LAPORAN AKHIR
Oleh
i
ii
DAFTAR ISI
iii
DAFTAR TABEL
Nomor Judul ii
Halaman
iv
DAFTAR GAMBAR
v
DAFTAR LAMPIRAN
vi
RINGKASAN
v
Kawasan hutan yang berada dalam wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan
Konservasi (KPHK) Kuala Lupak merupakan tipe hutan rawa. Hutan rawa sebagai salah
satu tipe hutan yang ada di Indonesia mempunyai peranan yang penting dan strategis
karena keunikan lokasinya, karakteristik hutan dan gambutnya, kekayaan dan
keanekaragaman flora dan faunanya serta fungsinya dalam ekosistem global. Walaupun
demikian, kondisi kehidupan ekonomi masyarakat yang mendiami wilayah-wilayah
hutan rawa pada umumnya tergolong miskin dan bergantung hidupnya dengan hutan.
Konsekuensi dari rendahnya pendapatan adalah masyarakat semakin tergantung pada
sumber daya lahan, semakin sulit mengembangkan potensi diri, standar minimal
kebutuhan masyarakat sulit terpenuhi, dan pada akhirnya masyarakat kurang dapat
berpartisipasi dalam program pembangunan.
Upaya pemberdayaan masyarakat merupakan cara untuk mengangkat harkat
dan martabat masyarakat dalam rangka pengelolaan hutan lestari dan masyarakat
sejahtera. Agar kegiatan pemberdayaan dapat lebih terarah diperlukan suatu model
pemberdayaan masyarakat di dalam dan sekitar hutan rawa bergambut.
Penelitian ini bertujuan untuk (a) mengidentifikasi kondisi modal sumberdaya di
wilayah KPHK Kuala Lupak, (b) mengkaji interaksi masyarakat di dalam dan sekitar
hutan di wilayah KPHK Kuala Lupak dengan sumberdaya hutan, (c) mendeskripsikan
implementasi program pemberdayaan masyarakat yang telah dilaksanakan di wilayah
KPHK Kuala Lupak, (d) mengevaluasi program pemberdayaan masyarakat yang telah
dilaksanakan di wilayah KPHK Kuala Lupak, dan merumuskan model pemberdayaan
masyarakat di di wilayah KPHK Kuala Lupak Kuala Lupak dalam rangka
meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mewujudkan kelestarian hutan.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini merupakan kombinasi antara
penelitian kuantitatif dan penelitian kualitatif. Pembahasan hasil analisis penelitian
kuantitatif akan dapat lebih mendalam dan tidak kering jika dikombinasikan dengan
hasil analisis penelitian kualitatif. Dengan kombinasi ini, akan memberikan pemahaman
yang lebih luas terhadap masalah-masalah penelitian. Penelitian akan dilaksanakan di
desa-desa di wilayah KPHK Kuala Lupak yang mempunyai karakteristik lahan hutan
rawa.
Luaran penelitian terdiri atas luaran wajib dan luaran tambahan. Luaran wajib
pada tahun pertama berupa publikasi ilmiah dalam jurnal International Journal of
Science and Research (IJSR) dengan Impact Factor (IF) 3.358, menjadi penyaji dalam
seminar nasional, dan draft Buku Ajar.
Kata Kunci:Pemberdayaan, Pengelolaan, Sumberdaya Hutan, Hutan Rawa
vii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1
masyarakat adalah sumber daya hutan cenderung semakin rusak karena eksploitasi
kayu galam oleh para peramu, masyarakat semakin sulit mengembangkan potensi
diri, standar minimal kebutuhan masyarakat sulit terpenuhi, dan pada akhirnya
masyarakat kurang dapat berpartisipasi dalam program pembangunan. Kurangnya
lapangan kerja yang tersedia menyebabkan masyarakat semakin tergantung pada
sumber daya hutan dan masyarakat cenderung melegalkan segala cara dalam
mengeksploitasi sumber daya hutan. Kurangnya lapangan kerja mengakibatkan
banyak pengangguran maupun setengah penganggur, sehingga produktivitas
masyarakat rendah dan mudah dihasut untuk melakukan kegiatan yang cenderung
merusak lingkungan. Akibatnya, kelestarian sumber daya hutan semakin terancam.
Himpitan kemiskinan dan ketergantungan masyarakat terhadap sumber daya hutan
berpotensi mengakibatkan eksploitasi sumber daya hutan semakin besar dan hutan
menjadi semakin rusak.
Di sisi lain, dengan interaksi masyarakat dengan sumberdaya maka kesadaran
masyarakat menjaga dan memelihara kelestarian sumber daya hutan juga semakin
besar. Dalam pengelolaan hutan, sejak dulu masyarakat telah menunjukkan kearifan
lokal (indigenous knowledge) yang menjadi bagian terpenting dalam melanjutkan
upaya melestarikan alam, lingkungan, sosial, ekonomi, dan budaya mereka. Mereka
memperlakukan hutan sebagai aset jangka panjang, seperti rekening bank yang bisa
diuangkan sewaktu-waktu. Pendorong utama untuk melanjutkan penanaman hutan
adalah kepentingan komersial, meski tidak bisa dipungkiri nilai-nilai ekologis juga
dipertimbangkan. Petani sangat memahami nilai sebenarnya hutan mereka, sehingga
mereka terus menjaganya (Hinrichs et.al., 2008).
Upaya pemberdayaan masyarakat perdesaan hutan merupakan alternatif
untuk mengangkat harkat dan martabat masyarakat berperan serta dalam pengelolaan
hutan secara berkelanjutan dan mengurangi tekanan masyarakat terhadap hutan dan
lahan hutan. Pemberdayaan masyarakat dalam bentuk pelibatan masyarakat lokal
(partisipasi) dalam rangka pelestarian hutan merupakan hal yang mendasar dan
positif, di mana kesadaran kritis masyarakat dibangun dan dikembangkan, sehingga
masyarakat dapat menjadi sutradara bagi dirinya sendiri dan dapat melakukan
kontrol sepenuhnya terhadap pengelolaan sumber daya hutan (Suprayitno & Lokal,
2008:137). Hal ini sejalan dengan pendapat Cary (1970) bahwa untuk menjamin
2
kesinambungan pembangunan, maka partisipasi masyarakat sangat diperlukan dan
harus tetap diperhatikan dan dikembangkan.
Pemberdayaan masyarakat di dalam dan sekitar hutan bukan merupakan hal
yang baru. Kementerian Kehutanan dan berbagai lembaga serta elemen masyarakat
lainnya telah banyak mengeluarkan kebijakan dan kegiatan yang berkaitan dengan
pemberdayaan masyarakat di seperti Pembinaan Masyarakat Desa Hutan (PMDH),
Gerakan Rehailitasi Hutan dan Lahan (Gerhan), Hutan kemasyarakatan (HKm),
pengembangan perlebahan, Perhutanan Sosial, Kebun Bibit Rakyat, dan Hutan
tanaman Rakyat (HTR).
Walapun sudah banyak program pemberdayaan masyarakat di bidang
kehutanan dilaksanakan, namun masih jauh dari apa yang diharapkan visi kehutanan
mewujudkan hutan lestari dan masyarakat sejahtera. Sehingga perlu ada evaluasi
terhadap kegiatan pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan hutan selama ini.
Dengan adanya evaluasi tersebut, akan dapat diketahui sampai sejauh mana kegiatan
tersebut mampu membangun perilaku masyarakat yang peduli terhadap kelestarian
hutan.
Pada saat KPHK Kuala Lupak ditetapkan oleh Menteri Kehutanan, UPTD
KPHK Kuala Lupak belum mempunyai perencananaan pemberdayaan masyarakat di
dalam wilayah KPHK Kuala Lupak, yang ada hanya berupa rencana kegiatan fisik
atau teknis saja. Padahal menurut Menurut Marfai (2005:122), keberhasilan maupun
kegagalan pembangunan hutan tidak lepas dari peran serta masyarakat lokal. Oleh
karena itu, agar kegiatan pemberdayaan dapat lebih terarah diperlukan suatu model
pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan hutan. Pengaturan yang baik atas
alokasi, akses dan pengawasan dapat menjadi faktor pendorong (incentive) yang
cukup efektif untuk pengelolaan hutan yang lestari, namun sebaliknya kesalahan
dalam mengelola ketiga faktor tersebut dapat mengakibatkan hancurnya sistem hutan
(Barber et al., 1994). Oleh karena itu agar program pemberdayaan masyarakat di
dalam dan sekitar hutan dapat berjalan dengan baik, maka pola alokasi, akses, dan
pengawasan harus mendapatkan perhatian yang seimbang dan menyeluruh yang
diatur di dalam suatu konstruksi pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan hutan.
3
B. Perumusan Masalah Penelitian
4
b) Sebagai referensi para pengambil kebijakan dalam mengimplementasikan
desain model pemberdayaan masyarakat di wilayah KPHK Kuala Lupak.
D. Keutamaan Penelitian
E. Kebaruan (Novelty)
Nilai kebaruan (Novelty) dari penelitian ini terletak pada penyusunan model
pemberdayaan dengan menggunakan hasil pengkajian terhadap perilaku masyarakat
yang diberdayakan dan penyuluh kehutanan sebagai pelaku pemberdayaan dengan
pendekatan dasar teori pembelajaran perilaku (behavioristik) dan teori pembelajaran
humanistik sesuai Taksonomi Bloom. Model pengelolaan sumberdaya hutan berbasis
pemberdayaan masyarakat dalam kawasan hutan KPHK Kuala Lupak juga sesuatu
yang baru karena dalam pendekatan penyusunan model mempertimbangkan secara
komprehensif faktor interaksi masyarakat dengan hutan, kondisi modal
5
sumberdaya, evaluasi hasil pemberdayaan sebelumnya, dan kriteria sosial ekonomi
ekologi.
F. Kerangka Pikir Penelitian
6
Proses pemberdayaan masyarakat dievaluasi dari keterlibatan masyarakat
dalam identifikasi masalah, perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan kontrol.
Dalam menyusun model pemberdayaan masyarakat selain dikaitkan dengan hasil
evaluasi pemberdayaan masyarakat yang selama ini telah dilaksanakan, juga harus
dikaitkan dengan potensi atau asset komunitas masyarakat sebagai modal dasar
dalam melakukan pemberdayaan. Secara singkat kerangka pikir penelitian
pemberdayaan masyarakat hutan divisualisasikan pada Gambar 1.
Kawasan KPHK
Kuala Lupak
Pemberdayaan Perhutanan
(Proses Sosial
Pembelajaran)
Teori Behavioristik
Belajar Trial and Evaluasi Pemberdayaan
Error (Thorndike) Masyarakat
Pengkondisian
Operan (Skinner)
Teori Belajar
Sosial (Bandura) Proses Pembangunan
Perilaku
Pemberdayaan Hutan
Teori Humanistik
Teori Bloom
(Taksonomi Bloom)
Teori FRM
Teori Perilaku Sosial (Simon)
Pertukaran Sosial
(Homans)
Model Pengelolaan SDH
Model Pemberdayaan Model Pengelolaan SDH
Model Pemberdayaan
Berbasis Pembelajaran
7
II. TINJAUAN PUSTAKA
1. Pengertian
8
tetapi juga aset atau modal yang lain. Aset-aset yang ada di masyarakat perlu untuk
dipertimbangkan dan diperhatikan dalam proses pemberdayaan masyarakat.
Dalam pemikiran ekosistem, sangat jelas bahwa hutan dan fungsi hutan tidak
dapat dilepaskan dari pengaruh manusia dalam memanipulasi penggunaan dan
pemanfaatan sumberdaya hutan untuk kepentingan kehidupan dan lingkungan.
Jutaan masyarakat, kehidupannya tergantung kepada produksi dan jasa hasil hutan
rekreasi, penelitian, sumber ekonomi, penjaga lingkungan dan penjaga kelestarian
plasma nuftah untuk kebutuhan manusia, tumbuhan dan hewan, dan lainnya
(Awang, 2003:83).
C. Landasan Teori
1. Teori Belajar
9
stimulus dan respons terjadi sebagai akibat dari proses trial and error. Teori
pengkondisian operan yang dikemukakan B.F Skinner (1965) menyebutkan perilaku
operan dapat meningkatkan sebuah perilaku dan mengulanginya kembali atau bahkan
menghilangkan perilaku sesuai dengan yang diinginkan. Teori belajar Sosial yang
dikemukakan Bandura (2001:11) menyatakan pentingnya proses mengamati dan
meniru perilaku dalam proses belajar, membentuk sikap, serta memengaruhi reaksi
orang lain dalam proses belajar.
10
Gambar 2. Taksonomi Perilaku Bloom (1956)
Teori yang berorientasi lingkungan dalam psikologi lebih banyak dikaji oleh
behavioristik. Perilaku terbentuk karena pengaruh umpan balik dan pengaruh
modelling. Digambarkan bahwa manusia sebagai black-box yaitu kotak hitam yang
siap dibentuk menjadi apa saja. Dalam psikologi teori ekologi dengan tokohnya Urie
Bronfenbrenner yang berparadigma lingkungan menyatakan bahwa perilaku
seseorang tidak berdiri sendiri, melainkan dampak dari interaksi orang yang
bersangkutan dengan lingkungan.
11
hanya untuk untuk menghasilkan kayu pertukangan, melainkan untuk memanfaatkan
sumberdaya kawasan hutan bagi semua jenis hasil hutan yang dapat dihasilkan di
tempat yang bervariasi menurut lokasi. Orientasi pengelolaan hutan bagi kepentingan
dan kebutuhan masyarakat, khususnya yang bertempat tinggal di dalam dan sekitar
hutan sehingga diupayakan memaksimumkan produktivitas tiap jengkal kawasan
hutan.
