Anda di halaman 1dari 33

PORTOFOLIO KASUS BEDAH

APPENDICITIS DENGAN PERIAPENDIKULER


ABSES

Disusun oleh :

dr Arditya Putra Hertyanto

Pendamping :

dr. H. Rohmadoni
dr. H. Rohmat Pujo Santoso

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA


Rumah Sakit daerah Balung - Jember
2017

1
No. ID dan Nama Peserta : dr Arditya Putra Hertyanto
No. ID dan Nama Wahana : RSD Balung Jember
Topik : bedah
Tanggal Kasus : 6 April 2017
Nama Pasien : Tn. S/ 45th No. RM : 213378
Tanggal Presentasi : 7- 9 Juni 2017 Pembimbing : dr. H Rohmadoni
Tempat presentasi : Ruang Rapat RSD Balung
Obyektif Presentasi :
Keilmuan Keterampilan Penyegaran Tinjauan pustaka
Diagnostik Manajemen Masalah Istimewa
Neonatus Bayi Anak Remaja Dewasa Lansia Bumil
Deskripsi :
Pasien datang ke RSD Balung pada tanggal 6 april 2017 pukul 19.24 WIB dengan keluhan nyeri
perut terutama perut kanan bawah, keluhan ini dirasakan sudah kurang lebih 3 hari yang lalu.
Selain nyeri perut, badan juga terasa meriang dan di sertai mual. Nafsu makan berkurang . Belum
BAB kurang lebih 2 hari. BAK seperti biasa. Kurang lebih 1 hari benjolan di perut kanan bawah
yang sakit bila di sentuh.
Tujuan : Mengetahui pemeriksaan, diagnostik, dan tatalaksana
Bahan bahasan Tinjauan Pustaka Riset Kasus Audit
Cara membahas Diskusi Presentasi & E-mail Pos
diskusi

Data Pasien Nama : Tn.S Umur : 45 tahun No. Registrasi : 213378


Alamat : Bangsalsari
1. Keluhan Utama: Nyeri Perut
Anamnesis (Heteroanamnesis):
Pasien datang ke RSD Balung pada tanggal 6 april 2017 pukul 19.24 WIB dengan keluhan nyeri
perut terutama perut kanan bawah, keluhan ini dirasakan sudah kurang lebih 3 hari yang lalu.
Selain nyeri perut, badan juga terasa meriang dan di sertai mual. Nafsu makan berkurang . Belum
BAB kurang lebih 2 hari. BAK seperti biasa. Kurang lebih 1 hari benjolan di perut kanan bawah
yang sakit bila di sentuh.

2
2. Riwayat Penyakit Dahulu:
- Riwayat DM (-)
- Riwayat HT (-)
3. Riwayat Pengobatan:
(-)
4. Riwayat sosial dan keluarga :
- Riwayat DM (-)
- Hipertensi (-)
- Sakit jantung (-)
- Asma (-)
- Alergi (-)
5. Pemeriksaan Fisik:
STATUS GENERALIS
Vital Sign :
KU : Tampak sakit sedang
TD 122/73 N : 94 x/menit RR : 22x/menit To:37,80 C
K/L : Anemis (-)/icterus (-)/cyanosis (-)/dispneu (-)
Thorax :
Jantung
S1 normal; S2 normal
Murmur (-), gallop (-)
Paru :
I: Simetris
P: Gerak dinding dada simetris, Stem fremitus dbn
P: S/S
S/S
S/S
A: wh -/-, rh -/-
Abdomen :
Terdapat benjolan di perut kanan bawah (+) ukuran 2x2 cm.
Bising usus (+) menurun
nyeri ketok (+)
nyeri tekan (+), Massa (+), defans muskular (+).

3
Extrimitas :
Hangat +/+ Edema -/-
+/+ -/-
8. Pemeriksaan Penunjang
Hb : 13,2
WBC : 21.340
PLT : 195.000
Eo : 0,3
Ba : 0,3
Ly : 7,0
Mo : 11,2
GDA : 104

USG :
Appendicitis dengan periapendiculer
infiltrat/ abses

Foto Thorax

Kesimpulan : cord an pulmo tak tampak kelainan

4
ASESSMENT
Diagnosis kerja :
Susp Appendicitis akut
PLANNING
PTx :
Infus RL 14 tpm
Inj. Ranitidin 2 x 1
Inj. Metoclopramide 3x 1
Inj. metamizole 2 x 1
Inj. Cepraz 2 x 1 gr
Pamol tab 3 x 500 mg (KP)

Follow Up
Hari ke-1 (7 April 2017)

S: masih terasa nyeri di perut kanan bawah


O: TD : 120/70mmhg
Nadi : 88x/menit
Suhu : 36,8C
RR : 18
K/L : Anemis (-)/icterus (-)/cyanosis (-)/dispneu (-)
Thorax :
Jantung
S1 normal; S2 normal
Murmur (-), gallop (-)
Paru :
I: Simetris
P: Gerak dinding dada simetris, Stem fremitus dbn
P: S/S
S/S
S/S
A: wh -/-, rh -/-
Abdomen :

5
Terdapat benjolan di perut kana bawah, nyeri tekan (+)
BU (+)
Extrimitas :
Hangat +/+ Edema -/-
+/+ -/-
A: Diagnosis kerja :susp appendicitis akut
P: Planning Diagnosa:
Planning Terapi
infus RL 14 tpm
inj ranitidin 2 x 1
inj metoclopramide 3 x 1
inj metamizole 3x1
inj cefoperazone 2 x 1
inj metronidazole 3 x 500 mg
Rencanakan USG abdomen

Hari ke-2 (8 April 2017)


S: perut kana bawah masih terasa nyeri, tapi sudah berkurang
O: TD : 120/70 mmhg
Nadi : 90x/menit
Suhu : 36,7C
RR : 18
K/L : Anemis (-)/icterus (-)/cyanosis (-)/dispneu (-)
Thorax :
Jantung
S1 normal; S2 normal
Murmur (-), gallop (-)
Paru :
I: Simetris
P: Gerak dinding dada simetris, Stem fremitus dbn
P: S/S
S/S
S/S

