Anda di halaman 1dari 5

DISLEKSIA DAN BERBAGAI KESULITAN BELAJAR LAIN PADA ANAK

Dr.Kristiantini Dewi,Sp. A

Ketua Asosiasi Disleksia Indonesia

Istilah kesulitan belajar merupakan sesuatu yang sudah cukup sering kita dengarkan dalam praktek
sehari-hari. Istilah ini bisa jadi merepresentasikan kesulitan anak dalam segi akademis (semisal : sulit
membaca, menulis dan berhitung), ataupun kesulitan anak dalam sikap belajar seperti tidak fokus,
malas-malasan, mudah lupa atau hiperaktif di kelas. Kesulitan belajar menjadi suatu keluhan umum
manakala orang tua/guru mengidentifikasi adanya hambatan anak berproses saat belajar.

Sejatinya, kesulitan belajar ini harus diverifikasi oleh profesional terkait, apakah merupakan kesulitan
belajar yang disebabkan karena potensi kecerdasannya memang di bawah rata-rata, ataukah
kesulitan belajar yang terjadi pada individu anak dengan potensi kecerdasan normal. Kondisi dimana
kesulitan belajar terjadi pada individu dengan potensi kecerdasan normal inilah yang disebut sebagai
Kesulitan Belajar Spesifik(Specific Learning Difficulty). Kata-kata spesifik tersebut menunjukkan
bahwa sejatinya individu tersebut adalah individu normal namun mempunyai kesulitan yang
signifikan di area-area tertentu saja, bukan kesulitan pada seluruh aspek perkembangan. Kesulitan
utama yang dimaksud adalah kesulitan pada aspek berbahasa (termasuk baca, mengeja dan
menulis), berhitung, atensi, ketrampilan motorik, dan aspek sosial. Kesulitan Belajar Spesifik (KBS)
meliputi beberapa kondisi yakni : disleksia, disgrafia, diskalkulia, dispraksia dan ADHD, dimana
kondisi-kondisi tersebut di atas bisa overlap satu sama lain, atau merupakan komorbiditas satu
dengan yang lainnya. Misalnya : disleksia berkomorbid dengan dispraksia; ADHD berkomorbid
dengan disleksia, dsb.

Disleksia
Dys-lexia berasal dari bahasa Greek yang terdiri dari dys yang artinya salah atau menyimpang, dan
lexia yang artinya kata atau bahasa. Jadi, masalah inti pada penyandang disleksia adalah masalah
keberbahasaan, yang meliputi bahasa lisan, bahasa tulisan, maupun bahasa sosial (kemampuan
memahami body gesture, body posture, intonasi, pragmatik, dan sebagainya).

Disleksia merupakan terminologi yang menjelaskan kondisi seorang individu yang mengalami
kesulitan dalam membaca, menulis dan /atau mengeja, dimana kecerdasan individu tersebut
biasanya normal, bahkan tidak jarang juga adalah individu dengan potensi kecerdasan yang di atas
rata-rata. Sangat baik melihat disleksia sebagai suatu learning difference atau individu dengan cara
belajar yang berbeda, karena kenyataannya, banyak individu disleksia yang mampu menunjukkan
progres akademis secara sangat signifikan dan berprestasi cemerlang dalam karirnya jika diberikan
kesempatan untuk mengelola tugasnya dengan cara belajarnya yang unik. Kebanyakan penyandang
disleksia mempunyai preferensi untuk belajar secara visual dan eksperimental, dibandingkan dengan
belajar melalui proses membaca dan mendengar.

Penyandang disleksia juga menunjukkan kesulitan lain di luar area keberbahasaan yang disebutkan di
atas. Kesulitan ini meliputi kecepatan proses berpikir, masalah dalam short term memory dan
working memory, kesulitan dalam mengingat dan mengerjakan segala sesuatu yang menuntut
keberaturan dan sikuens yang tepat, termasuk kesulitan menuliskan informasi secara terstruktur dan
terorganisir dengan baik. Sehingga banyak kasus disleksia menunjukkan nilai tes yang buruk jika
dilakukan tertulis, namun jika diberikan kesempatan untuk tes lisan mampu menunjukkan nilai yang
sangat baik.

Sekalipun Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder V (DSM-V) membuat kriteria
diagnostik disleksia di usia 7 tahun, namun bukan berarti diagnosis disleksia baru bisa ditegakkan di
usia tersebut. Penelitian-penelitian melaporkan pentingnya dilakukan deteksi dini kelompok risiko
disleksia (mulai usia 3 tahun), sehingga intervensi dapat dilakukan sesegera mungkin dan dengan
demikian anak terhindar dari pengalaman gagal. Namun, skrining dan asesmen ini ini harus dilakukan
oleh profesional yang kompeten.

Berikut adalah hal-hal yang perlu diperhatikan dan menjadi faktor yang perlu diwaspadai sebagai
tanda kelompok risiko disleksia di usia pra-sekolah :

Mudah lupa

Gangguan berbahasa lisan : anak mampu memahami instruksi yang disampaikan kepadanya,
amun kemampuan verbalnya terbatas, bisa jadi karena kosa katanya terbatas, artikulasi yang
tidak tepat, pemahaman dan pemilihan isitilah yang tidak pas, serta kesulitan untuk
menyusun kata menjadi kalimat yang runtut susunannya.