Karena tujuan pengelolaan hutan tidak lagi hanya menghasilkan kayu
pertukangan, melainkan hasil apa saja yang tersedia di tempat dan sesuai dengan
kondisi fisik wilayah maupun tuntunan sosial-ekonomi masyarakat, maka bentuk
pengelolaan hutan ini dinamakan Pengelolaan Sumber Daya Hutan (Forest Resource
Management).
D. Penelitian Terdahulu
Penelitian sebelumnya lebih banyak mengkaji dari aspek teknis dan biofisik
pada hutan rawa gambut seperti yang dilakukan Wahyuni (2011) yang berjudul
Rancang Bangun Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi (KPH) Kuala Lupak
Kabupaten Barito Kuala yang merekomendasikan arah pembangunan hutan untuk
konservasi perlindungan cagar alam. Penelitian Suyanto (2009) menitikberatkan
aspek potensi keanekaragaman tumbuhan obat yang berada pada hutan rawa di
Kalimantan Selatan. Penelitian Fauzi (2011) yang meneliti Pola Agroforestry pada
Hutan Rakyat di Lahan Rawa Bergambut menunjukkan bahwa pertumbuhan tanaman
Jelutung yang ditanam dengan pola agrorestry mengalami peningkatan karena
adanya input hara tidak langsung pada saat pemupukan tanaman pertanian. Fauzi
(2009) meneliti keadaan sosial ekonomi masyarakat di dalam dan sekitar kawasan
hutan di Kabupaten Barito Kuala dimana diketahui pada umumnya pendapatan
masyarakat tergolong miskin 46,15% dan hampir miskin 23,08%. Ketergantungan
masyarakat terhadap lahan hutan tergolong tinggi dengan skor 15,87. Masyarakat
menggunakan lahan hutan rawa untuk kepentingan budidaya tanaman pertanian
berupa sawah dan perkebunan. Akhdiyat (2009) meneliti partisipasi masyarakat yang
ada di dalam program hutan rakyat tergolong rendah.
12
BAB III
METODE PENELITIAN
B. Penentuan Lokasi
Berdasarkan data awal yang telah dikumpulkan dan hasil diskusi dengan
Kepala Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) Kalimantan Selatan diperoleh
informasi bahwa wilayah kawasan hutan konservasi di Kalimantan Selatan
merupakan lahan rawa bergambut yang sebagian besar telah dikuasai oleh
masyarakat. Kawasan Konservasi dalam penelitian ini adalah SM Kuala Lupak dan
SM Pulau Kaget. Lokasi penelitian ini di Desa Kuala Lupak (kawasan Suaka
Margasatwa Kuala Lupak), dan Desa Tabunganen Muara, Desa Tabunganen Kecil,
dan Desa Sungai Telan Kecil (kawasan Cagar Alam Pulau Kaget).
13
C. Sumber Data
Sumber data yang diperlukan untuk penelitian ini diperoleh langsung dari
responden, informan dan hasil pengukuran tanaman pada lahan perhutanan sosial
pada plot terpilih, serta dari literatur pustaka.
1. Populasi dan Responden
Populasi dalam penelitian ini dimaksudkan sebagai keseluruhan (universum)
dari obyek penelitian yang berupa individu anggota Kelompok Tani Hutan (KTH) di
desa terpilih yang pernah terlibat dalam program pemberdayaan masyarakat di
bidang perhutanan sosial. Sejak tahun 2003 telah dilaksanakan 7 paket program
perhutanan sosial dalam bentuk pembangunan hutan sebagaimana dapat dilihat pada
Tabel 1.
Tabel 1. Program Perhutanan Sosial di lokasi penelitian
No Kegiatan Jumlah Peserta (KK)
1 Gerhan 2003 50
2 Gerhan 2004 113
3 Gerhan 2004 39
4 HKm 2005 50
5 HKm 2008 89
6 Agroforestri 2007 124
7 Agroforestri 2009 75
Jumlah 540
Cara pengambilan sampel dengan teknik purposive random sampling dengan
pertimbangan sebagaimana penentuan populasi. Penetapan jumlah sampel didasarkan
pada banyaknya jumlah individu sesuai yang dirumuskan oleh Slovin pada taraf
kepercayaan 95% atau tingkat toleransi terjadinya galat 5% (Steph Ellen, 2005).
Berdasarkan kriteria pengambilan populasi dan sampel di atas, maka jumlah
responden disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Sebaran populasi dan responden setiap desa di lokasi penelitian
Jumlah (jiwa)
No. Nama Desa
Unit Populasi Unit Sampel
1. Kuala Lupak 113 48
2. Telan Kecil 174 74
3 Tabunganen Muara 139 59
4. Tabunganen Kecil 114 49
Jumlah 540 230
14
2. Informan Penelitian
Penentuan informan menggunakan teknik purposive sampling dan snowball
sampling. Pada awalnya informan dipilih berdasarkan tujuan tertentu (purposive)
didasarkan kepada pengetahuan, pengalaman, dan jabatannya berkaitan dengan
kebijakan kehutanan di KPHK Kuala Lupak, dan perhutanan sosial. Selanjutnya
berdasarkan informasi yang diperoleh dari informan sebelumnya itu, peneliti dapat
menetapkan informan lainnya yang diharapkan dapat memberikan data lebih
lengkap.
D. Variabel Penelitian
1. Kondisi Modal Sumberdaya
a) Modal fisik (physical capital)
Variabel modal fisik yang dimaksud dalam penelitian ini adalah persepsi
responden terhadap sarana produksi, pendidikan, kesehatan, komunikasi dan
transportasi dengan sejumlah parameter (Tabel 3).
Tabel 3. Indikator dan Variabel Modal Fisik
No. Indikator Parameter (patokan)
1. Sarana Produksi - Ketersediaan lahan untuk perhutanan sosial
- Ketersediaan bibit unggul
- Keterjangkauan harga bibit
- Ketersediaan Pupuk
- Ketersediaan alat-alat pertanian
2. Sarana Prasarana - Keberadaan tempat untuk diklat kehutanan
Pendidikan bagi masyarakat
- Kelayakan tempat Gedung untuk diklat
kehutanan bagi masyarakat
- Ketersediaan alat belajar mengajar
- Ketersediaan tenaga fasilitator
3. Sarana Prasarana - Keberadaan Gedung Puskesmas, Klinik, dll
Kesehatan - Kelayakan Gedung Puskesmas, Klinik, dll
- Ketersediaan alat-alat medis
- Ketersediaan obat-obatan
- Ketersediaan tenaga paramedis
4. Sarana Prasarana - Tingkat ketersediaan lembaga penyedia modal
Ekonomi seperti perbankan, KUD dan sejenisnya
- Tingkat Kelayakan Lembaga Penyedia modal
seperti perbankan, KUD dan sejenisnya
- Tingkat ketersediaan fasilitas pasar
- Tingkat kelayakan fasilitas pasar
5. Sarana Prasarana - Ketersedian Peralatan Jaringan Komunikasi
Komunikasi - Kelayakan Jaringan Komunikasi
15
- Ketersediaan Kantor Pos
- Kelayakan kantor Pos
6. Sarana Prasarana - Ketersediaan prasarana transportasi (darat/air)
transportasi - Kelayakan sarana transportasi (sepeda motor,
mobil, perahu)
16
3. Ketaatan terhadap - Tingkat ketaatan terhadap norma agama yang
norma dianut
- Tingkat ketaatan terhadap norma adat yang berlaku
- Tingkat ketaatan terhadap aturan hukum formal
4. Kepedulian terhadap - Kepedulian terhadap sesama
sesama - Kedekatan dengan orang yang diberi perhatian
5. Keterlibatan dalam - Tingkat keinginan untuk menambah dan membagi
aktivitas organisasi pengalaman terhadap sesama
sosial - Frekuensi mengikuti kegiatan organisasi sosial
- Jumlah organisasi sosial yang diikuti
- Partisipasi dalam pengambilan keputusan pada
organisasi sosial
2. Perilaku Masyarakat
a) Aspek Perilaku
17
Tabel 6. Parameter Kemampuan Penyuluh Kehutanan sebagai Pelaku Pemberdayaan
No Ranah/Jenjang Parameter
A. Ranah Kognitif
Memahami pengetahuan pemberdayaan, penyuluhan,
1 Memahami
teknis kehutanan,pemasaran hasil hutan
Mengaplikasikan hasil pelatihan seperti pengendalian
2 Menerapkan kebakaran, pengaturan jarak tanam, pemilihan jenis
tanaman
Menganalisis program pemberdayaan yang telah
3 Menganalisis
dilaksanakan dan konflik lahan
4 Mengevaluasi Mereview kegiatan yang telah dilaksanakan
5 Menciptakan Membangun demplot percontohan, hasil hutan unggulan
B Ranah Afektif
Menerima pengetahuan tentang pemberdayaan, perhutanan
1 Menerima
sosial, teknis kehutanan
Menanggapi pengetahuan yang diterima dan curahan
2 Menanggapi
pendapat masyarakat
3 Menilai Menilai pengetahuan dan curahan pendapat masyarakat
4 Mengelola Mengorganisasi nilai-nilai kegiatan pemberdayaan
5 Menghayati Menghayati peran sebagai tenaga penyuluh kehutanan
C Ranah Psikomotorik
Mempunyai persiapan yang tergambar dalam Rencana
1 Kesiapan
Penyuluhan Kehutanan
Reaksi yang
2 Menerapkan penyuluhan kehutanan sesuai pedoman
diarahkan
Menerapkan keterampilan kehutanan secara alami untuk
3 Reaksi natural
mengatasi berbagai hal
Reaksi yang Mengembangkan berbagai keterampilan seperti inventore
4
kompleks hutan, silvikultur, pemanenan dan jaringan kerja pemasaran
Penyuluh mampu beradaptasi dengan situasi kondisi lokal
5 Adaptasi
di masyarakat
Penyuluh mempunyai kreativitas materi maupun metode
6. Kreativitas
penyuluhan
18
Tabel 7. Indikator dan Parameter Tingkat Keberdayaan Masyarakat
No Indikator Parameter
A. Ranah Kognitif
Memahami pengetahuan dalam pengelolaan hutan, teknis
1 Memahami
pembangunan hutan, dan pemasaran
2 Menerapkan Mengaplikasikan hasil pelatihan yang diperoleh
Membuat kesimpulan, mencari sumber pengetahuan lain,
3 Menganalisis membedakan jenis tanaman, pupuk, kualitas bibit, & solusi
masalah
Menilai hasil, membandingkan pengetahuan, dan menetapkan
4 Mengevaluasi
ketepatan rekomendasi penyuluh
5 Menciptakan Merencanakan membangun demplot, rencana pemberdayaan
B Ranah Afektif
Menghadiri dan mendengarkan penyuluhan dan diklat,
1 Menerima meminati program penyuluhan kehutanan dalam rangka
pemberdayaan masyarakat
Menyampaikan pendapat/opini dan dukungan terhadap
2 Menanggapi
program kehutanan
3 Menilai Kepuasan terhadap program kehutanan berbasis masyarakat
Keberanian mengkombinasikan berbagai pengetahuan
4 Mengelola
kehutanan hutan berbasis masyarakat
Memilki kepedulian, dan menghayati peran sebagai pelaku
5 Menghayati
pembangunan hutan
C Ranah Psikomotorik
Petani trampil meniru aktivitas pembangunan hutan yang
1 Peniruan
dilakukan orang lain
Petani trampil mereproduksi aktivitas pembangunan hutan
2 Manipulasi
berdasarkan instruksi tertulis atau verbal
Petani trampil melakukan aktivitas pembangunan hutan tanpa
3 Presesi
fasilitasi, arahan, pendampingan
Petani trampil mengintegrasikan keahlian dalam aktivitas
4 Artikulasi
pembangunan hutan
5 Naturalisasi Petani trampil mengembangkan kreativitas
b) Proses Pemberdayaan
19
Tabel 8. Indikator dan parameter proses pemberdayaan
No. Indikator Parameter (Ukuran)
1. Analisis - Keterlibatan dalam melakukan kajian terhadap kondisi
Masalah situasi yang dihadapai masyarkat.
- Keterlibatan dalam identifikasi potensi yang dimiliki
- Keterlibatan dalam melakukan identifikasi masalah yang
dihadapi
- Keterlibatan dalam penentuan prioritas masalah yang
harus dipecahkan
- Keterlibatan dalam pembuatan laporan analisis masalah
No. Indikator Parameter (Ukuran)
2. Perencanaan - Keterlibatan dalam menentukan jenis program apa yang
dilakukan
- Keterlibatan dalam menentukan siapa yang melakukan
program
- Keterlibatan dalam menentukan input yang digunakan
- Keterlibatan dalam menentukan sumber dan besarnya
biaya yang digunakan
- Keterlibatan dalam menentukan waktu dan lokasi
pelaksanaan program
3. Kelembagaan - Keterlibatan dalam organisasi kelompok tani hutan
- Keterlibatan secara aktif dalam KTH
- Keterlibatan dalam pembuatan laporan akhir
4. Pelaksanaan - Keterlibatan dalam pelaksanaan sosialisasi program
- Keterliabatan dalam rekrutmen sasaran program
- Keterlibatan dalam pencairan dana
- Keterlibatan dalam pelaksanaan program
- Keterlibatan dalam pembuatan laporan akhir
5. Evaluasi - Keterlibatan dalam perencanaan evaluasi
- Keterlibatan dalam pelaksanaan evaluasi
- Keterlibatan dalam pembuatan laporan evaluasi
E. Instrumen
20
1. Validitas
2. Reliabilitas
21
data yang terdiri dari pengkategorian data awal, dan pengolahan data menggunakan
teknik distribusi frekuensi melalui perhitungan statistika sederhana.