6
A: wh -/-, rh +/+
Abdomen :
Terdapat benjolan di perut kana bawah, nyeri tekan (+)
BU (+)
Extrimitas :
Hangat +/+ Edema -/-
A: Diagnosis kerja : susp appendicitis akut
P: Planning Terapi
Terapi lanjut
USG abdomen hari senin

Hari ke-3 (9 April 2017)


S: nyeri perut kanan bawah sudah berkurang (+)
O: TD : 120/70 mmhg
Nadi : 93x/menit
Suhu : 36,8C
RR : 18
K/L : Anemis (-)/icterus (-)/cyanosis (-)/dispneu (-)
Thorax :
Jantung
S1 normal; S2 normal
Murmur (-), gallop (-)
Paru :
I: Simetris
P: Gerak dinding dada simetris, Stem fremitus dbn
P: S/S
S/S
S/S
A: wh -/-, rh -/-
Abdomen :
Terdapat benjolan di perut kana bawah, nyeri tekan (+)
BU (+)
Extrimitas :

7
Hangat +/+ Edema -/-
+/+ -/-
A: Diagnosis kerja : susp appendicitis akut
P: Planning Terapi
Terapi tetap
USG abdomen hari senin

Hari ke-4 (10April 2017)


S: nyeri di perut kanan bawah sudah berkurang
O: TD : 120/70 mmhg
Nadi : 88x/menit
Suhu : 36,5C
RR : 18
K/L : Anemis (-)/icterus (-)/cyanosis (-)/dispneu (-)
Thorax :
Jantung
S1 normal; S2 normal
Murmur (-), gallop (-)
Paru :
I: Simetris
P: Gerak dinding dada simetris, Stem fremitus dbn
P: S/S
S/S
S/S
A: wh -/-, rh -/-
Abdomen :
Terdapat benjolan di perut kana bawah, nyeri tekan (+)
BU (+)
Extrimitas :
Hangat +/+ Edema -/-
+/+ -/-
A: Diagnosis kerja : susp appendicitis akut

8
P: Planning Terapi
Terapi lanjut
USG hari ini , bila (+) appendicitis , rencanakan operasi

Hari ke-5 (11 April 2017)


S: nyeri perut kanan bawah sudah sangat berkurang

O: TD : 120/70 mmhg
Nadi : 92x/menit
Suhu : 36,6C
RR : 20
K/L : Anemis (-)/icterus (-)/cyanosis (-)/dispneu (-)
Thorax :
Jantung
S1 normal; S2 normal
Murmur (-), gallop (-)
Paru :
I: Simetris
P: Gerak dinding dada simetris, Stem fremitus dbn
P: S/S
S/S
S/S
A: wh -/-, rh -/-
Abdomen :
Terdapat benjolan di perut kana bawah, nyeri tekan (+)
BU (+)
Extrimitas :
Hangat +/+ Edema -/-
A: Diagnosis kerja : appendicitis dengan periapendiculer infiltrate/abses
P: Planning Terapi
Terapi lanjut
Rencana operasi hari ini

9
Hari ke-6 (12 April 2017)
S: masih terasa nyeri di bekas operasi
O: TD : 120/70 mmhg
Nadi : 94x/menit
Suhu : 37,8C
RR : 20
K/L : Anemis (-)/icterus (-)/cyanosis (-)/dispneu (-)
Thorax :
Jantung
S1 normal; S2 normal
Murmur (-), gallop (-)
Paru :
I: Simetris
P: Gerak dinding dada simetris, Stem fremitus dbn
P: S/S
S/S
S/S
A: wh -/-, rh -/-
Abdomen :
Terdapat luka operasi (+), perdarahan (-)
Extrimitas :
Hangat +/+ Edema -/-
A: Diagnosis kerja : Post op explorasi laparotomi periapendiculer abses
P: Planning Terapi
infus RL+ Hydromal 2 : 1 / 24 jam
inj cefoperazone 2 x 1
inj metronidazole 3 x 500 mg
inj paracetamol 3 x 500 mg
inj asam tranexamat 3 x 1
inj omeprazole2 x 1

10
Hari ke-7 (13 April 2017)
S: masih terasa nyeri di bekas operasi
O: TD : 120/80 mmhg
Nadi : 94x/menit
Suhu : 37C
RR : 20
K/L : Anemis (-)/icterus (-)/cyanosis (-)/dispneu (-)
Thorax :
Jantung
S1 normal; S2 normal
Murmur (-), gallop (-)
Paru :
I: Simetris
P: Gerak dinding dada simetris, Stem fremitus dbn
P: S/S
S/S
S/S
A: wh -/-, rh -/-
Abdomen :
Terdapat luka operasi (+), perdarahan (-)

Extrimitas :
Hangat +/+ Edema -/-
A: Diagnosis kerja : Post op explorasi laparotomi periapendiculer abses
P: Planning Terapi
Terapi lanjut

Hari ke-8 (14 April 2017)


S: nyeri di bekas operasi berkurang

O: TD : 120/80 mmhg
Nadi : 94x/menit
Suhu : 37C

11
RR : 20
K/L : Anemis (-)/icterus (-)/cyanosis (-)/dispneu (-)
Thorax :
Jantung
S1 normal; S2 normal
Murmur (-), gallop (-)
Paru :
I: Simetris
P: Gerak dinding dada simetris, Stem fremitus dbn
P: S/S
S/S
S/S
A: wh -/-, rh -/-
Abdomen :
Terdapat luka operasi (+), perdarahan (-)
Extrimitas :
Hangat +/+ Edema -/-
A: Diagnosis kerja : Post op explorasi laparotomi periapendiculer abses
P: Planning Terapi
Terapi lanjut

Hari ke-9 (15 April 2017)


