Anda di halaman 1dari 40

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Kondisi geologi dari suatu daerah dapat diketahui dari kegiatan pemeetaan
geologi daerah tersebut. Salah satu metode dalam mengkaji kondisi geologi suatu
daerah dilakukan dengan cara pemetaan geologi meliputi aspek geomorfologi dan
bentang alam yang terlihat di lapangan, sedimentologi dan stratigrafi yang didasarkan
atas variasi litologi yang dijumpai pada lokasi pengamatan, struktur geologi yang
terbentuk karena adanya gaya yang bekerja pada daerah pemetaan, kemudian dari
pengamatan di lapangan dapat mengungkapkan sejarah geologi dan evaluasi geologi
daerah tersebut yang berkaitan dengan potensi sumber daya alam dan bencana.
Pemetaan geologi di daerah Jambusari dan sekitarnya, Kecamatan Jeruk
Legi, Kabupaten Cilacap, Provinsi Jawa Tengah dilakukan dalam kurun waktu 1
bulan untuk memberikan data yang berupa informasi-informasi geologi
permukaan. Daerah Ngujuran memiliki kondisi geologi yang menarik untuk
dipelajari, terutama dengan adanya beberapa formasi yang menyusun daerah
pemetaan yang memperlihatkan perubahan lingkungan pengendapan dan juga
merupakan sedimen pengisi dari Cekungan Banyumas. Kondisi geologi daerah
pemetaan dalam skala yang lebih rinci diperlukan untuk mengetahui bagaimana
hubungan stratigrafi antara satuan batuan dan struktur yang berkembang pada
daerah pemetaan untuk menjelaskan sejarah geologi daerah pemetaan dengan baik
serta mengetahui bagaimana potensi dan kendala pada daerah pemetaan.

1.2. Maksud dan Tujuan


Maksud dari dilakukannya pemetaan di daerah Jambusari dan sekitarnya,
Kecamatan Jeruk Legi, Kabupaten Cilacap, Provinsi Jawa Tengah adalah untuk
melakukan pemetaan lapangan dengan rinci menggunakan ilmu-ilmu geologi,
yaitu: geomorfologi, stratigrafi, struktur geologi, sejarah geologi dan evaluasi
geologi, yang nantinya dapat digunakan untuk perencanaan survei geologi. Hasil

1
dari perencanaan survei geologi berupa peta geologi yang selanjutnya digunakan
untuk mempelajari bagaimana proses geologi yang bekerja pada daerah pemetaan
sehingga dapat merekonstruksi bagaimana pengaruh geologi terhadap daerah yang
dijadikan lokasi pemetaan dan mengetahui dasar pembentukan daerah tersebut
yang erat kaitannya dengan bidang geologi.
Tujuan dari pemetaan ini agar dapat melakukan pemetaan dan
menghasilkan pemahaman mengenai kondisi lapangan, meliputi: jenis litologi,
geomorfologi, stratigrafi, struktur geologi, sejarah geologi dan evaluasi geologi.

1.3. Lokasi Daerah Pemetaan


Daerah pemetaan kelompok 6 ini dibagi menjadi 5 kavling yang
terbagi menjadi beberapa koordinat :
Tabel 1.1 Koordinat Kavling Kelompok 6 Blok I

Nama Kavling Koordinat

111 38' 43,5" 111 41' 26,5" BT


Adam Yogo Prambudi 26
6 46' 27,6" 6 49' 42,1" LS

111 40' 54,1" 111 44' 10,5" BT


Agung Aulia Lesmana 27
6 46' 27,6" 6 49' 10,2" LS

109 00' 0" 109 02' 32,9" BT


Bernardinus Rieva Sadewa 28
7 31 37,2" 7 34' 51,8" LS

111 43' 37,9" 111 46' 53,3" BT


Fajriansyah Hermawan Pangestu 29
6 48' 40,2" 6 51' 24,0" LS

111 46' 20,2" 111 49' 35,6" BT


Gielberd Samuel Napitupulu 35
6 48' 40,2" 6 51' 24,0" LS

Tabel 1.2 Lokasi Administratif Kavling Kelompok 6 Blok I

2
Jambusari

Secara geografis daerah pemetaan terletak pada 109 00 00" BT 109


02' 32,9" BT dan 7 31 37,2" LS 7 34' 51,8" LS dengan luas 30 km2. Secara
administratif daerah pemetaan terletak di Propinsi Jawa Tengah, Kabupaten
Cilacap, Kecamatan Jeruk Legi, yang meliputi desa Prapagan, Jambusari,
Sawangan, dan Karangkemiri, serta Kabupaten Banyumas, Kecamatan Wangon
yang meliputi desa Randengan dan Rawaheng.

3
Lokasi Penelitian Kavling 28
Gambar 1.2 Gambar Daerah Penelitian (Google Maps, 5 Mei 2017, 19:37)

1.4. Studi Pustaka


Kondisi geologi daerah penelitian ini telah dipelajari oleh para peneliti
terutama dalam aspek tatanan stratigrafi dan tektoniknya, antara lain:
1. Van Bemmelen (1949) dalam The Geology of Indonesia yang
membahas kondisi geologi secara umum, dan membagi zona
fisiografi Jawa Timur dan Madura menjadi tujuh zona fisiografi,
antara lain Zona Pegunungan Selatan Bagian Timur, Zona Solo,
Zona Kendeng, Zona Randublatung, Zona Rembang, Dataran
Aluvial Jawa Utara, Gunung Api Kuarter.
2. Asikin, S., dkk. (1992) membuat Peta Geologi Lembar Kebumen
dengan skala 1:1.000.000 yang memperlihatkan kondisi struktur
dan stratigrafi yang kompleks.
3. Asikin, S., 1992. Membuat Diktat Struktur (Tektonik) Indonesia.
4. Satyana, A.H., (2007). Membuat paper tentang Central Java,
Indonesia A Terra Incognita In Petroleum Exploration: New
Considerations on the Tectonic Evolution and Petroleum
Implications.