Tingkatan penilaian kondisi modal sumberdaya dihitung berdasarkan jawaban
responden menggunakan skala ordinal yang diklasifikasikan sebagai berikut:
Tabel 9. Katagore Tingkatan Modal Sumberdaya berdasarkan persentase pencapaian
Skor Maksimum
No. Pencapaian Skor Maksimum Katagore Penilaian
1. 33,33-55,55 Rendah/tidak tersedia
2. > 55,55-77,77 Sedang/cukup tersedia
3. > 77,77-100 Tinggi/tersedia
22
Dimana:
Sk = Skor
B = Jumlah Jawaban Betul
S = Jumlah Jawaban Salah
N = Alternatif Pilihan
Bb = Bobot Jawaban Betul
Dimana:
i = nilai interval
R = skor kumulatif tertinggi
r = skor kumulatif terendah
k = jumlah kelas
Untuk mencari skor rata-rata masing-masing responden dengan rumus
sebagai berikut (Levis, 2010):
Dimana:
= skor rata-rata untuk responden ke-1
L = nilai skala likert yang diperoleh (1,2,3,4,5)
n = Jumlah pertanyaan
23
Untuk mengetahui pada tingkatan manakah domain dan katagore masing-
masing sikap, pengetahuan, keterampilan seorang responden berada maka dapat
dihitung dengan rumus:
x 100%
x 100%
x 100%
Dimana
24
Hasil perhitungan kuantitatif dianalisis dengan menggunakan pendekatan
statistik deskriptif yang selanjutnya dipertegas dan digali informasi lebih mendalam
menggunakan pendekatan wawancara terhadap dengan informan yang selanjutnya
dilakukan analisis secara kualitatif berdasarkan model interaktif Miles dan
Huberman.
25
BAB IV
Modal fisik merupakan suatu hal yang penting dalam melakukan proses
pemberdayaan. Modal fisik yang dimaksud dalam penelitian ini adalah sarana
produksi, pendidikan, kesehatan, komunikasi dan transportasi. Data empiris
menunjukkan bahwa persepsi masyarakat di sekitar KPHK Kuala Lupak terhadap
modal fisik sebagaimana disajikan pada Tabel 11.
Tabel 11. Persepsi responden terhadap ketersediaan modal fisik
26
aktivitas di bidang pertanian tanaman pangan dan/atau hortikultura. Sedangkan bagi
Kelompok Tani Hutan (KTH) yang notabene memelihara tanaman hutan tidak
mempunyai akses untuk memperoleh pupuk tersebut. Selama ini KTH hanya bisa
memperoleh pupuk bantuan kehutanan atau membeli pupuk non subsidi yang
harganya lebih mahal dengan jumlah terbatas. Padahal menurut (Suratiyah K, 2008),
pupuk sangat diperlukan untuk pertumbuhan tanaman karena akan membantu proses
metabolisme tanaman, dengan pemberian pupuk sesuai dengan dosis yang di berikan
akan membuat tanaman lebih subur lagi.
Ketersediaan sarana produksi seperti lahan, alat-alat pertanian, pupuk, obat-
obatan dan sarana pengairan yang memadai akan mendorong masyarakat yang
bermata pencaharian sebagai petani untuk melakukan kegiatan usahataninya secara
optimal (Sidu, 2006). Usaha untuk menyediakan sarana fisik di bidang pertanian,
merupakan suatu upaya untuk memberdayakan masyarakat perdesaan hutan agar
mereka dapat memperoleh penghasilan yang dapat mencukupi kebutuhan keluarga
melalui kegiatan usaha pertanian. Usaha pertanian yang dilakukan secara serius dan
didukung oleh sarana yang memadai diharapkan dapat meningkatkan tingkat
kesejahteraan keluarganya dan mengurangi tekanan terhadap hutan. Dengan
penghasilan yang diperoleh dari hasil pertanian akan dapat menutupi kebutuhan
selagi menunggu pemanenan hasil hutan (kayu) yang baru bisa dipanen minimal
umur 7 tahun.
Sarana pertanian yang memadai akan lebih optimal pemanfaatannya jika
didukung oleh sumberdaya manusia (petani) yang memiliki pengetahuan dan
ketrampilan terhadap bidang usaha yang ditekuninya. Peningkatan pengetahuan dan
keterampilan masyarakat sekitar kawasan hutan dapat dilakukan melalui pendidikan
formal dan non formal. Untuk mendukung terselenggaranya pendidikan, maka
pemerintah perlu menyediakan sarana pendidikan, kesehatan, ekonomi, komunikasi
dan transportasi yang memadai.
Peningkatan kualitas sumberdaya manusia merupakan hal yang utama dalam
usaha menuju terciptanya masyarakat yang berdaya dan mandiri. Oleh karena itu,
agar masyarakat dapat meningkatkan sumberdayanya maka perlu didukung dengan
kondisi kesehatan yang prima. Masyarakat yang memiliki kesehatan yang prima akan
sangat mendukung dalam melakukan aktivitas pendidikan dengan baik. Oleh karena
27
itu, jaminan kesehatan melalui pelayanan yang prima, kematangan ekonomi,
interaksi dan mobilitas masyarakat yang terbangun dengan dasar saling
menguntungkan merupakan pendukung untuk meningkatkan sumberdaya manusia
yang berkualitas.
Pelayanan kesehatan yang prima hanya dapat dilakukan jika sarana kesehatan
yang ada di desa-desa sekitar kawasan hutan tersedia. Masyarakat yang
membutuhkan pelayanan kesehatan tidak perlu mengeluarkan biaya transportasi dan
komunikasi yang tinggi untuk mencari tempat berobat yang memiliki fasilitas yang
baik, obat-obatan dan tenaga medis yang memadai.
Kematangan ekonomi masyarakat merupakan hal penting dalam
meningkatkan tingkat pendidikan. Kematangan ekonomi masyarakat sekitar kawasan
hutan akan tercapai, jika sarana ekonomi yang dibutuhkan dalam menciptakan dan
memperkuat usaha-usaha produktif sudah memadai, misalnya adanya lembaga
penyedia modal dengan prosedur administrasi yang mudah dan suku bunga yang
terjangkau. Selain itu, sarana pasar juga sangat penting sebagai tempat terjadi proses
jual beli hasil-hasil usaha yang dilakukan masyarakat. Hasil pengamatan
menunjukkan bahwa keberadaan pasar merupakan salah satu kendala bagi
masyarakat yang memiliki hasil usaha, terutama hasil pertanian untuk diperjual
belikan.
Kondisi ini salah satu faktor yang mendorong masyarakat untuk tetap
melakukan kegiatan usaha pertanian yang konsumtif bukan untuk di perdagangkan.
Proses interaksi masyarakat melalui bentuk-bentuk komunikasi tertentu sangat
berperan dalam menambah pengetahuan, pengalaman dan keterampilan masyarakat.
Jika dikaitkan dengan era globalisasi saat ini, sarana komunikasi sangat membantu
masyarakat untuk menambah pengetahuan, pengalaman dan keterampilannya secara
cepat melalui informasi, baik melalui media elektronik maupun media cetak. Tidak
kecuali masyarakat desa yang ada di sekitar kawasan hutan, sarana komunikasi perlu
menjadi perhatian yang serius bagi semua pihak yang memiliki kepentingan dengan
kelestarian kawasan hutan. Demikian juga ketersediaan sarana transportasi
merupakan hal yang tidak kalah pentingnya dengan sarana-sarana yang lain yang
mendukung kegiatan keseharian masyarakat. Transportasi yang memadai akan
mendukung mobilitas masyarakat dalam beraktivitas dalam rangka pemenuhan
28
kebutuhannya. Sarana komunikasi melalui jaringan telpon seluler (telkomsel,
indosat, XL) telah bisa diakses dengan baik. Begitu juga dengan akses kantor pos
dan media cetak, masyarakat bisa memperolehnya walaupun harus ke ibukota
kecamatan.
Kelembagaan ekonomi setiap desa seperti koperasi dan lembaga ekonomi
desa lainnya belum ada, sehingga kalau ada anggota masyarakat yang ingin
memperoleh tambahan modal terpaksa harus meminjam rentenir atau bank di ibukota
Kecamatan/Kabupaten.
29
Kualitas modal manusia yang berada pada kategori sedang disumbangkan
oleh pengalaman masyarakat dalam perhutanan sosial. Hal ini lebih jelas ditegaskan
oleh informan Bapak Basrani:
Kalau dalam urusan pengalaman angggota kelompok tani di sini rata-rata
sudah berpengalaman dalam menanam tanaman hutan. Untuk
meningkatkan pengetahuan, hampir tiap tahun sebelum pelaksanakan fisik,
kami sering mengikuti diklat yang dilaksanakan pihak kehutanan seperti
Pengelolaan Hutan Mangrove, Gerhan, Hutan Kemasyarakatan,
Agroforestri, perlebahan dll. Kami pun pernah studi banding ke Jawa
(Program PHBM Perhutani) (Wawancara tanggal 27 Mei 2015)
Menurut Kolb (1984) proses belajar yang terjadi pada orang dewasa
merupakan proses pengalaman. Proses pengalaman tersebut terjadi melalui empat
tahap, yaitu : dari pengalaman nyata, pengamatan dan refleksi, pembentukan konsep
(pembuatan kesimpulan), dan penerapan atau praktek. Agar orang dewasa dapat
belajar dengan efektif ia membutuhkan kemampuan-kemampuan yang berbeda. Ia
harus mampu melibatkan dirinya sendiri secara penuh, terbuka dan tidak ada bias
dari pengalamannya yang baru; ia harus mampu merefleksikan dan mengamati
pengalaman tersebut dari berbagai sudut pandang; ia harus mampu merumuskan
konsep dari hasil pengalamannya menandai teori yang logis; dan ia harus mampu
mempergunakan konsep tersebut sebagai panduan dalam melakukan kegiatan.
Setelah keempat langkah tersebut dilalui, seseorang akan memperoleh pengalaman
baru, dimana pengalaman baru tersebut akan direfleksikan kembali, lalu dibuat
kesimpulan baru, dan diterapkan demikian seterusnya hingga daur belajar akan
terulang kembali.
Pengalaman perhutanan sosial diperoleh melalui pelatihan yang sering
diadakan sebelum proyek fisik kehutanan yang bertujuan untuk mempersiapkan
anggota kelompok tani melaksanakan kegiatan fisik agar tercapai tujuan
pembangunan hutan yang diharapkan. Melalui pelatihan, seseorang atau komunitas
akan mampu mengembangkan tingkah laku (pengetahuan, sikap, keterampilan) agar
mencapai sesuatu yang diinginkan (Robinson, 1981;12). Menurut Brundage
(1981:73), pelatihan pada umumnya ditujukan kepada orang dewasa.
Pelatihan yang diikuti anggota KTH sebagai upaya meningkatkan kualitas
keahliannya. Hal ini sebagaimana yang dikemukakan Sayuti (1995:131), ada tiga
30
aktivitas yang dapat dilakukan individu-individu yang mungkin meningkatkan
kualitas keahliannya, yaitu: (1) pengetahuan dari pendidikan formal; (2)
memperbaiki keahlian atau ketrampilan melalui pengalaman kerja, dan (3) melalui
pelatihan khusus yang direncanakan untuk meningkatkan produktivitas pekerja,
khususnya dalam industri dan jasa.
Lebih jauh Marzuki (2015), menyatakan bahwa dengan pelatihan diharapkan
terjadi perbaikan tingkah laku pada partisipan pelatihan yang sebenarnya merupakan
anggota suatu organisasi, dan bagi organisasi akan menjadi lebih efektif. Kondisi ini
diakui informan Bapak Junaedi :
Pelatihan kehutanan membuat pengetahuan kami menjadi bertambah dan
meningkatkan motivasi kami untuk melaksanakan kegiatan perhutanan
sosial (wawancara tanggal 28 Mei 2015)
31
mengikuti pendidikan dengan baik dibanding yang kurang sehat. Penerimaan
terhadap pelajaran di sekolah juga akan berbeda antar yang memiliki tingkat
kesehatan yang baik dengan yang kurang sehat.
Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Todaro (2005) yang menyatakan bahwa
modal pendidikan yang lebih baik dapat meningkatkan pengembalian atas investasi
kesehatan karena banyak program kesehatan bergantung pada keterampilan dasar
yang dipelajari di sekolah, termasuk kesehatan pribadi dan sanitasi. Di sisi lain,
kesehatan yang baik dapat meningkatkan pengembalian atas investasi dalam
pendidikan karena kesehatan merupakan faktor utama agar dapat mengikuti proses
pembelajaran formal.
Pendidikan dan kesehatan yang memadai akan sangat membantu masyarakat
dalam meningkatkan pengetahuan dan ketrampilannya. Pengetahuan dan ketrampilan
yang memadai terhadap usaha atau kegiatan yang akan dilakukan akan menentukan
berhasil tidaknya usaha dan kegiatan tersebut. Misalnya seorang petani yang
memiliki pengetahuan dan ketrampilan bertani yang memadai cenderung bertani
lebih baik dan memperoleh hasil yang lebih memuaskan dibanding petani yang tidak
memiliki pengetahuan dan ketrampilan sama sekali. Mereka akan lebih hati-hati
dalam melakukan aktivitas pertanian yang mengakibatkan kerusakan lingkungan,
karena mereka paham akibat yang ditimbulkan jika lingkungan (hutan) itu rusak.
Kaitannya dengan proses pemberdayaan, masyarakat yang memiliki tingkat
pendidikan dan kesehatan yang baik cenderung memiliki pengetahuan dan
ketrampilan serta kemampuan membangun jaringan/hubungan antar sesama yang
memadai, sehingga mereka akan lebih berpartisipasi dalam kegiatan yang memiliki
nilai positif terhadap kehidupan bermasyarakat. Keterlibatan atau partisipasi
masyarakat dalam proses pemberdayaan merupakan salah satu kunci keberhasilan
dalam membentuk masyarakat berdaya dan mandiri, baik berdaya secara sosial,
ekonomi maupun politik.
