata dan perjanjian lainnya.
Fakta dan data tentang hal itu cukup banyak dalam kutipan majalah, surat-surat resmi dan lain-
lain. Berita-berita yang dimuat dalam berbagai surat kabar dan majalah edisi 1980 sampai den-
gan 1984 membongkar seluruh persekongkolan antara penguasa Iran (baik yang Syiah maupun
Yahudi Iran) dengan Israel yang didalangi mereka, termasuk peran Khomaeni dalam
persetujuan-persetujuan yang telah disepakati kedua belah pihak.
***

Hanyalah yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada
Allah dan hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut kepada
siapapun selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang mendapat petunjuk.
(QS. 9:18)
***
Masjid adalah sebuah tempat ibadah ritual ummat Islam dimana di-laksanakan shalat, Jumatan
atau dzikir dan pengajian. Demikian angga-pan sebagian orang akan fungsi dan peranan masjid,
karena pada ken-yataannya memang sebagian besar masjid dewasa ini hanya untuk upacara ritual
seperti itu. Tidak sedikit masjid yang terkunci dan hanya dibuka ketika waktu shalat fardlu saja.
Padahal jika kita memperhatikan fungsi masjid pada masa Rasulullah SAW sangat luas. Memang
diakui jumlah masjid di Indonesia semakin hari kian bertambah. Menurut data tahun 1990
mencapai 120.252 buah, langgar 372.243 buah dan mushalla 32.774 buah. Bahkan menurut data
statistik tahunan terdapat kenaikan 5% dalam setiap tahunnya. Kondisi ini membuat kita merasa
kagum dan bangga. Namun ada kek-hawatiran jika melihat kualitas yang biasanya jauh tertinggal
dari kuanti-tasnya. Sehingga ada ungkapan Seribu masjid, satu jumlahnya. Kekha-watiran ini
sedikit terobati dengan banyak berdirinya Dewan Keluarga Masjid (DKM) yang secara khusus
menangani kegiatan dan organisasi masjid. Memang, tidak salah bila ada yang memandang
masjid sebagai-mana pemahaman di atas. Karena menurut bahasa masjidun itu berarti tempat
sujud sebagai simbol ibadah mahdlah. seperti juga dikemukakan oleh Imam Al-Maraghi dalam
tafsirnya; Masajid bentuk jamak dari mas-jid artinya tempat sujud kemudian menjadi nama
sebuah bangunan yang dijadikan tempat beribadah kepada Allah SWT. Hal ini berdasarkan fir-
man-Nya; Dan sesungguhnya masjid-masjid itu kepunyaan Allah, janganlah kamu menyeru
kepada selain Allah dengan sesuatu apapun. ,
Pada ayat di atas dengan tegas Allah SWT menyatakan bahwa yang berhak dan berkewajiban
memelihara masjid itu ialah orang yang memiliki lima sifat.
Pertama, beriman kepada Allah SWT dengan segala aspeknya terma-suk menjalankan segala
titah-Nya.
Kedua, beriman pada Hari Akhir yang merupakan bagian iman yang esensial disamping rukun
iman lainnya.
Ketiga, selalu melaksanakan shalat yang memenuhi sifat shalat Nabi SAW.
Keempat, menunaikan zakat, baik yang wajib maupun shadaqah yang sunat.
Kelima, mereka yang merasa takut hanya kepada Allah SWT, se-hingga ikhlas dalam beramal
shalih. Ayat ini secara khusus berkaitan dengan pemeliharaan Masjidil haram oleh kaum
musyrikin saat itu. Ketika perang Badar, kaum muslimin menawan beberapa tokoh musyrikin di
antaranya Abbas Bin Abdul Muthalib.
Kemudian Ali Bin Abi Thalib RA menyampaikan kejelekan-kejelekan mereka memerangi
Rasulullah SAW serta memutuskan per-saudaraan. Kemudian Abbas membantah: Mengapa
kamu sebut kejelekan kami, padahal kami adalah pemelihara masjidil haram dan menghijabi
Kabah serta menyediakan minuman bagi yang berhaji. Maka turunlah ayat ini ber-kaitan
dengan hak dan kewajiban pemeliharaan masjid.
Pedoman Tamirul Masjid
Abu Hayyan menjelaskan bahwa memakmurkan masjid (Tamirulmasjid) ialah menjaga
kebersihan bangunan dan fisik masjid, mengunjunginya untuk beribadah, mudzakarah atau
menuntut ilmu, serta menjauhkannya dari masalah duniawi yang menyalahi fungsi mas-jid.
Dalam hal ini, Abu Hayyan memandang makna ibadah dalam masjid secara luas termasuk
pengajian dan majlis talim guna mempersiapkan generasi Rabbani yang berilmu. Bahkan
menurut Jumhur Ulama, penger-tian Tamirulmasjid mencakup dua maksud. Pertama,
pemeliharaan fisik (hissiah) seperti membangun, merenovasi dan kegiatan nyata dalam ben-tuk
sarana masjid. Hal ini diisyaratkan sebuah Hadits; Barang siapa yang membangun masjid
karena Allah walaupun di atas sepetak tanah, Allah akan membangun sebuah rumah baginya di
surga. Kedua pemeliharaan non fisik (manawi), seperti meramaikan kegiatan masjid,
menunaikan shalat, dzikir atau membaca Al-Quran dan setiap kegiatan yang mendekatkan diri
kepada Allah. Firman-Nya; Pelita itu dalam rumah (masjid) yang telah Allah izinkan
menghormatinya dan menyebut nama-Nya serta tasbih di dalam-nya pagi dan petang. ,
Terlepas dari berbagai penafsiran di atas, masalah yang dihadapi sekarang ialah bagaimana
mewujudkan masjid yang paripurna di tengah kondisi masyarakat maju dalam era globalisasi
informasi maupun indus-trialisasi yang sedikit banyak membawa pengaruh terhadap fungsi dan
peran masjid dewasa ini. Format masjid pun akan menyesuaikan diri dengan keadaan masyarakat
Islam dalam masalah pemeliharaannya.
KH. Salimuddin, MA. mengemukakan empat fungsi masjid setelah beliau mengutip pendapat
KH. Drs. Miftah Faridl dalam bukunya Pokok-pokok Ajaran Islam. Keempat fungsi tersebut
ialah:
Pertama, sebagai pusat pembinaan keIslaman.
Kedua, sebagai pusat syiar agama Islam dan peradabannya.
Ketiga, Pendidikan Islam baik formal maupun informal.
Keempat, sebagai pusat dawah secara umum, dengan berbagai me-tode seperti ceramah, lewat
audio visual dan lainnya.
Dalam hal ini, diperlukan beberapa pembinaan yang serius dari ber-bagai pihak, mulai dari
jamaah, pemuka agama dan tokoh masyarakat serta pemerintah agar peran serta masjid lebih
luas dalam memberi in-formasi dan motivasi program pembangunan melalui bahasa agama
kepada masyarakat. Secara umum, pembinaan dalam rangka tamirul masjid ini meliputi tiga
aspek, antaralain;
(1) Pembinaan Idarah (administrasi organisasi) mencakup masalah kepengurusan, personalia,
perencanaan, sarana perlengkapan masjid, keuangan dan sebagainya.
(2) Pembinaan Imarah atau kesejahteraan yang ber-fungsi membina peribadatan terutama yang
sifatnya bersama (jamaah), pembinaan pen-didikan formal maupun informal, majlis talim,
pembinaan remaja, wanita, perpustakaan, tabligh akbar dan sebagainya.
(3) Pembinaan Riayah atau perawatan. Tugasnya meliputi pemeli-haraan perlengkapan,
kebersihan, keindahan, dan sebagainya.
Maka, untuk mengelolanya membutuhkan struktur organisasi yang mantap sekurang-kurangnya
terdiri dari ketua, sekretaris atau ketua bidang idarah, bendahara, ketua bidang imarah dan ketua
bidang riayah dan setiap bidang-bidang memiliki seksi-seksi yang ditunjuk sesuai ke-butuhan.
Sebagai contoh, berikut ini susunan organisasi yang diperluas den-gan seksinya masing-masing.

Gambar 1: Struktur Organisasi


Struktur organisasi ini hanyalah sebagai contoh sederhana. Yang penting ialah kejelasan tugas
masing-masing pengurus serta sikap disiplin dan bertanggung jawab melaksanakan tugasnya.
Karenanya, setelah kepengurusan terbentuk, perlu adanya koordi-nasi dengan bermusyawarah
rutin bulanan guna mengevaluasi sejauh mana program organisasi berjalan. Dan sebaiknya masa
jabatan pengurus ini dibatasi misalnya dua tahun, tiga tahun, atau lima tahun untuk
menumbuhkan sikap demokrasi serta bisa mempertanggungjawabkan kepengurusannya selama
masa jabatan.
Adanya reorganisasi tamirul masjid ini mendatangkan beberapa manfaat, di antaranya;
Pertama, tugas dan kegiatan masjid semakin nyata dan terarah den-gan pengelolaan yang
profesional sehingga terwujud masjid yang mampu mengarahkan dan membina berbagai
keterampilan dan pengeta-huan praktis yang berguna bagi warga jamaah dan masyarakat seki-
tarnya untuk menyelesaikan permasalahan hidupnya secara sehat dan ekonomis.
Kedua, Perkembangan kondisi masjid dapat dipantau, sehingga me-mudahkan untuk melakukan
langkah-langkah selanjutnya yang dapat mendukung terlaksananya pembinaan ummat.
Ketiga, Tumbuhnya sikap tanggung jawab baik dari para pengurus masjid maupun anggotanya
untuk sama-sama melakukan tamirul masjid secara kontinyu.
Keempat, memperkokoh pembinaan masjid dari dalam sehingga ti-dak mudah terbawa arus dan
mampu menangkal dampak negatif dari luar sebagaimana nasehat Ali Bin Abi Thalib; Kebaikan
(kebenaran) tanpa organisasi yang baik akan mudah dikalahkan oleh kebatilan yang terorganisir
dengan baik.
Kelima, Pelaksanaan ibadah mahdlah maupun ghair mahdhah di dalam masjid semakin tenang
dan tidak terganggu.
Demikianlah sekilas gambaran pengelolaan masjid yang diharapkan akan menjadi bahan
renungan bersama sehingga akan terwujud masjid paripurna seperti masa Rasulullah SAW yang
mampu mencetak generasi rabbani yang tangguh dalam merintis terciptanya perdamaian di muka
bumi ini dengan masjid sebagai langkah pertama untuk merealisasikan pesan Islam sebagai
rahmatan lil alamien.
***
Bacalah dengan nama Tuhan-Mu yang telah menciptakan. Dia telah men-ciptakan manusia dari
segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmu amat pemu-rah. Yang mengajarkan dengan pena. Yang
mengajarkan kepada manusia apa yang mereka tidak ketahui.
(QS. Al-Alaq:1-5)
***
Dewasa ini, keberadaan masjid sangat berperan dalam menunjang program-program
pembangunan dan pembinaan iklim keagamaan masyarakat kita, terutama setelah pihak
pemerintah melibatkan diri dalam membangun dan menyemarakkan kegiatan masjid. Jumlah
masjid yang diperkirakan sudah mencapai 150.000 masjid merupakan potensi yang sangat besar
dalam me-ningkatkan kualitas hidup dan kese-jahteraan ma-syarakat.
Sejalan dengan perkembangan zaman dan perubahan sosial dan ilmu pengetahuan, maka
pengelolaan masjidpun perlu dibenahi kembali. Agar fungsi masjid sebagai realisasi pesan Islam
rahmatan lil alamin dapat diupayakan semaksimal mungkin.
Perpustakaan masjid adalah wadah pelestarian ilmu pengetahuan sekaligus sebagai penyebar
informasi, khususnya yang berhubungan dengan syiar Islam dan secara lengkap memuat pula
informasi yang dibutuhkan oleh anggota jamaah masjid.
Dalam makalahnya yang disampaikan pada pelatihan perpustakaan masjid biro perpustakaan
masjid Al-Furqan IKIP Bandung, Drs. Dudung Gumilar MSc. Lib. mengemukakan akan
pentingnya perpustakaan masjid dikelola secara profesional dan terarah dengan beberapa alasan.
Pertama, perpustakaan masjid merupakan salah satu unit pendukung yang vital demi tercapainya
misi dan tujuan masjid.
Kedua, Perpustakaan secara umum berfungsi sebagai tempat (a) un-tuk menyimpan karya
manusia, (b) pusat informasi, (c) rekreasi dan hi-buran, (d) pendidikan dan (e) pengembangan
budaya masyarakat, se-hingga keberadaannya mutlak diperlukan guna merealisasikan fungsi di
atas. Bahkan bila ditinjau dari fungsi yang lebih esensi, menurut ketua ju-rusan sumbersumber
informasi Chelmer Institute Of Higher Education Inggris ialah untuk meningkatkan kualitas
hidup manusia, menginforma-sikan kehidupan yang demokratis, memperoleh kebahagiaan dan
men-ingkatkan kesadaran akan dirinya, meningkatkan hubungan dengan orang lain serta
meningkatkan kesadaran lingkungan.
Untuk itulah para pengelola masjid pun (DKM dan Badan Or-ganisasi Masjid) dituntut
memandang jauh ke depan, dimana masyarakat semakin intens terhadap informasi baik lewat
bacaan maupun media lainnya dan keberadaan perpustakaan masjid akan berfungsi sebagai
pengada informasi sekaligus penyaring dari informasi yang merugikan ummat Islam dan
masyarakat pada umumnya.
Manajemen Perpustakaan Masjid (PUSMA)
Allah SWT mengawali wahyu-Nya dengan perintah membaca. Apa rahasia di balik firman-Nya
yang Maha benar ini ? Membaca memang merupakan kegiatan yang baik dilakukan manusia
guna menambah wawasan dan cakrawala berpikir. Membaca bagi setiap muslim ber-dasarkan
ayat di atas hukumnya wajib. Karenanya, sarana penunjang un-tuk kegiatan membacapun
menjadi wajib pula. Untuk itulah upaya ke arah terwujudnya perpustakaan sangat penting untuk
diprioritaskan.
Sudah menjadi maklum bahwa Perpustakaan Masjid (PUSMA) da-hulu pernah menjadi pusat
informasi Islam dan penyimpanan ilmu pen-getahuan serta penemuan-penemuan baru yang
menakjubkan. Hal ini karena didukung penuh oleh pemerintah Islam yang berkuasa saat itu.
Sebut saja misalnya Perpustakaan Khalifah Hakam II yang menggantikan Abdurrahman,
mengoleksi tidak kurang dari 400.000 jilid buku, beberapa di antaranya dibubuhi sendiri catatan
pinggir dan katalog-katalog judul meliputi 44 jilid, atau Darul Hikmah yang didirikan oleh
Khalifah Al-Mamun (813-830 M) dari Bani Abbasia, di sana dibuat pula tempat berdiskusi dan
menerjemahkan dengan sumbangan dana +/- 250 dinar perbulan untuk pengelolaan sarana dan
prasarananya, juga perpustakaan Dinasti Fatimiyah di Kairo yang menyimpan +/- dua juta
eksemplar buku, Baitul Hikmah di Baghdad yang didirikan oleh Harun Ar-Rasyid serta Darul
Hikmah di Kairo yang didirikan oleh Al-Hakim Bin Amrillah tahun 395 H.
PUSMA yang berdiri saat itu memang mendapat perhatian yang cu-kup besar, karena ummat
Islam sedang mencapai masa keemasannya dengan peradaban yang tinggi sehingga pusat
kebudayaan dan sejarah banyak didirikan. PUSMA sebagai wadah untuk menampung dan men-
yebarkan informasi budaya dan peradaban ummat Islam patut mendapat perhatian khusus lagi,
terutama sekarang pada saat ummat Islam kembali membangun sebuah peradaban yang telah
lama hilang. Kemunculan ini terlihat dari makin nyatanya peran serta ummat Islam dalam
berbagai bidang pembangunan. Maka untuk itu, ada baiknya kita mencari ru-musan PUSMA
yang relevan dengan keadaan dan format ummat sekarang.
Perpustakaan merupakan tempat yang strategis untuk pengemban-gan wawasan dan cakrawala
berpikir sebagai salahsatu syarat kemajuan. Perpustakaan selalu dihiasi dengan deretan buku-
buku yang menawar-kan peradaban yang lebih maju. Di sinilah kita mengerti bahwa buku
merupakan salah satu media informasi yang patut diperhitungkan. Seo-rang cendekiawan,
Marshall Mc Luhan berpendapat, The book is an exten-sion of the eye (buku dapat
memperluas khazanah seseorang). Artinya, buku memiliki peran memperpanjang atau
memperluas pengli-hatan/pandangan. Memang, buku memiliki pengaruh tertentu bagi
pembacanya, berperan sebagai perekam informasi yang berkaitan dengan berbagai aspek
kehidupan. Yang perlu difahami dalam hal ini ialah ba-gaimana agar buku-buku sebagai potensi
tadi dapat diterima dengan baik dan mudah oleh ummat Islam yang membutuhkan informasi
banyak untuk kemajuan tersebut. Maka dari itu, peran PUSMA sangat penting dan
manajemennya-pun harus profesional supaya buku menjadi asset yang utama.
Secara teoritis Soejono Trimo MLS menyusun rumusan-rumusan dalam pengelolaan
perpustakaan. Menurutnya, perpustakaan secara umum terdiri dari empat komponen pendukung.
Pertama, para pemakai perpustakaan (pemin-jam/pembaca).
Kedua, koleksi buku-buku yang lengkap.
Ketiga, pengurus perpustakaan.
Keempat, sarana fisik yang berhubungan dengan perpustakaan seperti gedung, tempat membaca,
akomodasi dan sebagainya.
(1) Pengguna Jasa Perpustakaan
Ada beberapa motivasi orang mengunjungi perpustakaan, di anta-ranya, (a) meminjam buku
yang diperlukan, (b) memanfaatkan ruang perpustakaan sebagai tempat belajar, (c) menjadi
tempat berdiskusi dan menyelesaikan tugas studi, (d) mencari informasi guna melengkapi data-
datanya, (e) hanya sebagai tempat istirahat dan menghilangkan kejenu-han belajar. Dari kelima
motivasi ini, PUSMA bisa mengambil sikap yang dapat melayani semua tujuan orang
berkunjung ke perpustakaan. Misal-nya dengan menyediakan tempat yang tenang dan bersih,
penyimpanan buku yang teratur dengan katalog yang sistematis, membuat kenya-manan setiap
pembaca dan sebagainya.
(2) Koleksi Buku
Koleksi buku di PUSMA lebih spesifik menyediakan buku-buku yang bercorak keagamaan atau
yang berhubungan dengan itu. Setiap saat PUSMA berusaha melengkapi koleksi buku sesuai
dengan permintaan dari para pemakai jasa perpustakaan. Pada pokoknya jenis koleksi buku ini
diklasifikasikan menjadi, (a) buku-buku untuk dipinjamkan dan boleh dibawa pulang, dan (b)
buku-buku referensi seperti kamus, ensiklopedi, hand book/manual, guidebooks, directory,
almanak, buku-buku sumber biografi, peta dan lain-lain.
(3) Pengurus Perpustakaan
Secara sederhana, pengurus perpustakaan bisa saja ditangani oleh seorang petugas yang menjaga
dan memperhatikan keadaan buku dan keinginan pembacanya. Seorang pustakawan biasanya
hanya membu-tuhkan beberapa penjaga sesuai dengan jumlah koleksi yang ada. Dalam skala
besar, PUSMA harus memilih kepengurusan yang profesional den-gan berbagai kualifikasi yang
terorganisir dalam unit-unit kerja atau bagian-bagian penting. Misalnya, (a) Bagian sirkulasi,
yang menangani peminjaman dan pengembalian buku-buku perpustakaan, (b) Bagian Pengadaan
dan seleksi bahan-bahan pustaka yang menjalankan tugasnya mulai dari proses klasifikasi,
pendataan dan kelayakan buku, (c) Bagian pemeliharaan yang bertugas menjaga keutuhan buku,
meninjau secara rutin kondisi buku dan melakukan perbaikan baik jilid maupun kertas-nya, (d)
Bagian Tata Ruang dan pemeliharaan fasilitas seperti pembersih sekitar ruang membaca, dan
menjaga kenyamanan para pemakai per-pustakaan. Juga bagian-bagian lain yang disesuaikan
dengan kebutuhan kerja.
(4) Fasilitas dan Tata Ruang Perpustakaan
Sebagaimana disinggung sebelumnya, tata ruang dan fasilitas per-pustakaan harus sesuai dengan
motivasi seseorang menggunakan jasa perpustakaan ini. Maka keadaan dan tata ruang
perpustakaan harus dia-tur sedemikian rupa, misalnya tersedia tempat membaca yang nyaman,
penerangan yang cukup, suasana tenang, buku-buku disusun rapi supaya mudah dijangkau,
fasilitas mesin fotocopy untuk menyalin data-data pada referensi, alat-alat seperti kertas
permintaan judul buku yang belum tersedia, dan lain-lain.
Demikian pula pengelolaan PUSMA, dituntut profesionalisme dan organisasi yang baik agar
buku-buku Islam yang kini semakin menjamur dapat menyebar dan informasi tentang Islam serta
peradabannya bisa diketahui oleh ummat Islam lewat masjid-masjid dan majlis talim yang sudah
ada. Dalam hal ini, pihak Dewan Keluarga Masjid (DKM) harus tanggap dalam mengambil
langkah-langkah terutama para pengurus re-maja masjid yang biasanya lebih peka terhadap
informasi keislaman.
Untuk merealisasikan terbentuknya perpustakaan masjid ini, ada beberapa langkah yang mesti
diperhatikan.
Pertama, Tahap pengadaan koleksi buku dan fasilitas. Langkah ini dalam rangka mengumpulkan
sebanyak-banyaknya koleksi buku yang dibutuhkan oleh semua tingkatan usia, baik anak-anak,
remaja maupun orang tua. Cara memperolehnya misalnya dengan membeli buku-buku baru atau
bekas dengan dana hasil dari shadaqah dan infaq masjid atau dari sumbangan khusus untuk
pengadaan buku/kitab. Atau dengan cara mengajukan permohonan sumbangan buku kepada
kaum muslimin atau penerbit Islam, baik lewat surat pada media massa maupun langsung kepada
pihak terkait. Tahap ini dilakukan terus menerus sambil pemin-jaman PUSMA berjalan. Adapun
fasilitas dapat diajukan kepada pihak DKM berupa pengadaan tempat menyimpan dan sekretariat
PUSMA.
Kedua, Tahap pembentukan dan pembinaan pengurus.
Hal ini dilakukan sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya dan ke-pengurusan PUSMA masih
menginduk kepada DKM masing-masing se-bagai salah satu kegiatan dalam rangka tamirul
masjid. Maka setelah ke-pengurusan terbentuk mulailah kegiatan perpustakaan masjid sesuai tu-
gas masing-masing, dari pendataan, pengarsipan dan klasifikasi buku yang ada, juga mulai
menerima pendaftaran anggota baru PUSMA yang berlangsung sesuai kesepakatan musyawarah
pengurus.
Ketiga, Tahap evaluasi seluruh kegiatan perpustakaan masjid, lang-kah ini sangat penting guna
mengetahui sejauhmana kegiatan PUSMA berjalan, disamping juga sebagai ajang
pertanggungjawaban pengurus PUSMA, sehingga keberadaan PUSMA terus meningkat dan
lebih profe-sional, bahkan dapat juga menjadi pusat informasi Islam yang dari sana bisa
dilahirkan media massa Islami seperti bulletin, majalah atau koran Islam.
Itulah beberapa upaya meningkatkan peran serta masjid dalam mendukung terlaksananya dawah
Islamiah lewat pengadaan perpusta-kaan yang semakin vital menjadi kebutuhan ummat dewasa
ini. Dengan adanya Perpustakaan Masjid diharapkan ummat Islam semakin tanggap terhadap
informasi sehingga mampu menyikapi setiap dampak Era Globalisasi yang semakin gencar,
Semoga...
***