S: nyeri di bekas operasi berkurang, tidak bisa kentut

O: TD : 120/80 mmhg
Nadi : 90x/menit
Suhu : 36,8C
RR : 20
K/L : Anemis (-)/icterus (-)/cyanosis (-)/dispneu (-)
Thorax :
Jantung
S1 normal; S2 normal
Murmur (-), gallop (-)

12
Paru :
I: Simetris
P: Gerak dinding dada simetris, Stem fremitus dbn
P: S/S
S/S
S/S
A: wh -/-, rh -/-
Abdomen :
Terdapat luka operasi (+), perdarahan (-), BU menurun
Extrimitas :
Hangat +/+ Edema -/-
A: Diagnosis kerja : Post op explorasi laparotomi periapendiculer abses
P: Planning Terapi
Terapi lanjut

Hari ke-10 (16 April 2017)


S: nyeri di bekas operasi berkurang, tidak bisa kentut
O: TD : 120/80 mmhg
Nadi : 90x/menit
Suhu : 36,8C
RR : 20
K/L : Anemis (-)/icterus (-)/cyanosis (-)/dispneu (-)
Thorax :
Jantung
S1 normal; S2 normal
Murmur (-), gallop (-)
Paru :
I: Simetris
P: Gerak dinding dada simetris, Stem fremitus dbn
P: S/S
S/S
S/S
A: wh -/-, rh -/-

13
Abdomen :
Terdapat luka operasi (+), perdarahan (-), BU menurun
Extrimitas :
Hangat +/+ Edema -/-
A: Diagnosis kerja : Post op explorasi laparotomi periapendiculer abses
P: Planning Terapi
Terapi lanjut

Hari ke-11 (17 April 2017)


S: nyeri di bekas operasi berkurang, sudah bisa kentut
O: TD : 120/80 mmhg
Nadi : 90x/menit
Suhu : 36,8C
RR : 20
K/L : Anemis (-)/icterus (-)/cyanosis (-)/dispneu (-)
Thorax :
Jantung
S1 normal; S2 normal
Murmur (-), gallop (-)
Paru :
I: Simetris
P: Gerak dinding dada simetris, Stem fremitus dbn
P: S/S
S/S
S/S
A: wh -/-, rh -/-
Abdomen :
Terdapat luka operasi (+), perdarahan (-), BU (+)
Extrimitas :
Hangat +/+ Edema -/-
A: Diagnosis kerja : Post op explorasi laparotomi periapendiculer abses
P: Planning Terapi
KRS

14
PO : cefixime 2 x 100 mg
Metronidazole 3 x 500 mg
Paracetamol 3 x 500 mg
Omeprazole 2 x 1
Daftar pustaka :

1. Doherty, Gerard M, Lawrence W. 2006. Current Surgical Diagnosis and Treatment, 12th
edition. Appendix. Chapter 28. California; McGraw Hill.
2. Douglas SS, David IS. 2004. Current Surgical Therapy, 8th edition. Acute Appendicitis.
Section 4, Chapter 53. Philadeplhia; Mosby.
3. Mansjoer A, dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2. Apendisitis. Hal 307-313.
Editor: Mansjoer A; Jakarta; Media Aesculapius.
4. Tjindarbumi, 1995. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Abdomen Akut. Hal 115-118. Editor:
Reksoprodjo, S; Jakarta; Binarupa Aksara.
5. Sjamsuhidajat R, Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi II. Jakarta: EGC. 2004
6. Appendisitis. Available from: http://www.emedicine.com/appendicitis.htm

1. Definisi appendicitis
2. Diagnosa appendicitis
3. Penatalaksanaan apendicitis

15
BAB I

PENDAHULUAN

Apendiks disebut juga umbai cacing. Organ yang tidak diketahui


fungsinya ini sering menimbulkan masalah kesehatan. Peradangan akut
apendiks memerlukan tindak bedah segera untuk mencegah komplikasi
yang umumnya berbahaya.

Apendiks Vermiformis merupakan derivat dan evolusi dari caecum. Pada bayi,
apendiks tampak sebagai divertikulum berbentuk seperti kerucut, terletak
pada ujung inferior dari caecum. Dengan tumbuh kembang bayi dan
perkembangan dari caecum maka apendiks terletak pada sisi kiri dan dorsal +
2,5 cm dari katub ileocaecal.

Insidensi apendisitis akut di negara maju lebih tinggi dari pada di negara
berkembang. Namun, dalam tiga-empat dasawarsa terakhir kejadiannya
menurun secara bermakna. Hal ini diduga disebabkan oleh meningkatnya
penggunaan makanan berserat dalam menu sehari-hari. Apendisitis dapat
ditemukan pada semua umur, hanya pada anak kurang dari satu tahun
jarang dilaporkan. Insidensi tertinggi pada kelompok umur 20-30 tahun,
seteah itu menurun. Insidensi pada laki-laki dan perempuan umumnya
sebanding, kecuali pada umur 20-30 tahun, insidensi lelaki lebih tinggi.

Perforasi apendiks akan mengakibatkan peritonitis purulenta yang


ditandai dengan demam tinggi, nyeri makin hebat yang meliputi seluruh
perut, dan perut menjadi tegang dan kembung. Appendikular abses
merupakan akibat lain dari perforasi. Teraba masa lunak di abdomen
kanan bawah. Seperti tersebut diatas karena perforasi terjadilah walling
off (pembentukan dinding) oleh omentum atau viscera lainnya, sehingga
terabalah massa (infiltrat) di regio abdomen kanan bawah tersebut. Masa
mula-mula bisa berupa plegmon, kemudian berkembang menjadi rongga
yang berisi pus.

16
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Apendiks disebut juga umbai cacing. Fungsi organ ini tidak diketahui namun
sering menimbulkan masalah kesehatan. Peradangan akut apendiks
memerlukan tindakan bedah segera untuk mencegah komplikasi yang
umumnya berbahaya.

