2) Nefrektomi
1. Definisi Nefrektomi
Suatu tindakan pembedahan untuk mengangkat bagian ginjal
dengan atau tanpa kelenjar getah bening regional (Bondan, Slide
Pembedahan Ginjal, 2014).
2. Jenis Nefrektomi
a. Total
b. Parsial (Bondan, Slide Pembedahan Ginjal, 2014).
3. Indikasi Nefrektomi
a. Disfungsi ginjal
b. Tumor ginjal stadium IIIA
c. Tumor ginjal sudah menginfiltrasi jaringan lain
d. Trauma ginjal berat
e. Ruptur ginjal dimana didapatkan fragmentasi ginjal atau ruptur
pedikel dengan hemodinamik yang tidak stabil (Bondan, Slide
Pembedahan Ginjal, 2014).
4. Komplikasi Nefrektomi
a. Infeksi luka operasi
b. Internal bleeding
c. Renal failure
d. Ekstravasasi urine (Bondan, Slide Pembedahan Ginjal, 2014).
3) Pielolitotomi
1. Definisi Pielolitotomi
Suatu tindakan pembedahan terbuka untuk mengeluarkan batu
ginjal yang terletak di pielum ginjal (Bondan, Slide Pembedahan
Ginjal, 2014).
2. Indikasi Pielolitotomi
Batu ginjal yang berada di pielum dengan batu sekunder yang
dapat diambil dari pielum (Bondan, Slide Pembedahan Ginjal, 2014).
3. Komplikasi Pielolitotomi
a. Internal bleeding
b. Infeksi pascabedah (Bondan, Slide Pembedahan Ginjal, 2014).
4) Bivalve Nefrolitotomi
1. Definisi Bivalve Nefrolitotomi
Suatu tindakan bedah untuk mengeluarkan batu baik dari pielum
dan kalik ginjal dengan membelah ginjal dengan menjadi 2 sisi
anterior dan posterior (Bondan, Slide Pembedahan Ginjal, 2014).
2. Indikasi Bivalve Nefrolitotomi
Batu ginjal yang bercabang dan memenuhi seluruh sistem
pelviokaliseal atau dengan batu sekunder yang banyak (Bondan,
Slide Pembedahan Ginjal, 2014).
9. Posisi Pasien
Sebelum dimulai tindakan PCNL dilakukan pemasangan kateter
ureter dalam posisi litotomi, kemudian posisi pasien dirubah menjadi
tengkurap. PCNL dikerjakan dalam posisi pasien tengkurap dengan sisi
ginjal yang akan dikerjakan diposisikan lebih tinggi 30 derajat. Posisi
tersebut menjamin ventilasi pasien tetap baik dan membuat kaliks
posterior berada pada posisi vertikal sehingga membantu pada saat
melakukan pungsi (Nugroho dkk, Percutaneous Nephrolithotomy as
Therapy for Kidney Stone, 2011).
10. Jenis Anastesi pada Percutaneous Nephrolithotomy (PCNL)
PCNL dapat dilakukan dalam anestesi lokal, regional maupun
umum. Penggunaan anestesi lokal dilaporkan oleh Trivedi et al. yang
menggunakan blok interpleura pada interkosta VIII dengan hasil yang
memuaskan terutama pada kasus-kasus risiko tinggi pembiusan, dan
waktu bius bebas nyeri rata-rata 10 jam dengan kontrol hemodinamik
yang stabil. Komplikasi yang dapat timbul dari tindakan ini antara lain
pneumotoraks, hematotoraks, empiema, toksisitas, sindrom Horner.
Anestesi regional dapat digunakan pada operasi PCNL namun terdapat
beberapa masalah dalam teknik ini yaitu: membutuhkan blok anestesi
letak tinggi, dan distensi renal pelvis saat PCNL dapat menyebabkan
refleks vasovagal yang sulit dicegah dengan anestesi regional. Teknik ini
dapat dipertimbangkan pada kasus batu ginjal dengan tindakan PCNL
tidak lebih dari 3 jam (Nugroho dkk, Percutaneous Nephrolithotomy as
Therapy for Kidney Stone, 2011).
Terdapat 2 teknik anestesi regional yang dapat digunakan yaitu
spinal dan epidural. Anestesi spinal memiliki keunggulan onset yang
cepat, pelaksanaannya mudah namun memiliki kerugian yaitu dapat
mengganggu hemodinamik intraoperatif. Anestesi epidural memiliki
kelebihan menjaga hemodinamik lebih stabil selama operasi, dan dosis
obat dapat diberikan ulang melalui kateter yang sekaligus dapat
digunakan sebagai tatalaksana nyeri pasca-operasi. Kerugiannya adalah
teknik yang lebih sulit serta waktu pemasangan dan onset lebih lama
dengan risiko blok parsial. Untuk mengurangi kerugian ini dapat dilakukan
kombinasi antara spinal dan epidural sehingga memiliki onset yang cepat
namun tetap menjaga hemodinamik stabil selama operasi. Komplikasi
dari tindakan anestesi regional antara lain infeksi (meningitis, abses
vertebrae), hematom spinal, bradikardia, hipotensi, intoksikasi, nyeri
pinggang, cedera medulla spinalis, post dura puncture headache
(Nugroho dkk, Percutaneous Nephrolithotomy as Therapy for Kidney
Stone, 2011).