Semua ideologi yang berorientasi kepada strategi revolusi, men-ganggap pemuda sebagai
tenaga
paling revolusioner yang telah dan akan terjadi di
seantero dunia ini. Pada prinsipnya, revolusi selalu akan tetap men-gandalkan pemuda dalam
mencapai cita-citanya. (Pemuda dan Revolusi, 1987: 10)
***
Peran pemuda Islam tidak lepas dari keterkaitannya terhadap Di-enul Islam. Motivasi agama
yang ada pada para pemuda sebenarnya me-rupakan perkembangan psikologis yang wajar,
seperti dikemukakan J.J. Rouseau, bahwa pada periode puberitas, seseorang akan mengalami
gevoelige periode (masa peka) terhadap pendidikan keagamaan, walau-pun menurut R. Cassimir,
masa ini juga merupakan awal timbulnya stum and drang (kegoncangan jiwa) yang sangat
membutuhkan tempat per-lindungan dan pengarahan positif. Maka, dasar-dasar Islam secara
jelas menyoroti keterlibatan pemuda dalam upaya membina dan membangun generasi yang
terhormat dan berwibawa.
Untuk itu, peranan Islam dan pemuda Islam harus selalu berjalan bersama dan menjadi topik
utama dalam mengetengahkan sisi pergera-kan dawah Islamiah. Dan salah satu kajiannya ialah
bagaimana pemuda Islam mampu menanamkan fikrah Islamiah dalam dirinya masing-masing.
Tanpa itu sebuah pergerakan Islam atau cita-cita menjadi ummat terhor-mat hanyalah angan-
angan kosong. Imam Hasan Al-Banna, tokoh nomor satu Ikhwanul Muslimin Mesir ketika
menyampaikan nasehatnya untuk pemuda Islam mengatakan: Wahai pemuda tampillah dengan
nama Allah untuk menyelamatkan dunia ini. Seluruh manusia membutuhkan juru selamat.
Sesungguhnya hanya satu juru selamat, yaitu Risalah Islam yang kalian dawahkan dan nyalakan
obornya...
Dengan demikian pemuda Islam harus lebih memahami karakter-istik Risalah Islam ini, serta
mengetahui problematikanya agar peristiwa-peristiwa masa lalu yang kelabu tidak terulang lagi.
Ternyata, bentuk kemunduran itu dilatarbelakangi oleh ketidak mengertian ummat Islam
terhadap Risalah Islam yang bersumber dari Al-Quran dan Sunnah Rasu-lullah SAW. Hal ini
dipertegas lagi dengan sebuah Hadits: Aku ting-galkan bagi kalian dua perkara, barang siapa
yang berpegang teguh kepada keduanya pasti tidak akan tersesat, yaitu Kitabullah (Al-Quran)
dan Sunnah Ra-sulullah SAW.
Dengan menguasai secara mendalam dua sumber ini, diharapkan pemuda Ummat Islam dapat
menghayati karakteristik Risalah Islam yang sebenarnya, dan tidak terpengaruhi faham lain yang
lebih merusak pemikirannya melalui Gazwulfikri (Invasi Pemikiran).
Adapun yang menjadi sebab kemajuan yang dicapai ummat Islam terdahulu (generasi salaf), Al-
Amir Syakib Arsalan mengemukakan; Pada pokoknya secara singkat, agama Islam yang baru
lahir di seluruh jazirah Arab pada masa itu, lalu dengan segera diikuti dan ditaati benar-benar
oleh bangsa Arab dan kabilah-kabilah di sekitarnya. Mereka dengan petunjuk dan pimpinan
Islam yang benar itu telah berubah dari berpecah belah dan bercerai berai, kini menjadi bersatu,
seia sekata. Dari biadab menjadi beradab. Dari bodoh menjadi pandai. Dari dungu menjadi
cerdik. Dari keras hati dan kasar menjadi halus, ramah dan kasih sayang terhadap sesamanya dan
dari penyembah berhala menjadi penyembah Allah.
Dengan penjelasan ini, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa pemuda Islam dulu pernah jaya
dengan keislamannya disebabkan mereka benar-benar mendalami dan menghayati risalah
Islamiah secara lurus dan penuh keimanan.
Figur-figur Pemuda Islam
Banyak dikisahkan figur-figur pemuda Islam dan keberadaannya dalam menegakkan panji
tauhid. Di antaranya akan penulis kemukakan beberapa nama yang telah dikisahkan dalam Al-
Quran untuk diambil pe-lajarannya.
1. Ibrahim as.
Allah SWT menjelaskan dalam firman-Nya; Sesungguhnya telah ada suri teladan yang baik
bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersamanya. Ketika mereka berkata kepada kaum
mereka; Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain
Allah, kami ingkari kekafiranmu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan
kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja.
Sikap yang dimiliki Ibrahim as. adalah iman yang kuat kepada Allah dan yakin akan Hari Akhir
serta tegar dalam mempertahankan ke-benaran tauhid walaupun beresiko kematian dengan
ancaman dibakar hidup-hidup. Namun semua itu tidak menggoyahkan tekadnya untuk
menyerukan dawah agama tauhid kepada penguasa yang musyrik saat itu. Ia yakin akan janji
Allah; Wahai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong agama Allah, niscaya Dia akan
menolong kalian dan mengokohkan kedudukan kalian.
Kepribadian Ibrahim as yang shabar dan penuh semangat menjadi jundullah yang tegar dan
militan.
2. Ismail as.
Dia adalah putra Ibrahim as dari Hajar. Keimanannya dibentuk sejak ia masih kecil dengan
mujizat air zamzamnya. Allah SWT berfirman; Dan ceritakanlah (hai Muhammad) kepada
mereka kisah Ismail (yang tersebut) dalam Al-Quran. Sesungguhnya ia adalah seorang rasul dan
Nabi. Dan ia menyuruh ahlinya (ummatnya) untuk shalat dan menunaikan zakat dan ia adalah
seorang yang diridlai di sisi Tuhannya.
Ismail termasuk figur pemuda Islam yang taat kepada Allah, se-hingga berani mengorbankan
jiwa raganya untuk memenuhi perintah Al-lah lewat bapaknya Ibrahim as. Dengan penuh
keikhlasan dan kesha-baran serta iman yang kokoh terhadap jaminan Allah kelak.
3. Ashabul Kahfi
Mereka adalah para pemuda yang berjihad menentang penguasa yang dzalim. Namun, karena
kekuatan mereka lemah, akhirnya mereka bersembunyi di balik gua sampai beberapa tahun
lamanya. Allah men-gabadikan nama mereka dalam 18 ayat-Nya dan Dia memberikan nama
untuk sebuah surat Al-Quran dengan Al-Kahfi.
4. Yusuf as.
Kisah Yusuf yang terkenal ialah ketika ia tumbuh menjadi seorang pemuda yang tampan. Namun
dengan ketampanannya ia tidak tergoda oleh rayuan dan bisikan syetan. Ia dengan tegas menolak
melakukan perbuatan yang dilarang Allah SWT dan tegar menghadapi penguasa saat itu.
Sebagaimana diceritakan dalam Al-Quran; Dia (Yusuf) berkata; Tuhanku, penjara lebih aku
sukai daripada apa yang akan mereka ajak aku kepadanya.
Banyak lagi kisah pemuda Islam yang patut diteladani. Di kalangan para shahabat Rasulullah
SAW tercatat nama-nama pemuda yang ber-gelora semangat jihadnya dan melibatkan diri dalam
harakah dawah Islamiah. Seperti Ali Bin Abi Thalib RA yang dengan penuh keberanian
menemani Rasulullah SAW dalam beberapa peperangan. Usamah Bin Zaid yang menjadi
panglima perang ketika usianya masih muda belia.
Problematika Harakah Dawah
Sesungguhnya, setiap pemuda yang melibatkan diri dengan harakah dawah pasti akan menemui
tantangan dan cobaan. Karena hal ini meru-pakan sunnatullah yang diberikan untuk menguji
kekuatan iman mereka, sebagaimana firman Allah: Apakah kamu mengira bahwa kamu akan
masuk surga, padahal belum datang kepadamu cobaan sebagaimana halnya orang-orang
terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta
digoncangkan dengan bermacam-macam cobaan sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang
yang bersamanya Bilakah datangnya pertolongan Allah? In-gatlah, sesungguhnya pertolongan
Allah itu amat dekat.
Ayat ini secara jelas menyatakan bagaimana para Nabi terdahulu se-lalu menghadapi cobaan
dawah dalam mengajak ummat manusia ke jalan yang lurus. Tidak sedikit dari mereka dihadang
oleh berbagai an-caman kematian.
Dengan memperhatikan beberapa kisah dan pengalaman para pe-muda Islam dalam menjalankan
harakah dawahnya, baik yang masih bersifat personal maupun bentuk jamai, penulis melihat
adanya dua problematika yang selalu menjadi kendala terwujudnya harakah dawah yang mapan.
Di antara kedua problem tersebut adalah:
A. Problematika Internal
Kenyataannya, pemuda Islam lebih banyak mendapatkan tantangan dari dalam. sehingga tidak
sedikit harakah dawah yang vakum akibat terbengkalainya usaha daiah melanjutkan
programnya. Disamping itu, ada beberapa tipe pemuda yang menjauhi harakah dawah bahkan
men-jadi penghalang jalannya harakah dawah tersebut. Inilah yang penulis maksud dengan
problematika internal.
Beberapa hal yang menjadi penyebab munculnya problema ini antara lain:
a. Sikap kurang perhatian terhadap aturan Islam yang bersumber dari Al-Quran dan Sunnah
Rasulullah SAW, Al-Quran tidak diamalkan sebagaimana mestinya, yaitu sebagai petunjuk dan
pedoman hidup un-tuk meraih kebahagiaan di dunia dan di Akhirat. pemahaman terhadap Al-
Quran, baru sampai pada taraf bacaan saja, belum sampai pada taraf penghayatan dan
pelaksanaannya. Bahkan terdapat beberapa sikap pe-muda Islam yang kurang proporsional
terhadap Al-Quran. Se-perti men-campuradukkan antara hak dan batil , mengimani sebagian
tetapi mengingkari sebagian yang lain , mempermainkan kandungan Al-Quran. Demikian pula
terhadap Sunnah Rasulullah SAW Karena kuatnya penga-ruh faham dari luar, akhirnya generasi
Islam malu untuk berbaju Sunnah Rasulullah SAW
b. Krisis iman dan akhlaq karena kurangnya kesiapan mental.
Akhlaq dan budi pekerti ini merupakan salah satu faktor yang pal-ing penting dalam kehidupan
seorang pemuda. Salah satu Hadits men-yebutkan, sabda Rasulullah SAW: Tujuh golongan
manusia yang mendapat perlindungan di hari yang tidak ada perlindungan kecuali perlindungan
Allah; (1) Imam yang adil (2) Pemuda yang senantias beribadah kepada Allah (3) Pe-muda yang
hatinya senantiasa terikat ke masjid (4) Dua orang yang berkasih sayang karena Allah (5)
Pemuda yang dirayu wanita cantik dan terhormat ia menolak: aku takut kepada Allah. (6)
Pemuda yang memberikan sedekah tanpa pamrih, bahkan tangan kirinya tidak tahu apa yang
diberikan tangan kanannya (7) Pemuda yang apabila di tengah malam ia mengingat Allah
terharulah dia.
Sifat-sifat yang dikemukakan dalam Hadits ini hanyalah sebagian kecil dari bagian akhlaq Islam
yang patut dimiliki oleh setiap pemuda guna meraih keberhasilan yang gemilang.
c. Hilangnya rasa memiliki dan tanggung jawab terhadap masa de-pan Islam, akibat dari
pendidikan yang telah dipengaruhi faham luar. Hal ini mungkin saja terjadi, karena musuh-
musuh Islam selalu menginginkan kehancuran Ummat Islam dari dalam. Sebagaimana penje-
lasan Abu Ala Al-Maududi: Pada dasarnya kaum penjajah tidak menghirau-kan asas Islam,
tetapi mereka telah mengambil kesimpulan, bahwa keadaan um-mat Islam yang berpegang teguh
kepada ajaran agama tauhid ini bersikap sesuai dengan asas Islam, adalah suatu bahaya yang
besar bagi penjajah. Oleh karena itu mereka tetapkanlah suatu metode pengajaran dan
pendidikan di negara-negara Islam yang mereka duduki dengan cara yang halus, untuk
melemahkan dan melonggarkan aqidah Islam dan sendi-sendi iman dalam jiwa ummat.
B. Problematika Eksternal
Para pemuda Islam memiliki tantangan yang jelas lebih besar, sebab merekalah yang paling
banyak terlibat dalam harakah dawah ini. Prob-lematika eksternal ini lebih banyak faham-faham
dari luar Islam yang se-cara jelas akan merugikan dan menyesatkan ummat. Di antaranya ialah
sekulerisme, westernisme, kapitalisme, marksisme, serta faham lainnya yang menerapkan
strategi ghazwul fikri (invasi pemikiran).
Menghadapi problematika ini, pemuda Islam dituntut untuk lebih waspada karena secara halus
faham-faham ini merasuk ke dalam dan ti-dak terasa akan meracuni pola pikir ummat Islam,
kemudian akan saling berpengaruh. Bahkan Rasulullah SAW pernah mengingatkan; Orang
mumin senantiasa berada di antara lima ancaman amat berat yaitu: (1) mumin yang
mendengkinya, (2) munafik yang membencinya, (3) kafir yang memer-anginya, (4) syetan yang
menyesatkannya dan (5) nafsu yang melawannya.
Kiat Pemuda Islam dalam Harakah Dawah
Menegakkan risalah Islamiah bukanlah tugas ringan dan mudah. Demikian juga bagi para
pemuda Islam yang terlibat dalam harakah dawah. Hal ini menuntut kesungguhan dan jihad
serta pengorbanan se-penuhnya.
Untuk itu ada beberapa kiat yang selayaknya dihayati oleh setiap pemuda Islam, supaya risalah
Islam tetap tegak berdiri di antara ben-turan-benturan dawah yang tiada henti. Di antara langkah
tersebut ialah;
1. Membangkitkan semangat ruhaniah (Al-Yaqdzah Ar-Ruhiah)
Pemuda Islam bagai lelap tertidur sehingga lupa akan tugasnya se-bagai pengemban panji-panji
Islam. Oleh karena itu, dengan membangun kembali mentalitas pemuda Islam, Insya Allah,
harakah Islam akan tetap kokoh. Upaya menuju kebangkitan rohani ini dilakukan dengan be-
berapa metode, antara lain:
a. Penanaman Pendidikan Islam (Tarbiah Islamiah)
Pendidikan Islam merupakan kewajiban bagi setiap para pengem-ban dawah, karena tanpa itu
akan menimbulkan dampak negatif terha-dap harakah dawah Islam itu sendiri. Sehingga pantas