2.2 Anatomi
Apendiks Vermiformis merupakan derivat dan evolusi dari caecum. Pada bayi,
apendiks tampak sebagai divertikulum berbentuk seperti kerucut, terletak pada
ujung inferior dari caecum. Dengan tumbuh kembang bayi dan perkembangan
dari caecum maka apendiks terletak pada sisi kiri dan dorsal + 2,5 cm dari katub
ileocaecal.

Dinding apendiks terdiri dari semua lapisan dinding usus, tiga taenia koli
membentuk lapisan luar dari lapisan muskulus longitudinal . Pertemuan ketiga
taenia koli merupakan letak basis apendiks dan merupakan petunjuk posisi
apendiks. Posisi basis apendiks dengan caecum adalah konstan, dimana sisi bebas
apendiks ditemukan pada berbagai variasi misalnya: pelvic, retrocaecal, retroileal.

Jaringan limfoid apendiks mulai tampak setelah usia 2 minggu setelah lahir.
Jumlah folikel limfoid akan meningkat secara bertahap hingga mencapai
puncaknya yaitu sekitar 200 folikel pada usia 12 20 tahun. Setelah umur 30
tahun folikel limfoid ini akan berkurang setengahnya dan kemudian akan
menghilang atau tinggal sisa-sisanya pada umur 60 tahun.

Apendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya kira-kira 10 cm


(beranjak 3-15 cm), dan diameter 0.7 cm. Di pangkal apendiks terdapat
valvula apendicularis (Gerlachi). Lumennya sempit di bagian proksimal dan
lebar di bagian distal. Namun demikian, pada bayi, apendiks berbentuk
kerucut, lebar pada pangkalnya dan menyempit kearah ujungnya. Keadaan
ini mungkin menjadi sebab rendahnya insiden appendisitis pada usia itu.
Pada 65% kasus, apendiks terletak intraperitoneal. Kedudukan itu

17
memungkinkan apendiks bergerak dan ruang geraknya bergantung pada
mesoapendiks penggantungnya.

Pada kasus selebihnya apendiks terletak retroperitoneal, yaitu di belakang


sekum, di belakang colon asendens atau di tepi lateral colon asendens. Gejala
klinik apendisitis ditentukan oleh letak apendiks.

Persarafan parasimpatis berasal dari cabang n.vagus yang mengikuti a.


Mesenterica superior dan a. Apendicularis, sedangkan persarafan simpatis
berasal dari n.toracalis X. Karena itu nyeri visceral pada apendistis bermula
disekitar umbilicus.

Perdarahan apendiks berasal dari a.apendicularis yang merupakan arteri


tanpa kolateral. Jika arteri ini tersumbat, misalnya trombosis pada infeksi,
apendiks akan mengalami ganggren.

2.3 Fisiologi
Apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml perhari. Lendir itu secara normal
dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir kedalam lumen.
Hambatan aliran di muara apendiks tampaknya berperan pada patogenensis
apendisitis.

Imunoglobulin sekretor yang dihasilkan oleh GALT (gut associated lymphoid


tissue) yang terdapat di sepanjang saluran cerna termasuk apendiks, ialah
IgA. Imunoglobulin itu sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi.

18
Namun demikian pengangkatan apendiks tidak mempengaruhi sistem imun
tubuh sebab jumlah jaringan limfe disini kecil sekali jika dibandingkan
dengan jumlah disaluran cerna dan seluruh tubuh.

2.4 Apendisitis Akut


A. Epidemiologi
Apendisitis akut atau radang apendiks akut merupakan kasus infeksi
intraabdominal yang sering dijumpai di negara-negara maju, sedangkan
pada negara berkembang jumlahnya lebih sedikit, namun dalam tiga
dasawarsa terakhir menurun secara bermakna. Kejadian ini diduga
disebabkan oleh menurunnya pengkonsumsian makanan berserat dalam
menu sehari-hari.

Insiden pada laki-laki dan perempuan umumnya sebanding, kecuali pada


usia 20-30 tahun, insiden pada laki-laki lebih tinggi. Apendisitis dapat
menyerang orang dalam berbagai umur, umumnya menyerang orang
dengan usia dibawah 40 tahun, khususnya antara 8 sampai 14 tahun, dan
sangat jarang terjadi pada usia dibawah 2 tahun.

B. Etiologi
Apendisitis akut merupakan infeksi bakteria. Apendisitis dapat terjadi
karena berbagai macam penyebab, antara lain obstruksi oleh fecalith,
tumor, atau bahkan oleh cacing (Oxyurus vermicularis), akan tetapi paling
sering disebabkan obstruksi oleh fecalith. Hasil observasi epidemiologi
juga menyebutkan bahwa obstruksi fecalith adalah penyebab terbesar.

Penelitian epidemiologi menunjukan peran kebiasaan makan makanan


rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendisitis.
Konstipasi akan menaikkan tekanan intrasekal. Yang berakibat timbulnya
sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya pertumbuhan kuman
flora kolon biasa. Hal ini akan mempermudah timbulnya apendisitis akut.

C. Patofisiologi
Kapasitas lumen apendiks normal sekitar 0,1 ml, tidak ada lumen yang
sebenarnya. Sekresi 0,5 cc distal dari penyumbatan akan meyebabkan

19
peningkatan tekanan sekitar 60 cm H2O. Distensi menyebabkan stimulasi
serabut syaraf visceral yang menyebabkan rasa kembung, nyeri difus pada
bagian tengah abdomen atau epigastrium bawah.

Distensi terus berlangsung karena sekresi mukosa yang terus-menerus dan


juga karena multiplikasi dari flora normal apendiks. Dengan meningkatnya
tekanan pada apendiks , tekanan vena juga meningkat, sehingga kapiler dan
venule menutup tapi aliran arteriole tetap mengalir sehingga terjadi kongesti
dan pelebaran vaskuler. Distensi ini biasanya menyebabkan reflex muntah,
nausea, dan nyeri visceral semakin bertambah.

Proses inflamasi terus berlanjut ke lapisan serosa dan ke peritoneum parietal,


yang mana menimbulkan nyeri yang khas, nyeri berpindah ke kuadran kanan.