Anestesi umum biasanya menjadi pilihan apabila terdapat
kontraindikasi anestesi regional, yaitu: pasien menolak anestesi regional,
peningkatan tekanan intrakranial, infeksi pada tempat jarum disuntikkan,
gangguan koagulasi, syok hipovolemik berat, dan kelainan katup jantung
berat. Adapun kontraindikasi relatif tindakan anestesi regional yaitu
pasien tidak kooperatif, sepsis, deformitas tulang belakang, pasca operasi
tulang belakang, dan defisit neurologis ekstremitas bawah. Bila operasi
berlangsung lama dan membutuhkan patensi jalan nafas yang terjamin
baik. maka kombinasi epidural dan anestesia umum dapat
dipertimbangkan. Pada kasus ketika puncture dilakukan pada pole atas
ginjal maka kombinasi dengan anestesi umum juga menjadi pilihan
mengingat anestesi umum dapat mengontrol penuh pernapasan yang
penting untuk meminimalisasi risiko komplikasi paru. Komplikasi dari
tindakan anestesi umum meliputi bradikardi, hipoksia, hiperkarbia,
hipotensi, henti jantung, mual muntah. Menurut penelitian yang dilakukan
Kuzgunbay et al. tidak ada perbedaan bermakna antara lama rawat PCNL
meng-gunakan anestesi regional dan umum, namun keamanan anestesi
epidural ebih tinggi dibandingkan anestesi umum dengan tingkat
efektivitas yang sama (Nugroho dkk, Percutaneous Nephrolithotomy as
Therapy for Kidney Stone, 2011).
11. Pungsi
Pungsi perkutan untuk mendapatkan akses ke ginjal dapat dilakukan
dengan bantuan kontrol ultrasonografi, fluoroskopi, atau CT-scan. Setelah
pasien diposisikan tengkurap, kontras dimasukkan melalui ureter kateter
sampai mengisi sistem pelviokalises. Fluoroskopi diposisikan dalam sudut
25-30o dari vertikal pada posisi aksial. Dilakukan insisi kecil pada tempat
pungsi. Pungsi dapat dilakukan melalui kaliks superior, media, maupun
inferior menggunakan jarum 18G yang diposisikan sehingga target
pungsi, ujung jarum dan pangkal jarum berada dalam posisi segaris.
Kedalaman pungsi dikontrol menggunakan fluoroskopi dalam posisi AP
(anteroposterior), ketika jarum mencapai kaliks target dan obturator
dilepas maka urin akan keluar dari jarum. Bila urin tidak keluar maka
dapat dimasukkan kontras untuk menilai posisi pungsi apakah tepat
masuk ke dalam sistem pelviokalises (Nugroho dkk, Percutaneous
Nephrolithotomy as Therapy for Kidney Stone, 2011).
Lokasi batu dan stone burden menjadi pertimbangan dalam
menentukan letak pungsi ginjal. Adapun beberapa pertimbangan
anatomis secara umum menjadi pedoman dalam melakukan pungsi ginjal,
yaitu: kaliks posterior lebih dipilih karena biasanya berada pada Brdels
line, pungsi harus searah dengan infundibulum untuk mencegah
perlukaan terhadap pembuluh darah serta memudahkan akses dan
maneuver nefroskop saat memecahkan batu. Pungsi sebaiknya dilakukan
dengan pendekatan di bawah iga 12 untuk mengurangi risiko komplikasi
terhadap pleura, bila pungsi supra kosta diperlukan maka hendaknya
dilakukan pungsi saat paru ekspirasi penuh. Tujuan dari keseluruhan
akses adalah dapat mengangkat batu terbesar dengan nefroskop yang
rigid. Untuk batu kaliks biasanya pungsi diarahkan langsung pada kaliks
yang bersangkutan kecuali pada anterior kaliks, mengingat sudut yang
tajam antara kaliks anterior terhadap pelvis sehingga batu kaliks anterior
biasanya diraih melalui kaliks posterior dengan fleksibel nefroskop
(Nugroho dkk, Percutaneous Nephrolithotomy as Therapy for Kidney
Stone, 2011).
Pungsi suprakostal biasanya diperlukan pada beberapa kasus
tertentu, seperti bila terdapat batu lebih banyak di kaliks superior, striktur
ureteropelvic junction yang membutuhkan endopielotomi, batu multipel di
kaliks dan infundibulum pole bawah/ureter, batu staghorn yang mayoritas
pada kutub pole atas, dan batu pada ginjal tapal kuda. Segura et al,
sedang melakukan PCNL yang dikerjakan lewat akses pole bawah
didapatkan hasil secara keseluruhan angka bebas batu mencapai 81%,
lama rawat 7-11 hari dengan angka tranfusi kurang dari 30%. Sedangkan
menurut Wong et al. penggunaan akses tunggal pole atas ginjal dengan
bantuan fleksibel nefroskop dan laser lithotripsi menghasilkan angka
bebas batu 95%, angka tranfusi 2,2%, dan lama rawat 1-10 hari (rata-rata
2 hari); namun didapatkan angka komplikasi hidrotoraks sebesar 5% yang
diatasi dengan thorakostomi (Nugroho dkk, Percutaneous
Nephrolithotomy as Therapy for Kidney Stone, 2011).