Allah mengemu-kakan dalam firman-Nya: Allah mengangkat orang-orang yang beriman dan
berilmu beberapa derajat dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Dengan menguasai ilmu dan hikmah, para pemuda Islam akan se-makin mapan melaksanakan
program dawahnya, baik untuk pribadi maupun masyarakatnya. Tarbiah Islamiah ini mencakup
setiap ilmu yang dapat mempertebal keimanan kepada Allah SWT serta meningkatkan akhlaq
qurani yang luhur. Abu Ala Al-Maududi memberikan petunjuk kepada para pemuda;
Hendaknya diketahui dengan sempurna hidayah Allah yang diturunkan kepada Rasulullah
SAW. Imani hidayah tersebut dengan tulus dan ikhlas sepenuh hati. Jadikan iman sebagai bagian
dari kehidupan di dunia, agar kalimatullah membumbung tinggi dan kalimatul kufri terhina dan
tercam-pakkan. Hendaknya para pemuda mempersenjatai dengan akhlaq dan budi pekerti
sehingga kaum diktator yang dzalim mengubah haluan hidupnya dan para pen-gikut mereka
kembali kepada kebenaran yaitu jalan yang lurus bagi fitrah manu-sia.
Al-Maududy juga memberikan tiga aspek ajaran yang harus difa-hami oleh para pemuda agar
dapat bergerak mengangkat peradaban Is-lam, yaitu ;
1. Tauhid, 2. Risalah dan 3. Hari kemudian setelah mati.
b. Penguasaan Wawasan KeIslaman (Taammuq Tsaqafah Islamiah)
Ustadz Husni Adham Jawarar pernah mengatakan; Seorang dai di-tuntut untuk memiliki
tsaqafah (wawasan) Islam terus menerus dikembangkan dan bahkan tidak cukup sumber itu jika
diambil dari buku saja, koran, majalah ataupun bulletin dapat juga dijadikan sebagai sumber
informasi. Diharapkan dengan keluasan wawasan Islam setiap pemuda Islam akan menyadari
ketertinggalannya dari ummat lain dan bangkit membangun harakah dawah yang bertujuan
menegakkan kalimatullah.
Syekh Said Hawwa dalam Al-Madkhal Ila Dawatil Ikhwan Al-Muslimin menguraikan
tentang wawasan ilmu Islam yang harus dikua-sai seorang daiah muda yaitu marifatullah,
marifaturrasul, marifatul Is-lam, ulumul quran dan Hadits, aqaid, fiqh dan ushul fiqh, lughah
Ara-biah, fiqh dawah, wawasan tentang dunia Islam dan wawasan tentang konspirasi musuh-
musuh Islam. Insya Allah, dengan menguasai dasar-dasar wawasan Islam ini, pemuda Islam
semakin berani tampil menyuarakan haq.
2. Membina Kaderisasi Kepemimpinan Harakah Islam (Qiyadah Harakiah Islamiah)
Pemuda Islam adalah calon pemimpin masa depan yang harus ber-tanggung jawab kepada Allah
atas ummat yang dipimpinnya. Allah SWT sendiri mengatakan; Dan Kami jadikan di antara
mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami, ketika mereka
shabar dan mereka meyakini ayat-ayat Kami.
Kepemimpinan pemuda Islam harus sudah dikader sejak usia aqil baligh, agar mereka bisa
memimpin. Dalam hal ini ada beberapa bentuk kaderisasi yang mendukung terwujudnya
pemimpin-pemimpin Islam, antara lain;
a. Menanamkan kepribadian militan (Syakhsiah Jundiah)
Para pemuda Islam diperkenalkan dengan pribadi-pribadi yang tangguh, cepat tanggap dan
penuh kedisiplinan, baik melalui figur sha-habat atau para Nabi yang memimpin ummatnya.
b. Membentuk organisasi yang rapi (Bina Quwwatut Tandzimiah)
Tiada lain tujuan dari pembentukan organisasi ini ialah untuk menggalang rasa ukhuwah
Islamiah di antara sesama pemuda Islam, se-hingga terjadi saling nasehat dalam haq dan
keshabaran. Dengan demikian, upaya membina kepemimpinan Islam harus berlanjut sampai
tercapainya tujuan yaitu pelaksanaan amal jamai yang benar dan terarah.
3. Melatih para pemuda Islam agar berjiwa istiqamah dan shabar (Itsbatul Istiqamah was shabri)
Sebagaimana dikemukakan sebelumnya tentang figur-figur pemuda Islam yang patut diteladani,
di antara sifat yang selalu melekat dalam pribadi mereka ialah istiqamah dan shabar. Istiqamah
adalah sikap tetap dalam pendirian yang diyakini kebenarannya. Firman Allah SWT; Maka
tetapkanlah pendirianmu pada agama yang hanif, itulah agama Allah yang di-jadikannya
manusia sesuai dengan-Nya, tiadalah tertukar perbuatan Allah. Itu-lah agama yang lurus tetapi
kebanyakan manusia tidak mengetahui.
Adapun sikap shabar dapat dibentuk dengan memperhatikan be-berapa faktor, antara lain:
a. Menyadari bahwa Allah SWT selalu memberikan cobaan kepada para pengemban dawah
supaya semakin kuat keshabaran kita mengha-dapinya. Oleh karena itu setiap pemuda harus
tahan uji dan tawakkal (berserah diri kepada Allah setelah berusaha keras) agar menjadi manu-
sia yang shabar.
b. Meneladani keshabaran para ulama terdahulu, karena dengan demikian akan menghibur
kesulitan yang akan dihadapi. Rasulullah SAW pernah bersabda menghibur para shahabatnya;
Di antara orang-orang sebelum kamu dahulu ditanam hidup-hidup, ada yang dibelah kepalanya,
ada yang disisir tubuhnya dengan sisir besi yang tajam sampai kulitnya terkelu-pas, tetapi
siksaan itu tidak menggoyahkan tekad mereka untuk tetap memper-tahankan diennya. Demi
Allah, pasti Allah akan mengakhiri semua cobaan itu sehingga orang berani berjalan dari Shana
ke Hadratul Maut tanpa rasa takut kepada siapapun selain kepada Allah dan takut kambingnya
diserang srigala. Tetapi kalian tampak terburu-buru dan kurang bershabar.
c. Mengendalikan diri dari sifat yang dapat merusak keshabaran seperti pemarah, pendendam,
mengeluh dan putus asa.
Jadi, kunci dari keberhasilan harakah dawah bagi pemuda Islam itu di antaranya tergantung dari
kuat tidaknya sikap istiqamah dan shabar.
Demikianlah uraian sekitar problematika dawah dan langkah pe-muda Islam dalam
mengantisipasinya. Semoga lahir generasi Islam yang tangguh untuk mempertahankan dan
menyebarkan kalimatullah ke selu-ruh pelosok dunia.
Wallahu Alam
***
Berhati-hatilah kalian pada dunia dan berhati-hatilah kalian pada wanita, karena awal
kehancuran Bani Israil adalah dari wanita.
(Al-Hadits)
***
Wanita adalah tiang negara, jika akhlaqnya rusak maka hancurlah negara. Demikian bunyi
sebuah hadits mengingatkan kita agar selalu memperhatikan eksistensi kaum hawa. Karena di
tangan merekalah ter-bentuk generasi baru yang akan menjadi penyangga dan pengisi kelang-
sungan pembangunan sebuah peradaban.
Akhir-akhir ini keberadaan wanita sering dipertanyakan oleh kalan-gan ulama, terutama
menyangkut peran mereka yang semakin memun-cak bahkan terlalu kentara melebihi kaum pria.
Padahal kondisi ini sebe-lumnya jauh dari keadaan sekarang, namun begitu cepat perubahan ter-
jadi ketika gaung emansipasi diteriakkan di negara belahan Barat sana.
Secara tidak disadari kemudian banyak wanita Timur khususnya muslimah terpengaruh keadaan
yang pada hakikatnya menyalahi keten-tuan-ketentuan syariat Islam maupun budaya ketimuran.
Inilah salah satu dampak negatif dari era keterbukaan yang menglobal dengan cepat.
Istilah wanita karierpun meningkat pamornya sehingga menjadi se-buah kebanggaan tersendiri
bagi mereka yang menyandangnya. Bahkan tipe wanita karir tersebut dijadikan standar dalam
menilai idealisme wanita masa depan. Sementara itu, beberapa pihak memanfaatkan situasi ini
untuk mengeruk keuntungan dengan mengeksploitasi kaum hawa yang telah terbuai oleh
idealisme yang salah kaprah.
Dengan dalih emansipasi atau persamaan hak mereka menerjuni profesi yang seharusnya oleh
kaum pria bahkan pekerjaan yang menya-lahi kodrat mereka sekalipun. Lebih gawat lagi,
semakin banyak kaum wanita yang melanggar ketentuan agama demi mencapai impiannya.
Hal ini merupakan pertanda bahwa ummat Islam kecolongan lagi dalam satu bidang yang paling
esensi dan sensitif yaitu masalah wanita yang telah dirasuki oleh pemikiran Barat dalam rangka
ghazwul fikri (in-vasi pemikiran). Dr. Mustafa As-Sibai mengungkapkan; Secara historis yang
menjadi penyebab terbesar runtuhnya kebudayaan Yunani dan Romawi adalah sikap para wanita
yang terlalu bertabarruj (mengumbar aurat) dan berik-htilath dengan orang yang bukan
muhrimnya.
Prof. Abdurrahman H. Habankah dalam bukunya Ajnihatul Makris Tsalatsah Wa Khawafiha
memperinci metode merusak akhlaq dari Barat dan mencantumkan poin kelima yaitu merusak
akhlaq kaum wanita dan memperalat mereka dengan berbagai dalih dan faham yang menyesat-
kan. Pada mulanya perusakan ini dimulai dari setiap individu kemudian melembaga dan semakin
tidak disadari, sebagaimana disitir oleh Dr. Ibrahim Allabban, Mula-mula dekadensi ini tampak
pada perilaku individu lalu orangpun menyimpang dari jalan konsepsi agama
Inilah yang dikhawatirkan dalam hadits di atas, dimana kedudukan wanita seolah di ujung
tanduk. Hadits lain yang semakna, sabda Rasulul-lah SAW: Tidak akan ada fitnah setelahku
yang lebih berbahaya bagi kaum pria selain wanita.
Figur Wanita Shalihah
Salah satu yang menjadi penyebab menurunnya akhlaq wanita de-wasa ini ialah kurangnya
keimanan serta hilangnya sifat iffah dan muru-ah yang seharusnya mereka miliki. Dan penyebab
menurunnya keimanan tersebut di antaranya ialah telah hilangnya figur yang dijadikan contoh
maupun rujukan dalam beramal serta berperilaku. Karenanya Allah SWT mengutus para rasul-
Nya sebagai pembawa risalah sekaligus menjadi te-ladan para pengikutnya. Disamping Allah
SWT mengutus para Rasul, dia menurunkan beberapa kisah tentang orang-orang shalih dan sesat
seba-gai pelajaran dan bahan perbandingan dalam segala tingkah laku manu-sia.
Firman Allah: Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka terdapat pelajaran bagi orang-orang yang
menggunakan akal. Al-Quran itu bukan cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan kitab
sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu serta sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang
ber-iman.
Al-Quran banyak menyinggung masalah wanita sehingga salah satu suratnya diberi nama An-
Nisa, bukankah ini menunjukkan bahwa Islam menghormati kaum wanita dan menempatkannya
pada tempat yang mu-lia. Namun masalahnya menjadi lain tatkala kaum wanita melebihi batas-
batas Islam yang pada hakikatnya memelihara kemuliaan mereka.
Memang Islam tidak melarang wanita keluar rumah dalam masalah-masalah yang tidak
menyalahi kodrat mereka. Namun tidak seperti pe-mahaman kaum feminisme Barat seperti
Anton Nemilan, Bartrand Rus-sel, Anne Roud dan yang lainnya, yang hanya memperhatikan sisi
eman-sipasi an sich. Bahkan menurut Dr. Najat Hafidz, wanita muslimah harus berperan serta
dalam gelanggang dawah dalam bentuk apapun, dia me-nasehati; Wahai kaum wanita,
hendaklah engkau menekuni bidang pekerjaan yang sedang dibutuhkan oleh kaummu dan
membantu mereka untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka dalam berbagai bidang
kewanitaan.
Maka, ketika seorang ulama, Wahbi Sulaiman Ghawji ditanya ten-tang hukum wanita bekerja di
luar rumah, dia menjawab, dalam keadaan darurat boleh, dengan memperhatikan beberapa
syarat:
Pertama, memperoleh izin dari walinya, suaminya atau bapaknya.
Kedua, tidak terjadi khalwat dan ikhtilath.
Ketiga, selalu mengenakan pakaian yang menutup auratnya dengan jilbab dan pakaian longgar
dan tidak mencolok.
Dan tidak disangkal bahwa ada masalah tertentu dan tidak bisa di-lakukan oleh kaum pria,
sebagaimana terjadi ketika Rasulullah SAW menjelaskan tentang fiqh wanita dan terpaksa
Aisyah RA menjelaskan kembali secara detail.
Menurut Hibat Rauf Izzat, MA. Selama tabarruj dan fitnah syahwat bisa diatasi, wanita boleh
bekerja dalam profesi apapun, sekalipun dalam profesi yang berkaitan dengan politik asal dalam
batas-batas yang telah ditetapkan syara.
Syekh Jabir Asyal menulis sebuah buku khusus tentang kisah wanita dalam Al-Quran dengan
judul Qashash an-Nisa Fi Al-Quran Al-Karim, mengisahkan dua puluh satu wanita dengan
masing-masing karakter yang berbeda. Wanita-wanita yang baik akhlaqnya patut dijadikan figur
yang ditiru dalam perilaku, dan sebaliknya, wanita yang buruk akhlaqnya sebagai cermin bening
agar kaum wanita tidak terjerumus ke dalam kesesatan.
Di antara kisahnya adalah (1) Raithah, sosok wanita yang putus asa dan pesimis, tidak tabah
menghad a dan tunduk pada suaminya. (7) Khulah Binti Tsalabah, isteri yang taat beribadah dan
ikhlas berbakti pada suaminya (Aus Ibnu Shamit) se-hingga ucapannya didengar oleh Allah
SWT (8) Zainab Binti Jahsy, wanita yang bersyukur atas keadaan yang menimpanya, berhati
lembut dan kasih sayang. (9) Aisyah RA Ummul Muminin, figur wanita cer-das yang
memelihara kehormatan, amanah dan tahan uji (ketika menghadapi kasus Haditsul Ifki) (10)
Mariah Al-Qibtiah, isteri Rasulul-lah yang melahirkan Ibrahim, wanita terhormat namun penuh
khidmat kepada suaminya. (11) Shafura Binti Syuaib, isteri Musa as, wanita yang menyayangi
suaminya dan selalu menemaninya dalam kesusahan (12) Asia isteri Firaun, wanita yang kuat
memegang prinsip dalam ke-benaran. (13) Maimunah Binti Harits, seorang wanita yang berserah