Mukosa gastrointestinal termasuk apendiks sangat rentan terhadap gangguan


aliran darah. Karena kesatuan ini sudah terganggu sejak awal, maka bakteri
dengan mudah masuk ke lapisan yang lebih dalam. Timbulnya demam,
takikardi dan lekositosis karena absorbsi dari produk jaringan dan endotoksin.
Endotoksin juga merupakan stimulator makrofag untuk memproduksi sitokin
proinflamator (IL1, IL 6, TNF) yang kemudian merangsang sumsum tulang
dan hepatosit sehingga terjadi peningkatan lekosit dan CRP dalam darah .

Ketika distensi sudah mencapai tekanan arteriole , daerah yang mendapat


aliran darah sedikit, lebih dahulu terkena, yaitu terjadi infark pada daerah
antimesenterial.Jika distensi, invasi bakteri, gangguan aliran darah, dan proses
infark terus berlanjut, terjadilah perforasi. Biasanya perforasi terjadi pada
salah satu area infark pada daerah antimesenterial.

Sesuai dengan yang disebutkan diatas, maka pada fase awal apendisitis,
mukosa mengalami inflamasi terlebih dahulu. Kemudian inflamasi ini
akan meluas ke lapisan submukosa, termasuk juga lapisan muskularis dan
lapisan serosa pada waktu 24-48 jam pertama. Usaha pertahanan tubuh
adalah membatasi proses radang dengan menutup apendiks dengan
omentum, usus halus, atau adneksa sehingga terbentuk massa
periapendikular yang dikenal dengan istilah infiltrat apendisitis. Di
dalamnya dapat terjadi nekrosis jaringan berupa abses yang dapat

20
mengalami perforasi. Jika tidak terbentuk abses, apendisitis akan sembuh
dan masa apendikuler akan menjadi tenang untuk selanjunya akan
mengurai diri secara lambat.

Apendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna tetapi


akan terbentuk jaringan parut yang menyebabkan perlengketan dengan
jaringan sekitarnya. Perlengketan ini dapat menimbulkan keluhan
berulang di perut kanan bawah. Pada suatu ketika organ ini dapat
meradang akut lagi dan dinyatakan sebagai mengalami eksaserbasi akut.

D. Gambaran Klinis
Apendisitis akut sering tampil dengan gejala yang khas yang didasari oleh
radang mendadak umbai cacing yang memberikan tanda setempat,
disertai maupun tidak oleh rangsang peritoneum lokal. Gejala klasik
apendisitis merupakan nyeri visceral di daerah epigastium di sekitar
umbilikus. Keluhan ini sering disertai mual dan kadang ada muntah.
Umumnya nafsu makan menurun. Dalam beberapa jam nyeri akan
berpindah ke kanan bawah ke titik Mc.Burney, disini nyeri akan
dirasakan lebih tajam dan lebih jelas letaknya sehingga merupakan nyeri
somatik setempat. Kadang tidak ada nyeri epigastrium tetapi terdapat
konstipasi sehingga penderita merasa memerlukan pencahar. Tindakan
itu dianggap berbahaya karena bisa mempermudah terjadinya perforasi.
Bila terdapat perangsangan peritoneum biasanya pasien mengeluh sakit
perut bila berjalan atau batuk.

Bila apendiks terletak retrosekal di luar rongga perut, karena letaknya


terlindung sekum maka tanda nyeri perut kanan bawah tidak begitu jelas
dan tidak ada tanda rangsangan peritoneal. Rasa nyeri lebih ke arah perut
sisi kanan atau nyeri timbul saat berjalan, karena kontraksi otot polos
psoas mayor yang menegang dari dorsal.

Apendiks yang terletak di rongga pelvis, bila meradang, dapat


menimbulkan gejala dan tanda rangsangan sigmoid atau rectum hingga
peristaltik meningkat, pengosongan rectum akan menjadi lebih cepat dan
berulang-ulang. Jika apendiks tadi menempel ke kandung kemih, dapat

21
terjadi peningkatan frekuensi kencing, karena rangsangan dindingnya.
Pada beberapa keadaan, apendisitis agak sulit di diagnosis sehingga tidak
ditangani pada waktunya dan terjadi komplikasi.

E. Pemeriksaan
Demam biasanya ringan, dengan suhu sekitar 37,5-38,5 C. Bila suhu lebih
tinggi, mungkin sudah terjadi perforasi. Bisa terjadi perbedaan suhu
aksilar dan rectal sampai 1 C. Pada inspeksi abdomen tidak ditemukan
gambaran spesifik. Kembung sering terlihat pada penderita dengan
komplikasi perforasi. Penonjolan perut kanan bawah bisa dilihat pada
massa atau abses apendicular.

Pada palpasi didapatkan nyeri yang terbatas pada regio iliaka kanan, bisa
disertai nyeri lepas. Defans muskuler menunjukan adanya rangsangan
peritoneum parietal. Nyeri tekan perut kanan bawah ini merupakan kunci
diagnosis. Pada penekanan perut kiri bawah akan dirasakan nyeri di
perut kanan bawah yang disebut tanda Rovsing. Pada apendisitis
retrosekal atau retroileal diperlukan palpasi dalam untuk menentukan
adanya rasa nyeri. Peristaltik usus sering normal, peristaltik usus dapat

22
hilang karena ileus paralitik pada peritonitis generalisata akibat
apendisitis perforata. Pemeriksaan colok dubur menyebabkan nyeri bila
daerah infeksi bisa dicapai dengan jari telunjuk, misalnya pada apendisitis
pelvika.