Sedangkan akses multipel dipertimbangkan pada kasus yang pada
tiap kaliks terdapat batu ukuran >2 cm yang tidak dapat dijangkau dengan
akses primer menggunakan nefroskop rigid, atau batu dengan ukuran <2
cm namun tidak dapat dijangkau dengan akses primer menggunakan
nefroskop fleksibel. Akses multipel memiliki potensi lebih besar terjadinya
perdarahan, nyeri pasca operasi, lama rawat, biaya dan morbiditas yang
lebih besar dibandingkan dengan akses tunggal. Pada penelitian yang
dilakukan Williams et al. didapatkan angka tranfusi pada akses multipel
mencapai 23% sedangkan pada akses tunggal hanya 14%. Didapatkan
pula perbedaan lama rawat yang signifikan yaitu 3,25 hari untuk akses
tunggal dan 4,25 hari untuk akses multipel (Nugroho dkk, Percutaneous
Nephrolithotomy as Therapy for Kidney Stone, 2011).
12. Dilatasi
Setelah jarum pungsi telah dipastikan berada di dalam dilator metal,
dilator fasial (Teflon), dilator malleable (Amplatz) atau dilator balon.
Dilatasi dilakukan dengan pergerakan berputar (twist) 80%, mendorong
20% sampai ukuran 30F, dan meninggalkan sheath 34F. Dilator metal
terbuat dari bahan stainless steel dan berbentuk seperti antena radio.
Dilator jenis rigid bagus digunakan untuk pasien-pasien dengan riwayat
operasi ginjal karena biasanya terdapat jaringan fibrotik perirenal.
Kerugiannya adalah sulit untuk mengontrol tekanan saat melakukan
dilatasi yang dapat menyebabkan perforasi renal pelvis renalis. Dilator
fasial terbuat dari bahan Teflon. Selain dapat digunakan pada jaringan
yang mengalami fibrosis, keuntungan dari dilator ini adalah lebih stabil
dan aman. Kerugian dari sistem ini adalah ketergantungan integritasnya
dengan guide wire dan ujung tip dilator, sehingga berisiko menyebabkan
perforasi pelvis renalis. Dilator malleable (Amplatz) ditemukan oleh Kurt
Amplatz pada tahun 1982. Dilator ini memperbaiki kelemahan dilator
fasial. Keuntungan dari dilator ini adalah tingkat stabilitas yang tinggi saat
melakukan dilatasi. Komplikasi yang dapat terjadi pada dilator malleable
antara lain perforasi sistem pelviokalises, perdarahan, ekstravasasi urin,
dan trauma kapsul renalis. Penggunaan dilator balon mengurangi risiko
komplikasi yang disebabkan oleh dilator-dilator lainnya. Dilatasi dengan
balon kateter dapat dicapai dengan satu langkah dilatasi tanpa
menimbulkan trauma yang bermakna sehingga mengurangi terjadinya
risiko perforasi pelvis renalis, ekstravasasi urin, dan perdarahan.
Kerugiannya adalah, dilatasi balon tidak dapat mendilatasi jaringan fibrotik
dan harganya yang mahal (Nugroho dkk, Percutaneous Nephrolithotomy
as Therapy for Kidney Stone, 2011).
13. Lithotripsi
Untuk batu ginjal yang berukuran kurang dari 1 cm dapat dikeluarkan
langsung dengan menggunakan forcep Randall melewati sheath 30F.
Untuk batu berukuran lebih dari 1 cm membutuhkan fragmentasi dengan
menggunakan litotriptor berupa laser, ultrasound, ballistic maupun EHL
(Electro Hydrolic Lithotripsy).
1. Ultrasound
Ultrasound adalah energi suara berfrekuensi tinggi 23 000-25
000Hz. Getaran dari probe yang berongga ditransmisikan ke batu
menghasilkan fragmentasi. Kekurangan dari ultrasound adalah
membutuhkan scope yang semirigid dan probe-nya berukuran cukup
besar. Litotriptor ultrasound memiliki angka keberhasilan fragmentasi
batu antara 69-100%.
2. Ballistic
Lithotriptor ballistic memiliki energi yang berasal dari pergerakan
metal proyektil. Energi tersebut diteruskan probe yang menempel
pada batu sehingga menimbulkan efek seperti martil. Alat ini memiliki
angka keberhasilan fragmentasi batu antara 73-100% dengan tingkat
keamanan yang lebih tinggi dibandingkan dengan EHL, di mana
insiden terjadinya perforasi mencapai 17,6% pada EHL dibandingkan
dengan ballistic yang hanya 2.6%.
3. Electrohydraulic lithotripsy (EHL)
EHL menggunakan tenaga listrik yang menyebabkan timbulnya
percikan api dan menyebabkan kavitasi gelembung udara yang
menghasilkan gelombang kejut sekunder atau mikrojet berkecepatan
tinggi sehingga dapat menfragmentasi batu. Keuntungan
penggunaan EHL antara lain biaya yang lebih murah dibandingkan
dengan laser. Probe EHL adalah komponen sekali pakai yang
bergantung pada kekerasan batu sehingga mungkin diperlukan lebih
dari satu probe untuk memecahkan batu. Probe EHL lebih fleksibel
daripada fiber laser. Kerugian dari penggunaan EHL antara lain
beberapa jenis batu sulit dipecahkan, tekanan tinggi dari ujung probe
dengan jarak yang cukup jauh membuat batas keamanan alat ini
sempit, dan dapat menyebabkan perforasi saluran kemih (17,6%).
Namun demikian angka keberhasilan fragmentasi batu EHL lebih
tinggi dibandingkan dengan ballistic lithotripsy yaitu mencapai 90%.