diri kepada suaminya. (14) Masikah, wanita tuna susila yang bertaubat dan kuat pendiriannya
untuk kembali ke jalan yang benar. (15) Hawwa, figur wanita pertama yang beristighfar (16)
Sarah isteri Nabi Ibrahim, wanita yang rela dimadu untuk kebaikan suaminya serta wanita yang
mendidik puteranya sendiri menjadi generasi shalih. (17) Ummu Kultsum Binti Aqabah,
pelopor wanita pertama bagi kaumnya untuk hijrah ke Madinah karena Allah dan Rasul-Nya,
memiliki seman-gat jihad yang tinggi. (18) Kabisyah Binti Maan, wanita yang menuntut haknya
dalam Islam dan membebaskan kedzaliman terhadap kaum hawa. (19) Ummi Musa, seorang
yang beriman dan shabar dan mencin-tai anaknya. (20) Ummu Kajjah, sosok wanita yang
membela keadilan dan penuh perhatian terhadap suaminya.
Adapun tugas utama seorang wanita ialah bertanggung jawab ter-hadap suami dan anak-anaknya,
sebagaimana sabda Rasulullah SAW: ... Wanita juga adalah pemimpin yang bertanggung jawab
akan suami dan anak-anaknya... Lalu bagaimana bila wanita memiliki dualisme tugas
disamping dalam rumah, juga di luar rumah?
Simaklah pengakuan Marilyn Monroe - wanita tenar tahun 60-an - sebelum kematiannya yang
mengenaskan, Berhati-hatilah dari gemerlapnya ketenaran yang menipu kalian, sesungguhnya
aku adalah wanita yang paling ce-laka di dunia. Aku tak mampu menjadi seorang ibu.
Sesungguhnya aku amat mencintai rumah dan kehidupan keluarga. Di sanalah tempat wanita
yang se-benarnya.
Rasulullah SAW mengingatkan kaum wanita, sabdanya; Wahai para wanita, berbuat benarlah,
karena aku menyaksikan kebanyakan penghuni neraka adalah wanita. Mereka bertanya;
mengapa wahai Rasulullah SAW ? Beliau bersabda; Kalian banyak menggunjing dan
menelantarkan suami, kalian ada ke-kurangan dalam akal dan agama yang tidak pernah ada pada
pribadi lelaki yang kuat dari salah seorang diantara kalian. Mereka bertanya; Apa kekurangan
agama dan akal kami Ya Rasulallah SAW ? Beliau bersabda; Bukankah saksi seorang
perempuan itu setengahnya seorang lelaki ? Mereka menjawab; benar ! Beliau bersabda;
Itulah kekurangan akalnya, Bukankah jika dia haid tidak shalat dan puasa? Mereka menjawab;
benar ! Beliau bersabda; Itulah ke-kurangan agamanya.
Wahai wanita, Faaina Tadzhabna ?
***
Katakanlah; Sesungguhnya orang-orang yang rugi ialah orang-orang yang menyiksa diri
mereka sendiri dan demikian pula keluarganya pada Hari Kia-mat. Ingatlah yang demikian itu
adalah kerugian yang nyata.
(QS. Az-Zumar/39:15)
***
Keluarga adalah bagian terkecil dari sebuah komunitas masyarakat. Dari himpunan keluarga
yang berbeda akan membentuk typologi masyarakat tertentu. Karenanya, sebuah masyarakat
akan dipandang baik dan sejahtera apabila pada masing-masing keluarganya berperilaku baik.
Namun sebaliknya, kehancuran sebuah masyarakat mungkin saja terjadi, bila pada masing-
masing keluarga tidak lagi memperhatikan norma-norma agama dan perilaku yang baik. Hal ini
menunjukkan bahwa peran keluarga sangat menentukan kelangsungan hidup manusia di dunia
ini.
Kutipan ayat di atas menjelaskan bahwa kehidupan sebuah keluarga ternyata tidak hanya dapat
diraih di dunia saja tetapi sampai ke Akhirat kelak akan dikumpulkan bersama menjadi sebuah
keluarga seperti ketika di dunia.
Ayat inipun menjelaskan bahwa manusia yang paling merugi dan hina di hadapan Allah ialah
jika dia dan keluarganya sama-sama menjadi penghuni neraka karena perbuatan jahat yang
mereka kerjakan di dunia.
Karenanya, keutuhan sebuah keluarga selayaknya dipertahankan dan dibina ke arah yang baik
mulai dari masing-masing pribadi, anggota keluarga serta hubungan di antara mereka. Allah
SWT dengan sifat Ra-him-Nya mengingatkan manusia khususnya orang yang beriman untuk
menjaga keutuhan keluarga ini. Firman-Nya;
Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka, yang bahan
bakarnya manusia dan batu.
Pada ayat ini ditegaskan tentang kewajiban setiap mumin untuk menjaga dirinya dan setiap
anggota keluarganya yang terdekat agar se-lalu terpelihara dari perbuatan maksiat dan dosa
kepada Allah SWT, yang dapat menjerumuskan mereka ke dalam neraka.
Maka, jika kita melihat salah seorang di antara keluarga belum men-gamalkan perintah Allah
SWT, dengan dorongan ayat ini wajib kita mengingatkannya. Insya Allah, dengan sikap
demikian keutuhan keluarga akan sampai ke Akhirat kelak.
Dalam surat lain, terdapat ayat yang semakna dengan ayat di atas, Dan orang-orang yang
beriman berkata: Sesungguhnya orang-orang yang pal-ing merugi ialah orang-orang yang
kehilangan diri mereka sendiri dan kehilan-gan keluarganya pada Hari Kiamat, ingatlah
sesungguhnya orang-orang yang dzalim itu berada dalam adzab yang kekal.
Memang, terkadang muncul perasaan berat dan ragu, ketika kita akan menegur saudara, ibu,
bapak atau keluarga kita sewaktu mereka melakukan maksiat. Tetapi bila didasari oleh rasa iman
yang kuat dan dorongan kasih sayang, maka sepantasnya mereka diperingatkan.
Allah SWT memerintahkan dengan firman-Nya: Dan berilah peringa-tan kepada kerabat-
kerabatmu yang terdekat.
Salah satu contohnya ialah memerintahkan anggota keluarga untuk melakukan shalat. Firman
Allah: Perintahkanlah keluargamu shalat, dan shabarlah atas melakukannya.
Secara tersirat ayat ini menyuruh setiap muslim untuk selalu me-melihara hubungan keluarga
dengan cara saling menasehati dan saling memperingatkan bila terjadi kesalahan, juga saling
menganjurkan amal shalih sebagai upaya menghindari panasnya api neraka.
Disamping itu, dengan melaksanakan amar maruf nahi munkar di antara keluarga, maka Allah
akan tetap menurunkan rahmat-Nya. Tetapi jika tidak, sebaliknya Allah menurunkan adzab-Nya
karena kelalaian di antara keluarga.
Firman Allah dalam Hadits Qudsi: Ajaklah (manusia) berbuat kebaji-kan dan cegahlah dari
berbuat kemunkaran sebelum tiba saatnya dimana kalian berdoa kepada-Ku tapi Aku tidak
mengabulkan doa kalian. Kalian meminta se-suatu kepada-Ku, tapi Aku tidak akan memberinya
dan kalian meminta pertolon-gan kepada-Ku tapi Aku tidak akan menolong kalian.
Rasulullah SAW sendiri mengajarkan bagaimana menanamkan amar maruf nahi munkar di
antara keluarganya. Sebuah Hadits yang dikisahkan oleh Abu Hafsh (Umar) Bin Abi Salamah,
anak tiri Rasulullah SAW:
Ketika saya masih kecil dibawah asuhan Nabi SAW, biasa waktu makan tangan saya mengacak
piring-piring hidangan, maka Rasulullah SAW memper-ingatkan saya, sabdanya: Hai anakku,
bacalah Basmalah dan makanlah dengan tangan kananmu, dan makanlah dari hidangan yang
dekat denganmu. Setelah itu saya tidak lagi berlaku demikian.
Sikap kasih sayang Rasulullah SAW terhadap keluarganya itu patut dijadikan suri teladan bagi
keluarga muslim saat ini, dimana antara ang-gota keluarga terjadi saling amar maruf nahi
munkar yang didasari kasih sayang karena Allah SWT.
Hadits lainnya menjelaskan sabda Rasulullah SAW: Suruhlah anak-anakmu shalat ketika
mereka berusia tujuh tahun, dan pukullah mereka apabila meninggalkan shalat jika telah berumur
sepuluh tahun dan pisahkanlah anak laki-laki dari anak perempuan dalam tempat tidur mereka.
Tanggung jawab akan keutuhan keluarga sebenarnya merupakan tugas bersama setiap anggota
keluarga, baik bapak, ibu, anak, suami ataupun isteri. Karena mereka mempunyai tugas masing-
masing dengan tujuan yang sama, yaitu memelihara keutuhan keluarga dan menggapai
kebahagiaan di dunia sampai Akhirat. Sebagaimana Hadits menegaskan, sabda Rasulullah SAW:
Kamu sekalian adalah pemimpin dan akan ditanya tentang kepemimpinanmu. Imam adalah
pemimpin dan akan ditanya tanggung jawabnya. Seorang suami adalah pemimpin keluarganya
dan bertanggung jawab atas kepemimipinannya. Isteri adalah pemimpin rumah tangga suaminya
dan bertanggung jawab atas kepemimpinannya. Pembantu adalah pemimpin harta majikannya
dan akan ditanya tentang pemeliharaannya. Maka kalian semua adalah pemimpin dan masing-
masing bertanggung jawab atas kepemimpi-nannya.
Demikianlah kiat mempertahankan keutuhan rumah tangga dan ke-luarga sampai Hari Akhir.
Sepantasnya kita semua dapat meraih keba-hagiaan itu sebagaimana doa kita setiap saat,
RABBANA HAB LANA MIN AZWAJINA WADZURRIYYATINA QURRATA AYUN
WAJALNA LIMUTTAQIINA IMMAMA,
(Ya Tuhan kami anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan ketu-runan kami sebagai
penyenang hati kami dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertaqwa.)
***
Rasulullah SAW bersabda:
Kewajiban seorang muslim terhadap muslim lainnya ada enam; (1) Apabila engkau bertemu
dengannya, ucapkanlah salam, (2) Apabila ia mengun-dangmu, maka hadirilah, (3) Apabila ia
meminta nasehatmu, maka berilah, (4) Apabila bersin dan mengucap hamdalah, maka
doakanlah, (5) Apabila ia sakit, maka jenguklah dan (6) Apabila ia meninggal, maka
antarkanlah.
(HR. Muslim dari Abu Hurairah RA)
***
Menjadi seorang muslim tidaklah sulit, hanya dengan mengucap dua kalimah syahadat Asyhadu
Alla Ilaha Illalah; Muhammadur Rasu-lullah saja ia bisa disebut seorang muslim. Namun,
pernahkah kita mer-enung sejenak, apa yang sudah kita lakukan sebagai seorang muslim ? Sudah
sampai dimana tingkat keislaman kita ?.
Kita memang harus bangga menjadi seorang muslim dan itu harus diimbangi dengan amal dan
prilaku kita serta bagaimana pergaulan kita di masyarakat, baik terhadap sesama muslim maupun
masyarakat umum. Rasulullah SAW mengajarkan apa saja yang menjadi kewajiban seorang
muslim terhadap muslim lainnya. Hadits di atas menjelaskan kewajiban setiap muslim terhadap
muslim lainnya.
(1) Apabila engkau bertemu dengannya, ucapkanlah salam
Mengucapkan salam merupakan simbol keramahan seorang mus-lim disamping sebagai doa
bagi sesama muslim. Ucapan yang paling ringkas adalah Assalamualaikum sedangkan yang
paling baik adalah Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Sedangkan menjawab salam juga merupakan kewajiban dan jawa-bannya minimal sama dan
sebaiknya lebih, yaitu Waalaikumussalam Warahmatullahi Wa Barakatuh.
(2) Apabila ia mengundangmu, maka hadirilah
Undangan dari sesama muslim untuk suatu kebaikan, wajib di-hadiri, baik acara resmi maupun
undangan lewat lisan saja. Karena di sana akan banyak keberkahan yang bisa diraih, mempererat
silaturrahmi dan menyenangkan hati yang punya hajat. Menghadiri undangan tidak perlu
memaksakan diri untuk membawa sesuatu atau disediakan sesuatu oleh yang punya hajat.
Karena bagi muslim, seluruh amalnya bernilai ibadah walau hanya memberi senyum manis
untuk menggembirakan muslim lainnya.
(3) Apabila ia meminta nasehatmu, maka berilah
Nasehat di sini tidak hanya nasehat agama, tapi juga nasehat ba-gaimana berusaha, mengurus
sesuatu, mendidik anak, memperbaiki barang yang rusak dan nasehat cara hidup bermasyarakat.
Adalah kewa-jiban setiap muslim untuk saling mengarahkan saudaranya kepada ke-hidupan yang
lebih baik dan maju. Karena hakikatnya, kesuksesan seo-rang muslim adalah untuk kemajuan
umat Islam pada umumnya. Tak ada saling menyudutkan, merasa tersaingi, saling dengki dan
menghasud.
(4) Apabila bersin dan mengucap hamdalah, maka doakanlah
Jika bersin dan mengucap Alhamdulillahi-rabbil Alamin, maka kewajiban muslim lainnya
yang mendengar adalah mendoakannya den-gan doa Yarhamukallah, kemudian dijawab lagi
oleh yang bersin tadi dengan Yahdikumullah Wa Yuslih Balakum. Intinya, saling mendoakan
agar selalu berada dalam ridla dan rahmat Allah SWT. Hal ini tidak hanya dalam bersin saja,
tetapi juga gejala-gejala penyakit yang melanda umat Islam harus dilakukan tindakan
pencegahannya.
(5) Apabila ia sakit, maka jenguklah
Setiap muslim harus merasakan kepedihan dan derita muslim lain-nya. Jika dia ditimpa musibah
sakit, maka minimal ia memberi perhatian dengan menjenguk dan menghibur hatinya agar
mempercepat proses penyembuhannya. Kemudian mendoakannya, karena doa yang baik itu
harus dibarengi usaha yang baik pula.
(6) Apabila ia meninggal, maka antarkanlah
Musibah kematian memang hal yang pasti terjadi. Duka keluarga pasti akan terasa dengan
kehilangan salah satu anggotanya. Maka kewa-jiban sesama muslim harus saling mengobati duka
saudaranya. Mengu-rus jenazah adalah bukti perhatian kita, disamping kita mengambil pela-jaran
dari kematian untuk meningkatkan amal kita selagi hidup di dunia fana ini.
Keenam kewajiban muslim ini selayaknya kita renungkan dan kita berusaha untuk
mengamalkannya dengan sempurna, sehingga perum-pamaan hidup sesama muslim seperti yang
digambarkan Rasulullah SAW sebagai satu tubuh yang satu sama lain saling mendukung kelang-
sungan hidup, bisa tercapai dan menjadi simbol kebersamaan umat Islam yang kokoh dan kuat.
Wallahu Alam Bish Shawwab
***