Pada apendisitis pelvika tanda perut sering meragukan, maka kunci


diagnosis adalah nyeri terbatas sewaktu dilakukan colok dubur.
Pemeriksaan uji psoas dan uji obturator merupakan pemeriksaan yang
lebih ditujukan untuk mengetahui letak apendiks. Uji psoas dilakukan
dengan rangsangan psoas lewat hiperekstensi atau fleksi aktif. Bila
apendiks yang meradang menempel di m.psoas, tindakan tersebut akan
menimbulkan nyeri. Uji obturator digunakan untuk melihat apakah
apendiks yang meradang kontak dengan m.obturator internus yang
merupakan dinding panggul kecil. Dengan gerakan fleksi dan endorotasi
sendi panggul pada posisi terlentang, apendisitis pelvika akan
menimbulkan nyeri.

F. Diagnosis

Apendisitis akut dapat didiagnosis secara klinis dengan anamnesis dan


pemeriksaan fisik. Selayaknya diagnosis sesegera mungkin ditegakkan
dan appendix dapat segera diangkat bila ternyata terjadi appendisitis.

Diagnosis menjadi mudah untuk ditegakkan bila tampak tanda dan gejala
dari apendisitis klasik pada pasien, tanda dan gejala tersebut seperti :

a. Nyeri pada bagian abdominal kurang dari 72 jam;


b. Muntah 1-3 kali;
c. Facial flush;
d. Tenderness pada fossa iliaca kanan;
e. Demam dengan suhu antara 37,3-38,5 C;
f. Tidak ada bukti terjadi infeksi traktus urinarius pada pemeriksaan
urin dengan mikroskop.

Tanda inflamasi peritoneal bagian fossa iliaca kanan yang berupa rasa
nyeri, sering tidak tampak. Kita perlu untuk menyuruh pasien agar

23
batuk, bila terjadi inflamasi pada peritoneum parietal maka pasien akan
merasakan nyeri. Selain itu dapat dilakukan rebound tenderness untuk
membantu menegakkan diagnosis, yaitu dengan melakukan perkusi
pada fossa iliaca kanan, rasa nyeri akan dirasakan oleh pasien akibat
peritonitis.

SKOR ALVARADO

Manifestations Value

Symptoms Migration of pain 1

Anorexia 1

Nausea/vomiting 1

Signs Right Lower Quadrant 2


Tenderness

Rebound pain 1

Elevated temperature 1

Lab Values Leukocytosis 2

Left Shift 1

Total Points 10

Interpretasi : 5 6 : Possible

78 : Probable

9 10 : Very Probable

24
PEMERIKSAAN RADIOLOGIS

Jika gejala klinis dan nilai laboratorium sudah khas untuk apendisitis, maka
tidak diperlukan konfirmasi radiologis. Gambaran foto polos abdomen yang
paling sering ditemukan tapi bukan diagnostik untuk apendisitis yaitu
scoliosis dari vertebra, cekung (concave) ke kanan. Kadang dapat ditemukan
gambaran caecum yang dilatasi dengan air fluid level. Kalsifikasi fecolith
dapat ditemukan pada 10- 15 % kasus , tapi adanya gambaran fecolith tidak
patognomonis untuk apendisitis karena banyak apendiks normal yang telah
diangkat terdapat fecolith. Oleh karena itu foto polos abdomen tidak menolong
dalam menegakkan diagnosa apendisitis.

Ultrasonografi sudah luas digunakan dalam mengevaluasi penderita


kecurigaan apendisitis. Gambaran ultrasonografi pada apendisitis non
perforasi yaitu: diameter apendiks > 6 mm, dinding yang hipoechoic dengan
tebal > 2 mm, fecolith atau cairan yang terlokalisir. Gambaran pada apendisitis
perforasi yaitu target sign dan struktur tubular dengan adanya lapisan dinding
yang hilang (inhomogen), cairan bebas perivesical atau pericaecal .

G. Diagnosis Banding
Abses hepar
Nyeri dan teraba massa di kuadran kanan atas.

Penyakit Crohn
Pada onset aku terjadi nyeri pada abdomen kanan bawah, serangan
nyeri abdomen berulang dan diare yang episodik sehingga terjadi
penurunan berat badan. Disertai gejala ekstraabdomen, artriris,
uveitis, iritis.

Diverticulum Meckel
Penyakit ini merupakan kelainan yang memiliki gejala yang sangat
mirip dengan apendisitis akut, hanya letaknya yang lebih ke medial.

Karsinoma caecum

25
Teraba massa di sebalah kanan, namun pertumbuhan massa lambat
dan sering ditemukan pada orang di atas 40 tahun.

H. Penatalaksanaan Apendisitis
Bila kita mendapati pasien dengan nyeri pada fossa iliaca kanan, pasien
itu memiliki tanda dan gejala lain dari apendisitis dan kita dengan
yakin mendiagnosisnya sebagai apendisitis, maka segera
lakukan_appendictomy.Bila kita mendapati pasien dengan nyeri pada
fossa iliaca kanan, namun belum dapat dipastikan diagnosis dari
pasien tersebut apakah apendisitis atau penyakit lainnya, maka kita
harus mereview pasien tersebut secara periodik, bila perlu pasien kita
sarankan untuk rawat inap agar dapat dipantau perkembangannya
dengan baik, bila setelah dipantau masih menimbulkan keraguan maka
kita dapat melakukan pemeriksaan pemeriksaan yang dapat mendukung
diagnosis.

I. Komplikasi
Perforasi
Perforasi baik berupa perforasi bebas maupun perforasi pada apendiks
yang telah mengalami pendindingan sehingga berupa masa yang terdiri
dari kumpulan apendiks, sekum dan keluk usus. Perforasi disertai nyeri
abdomen yang hebat, dan demam yang lebih tinggi. Terjadi pada 20%
penderita terutama usia lanjut. Rasa nyeri bertambah dasyat dan mulai

26
dirasa menyebar, demam tinggi (rata-rata 38,3 der. C). Jumlah lekosit yang
meninggi > 18.000/mm3 merupakan tanda khas kemungkinan sudah terjadi
perforasi.