4. Laser
Holmium YAG Laser saat ini dijadikan baku emas pada lithotripsi
intrakorporeal. Medium aktif dari alat ini yaitu holmium dikombinasi
dengan Kristal YAG. Pertama kali digunakan di bidang urologi pada
tahun 1993 oleh Webb. Panjang gelombang 2100 nm ditransmisikan
lewat fiber silica yang fleksibel dan dapat digunakan pada endoskopi
rigid maupun fleksibel.6 Energi dari Holmium YAG laser
menghasilkan efek fotothermal yang kemudian menyebabkan
vaporisasi dari batu. Energi laser holmium YAG diabsorbsi kuat oleh
air dan jangkauannya tidak lebih dari 0,5-1 mm pada medium cair,
oleh karenanya alat ini memiliki batas keamanan yang cukup baik
dalam mencegah kerusakan saluran kemih dan memiliki angka bebas
batu yang cukup tinggi mencapai 90% (Nugroho dkk, Percutaneous
Nephrolithotomy as Therapy for Kidney Stone, 2011).
14. Nefrotomi
Setelah selesai dilakukan PCNL maka penggunaan drainase
nefrostomi biasanya dianjurkan. Pemasangan selang nefrostomi pasca
PCNL memiliki beberapa tujuan antara lain sebagai tamponade
perdarahan yang timbul dari jalur luka nefrostomi, memberikan
kesempatan bekas pungsi ginjal sembuh, drainase urin, serta
memberikan akses ke sistem pelviokalises bila dibutuhkan tindakan
lanjutan PCNL (Nugroho dkk, Percutaneous Nephrolithotomy as Therapy
for Kidney Stone, 2011).
Terdapat beberapa selang nefrostomi yang sering digunakan dan
dibagi dalam beberapa kategori antara lain tipe kateter karet, tipe pigtail,
tipe kateter balon, loop kateter, dan kombinasi nefrostomi-stent. Pemilihan
tergantung dari seberapa besar manipulasi batu selama PCNL, trauma
terhadap uretelial selama tindakan, banyaknya perdarahan selama dan
setelah tindakan, habitus pasien, dan preferensi dokter urologi (Nugroho
dkk, Percutaneous Nephrolithotomy as Therapy for Kidney Stone, 2011).
Sebelum tahun 1997 ketika Bellman melaporkan tubeless PCNL,
setelah tindakan PCNL rutin dilakukan pemasangan selang nefrostomi.
Konsep tubeless PCNL sendiri pertama kali diperkenalkan oleh Wickham
pada tahun 1984. Adapun tujuan dipasang selang nefrostomi pasca
tindakan PCNL antara lain mencegah ekstravasasi urin, mendapatkan
efek tamponade untuk hemostasis, dan sebagai akses terhadap batu sisa
(Nugroho dkk, Percutaneous Nephrolithotomy as Therapy for Kidney
Stone, 2011).
Ada 2 macam penggunaan selang nefrostomi yaitu penggunaan
selang nefrostomi ukuran besar 18-24 Fr dan penggunaan selang
nefrostomi ukuran kecil 8-10 Fr. Selang nefrostomi ukuran besar
diindikasikan pemasangannya pada pasien dengan batu besar kompleks
dengan kemungkinan masih terdapat batu sisa dan dibutuhkan akses
renal untuk tindakan PCNL berikutnya, waktu operasi yang lama, akses
multipel, perdarahan, perforasi atau infeksi saluran kemih pre operasi.
Sedangkan selang nefrostomi ukuran kecil diindikasikan pada pasien
dengan prosedur PCNL tanpa komplikasi dengan batu sisa yang
membutuh renal akses untuk tindakan selanjutnya, atau pada pasien
yang tidak nyaman dengan pemasangan DJ stent (Nugroho dkk,
Percutaneous Nephrolithotomy as Therapy for Kidney Stone, 2011).
Tubeless PCNL diindikasikan pada kasus dengan stone burden
rendah dan pada prosedur yang sederhana, cepat serta tanpa komplikasi.
Tindakan yang terakhir ini dapat dikombinasikan dengan penggunaan DJ
stent atau ureter kateter untuk membuat drainase urin adekuat dan
mempercepat penyembuhan perlukaan sistem pelviokalises. Pada
penelitian yang dilakukan oleh Desai et al. yang membandingkan antara
nefrostomi besar, kecil dan tubeless hasil nyeri pasca operasi yang
minimal pada kelompok tubeless dengan penggunaan analgetik pethidine
87,5 mg (tubeless), 140 mg (nefrostomi kecil), dan 217 mg (nefrostomi
besar). Didapatkan lama rawat yang lebih singkat pada kelompok
tubeless yaitu 3,4 hari dibandingkan kelompok nefrostomi kecil 4,3 hari
dan kelompok nefrostomi besar 4,4 hari. Menurut penelitian yang
dilakukan oleh Gupta et al, tubeless PCNL memiliki beberapa keunggulan
pada beberapa kasus yang terseleksi, antara lain nyeri pasca operasi
yang lebih rendah sehingga penggunaan analgetik lebih sedikit pada
kelompok tubeless (78,4mg pethidine vs 230,2 mg pethidine), lama rawat
yang lebih singkat (1,8 hari vs 2,9 hari). Penelitian ini didukung juga oleh
Woodside (1985) dan Salem (2006) dengan hasil yang sama dalam hal
nyeri pasca operasi yang minimal dan lama rawat yang lebih singkat pada
kelompok tubeless PCNL (Nugroho dkk, Percutaneous Nephrolithotomy
as Therapy for Kidney Stone, 2011).