MUKADIMAH
Suatu hari penulis mendapat kiriman surat kaleng bercap pos Bandung dari seorang missionaris
yang berisi copian selembaran ajakan meyakini bangkitnya Yesus Kristus yang telah mati untuk
menebus dosa manusia.
Bagi penulis, keyakinan beragama adalah hak masing-masing orang dan sama sekali tidak ada
paksaan dalam menganut suatu ajaran. Hanya saja dalam lembaran tersebut mengutip beberapa
ayat al-Quran untuk mempropagandakan (baca; provokasi) keyakinan kristiani dengan membuat
pertentangan pada ayat-ayat al-Quran. Redaksi lengkapnya sebagai berikut; Dalam al-
Quran sendiri sangat jelas dituliskan bahwa Nabi Isa itu mati lalu dibangkitkan (Baca S.
Maryam : 30-33) tetapi dalam S. An-Nisa:157 dikatakan Nabi Isa tidak disalib berarti tidak
mengalami kematian dan kebangkitan. Mengapa pewahyuan dalam al-Quran bisa tidak sama ?

Sangat disesalkan surat tersebut tanpa alamat pengirim, sehingga penulis terdorong membuat
jawaban ini yang diharapkan membentengi kaum muslimin dari propaganda kaum salib yang
bermental seperti pengirim surat kaleng tersebut. Karena dengan cara surat kaleng seperti ini
menunjukkan bahwa mereka sendiri meragukan kebenaran/keyakinan mereka dengan bersikap
monolog dan tertutup. Jika mereka yakin akan kebenaran apa yang mereka yakini, mengapa
tidak dengan cara berdialog terbuka, karena di kalangan ulama Islam juga sangat banyak yang
mendalami masalah kekristenan (kristolog), seperti Ahmed Deedat dan ulama lainnya serta yang
mendapat hidayah Allah menjadi muslim atas dasar keyakinan akan kebenaran ajaran Islam,
daripada ajaran yang sebelumnya mereka anut.
Mudah-mudahan Allah menjadikan tulisan ini sebagai proses dakwah seperti disinyalir dalam
firman-Nya: Katakanlah: Hai ahli kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan)
yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan
tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan
sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada
mereka: Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang muslim. Hai ahli kitab, mengapa kamu
bantah membantah tentang hal Ibrahim, padahal Taurat dan Injil tidak diturunkan melainkan
sesudah Ibrahim. Apakah kamu tidak berpikir ? Demikianlah kalian, kalian sepatutnya berbantah
tentang hal yang kamu ketahui, maka mengapa kamu berbantahan tentang hal yang tidak kamu
ketahui ? Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui. (QS. Ali Imran/3:64-66)
Masalah Nabi Isa termasuk masalah ghaib, sebagaimana firman Allah: Hal itu adalah diantara
berita-berita ghaib. (QS. Ali Imran:44). Setiap mumin wajib beriman akan adanya para nabi
dan rasul. Beriman kepada para utusan Allah termasuk salah satu masalah aqidah yang harus
dilandasi dalil qathi dan mutawatir, yaitu dalil yang tegas dan kuat dalam memutuskan segala
ketentuan yang berkaitan dengannya. Demikian halnya dengan nabi Isa Bin Maryam, untuk
mengetahui keberadaannya dibutuhkan dalil qathi dari al-Quran dan hadits mutawatir, bukan
hadits ahad atau penafsiran dan pikiran. Dan sebagai argumen tambahan, penulis merujuk pada
Kitab Injil Barnabas yang orisinalitasnya masih diakui, tidak seperti Kitab Injil versi lainnya
yang terdapat banyak kerancuan. (periksa, Dialog Masalah Ketuhanan Yesus, KH. Bahaudin
Mudhary, Pustaka Dai, Surabaya).
AL-QURAN MUSTAHIL BERTENTANGAN
Penulis memaklumi adanya umat kristiani yang menyatakan al-Quran bertentangan antara satu
ayat dengan ayat lainnya, karena memang karakteristik mereka yang selalu berbantahan tanpa
ilmu, sebagaimana yang disinyalir Allah : Demikianlah kalian, kalian sepatutnya berbantah
tentang hal yang kamu ketahui, maka mengapa kamu berbantahan tentang hal yang tidak kamu
ketahui ? Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui. (QS. Ali Imran/3:64-66) Bahkan,
penyusun buku Al-Quran Berbicara tentang Kristen menceritakan pengalamannya berdebat
dengan penganut Kristiani, berikut penuturannya : tanggal 11 Desember 1995 penulis
menelpon Herman O.T.M Simanjuntak untuk meminta buku Abdul Masih Menjawab. Dia
mengatakan buku itu ada di kantor Gema Nehemia. Penulis datang sendirian ke kantor itu dan
berbincang santai dengan beberapa misionarisnya, ternyata mereka semua yang bernaung di
lembaga yang dipimpin oleh dr. Suradi itu, meskipun sudah lama melakukan kajian Alquran
untuk dimanipulasi, masih belum mengerti Al-Quran, apalagi bahasa Arab. Saat itu mereka
menunjukkan kesalahan Al-Quran tentang maqam Ibrahim yang disebut dalam surat Ali Imran
96 dan 97 yang berbunyi: Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangunkan untuk manusia
(beribadah) ialah (bait Allah) yang di Makkah (Kabah), yang diberi berkat dan petunjuk untuk
semesta alam. Di sana ada beberapa tanda nyata, (diantaranya) makam Ibrahim. Barangsiapa
yang masuk ke negeri Makkah, niscaya aman sentosa. Menurut anggapan mereka, yang
dimaksud dengan kata-kata makam Ibrahim itu adalah kuburan Ibrahim. Seketika kami
tertawa mendengarnya (1999 : ix)
Al-Quran adalah wahyu Allah terakhir yang diturunkan sebagai pedoman hidup seluruh umat
manusia sampai hari kiamat. Allah Sendiri yang senantiasa menjaga otentisitas dan kemurnian
al-Quran. (QS. Al-Hijr:9) Isinya sama sekali tidak terdapat pertentangan karena dari Satu
Sumber Yang Maha Benar. Tidak seperti Bible atau Injil, Taurat dan Zabur yang ada sekarang
yang merupakan ungkapan/penafsiran/terjemahan manusia, dan rentan terjadi kekeliruan
penulisan dan pemahaman dengan banyaknya versi bahasa. Sedangkan Al-Quran sejak
diturunkan sampai detik ini di seluruh penjuru bumi tetap sama. Jika terdapat perbedaan
terjemahan atau penafsiran bukan al-Qurannya yang berbeda. Allah menyatakan : Maka
apakah mereka tidak memperhatikan al-Quran ? kalau kiranya al-Quran itu bukan dari sisi
Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya. (QS. 4:82)
Seorang orientalis mengakui: It will be seen, from the above, that a final and complete text of
the Koran was prepared wihin twenty years after death (A.D. 632) of Muhammad, And that this
has remained the same, without any change, or alteration by enthusiasts, translators or
interpolators, up to the present time. It is tobe regretted that the same can not be said all the
books of the Old dan New Testaments. (FF Arbuthnot, The Contruction of The Bible And The
Koran, London, 1885, h. 5)
Dari uraian di atas dapat diketahui, bahwa teks al-Quran yang final dan lengkap itu disiapkan
dalam waktu 12 tahun setelah Muhammad wafat (632 M.) Dan teks itu sampai sekarang tetap
sama tanpa ada perubahan atau pergantian dari pembacanya, penerjemah maupun pemalsu.
Sangat disayangkan, keaslian seperti al-Quran in tidak bisa ditemui dalam Kitab Suci Perjanjian
Lama maupun Perjanjian Baru (Bible). (Al-Quran Berbicara tentang Kristen, 1999: 21-22)
PENCIPTAAN & KELAHIRAN ISA BIN MARYAM
Al-Quran menjelaskan secara rinci penciptaan Isa dan proses kelahirannya, untuk
memperlihatkan kekuasaan-Nya dan menunjukkan bahwa Isa adalah manusia bukan tuhan atau
anak tuhan sebagaimana keyakinan kristiani. Berikut firman-Nya:
Sesungguhnya misal (penciptaan) Isa di sisi Allah, adalah seperti (penciptaan) Adam. Allah
menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya: Jadilah maka jadilah
dia. (QS. Ali Imran :59)
Dan ceritakanlah (kisah) Maryam di dalam al-Quran,, yaitu ketika ia menjauhkan diri dari
keluarganya ke suatu tempat di sebelah timur, maka ia mengadakan tabir (yang melindunginya)
dari mereka; lalu Kami mengutus roh Kami (Jibril) kepadanya, maka ia menjelma di hadapannya
(dengan bentuk) manusia yang sempurna. Maryam berkata: Sesungguhnya aku berlindung
daripadamu kepada Tuhan Yang Maha Pemurah, jika kamu seorang yang bertakwa. Ia (Jibril)
berkata: Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang utusan Tuhanmu untuk memberimu seorang
anak laki-laki yang suci. Maryam berkata: Bagaimana akan ada bagiku seorang anak laki-laki,
sedang tidak pernah seorang manusiapun menyentuhku dan aku bukan (pula) seorang pezina.
Jibril berkata: Demikianlah Tuhanmu berfirman: Hal itu adalah mudah bagiKu; dan agar dapat
Kami menjadikannya suatu tanda bagi manusia dan sebagai rahmat dari Kami; dan hal itu adalah
suatu perkara yang sudah diputuskan. Maka Maryam mengandungnya, lalu ia menyisihkan diri
dengan kandungannya itu ke tempat yang jauh. Maka rasa sakit akan melahirkan anak memaksa
ia (bersandar) pada pangkal pohon kurma. ia berkata: Aduhai alangkah baiknya aku mati
sebelum ini, dan aku menjadi sesuatu yang tidak berarti, lalu dilupakan. Maka Jibril
menyerunya dari tempat yang rendah: Janganlah kamu bersedih hati, sesungguhnya Tuhanmu
telah menjadikan anak sungai di bawahmu. Dan goyanglah pangkal pohon kurma itu ke arahmu,
niscaya pohon itu akan menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu. Maka makan, minum
dan bersenang hatilah kamu. Jika kamu melihat seorang manusia, maka katakanlah:
Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pemurah, maka aku tidak
akan berbicara dengan seorang manusiapun pada hari ini. Maka Maryam membawa anak itu
kepada kaumnya dengan menggendongnya. Kaumnya berkata: Hai Maryam, sesungguhnya
kamu telah melakukan sesuatu yang amat mungkar. Hai saudara perempuan Harun, ayahmu
sekali-kali bukanlah seorang yang jahat dan ibumu sekali-kali bukanlah seorang pezina. Maka
Maryam menunjuk kepada anaknya. Mereka berkata: Bagaimana kami akan berbicara dengan
anak kecil yang masih dalam ayunan. Berkata Isa: Sesungguhnya aku ini hamba Allah, Dia
memberiku Al-Kitab (Injil) dan Dia menjadikan aku seorang nabi, dan Dia menjadikan aku
seorang yang diberkati di mana saja aku berada, dan Dia memerintahkan kepadaku (mendirikan)
shalat dan (menunaikan) zakat selama aku hidup; dan berbakti kepada ibuku, dan Dia tidak
menjadikan aku seorang yang sombong lagi celaka. Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan
kepadaku, pada hari aku dilahirkan, pada hari aku meninggal dan pada hari aku dibangkitkan
hidup kembali. Itulah Isa putera Maryam, yang mengatakan perkataan yang benar, yang mereka
berbantah-bantahan tentang kebenarannya. Tidak layak bagi Allah mempunyai anak, Maha Suci
Dia. Apabila Dia telah menetapkan sesuatu, maka Dia hanya berkata kepadanya: Jadilah, maka
jadilah ia. Sesungguhnya Allah adalah Tuhanku dan Tuhanmu, maka sembahlah Dia oleh kamu
sekalian. Ini adalah jalan yang lurus. (QS. Maryam : 16-36)
Perbedaan proses kelahiran Isa yang tanpa ayah, bukanlah suatu yang istimewa bagi Allah
sehingga janganlah menimbulkan pertentangan atau pengkultusan terhadap Nabi Isa.
Ibnu Jarir, Ibnu Ishaq, Ibnul Mundzir meriwayatkan bahwa ayat-ayat ini (Ali Imran 1-9) dan
ayat-ayat sesudahnya, yang berjumlah delapan puluh ayat diturunkan berkenaan dengan kaum
Nasrani negeri Najran. Yaitu ketika mereka datang menemui Rasulullah SAW. Kedatangan
mereka melibatkan delapanpuluh orang penunggang kuda. Lalu, mereka bertengkar dengan Nabi
mengenai Isa Bin Maryam. Mereka mengatakan, Siapakah sebenarnya ayah Isa ? Kemudian
mereka mengatakan kepada Allah akan hal-hal bohong dan tidak terbukti. Maka, Rasulullah
SAW menjawab: Tidakkah kamu mengetahui bahwa Tuhan kami Maha Hidup dan tidak mati ?
Dan Isa, pasti akan mengalami kematian ? Mereka menjawab, Sudah pasti itu benar. Nabi
bersabda: Tidakkah kamu mengetahui bahwa Tuhan kami Mahakuasa terhadap segala sesuatu.
Dia-lah yang menanggungnya. Dia-lah Yang memeliharanya, dan Dia Yang memberi rezeki
padanya ? Mereka menjawab : Benar ! Nabi SAW bersabda, Apakah Isa memiliki sesuatu
selain yang telah tersebut ? Mereka menjawab: Tidak. Nabi bersabda: Tidakkah kamu tahu
bahwa Allah telah menggambarkan (bentuk) Isa di dalam rahim (ibunya) menurut yang Allah
kehendaki ? Dan Tuhan kami tidak makan, tidak minum, dan tidak pernah berhadats ? Jawab
mereka: Benar ! Beliau bersabda: Tidakkah kamu tahu bahwa Isa telah dikandung oleh
ibunya sebagaimana wanita (lainnya) melahirkan anaknya, kemudian ia diberi makan
sebagaimana seorang bayi diberi makan. Lalu, Isa makan, dan minum serta berhadats ? Mereka
menjawab, Benar. Nabi SAW bersabda: Lalu, bagaimana Nabi Isa itu bisa seperti yang kamu
duga ?
NABI ISA BIN MARYAM AS DIUTUS KEPADA BANI ISRAIL &
MENENTANG KEYAKINAN TRINITAS
Al-Quran menjelaskan kenabian Isa Bin Maryam dan ajaran yang dibawanya. Diantaranya:
1- QS. An-Nisa:171
Wahai Ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, dan janganlah kamu
mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar. Sesungguhnya Al-masih, Isa putra Maryam itu,
adalah utusan Allah dan (yang diciptakan dengan) kalimat-Nya. Maka berimanlah kamu kepada
Allah dan rasul-rasul-Nya dan janganlah kamu mengatakan: (Tuhan itu) tiga, berhentilah (dari
ucapan itu). (Itu) lebih baik bagimu. Sesungguhnya Allah Tuhan Yang Maha Esa, Maha Suci
Allah dari mempunyai anak, segala yang di langit dan di bumi adalah kepunyaan-Nya. Cukuplah
Allah sebagai Pemelihara.
2- QS. Al-Maidah:116-117
Dan (ingatlah) ketika Allah berfirman, Hai Isa putera Maryam, adakah kamu mengatakan
kepada manusia: Jadikanlah aku dan ibuku dua orang tuhan selain Allah ? Isa menjawab:
Maha suci Engkau, tidaklah patut bagiku mengatakan apa yang bukan hakku (mengatakannya).
Jika aku pernah mengatakannya maka tentulah Engkau telah mengetahuinya. Engkau
mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku tidak mengetahui apa yang ada pada diri Engkau.
Sesungguhnya Engkau Maha mengetahui perkara yang ghaib-ghaib. Aku tidak pernah
mengatakan kepada mereka kecuali apa yang Engkau perintahkan kepadaku (mengatakannya)
yaitu: Sembahlah Allah, Tuhanku dan Tuhanmu. Dan adalah aku menjadi saksi terhadap
mereka, selama aku berada di antara mereka. Maka setelah Engkau wafatkan aku, Engkaulah
yang mengawasi mereka. Dan Engkau adalah Maha menyaksikan atas segala sesuatu.
3- QS. Az-Zukhruf: 59
Isa tidak lain hanyalah seorang hamba yang Kami berikan kepadanya nimat (kenabian) dan
Kami jadikan dia sebagai tanda bukti (kekuasaan Allah) untuk Bani Israil.
(Lihat, Injil Barnabas, Fasal 21:21)