Peritonitis
Merupakan komplikasi paling sering (30-45% penderita). Peritonitis
lokal disebabkan karena mikroperforasi dari apendiks gangrenosa
dan diblokade oleh omentum. Bila perforasi berlanjut terjadilah
peritonitis generalisata. Bertambahnya rasa nyeri, defans musculer yang
meluas, distensi abdomen, bahkan ileus paralitik, merupakan gejala-gejala
peritonitis umum. Bila demam makin tinggi dan timbul gejala-gejala
sepsis, menunjukkan peritonitis yang makin berat.

Abses / infiltrat
a. Definisi
Merupakan akibat lain dari perforasi. Teraba masa lunak di abdomen
kanan bawah. Seperti tersebut diatas karena perforasi terjadilah
walling off (pembentukan dinding) oleh omentum atau viscera
lainnya, sehingga terabalah massa (infiltrat) di regio abdomen kanan
bawah tersebut. Masa mula-mula bisa berupa plegmon, kemudian
berkembang menjadi rongga yang berisi pus. Dengan USG bisa
dideteksi adanya bentukan abses ini. Untuk massa atau infiltrat ini,
beberapa ahli menganjurkan antibiotika dulu, setelah 6 minggu
kemudian dilakukan appendektomi. Hal ini untuk menghindari
penyebaran infeksi. Abses apendikular adalah komplikasi apendisitis
akut yang merupakan invasi usus besar oleh bakteri biasanya karena
obstruksi. Abses apendikular adalah kumpulan nanah akibat perforasi
atau pecahnya usus buntu akut meradang.Nanah tetap terlokalisasi
dekat dengan usus buntu, karena adhesi dinding dibentuk oleh struktur
perut sekitarnya. Ini mencegah kebocoran nanah dan infeksi menyebar
ke seluruh rongga peritoneal.Ketika usus buntu menjadi meradang
(usus buntu), komplikasi timbul jika infeksi ini tidak diobati
segera. Pada beberapa pasien, usus buntu dapat menyebabkan gangren
usus buntu. Dalam sebagian besar pasien kumparan usus dan omentum

27
dalam rongga perut cenderung menutupi usus buntu meradang
gangren. Ini membentuk suatu massa apendikular. Proses supuratif
terus dalam massa apendikular dapat menyebabkan pembentukan
abses. Pengembangan abses biasanya mengikuti pecahnya usus buntu
dalam massa apendikular. Abses tetap dibatasi oleh dinding rongga
yang dibentuk oleh gulungan meradang usus, usus buntu dan omentum
dan biasanya terbentuk di perut kanan bawah. Tempat lain dari abses
apendikular berada di panggul dan di belakang usus buntu.Beberapa
pasien dengan apendisitis akut yang secara medis dikelola dengan
antibiotik juga dapat kadang-kadang berkembang menjadi abses
apendikular.
b. Tanda dan Gejala
Pasien dengan abses apendikular biasanya memiliki riwayat nyeri kolik
hebat di perut kanan bawah (fossa iliaka kanan) dengan berawa lembut
pembengkakan pada perut kanan bawah. Baca lebih lanjut
tentang lokasi nyeri usus buntu . Sebuah demam tinggi dengan
menggigil dan kerasnya juga hadir.Gejala lain mungkin termasuk
muntah, sembelit atau kurang sering, diare. Pada pemeriksaan perut
mungkin kaku dan bengkak bisa dirasakan.Ada jenis lain dari abses di
perut yang dapat menimbulkan gejala yang sama di lokasi yang
diberikan.
c. Diagnosis
Diagnosis abses apendikular didasarkan pada gejala klinis, klinis dan
penyelidikan. Pemeriksaan darah lengkap menunjukkan peningkatan
jumlah sel darah putih. X-ray kadang-kadang dapat menunjukkan
adanya abses meskipun USG dan CT scan lebih umum digunakan
investigasi radiologi untuk mengkonfirmasi kehadiran abses dan untuk
menilai ukuran abses.
d. Pengobatan
Pasien dengan abses yang lebih besar dari 4 cm dan demam tinggi
biasanya diterapi dengan drainase abses. Drainase dapat dilakukan
melalui rektum (transrectal), melalui vagina (transvaginal) atau melalui
kulit (percutaneous) tergantung pada lokasi. Abses apendikular
panggul dikeringkan secara transrectal atau transvaginal. Beberapa

28
pasien mungkin memerlukan drainase bedah terbuka
(laparotomi). Drainase abses didukung dengan terapi antibiotik.
Pasien dengan abses kecil yang berada dalam kondisi baik dapat
dikelola awalnya dengan antibiotik saja. Pasien menunjukkan tidak ada
respon maka mungkin memerlukan drainase abses. Hal ini untuk
menghindari risiko komplikasi yang berhubungan dengan menjahit
dari sekum meradang. Manajemen yang buruk atau pecahnya abses
apendikular dapat menyebabkan lebih berbahaya infeksi peritoneal
umum (peritonitis).

Massa periapendikuler
Massa apendiks terjadi bila apendisitis gangrenosa atau
mikroperforasi ditutupi pendindingan oleh omentum dan atau kerluk
usus. Pada massa periapendikuler yang pendindinganya belum
sempurna, dapat terjadi penyebaran pus ke seluruh rongga
peritoneum jika perforasi diikuti peritonitis purulenta generalisata.
Pada massa periapendikuler yang terfiksir dan pendindingannya
sempurna, pada orang dewasa dirawat dahulu dan diberi antibiotik
sambil diawasi suhu tubuh, ukuran massa, serta luasnya peritonitis.
Bila sudah tidak ada demam, massa periapendikuler hilang dan
leukosit normal, penderita boleh pulang dan apendiktomi elektif
dapat dikerjakan 2-3 bulan kemudian agar perdarahan akibat
perlengketen dapat ditekan sekecil mungkin. Bila terjadi perforasi
akan terbentuk abses apendiks. Hal ini ditandai dengan kenaikan
suhu dan frekuensi nadi, bertambahnya nyeri,dan pembengkakan
masa serta leukositosis.Riwayat klasik apendisitis akut, diikuti
adanya massa di regio iliaka kanan yang nyeri disertai demam
mengarahkan diagnosis ke massa atau abses periapendikuler. Kadang
keadaan ini sulit dibedakan dari ca rektum,penyakit crohn dan
amuboma.