4
5. Lunt, P., dan Burgon, G., (2008). Membuat paper tentang The
Pemali Formation Of Central Java And Equivalents: Indicators Of
Sedimentation On An Active Plate Margin.
6. Mulhadiyono, (1973). Membuat paper tentang Petroleum
Possibilities of the Banyumas Area.

5
BAB II
GEOMORFOLOGI

2.1. Fisiografi Regional


Menurut Van Bemmelen (1949), fisiografi Pulau Jawa dibagi menjadi 7
bagian, yaitu :

Gambar 2.1 Pembagian Fisiografi Jawa Tengah dan Jawa Timur (Van Bemmlen,
1949)

2.1.1. Gunung Api Kuarter


Gunung api Kuarter di Jawa Tengah antara lain G. Slamet, G.
Dieng, G. Sundoro, G. Sumbing, G. Ungaran, G. Merapi, G. Merbabu,
dan G. Muria.
2.1.2. Dataran Aluvial Pantai Utara Jawa
Mempunyai lebar maksimum 40 km kea rah selatan. Semakin ke
arah timur, lebarnya menyempit hingga 20 km.
2.1.3. Antiklinorium Rembang-Madura
Perbukitan Rembang merupakan suatu perbukitan antiklinorium
yang memanjang dengan arah timur-barat di sisi utara Pulau Jawa. Zona
ini membentang dari bagian utara Purwodadi hingga ke Pulau Madura.
Lipatan-lipatan dengan sumbu memanjang berarah timur-barat dengan
panjang dari beberapa kilometer hingga mencapai 100 km (Antiklin

6
Dokoro di utara Grobogan). Zona Rembang terbagi menjadi dua, yaitu
Antiklinorium Rembang Utara dan Antiklinorium Rembang Selatan
(Van Bemmelen, 1949). Antiklinorium Rembang Selatan juga dikenal
sebagai Antiklinorium Cepu. Kedua zona antiklinorium tersebut
dipisahkan oleh lembah aliran Sungai Lusi di bagian barat, dan lembah
aliran Sungai Kening (anak sungai Bengawan Solo) di bagian timur.
Perbukitan lipatan di Zona Rembang, umumnya tersusun secara
en-echelon ke arah kiri (left stepping), mengindikasikan kontrol patahan
batuan alas (basement faults) geser sinistral berarah timur-timurlaut ke
arah barat-baratdaya yang membentuk Antiklinorium Rembang tersebut
(Husein dkk., 2015). Pola ini dapat diamati pada rangkaian perbukitan
deretan Antiklin Dokoro hingga Antiklin Lodan (baratlaut Tuban) di
Zona Rembang bagian utara dan rangkaian perbukitan deretan Antiklin
Gabus (baratlaut Randublatung) hingga Antiklin Ledok (utara Cepu).
2.1.4. Antiklinorium Bogor-Serayu Utara-Kendeng
Memiliki lebar 30-50 km. Di selatan tegal, zona ini tertutupi oleh
produk gunungapi kwarter dari G. Slamet. Di bagian tengah ditutupi
oleh produk volkanik kwarter G. Rogojembangan, G.Ungaran, dan
G.Dieng. Zona ini menerus ke Jawa Barat menjadi Zona Bogor dengan
batas antara keduanya terletak di sekitar Prupuk, Bumiayu hingga
Ajibarang, persis di sebelah barat G. Slamet, sedangkan ke arah timur
membentuk Zona Kendeng. Zona Antiklinorium Bogor terletak di
selatan Dataran Aluvial Jakarta berupa Antiklinorium dari lapisan
Neogen yang terlipat kuat dan terintrusi. Zona Kendeng meliputi daerah
yang terbatas antara Gunung Ungaran hingga daerah sekitar Purwodadi
dengan singkapan batuan tertua berumur Oligosen-Miosen Bawah yang
diwakili oleh Formasi Pelang.

2.1.5. Pematang dan Dome pada Pusat Depresi


Menempati bagian tengah hingga selatan. Sebagian merupakan
dataran pantai dengan lebar 10-25 km. Morfologi pantai ini cukup

7
kontras dengan pantai selatan Jawa Barat dan Jawa Timur yang relatif
lebih terjal.
2.1.6. Pegunungan Selatan Jawa
Memanjang di sepanjang pantai selatan Jawa membentuk
morfologi pantai yang terjal. Namun di Jawa Tengah, zona ini terputus
oleh Depresi Jawa Tengah.
2.1.7. Pegunungan Serayu Selatan
Terletak di antara Zona Depresi Jawa Tengah yang membentuk
kubah dan punggungan. Di bagian barat dari Pegunungan Serayu
Selatan yang berarah barat-timur dicirikan oleh bentuk antiklonorium
yang berakhir di timur pada suatu singkapan batuan tertua terbesar di
Pulau Jawa, yaitu daerah Luk Ulo, Kebumen.

2.2. Fisiografi Daerah Pemetaan


Berdasarkan pembagian dari fisiografi Pulau Jawa, Van Bemmelen (1949),
daerah penelitian masuk ke dalam Zona Pegunungan Serayu Selatan. Pegunungan
Serayu Selatan terletak diantara Pegunungan Serayu Utara dan Zona Depresi Jawa
Tengah merupakan bagian dari Cekungan Jawa Tengah Selatan yang terletak di
bagian selatan propinsi Jawa Tengah. Zona ini merupakan geoantiklin
yang membentang dari barat ke timur sepanjang 100 kilometer dan terbagi
menjadi dua bagian yang dipisahkan oleh lembah Jatilawang yaitu bagian barat
dan timur.
2.3. Geomorfologi Daerah Pemetaan
Pengelompokkan bentang alam di daerah pemetaan dilakukan secara
sistematis berdasarkan kenampakan bentuk bentuk relief di lapangan,
kemiringan lereng, serta struktur geologi yang mengontrolnya. Pembahasan
konsep dasar geomorfologi bentuk bentang alam suatu daerah merupakan
pencerminan dari proses endogen dan eksogen yang mempengaruhinya dimana
setiap proses menghasilkan suatu bentuk bentang alam yang khas.
Secara umum Morfologi di daerah penelitian tersebut dapat dibagi menjadi
3 satuan, yaitu Satuan Geoorfologi Dataran, Satuan Morfologi Perbukitan

8
Bergelombang dan Satuan Morfologi Perbukitan Terjal, dengan pola aliran sungai
umumnya Trelis.
Pengklasifikasian bentang alam dilakukan dengan mengacu pada
parameter parameter relief yang disusun oleh Van Zuidam (1983) (Tabel 2.1)
serta Hidartan dan Handaya (1994). Sedangkan untuk menentukan suatu stadia
daerah (Tabel 2.2) atau stadia sungai (Tabel 2.3) digunakan parameter parameter
yang disusun oleh Nugroho (2001).

