net
2007 vol. 1 no. 2
Arsitektur memiliki kaitan yang erat dengan tradisi masyarakat. Tetapi dalam era
modern dan globalisasi, arsitektur telah mengalami perubahan dan menemukan
gaya barunya akibat adanya teknologi, birokrasi, kekuatan ekonomi dan politik.
Arsitektur modern kemudian identik dengan pengembang, bisnis, monopoli, dan
politisi. Pertanyaan yang kerap kali muncul saat ini adalah apakah keseharian
kita yang yang timbul akibat modernitas sekarang merupakan jenis kehidupan
yang memang kita butuhkan, atau kah modernitas tersebut justru benar-benar
merupakan oposisi dari keseharian kita yang telah lama terkukung oleh tradisi?
Dan kemudian apakah tradisi tersebut memang harus terus kita pertahankan?
Akan tetapi di lain pihak, arsitektur modern tidak mampu mengangkat kebutuhan
manusia sebagai penggunanya, serta nilai-nilai lokal atau tradisi yang ada pada
masyarakat karena menurut Stern (2003), arsitektur modern lebih mementingkan
form atau bentuk serta nilai-nilai global. Dalam hal ini, subjektivitas dalam
arsitektur sangatlah kurang, akibat adanya rasionalisasi. Seharusnya arsitektur
lebih mementingkan bagaimana tubuh akan bereaksi, bagaimana arsitektur
dapat memberikan kenyamanan dan kepuasan bagi tubuh penggunanya, dimana
penglihatan, sentuhan, pendengaran, dan aroma menjadi faktor-faktor yang
sangat penting, dan bagaimana arsitektur dapat menjadi tempat yang dapat
mengakomodir kebutuhan-kebutuhan dasar penggunanya.
sulit untuk diwujudkan karena sifat modernitas dan tradisi saling bertentangan
satu sama lain.
Menurut Le Corbusier (dalam Darling, 2000), era modern atau era abad ke-20
merupakan era mesin atau machine age dimana teknologi, industri, dan produksi
massal sangat mendominasi. Era ini merupakan era internasionalisme, komunikasi
massa, demokrasi massa, dan sains.
5
arsitektur.net
2007 vol. 1 no. 2
Pola hidup atau tradisi masyarakat modern terkekang oleh tuntutan ekonomi.
Hal tersebut dapat dilihat dari rutinitas sehari-hari yang sangat repetitif, dimana
mereka harus bekerja setiap hari dan selalu menyibukkan diri. Dengan pola hidup
yang demikian akan tercipta masyarakat yang individualis. Dari sifat individualistis
tersebut maka kegiatan masyarakat akan terpisah-pisah dan selalu terasing
dengan adanya tembok atau dinding bangunan sebagai pembatas mereka,
sehingga semua kegiatan cenderung bersifat indoor. Seperti yang dinyatakan
oleh Lefebvre (dalam McLeod, 1997: 21): He believed that revolutionary change
was a slower and more comprehensive process, less theatrical and individualistic,
necessiting a more historically grounded engagement with everyday life. Dan
While retail buying and selling
remains very much a public activity, it has largely been moved indoors, off the
streets and walk ways. Certainly much if this movement is due to technological
innovations, economic pressures, and general realization of business, .
Arsitektur modern merupakan hasil dari pemikiran modern atau yang disebut
dengan modernism. Penjelasan yang ada tidak terpaku pada langgam atau gaya
dari arsitektur modern. Yang lebih ditekankan di sini adalah pola pikir modernisme
yang mempengaruhi lahirnya dan berkembangnya arsitektur modern.
Pada masa abad ke-20, segala aspek dalam kehidupan sedang berubah dan
berkembang. Akan tetapi, arsitektur malah mengalami masa stagnan dan
terpaku pada arsitektur abad ke-19 dan yang terjadi hanyalah perdebatan akan
arsitektur historis mana yang akan dipertahankan. Seperti yang dinyatakan oleh
Le Corbusier, in an unhappy state of retrogression (dalam Darling, 2000).
Sejak saat itu Le Corbusier memiliki misi untuk membuat suatu bentuk yang
modern dan revolusioner di abad ke-20. Modernisme pada arsitektur atau yang
dapat disebut dengan New Architecture menurut Le Corbusier, merupakan suatu
6
arsitektur.net
2007 vol. 1 no. 2
produk dan metode teknik perekayasaan (engineering) sebagai inspirasi dari
bentuk arsitektur modern. Itulah yang ia sebut sebagai Engineers Aesthetic
dimana terdapat simplisitas dan standarisasi bentuk. Demikian juga dengan
metode logis pada desain yang lebih mementingkan fungsi, bukan hanya sekedar
gaya atau style. Akan tetapi, arsitektur modern juga tetap memperhatikan nilai-
nilai esensial dari arsitektur, yaitu faktor-faktor yang menjadi indikator arsitektur
yang baik, yaitu volume, surface, and plan.