Kesulitan mengidentifikasi huruf/angka

Terbalik mengidentifikasi huruf/angka yang mirip bentuknya

Bingung membedakan huruf-huruf yang bunyinya mirip

Riwayat disleksia dalam keluarga


Grasa grusu

Koordinasi motorik halus tidak terampil, misalnya tidak terampil mengancing baju, menutup
retsleting, menyimpulkan tali sepatu, dan sebagainya.

Tidak bersegera saat menerima input atau tugas, sehingga sering nampak seperti bengong

Sering kehilangan barang karena lupa meletakkannya di mana

Sedangkan yang nampak di usia sekolah, biasanya berhubungan dengan kegiatan akademis sehari-
hari, seperti :

Tidak antusias atau bahkan menolak bersekolah

Enggan bahkan menolak membaca dan menulis

Kesulitan mempelajari bunyi huruf, bentuk huruf, membaca kata, menulis dan memaknai
bacaan

Kesulitan mengenal lambang bilangan, nama bilangan, menghitung sederhana, memaknai


soal cerita matematika, memaknai berbagai lambang operasional matematika

Sulit mengingat instruksi yang panjang, dan mudah sekali lupa

Grasa grusu

Kesulitan mengorganisir tugas sekolah

Selain itu anak disleksia juga seringkali mengalami kesulitan dalam perkembangan sosial emosi,
karena biasanya anak kesulitan memahami tanda-tanda sosial dan bahasa tubuh dari lawan bicara
dan lingkungannya, sehingga kerap mereka nampak janggal dalam pergaulan. Sikapnya cenderung
seenaknya, atau seperti tidak tahu atuan, padahal sebenarnya hal tersebut disebabkan akrea
mereka tidak paham aturan sosial atau norma sosial yang berlaku di masyarakat. Gangguan sosial
emosi ini biasanya mulai menyolok di usia yang lebih besar, dimana anak sudah diharapkan mampu
bergaul dan diterima oleh lingkungan sosialnya. Hal ini dapat bertambah buruk jika anak mulai
menyadari kesulitan/ketidakmampuannya, sehingga dia merasa rendah diri dan meyakini bahwa
dirinya adalah orang yang bodoh.
Penatalaksanaan

Disleksia bukan suatu penyakit akut yang bisa disembuhkan. Disleksia sebagian besar adalah kondisi
yang diturunkan secara genetika. Intervensi yang dilakukan bukan menyembuhkan disleksia namun
mengoptimalisasi kekuatan yang dimilikinya sehingga individu tersebut mampu survive, bahkan
mampu berprestasi di mainstream. Intervensi yang dilakukan berupa remedial dan akomodasi.
Remedial berarti mengulang bagian/materi yang belum dipahami, dilakukan dengan pendekatan
yang multisensoris. Sedangkan yang dimaksud dengan akomodasi adalah penyesuaian cara belajar
baik dari penyesuaian waktu belajar, lay out lembar kerja, ukuran besarnya huruf, jenis huruf yang
digunakan,dan sebagainya.

Disleksia yang disertai komorbid, tentunya harus mendapatkan intervensi secara komprehensif,
termasuk terapi terhadap komorbidnya.

Referensi :

Habib M.The neurological basis of developmental dyslexia. An overiew and working


hypothesis. Brain (2000). 123. 2373-2399.
Grigorenko EL, Wood B, Meyer MS, Pauls DL. Chromosome 6p influences on dierent dyslexia-
related cognitive processes further information. Am. J. Hum. Genet. 66:715-23, 2000.
Meng H, Smith SD, Hager K, et al. DCDC2 is associated with reading disability and modulates
neuronal development in the brain. PNAS 2005;102:17053-8.
Schumacher J, Hoffmann P, Schmal C et al. Genetics of dyslexia: the evolving landscape. J
Med Genet 2007, 44:289-97.
Paracchini S, Steer CD, Buckingham L, Morris AP et al. Association of the KIAA0319 Dyslexia
susceptibility gene with reading skills in the general population. Am J Psychiatry 2008;
165:1576-84.
J.H. Menkes, H.B. Sarnat B.L. Maria (2005). Learning disabilities, dalam: JH. Menkes, HB.
Sarnat (penyunting). Child neurology, edisi ke-7. Lippincott Williams and Wilkins, Philadelphia
Sally, Shaywitz, Bennett (2006). Dyslexia, dalam: KF. Swaiman, S. Ashwal, DM. Ferreier
(penyunting). Pediatric neurology principles and practice, volume 1, edisi ke-4. Mosby,
Philadelphia
Greenbaum J, Markel G (2001). Helping adolescents with ADHD and learning disabilities.
Jossey-Bass, San Fransisco.
Shaywitz S (2005). Overcoming dyslexia. Vintae books. United States of America.
Henderson A (1989) Maths and dyslexics.St Davids College, Llandudno, Bangor.
Milne D (2005). Teaching the brain to read. Smart Kids Ltd, England.
Dehaene S. Brain changes induced by learning to read. Cognitive neuroimaging unit,
Neurospin center, Saclay, Paris
Reidd G (2009). The SAGE handbook of dyslexia.
Reidd G (2017). Dyslexia in the early years.

Anda mungkin juga menyukai