4- Nabi Isa dan sahabatnya (Hawariyyun) adalah muslim


(Isa berkata) : Bertakwalah kepada Allah dan taatlah kepadaku. Sesungguhnya Allah, Tuhanku
dan Tuhanmu. Karena itu sembahlah Dia. Inilah jalan yang lurus. Maka tatkala Isa mengetahui
keingkaran mereka (Bani Israil) berkatalah dia: Siapakah yang akan menjadi penolong-
penolongku untuk (menegakkan agama) Allah ? Para hawariyyin (sahabat-sahabat setia)
menjawab: Kami penolong-penolong agama Allah; dan saksikanlah bahwa sesungguhnya kami
adalah orang-orang yang berserah diri (muslim). Ya Tuhan kami, kami telah beriman kepada apa
yang telah Engkau turunkan dan telah kami ikuti rasul, karena itu masukkanlah kami ke dalam
golongan orang-orang yang menjadi saksi (tetang keesaan Allah). (QS. Ali Imran:50-52)
5. Nabi Isa AS tidak berbeda dengan nabi lainnya
Al-Masih putera Maryam itu hanyalah seorang Rasul yang sesungguhnya telah berlalu
sebelumnya beberapa rasul rasul, dan ibunya seorang yang sangat mulia, kedua-duanya biasa
memakan makanan. Perhatikanlah bagaimana Kami menjelaskan kepada mereka (ahli kitab)
tanda-tanda kekuasaan (Kami), kemudian perhatikanlah bagaimana mereka berpaling (dari
memperhatikan ayat-ayat Kami itu). (QS. Al-Maidah/5:75)
NABI ISA (TIDAK) MATI ?
Ayat-ayat Al-Quran yang berkaitan dengan peristiwa akhir Nabi Isa tercantum dalam:
1- QS. An-Nisa : 159
Tidak ada seorangpun dari Ahli Kitab, kecuali akan beriman kepadanya (Isa) sebelum
kematiannya. Dan di Hari Kiamat nanti Isa itu akan menjadi saksi terhadap mereka.
Ayat di atas menjelaskan bahwa golongan ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) yang beriman kepada
ajaran yang dibawa oleh Nabi Isa akan mendapatkan persaksian Nabi Isa pada hari Kiamat
bahwa mereka kaum muminin pengikut Nabi Isa Bin Maryam, karena Nabi Isa AS. diutus oleh
Allah kepada kaum yang hidup sebelum kematiannya. Dan bagi ahli kitab yang tidak beriman
sebelum kematian Nabi Isa AS dengan melakukan kedzaliman sebagaimana dijelaskan pada
ayat selanjutnya (QS. An-Nisa:160-161), maka mereka tidak diakui sebagai pengikut Isa dan
akan mendapat adzab yang pedih. Adapun ahli kitab yang hidup setelah kematian Nabi Isa AS.
(sebagaimana lanjutan ayat QS. An-Nisa 162) mereka diperintahkan agar beriman kepada al-
Quran dan menjadi pengikut Rasulullah, Muhammad SAW. yang memang sudah diberitahukan
kedatangannya oleh Nabi Isa. (Lihat Injil Barnabas, Fasal 39:14, juga QS. Ali Imran:64-66)
2- QS. Ali Imran:54-55
Orang-orang kafir itu membuat tipu daya, dan Allah membalas tipu daya mereka itu. Dan Allah
sebaik-baik pembalas tipu daya. (Ingatlah), ketika Allah berfirman: Hai Isa, sesungguhnya Aku
akan menyampaikan kamu kepada akhir ajalmu dan mengangkat kamu kepada-Ku serta
membersihkan kamu dari orang-orang yang kafir, dan menjadikan orang-orang yang mengikuti
kamu di atas orang-orang yang kafir hingga hari kiamat. Kemudian hanya kepada Akulah
kembalimu, lalu Aku memutuskan di antaramu tentang hal-hal yang selalu kamu berselisih
padanya.
3- QS.An-Nisa:157-158
Dan karena ucapan mereka: Sesungguhnya kami telah membunuh Al-Masih, Isa putera
Maryam, Rasul Allah, padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak (pula) menyalibnya,
tetapi (yang mereka bunuh ialah orang yang) diserupakan (dengan Isa) bagi mereka.
Sesungguhnya orang-orang yang berselisih paham tentang (pembunuhan) Isa, benar-benar dalam
keragu-raguan tentang yang dibunuh itu. Mereka tidak mempunyai keyakinan tentang siapa yang
dibunuh itu, kecuali mengikuti persangkaan belaka, mereka tidak (pula) yakin bahwa yang
mereka bunuh itu adalah Isa. Tetapi (yang sebenarnya), Allah telah mengangkat Isa kepada-Nya.
Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
4- QS. Al-Maidah:116-117
Dan (ingatlah) ketika Allah berfirman, Hai Isa putera Maryam, adakah kamu mengatakan
kepada manusia: Jadikanlah aku dan ibuku dua orang tuhan selain Allah ? Isa menjawab:
Maha suci Engkau, tidaklah patut bagiku mengatakan apa yang bukan hakku (mengatakannya).
Jika aku pernah mengatakannya maka tentulah Engkau telah mengetahuinya. Engkau
mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku tidak mengetahui apa yang ada pada diri Engkau.
Sesungguhnya Engkau Maha mengetahui perkara yang ghaib-ghaib. Aku tidak pernah
mengatakan kepada mereka kecuali apa yang Engkau perintahkan kepadaku (mengatakannya)
yaitu: Sembahlah Allah, Tuhanku dan Tuhan-mu. dan adalah aku menjadi saksi terhadap
mereka, selama aku berada di antara mereka. Maka setelah Engkau wafatkan aku, Engkaulah
yang mengawasi mereka. Dan Engkau adalah Maha menyaksikan atas segala sesuatu.
Makna AT-TAWAFFA
At-Tawaffa berarti mengambil sesuatu secara utuh dan sempurna. Kemudian dipakai untuk
makna mematikan, sebagaimana yang telah difirmankan Allah : Allah memegang jiwa (orang)
ketika matinya. (QS. Az-Zumar/39:42)
Para ulama yang mengartikan At-Tawaffa dengan memanggil, memegang dan menyempurnakan,
antara lain Al-Baidlawi, Syaikh Thanthawi, Ibnu Katsir dan Ibnu Jarir Ath-Thabary yang
bersumber dari riwayat Ibnu Juraij.
Jumhur ulama mengartikan At-Tawaffa dengan mati dan membandingkan dengan penggunaan
kata tersebut dalam QS. As-Sajdah : 11, QS. An-Nisa:97, QS. Al-Anfal:50, QS. Al-Anam : 61,
QS. Al-Haj:5, QS. An-Nisa:15, QS. Yusuf:101.
TAWAFFANY pada ayat di atas secara makna yang mudah ditangkap ialah mati sebagaimana
yang sudah diketahui manusia umumnya. Matinya Nabi Isa pada ayat di atas menunjukkan
bahwa saat itu juga Isa mati dan bukan mati kelak setelah turun ke dunia seperti keyakinan
kristen tentang kebangkitan kembali Yesus Kristus. Atau keyakinan bahwa Nabi Isa masih hidup
di langit sampai sekarang dan akan turun lagi ke dunia pada akhir zaman, karena ayat tersebut
secara jelas menunjukkan batas akhir hubungan Nabi Isa dengan kaumnya disebabkan
kematiannya, serta sama sekali tidak ada lagi kaitan dengan umat setelah kematiannya atau di
akhir zaman, karena mereka semua adalah umat Muhammad SAW.
Makna RAFAAHULLAH ILAIH (Allah mengangkat Nabi Isa kepada-Nya)
Diantara mufassir berpendapat bahwa kalimat ini menunjukkan Nabi Isa diangkat ke langit
dengan jasadnya kemudian Allah memberikan wajah orang lain yang serupa dengan Isa. Ia masih
hidup di langit dan akan turun pada akhir zaman untuk membunuh babi, menghancurkan salib.
Penafsiran seperti ini sejalan dengan penjelasan Injil Barnabas yang menyebutkan orang yang
serupa dengan wajah Isa ialah Yudas Eskariot muridnya yang berkhianat. Bukti bahwa Nabi Isa
telah wafat dan diangkat ruhnya bersama ruh lainnya ialah peristiwa miraj Rasulullah SAW ke
langit dan melihat Nabi Isa AS dan Yahya -anak bibinya di langit kedua. Penjelasan hadits
tentang isra mirajnya Rasulullah SAW sangat meyakinkan (mutawatir), sehingga dapat
dijadikan bukti bahwa Nabi Isa AS sama seperti para nabi dan rasul sebelumnya yaitu wafat dan
diangkat derajat ruhnya, bukan jasadnya. (Lihat, Fathul Bari, Zadul Maad dll.)
Al-Alusi menafsirkan firman Allah, INNI MUTAWAFFIKA, sesungguhnya Aku telah
memutuskan ajalmu dan mewafatkanmu langsung tanpa campur tangan orang yang
membunuhmu dan inilah kinayah bahwa Allah menjaganya dari musuh-musuh dan orang yang
berkhianat kepadanya, yaitu dengan mewafatkannya.
Jelaslah bahwa mengangkat setelah wafat bermakna mengangkat derajatnya bukan jasadnya,
apalagi kalimat selanjutnya ialah WA MUTHAHHIRUKA MINAL LADZINA KAFARU
menunjukkan bahwa Allah mengangkat kemuliaannya.
Banyak ayat yang menjelaskan makna mengangkat sebagai memuliakan (lihat, QS. 24:36,
QS. 6:83, QS. 19:57, QS. 58:11, QS. 80:13-14)
Pemaknaan mengangkat yang sifatnya ruhiyah (spiritual) ini sebagaimana memaknai
INNALLOHA MAANA (sesungguhnya Allah berserta kita) yang berarti Allah menjaga dan
memelihara kita.
Mengapa dlamir pada ILAIHI dikembalikan kepada langit yang sama sekali tidak disinggung
pada ayat tersebut. Ini sebuah kedzaliman dalam mengartikan ayat al-Quran.
Jika makar Allah dengan mengangkat jasad Isa ke langit, hal ini di luar kemampuan manusiawi
dan tentunya tidak sebanding dengan makar musuh-musuhnya yang berupa manusia. Sebagai
perbandingan ialah ketika Allah membalas makar kaum kafir kepada Rasulullah SAW, yaitu
dengan sesuatu yang dijangkau oleh kemampuan manusiawi, walaupun Allah Maha Kuasa
membuat sesuatu yang lebih dahsyat. (QS. Al-Anfal:30) (lihat, Al-Fatawa, Al-Imam Mahmud
Syaltut:59)
Sebagian ulama berpendapat, kalimat INNI MUTAWAFFIKA WA RAFIUKA ILAYYA
menggunakan huruf WAWU yang memiliki makna taqdim dan takhir, maka bentuk asalnya,
INNI RAFIUKA WA MUTAWAFFIKA (aku mengangkatmu kemudian mematikanmu),
sehingga mereka berpendapat bahwa Isa telah diangkat dalam keadaan hidup dengan jasad dan
ruhnya, dan beliau kelak akan diturunkan pada akhir zaman. Kemudian, beliau meme-gang
tampuk kekuasaan di antara kita dengan syariat kita (Nabi Muhammad SAW). Setelah itu Allah
akan mewafatkannya.
Jika diberi makna seperti di atas, jelas hal ini menyalahi kaidah penafsiran dengan menggunakan
kaidah maani yang sebenarnya tidak perlu. Namun, kalaupun dimaknai seperti di atas, maka
dapat diambil pemahaman, bahwa Isa selamat dari kepungan musuh-musuhnya dengan diangkat
jasadnya oleh Allah keluar dari serbuan musuh-musuhnya, kemudian baru Allah mewafatkan Isa
dengan proses kematian yang normal, tidak dibunuh atau disalib. Pemahaman ini hampir sama
dengan penjelasan Injil Barnabas, Fasal 112: 13-22 : (Yesus berkata-pen.): Maka ketahuilah ya
Barnabas, bahwa sesungguhnya karena itu aku harus berhati-hati dan akan dijual oleh salah
seorang muridku dengan tigapuluh keping mata uang. Dan atas dasar itu, maka aku yakin bahwa
orang yang akan menjualku itu, akan terbunuh dengan namaku. Karena Allah akan mengangkat
aku dari bumi ini kemudian akan merubah wajah pengkhianat itu sehingga ia disangka aku oleh
semua orang. Begitupun juga maka setelah ia mati dengan seburuk-buruk cara, aku harus tinggal
dalam kecemaran itu untuk masa panjang di bumi ini. Akan tetapi apabila telah datang
Muhammad Rasul Allah yang kudus itu, akan hilanglah daripadaku kecemaran itu. Dan Allah
akan melaksanakan itu, karena aku telah mengakui akan kebenaran Messias yang akan
memberikan kepadaku anugerah itu agar diketahui orang bahwa aku ini masih hidup (setelah
disangka orang disalib/dibunuh, pen.) dan aku tersuci dari kematian yang tercela.
Fasal 112 ini menjelaskan pengakuan Yesus sendiri bahwa dia akan diselamatkan oleh Allah dari
kematian yang keji (dibunuh atau disalib), yang dibunuh atau disalib adalah orang lain yang
diserupakan dengannya, kemudian ia akan disucikan dengan datangnya Muhammad Rasulullah
SAW, dari segala kekejian yang telah dilakukan Bani Israil terhadapnya dan dari
kesalahfahaman pengikutnya dalam keyakinan dan ajaran yang dibawanya.
Imam Ar-Razi berpendapat, BAL RAFAAHUL-LAHU ILAIH (Aku (Allah) mengangkat kamu
(Isa) ke tempat kemuliaan-Ku. Redaksi ayat ini menggunakan kata RAFAA (mengangkat),
adalah untuk menyatakan keagungan peristiwa tersebut, seperti firman-Nya pada ayat lain ketika
menceritakan kisah Nabi Ibrahim yang berkata : INNI DZAHIBUN ILA RABBI (QS. As-
Shaffat:99) Sesungguhnya aku pergi menghadap Tuhanku. Padahal nyatanya ia pergi dari Irak
ke Syam. Jadi maksud ayat tersebut, bahwa Allah telah mengangkat Nabi Isa ke suatu tempat
yang tidak dikuasai oleh hukum selain hukum Allah (di luar jangkauan kekuasaan raja Romawi
dan pasukan yang memburunya).
Jika kalimat RAFAA dimaknai mengangkat jasad Isa, tidaklah tepat, karena banyak ayat lain
yang menegaskan bahwa RAFAA adalah mengangkat kedudukannya. Seperti ketika Allah
menyatakan WA RAFANAHU MAKANAN ALIYYAN (dan Kami telah mengangkatnya ke
martabat yang tinggi, QS. Maryam:57) yaitu diangkatnya Nabi Idris AS.
Makna SYUBBIHA LAHUM
Yang dimaksud kalimat SYUBBIHA LAHUM (disamarkan atas mereka) terdiri dari beberapa
pemahaman, diantaranya :
1. Wajah Isa diserupakan dengan wajah Yudas Iskariot
Injil Barnabas Fasal 214 217 menceritakan : Maka keluarlah Yesus dari rumah kemudian
membelok ke kebun untuk sembahyang, lalu ia bertelut seratus kali sambil mengenakan
wajahnya ke tanah sebagai kebiasaannya dalam bersembahyang. Dan oleh karena Yudas
mengetahui tempat di mana Yesus beserta para muridnya berada, maka pergilah ia kepada kepala
imam. Katanya: Apabila engkau berikan apa yang engkau janjikan maka akan kuserahkan ke
tanganmu pada malam ini Yesus yang kamu carinya itu. Karena ia sekarang tinggal sendirian
bersama sebelas temannya. Kepala imam itu menjawab: Berapa yang engkau minta ? Yudas
menjawab: Tigapuluh keping emas. Dan ketika itu juga kepala imam menghitung uang kontan
untuknya. Lalu ia mengutus seorang Parisi kepada Hakim dan Herodes untuk mendatangkan
barisan-barisan tentara. Maka kedua orang itu memberikan kepadanya satu pasukan, karena
mereka khawatir akan khalayak ramai. Lalu mereka memanggul senjata mereka, dan keluarlah
mereka dari Jerussalem dengan obor-obor dan lampu-lampu di atas tongkat-tongkat. Dan ketika
barisan tentara itu bersama Yudas sudah mendekati tempat di mana Yesus berada di situ, maka
terdengarlah oleh Yesus suara mendekatnya sejumlah besar manusia. Dari itu ia mundur dan
sambil ketakutan ia memasuki rumah. Adapun kesebelas orang itu sedang tidur. Maka ketika
Allah melihat bahaya yang menghampiri hamba-Nya, diperintahlah oleh-Nya para Malaikat-Nya
Jibril, Michail, Rufail dan Uril utusan-utusan-Nya itu untuk mengambilnya dari dunia ini. Dan
tibalah para Malaikat yang suci itu lalu diambilnyalah Yesus dari jendela yang menghadap ke
sebelah selatan. Kemudian diangkatnyalah dia dan diletakkannya di langit yang ketiga, di tengah
kawanan Malaikat yang memuji-muji Allah sepanjang masa. Kemudian Yudas, dengan
kekerasan memasuki kamar darimana Yesus diangkat itu. Di saat mana para murid semuanya
sedang tidur. Maka Allah yang Maha Ajaib itu mendatangkan sesuatu yang ajaib pula. Lalu
berubahlah Yudas itu dalam kata-kata dan wajahnya, sehingga ia menyerupai Yesus, dan
kamipun menyangkanya Yesus. Adapun dia, maka setelah membangunkan kami ia mencari-cari