Berdaya secara sosial artinya, masyarakat memiliki kemampuan mengakses
sumber-sumber produktif, terbuka dengan dunia luar sehingga dapat bersaing secara
rasional dengan masyarakat kapitalis atau masyarakat pengusaha. Berdaya secara
ekonomis artinya, masyarakat dengan usaha yang dilakukannya dapat memperoleh
keuntungan yang dapat memenuhi kebutuhan keluarganya dan dapat merencanakan
32
kebutuhan masa depannya yang lebih baik. Berdaya secara politik artinya,
masyarakat memiliki kebebasan dalam proses pengambilan keputusan terhadap sikap
yang diambil dalam proses politik, tidak dalam keadaan tertekan, dipaksa atau
diintimidasi oleh pihak-pihak yang memiliki kepentingan terhadap keberadaan
dirinya.
Peningkatan kualitas modal manusia masyarakat merupakan hal penting
dalam menghadapi perkembangan teknologi dan informasi saat ini. Semua pihak
harus memahami bahwa modal manusia memiliki pengaruh terhadap keberhasilan
dalam berusaha. Seperti yang pernah dikemukakan oleh Coleman (1998), Fukuyama
(2002), Todaro (2005) bahwa modal untuk usaha tidak lagi melulu berwujud tanah,
pabrik, alat-alat dan mesin melainkan akan segera didominasi oleh modal manusia
seperti; pendidikan, kesehatan, pengetahuan dan ketrampilan serta keeratan
hubungan antara sesama.
Modal sosial dapat dipahami sebagai suatu norma atau nilai yang telah
disepakati bersama oleh masyarakat yang dapat memperkuat jaringan kerjasama
yang saling menguntungkan, menumbuhkan kepedulian dan solidaritas yang tinggi
dan dapat mendorong tingkat kepercayaan antara sesama/kelompok/institusi dalam
rangka tercapainya tujuan bersama. Dalam penelitian ini, aspek modal sosial yang
dikaji adalah terjalinnya kerjasama yang baik, tumbuhnya kepercayaan dan
kepedulian antar sesama, kepatuhan terhadap norma yang ada dan keterlibatan dalam
aktivitas organisasi sosial masyarakat. Aspek-aspek modal sosial tersebut diharapkan
akan selalu tumbuh dan berkembang ke arah yang lebih positif di kalangan
masyarakat. Secara rinci hasil penilaian terhadap kualitas modal sosial yang dimiliki
responden disajikan pada Tabel 13.
Tabel 13. Persepsi responden terhadap Kualitas Modal Sosial
33
Tabel 13 menunjukkan bahwa aspek-aspek modal sosial yang dikaji termasuk
dalam kategori sedang (skor 66.49). Tjondronegoro (2005) menjelaskan bahwa
modal sosial dapat menjadi unsur pendukung keberhasilan pembangunan, termasuk
pula dinamika pembangunan pedesaan dan pertanian di Indonesia.
Hasil analisis data empiris menunjukkan bahwa secara umum masyarakat
dalam melakukan kerjasama masih mengedepankan kepentingan bersama,
berprasangka baik (percaya) terhadap sesama, patuh terhadap norma bersama, peduli
atas kondisi orang lain dan selalu terlibat dalam organisasi sosial masyarakat.
Aspek kerjasama antar sesama menunjukkan bahwa masyarakat di lokasi
penelitian memiliki jiwa kerjasama yang baik yang diwujudkan melalui kerjasama
dalam bidang pendidikan, pertanian dan kepentingan bersama dalam masyarakat.
Dengan kerjasama yang baik antara warga masyarakat tentunya akan mampu mencari
solusi dari permasalahan yang dihadapi sebagaimana yang dikemukan Brehm dan
Rahn (1990) dalam Bahtiar (1997). Dalam implementasinya ketika dimulai
pembukaan lahan perladangan, anggota masyarakat secara bersama-sama melakukan
gotong royong dengan sistem arian. Lahan anggota masyarakat yang akan digarap,
secara bersama-sama dibersihkan dulu pada hari tertentu, kemudian pada hari lainnya
membersihkan lahan lainnya. Kerjasama inilah yang menurut Grootaert dan Basteler
(2007) sebagai salah satu dari tiga manfaat modal sosial (social capital), yaitu
partisipasi individu dan jaringan kerja sosial akan meningkatkan ketersediaan dengan
biaya rendah. Keterlibatan anggota kelompok dalam membuka lahan menunjukkan
bahwa jaringan antar individu dalam membuka lahan secara bersama menjadi lebih
efisien dalam penguasaan lahan oleh masyarakat. Hubungan individu dalam
kelompok keluarga yang harmonis menjadi cerminan jaringan yang dibangun oleh
masyarakat untuk mewujudkan penguasaan lahan yang dibuka secara bersama
menujukkan bahwa penguasaan lahan oleh masyarakat didominasi oleh modal sosial.
Dalam konteks modal sosial, keterkaitan jaringan antara petani dengan petani
dalam hal pembukaan lahan merupakan bentuk modal sosial yang masih sangat kuat
karena adanya kerjasama dan pengakuan batas-batas kepemilikan lahan oleh sesama
petani, bahkan dalam perjalanannya hingga sekarang jarang ditemukan konflik antara
petani dengan petani dalam hal tata batas wilayah kepemilikan. Hal ini sejalan
34
dengan pemikiran Bourdieu (1986) bahwa modal sosial menunjuk pada kewajiban-
kewajiban sosial (koneksi) yang dalam kondisi tertentu dapat ditukar dengan modal
ekonomi.
Aspek tingkat kepercayaan terhadap sesama masyarakat di lokasi penelitian
tergolong tinggi. Salah satu pilar utama modal sosial menurut Paldam (2000), adalah
kepercayaan (trust). Dalam lingkup keluarga dan anggota masyarakat masih terjalin
rasa saling percaya. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa keterkaitan rasa saling
percaya (trust) dalam hal status penguasaan lahan hutan antara petani dengan petani
dijumpai dalam bentuk pengakuan hak atas lahan hutan, Pengakuan hak penguasaan
lahan antara sesama petani merupakan wujud kerjasama yang terkoordinasi sehingga
rasa saling percaya antara petani dengan petani merupakan modal sosial yang
terbangun melalui proses pemilikan lahan. Sedangkan dalam hal peralihan hak
pengelolaan lahan dijumpai dalam bentuk bentuk warisan, mangaruni (bagi hasil),
sanda (gadai), dan jual beli lahan. Proses peralihan hak kelola tidak dilakukan secara
administrasi tertulis, kecuali jual beli akan tetapi berdasarkan rasa saling percaya
dalam pemenuhan hak dan kewajiban yang merupakan wujud modal sosial yang kuat
diantara petani. Hal ini sejalan dengan pendapat Putnam (1993) bahwa Modal
sosial merupakan pondasi dasar komunitas yang terdiri dari persediaan kepercayaan
sosial, norma dan jaringan kerja dimana masyarakat dapat menggambarkan
penyelesaian problem umum, sehingga semakin kuat modal sosial, semakin kecil
kemungkinan terjadinya konflik.
Dalam penelitian ini, kepercayaan anggota masyarakat berkaitan dengan
orang luar, dalam hal ini dengan pihak kehutanan masyarakat lebih berhati-hati
dalam melakukan interaksi. Masyarakat di lokasi penelitian lebih percaya tokoh
masyarakat atau tokoh agama dari pada pemerintah atau pihak luar yang sering
mengobral janji yang jarang diwujudkan sesuai aspirasi. Masyarakat menganggap
pemerintah atau pihak luar hanya menjadikan masyarakat sebagai alat untuk
memperoleh paket bantuan atau program. Setelah bantuan atau program tersebut
didapatkan, masyarakat tidak memperoleh sesuai rencana. Tidak jarang bantuan atau
program itu hanya dinikmati oleh orang-orang pemerintah atau pihak ketiga,
sementara implementasi di lapangan tidak sesuai dengan apa yang diprogramkan.
Hal ini ditegaskan informan Bapak Basrani:
35
Tahun 2011, kami disuruh membuat proposal bantuan sosial (bansos)
berupa reboisasi berbasis karet senilai Rp 50.000.000. Namun begitu
realisasi, dana yang kami terima hanya sekitar Rp 35.000.000. Kami waktu
itu tetap harus menandatangani senilai Rp 50.000.000. Katanya untuk biaya
administrasi dan lobby supaya gol, karena banyak anggota kelompok tani
lain yang mengusul. Sebelumnya kami juga pernah di provokasi untuk
menanam sengon, kakao dan nilam, karena nilai jualnya tinggi. Dalam
perjalanannya juga tidak berhasil karena sedikitnya pembinaan, dana
pemeliharaan dan ketidakjelasan pasar. Sekarang ini, kami kurang begitu
percaya lagi dengan kehutanan (Wawancara tanggal 21 Mei 2015)
36
keluarga baru, maka masyarakat harus mentaati norma, kaidah atau aturan pergaulan
dalam bermasyarakat akibat ikatan perkawinan.
Pertama, norma, kaidah atau aturan pergaulan terhadap keluarga inti.
Keluarga inti terdiri dari suami, istri dan anak. Pergaulan dalam keluarga inti ditandai
dengan adanya kerjasama, kesetiaan, solidaritas dan kasih sayang. Dalam pola
pergaulan keluarga inti menggariskan suatu keharusan-keharusan, larangan-larangan
dan pantangan, tanggungjawab, kewajiban dan hak serta peranan dan fungsi baik
secara sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama. Pada masyarakat, pergaulan
antar anggota keluarga inti, misalnya antar suami dan istri secara tradisional
mempunyai norma, kaidah atau aturan bahwa suami/istri harus saling mengayomi,
menghargai, menjaga, memelihara, dan mencintai. Jika hal-hal tersebut tidak berjalan
sebagaimana mestinya, misalnya terjadi pelanggaran, maka akan menimbulkan
disharmonisasi dalam keluarga yang dapat berakhir pada perceraian. Pergaulan antar
orangtua dan anak masyarakat didasarkan pada nilai yang diungkapkan secara
tradisional dengan norma, kaidah atau aturan yang ditanamkan kepada anak
misalnya: anak mencintai orangtua, orangtua mencintai anak dan anak memuliakan
orangtua dan orangtua menghargai anak. Kedua ungkapan tersebut merupakan
landasan orang tua dan anak dalam melakukan interaksi atau aturan dasar dari
interaksi antara orangtua dan anak.
Di lokasi penelitian norma atau aturan yang mendasari interaksi antara anak
dan orangtua sebagai besar masih terjaga. Norma, kaidah atau aturan pergaulan
dengan lingkungan di luar keluarga adalah pergaulan suami istri dengan teman dan
kerabat mereka pada tingkat dan derajat pertama, misalnya mertua, paman/bibi, ipar
dan sepupuh kedua belah pihak. Bagi masyarakat, perkawinan tidak hanya mengikat
suami istri tetapi meleburkan dua keluarga ke dalam satu kesatuan. Hal ini
dibuktikan dari kerjasama yang kuat dalam mempersiapkan perkawinan. Mas kawin
bukan hanya tanggung jawab dari orangtua laki-laki, tetapi merupakan hasil
patungan atau sumbangan dari famili dan kerabat dekat.
Bagi suami, orangtua istri adalah orangtuanya dan disapa seperti menyapa
orangtuanya sendiri. Secara umum keluarga istri adalah keluarga suami dan
sebaliknya. Pola hubungan ini sudah mulai pudar seiring perkembangan zaman.
Anak-anak sudah mulai membantah orang tuanya, dan orangtua juga kadang
37
menelantar anaknya dalam arti tidak diberi kesempatan untuk menikmati masa
kanak-kanaknya, tetapi anak-anak sejak kecil (umur sekolah) sudah diberi beban
untuk membantu orangtua mencari nafkah. Hal seperti ini sudah terjadi di semua
lokasi penelitian. Oleh karena itu, kedepan pola hubungan tradisional masyarakat
perlu dimasyarakatkan kembali melalui muatan lokal pendidikan.
Berdasarkan pengamatan dilapangan pudarnya norma, kaidah atau aturan
pergaulan antara anak dan orangtua sebagian besar didasari oleh ketidaktahuan dan
pengaruh media yang berkembang sangat pesat. Peningkatan modal manusia dapat
dilakukan melalui pendidikan baik secara formal maupun non formal. Melalui
pendidikan, masyarakat akan beinteraksi dan berasosiasi antar sesama, sehingga
memperoleh pengetahuan dan ketrampilan yang memadai. Namun perlu diingat,
bahwa masyarakat akan dapat mengikuti pendidikan dengan baik, jika memiliki
kesehatan jasmani dan rohani yang baik pula. Dengan demikian masyarakat dapat
dikatakan memiliki modal manusia yang berkualitas jika memiliki tingkat pendidikan
dan kesehatan yang memadai serta berinteraksi/berasosiasi dengan sesamanya sesuai
dengan norma, kaidah atau aturan yang berlaku.
Faktor lain yang berperan dalam pembentukan dan penguatan modal sosial
masyarakat adalah faktor kemampuan para stakeholders dalam penelitian ini disebut
pelaku pemberdayaan. Pelaku pemberdayaan adalah orang-orang yang memiliki
kepedulian dan komitmen yang tinggi untuk menolong dan memberdayakan
masyarakat yang tidak memiliki daya dan kesempatan untuk mengoptimalkan
potensi dirinya dan mengakses sumberdaya secara optimal.
Pelaku pemberdayaan dalam kehidupan masyarakat pedesaan dan pengeloan
hutan lebih dikenal dengan penyuluh kehutanan atau fasilitator. Pelaku
pemberdayaan yang memiliki kemampuan yang memadai akan dapat membantu
masyarakat untuk mengenal kondisi sosial budaya, jenis kebutuhan dan potensi
sumberdaya yang dimiliki. Dengan demikian, pelaku pemberdayaan akan membantu
menumbuhkan kesadaran masyarakat bahwa untuk memenuhui kebutuhan dan
mengembangkan pontesi memerlukan keterlibatan orang lain. Oleh karena itu, perlu
ditumbuhkan dan dikembangkan semangat bekerjasama, saling mempercayai, taat
terhadap norma yang berlaku, peduli terhadap sesama, dan aktif dalam kegiatan
organisasi dalam masyarakat.