Berbeda dengan kondisi pada jaman sebelum era modernisme dimana pola
hidup masyarakatnya sangat beragam, mulai dari perumahan, cara berpakaian,
cara makan dan minum, serta cara hidupnya. Keragaman tersebut terjadi akibat
pola hidup yang tidak berada di bawah suatu sistem atau birokrasi seperti
yang terjadi pada era modernisme sekarang ini. Kapitalisme dan birokrasi itu
pula yang membuat pemerintah menyeragamkan pola kota, atau dalam lingkup
yang lebih sempit lagi yaitu pada pola perumahan atau bahkan konstruksi
pembangunannya. Dengan demikian arsitektur pada era modern dapat terlihat
seperti produksi massal atau mass marketed product.
Akan tetapi dalam era modern seperti sekarang ini ternyata timbul kontradiksi
antara tradisi dan modernitas. Dalam proses transmisi tradisi dari generasi ke
generasi selalu terjadi perubahan-perubahan, sehingga tradisi tidak mungkin
dapat dilestarikan sepenuhnya. Proses transmisi tersebut menyebabkan
adanya perubahan interpretasi dari masyarakat terhadap tradisi yang akhirnya
hubungan yang dihasilkan dari suatu rantai generasi, sehingga kualitasnya akan
tetap sama.
Namun jika dilihat dari kekontrasan yang radikal antara tradisi dan modernitas,
maka modernitas yang tercipta tersebut merupakan sebuah tradisi baru. Dapat
dengan konsep transmisi sebuah tradisi seperti yang dikemukakan oleh Shils
7
arsitektur.net
2007 vol. 1 no. 2
Selain itu, modernitas juga bisa terjadi akibat terlalu banyaknya pengaruh dari
tradisi global yang masuk melalui teknologi informasi yang berlebihan, sehingga
kebudayaan masyarakat bukan merupakan kebudayaan lokal melainkan sudah
menjadi sebuah kebudayaan global.
elemen kota yang dihubungkan oleh superhighways dan desain yang bersifat
Dengan kondisi kota global sebagai kota post-modern, kekuatan pada masyarakat
modern hanya terlihat pada kota sentral saja, sedangkan kekuatannya kurang
terlihat pada aspek marginal seperti aspek domestik. Jadi, pembangunan pada
kota sentral lebih bersifat perkembangan bisnis atau entrepreneurial development.
Dengan demikian, kota sentral menjadi zona positif dan kota-kota marginal
menjadi zona negatif. Sebaliknya, jika dilihat dari sudut pandang penghuni atau
dwellers, rumah mereka (zona domestik) merupakan zona positif dan area di luar
jendela rumah mereka merupakan zona negatif (Miles, 2000). Contohnya adalah
para penghuni perumahan yang lebih memilih untuk tinggal di daerah sub-urban
dimana mereka dapat merasa lebih nyaman karena melihat kondisi kota besar
yang selalu padat dan menjadi pusat segala kegiatan perekonomian.
Masalahnya ternyata lebih kompleks dari sekedar oposisi antara sebuah kota
yang terbantuk dari perencanaan top-down dengan kehidupan yang lebih mikro,
seperti pada street-life. Pertama, arsitektur kehidupan sehari-hari merupakan
okupansi ruang, merupakan bagian dari kota dominan, menara-menara
perkantoran, yang mengganggu dan menganeka ragamkan pengalaman kota
dominan tersebut. Pada kota global, grand architecture dapat menjadi lebih
humble atau ramah dengan adanya penggunaan bangunan yang tidak dapat
diprediksi atau fungsi bangunan dirasakan secara simultan dan dengan cara yang
berlawanan oleh publik yang berbeda-beda. Sama halnya dengan kehidupan
Referensi
Deamer, P. (1997). The Everyday and the Utopian. Dalam Harris, S. dan Berke, D.
Press.
Halley, P. (1997). The Everyday Today: Experience and Ideology. Dalam Harris,
Steven dan Berke, Deborah (Ed.), Architecture of the Everyday. New York:
Princeton Architectural Press.