Tabel 2.1. Klasifikasi Van Zuidam (1983)


Satuan Relief Kelerengan Beda Tinggi (m)
(%)

Datar/Hampir Datar 02 <5

Bergelombang/Miring Landai 37 5 50

Bergelombang/Miring 8 13 25 75

Berbukit Bergelombang 14 20 50 200

Berbukit Tersayat Tajam/Terjal 21 55 200 500

Pegunungan Tersayat Tajam/Sangat Terjal 56 140 500 1000

Pegunungan Sangat Curam > 140 > 1000

Analisa geomorfologi secara genetik dapat menggunakan klasifikasi


Verstappen (1983): 1. Bentuk lahan asal struktural, 2. Bentuk lahan asal vulkanik,
3. Bentuk lahan asal denudasional, 3. Bentuk lahan asal fluvial, 5. Bentuk lahan
asal marine, 6. Bentuk lahan asal glasial, 7. Bentuk lahan asal Aeolian, 8. Bentuk
lahan asal solusional/pelarutan (karst), 9. Bentuk lahan asal organik, 10. Bentuk
lahan asal antropenik.

Bentang alam akibat proses endogen meliputi:


Bentuk lahan asal struktural
Terbentuk karena proses tektonik yang berupa pengangkatan,
perlipatan dan patahan.
Bentuk lahan asal volkanik

9
Terjadi karena pengaruh aktifitas volkanik berupa kepundan, kerucut
semburan, medan lava, medan lahar dan sebagainya yang umumnya
berada pada wilayah gunung api.

Sedangkan bentang alam akibat proses eksogen meliputi:


Bentuk lahan asal fluvial
Bentuk lahan yang berkaitan dengan aktifitas sungai dan air
permukaan yang berupa pengikisan pengangkutan, dan penimbunan
pada daerah rendah seperti lembah, ledok, dan daratan alluvial.
Bentuk lahan asal marine
Akibat kegiatan marine yaitu abrasi, sedimentasi, pasang surut dan
pertemuan terumbu karang.
Bentuk lahan asal pelarutan (karst)
Dihasilkan oleh proses solution/pelarutan pada batuan yang mudah
larut. Mempunyai karakteristik relief dan drainase yang khas, yang
disebabkan oleh tingkat pelarutan batuan yang tinggi.
Bentuk lahan asal aeolian (angin)
Dipengaruhi oleh udara dan angin yang dapat membentuk medan yang
khas dan berbeda bentuknya dari daerah lain.
Bentuk asal glasial
Adalah bentuk lahan yang berkaitan dengan aktifitas dihasilkan oleh
aktivitas gletser.

Bentuk asal denudasional


Merupakan proses denudasional (penelanjangan), yaitu kesatuan dari
proses pelapukan, pegerakan tanah, erosi dan kemudian diakhiri
dengan proses pengendapan.

Tabel 2.2. Klasifikasi Stadia Daerah (Nugroho, 2001)

Stadia Daerah
Parameter
Muda Dewasa Tua

Stadia Sungai Muda Muda Dewasa Tua

Sedikit
Relief Maksimum Hampir Datar
Bergelombang

Bentuk Penampang UV V U Datar

10
Lembah

Bentang alam Bentang alam


Bentang alamnya
umumnya datar bergelombang
datar.
sampai sampai maksimum.
bergelombang. Hasil proses
Mulai ada gawir.
Kenampakan Lain pengendapan.
Tidak ada Gawir.
Relief sedang
Tidak ada relief.
Relief kecil. maksimum.
U - Datar
V VU

Tabel 2.3. Klasifikasi Stadia Sungai (Nugroho, 2001)


Stadia Sungai
Parameter
Muda Dewasa Tua

Slope Gradient Besar Relatif Kecil Tidak Ada

Kecepatan Aliran Tinggi Sedang Rendah

Jenis Aliran Air Turbulent Turbulent Laminar Laminer

Jenis Erosi Vertikal Vertikal Horizontal Horizontal

Proses yang Bekerja Erosi Erosi dan Deposisi Deposisi

Bermeander
Bentuk/Pola Sungai Lurus Lurus Bermeander
Komplek

Bentuk Penampang V VU U Datar

Kerapatan/Anak Sedang/Mulai
Kecil/Jarang Besar/Banyak
Sungai Banyak

Berdasarkan klasifikasi Howard (1967), pola aliran sungai terbagi


menjadi: a) dendritic, b) parallel c) trellis, d) rectangular, e) radial, f) annular, g)
multibasinal, dan h) contorted.

11
Gambar 2.2 Klasifikasi Pola Aliran Sungai Berdasarkan Howard (1967)

Berdasarkan Lobeck (1939), genetik sungai dapat dibagi menjadi 3


jenis, yaitu:

a. Subsekuen, sungai yang mengalir mengikuti arah jurus lapisan batuan.


b. Konsekuen, merupakan sungai yang mengalir mengikuti kemiringan
lapisan batuan yang dilaluinya.
c. Obsekuen, merupakan sungai yang mengalir berlawanan kemiringan
lapisan yang dilalui.
Pada dasarnya, stadia daerah berkaitan dengan ciri-ciri geomorfologi suatu
daerah dan ciri-ciri dari sungai yang ada pada daerah pemetaan. Stadia daerah ini
dapat menentukan sejauh mana tingkat erosi atau proses denudasi/penelanjangan
yang sedang terjadi pada daerah pemetaan. Lobeck (1939) membagi stadia daerah
menjadi tiga, yaitu:

12
Stadia muda mempunyai ciri-ciri dataran yang masih tinggi dengan
lembah sungai yang relatif curam dengan genetik sungai dominan
konsekuen. Kondisi geologi masih pada tahap awal atau origin.