A. Definisi
Urolitiasis mengacu pada adanya batu (kalkuli) ditraktus urinarius. Batu
terbentuk di dalam traktus ketika konsentrsi substansi tertentu seperti kalsium
oksalat, kalsium fospat, dan asam urat meningkat. Batu juga dapat terbentuk
ketika terdapat defisiensi substansi tertentu, seperti sitrat yang secara normal
mencegah kristalisasi dalam urine. Kondisi lain yang mempengaruhi laju
pembentukan batu mencakup pH urine dan status cairan klien (batu cenderung
terjadi pada klien dehidrasi) (Brunner & Suddarth 2002).
Urolitiasis adalah Batu ginjal (kalkulus) bentuk deposit mineral, paling
umum oksalat Ca2+ dan fosfat Ca2+, namun asam urat dan kristal lain juga
membentuk batu, meskipun kalkulus ginjal dapat terbentuk dimana saja dari
saluran perkemihan, batu ini paling sering ditemukan pada pelvis dan kalik
ginjal.(Marilynn E,Doenges 2002).
B. Penyebab
Batu ginjal kebanyakan tidak diketahui penyebabnya. Namun ada
beberapa macam penyakit yang dapat menyebabkan terjadinya batu ginjal,
antara lain : renal tubular acidosis dan medullary sponge kidney. Secara
epidemiologi terdapat dua factor yang mempermudah/ mempengaruhi terjadinya
batu pada saluran kemih pada seseorang. Faktor-faktor ini adalah faktor
intrinsik, yang merupakan keadaan yang berasal dari tubuh seseorang dan faktor
ekstrinsik, yaitu pengaruh yang berasal dan lingkungan disekitarnya.
1) Faktor intrinsik itu antara lain adalah :
a. Umur Penyakit batu saluran kemih paling sering didapatkan pada usia 30 - 50
tahun.
b. Hereditair (keturunan). Penyakit ini diduga diturunkan dari orang tuanya.
Dilaporkan bahwa pada orang yang secara genetika berbakat terkena penyakit
batu saluran kemih, konsumsi vitamin C yang mana dalam vitamin C tersebut
banyak mengandung kalsium oksalat yang tinggi akan memudahkan
terbentuknya batu saluran kemih, begitu pula dengan konsumsi vitamin D dosis
tinggi, karena vitamin D menyebabkan absorbs kalsium dalam usus meningkat.
c. Jenis kelamin Jumlah pasien laki-laki tiga kali lebih banyak disbanding dengan
pasien perempuan.
2) Faktor ekstrinsiknya antara lain adalah:
a. Asupan air Kurangnya asupan air dan tingginya kadar mineral kalsium pada air
yang dikonsumsi, dapat meningkatkan insiden batu saluran kemih.
b. Diet Obat sitostatik untuk penderita kanker juga memudahkan terbentuknya batu
saluran kemih, karena obat sitostatik bersifat meningkatkan asam urat dalam
tubuh. Diet banyak purin, oksalat, dan kalsium mempermudah terjadinya penyakit
batu saluran kemih.
c. Iklim dan temperatur Individu yang menetap di daerah beriklim panas dengan
paparan sinar ultraviolet tinggi akan cenderung mengalami dehidrasi serta
peningkatan produksi vitamin D3 (memicu peningkatan ekskresi kalsium dan
oksalat), sehingga insiden batu saluran kemih akan meningkat.
d. Pekerjaan Penyakit ini sering dijumpai pada orang yang pekerjaanya banyak
duduk atau kurang aktifitas ( sedentary life )
e. Istirahat ( bedrest ) yang terlalu lama, misalnya karena sakit juga dapat
menyebabkan terjadinya penyakit batu saluran kemih.
f. Geografi pada beberapa daerah menunjukkan angka kejadian batu saluran
kemih lebih tinggi daripada daerah lain sehingga dikenal sebagai daerah ston
belt (sabuk batu).
D. Patofisiologi
Uroliasis merupakan kristalisasi dari mineral dari matrik seputar, seperti:
pus, darah, jaringan yang tidak viral, tumor atau urat. Peningkatan konsentrasi di
larutan urine akibat intake cairan rendah dan juga peningkatan bahan-bahan
organik akibat ISK atau utine statis, mensajikan sarang untuk pembentukan batu.
1) Proses perjalanan panyakit:
Proses terbentuknya batu terdiri dari beberapa teori (Prof.dr.Arjatmo
Tjokronegoro, phd.dkk,1999) antara lain:
a. Teori Intimatriks
Terbentuknya Batu Saluran Kencing memerlukan adanya substansi organik
Sebagai inti. Substansi ini terdiri dari mukopolisakarida dan mukoprotein A yang
mempermudah kristalisasi dan agregasi substansi pembentukan batu.
b. Teori Supersaturasi
Terjadi kejenuhan substansi pembentuk batu dalam urine seperti sistin, santin,
asam urat, kalsium oksalat akan mempermudah terbentuknya batu.
c. Teori Presipitasi-Kristalisasi
Perubahan pH urine akan mempengaruhi solubilitas substansi dalam urine. Urine
yang bersifat asam akan mengendap sistin, santin dan garam urat, urine alkali
akan mengendap garam-garam fosfat.
d. Teori Berkurangnya Faktor Penghambat
Berkurangnya Faktor Penghambat seperti peptid fosfat, pirofosfat, polifosfat,
sitrat magnesium, asam mukopolisakarida akan mempermudah terbentuknya
Batu Saluran Kencing.