Pengelolaannya, apendiktomi di rencanakan pada infiltrat


periapendikuler tanpa pus yang telah ditenangkan. Sebelumnya
pasien diberi antibiotik kombinasi yang aktif terhadap kuman aerob

29
dan anaerob. Baru setalah keadaan tenang, yaitu sekitar 6-8 minggu,
kemudian dilakukan apendiktomi. Kalau sudah menjadi abses
dianjurkan drainase saja. Apendiktomi dikerjakan setelah 6-8 minggu
kemudian. Jika ternyata tidak ada keluhan atau gejala apapun dan
hasil pemeriksaan tidak menunjukkan tanda radang atau abses, dapat
dipertimbangkan membatalkan tindakan bedah.

Apendisitis perforata

Adanya fekalit di dalam lumen, umur (orang tua atau anak muda), dan
keterlambatan diagnosis merupakan faktor yang berperan dalam
terjadinya perforasi apendiks. Insiden perforasi 60% pada usia diatas
60 tahun. Faktor yang mempengaruhi tingginya insidens perforasi
pada orang tua adalah gejalanya yang samar, keterlambatan berobat,
adanya perubahan anatomi apendiks berupa penyampitan lumen dan
arteriosklerosis. Insidens tinggi pada anak disebabkan oleh dinding
apendiks yang masih tipis, dan kurang komunikatif sehingga
memperpanjang waktu diagnosis dan proses pendindingan kurang
sempurna, akibat perforasi berlangsung cepat dan omentum anak
belum berkembang.

Pada diagnosis, perforasi apendiks akan mengakibatkan peritonitis


purulenta yang ditandai dengan demam tinggi, nyeri makin hebat
serta meliputi seluruh perut dan perut menjadi tegang dan kembung.
Nyeri tekan dan defans muskuler di seluruh perut mungkin dengan
pungtum maksimum di regio iliaka kanan, peristaltik usus menurun
sampai menghilang karena ileus paralitik kecuali di regio iliaka
kanan, abses rongga peritoneum bisa terjadi bilamana pus yang
menyebar bisa dilokalisir di suatu tempat. Paling sering adalah abses
rongga pelvis dan subdiafragma.

Penanggulangannya adalah perbaikan keadaan umum dengan infus,


antibiotik untuk kuman gram negatif dan positif serta kuman anaerob
dan pipa nasogastrik perlu dilakukan pembedahan. Perlu dilakukan
laparotomi dengan incisi yang panjang, supaya dapat dilakukan

30
pencucian rongga peritoneum dari pus maupun pengeluaran fibrin
secara adekuat secara mudah dan pula dapat dilakukan pembersihan
kantong nanah secara baik. Karena ada kemungkinan terjadi infeksi
luka operasi, perlu dianjurkan pemasangan penyalir subfasia, kulit
dibiarkan terbuka untuk kemudian dijahit bila sudah dipastikan tidak
ada infeksi.

31
BAB III
PENUTUP

Apendikular abses merupakan akibat lain dari perforasi. Teraba masa lunak
di abdomen kanan bawah. Seperti tersebut diatas karena perforasi terjadilah
walling off (pembentukan dinding) oleh omentum atau viscera lainnya,
sehingga terabalah massa (infiltrat) di regio abdomen kanan bawah tersebut.
Masa mula-mula bisa berupa plegmon, kemudian berkembang menjadi rongga
yang berisi pus.Masa mula-mula bisa berupa plegmon, kemudian berkembang
menjadi rongga yang berisi pus. Dengan USG bisa dideteksi adanya bentukan
abses ini. Untuk massa atau infiltrat ini, beberapa ahli menganjurkan antibiotika
dulu, setelah 6 minggu kemudian dilakukan appendektomi.

Pasien dengan abses apendikular biasanya memiliki riwayat nyeri kolik


hebat di perut kanan bawah (fossa iliaka kanan) dengan berawa lembut
pembengkakan pada perut kanan bawah. Baca lebih lanjut tentang lokasi nyeri
usus buntu . Sebuah demam tinggi dengan menggigil dan kerasnya juga
hadir.Gejala lain mungkin termasuk muntah, sembelit atau kurang sering,
diare. Pada pemeriksaan perut mungkin kaku dan bengkak bisa dirasakan.Ada
jenis lain dari abses di perut yang dapat menimbulkan gejala yang sama di lokasi
yang diberikan.

Pasien dengan abses yang lebih besar dari 4 cm dan demam tinggi biasanya
diterapi dengan drainase abses. Pasien dengan abses kecil yang berada dalam kondisi
baik dapat dikelola awalnya dengan antibiotik saja. Pasien menunjukkan tidak ada
respon maka mungkin memerlukan drainase abses. Hal ini untuk menghindari risiko
komplikasi yang berhubungan dengan menjahit dari sekum meradang. Manajemen
yang buruk atau pecahnya abses apendikular dapat menyebabkan lebih berbahaya
infeksi peritoneal umum (peritonitis).

32
DAFTAR PUSTAKA

1. Doherty, Gerard M, Lawrence W. 2006. Current Surgical Diagnosis and


Treatment, 12th edition. Appendix. Chapter 28. California; McGraw Hill.
2. Douglas SS, David IS. 2004. Current Surgical Therapy, 8th edition. Acute
Appendicitis. Section 4, Chapter 53. Philadeplhia; Mosby.
3. Mansjoer A, dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2. Apendisitis. Hal
307-313. Editor: Mansjoer A; Jakarta; Media Aesculapius.
4. Tjindarbumi, 1995. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Abdomen Akut. Hal 115-
118. Editor: Reksoprodjo, S; Jakarta; Binarupa Aksara.
5. Sjamsuhidajat R, Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi II. Jakarta: EGC.
2004
6. Appendisitis. Available from: http://www.emedicine.com/appendicitis.htm

33

Anda mungkin juga menyukai