Gambar 2.3 Stadia Daerah Muda (Lobeck, 1939)

Stadia dewasa dicirikan dengan relief terbesar atau maksimum dan genetik
sungai sudah mulai berubah menjadi subsekuen. Topografi dari bentang
alam stadia ini dipengaruhi oleh variasi dari batuan, sehingga akan
terbentuk jurang apabila sungai mengalir di batuan yang resisten dan
sebaliknya akan terbentuk lembah sungai berbentuk U atau open valleys
pada batuan yang lemah.

Gambar 2.4 Stadia Daerah Dewasa (Lobeck, 1939)

13
Stadia tua dicirikan permukaan relatif datar, terbentuk monadnock dan
peneplan

Gambar 2.5. Stadia Daerah Tua (Lobeck, 1939)

BAB III
GEOLOGI REGIONAL

3.1. Stratigrafi Regional


Zona Pegunungan Serayu Selatan, termasuk dalam cekungan Banyumas
yang terdiri dari Formasi Gabon Volkanik yang merupakan sikuen volkanik
berumur Oligosen - Miosen Tengah. Dilanjutkan dengan pengendapan Formasi
Penanjung yang terdiri dari napal endapan sikuen turbidit berumur Oligosen -
Miosen Tengah. Formasi Kalipucang selanjutnya diendapkan, berupa
batugamping Miosen Tengah, kemudian Formasi Halang yang terdiri dari napal
dan batupasir dan merupakan endapan turbidit Miosen Tengah-Pliosen Awal.
Formasi Kumbang yang terdiri dari breksi batupasir, merupakan fasies vulkanik
yang berumur Miosen Tengah - Pliosen. Selanjutnya Formasi Bantardewa, berupa

14
sikuen batupasir paralik berumur Plio-Plistosen. Formasi Talanggundang terdiri
dari lempung yang merupakan endapan laut berumur Plistosen. Dan terakhir,
lapisan vulkanik dan basalt dari fasies volkanik berumur Kuarter.

Gambar 3.1.1 Kolom stratigrafi regional Cekungan Banyumas dan sekitarnya


(Mulhadiyono, 1973).
24.1.1 Formasi Gabon
Formasi Gabon Vulkanik, terdiri dari dominasi sedimen vulkaniklastik
seperti breksi napalan dan lempung, pada beberapa tempat diintrusi oleh lapisan
tipis sill basalt. Lokasi tipe formasi berada di Gunung Gabon. Ditemukan
distribusi lateral yang luas hingga Pulau Nusakambangan dan Perbukitan
Karangbolong (horison breksi pertama, Harloff, 1933). Lapisan tipis basalt (tidak
lebih dari 20 m) di temukan di daerah selatan Klapasawit. Endapan lahar
ditemukan di Tanjung Penanjung, Kepulauan Nusakambangan, Karangbolong,
dan di lokasi tipenya (Sungai Cikaso).

24.1.2 Formasi Penanjung


Formasi Penanjung terdiri dari napal dan batulempung yang berselingan
dengan batupasir. Napal dan lempung kaya akan foraminifera plankton yang
mengindikasikan lingkungan neritik dan batial. Batupasir diperkirakan berupa

15
flysh type yang diindikasikan dari tekstur dan melimpahnya struktur sedimen
turbidit. Formasi ini ditemukan di Sungai Cikaso, Balengbeng 1 dan 2, Ciarus 1,
Pasren (sebelumnya di sebut sebagai Pemali), Pulau Nusakambangan, dan di
Antiklin Sampang. Di daerah Sampang, disebut sebagai horizon napal dan tuf
awal (Harloff, 1993).

24.1.3 Formasi Kalipucang


Formasi Kalipucang terdiri dari batugamping packstone,
packstone/wackestone dan pada beberapa tempat berupa grainstone, boundstone,
dan batugamping kristalin. Lokasi tipe berada di Desa Kalipucang, dan ditemukan
juga di daerah Tanjung Peninsula, Pengkolan, Pulau Nusakambangan, dan
Karangbolong. Distribusi penyebaran yang luas dari formasi batugamping ini
menjadikannya horizon kunci yang berguna untuk membedakan dua formasi
turbidit (Halang dan Penanjung).

24.1.4 Formasi Halang


Formasi Halang terdiri dari napal dan batupasir yang hampir serupa
dengan Formasi Penanjung. Faktor pembedanya adalah umur fosil, meningkatnya
lapisan batupasir, dan perselingan batugamping klastik (kalkarenit). Umur formasi
yaitu Miosen Tengah - Pliosen Awal, sedangkan Formasi Penanjung berumur
Miosen Tengah atau lebih tua. Perselingan kalkarenit tersingkap di Sungai Pesiri
dan menunjukkan struktur sedimen turbidit kebanyakan berupa sikuen B, C, D
(Thomson dan Thomasson, 1969 dalam Mulhadiyono, 1973). Unit ini diyakini
ekuivalen dengan Lapisan Lawak (Ter Haar, 1934 dalam Mulhadiyono, 1973).
Lokasi tipe formasi ini adalah Perbukitan Halang (Bumiayu).

24.1.5 Formasi Kumbang


Formasi Breksi Batupasir Kumbang umumnya terdiri dari batupasir
vulkanik atau breksi batupasir, breksi, batupasir konglomeratan, tuf, perselingan
napal pasiran, dan lempung pasiran. Sumber material vulkanik batupasir berasal
dari komponen basaltik breksi atau breksi batupasir. Fosil jarang dijumpai dan

16
struktur sedimen sangat sedikit sekali ditemukan di batuan. Lokasi tipe berada di
Gunung Kumbang (Bumiayu).