38
Keterlibatan masyarakat dalam organisasi sosial masyarakat tergolong sedang
(skor 69,83). Masyarakat di sela-sela kesibukannya masih selalu meluangkan waktu
untuk mengikuti kegiatan organisasi sosial masyarakat. Masyarakat masih
meluangkan waktu untuk mengikuti kegiatan pengajian, Maulid Habsy, pertemuan di
tingkat lingkungan paling tidak sekali sebulan. Selain itu, masyarakat juga tetap
memenuhi kewajibannya membayar iuran pokok perkumpulan tertentu, seperti
perkumpulan yasinan dan rukun kematian. Perkumpulan rukun kematian secara
ekonomi manfaatnya tidak signifikan, tetapi secara sosial budaya memiliki makna
yang sangat dalam. Antara lain, dengan menjadi anggota perkumpulan rukun
kematian diharapkan selalu mengingat mati, sehingga dengan demikian maka untuk
menghadapi mati harus dipersiapkan sejak dini, misalnya harus selalu berbuat baik,
taat terhadap agama dan lain sebagainya.
39
Analisis kekuatan aspek keuangan, secara umum dapat dijelaskan bahwa
untuk modal kerja produksi tidak mengalami banyak kendala, karena pendanaan
untuk pembangunan hutan pada tahun pertama dan kedua mendapat bantuan dari
UPT BPDAS Barito dan BP2HP Kementerian Kehutanan serta Dinas Kehutanan
Kabupaten dan Provinsi. Hanya saja yang menjadi persoalan ketika memasuki tahun
ketiga (pemeliharaan tahun kedua), masyarakat seringkali mengalami kesulitan
pendanaan karena sebagian besar peserta program tidak memiliki dukungan finansial
yang lebih, hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan standar minimal dan melakukan
aktivitas usaha pertanian tanaman pangan.
Pada umumnya masyarakat tidak memiliki tabungan dalam bentuk uang.
Bagi masyarakat tabungan diinvestasikan dalam bentuk kepemilikan sapi, tanah,
kebun buah, kebun karet dan perhiasan.
Gambar 3 merupakan alur penggunaan sumberdaya finansial untuk kegiatan
pertanian.
Modal
Proyek Kehutanan
- KBR
- Gerhan
- dll
Pemeliharaan Pemeliharaan
40
5. Modal Sumberdaya Alam
41
tahu karena memang selama ini kurang mengetahui teknologi pemanfaatan lahan,
sedangkan responden yang setuju relatif memahami karena pernah terlibat dalam
program GN-RHL/Gerhan sejak tahun 2003, dimana saat ini sudah ada sebagian
lahan yang telah ditanam. Secara rinci dapat dilihat aspirasi responden terkait dengan
pemanfaatan lahan yang ada sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 4.
42
fokus utama (people centered), pembangunan tidak bernilai apa-apa bila tidak
meningkatkan harkat dan martabat manusia. Berdasarkan hasil pendeskripsian
kondisi modal sumberdaya di lokasi penelitian, maka apabila dibuat pentagon asset
dapat digambarkan sebagai berikut:
43
Sumberdaya sosial juga merupakan hal yang sangat penting untuk
diperhitungkan, karena bila suatu instrument tidak memiliki nilai sosial maka sesuatu
kegitan tersebut tidak akan bermanfaat bagi manusia yang lain dan tidak layak untuk
dikatakan sebagai sebuah kegiatan yang produktif. Pada hakikatnya kegiatan yang
produktif adalah kegitan yang mampu memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi
manusia, sumberdaya seperti itu pulalah yang terdapat dalam pemberdayaan.
Potensi sumberdaya manusia yang ada di KPHK Kuala Lupak sangat
mendukung pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan hutan, karena mayoritas
penduduknya mempunyai mata pencaharian sebagai petani dan telah mempunyai
pengalaman dalam perhutanan sosial. Penduduk sendiri sebenarnya memiliki etos
kerja yang tinggi baik dilihat dari hari kerjanya maupun dari jam kerjanya per hari.
Dengan bermata pencarian sebagai petani, pengalaman perhutanan sosial dan
memiliki etos kerja yang tinggi, pemberdayaan akan dapat berjalan dan mampu
menopang serta memberdayakan masyarakat dalam pengelolaan hutan.
Kondisi sosial yang ada di lokasi penelitian juga sangat mendukung
pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan hutan, hal tersebut bukan merupakan
sesuatu yang tak mungkin karena dukungan modal kerjasama dan kepercayaan
masyarakat antar sesama relatif tinggi. Sudut pandang budaya dan psikologi
masyarakat tidak akan mendapatkan hambatan yang berarti. Kohesi sosial antar
masyarakat juga sangat kuat, dikarenakan memiliki satu keyakinan yang sama
sekaligus juga dikarenakan adanya aktivitas kelompok masyarakat yang masih hidup
dan rutin diadakan oleh masyarakat.
Dari segi finansial di lokasi penelitian walaupun pendapatan masyarakat
masih rendah, namun cukup banyak alternatif permodalan khususnya berasal dari
program Kementerian Kehutanan melalui bantuan modal kerja melalui mekanisme
Kebun Bibit Rakyat (KBR), Kelompok Usaha Produktif (KUP), Hutan Tanaman
Rakyat (HTR), dan Hutan Kemasyarakatan (HKm). Sehingga dengan adanya alokasi
dana yang bersifat produktif dengan diperkuat oleh lembaga keuangan akan mampu
mengangkat derajat masyarakat miskin dari kubangan kemiskinan.
Namun tidak bisa dipungkiri bahwa juga terdapat banyak hambatan,
pemberdayaan masyarakat antara lain adanya anggapan masyarakat beranggapan
bahwa pelibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan hanya sekedar keproyekan,
44
takut lahan yang sudah dikuasai akan diambil pemerintah, dan masalah
pendidikan/sekolah bukan soal penting bagi mereka dan tidak menjanjikan pekerjaan
yang layak bagi mereka lebih tertarik mencari uang daripada sekolah. Masih banyak
masyarakat yang terjerat para tengkulak yang menawarkan modal dengan tingkat
bunga yang tinggi, dan rata-rata pendapatan masyakat miskin khususnya sebagai
buruh tani tidak cukup memadai untuk mencicil hutang.
Gambar 5 tampak bahwa walaupun kondisi modal sumberdaya alam tergolong
tinggi, namun tidak mempunyai korelasi yang kuat dalam peningkatan aspek
finansial, sumberdaya manusia, sosial, dan fisik. Kondisi ini sesuai dengan tesis yang
disampaikan oleh Richard Auty (1993) yang menggambarkannya sebagai kutukan
sumber daya ketika dia menjelaskan bagaimana negara-negara yang SDA-nya
berlimpah tidak mampu memanfaatkan kekayaan tersebut untuk mendorong ekonomi
mereka dan bagaimana mereka mengalami pertumbuhan ekonomi yang lebih lambat
daripada negara-negara yang SDA-nya sedikit.
B. Perilaku Masyarakat
1. Kemampuan Penyuluh Kehutanan Sebagai Pelaku Pemberdayaan
45
kehutanan swadaya masyarakat (PKSM) bagi yang berasal dari masyarakat setempat
dan fasilitator bagi yang tenaga non PNS yang direkrut oleh pihak kehutanan
(Pusluhhut, 2002:4 dan Fauzi,2011:5). Penyuluh kehutanan dibedakan atas penyuluh
trampil dan penyuluh ahli. Tenaga penyuluh sangat diperlukan dalam dalam rangka
pemberdayaan masyarakat untuk menjadi pelaku pembangunan hutan dan
kehutanan terutama dalam mendukung berbagai kebijakan yang selalu dinamis
untuk tujuan pelestarian hutan dan kesejahteraan masyarakat (Pusluhhut,
2007:3).
Menurut Mardikanto (2015:139), pelaku pemberdayaan berdasarkan atas
status dan tempatnya bekerja dibedakan atas 3 (tiga) kategore yaitu:
(1) Pegawai Negeri Sipil (PNS), yaitu pegawai negeri yang ditetapkan dengan status
jabatan fungsional sebagai Penyuluh/Fasilitator. Penyuluh/Fasilitator
Pemberdayaan Masyarakat PNS mulai dikenal sejak awal 1970 seiring dengan
dikembangkannya konsep catur sarana unit desa dalam program BIMAS.
Sedang jabatan fungsional penyuluh, mulai dibicarakan sejak pelaksanaan proyek
penyuluhan tanaman pangan (National Food Crops Extension Project/NFCEP)
sejak tahun 1976.
(2) Penyuluh/Fasilitator Swasta, yaitu fasilitator Pemberdayaan Masyarakat yang
berstatus sebagai karyawan perusahaan swasta (produsen pupuk, pestisida,
perusahaan benih/benih/ alat/mesin pertanian, dll). Termasuk kategori penyuluh
swasta adalah, penyuluh dari lembaga swadaya masyarakat (LSM)
(3) Penyuluh/Fasilitator, yaitu fasilitator Pemberdayaan Masyarakat yang berasal
dari masyarakat yang secara sukarela (tanpa imbalan) melakukan kegiatan
pemberdayaan masyarakat di lingkungannya. Termasuk dalam kelompok ini
adalah, penyuluh/fasilitator yang diangkat dan atau memperoleh imbalan dari
masyarakat di lingkungannya.
Dalam menjalankan program yang berkaitan dengan pembangunan hutan,
penyuluh kehutanan mempunyai peran yang sangat strategis, baik dalam rangka
meningkatkan kapasitas dan kemandirian masyarakat, maupun dalam upaya
pelestarian sumberdaya hutan. Hal ini sejalan dengan pergeseran pembangunan
kehutanan dan pelaksanaan otonomi daerah, maka telah dilakukan reorientasi
paradigma penyuluhan kehutanan, yang semula merupakan proses alih teknologi dan
46
informasi menjadi penyuluhan kehutanan yang merupakan proses pemberdayaan
masyarakat (Pusluhhut, 1997:3). Menurut (Susetyo, 2006:1), penyuluhan kehutanan
pada intinya adalah pemberdayaan masyarakat. Mengacu pada pengertian
penyuluhan kehutanan itu sendiri yang merupakan proses pembelajaran bagi pelaku
utama serta pelaku usaha agar mereka mau dan mampu menolong dan
mengorganisasikan dirinya dalam mengakses informasi pasar, teknologi, permodalan
dan sumberdaya lainnya, sebagai upaya untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi,
usaha, pendapatan dan kesejahteraannya, serta meningkatkan kesadaran dalam
pelestarian fungsi lingkungan melalui peningkatan pengetahuan, keterampilan dan
sikap (Dephutbun, 2000). Maka jelaslah bahwa dalam penyuluhan, tujuan pendidikan
tidak hanya pada kognitif saja tapi juga pada peningkatan kemampuan afektif dan
psikomotorik.
Kegiatan pemberdayaan masyarakat dapat diartikan sebagai suatu proses
yang dilakukan secara terus menerus oleh pemerintah atau suatu lembaga
pemberdayaan masyarakat agar masyarakat selalu tahu, mau, dan
mampu mengadopsi inovasi demi tercapainya peningkatan produktivitas dan
pendapatan usahatani guna memperbaiki mutu hidup atau kesejahteraan masyarakat
secara keseluruhan (Mardikanto, 2015:139). Karena itu, kegiatan pemberdayaan
masyarakat membutuhkan tenaga-tenaga fasilitator yang handal agar dapat
melaksanakan kegiatan pemberdayaan masyarakat yang direncanakan. Istilah
fasilitator di sini menurut Mardikanto (2015:139) diidentikkan sebagai pekerja atau
pelaksana pemberdayaan masyarakat yang seringkali disebut sebagai penyuluh.
Menurut (Utama, 2013:1), penyuluh kehutanan sebagai ujung tombak dalam
pembangunan kehutanan di lapangan. Sebagai tenaga ujung tombak, maka penyuluh
kehutanan harus kompeten dan profesional. Untuk mewujudkan peran yang
diembannya, penyuluh kehutanan harus memiliki kemampuan memberdayakan
masyarakat. Pelaku pemberdayaan diharapkan memiliki kemampuan, sikap dan
ketrampilan yang memadai dalam mendampingi, membina dan mengarahkan
masyarakat dalam menjalankan program-program yang berkaitan dengan pelestarian
hutan dan pembebasan masyarakat dari belenggu ketidakberdayaan dan kemiskinan.
Hal ini sejalan dengan pendapat Chamala dan Shingi (1997) bahwa penyuluh harus
memiliki kompetensi dalam menjalankan empat peranan penting yaitu
47
pemberdayaan, pengelolaan kelompok dan penguatan kelembagaan masyarakat,
pengembangan sumberdaya petani, serta pemecahan masalah dan pendidikan.
Keberadaan pelaku pemberdayaan di lapangan tidak hanya berfungsi sebagai
pendamping/pembina kelompok tani saja (sebagaimana tersebut di atas tadi) tetapi
secara praktis di lapangan memiliki multi fungsi, baik sebagai motivator, inovator
sekaligus sebagai mediator dalam pemberdayaan masyarakat/kelompok tani
setempat.
Sebagai motivator seorang pelaku pemberdayaan akan berperan sebagai
pembangkit gairah dan semangat kerja bagi masyarakat dengan memberikan
penjelasan, pemahaman dan dorongan untuk berpartisipasi dan berperan aktif dalam
berbagai kegiatan yang sedang dan akan dilaksanakan. Pendamping harus selalu
berada dekat dan sering melakukan komunikasi serta pendekatan baik secara
individu (contact person) maupun secara kelompok (pertemuan formal dan non
formal) kepada masyarakat agar segala pekerjaan fisik di lapangan yang menjadi
tanggung jawab mereka dapat tercapai sebagaimana yang diharapkan, untuk itu
sangat diperlukan kepribadian dan budi pekerti yang baik, sopan, rendah hati serta
penuh adab dan tata krama yang tinggi pada diri seorang pelaku pemberdayaan, yang
mana dari semua itu akan memberikan kesan menarik bahkan menimbulkan rasa
sayang dan simpatik dari masyarakat sehingga segala apa yang disampaikan akan
lebih mudah mereka terima dan laksanakan, yang pada akhirnya partisipasi dan peran
aktif masyarakat akan meningkat signifikan.