E. Manifestasi Klinis
Manifestai klinis adanya batu dalam traktus urinarius tergantung pada
adanya obstruksi, infeksi, dan edema. Ketika batu menghambat aliran urine,
terjadi obstruksi, menyebabkan peningkatan tekanan hidrostatik dan system piala
ginjal serta ureter proksimal. Infeksi (pielonefritis dan sistitis yang disertai
menggigil, demam, dan disuria) dapat terjadi dari iritasi batu yang terus menerus.
Beberapa batu, jika ada, menyebabkan sedikit gejala umum secara perlahan
merusak unit fungsional (nefron) ginjal: sedangkan yang lain menyebabkan nyeri
yang luar biasa dan ketidak nyamanan.
Batu di piala ginjal mungkin berkaitan dengan sakit yang dalam dan terus
menerus diarea kostovertebral. Hemeturia dan piuria dapat dijumpai. Nyeri yang
berasal dari area renal menyebar secara anterior dan pada wanita mendekati
kandung kemih sedangkan pada pria mendekati testis. Bila nyeri mendadak
menjadi akut, disertai nyeri tekan ke seluruh area kostovertebral, dan muncul
mual dan muntah, maka pasien mengalami episode kolik renal. Diare dan ketidak
nyamanan abdominal dapat terjadi. Gejala gastrointestinal ini akibat dari reflex
renointestinal dan proktimitas anatomik ginjal ke lambung, pankreas dan usus
besar.
Batu yang terjebak di ureter menyebabkan gelombang nyeri yang luar
biasa, akut, dan kolik yang menyebar ke paha dan genitalia. Pasien merasa ingin
berkemih, namun hanya sedikit urin yang keluar, dan biasanya mengandung
darah akibat aksi abrasif batu. Kolompok gejala ini disebut kolik ureteral.
Umumnya pasien akan mengeluarkan batu dengan diameter 0,5 sampai 1 cm
secara spontan. Batu dengan diameter lebih dari 1 cm biasanya harus diangkat
atau dihancurkan sehingga dapat diangkat atau dikeluarkan secara spontan.
Batu yang terjebak di kandung kemih biasanya menyebabkan gejala iritasi
dan berhubungan dengan infeksi traktus urinarius dan hematuria. Jika batu
menyebabkan obstruksi pada leher kandung kemih, akan terjadi retnsi urin.Jika
infeksi berhubungan dengan adanya batu, maka kondisi ini jauh lebih serius,
disertai sepsis yang mengancam kehidupan pasien ( Brunner&Suddarth 2005).
F. Komplikasi
Jika batu dibiarkan dapat menjadi sarang kuman yana dapat meimbulkan
infeksi saluran kemih, pylonetritis, yang akhirnya merusak ginjal, kemudian timbul
gagal ginjal dengan segala akibatnya yang jauh lebih parah.
G. Pencegahan
1) Minum banyak air putih sehingga produksi urin dapat menjadi 2-2,5 liter per hari
2) Diet rendah protein, nitrogen, dan garam
3) Hindari vitamin C berlebih, terutama yang berasal dari suplemen
4) Hindari mengonsumsi kalsium secara berlebihan
5) Konsumsi obat seperti thiazides, potasium sitrat, magnesium sitrat, dan
allopurinol tergantung dari jenis batunya.
H. Penatalaksanaan
Sekitar 90 % dari batu ginjal yang berukuran 4 mm dapat keluar dengan
sendirinya melalui urin. Namun, kebanyakan batu berukuran lebih dari 6 mm
memerlukan intervensi. Pada beberapa kasus, batu yang berukuran kecil yang
tidak menimbulkan gejala, dapat diobservasi selama 30 hari untuk melihat
apakah dapat keluar dengan sendirinya sebelum diputuskan untuk dilakukan
intervensi bedah. Tindakan bedah yang cepat, perlu dilakukan pada pasien yang
hanya mempunyai satu ginjal, nyeri yang sangat hebat, atau adanya ginjal yang
terinfeksi yang pada akhirnya dapat menyebabkan kematian.
Penghilang rasa sakit
Obat penghilang rasa sakit yang paling cocok untuk nyeri karena batu
ginjal adalah golongan narkotika seperti morfin, demerol, atau dilaudid. Namun
standar saat ini untuk menghilangkan nyeri akut karena batu ginjal adalah
penyuntikan ketorolak melalui pembuluh darah.
Intervensi bedah
a) Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy (ESWL), tehnik ini menggunakan getaran
gelombang untuk memecahkan batu dari luar sehingga batu menjadi serpihan
kecil yang pada akhirnya dapat keluar dengan sendirinya.
b) Percutaneus nephrolithotomy atau pembedahan terbuka dapat dilakukan pada
batu ginjal yang besar atau yang mengalami komplikasi atau untuk batu yang
tidak berhasil dikeluarkan dengan cara ESWL.