24.1.6 Formasi Bantardawa


Formasi Batupasir Bantardawa terdiri dari batupasir kaya moluska dan
fragmen cangkang serta interkalasi batulempung dan napal. Tidak ada struktur
sedimen turbidit yang muncul di formasi ini. Lokasi tipe berada di daerah
perbukitan dekat Desa Bantardewa.

24.1.7 Formasi Talanggundang


Formasi Talanggundang terdiri dari batulempung dan napal kaya akan
turitella dan mengandung streak batupasir berbutir halus. Formasi ini hanya
ditemukan di sekitar lokasi tipe di Desa Talanggundang. Umur formasi ini
berdasarkan kandungan foraminifera (Globoroatalia truncalinoidea) yaitu
Plistosen, dan berdasarkan kelimpahan foraminifera planktonnya, menunjukkan
bahwa batuan di formasi ini terendapkan di lingkungan laut terbuka. Nama
Talanggundang dan Bantardaya pertamakali diusulkan oleh Roggeveen (1934)
dan digunakan dalam penelitian Cekungan Banyumas.

24.1.8 Batuan Beku Vulkanik


Terdiri dari endapan batuan vulkanik Kuarter (umumnya berupa
piroklastik dan lava basalt) dan endapan aluvial yang terendapkan secara tidak
selaras di atas formasi-formasi batuan sebelumnya. Gunung api besar di utara
cekungan yakni Gunung Ciremai dan Gunung Selamet.

3.2. Struktur Geologi Regional


Selama zaman Tersier di Pulau Jawa telah terjadi tiga periode tektonik
yang telah membentuk lipatan dan zona-zona sesar yang umumnya mencerminkan
gaya kompresi regional berarah Utara-Selatan (Van Bemmelen, 1949). Ketiga
periode tektonik tersebut adalah :
1. Periode Tektonik Miosen Atas (Mio-Pliosen),
2. Periode Tektonik Pliosen Atas (Plio-Plistosen), dan
3. Tektonik Holosen.

17
3.2.1. Periode Tektonik Miosen Atas (Mio-Pliosen)
Periode Tektonik Miosen Atas (Mio-Pliosen) dimulai dengan
pengangkatan dan perlipatan sampai tersesarkannya batuan sedimen Paleogen dan
Neogen. Perlipatan yang terjadi berarah relatif barat-timur, sedangkan yang
berarah timurlaut-baratdaya dan baratlaut-tenggara hanya sebagian. Sedangkan
sesar yang terjadi adalah sesar naik, sesar sesar geser-jurus, dan sesar normal.
Sesar naik di temukan di daerah barat dan timur daerah ini, dan berarah hampir
barat-timur, dengan bagian selatan relatif naik. Kedua-duanya terpotong oleh
sesar geser. Sesar geser-jurus yang terdapat di daerah ini berarah hampir baratlaut-
tenggara, timurlaut-baratdaya, dan utara-selatan. Jenis sesar ini ada yang
menganan dan ada pula yang mengiri. Sesar geser-jurus ini memotong struktur
lipatan dan diduga terjadi sesudah perlipatan. Sesar normal yang terjadi di daerah
ini berarah barat-timur dan hampir utara-selatan, dan terjadi setelah perlipatan. Di
daerah selatan Pegunungan Serayu terjadi suatu periode transgresi yang diikuti
oleh revolusi tektogenetik sekunder. Periode tektonik ini berkembang hingga
Pliosen, dan menyebabkan penurunan di beberapa tempat yang disertai aktivitas
vulkanik.

3.2.2. Periode Tektonik Pliosen Atas (Plio-Plistosen)


Periode Tektonik Pliosen Atas (Plio-Plistosen) merupakan kelanjutan dari
periode tektonik sebelumnya, yang juga disertai dengan aktivitas vulkanik, yang
penyebaran endapan-endapannya cukup luas, dan umumnya disebut Endapan
Vulkanik Kuarter.

3.2.3. Periode Tektonik Holosen


Periode Tektonik Holosen disebut juga dengan Tektonik Gravitasi, yang
menghasilkan adanya gaya kompresi ke bawah akibat beban yang sangat besar,
yang dihasilkan oleh endapan vulkanik selama Kala Plio-Plistosen. Hal tersebut
menyebabkan berlangsungnya keseimbangan isostasi secara lebih aktif terhadap
blok sesar yang telah terbentuk sebelumnya, bahkan sesar-sesar normal tipe horst
dan graben ataupun sesar bongkah atau sesar menangga dapat saja terjadi. Sesar-
sesar menangga yang terjadi pada periode ini dapat dikenal sebagai gawir-gawir

18
sesar yang mempunyai ketinggian ratusan meter dan menoreh kawah atau kaldera
gunung api muda, seperti gawir sesar di Gunung Beser, dan gawir sesar pada
kaldera Gunung Watubela.

Situmorang, dkk (1976), menafsirkan bahwa struktur geologi di Pulau


Jawa umumnya mempunyai arah baratlaut-tenggara, sesuai dengan konsep
Wrench Fault Tectonics Moody and Hill (1956) yang didasarkan pada model shear
murni.

Gambar 3.2.1 Kerangka Tektonik Jawa Tengah (Situmorang dkk. 1976)

3.3. Geologi Sejarah Regional


Sejarah pengendapan semua batuan yang ada di daerah penelitian tidak
terlepas dari perkembangan tektonik Pulau Jawa dan pertumbukan antara
Lempeng Benua Asia Tenggara dan Lempeng Hindia-Australia sejak Kapur akhir
atau Tersier Awal. Dua hal yang pokok pada pembentukan batuan sedimen adalah
pembentukan cekungan sebagai wadah dari endapan tersebut yang erat kaitannya
dengan lingkungan pengendapan dan sumber dari batuan yang diendapkan.