Sebagai inovator, seorang tenaga pelaku pemberdayaan berperan membawa
kelompok tani kepada perubahan dan pengembangan teknologi baru, terutama yang
mudah dimengerti serta sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat yang ada
(teknologi bidang pertanian, kehutanan, dll). Untuk itu diperlukan kemampuan
pelaku pemberdayaan dalam menggunakan cara penyampaian yang baik, pemilihan
sasaran dan situasi kondisi yang tepat, penggunaan bahasa yang halus, sederhana dan
mudah dimengerti, serta menghindari timbulnya kesan seolah-olah menggurui agar
tidak menyinggung perasaan mereka sehingga siap menerimanya dengan lapang
dada.
Sebagai mediator, seorang pelaku pemberdayaan berperan untuk
mempertemukan antara kepentingan pemerintah dengan kepentingan masyarakat
48
sehingga tercipta suatu kondisi dimana hak-hak dan kewajiban masyarakat dan
pemerintah dalam setiap kegiatan (yang berhubungan dengan keproyekan) dapat
terjamin. Selain itu selalu berusaha mencari solusi untuk membantu memecahkan
berbagai permasalahan baik yang timbul di dalam masyarakat/kelompok tani itu
sendiri (intern) maupun permasalahan dengan pihak luar (ekstern). Oleh sebab itu
seorang pelaku pemberdayaan dituntut memiliki kemampuan yang lebih untuk
mampu bersikap dan bertindak secara arif dan bijaksana dalam membantu
menyelesaikan berbagai permasalahan yang ada demi terpenuhinya kepentingan bagi
semua pihak tanpa ada yang merasa dirugikan (win-win solution).
Selain berbagai peran tersebut di atas, seorang pelaku pemberdayaan
merupakan ujung tombak bagi perlindungan, pembelaan dan penyelamatan hak-hak
dan kepentingan masyarakat/kelompok tani. Dalam hal munculnya gejala dan
indikasi ke arah terjadinya penyelewengan atau penyimpangan dari aturan
sebenarnya yang akan merugikan masyarakat/kelompok tani maka penyuluh
kehutanan lah yang akan bertindak secara pro aktif melakukan pencegahan,
pembelaan dan penyelamatan hak-hak masyarakat tersebut. Seorang pelaku
pemberdayaan tidak akan langsung bertindak secara frontal dan membabi buta
(kontradiktif) dengan mengangkat isu tersebut ke permukaan atau
mempublikasikannya ke berbagai media massa untuk mempermalukan pihak-pihak
tertentu dan diketahui khalayak ramai, karena cara-cara tersebut masih kurang efektif
dan kurang berhasil guna, tetapi secara pro aktif seorang penyuluh kehutanan akan
lebih mengutamakan tindakan langsung sebagai langkah nyata dengan melakukan
pencegahan persuasif, pendekatan secara manusiawi, arif dan bijaksana namun tetap
menunjukkan sikap yang tegas dan berwibawa. Ternyata cara ini memang sangat
ampuh dan memberikan hasil nyata bagi penyelamatan hak-hak masyarakat yang
terindikasi akan dikebiri.
49
Tabel 16. Kemampuan Kognitif Penyuluh Kehutanan
No Katagore * Skor Kriteria Penilaian
1 Kemampuan Memahami 77.57 tinggi
2 Kemampuan Menerapkan 78.96 tinggi
3 Kemampuan Menganalisis 74.09 sedang
4 Kemampuan Mengevaluasi 62.96 sedang
5 Kemampuan Menciptakan 64.17 sedang
Rata-rata 71.55 sedang
Keterangan: * Indikator mengacu Taksonomi Bloom versi Revisi (Krathwohl,
2002:215)
50
mengenai hal tersebut tentunya hal ini dengan mudah bisa diterapkan pada lahan
yang akan ditanami. Begitu pula dalam hal pengendalian kebakaran lahan hutan,
penyuluh telah bisa ikut membantu pemadaman kebakaran berdasarkan ilmu yang
dipelajari pada saat pelatihan. Hal ini ditegaskan informan Bapak Riza Ali:
Di daerah binaan saya, setiap musim kemarau panjang pasti terjadi
kebakaran lahan dengan areal yang sangat luas sehingga menyebabkan
kematian tegakan pohon yang telah ditanam sejak tahun 2003. Pada tahun
2011, saya ikut pelatihan pengendalian kebakaran hutan dan lahan yang
dilaksanakan oleh BKSDA Kalsel, dan hasilnya saya terapkan di lahan
masyarakat. Salah satunya dengan membuat sekat bakar, sehingga lahan
tanaman masyarakat sampai sekarang tidak pernah lagi terbakar
(Wawancara tanggal 23 Mei 2015)
Berkaitan dengan hal tersebut, penyuluh kehutanan pada umumnya telah
mampu memiliki kemampuan menerapkan sebagaimana yang disampaikan
(Krathwohl, 2002:216), menerapkan menunjuk pada proses kognitif memanfaatkan
atau mempergunakan suatu prosedur untuk melaksanakan percobaan atau
menyelesaikan permasalahan. Penerapan tersebut didasarkan pada pengetahuan
yang diperolehnya. Menurut (Gunawan & Palupi, 2013:27), menerapkan berkaitan
dengan dimensi pengetahuan prosedural (procedural knowledge). Menerapkan
meliputi kegiatan menjalankan prosedur (executing) dan mengimplementasikan
(implementing). Menjalankan prosedur merupakan proses kognitif dalam
menyelesaikan masalah dan melaksanakan, di mana penyuluh sudah mengetahui
informasi tersebut dan mampu menetapkan dengan pasti prosedur apa saja yang
harus dilakukan.
Dari aspek analisis, penyuluh kehutanan memiliki skor tinggi (74,09).
Menurut (Krathwohl, 2002:216), menganalisis merupakan kemampuan
memecahkan suatu permasalahan dengan memisahkan tiap-tiap bagian dari
permasalahan dan mencari keterkaitan dari tiap- tiap bagian tersebut dan mencari
tahu bagaimana keterkaitan tersebut dapat menimbulkan permasalahan sehingga
dapat dicarikan solusinya. Pada tahap ini, penyuluh kehutanan sudah memiliki
kemampuan untuk melakukan analisis terhadap berbagai persoalan. Misalnya pada
tahun 2015 saat terjadi konflik lahan dimana pada sebagian lahan konsesi yang
IUPHHK PT. Prima Multi Banua telah diklaim masyarakat sebagai lahan miliknya
dan menguasai lahan tersebut. Pada saat itu, tim konsultan melibatkan para
penyuluh kehutanan untuk menemukan resolusi konflik lahan sehingga akhirnya
51
dicapai kesepakatan bahwa lahan hutan yang dikuasai masyarakat dilakukan
pengelolaan hutan dengan sistem bagi hasil (sharing profit). Aspek kemampuan
analisis memiliki posisi yang sangat penting sehingga wajar Gunawan & Palupi,
(2013) menyatakan kemampuan menganalisis sering kali cenderung lebih penting
daripada dimensi proses kognitif yang lain.
Aspek mengevaluasi yang dimiliki penyuluh kehutanan masih tergolong
sedang (62,96). Para penyuluh belum terbiasa melakukan evaluasi yang menurut
Kuswana (2015:65) berkaitan dengan kemampuan memberikan penilaian
berdasarkan kriteria dan standar yang sudah ada. Bagi para penyuluh urusan evaluasi
bukanlah wewenangnya melainkan tugas atasan langsung. Hanya 28,57% penyuluh
yang memilki kemampuan evaluasi, padahal menurut Kuswana (2015:66), posisi
evaluasi dalam taksnomi sangat dihormati sebagai langkah tertinggi, karena
merupakan proses dan hasil berpikir yang komplek yang menyangkut kombinasi
tingkah laku mulai dari pengetahuan, pemahaman, penerapan, analisis dan sintesis.
Informan Bapak Riza Ali sebagai Penyuluh kehutanan yang telah memiliki
kemampuan mengevaluasi menyatakan bahwa:
Setiap berakhir kegiatan programa penyuluhan, saya selalu mereview sudah
sampai sejauh mana realisasi kegiatan, dan temuan permasalahan di
lapangan. Hal ini menjadi catatan khusus bagi saya untuk dijadikan
penyempurnaan pada kegiatan selanjutnya. Saya pun bisa
menginformasikan hal ini kepada penyuluh lainnya (wawancara tanggal 23
Mei 2015)
Kemampuan penyuluh kehutanan tersebut menurut Bloom (1956:171)
merupakan bagian dari kemampuan melakukan evaluasi. Kemampuan evaluasi
berkaitan dengan kemampuan menemukenali dan menimbang nilai-nilai yang
dilibatkan dalam tindakan alternatif, kemampuan mengidentifikasi dan menilai
pertimbangan nilai-nilai yang dilibatkan dalam pilihan dari suatu tindakan.
Evaluasi merupakan suatu kegiatan yang penting, namun sering
dikesampingkan dan konotasinya negatif, karena dianggap mencari kesalahan,
kegagalan dan kelemahan dari suatu kegiatan penyuluhan kehutanan. Sebenarnya
evaluasi harus dilihat dari segi manfaatnya sebagai upaya memperbaiki dan
penyempurnaan program/kegiatan penyuluhan kehutanan sehingga lebih efektif,
efisien dan dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Evaluasi penyuluhan
kehutanan dapat digunakan untuk memperbaiki perencanaan kegiatan/program
52
penyuluhan, dan kinerja penyuluhan, mempertanggungjawabkan kegiatan yang
dilaksanakan, membandingkan antara kegiatan yang dicapai dengan tujuan yang
telah ditetapkan.
Dari aspek menciptakan, penyuluh kehutanan memiliki kemampuan yang
sedang (64,17). Menciptakan sangat berkaitan erat dengan pengalaman belajar para
penyuluh tidak saja dari belajar formal di kelas namun juga praktik di lapangan.
Menciptakan di sini mengarahkan pada kemampuan menempatkan bagian-bagian
secara bersama-sama ke dalam suatu ide, semuanya saling berhubungan untuk
membuat hasil yang baik (Krathwohl, 2002). Menciptakan di sini menurut Kuswana
(2015:118), dalam katagore proses kognitif mencakup kemampuan menghasilkan,
merencakan, dan membangun. Hasil konkret dari kemampuan penyuluh dalam
menciptakan adalah keberhasilan bersama masyarakat membangun unit pengolahan
minyak atsiri di Desa Sungai Telan, demplot agroforestri di Desa Sungai Telan dan
Tabunganen Muara, dan membuat perencanaan penyuluhan kehutanan. Ini
menandakan sebagian penyuluh kehutanan telah mampu menciptakan (create)
berbasis pengetahuan yang telah diperoleh.
Berdasarkan kondisi di atas, maka dapat dibuat tahapan capaian aspek
kognitif penyuluh kehutanan sebagaimana dapat diihat pada Gambar 6.
53
Gambar 6. Kemampuan Kognitif Penyuluh Kehutanan (diadaptasi dari model
Taksonomi Bloom (1956) versi (Krathwohl, 2002)
54
dan sistem agrosilvobisnis. Yang dimaksud dengan teknologi penyuluhan adalah
berbagai aspek teknis yang sangat erat hubungannya dengan pengelolaan
penyampaian pesan dan mengolah respon dari sasaran penyuluhan. Hal ini sangat
terkait dengan metode dan materi serta sistemnya. Penyuluh kehutanan bukan hanya
harus menguasai teknik kehutanan tetapi juga memiliki wawasan dan penguasaan
yang lebih luas termasuk kebijakan, jaringan kerja kehutanan, isu internasional
tentang kehutanan dan sebagainya.
Kedua, penyuluh harus memiliki pengetahuan mengenai latar belakang dan
keadaan masyarakat penerima manfaatnya, baik yang menyangkut perilaku, nilai-
nilai sosial budaya, keadaan alam, maupun kebutuhan-kebutuhan nyata yang
diperlukan masyarakat penerima manfaatnya. Dalam usaha mengembangkan
swadaya dan kemandirian masyarakat, seorang penyuluh harus memahami
kebutuhan dan sumber daya yang dimiliki masyarakat. Untuk memahami hal
tersebut, seorang penyuluh harus memiliki kemampuan untuk menganalisa dan
mengkaji secara mendalam apa yang menjadi minat dan kebutuhan masyarakat,
kebutuhan apa saja yang dapat dipenuhi oleh ketersediaan sumberdaya alam serta
prioritas dari minat dan kebutuhan tersebut. Hal ini penting agar penyuluh mampu
mengenali potensi lokal sebagaimana yang dikemukakan Jamasy (2004), seorang
penyuluh harus mengutamakan penggalian dan pengembangan potensi lokal.
Pengembangan potensi lokal untuk merintis kemandirian dan memperkecil terjadinya
ketergantungan kepada pihak luar. Pengembangan potensi lokal yang konsisten, juga
mengandung maksud agar masyarakat sadar bahwa kontribusi itu jauh lebih
realistis untuk tujuan rasa memiliki. Berkaitan dengan hal tersebut, informan Bapak
Riza Ali (penyuluh):
Kami telah memiliki pengetahuan memetakan potensi lokal yang ada di
setiap desa, dan merekomendasikan hasil hutan unggulan. Misalnya, di
Desa Kuala Lupak banyak terdapat kebun buah Durian dengan kualitas
yang bagus maka bisa dilakukan pengembangan budidaya durian dan
peningkatan nilai tambah misalnya dibuat lempok. Sedangkan daerah
Telan, karena banyak terdapat pohon Rambai yang tumbuh alami
Masyarakatnya pun banyak yang menjadi peramu Akar rambai.