1. Pohon masalah
Faktor etiologi:
obstruksi Pembedahan
Defisit
Reflek pengetahuan
renointestinal
Resiko kurang
Nyeri akut
volume cairan
Pembatasan gerak
Hambatan
mobilitas fisik
B. Masalah Keperawatan dan data yang perlu dikaji
1) Pengkajian
Pengkajian keperawatan merupakan pengumpulan data yang berhubungan
dengan pasien secara sistematis pada pengkajian klien dengan tergantung pada
ukuran, lokasi, dan etiologi kalkulus (Doengus 2002), yaitu :
a. Akivitas/ istirahat
Gejala: Pekerjaan monoton, pekerjaan dimana klien terpajan pada lingkungan
bersuhu tinggi, keterbatasan aktivitas/ mobilisasi sehubungan dengan kondisi
sebelumnya (contoh penyakit tak sembuh, cedera medulla spinalis)
b. Sirkulasi
Tanda: peningkatan TD/ nadi (nyeri, ansietas, gagal ginjal), kulit hangat dan
kemerahan.
c. Eliminasi
Gejala: riwayat adanya/ ISK kronis: obstruksi sebelumnya (kalkulus), penurunaan haluan
urine, kandung kemih penuh, rasa terbakar, dorongan berkemih, diare.
Tanda: Oliguria, hemeturia, piuria, perubahan pola berkemih.
d. Makanan/ cairan
Gejala: Mual/ muntah, nyeri tekan abdomen, diet tinggi purine, kalsium oksalat, dan /
fosfat, ketidak cukupan pemasukan cairan: tidak minum air yang cukup.
Tanda: Diestensi abdominal: penurunan/ tak ada bising usus, muntah.
e. Nyeri/ kenyamanan
Gejala:
a) Episode akut nyeri berat, nyeri kolik. Lokasi tergantung pada lokasi batu, contoh
pada panggul di region sudut kostovetebrel: dapat menyebar kapanggul,
abdomen, dan turun ke lipatan paha/ genetalia.
b) Nyeri dangkal konstan menunjukan kalkulus ada dipelvis atau kalkulus ginjal.
c) Nyeri dapat digambarkan sebagai akut, hebat dengan posisi atau tindakan lain.
Tanda: Melindungi: perilaku distraksi, nyeri tekan pada daerah ginjal pada
palpasi.
f. Keamanan
Gejala: Penggunaan alkohol: demam menggigil.
g. Penyuluhan/ pembelajaran
Gejala: Riwayat kalkulus dalam keluarga, penyakit ginjal, hipertensi, gout, ISK
kronis. Riwayat penyakit usus halus, bedah abdomen sebelumnya,
hiperparatiroidisme. Penggunaan antibiotik anti hipertensi, natrium bikarbonat
aluporinol, fosfat, tiazid, pemasukan berlebihan kalsium/ vitamin.
h. Pemeriksaan Penunjang
a) Urinalisa: warna mungkin kuning, coklat gelap, berdarah; secara umum
menunjukkan SDM, SDP, Kristal (sistin, asam urat, kalsium oksalat), serpihan,
mineral, bakteri, pus; pH mungkin asam (meningkatkan sistin dan batu asam
urat) atau alkalin (meningkatkan magnesium, fosfat ammonium, atau batu kalium
fosfat).
b) Urine (24 jam): kreatinin, asa urat, kalsium, fosfat, oksalat, atau sistin mungkin
meningkat.
c) Kultutur urine; mungkin menunjukkan ISK (stapilococus aureus, proteus,
klebsiela, pseudomonas)
d) Survei biokimia: Peningkatan kadar magnesium, kalsium, asam urat, fosfat,
protein, elektrolik.
e) BUN/kreatinin serum dan urine: Abnormal (tinggi pada serum/ rendah pada urine)
sekunder terhadap tingginya batu obstruktif pada ginjal menyebabkan
iskemia/nekrosis.
f) Kadar klorida dan biokarbonat serum: Peningkatan kadar klorida dan penurunan
bikarbonat menunjukkan terjadinya asidosis tubulus ginjal.
g) Hitung darah lengkap: SDP meningkat menunjukkan infeksi/septicemia.
h) SDM: Biasanya normal.
i) Hb/Ht: Abnormal bila pasien dehidrasi nerat atau polisitemia terjadi (mendorong
presitipasi pemadatan atau anemia, perdarahan disfungsi/gagal ginjal).
j) Hormon paratiroid: Mungkin meningkat bila ada gagal ginjal. (PTH merangsang
reabsorpi kalsium dari tulang meningkatkan sirkulasi serum dan kalsium urine)
k) Foto ronsen KUB: Menunjukkan adanya kalkuli dan/atau perubahan anatomik
pada area ginjal dan sepanjang ureter.
l) IVP: Memberikan konfirmasi cepat urolitiasis seperti penyebab nyeri abdominal
atau panggul. Menunjukkan abnormalitas pada struktur anatomik (distensi ureter)
dan garis bentuk kalkuli.
m) Sistoureterokopi: Visualisasi langsung kandung kemih dan ureter dapat
menunjukkan batu dan/atau afek obstruksi.
n) Scan CT: Mengidentifikasi/menggambarkan kalkuli dan massa lain; ginjal, ureter,
dan distensi kandung kemih.
o) Ultrasound ginjal: Untuk menentukan perubahan obstruksi, lokasi batu.
2) Masalah keperawatan
a) Perubahan eliminasi urine
b) Resiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan
c) Resiko tinggi terhadap infeksi
d) Gangguan rasa nyaman, nyeri
e) Kurang pengetahuan tentang kondisi , prognosis dan kebutuhan pengobatan
3. Diagnosis keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah data data yang didapatkan pada pengkajian
keperawatan kemudian disusunlah diagnosa yang umum timbul pada batu
saluran kemihMenurut Marliynn E, Doengoes diagnose keperawatan pada klien
dengan Post Operasi Ureter Resection Sitoscopy adalah:
a) Perubahan eliminasi urine berhubungan dengan obstruksi bedah, tekanan dan
mitasi kateter/ badan
b) Resiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan berhubungan dengan kesulitan
mengontrol perdarahan, pembatasan pra- operasi
c) Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan trauma jaringan sekunder
terhadap: presedur bedah, presedur alat invasive, alat selama pembedahan
kateter, irigasi kandung kemih.
d) Nyeri berhubungan dengan iritasi mukosa kandung kemih, reflek spasme otot:
presedur bedah atau tekanan dari balon kandung kemih.
e) Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan
f) Defisiensi pengetahuan berhubungan dengan kurangnya pajanan pengetahuan
atau informasi.