Selama Paleosen Tengah dan Akhir terjadi pendesakan (thrusting) dari


selatan yang dihasilkan karena pergerakan mengarah ke utara oleh lempeng Indo-
Australia. Pendesakan ini menghasilkan bancuh di selatan Serayu Utara,
pergerakan ke utara ini juga menghasilkan kompresi, blok penyesaran, dan
pengangkatan. Kompresi ini memulai terbentuknya pasangan kekar-kekar gerus

19
utama (conjugate set of primary shear fractures) yang nantinya mengontrol posisi
aktivitas vulkanik. Pada akhir Paleosen kompresi agak berkurang, hal ini
menyebabkan terjadinya penurunan (subsidence), dan pada kala Eosen endapan
laut dangkal menempati bagian sedimen Paleosen Awal yang telah tererosi.

Selama Oligosen terjadi penurunan muka air laut secara tajam di seluruh
dunia yang menyebabkan erosi pada blok yang paling tinggi dan bersamaan
dengan itu, terendapnya material erosi ini di blok yang lebih rendah (Ratman dan
Robinson, 1996). Sedangkan menurut Martono (1992) gejala tektonik tertua yang
ditemukan di daerah ini ditunjukkan oleh proses pembentukan batuan Paleogen,
yang diduga berlangsung sampai Oligosen. Terjadinya pencampuradukkan
tektonik yang melibatkan berbagai jenis batuan, termasuk sedimen yang sedang
dalam proses pengendapan, memberikan kesan bahwa batuan Paleogen tersebut
terbentuk di dalam zona tunjaman (subduksi). Menurut Van Bemmelen (1949),
pada Oligosen Miosen, geantiklin bagian utara mengalami penurunan yang
terjadi akibat naiknya geantiklin bagian selatan. Penurunan ini terjadi sampai intra
Miosen Tengah, saat itu terjadi reaksi gravitasional yang menyebabkan geantiklin
bagian selatan patah, sayap utara geantiklin tersebut tergelincir ke arah depresi
geosinklin.

Miosen Awal merupakan kala yang tenang dengan penaikan muka air laut
dan pembentukan terumbu di sekitar dan pada bagian blok sesar yang tererosi.
Orogenesis merupakan ciri-ciri Miosen Tengah, dengan adanya pendesakan
kembali dari selatan, kompresi blok sesar dan sedimen-sedimen yang
menindihnya, aktivitas vulkanik di sepanjang kekar-kekar gerus gunting yang
terbentuk sebelumnya, dan akhirnya pengangkatan. Intensitas orogenesis dan
aktivitas volkanik secara bertahap menurun selama Miosen Tengah dan Akhir dan
berhenti pada awal Pliosen (Ratman dan Robinson, 1996). Menurut Martono
(1992), setelah Oligosen daerah penelitian merupakan cekungan belakang busur
yang menampung sedimen pelitik dari arah benua dan sesekali bahan volkanik
berbutir halus dari arah busur vulkanik. Masa ketenangan tektonik Miosen Awal
ini diikuti oleh periode pengangkatan disertai perlipatan dan penyesaran. Dalam

20
proses perlipatan ini, Formasi Merawu membentuk pola lipatan yang dikendalikan
oleh sesar naik batuan Paleogen yang teraktifkan kembali. Pada akhir Miosen
awal Pliosen kegiatan tektonik mengakibatkan pembentukan busur pulau
gunungapi, kegiatan magmatik ini dikenali dengan terobosan intensif pada
Formasi Merawu, sebagian diantaranya melalui zona sesar dan sumbu lipatan
yang terbentuk sebelumnya. Menurut Condon, Pardyanto, Ketner, Amin, Gafoer,
dan Samodra (1996), pada Miosen Tengah terjadi genang laut dan terendapkannya
Formasi Rambatan serta terjadi penerobosan batuan bersusunan diorit pada akhir
Miosen Tengah.

Pada Miosen Atas cekungan termobilisasi, dimulai dengan perlipatan dan


adanya gejala magmatik sampai akhir Miosen. Menurut van Bemmelen (1949),
pada awal Pliosen, Pegunungan Serayu Utara kembali mengalami pengangkatan
akibat bergesernya sistem ke arah utara (ke arah dataran Sunda). Pada Akhir
Pliosen pengangkatan terus terjadi yang diiringi dengan beberapa gejala
vulkanisme. Pada Plistosen, aktivitas vulkanisme semakin meningkat disertai
unsur tektonik hingga membentuk pola struktur geologi seperti sekarang ini.

Pada zaman Kuarter dicirikan lagi dengan aktivitas volkanik di sepanjang


kekar-kekar gerus gunting utama. Pada zaman ini kompresi sudah sangat
berkurang, tapi belum sepenuhnya berhenti. Sebelum dan selama aktivitas
vulkanik, pengubahan vulkanik di bawah Gunung Slamet dan Kompleks Gunung
api Dieng menyebabkan terbentuknya zona kompresi di antara dua kubah yang
menghasilkan pendesakan (thrusting) dan perlipatan sedimen laut Miosen. Di atas
kubah vulkanik sendiri, pengangkatan dan pengekaran tensional yang
menyertainya menyebabkan penyesaran normal beberapa sedimen Miosen.

Dari Kuarter Akhir hingga sekarang terdapat pengangkatan di beberapa


daerah dan penurunan di tempat-tempat lainnya. Daerah utama penurunan adalah
di utara bagian tengah Jawa, yang terjadi disepanjang kekar-kekar gerus utama
vertikal.

21
BAB IV
KONDISI UMUM DAERAH PEMETAAN

Bab ini akan menjelaskan kondisi daerah pemetaan yang berskala 1:12.500
dengan menunjukan lokasi daerah pemetaan menggunakan citra landsat, peta
geologi regional, peta geomorfologi, peta struktur geologi, dan peta pola aliran
sungai.

22
Daerah Penelitian Kavling 28

Gambar 4.1 Daerah Penelitian (Google Earth, diakses pada 5, Mei 2017)

Gambar 4.2 Terrain Daerah Pemetaan (Surfer, Data DEM Jawa 2008)
Berdasarkan citra satelit secara umum kondisi permukaan daerah
penelitian merupakan daerah yang mempunyai bentukan lahan morfologi
Struktural, dan Denudasional.