(Wawancara tanggal 21 April 2015)
Kemampuan kognitif ketiga yang menjadi persyaratan pelaku pemberdayaan
menurut Berlo (1960) adalah mengetahui segala sesuatu yang
yang seringkali menyebabkan warga masyarakat suka atau tidak menghendaki
55
terjadinya perubahan maupun segala sesuatu yang menyebabkan masyarakat
seringkali cepat atau lamban mengadopsi inovasi. Sementara itu, Hawkins, et al
(1982) menekankan agar setiap penyuluh/fasilitator harus kompeten, artinya
memahami dan menguasai segala sesuatu yang berkaitan dengan inovasi yang
disampaikannya (baik yang bersifat teknis, ekonomi, maupun kaitannya dengan nilai-
nilai sosial budaya.
56
selanjutnya, penyuluh kehutanan telah dapat telah mampu memilah antara satu
pendekatan dengan lainnya saat memberikan penyuluhan. Misalnya, ketika
memberikan penyuluhan yang dihadiri oleh mayoritas Suku Barito Kuala akan
berbeda pendekatannya dengan Suku Jawa. Menurut penyuluh, pada umumnya
warga suku Banjar saat dilakukan penyuluhan jarang ada yang mengemukakan
pendapat atau pertanyaan, walaupun mereka tidak mengerti atau tidak setuju dengan
apa yang disampaikan. Bagi penyuluh yang tidak memahami karakter orang Banjar
mungkin akan menganggap diam itu berarti setuju. Pendekatan yang sebaiknya
dilakukan justru akan lebih efektif dalam diskusi-diskusi informal seperti di warung.
Kebiasaan urang Banjar terkenal dengan budaya mewarung bisa dimanfaatkan
penyuluh untuk mentransformasikan materi penyuluhan.
Pada tingkatan menanggapi (responding), penyuluh kehutanan menyatakan
bahwa dalam setiap pelatihan mereka sering memberikan tanggapan terhadap suatu
fenomena yang disampaikan fasilitator, jadi lebih dari hanya sekadar memperhatikan.
Sebagai penyuluh kehutanan, mereka juga merasa cukup mempunyai kemampuan
berempati, kemampuan merespons kondisi yang ada di lingkungannya, fleksibelitas
dalam bertindak, luwes dalam berkomunikasi, dan terbuka untuk mendengarkan,
menerima saran, pendapat dan kritikan dari luar serta memiliki tanggungjawab.
Menurut Krathwohl (1964:180), tingkatan selanjutnya adalah valuing, dimana
pembelajar akan menunjukkan komitmennya berdasarkan nilai yang dianutnya yang
selanjutnya akan menuntun perilaku pembelajar. Kondisi ini sangat berbeda dengan
konsep motivasi eksternal yang hanya mengarah kepada kepatuhan. Terdapat 3 (tiga)
sub tingkatan valueing, yaitu penerimaan terhadap nilai-nilai yang dianut (acceptance
of value), preferensi nilai, dan komitmen. Pada sub-tingkatan acceptance of value,
pembelajar telah memiliki keyakinan bahwa dirinya telah memiliki nilai-nilai tertentu
dalam dirinya dan memiliki kemauan untuk dapat diidentifikasi oleh orang lain
berdasarkan keyakinan tersebut. Misalnya, seorang seorang penyuluh memiliki
keyakinan bahwa dirinya dapat bertoleransi dengan teman sejawat dan kelompok
masyarakat yang berasal dari berbagai daerah asal. Pada sub-tingkatan preference of
value, penyuluh tidak hanya yakin pada nilai yang telah dia miliki, namun juga
berusaha untuk mempertahankan nilai-nilai tersebut. Sedangkan pada sub-tingkatan
commitment, seseorang tidak hanya percaya terhadap suatu nilai tetapi juga berusaha
57
berkomitmen kepada nilai tersebut sehingga pada akhirnya akan menjadi sebuah
motivasi dalam melakukan suatu tindakan.
Pada tingkatan organisasi (organization), penyuluh sudah sampai pada
tahapan mempercayai nilai-nilai tertentu, selanjutnya ia akan dihadapkan pada lebih
dari satu nilai atau beberapa nilai yang harus dipercayainya. Pada tingkatan ini,
penyuluh mulai mengorganisasi nilai-nilai tersebut dan mencari hubungan antara satu
nilai dengan nilai yang lain, dan selanjutnya berusaha menemukan nilai yang
menurutnya paling dominan. Salah satu indikator yang dicapai yaitu kemampuan
memilih materi yang akan disampaikan dan metode yang digunakan. Di wilayah
binaan masing-masing sudah terdapat hasil hutan unggulan, maka materi penyuluhan
akan disesuaikan dengan hal tersebut.
Pada tingkatan yang terakhir yaitu characterization by value set atau value
complex, menurut Krathwohl (1964: 180), seseorang dianggap telah memiliki nilai
yang kuat di dalam dirinya, maka ia akan berusaha melakukan generalisasi terhadap
perilakunya dan mengintegrasikan keyakinan, ide dan tingkah laku menjadi sebuah
filosofi hidup. Berdasarkan Gambar 7, hanya 21,43% penyuluh yang menghayati
peran sebagai penyuluh kehutanan sedangkan sisanya merasa tidak menghayati
perannya. Dalam kondisi ini lebih dari 50% yang tidak memiliki sikap menghayati,
sehingga memang sulit melakukan generalisasi terhadap perilakunya dan
mengintegrasikan keyakinan, ide dan tingkah laku menjadi sebuah filosofi hidup
sebagaimana yang dikemukakan Krathwohl (1964). Berkaitan dengan hal ini
Anonim (2000:23) dan Mardikanto (2015,144) menyatakan penyuluh kehutanan
harus memiliki sikap menghayati dan bangga terhadap profesinya. Kebanggaan
terhadap profesi akan melahirkan sikap menyukai dan mencintai masyarakat sasaran
penyuluhan, dan merasakan bahwa kehadirannya sebagai penyuluh diperlukan
masyarakat serta memberikan motivasi kepada masyarakat. Dalam melakukan
pekerjaannya pun dilakukan secara profesional, tidak sekedar melaksanakan tugas
ataupun mencari kredit point untuk mengejar sertifikasi penyuluh misalnya.
58
Gambar 7. Sikap menghayati peran sebagai penyuluh kehutanan
59
Berkaitan dengan kemampuan afektif, Tjokrowinoto (2001) mengemukakan
bahwa seorang pelaku pemberdayaan setidaknya harus memiliki minimal lima
bentuk kemampuan, yakni: kemampuan untuk melihat peluang-peluang yang ada,
kemampuan untuk mengambil keputusan dan langkah-langkah yang perlu dengan
mengacu pada misi yang ingin dicapai, kemampuan mengidentifikasikan subjek-
subjek yang mempunyai potensi memberikan berbagai input dan sumber bagi proses
pembangunan, kemampuan menjual inovasi dan memperluas wilayah penerimaan
program-program yang diperuntukkan bagi kaum miskin, dan kemampuan
memainkan peranan sebagai fasilitator atau meningkatkan kemampuan masyarakat
untuk tumbuh berkembang dengan kekuatan sendiri. Keterpaduan dari kelima
kemampuan pelaku pemberdayaan tersebut patut dijadikan rujukan oleh seluruh
unsur stakeholders, terutama yang mempunyai tanggungjawab langsung terhadap
keberhasilan pembangunan. Namun dukungan kelima kemampuan ini pun tidak akan
berarti kalau tidak disertai dengan sikap perilaku adil dan komitmen yang kuat.
Lebih rinci Jamasy (2004) menguraikan tujuh syarat kemampuan umum yang
harus dimiliki pelaku pemberdayaan dan kesemuanya harus terefleksi dalam kegiatan
aksi program, yakni: kemampuan mempertahankan keadilan, kemampuan
mempertahankan kejujuran (pada diri sendiri dan orang lain), kemampuan
melakukan problem solving, kemampuan mempertahankan misi (sense of mission
atau mission driven profesionalism), kemampuan memfasilitasi dan kemampuan
menjual inovasi, social marketing (termasuk kemampuan melakukan asistensi dan
promosi).
Menurut Tilden (2007:54), sekurang-kurangnya ada 4 (empat) komponen
sikap yangg penting yang harus dimiliki penyuluh yaitu: Problem solving
(pemecahan masalah); Sense of Community (perduli terhadapa masyarakat); Sense of
mission (komitmen terhadap misi proyek); dan Honesty with self and with others
(jujur kepada diri sendiri dan orang lain).
Sejalan dengan hal tersebut, Jamasy (2004) menyatakan prinsip-prinsip yang
harus dijadikan kekuatan internal pelaku pemberdaya. Para pelaku utama
pemberdaya dan seluruh unsur stakeholders, harus berlaku adil (melaksanakan
prinsip kerja berdasarkan keadilan dan komitmen untuk meningkatkan kualitas kerja
yang adil). Seluruh unsur stakeholders harus jujur (jujur kepada diri sendiri dan jujur
60
kepada orang lain). Kejujuran adalah sifat dasar manusia, namun seringkali berubah
(menjadi tidak jujur) karena terkalahkan oleh kepentingan emosi pribadinya.
Kemampuan melakukan problem solving, menumbuhkan dan memasarkan inovasi,
asistensi, fasilitasi, promosi, dan social marketing. Memecahkan masalah (problem
solving) adalah proses bagaimana semua pihak menerima jalan keluar yang
ditawarkan. Pemecahan masalah, bisa jadi dari sipemilik masalah itu sendiri. Dalam
hal ini terdapat seni bagaimana proses dialog yang baik berlangsung ketika proses
mencarai jawaban dari sebuah masalah. Tenaga pemberdaya harus trampil dan kreatif
mencari inovasi (ide dan pemikiran baru atau terobosan baru); juga trampil
melakukan asistensi dan fasilitasi (bimbingan dan dampingan); demikian juga dalam
hal promosi dan sosial marketing. Kerjasama dan koordinasi seluruh unsur
stakeholders berdasarkan kemitraan. Kendatipun ada struktur pengelolaan program
dengan berbagai atribut jabatannya, namun dalam proses perjalanannya harus
berlangsung secara kemitraan. Mengejar misi dan mencapai tujuan program adalah
tugas bersama. Apabila ada persoalan, semestinya menjadi tanggungjawab bersama
untuk mengatasinya, dan tidak dibenarkan apabila pihak pimpinan atau pihak tertentu
mengatakan itu adalah tugasmu dan kamulah yang harus bertanggungjawab.
61
mempersiapkan rencana kerja penyuluhan sebagai penjabaran programa
penyuluhan. Rencana kegiatan penyuluhan tidak lagi ditetapkan oleh penyuluh,
tetapi merupakan kesepakatan antara masyarakat yang didampingi dengan penyuluh
sebagai pendamping. Rencana kegiatan penyuluhan ini sebagai acuan bersama dan
kendali bagi pencapaian keinginan bersama antara penyuluh dan masyarakat.
Menurut Sofia (2010:3), programa penyuluhan kehutanan adalah rencana kerja
kelompok jabatan fungsional penyuluh kehutanan, memuat keadaan karakteristik
wilayah kerja, permasalahan, metode dan teknik penyuluhan, rencana detail kegiatan
dan lokasi sasaran, rencana anggaran serta sarana/alat bantu penyuluhan kehutanan.
Persiapan lainnya dilakukan dalam bentuk persiapan media, alat bantu, dan
penguasaan materi. Hal ini ditegaskan informan Bapak Riza Ali berikut:
Setiap tahun kami wajib membuat rencana kerja penyuluhan kehutanan
untuk dilaksanakan pada tahun berjalan. Sebelum melakukan penyuluhan,
biasanya saya mempersiapkan dulu materi yang akan disampaikan, metode,
dan mempelajari siapa saja kelompok sasaran suluh. Dengan biaya sendiri,
saya membuat leaflet sederhana yang ada gambarnya supaya mudah
dipahami masyarakat. Bagi sebagian besar masyarakat, penyuluh dianggap
orang yang serba tahu, sehingga kita memang harus membekali diri dengan
pengetahuan apapun bahkan di luar ilmu kehutanan. Seringkali penyuluhan
harus dilakukan secara mendadak, misalnya ketika saat berada di desa, ada
masyarakat yang memanggil saya untuk mencarikan jalan keluar terkait
dengan serangan hama penyakit tanaman Gaharu. Untungnya saya pernah
belajar banyak tentang Gaharu, sehingga saya bisa mencarikan solusinya.
Di lain waktu, ada juga yang menanyakan tentang penanggulangan hama
pisang, hama padi bahkan sampai persoalan rumah tangga (wawancara
tanggal 28 Mei 2015)
62
inventarisasi hasil-hasil penelitian atau kajian-kajian yang telah pernah dilakukan di
wilayah tersebut atau diwilayah lain yang memiliki kesamaan karakteristik dengan
wilayah kerja selaras dengan perkembangan dengan kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi yang menghasilkan inovasi-inovasi yang akan disebarluaskan kepada
masyarakat sasarannya, maka setiap penyuluh harus mempersiapkan diri untuk
selalu mau belajar secara terus menerus dan berkelanjutan. Persiapan seperti ini,
harus dimiliki dan dihayati oleh setiap penyuluh. Tanpa kesediaan untuk belajar
secara berkelanjutan, mustahil dia dapat mengajarkan, menganalisis, dan sekaligus
memberikan nasehat tentang penerapan inovasi yang disampaikannya. Untuk
meningkatkan efektivitas kegiatan pemberdayaan masyarakat, seringkali seorang
penyuluh harus mampu menyediakan dan menggunakan beragam perlengkapan yang
diperlukan, baik berupa alat bantu maupun peraga.