dimana gerangan guru itu. Dari itu kamipun merasa heran, lalu kami jawab: Engkaulah ya tuan,
Guru kami. Lupakah engkau sekarang kepada kami ? Adapun dia maka sambil bersenyum
mengatakan: Apakah kamu dungu sehingga kamu tidak mengenal lagi Yudas Iskariot ? Dan di
tengah-tengah ia mengatakan demikian itu masuklah tentara itu lalu meletakkan tangan mereka
kepada Yudas, karena ia benar-benar menyerupai Yesus dalam segala hal. Adapun kami, maka
ketika kami dengar suara Yudas dan melihat gerombolan tentara itu larilah kami bagaikan orang-
orang gila. Juga Yahya yang tadinya memakai selimut dari katun ia terjaga dan lari. Dan ketika
seorang perajurit memegangnya dengan selimut katunnya, maka ia tinggalkan selimutnya dan ia
lari telanjang. Karena Allah telah mengabulkan doa Yesus dan menyelamatkan kesebelas orang
ini dari bahaya. Maka diangkutlah Yudas oleh tentara dan diikatlah dia sambil mengejek-
ejeknya. Karena dia mungkir sedang ia bertutur benar bahwa dia itu bukan Yesus
2. Disangka telah mati disalib dan dibunuh padahal belum mati ketika disalib/dibunuh.
Mereka tidak membunuhnya dengan salib itu; sebab yang dinamai menyalib yaitu orang dipaku
kedua tangan dan kakinya di tiang salib sampai mati. Kalau belum berhasil sampai mati, ini
berarti belum dapat dikatakan menyalib. Oleh karena itulah maka ketika Yesus disalib tetapi
belum berhasil sampai mati beliau baru pingsan, diduga oleh mereka bahwa Yesus sudah mati.
Inilah yang dikatakan (Syubbiha lahum) artinya diserupakan kepada mereka seakan-akan mereka
telah berhasil menyalib Nabi Isa padahal belum bisa dikatakan menyalib. (Imam Muchlas
1982:53)
3. Bani Israil yang menentang kenabian Isa AS akan tetap dalam keraguan tentang peristiwa
makar mereka. Inilah makar Allah yang memadamkan makar mereka. Sebagaimana dijelaskan
pada ayat selanjutnya, Sesungguhnya orang-orang yang berselisih faham tentang (pembunuhan)
Isa, benar-benar dalam keragu-raguan tentang yang dibunuh itu. Mereka tidak mempunyai
keyakinan tentang siapa yang dibunuh itu, kecuali mengikuti persangkaan belaka.
Dapat disimpulkan, bahwa orang-orang yang telah melakukan makar dengan rencana busuk
membunuh Nabi Isa AS. sampai akhir hayatnya tetap ragu dan samar atas tindakan pembunuhan
mereka, benarkah yang dibunuh itu Isa atau orang lain ? dan apakah orang yang disalib itu telah
mati saat itu juga atau belum ? Keraguan inilah yang menjadikan makar (rencana busuk) mereka
dianggap gagal dan tidak berhasil, dikalahkan oleh makar Allah menyelamatkan Rasul-Nya.
KEBANGKITAN ISA DAN TURUN KE BUMI
Salah satu keyakinan Kristiani ialah kebangkitan Yesus di akhir zaman. Sebagian kaum
muslimin pun ada yang berkeyakinan Nabi Isa akan turun ke bumi menjelang hari Kiamat,
beralasan sebagai berikut:
1- QS. Az-Zukhruf/43:61
Dan sesungguhnya ia (Isa) itu, benar-benar memberikan pengetahuan tentang hari kiamat, maka
janganlah kamu ragu tetang kiamat itu, dan ikutilah Aku; inilah jalan yang lurus.
Dalam terjemah di atas sangat jelas bahwa Nabi Isa AS bukan sebagai tanda hari kiamat atau
akan turun sebagai tanda hari kiamat, tetapi diutusnya Nabi Isa AS membawa ajaran keimanan
tentang akan adanya hari kiamat agar diyakini oleh kaumnya.
Oleh umat kristiani, ayat ini dijadikan argumentasi bahwa Yesus mengetahui hari kiamat.
Anggapan ini tidak benar, karena menurut Matius 24:35, bahwa Yesus tidak tahu hari Kiamat.
Hanya Allah yang mengetahui hal ihwal hari Kiamat. (QS. Luqman:34)
2- QS. Maryam : 30-33
Berkata Isa: Sesungguhnya aku ini hamba Allah, Dia memberiku al-Kitab (Injil) dan Dia
menjadikan aku seorang nabi. dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkati di mana saja aku
berada, dan Dia memerintahkan kepadaku (mendirikan) shalat dan (menunaikan) zakat selama
aku hidup; dan berbakti kepada ibuku, dan Dia tidak menjadikan aku seorang yang sombong lagi
celaka. Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepada-ku, pada hari aku dilahirkan, pada hari
aku meninggal dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali.
Penjelasan : pada hari aku dibangkitkan hidup kembali yaitu setelah hari kiamat bukan
menjelang hari Kiamat, karena setiap manusia akan dibangkitkan pada hari tersebut. Jika hanya
Isa yang dibangkitkan sebelum kiamat dengan dalil ayat tersebut, maka Yahya-pun demikian,
karena pada ayat sebelumnya (QS. Maryam: 15) menggunakan Kalimat yang sama.
3- QS. Al-Muminun/23:50
Dan telah Kami jadikan (Isa) putera Maryam beserta ibunya suatu bukti yang nyata bagi
(kekuasaan Kami), dan Kami melindungi mereka di suatu tanah tinggi yang datar yang banyak
terdapat padang-padang rumput dan sumber air bersih yang mengalir.
Qatadah mengatakan, Ar-Rabwah adalah Baitul Maqdis. Muqatil dan Adh-Dhahhak mengatakan
ia adalah Oase Damaskus, karena di sana terdapat banyak buah-buahan dan air. Syaikh
Muhammad Abduh mengatakan dalam tafsirnya, para ahli tafsir berpendapat bahwa tanah tinggi
dalam ayat itu adalah Palestina dan Syam, diperkuat dengan fakta sejarah ditemukannya naskah
kitab suci masyarakat Essena/Esenes (pengikut Isa yang lurus) dan biaranya di perbatasan
Palestina dan Trans Yordania di dekat sumber air Ain Fasha, di bagian barat laut mati tahun
1947.
4- Hadits Turunnya Isa
Menurut KH. Abdullah Wasian, Imam Jalaludin Abdurrahman As-Suyuthi mencatat puluhan
hadits tentang turunnya Isa pada akhir zaman. (Karena banyak sekali haditsnya, sehingga
merupakan hadits Mutawatir).
Hadits yang dijadikan dalil ialah riwayat Wahab Bin Munabbih dan Kaab Al-Ahbar, keduanya
adalah ahli kitab yang masuk Islam dan menurut ulama jarh wat tadil hadits, mereka
dipertanyakan kredibilitas periwayatannya, karena masih memberi penafsiran yang berdasarkan
cerita Israiliyat.
Juga berdasarkan hadits ahad riwayat Abu Hurairah RA yang tidak boleh dijadikan dasar dalam
masalah aqidah atau ghaib kecuali riwayat mutawatir. Hadits tersebut diantaranya, Telah
bercerita kepada kami Ali bin Abdilah; Ia berkata; telah bercerita kepadaku Sufyan, ia berkata;
telah bercerita kepadaku Az-Zuhry, ia berkata; telah mengkhabarkan kepadaku Al-Musayyab, ia
berkata: ia mendengar Abu Hurairah ra dari Rasulullah SAW bersabda: Tidak akan terjadi
Kiamat sehingga turun pada kamu Ibnu Maryam sebagai Hakim yang adil, lalu memecah salib,
membunuh babi, menghapus pajak, dan harta menjadi banyak, sehingga tidak ada orang yang
akan menerimanya. (HR. Al-Bukhari, Tafsir Ibnu Katsir I:578)
Hadits ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Masud, Utsman Bin Abil Ash, Abu Umamah, Nawwas
bin Saman, Abdullah Bin Amr bin Ash, Mujma Bin Jariyah, Abi Syuraihah dan Hudzaifah bin
Usaid. Ibnu Katsir menyatakan: Maka ini adalah hadits mutawatir (Ibnu Katsir I:582, Hadits
ini dimuat dalam Al-Bukhari Kitab Buyu : 2070, Muslim Bab Iman : 220, At-Tirmidzi Bab Al-
Fitan:2159, Ibnu Majah bab al-Fitan:4068, Ahmad II: 493, 538).
Hadits di atas memang sanadnya shahih namun tidak mencapai derajat mutawatir (termasuk
hadits ahad dan sebagian ada yang dlaif, -Kelemahan hadits-hadits tentang turunnya Nabi Isa
AS dimuat dalam kitab Islamiyat.) yang tidak bisa dijadikan sandaran dalil dalam masalah
aqidah dan masalah ghaib, Imam Al-Bukhari-pun memasukkan hadits ini bukan dalam bab
aqaid. Maka dalam matannya perlu pemahaman dengan thariqat jami (kompromi).
Abdul Qadir Hasan menjelaskan, yang menunjukkan Nabi Isa akan turun ialah kata KAHLAN
(QS. Ali Imran/ 3:46) yang artinya tua yang umurnya lebih dari 30 tahun dan beruban. Dalam
hadits riwayat Ahmad dan Abu Dawud 2:214 dengan sanad yang sah, Nabi SAW bersabda:
dan ia (Nabi Isa) akan turun lalu ia akan tinggal di bumi 40 tahun Maka, kata AL-KAHLU
ini tertuju kepada masa tiga puluh tahun di waktu Nabi Isa di bumi dan 40 tahun di masa beliau
turun kembali ke dunia. (Kata Berjawab VI:183-184)
Menurut Fakhrur Razi dalam tafsirnya mengatakan, ketika terjadi penyerbuan, Yesus telah
berusia 33 tahun. (At-Tafsirul Kabir II:456) Sedangkan Ar-Raghib Al-Asfahani menjelaskan,
AL-KAHLU ialah orang yang penuh uban. (Al-Mufradat Fi Gharibil Quran:442). Definisi ini
bisa menunjukkan bahwa Isa Almasih kira-kira berumur 70 tahun. (Al-Quran Berbicara tentang
Kristen:170-171)
Hadits di atas memang shahih, namun jika melihat kalimat NAZIL (dia turun) itu adalah isim
fail untuk menunjukkan makna terjadinya yang disifati dengannya atau yang ia lakukan dari
segi kejadian, bukan ketetapan. Maksudnya, Isa telah turun kepada Bani Israil sampai usia
sekitar 33 tahunan dan terjadi pengkhianatan Yahudi, kemudian Allah menyelamatkan nya ke
suatu tempat hingga tutup usia setelah empatpuluh tahun dalam keadaan shalih pada umur sekitar
tujuhpuluh tahunan atau setelah beruban banyak.
Imam Ahmad Bin Hanbal menyatakan : Tiga tema pembahasan yang tidak jelas sumbernya,
tentang peperangan, kejadian-kejadian yang akan datang dan penafsiran. (Asnal Mathalib:526,
Tadzkiratul Maudluat:223) Karena hadits-hadits tersebut menjelaskan kejadian yang akan
datang, maka tidak luput dari kelemahan sumber dan data. Tidak seperti kisah Ashabul Kahfi
yang memang diceritakan dalam al-Quran dengan jelas (qathi) dan mutawatir.
Muhammad Abduh mengutip hadits-hadits seperti di atas dan menyatakan: Semua yang dinukil
dari ahli Tafsir Matsur (Tafsir berdasarkan riwayat hadits) mengenai masalah ahli kitab ini
diambil dari hadits Israiliyat yang tidak dapat dipercaya, sebab tidak ada sedikitpun yang marfu
dari Nabi Muhammad SAW. Hal itu hanyalah ditarjih oleh ulama setelah mereka, karena riwayat
itu lebih dekat kepada dzahirnya susunan ayat, hubungan dan persesuaiannya antara satu dengan
lainnya. (Tafsir Al-Manar III:316)
Munurut ulumul hadits, yang disebut hadits mutawatir itu jumlahnya sangat langka, karena
ketatnya seleksi dari rawi pada tiap thabaqat. Sementara hadits tentang turunnya Isa tidak luput
dari kecacatan periwayatan atau ada rawi yang terkena Jarh, yang menurut kaidah musthalahul
hadits, AL-JARH MUQADDAMUN ALA AT-TADIL (Pendapat yang menyatakan cacat lebih
didahulukan daripada yang menyatakan adil), maka tidak bisa dijadikan sandaran dalil untuk
masalah aqidah dan hal yang ghaib yang semestinya dinyatakan mutawatir oleh seluruh
muhadditsin.
Setelah penulis membandingkan dengan kisah Isa dalam Injil Barnabas ternyata apa yang
diungkapkan dalam hadits di atas telah terjadi sejak Nabi Isa hidup bersama kaumnya Bani Israil,
seperti, menghancurkan salib (menentang kemusyrikan yang disinggung hampir dalam setiap
fasal), membunuh babi (Fasal 21), menolak pajak (Fasal 31), berlimpahnya harta (Fasal 303).
Maka, hadits di atas menjelaskan bahwa di antara para pengikut Nasrani akan terjadi pemurnian
ajaran Nabi Isa sebagaimana ajaran sebelum Nabi Isa wafat, yaitu dengan diutusnya nabi terakhir
Muhammad SAW. Bahkan setiap orang dari ahli Kitab (Yahudi dan Kristen), ketika telah dekat
ajalnya, akan mengakui kebenaran tentang ajaran Nabi Isa yang murni, begitu juga mengenai
perkara agama lainnya. Bagi orang Yahudi, dia sadar bahwa Isa adalah Rasulullah yang benar
dalam risalahnya, bukan pendusta. Sedangkan orang Kristen sadar, bahwa Nabi Isa itu adalah
hamba Allah dan Rasul-Nya, bukan Tuhan dan bukan pula anak Allah. Namun pengakuan iman
mereka tidak lagi berguna karena ajal telah sampai kerongkongannya. Oleh karena itu, segenap
Ahli Kitab diseru oleh Allah agar segera beriman yang benar sebelum tibanya hari kiamat,
dimana Nabi Isa akan menjadi saksi atas keimanan maupun kekafiran mereka pada ajaran yang
dibawanya yaitu Tauhid dan Islam. Inilah maksud ayat, Tidak seorangpun dari Ahli Kitab,
kecuali akan beriman kepadanya (Isa) sebelum kematiannya. Dan di hari Kiamat nanti Isa itu
akan menjadi saksi terhadap mereka. (QS. An-Nisa:159)
Hadits mengenai pengangkatan Nabi Isa AS dan diturunkannya lagi kelak di akhir zaman ialah
berupa hadits Ahad, sedang kaitannya dengan masalah akidah. Akan halnya masalah-masalah
aqidah tidak bisa dipakai untuk itu, kecuali hanya dengan dalil-dalil yang qathi, baik dari al-
Quran maupun hadits mutawatir. Padahal dalam masalah ini, tak ada suatu dalilpun dari
keduanya. Atau, kemungkinan yang dimaksud dengan turunnya beliau dan pemerintahan beliau
adalah ruh atau semangat beliau, disamping rahasia risalah terhadap umat manusia yang
tersimpulkan dalam mengamalkan maksud-maksud syariat agama, tanpa adanya pemahaman
dalam batasan lahiriahnya saja, dan berpegang pada kulit luarnya tanpa mengerti inti ajaran yang
sebenarnya. (Terjemah Tafsir Al-Maraghi Juz III:306)
Menurut Muhammad Al-Ghazali, Secara dhahir, nash-nash al-Quran menyatakan bahwa Isa
telah wafat. Pendapat yang menyatakan bahwa Isa masih hidup di suatu tempat atau di langit,
adalah pendapat yang sama sekali tidak didukung suatu dalil. Tidaklah mustahil bagi Allah untuk
menghidupkan Isa kembali dengan mengemban tugas yang sangat berat sebagaimana disebutkan
sebelumnya. (Miah Sual Anil Islam:206)
Syekh Syaltut dalam masalah diangkatnya Isa dan akan turun kembali memutuskan;
1. Hal ini tidak berdasarkan al-Quran dan Sunnah yang kuat untuk dijadikan argumentasi dalam
masalah aqidah yang menenangkan hati, bahwa Isa diangkat jasadnya ke langit dan masih hidup
sampai kini serta akan turun ke bumi pada akhir zaman..
2. Ayat-ayat al-Quran hanya menjelaskan janji Allah bahwa Isa diwafatkan dan diangkat ruh
serta menjaganya dari orang-orang kafir. Hal ini diperkuat bahwa musuhnya tidak membunuh
atau menyalibnya, tapi Allah mewafatkan dan mengangkat derajatnya di sisi-Nya.
3. Orang yang menolak keyakinan akan diangkatnya Isa dan hidup sampai kini serta akan
diturunkan kembali pada akhir zaman, tidak dipandang menyalahi ketetapan yang didasarkan
dalil qathi dan tidak menjadikannya keluar dari keislaman atau keimanannya. Tidak boleh
memvonisnya murtad. Ia tetap muslim dan mukmin. Jika meninggal, ia termasuk salah seorang
mumin yang harus dishalatkan dan dikuburkan seperti mukmin lainnya. Keimanannya tidak
diragukan di hadapan Allah Yang Maha tahu dan Maha melihat. (Al-Fatawa 1991:65)