23
Gambar 4.3 Peta Topografi Daerah Pemetaan

24
Berdasarkan Peta Geologi Regional Lembar Banyumas (Asikin, S., dkk,
1992), Pada daerah pemetaan terdapat 3 formasi yang terendapkan dengan arah
Barat-Timur, yaitu : Aluvium (Qa), Dike Basalt (Tpb), Formasi Halang (Tpmh),
Anggota Batupasir Formasi Halang (Tmhs).

ENDAPAN PERMUKAAN BATUAN TEROBOSAN


Holosen Qa

Tpb

Pilosen

Tpmh

Miosen Akhir Tmhs

KETERANGAN

Qa Endapan Aluvium Tpmh Formasi Halang

Anggota Batupasir
Tmhs
Tpb Intrusi Basalt Formasi Halang

Gambar 4.4 Daerah Penelitian pada Peta Geologi Lembar Banyumas


(S. Asikin A., Handoyo. B.Prasistho., dan S. Gafoer., 1992)

25
Daerah Penelitian Kavling 28
Gambar 4.5 Peta Geologi Lembar Banyumas Skala 1:100.000
(S. Asikin, A. Handoyo, B.Prasistho dan S. Gafoer. 1992)
Menurut interpretasi peta geomorfologi daerah penelitian memperlihatkan
3 satuan geomorfologi berdasarkan kelerengannya (klasifikasi Van Zuidam,
1985), yaitu : Satuan geomorfologi dataran, satuan geomorfologi perbukitan
bergelombang dan satuan geomorfologi perbukitan terjal. Sungai pada daerah
penelitian ini sendiri terdiri atas sungai yang mempunyai pola Trelis, di mana
polapola ini mencerminkan daerah yang di kontrol oleh struktur geologi.
Sementara stadia daerah penelitian mempunyai bentukan stadia dari muda sampai
dewasa pula. Stadia daerah dapat di cerminkan dari kondisi kontur.

26
B

Gambar 4.6 Peta Pola Aliran Sungai Secara Regional (Geospasial Indonesia)

27
Gambar 4.7 Pola Aliran Sungai Daerah Pemetaan

28
Gambar 4.8 Morfologi Daerah Pemetaan (Klasifikasi Van Zuidam (1985)

29
Selanjutnya kondisi struktur geologi regional pada daerah penelitian
berdasarkan interpretasi dari peta topografi dan peta geologi regional lembar
Banyumas memperlihatkan adanya sesar sinistral di Barat Laut daerah penelitian
serta adanya patahan, lalu digambarkan pula terdapat struktur geologi berupa
antiklin, patahan naik, sinklin, serta sesar sinistral pada bagian Selatan daerah
pemetaan.
Terdapat pula intepretasi kelirusan kontur, di mana kelurusan kontur
menandakan atau mengindikasikan terdapatnya struktur stuktur geologi yang
bersifat minor yang merupakan hasil dari gerakan atau tekanan struktur utama
yang terdapat pada pulau jawa.

30
Gambar 4.9 Peta Penyebaran Struktur Geologi Daerah Pemetaan

31
Gambar 4.10 Interpretasi Kelurusan Kontur

32
Gambar 4.11 Peta Rencana Lintasan

33
Pada saat penelitian di lapangan pembuatan lintasan pengamatan
singkapan di dasarkan pada kondisi daerah regional, kondisi batuan regional,
kondisi topografi, kondisi sungai, dan jalan, agar dapat memberikan informasi
yang akurat dan dengan tingkat kemanan yang tinggi. Lintasan tersebut di buat
pada saat sebelum ke lapangan.
Peta rencana lintasan dibuat dengan arah Utara-Selatan dimana lintasan
dibuat searah dengan dip. Terdapat 3 rencana lintasan utama yang berorientasi
utara selatan yang berwarna biru dan terdapat beberapa lintasan tambahan
berwarna merah, yang akan digunakan saat lintasan utama mengalami kendala dan
guna melengkapi data yang tidak tersingkap. Dari pengerjaan lintasan, 1 lintasan
dikerjakan selama 2 hari dimana hari ke-2 dilakukan Tectonic Section (TS).

34
BAB V
METODOLOGI PENELITIAN

5.1. Tahap Persiapan dan Perencanaan


o Studi literatur mengenai daerah pemetaan dari peneliti peneliti
terdahulu
o Perencanaan lintasan lokasi pengamatan yang sesuai dengan
efisiensi dan efektifitas seorang geologi di lapangan.
o Analisa peta topografi
o Analisa peta geologi regional
o Analisa peta pola aliran sungai
o Persiapan perlengkapan dan pemilihan basecamp.
5.2. Tahap Pemetaan Lapangan
o Menentukan lokasi pengamatan dan plotting pada peta topografi.
o Pengamatan dan pengukuran singkapan batuan serta pengambilan
contoh batuan untuk analisa laboratorium.
o Pengukuran data struktur geologi
o Pencatatan data observasi pada buku lapangan.
o Pengambilan foto geomorfologi dan singkapan batuan.
o Pembuatan penampang tektonik.
5.3. Tahap Penelitian Laboratorium
o Analisa mikropaleontologi dan stratigrafi
o Analisa petrografi
o Analisa kalsimetri
5.4. Tahap Penyusunan Laporan Geologi
Penyusunan laporan merupakan tahap akhir pemetaan geologi
daerah Jambusari dan Sekitarnya, Kecamatan Jeruk Legi, Kabupaten
Cilacap, Provinsi Jawa Tengah sebagai suatu dokumen yang berisi laporan
pemetaan dan menggabungkan hasil hasil penelitian lapangan,
laboratorium, analisis dan kesimpulan. Sistematika Pembahasan
Sistematika pembahasan dalam penulisan laporan ini terdiri dari:
BAB I PENDAHULUAN
Pada BAB I, berisi penejlasan tentang latar belakang, maksud dan
tujuan lokasi pemetaan dan kesampaian daerah, metode pengelitian,