4. Rencana tindakan keperawatan
No. Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi dan Rasional
keperawatan
1. Perubahan eliminasi NOC : urinary elimination NIC : urinary retention care
urine berhubungan Urinary continence 1. monitor intake dan output
Rasional: mengetahui keseimbangan cairan
dengan obstruksi Setelah dilakukan asuhan keperawatan
2. instruksikan pada keluarga pasien untuk memonitor
bedah, tekanan dan selama 3X24 jam perubahan eliminasi
output urin
mitasi kateter/ badan urin dapat teratasi Rasional : sebagai acuan pemberian terapi cairan
Kriteria Hasil : selanjutnya
- kandung kemih kosong secara penuh 3. sediakan privacy untuk elimasi
- tidak ada residu urin > 100-200cc Rasional : memberikan privasi pada pasien
- bebas dari ISK
4. kateterisasi jika perlu
- tidak ada spasme bladder
Rasional : memudahkan pasien untuk eliminasi
- balance cairan seimbang
5. stimulasi refleks bladder dengan kompres dingin pada
abdomen
Rasional : merangsang pasien untuk berkemih
2. Resiko tinggi NOC : Fluid balance NIC : Fluid management
terhadap 1. Monitor tanda-tanda vital klien
Rasional: TTV untuk mengetahui adanya
kekurangan volume Setelah dilakukan asuhan keperawatan
keabnormalitasan pada tubuh klien
cairan berhubungan selama 3x24 jam volume cairan klien
2. Pasang kateter urin sesuai indikasi
dengan kesulitan akan seimbang dengan kebutuhan cairan
Rasional: Kateter urin untuk menghitung haluaran
mengontrol klien
perdarahan, cairan dan melakukan analisa urin
pembatasan pra- Kriteria Hasil : 3. Monitor status hidrasi klien
Rasional: Status hidrasi yang buruk mengindikasikan
operasi - Tekanan darah dalam rentang normal
- Integritas kulit baik adanya kekurangan tubuh yang bermakna dan dapat
- Membran mukosa lembab
membahayakan klien
4. Beri terapi cairan sesuai indikasi
Rasional: Terapi cairan yang sesuai akan membantu
mengurangi keparahan dari kondisi klien
5. Monitor respon hemodinamik
Rasional: Menganalisis status hemodinamik untuk
mendeteksi secara dini adanya kelainan pada tubuh
klien
6. Kolaborasi pemberian terapi farmakologis untuk
menjaga keseimbangan cairan tubuh klien
Rasional: Pemberian obat untuk menjaga agar
kelebihan haluaran cairan dapat diminimalkan.
3. Nyeri berhubungan NOC: pain level dan pain control NIC:Pain Managament
dengan iritasi Setelah dilakukan asuhan keperawatan 1. lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif
(P=penyebab, Q=kualitas dan kuantitas, R=daerah dan
mukosa kandung selama 3X24 jam nyeri berkurang
penyebarannya, S=seberapa kuat nyeri yang
kemih, reflek dirasakan, T=waktu terjadinya nyeri)
Rasional : mengetahui skala nyeri yang dirasakan
spasme otot: Kriteria Hasil:
pasien
presedur bedah atau - Pasien mampu mengontrol nyeri (tahu
penyebab nyeri dan mampu 2. kontrol lingkungan pasien yang dapat mempengaruhi
tekanan dari balon
menggunakan teknik nonfarmakologi nyeri seperti suhu ruangan, pencahayaan, dan
kandung kemih. untuk mengurangi nyeri) kebisingan
- Mampu mengenali nyeri (skala, Rasional : memberikan kenyamanan bagi pasien
intensitas, frekuensi)
3. ajarkan tentang teknik non farmakologi seperti teknik
- Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri
relaksasi nafas dalam
berkurang
Rasional : mengalihkan rasa nyeri yang dirasakan
pasien
4. tingkatkan istirahat
Rasional : manajemen energi pasien
5. evaluasi keefektifan control nyeri
Rasional : mengevaluasi hasil tindakan dan
menentukan intervensi lanjutan
6. Pertahankan patensi kateter dan sistem drainase.
Pertahankan selang bebas dari lekukan dan bekuan.
Rasional : Mempertahankan fungsi kateter dan
drainase sistem, menurunkan resiko distensi / spasme
buli-buli
7. Kolaborasi dalam pemberian antispasmodic
Rasional : Menghilangkan spasme
Djoerban. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Ed.IV jilid II. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
Gale, Daniele. 1996. Rencana Asuhan Keperawatan Onkologi, Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran. EGC.
Price & Wilson. 2005. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta:
EGC.
Sjamsuhidajat R, Jong W. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta: EGC.
Smeltzer, Suzanne C. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah dari Brunner &
Suddarth. Edisi 8. Jakarta: EGC.
Wilkinson, Judith M. 2006. Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Edisi 7. Jakarta: EGC.