KESIMPULAN DARI AYAT-AYAT AL-QURAN TENTANG NABI ISA AS.


1. Penciptaan Nabi Isa sama dengan penciptaan manusia lainnya. Allah menyamakan penciptaan
Isa yang tanpa Ayah dengan Adam yang bahkan tanpa ayah dan ibu.
2. Nabi Isa adalah salah seorang rasul yang diutus kepada Bani Israil mengajarkan agama tauhid
(Islam) sebagaimana Allah telah mengutus rasul-rasul sebelumnya yang mendapat tantangan
dakwah dari kaumnya. Kemudian Allah menyelamatkannya dan memadamkan makar musuh-
musuhnya.
3. Nabi Isa diselamatkan oleh Allah ke suatu tempat Wallahu Alam dan meneruskan
dakwahnya, kemudian diwafatkan oleh Allah pada usia tua, bukan mati dibunuh atau disalib,
kemudian Allah meninggikan derajatnya di sisi-Nya seperti para nabi dan rasul lainnya.
Selanjutnya, Muhammad, Rasulullah SAW sebagai nabi akhir zaman menyempurnakan ajaran
tauhid sekaligus meluruskan pemahaman umat kristiani akan keberadaan Isa Al-Masih dan
ajaran yang dibawanya dengan al-Quran.
4. Nabi Isa akan dibangkitkan pada hari Kiamat sebagaimana seluruh umat manusia, bukan
dibangkitkan menjelang hari Kiamat sebagai tanda hari Kiamat. Kemudian akan menjadi saksi
bagi kaumnya yang beriman pada hari Kiamat. Adapun akan turun yang dimaksud pada hadits
Rasulullah SAW ialah akan terjadinya reformasi ajaran Kristiani yang menyimpang, kepada
ajaran tauhid yang sejalan dengan risalah para nabi dan rasul (Islam), sebagaimana para
hawariyyun (pengikut setia Nabi Isa) yang muslim.
5. Nabi Isa AS menyeru umatnya yang masih masih meyakini dirinya sebagai Anak Tuhan atau
Roh Kudus, agar segera bertaubat dengan menyembah Allah (bertauhid) dan berserah diri
kepada syariat yang dibawa oleh para Rasul (menjadi muslim) sebelum datang ajal mereka dan
sebelum hari Kiamat, dimana Isa akan menjadi saksi kebenaran dan kebohongan ajaran umatnya.
6. Muslim yang berpandangan Nabi Isa (tidak) akan turun, tetap menjadi seorang muslim dan
tidak menjadikannya murtad dari Islam atau kafir.
7. Sikap umat Islam dalam menanggapi berita atau keterangan dari ahli kitab seharusnya seperti
yang dianjurkan Rasulullah SAW kepada Abu Hurairah RA ketika Ahli Kitab membaca Taurat
berbahasa Ibrani dan menafsirkannya dalam bahasa Arab kepada umat Islam: Janganlah kamu
membenarkan (berita dari) ahli kitab dan juga jangan kamu mendustakannya, tetapi katakanlah:
Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan
kepadamu. (HR. Al-Bukhari)
Wallahu Alam Bish-Shawwab.
Kopo, Akhir Syawal 1420 H
DAFTAR PUSTAKA
Al-Quran dan Terjemahnya, DEPAG RI.
Az-Zuhaily, Tafsir Al-Munir
Dr. Thaha Ad-Dasuqy, Aqidatuna Wa Shilatuha Bil Kaun Wal Insan Wal Hayat, Darul Huda,
Kairo, 1995.
Syekh Syaban Abdulhadi Abu Rabah, Islamiyat, Haqaiq Fi Dzilli Tauhid Al-Ara Al-
Islamiyah, Muassasah Al-Arabiyah Al-Haditsiyah, Kairo, 1991.
Al-Imam Al-Akbar Mahmud Syaltut, Al-Fatawa, Darusy Syuruq, Mesir, Cet.17, 1991.
Majalah Al-Muslimun 358, Januari 2000
Majalah Risalah 1/XXIX April 1991
Indjil Barnabas, terj. Bahasa Indonesia oleh Husein Abu Bakar * Abu Bakar Basjmeleh, CV.
Pelita Bandung, Japi Surabaya, Cet. I, 1970.
H. Ischaq A. Razak, Pendeta Berpendapat Ulama Meralat, Pustaka Progressif, Surabaya, Cet. I,
1991.
KH. Bahaudin Mudhary, Dialog Masalah Ketuhanan Yesus, Pustaka Dai, Surabaya, Cet. V,
1994.
Ahmad Mushthafa Al-Maraghi, Terjemah Tafsir Al-Maraghi, CV. Toha Putera, Semarang, Cet.
I, 1986.
A. Hassan, Soal Jawab, Diponegoro, Bandung, Cet. XII, 1993.
CD. Holy Quran Ver. 6.31, Sakhr, Jeddah.
CD. Mausuah Hadeth Syaref, Kutubut Tisah, Sakhr, Jeddah.
Prof. Dr. H. Imam Muchlas & Masyhud SM, Al-Quran Berbicara tentang Kristen, Pustaka
Dai, Surabaya, Cet I. 1999.
Setiap mumin wajib beriman pada hari akhir. Beriman pada hari akhir termasuk salah satu
masalah aqidah yang memerlukan dalil qathi dan mutawatir dalam memutuskan segala
ketentuan dan seluruh aspek yang berkaitan dengannya. Demikian halnya dengan tanda-tanda
hari akhir, untuk menentukannya dibutuhkan dalil qathi dari al-Quran dan hadits mutawatir,
bukan hadits ahad. Diantara masalah yang menjadi perbincangan adalah akan datangnya kembali
Ya-juz dan Ma-juz. Sia-pakah Ya-juz & Ma-juz ? Bagaimana karakter dan sifatnya ? Benarkah
akan datang lagi sebagai salah satu tanda hari kiamat ?
Ya-juj dan Ma-juj dalam al-Quran
QS. Al-Kahfi: 94
Mereka berkata; Hai Dzulkarnain, sesungguhnya Ya-juj dan Ma-juj itu orang-orang yang
membuat kerusakan di muka bumi, maka dapatkah kami mem-berikan sesuatu pembayaran
kepadamu, supaya kamu membuat dinding antara kami dan mereka ?
QS. Al-Anbiya: 96
Hingga apabila dibukakan (tembok) Ya-juj dan Ma-juj, dan mereka turun dengan cepat dari
seluruh tempat yang tinggi. Dan telah dekatlah kedatangan janji yang benar (Hari berbangkit),
maka tiba-tiba terbelalaklah mata orang-orang yang kafir. (Mereka berkata); Aduhai celakalah
kami, sesungguhnya kami adalah dalam kelalaian tentang ini, bahkan kami adalah orang-orang
yang zhalim.
Ya-juj dan Ma-juj dalam Hadits
Dari Zainab Binti Jahsh -isteri Nabi SAW, berkata; Nabi SAW bangun dari tidurnya dengan
wajah memerah, kemudian bersabda; Tiada Tuhan selain Allah, celakalah bagi Arab dari
kejahatan yang telah dekat pada hari kiamat, (yaitu) dibukanya penutup Ya-juj dan Ma-juj seperti
ini ! beliau melingkarkan jari tangannya. (Dalam riwayat lain tangannya membentuk isyarat 70
atau 90), Aku bertanya; Ya Rasulullah SAW, apakah kita akan dihancurkan walaupun ada
orang-orang shalih ? Beliau menjawab; Ya, Jika banyak kejelekan. (HR. Ahmad, Al-Bukhari
dan Muslim)
Jenis dan Asal Usul Ya-juj dan Ma-juj dalam QS. Al-Kahfi : 94
Ya-juj dan Ma-juj menurut ahli lughah ada yang menyebut isim musytaq (memiliki akar kata
dari bhs. Arab) berasal dari AJAJA AN-NAR artinya jilatan api. Atau dari AL-AJJAH
(bercampur/sangat panas), al-Ajju (cepat bermusuhan), Al-Ijajah (air yang memancar keras)
dengan wazan MAFUL dan YAFUL / FAUL. Menurut Abu Hatim, Ma-juj berasal dari MAJA
yaitu kekacauan. Ma-juj berasal dari Mu-juj yaitu Malaja. Namun, menurut pendapat yang
shahih, Ya-juj dan Ma-juj bukan isim musytaq tapi merupakan isim Ajam dan Laqab (julukan).
Para ulama sepakat, bahwa Ya-juj dan Ma-juj termasuk spesies manusia. Mereka berbeda dalam
menentukan siapa nenek moyangnya. Ada yang menyebutkan dari sulbi Adam AS dan Hawa
atau dari Adam AS saja. Ada pula yang menyebut dari sulbi Nabi Nuh AS dari keturunan
Syis/At-Turk menurut hadits Ibnu Katsir. Sebagaimana dijelaskan dalam tarikh, Nabi Nuh AS
mempunyai tiga anak, Sam, Ham, Syis/At-Turk. Ada lagi yang menyebut keturunan dari Yafuts
Bin Nuh. Menurut Al-Maraghi, Ya-juj dan Ma-juj berasal dari satu ayah yaitu Turk, Ya-juj
adalah At-Tatar (Tartar) dan Ma-juj adalah Al-Maghul (Mongol), namun keterangan ini tidak
kuat. Mereka tinggal di Asia bagian Timur dan menguasai dari Tibet, China sampai Turkistan
Barat dan Tamujin. Mereka dikenal sebagai Jengis Khan (berarti Raja Dunia) pada abad ke-7 H
di Asia Tengah dan menaklukan Cina Timur. Ditaklukan oleh Quthbuddin Bin Armilan dari Raja
Khuwarizmi yang diteruskan oleh anaknya Aqthay. Batu anak saudaranya menukar dengan
negara Rusia tahun 723 H dan menghancurkan Babilon dan Hongaria. Kemudian di-gantikan
Jaluk dan dijajah Romawi dengan menggantikan anak sauda-ranya Manju, diganti saudaranya
Kilay yang menaklukan Cina. Sauda-ranya Hulako menundukan negara Islam dan menjatuhkan
Bagdad pada masa daulah Abasia ketika dipimpin Khalifah Al-Mutashim Billah per-tengahan
abad ke-7 H / 656 H.
Ya-juj dan Ma-juj adalah kaum yang banyak keturunannya.Menurut mitos, mereka tidak mati
sebelum melihat seribu anak lelakinya mem-bawa senjata. Mereka taat pada peraturan
masyarakat, adab dan pemim-pinnya. Ada yang menyebut mereka berperawakan sangat tinggi
sampai beberapa meter dan ada yang sangat pendek sampai beberapa centimeter. Konon, telinga
mereka panjang, tapi ini tidak berdasar.
Pada QS. Al-Kahfi:94, Ya-juj dan Ma-juj adalah kaum yang kasar dan biadab. Jika mereka
melewati perkampungan, membabad semua yang menghalangi dan merusak atau bila perlu
membunuh penduduk. Karenya, ketika Dzulkarnain datang, mereka minta dibuatkan benteng
agar mereka tidak dapat menembus dan mengusik ketenangan pen-duduk. Siapakah Dzulkarnain
? Menurut versi Barat, Dzulkarnain adalah Iskandar Bin Philips Al-Maqduny Al-Yunany (orang
Mecedonia, Yunani). Ia berkuasa selama 330 tahun. Membangun Iskandariah dan murid Aris-
toteles. Memerangi Persia dan menikahi puterinya. Mengadakan ekspansi ke India dan
menaklukan Mesir. Menurut Asy-Syaukany, pendapat di atas sulit diterima, karena hal ini
mengisyaratkan ia seorang kafir dan filosof. Sedangkan al-Quran menyebutkan; Kami (Allah)
men-gokohkannya di bumi dan Kami memberikan kepadanya sebab segala se-suatu. Menurut
sejarawan muslim Dzulkarnain adalah julukan Abu Karb Al-Himyari atau Abu Bakar Bin
Ifraiqisy dari daulah Al-Jumairiyah (115 SM - 552 M.). Kerajaannya disebut At-Tababiah.
Dijuluki Dzulkar-nain (Pemilik dua tanduk), karena kekuasaannya yang sangat luas, mulai ujung
tanduk matahari di Barat sampai Timur. Menurut Ibnu Abbas, ia adalah seorang raja yang shalih.
Ia seorang pengembara dan ketika sam-pai di antara dua gunung antara Armenia dan
Azzarbaijan. Atas permin-taan penduduk, Dzulkarnain membangun benteng. Para arkeolog
mene-mukan benteng tersebut pada awal abad ke-15 M, di belakang Jeihun dalam ekspedisi
Balkh dan disebut sebagai Babul Hadid (Pintu Besi) di dekat Tarmidz. Timurleng pernah
melewatinya, juga Syah Rukh dan il-muwan German Slade Verger. Arkeolog Spanyol Klapigeo
pada tahun 1403 H. Pernah diutus oleh Raja Qisythalah di Andalus ke sana dan ber-tamu pada
Timurleng. Babul Hadid adalah jalan penghubung antara Samarqindi dan India.
Tanda-tanda Hari Kiamat
Dalam Aqidatuna dijelaskan, Ya-juj dan Ma-juj akan datang pada masa Isa AS turun kembali ke
dunia untuk membunuh Dajjal, yaitu men-jelang datangnya Hari Kiamat. Ya-juj dan Ma-juj
datang untuk membalas dendam orang yang telah membunuh Dajjal yang jumlahnya tidak sam-
pai 20.000 orang dan berkumpul di Gunung Tursina. Keluarnya Ya-juj dan Ma-juj adalah fitnah
dan salah satu tanda Hari Kiamat. Masalah ini menjadi polemik diantara para ahli Kalam /
Aqaid. Masalah hari Kia-mat dan yang berkaitan dengannya, sebagaimana telah dijelaskan
sebe-lumnya, harus berdasarkan dalil qathi dan mutawatir. Syekh Syaltut dalam masalah
diangkatnya Isa dan akan turun kembali memutuskan;
1. Hal ini tidak berdasarkan al-Quran dan Sunnah.
2. Ayat-ayat al-Quran hanya menjelaskan janji Allah bahwa Isa di-wafatkan dan mengangkat ruh
dan jasadnya serta menjaganya dari orang-orang kafir. Nabi Isa tidak dibunuh atau disalib, tapi
diwafatkan oleh Allah dan diangkat di sisi-Nya.
3. Orang yang menolak keyakinan akan diangkatnya Isa dan hidup sampai kini dan akan
diturunkan kembali pada akhir zaman, tidak men-jadikannya keluar dari Islam atau kafir. Maka
tidak boleh memvonisnya murtad. Ia tetap muslim dan mumin.
Karena Ya-juj dan Ma-juj berkaitan dengan turunnya Isa, sedangkan dalil yang berkaitan
dengannya tidak kuat (kelemahan hadits-haditsnya dimuat dalam buku Islamiyat), maka
keyakinan tentang datangnya Ya-juj dan Ma-juj pun sama. Dalil yang sharih dan bisa dipegang
antara lain menjelaskan;
- Berdasarkan QS. Al-Kahfi:94, sebelum hari Kiamat, Ya-juj dan Ma-juj telah datang, yaitu pada
masa Dzulkarnain, dengan sifat dan karakter sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya.
- Berdasarkan QS. Al-Anbiya:96 dan Hadits tentang dibukanya pe-nutup Ya-juj dan Ma-juj,
sepanjang waktu yang tidak diketahui, sebelum Hari Kiamat, Ya-juj dan Ma-juj akan datang lagi
dan hidup seperti manu-sia lainnya dan melakukan penghancuran, yaitu ketika kejahatan
semakin banyak. Para ulama ada yang menyatakan bahwa hal ini telah terbukti, yaitu pada
pertengahan abad ke-7 H, ketika bangsa Tatar dan Mongol menjatuhkan khilafah Islamiyah di
Baghdad tahun 656 H.
Kebanyakan mufassir berpendapat munculnya Ya-juj dan Ma-juj yang kedua kalinya itu adalah
pada hari Kiamat. Kemudian datang hari Kiamat dengan tiupan Isrofil yang pertama dan pada
tiupan kedua selu-ruh umat manusia termasuk Ya-juj dan Ma-juj, akan dibangkitkan dan
dikumpulkan di mahsyar untuk menghadapi hari perhitungan. QS. Al-Waqiah/18:47. Jadi,
keluarnya Ya-juj dan Ma-juj yang sebenarnya adalah hari Kiamat, bukan tanda hari Kiamat.
Menurut penulis, Ya-juj dan Ma-juj yang ada pada masa Dzulkarnaen akan muncul lagi kelak
pada hari Kiamat sebagaimana umat manusia lainnya. Adapun kemunculan Ya-juj dan Ma-juj
sebagaimana mimpi Rasulullah SAW ia-lah sifat dan karakter Ya-juj dan Ma-juj yang akan
terjadi tanpa diketahui waktu dan tempatnya, jika telah tersebar kejelekan.
Wallahu Alam Bish Shawab.
Referensi:
Az-Zuhaily, Tafsir Al-Munir.
Dr. Thaha Ad-Dasuqy, Aqidatuna Wa Shilatuha Bil Kaun Wal Insan Wal Hayat, Darul Huda,
Kairo, 1995.
Syekh Syaban Abdulhadi Abu Rabah, Islamiyat, Haqaiq Fi Dzilli Tauhid Al-Ara Al-
Islamiyah, Muassasah Al-Arabiyah Al-Haditsiyah, Kairo, 1991.
Diposting oleh faizin kholiq di 10.27
Label: kuliah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda


Langganan: Posting Komentar (Atom)
Ada kesalahan di dalam gadget ini

Pengikut
Arsip Blog
2009 (15)
o Agustus (11)
The Politically Incorrect Guide Of Islam (And Crus...
perang salib
ISLAM SCIENCE TECHENOLOGY & CIVILIZATION Rahsia...
mahkota sufi 1
mahkota sufi 2
<!--[if gte mso 9]> Normal 0 false ...
sirru assrar dari syeikh abdul qadir jailani
artikel perang salib
Globalisasi Kearifan Menangkap Perubahan Zaman
menjadi muslim sejati
jengis khan
o Oktober (4)

Mengenai Saya

faizin kholiq
Lihat profil lengkapku

Cari Blog Ini

Anda mungkin juga menyukai