35
sistematika pembahasan dalam laporan dan peralatan yang dibutuhkan
pemetaan.
BAB II GEOMORFOLOGI
Pada BAB II, berisi penjelasan tentang kenampakan bentang alam
(geomorfologi) di daerah pemetaan ditunjang oleh kenampakan
geomorfologi secara regional.
BAB III STRATIGRAFI
Pada BAB III, berisi penjelasan tentang runtunan satuan batuan
berurutan dari tua ke muda yang dijumpai di daerah pemetaan yang
ditunjang oleh stratigrafi regional.
BAB IV STRUKTUR GEOLOGI
Pada BAB IV, berisi penjelasan tentang berbagai kenampakan
struktur geologi di daerah pemetaan yang ditinjau dari struktur geologi
regional.
BAB V SEJARAH GEOLOGI
Pada BAB V, menjelaskan tentang setiap aspek dan peristiwa
geologi (satuan batuan dan struktur geologi) yang terjadi di daerah
pemetaan secara kronologis.
BAB VI EVALUASI GEOLOGI
Pada BAB VI, evaluasi geologi berisi penjelasan mengenai
evaluasi geologi (bahan galian dan bencana alam) daerah pemetaan.
BAB VII KESIMPULAN
Pada BAB VII, berisi kesimpulan geologi daerah pemetaan.
DAFTAR PUSTAKA
Berisi semua referensi buku, makalah, dan sumber referensi lain
yang digunakan selama melakukan pemetaan dan menyusun laporan.
LAMPIRAN
Berupa peta, analisis kalsimetri dan analisis petrografi.
5.5. Diagram Alir Pemetaan

36
Gambar 5.1 Diagram Alir Kegiatan Pemetaan

5.6. Waktu
Waktu kegiatan dimulai dari minggu ke tiga bulan April 2017 hingga
minggu keempat bulan Agustus 2017 yang meliputi pembuatan proposal,
persiapan lapangan, melakukan pemetaan di daerah pemetaan. Selanjutnya
dilanjutkan rencana kegiatan pada tahun akademik baru yaitu kegiatan
laboratorium dengan melakukan determinasi umur serta analisa petrografi pada
minggu kedua bulan September 2017 hingga minggu pertama bulan Oktober
2017. Setelah itu dilanjutkan dengan penyusunan laporan geologi daerah
penelitian pada minggu pertama bulan Oktober 2017 hingga minggu pertama
bulan November 2017. Kegiatan terakhir yaitu pelaksanaan Kolokium pada
minggu kedua bulan November 2017.

5.7. Rencana
5.7.1. Rencana Umum

Tabel 5.7.1.1 Rencana Umum Pemetaan

5.7.2. Rencana Waktu di Lapangan

37
Waktu kegiatan pemetaan lapangan dimulai dari tanggal 22 Juli 2017
hingga 24 Agustus 2017. Kegiatan yang di lakukan dalam tanggal tersebut yaitu
meliputi keberangkatan pada tanggal 22 Juli 2017. Pada hari berikutnya akan
disusul dengan kegiatan persiapan dan bimbingan awal oleh dosen pembimbing,
kegiatan ini juga meliputi Post test, dan pencarian tempat tinggal selama kegiatan
pemetaan berlansung. Kegiatan selanjutnya merupakan kegiatan observasi
lapangan yang mencakup pencatatan dan pengamatan kondisi geologi di lapangan,
dimana kegiatan tersebut di perkirakan selesai dalam waktu 21 hari. Waktu efektif
lapangan di lakukan antara 5 - 6 hari dengan 1 - 2 hari di isi dengan pembuatan
laporan harian untuk dosen wali dan bimbingan dengan asisten dosen
pembimbing. Kegiatan tersebut berlangsung dari berlansung mulai tanggal 17
Agustus 2017 hingga 23 Agustus 2017. Setelah semua data lapangan di dapatkan
dan semua lintasan terselesaikan maka dilanjutkan dengan pembuatan laporan
detail hasil dari penelitian (observasi) lapangan berupa laporan geologi yang
meliputi laporan geomorflogi, pembuatan peta geologi, laporan peta geologi ,
laporan peta lintasan dan atributnya, dan pola aliran sungai, di mana seluruh
laporan tersebut di harapkan selesai tanggal 24 Agustus 2017. Dalam pembuatan
laporan ini juga diharapkan adanya bimbingan akhir oleh dosen pembimbing agar
mendapatkan hasil yang maksimal sebelum melakukan presentasi hasil "Pemetaan
Geologi Lapangan. Dan hari terakhir merupakan presentasi hasil "Pemetaan
Geologi Lapangan" yang telah di lakukan dalam 1 bulan penuh.

5.7.3. Perencanaan Keuangan

Tabel 5.7.3.1 Perencanaan Keuangan

38
DAFTAR PUSTAKA

Asikin. S., Handoyo. B.Prasistho., dan S. Gafoer., 1992, Peta Geologi Lembar
Banyumas Jawa. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung
Asikin, S., 1992. Diktat Struktur (Tektonik) Indonesia. Kelompok Bidang
Keahlian (KBK) Geologi Dinamis, Jurusan Teknik Geologi ITB.
Asikin, S., 2007. Central Java, Indonesia A Terra Incognita In Petroleum
Exploration: New Considerations on the Tectonic Evolution and
Petroleum Implications. Indonesian Pet. Assoc., 31st Annual Convention
Proceeding.
Bemmelen, R.W Van. 1949. The Geology of Indonesia Vol. I A General Geology :
The Hague, Batavia.
Budiyani, A, Sri., at al., 2003, The Collision of The East Java Microplate and Its
Implication for Hydrocarbon occurrences in the East Java Basin,

39
Indonesian Petroleum Association, Proceeding Ann.Conv.29th.
Lunt, P., dan Burgon, G., 2008, The Pemali Formation Of Central Java And
Equivalents: Indicators Of Sedimentation On An Active Plate Margin.
Journal of Asian Earth Sciences.
-. Modul Pemetaan Geologi., Jurusan Teknik Geologi Fakultas Teknologi
Kebumian dan Energi Universitas Trisakti., Jakarta.
Badan Informasi Geospasial (http://www.big.go.id/)

40

Anda mungkin juga menyukai