Aspek psikomotorik lainnya berkaitan dengan reaksi yang diarahkan (Guided
Response). Dalam hubungannya dengan kegiatan penyuluhan kehutanan, hal ini
berkaitan dengan keterampilan melakukan penyuluhan sesuai arahan, petunjuk, atau
manual. Pada tahap ini biasanya penyuluh menyampaikan informasi tentang program
kehutanan yang sedang diluncurkan, misalnya Hutan Kemasyarakatan, Hutan Desa,
Kebun Bibit Rakyat, atau Hutan Tanaman Rakyat. Penyuluh tinggal mempelajari
kebijakan, dan panduan yang telah dibuat oleh Kementerian Kehutanan. Biasanya
sebelum itu, Kementerian Kehutanan melalui UPT yang ada di daerah melakukan
sosialisasi atau pelatihan terlebih dahulu. Berbekal panduan yang diterima, penyuluh
melakukan sosialisasi, fasilitasi dan pendampingan terhadap kelompok yang akan
mengajukan proposal kegiatan. Prosentase penyuluh dalam melakukan penyuluhan
berdasarkan arahan sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 9.
63
Gambar 9. Keterampilan Penyuluh Kehutanan berdasarkan arahan
64
Penyuluh kehutanan mendapatkan pengetahuan tersebut kemudian
ditransformasikan kepada masyarakat menggunakan bahasa-bahasa yang mudah
dipahami masyarakat. Dalam ilmu kehutanan banyak sekali istilah-istilah yang tidak
familiar dengan masyarakat, misalnya yang paling sederhana yaitu istilah kawasan
hutan. Bagi mereka yang berkecimpung dalam bidang kehutanan sudah tahu betul
bahwa kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan
oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap, sedangkan
bagi masyarakat kawasan hutan dimaknai secara sederhana sebagai wilayah yang
sebagian besar disusun oleh tanaman berkayu (pohon). Menurut penyuluh,
memberikan pemahaman seperti ini saja membutuhkan keterampilan tersendiri agar
bisa diterima masyarakat. Hal lainnya ditegaskan Bapak Riza Ali berikut:
Sebagai penyuluh kehutanan, kami dibekali dengan berbagai ilmu
kehutanan. Namun hal tersebut tidak bisa langsung disampaikan dengan
masyarakat karena bisa terjadi perbedaan persepsi yang berpotensi
menimbulkan konflik. Misalnya ketika ada kebijakan hutan kemasyarakatan
(HKm) yang memberikan ijin bagi masyarakat menggarap lahan hutan.
Tidak sedikit masyarakat menganggap bahwa lahan tersebut bisa menjadi
lahan hak miliknya, sedangkan kalau mengacu aturan yang berlaku lahan
hutan tersebut hanya dibebani hak kelola yang berlaku selama 35 tahun dan
bisa diperpanjang. Secara bertahap kami memberikan pemahaman
mengenai hal tersebut agar bisa diterima masyarakat. Kami ilustrasikan
kalau Bapak/Ibu mendapat ijin HKm selama 35 tahun dan diperpanjang
sebetulnya secara tidak langsung lahan tersebut telah menjadi milik
mereka, asalkan tetap dipelihara. Dengan pemahaman tersebut, masyarakat
memiliki persepsi yang sama tentang Hak Kelola dalam HKm
(wawancara tanggal 13 Mei 2015).
65
Gambar 10. Persentase Keterampilan Penyuluh Kehutanan pada tingkatan Complex
Overt Response
66
biasanya malam Jumat dan dilaksanakan sehabis Isya (penyebutan istilah waktu
yang lebih sering dipakai dari pada penyebutan waktu dalam format jam) atau kira-
kira pukul 19.30 WIB, meskipun dalam pelaksanaannya baru dimulai acara sekitar
pukul 20.00 WIB atau 20.30 WIB. Pelaksanaan pertemuan pada malam hari memang
membawa kondisi pertemuan masyarakat lebih santai dan akrab, namun dilihat dari
durasi waktu, maka waktu yang tersedia pada pertemuan di malam hari cukup
terbatas, apalagi dilaksanakan berbarengan dengan kegiatan keagamaan dan kegiatan
lain, padahal materi-materi yang harus disampaikan kepada masyarakat cukup
banyak sehingga banyak agenda-agenda yang terlewatkan.
Keterampilan adaptasi penyuluh ini memang masih sedang (74,82), dimana
35,71% kadang menerapkan, 28,57% jarang menerapkan, 21,43% sering
menerapkan, dan pasti menerapkan 7,14%. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 11.
67
Bagi penyuluh kehutanan yang memiliki keterampilan memodifikasi keahlian
yang sesuai dengan kondisi lokal mendasarkan pemikiran bahwa panduan yang siap
pakai yang berasal dari pusat atau daerah lain belum tentu bisa diterapkan di daerah
binaannya, bahkan bisa ditolak oleh masyarakat. Hal ini ditegaskan oleh Bapak
Syamsu Rizal:
Kalau mau masyarakat mengadopsi pengetahuan yang kita suluh, maka
jangan terlalu menggunakan materi yang tersedia, karena belum tentu
sesuai dengan kondisi lokal, bahkan kita harus bisa menyesuaikan dengan
pengetahuan lokal. Kalau tidak, ada kemungkinan materi tersebut akan
ditolak oleh petani, walaupun materi tersebut dianggap baik dan ilmiah
(wawancara tanggal 20 April 2015).
68
Berdasarkan Gambar 12, sebagian besar penyuluh kehutanan memiliki
keterampilan yang rendah dalam kreativitas, baik materi maupun metode penyuluhan.
Ini semakin menegaskan bahwa mereka lebih banyak mendasarkan kepada panduan
atau arahan yang sudah ada. Padahal menurut Heriwan (2013), para penyuluh harus
memiliki pikiran yang faktual, kreatif, cerdas, mau bekerja keras dan tuntas dalam
menghadapi beragam masalah penyuluhan selama ini. Sementara itu, penyuluh
kehutanan yang memiliki kreativitas akan selalu mencari, menggali dan menciptakan
sebuah karya yang bermanfaat bagi dirinya dan orang lain (Hidayat, 2007:81). Hal
ini ditegaskan Bapak Bambang Haryanto, ketika terjadi kelangkaan serta tingginya
harga pupuk dengan mengatakan:
Kelangkaan serta tingginya harga pupuk telah menyebabkan rendahnya
aplikasi pemupukan. Pada satu sisi pendapatan usaha berkurang karena
menurunnya produksi, sedangkan di sisi lain biaya produksi dan biaya
operasi mengalami peningkatan. Upaya-upaya teknis mensiasati
kelangkaan pupuk tersebut kami (penyuluh) dengan menganjurkan kepada
petani melakukan efisiensi pemupukan melalui pemanfaatan pupuk
majemuk, pemanfaatan pupuk organik, pupuk hayati dan organo-hayati
serta rasionalisasi pemupukan. Kami menganjurkan petani memanfaatkan
biomasa dan membatasi keluarnya unsur hara semaksimal mungkin (limbah
kulit buah, penaung, penutup tanah, integrasi ternak-tanaman). Kami juga
merancang pemanfaatan limbah kotoran sapi menjadi pupuk kandang
dengan menggunakan teknologi EM-4. Saat ini pupuk tersebut selain
dimanfaatkan sendiri, juga telah dijual kepada petani lain dan pengusaha
tambang (wawancara tanggal 14 Mei 2015).
69
Dengan demikian kreativitas tinggi dalam proses pemberdayaan, terutama bagi
penyuluh. Penyuluh diperlukan kemampuan untuk menciptakan suasana yang
menyenangkan dan kondusif agar masyarakat termotivitasi untuk lebih ingin
mengetahui materi, senang menanyakan, dan berani mengajukan pendapat, serta
melakukan percobaan yang menuntut pengalaman baru.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dibuat tahapan capaian aspek
psikomotorik penyuluh kehutanan sebagaimana dapat diihat pada Gambar 13.
70
Tabel 19. Hasil Penilaian terhadap Kemampuan Penyuluh Kehutanan
No Indikator Skor Kriteria Penilaian
1 Tingkat kemampuan kognitif 71.55 tinggi
2 Tingkat kemampuan afektif 68,05 sedang
3 Tingkat kemampuan psikomotorik 73,75 tinggi
Rata-rata 71.21 tinggi
Selang skor 20-100. Kategori penilaian: 20-36 = sangat rendah,>36-52 = rendah;
>52-68= sedang, >68-84 = tinggi; >84-100=Sangat Tinggi
71
dan sikap yang telah dimiliki maka seorang penyuluh kehutanan dapat
mengidentifikasi kebutuhan dan potensi yang dimiliki masyarakat secara baik dan
tepat, trampil memotivasi dan memfasilitasi masyarakat, trampil memanfaatkan
teknologi modern dalam mencari informasi peluang baru secara baik dan membantu
memfasilitasi masyarakat dalam pemasaran.
Menurut Mardikanto (2000:3), penyuluhan kehutanan adalah proses
pengembangan pengetahuan, sikap dan perilaku kelompok masyarakat sasaran agar
mereka tahu, mau dan mampu memahami, melaksanakan dan mengelola usaha-usaha
kehutanan untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan sekaligus mempunyai
kepedulian dan berpartisipasi aktif dalam pelestarian hutan dan lingkungan.
Untuk melaksanakan hal tersebut, kemampuan yang dituntut bagi penyuluh
kehutanan sebagai pelaku pemberdayaan masyarakat harus terlebih dahulu memiliki
kemampuan kognitif, afektif dan psikomotorik yang memadai (Sidu, 2006:37).
Menurut Yumi, et al.(2011:202), aspek kompetensi penyuluh dan pendamping yang
berpotensi mempengaruhi intensitas belajar petani adalah kemampuan penyuluh
dalam menganalisa permasalahan, meningkatkan kapasitas petani dan
mengembangkan wawasan teknis petani.
Berdasarkan paparan sebelumnya, dapat disarikan kemampuan perilaku
penyuluh kehutanan sebagaimana Gambar 14.
72
Keterangan:
73
Kalau dari sisi jumlah sebenarnya penyuluh kehutanan Kabupaten Barito
Kuala masih di bawah rasio yang seharusnya. Idealnya dalam 1 kecamatan yang
berada dan berbatasan dengan kawasan hutan harusnya terdiri dari 1 penyuluh
kehutanan ahli dan 3 penyuluh kehutanan trampil. Adapun sebaran penyuluh
kehutanan Kabupaten Barito Kuala dapat dilihat pada Tabel 20.
Tabel 20. Sebaran Penyuluh Kehutanan di Kabupaten Barito Kuala
74
bertugas menangani penyuluhan kehutanan baik di Dinas Kehutanan Provinsi dan
Dinas yang menangani kehutanan di kabupaten/kota menjadi sangat bervariasi.
Beberapa daerah provinsi dan kabupaten/kota ada yang memberikan perhatian cukup
terhadap penyuluh dan kegiatan penyuluhan kehutanan, sebaliknya beberapa daerah
lain perhatian dan dukungannya sangat kurang. Selain itu, penyuluh kehutanan
banyak yang dialihtugaskan ke jabatan struktural atau dialihfungsikan pada tugas-
tugas lain di luar tupoksinya sebagai tenaga fungsional penyuluh kehutanan. Situasi
dan kondisi ini menyebabkan Penyuluh Kehutanan seperti anak ayam yang
kehilangan induk, yang berdampak pada kesejahteraan dan perkembangan kariernya
yang kurang lancar.
Penyuluhan kehutanan akan berjalan lebih baik apabila terdapat kepastian
karier bagi penyuluhnya, adanya penghargaan profesinya dan jaminan kesejahteraan
bagi penyuluhnya serta aturan operasional penyuluhan kehutanan yang jelas.
Sebetulnya sudah ada kebijakan yang dikeluarkan dalam rangka mendukung
pelaksanaan penyuluhan kehutanan tersebut. Paling terdapat 6 (enam) kebijakan
yang terbagi dalam 2 bagian yaitu kebijakan terkait dengan pengembangan karier dan
penghargaan profesi penyuluh kehutanan. Kebijakan yang terkait dengan
pengembangan karier berupa SK MENPAN No. 130/KEP/M.PAN/12/2002 tanggal 3
Desember 2002, yang mengatur tentang Jabatan Fungsional Penyuluh Kehutanan dan
Angka Kreditnya, SK Ka BKN No 35 Tahun 2003 tentang Juklak Jabatan Fungsional
Penyuluh Kehutanan dan SK Menhut No 272/Kep-II/2003 tentang Juknis Jabatan
Fungsional Penyuluh Kehutanan. Selanjutnya satu pondasi untuk mendukung
kesejahteraan dan penghargaan profesi adalah Perpres No. 33/2007 yang mengatur
tentang Tunjangan Fungsional Penyuluh Kehutanan. Sebelumnya tunjangan
fungsional penyuluh kehutanan diatur dengan Perpres No. 27/2006 menetapkan,
bahwa penerimaan tunjangan fungsional penyuluh kehutanan berkisar antara Rp.
197.000,- s/d Rp. 440.000,- per bulannya dari jenjang terendah sampai jenjang
tertinggi. Dengan ketentuan yang baru tersebut, tunjangan fungsional penyuluh
kehutanan berkisar antara Rp. 240.000,- s/d Rp. 550.000,- per bulan yang nilainya
sama dengan penyuluh pertanian yang tunjangannya diatur Perpres No. 32/2007,hal
tersebut karena Penyuluhan kehutanan juga termasuk dalam tenaga fungsional
rumpun ilmu hayati.
75
2. Partisipasi Masyarakat dalam Proses Pemberdayaan
76
penelitian tergolong rendah. Dari 4 aspek penilaian, hanya aspek pelaksanaan yang
tergolong kategori sedang (skor 55) dan aspek lainnya rendah (skor 23-36). Padahal
menurut Ruhimat (2013:256), salah satu usaha yang dapat dilakukan untuk
meningkatkan efektivitas implementasi kebijakan publik adalah dengan
meningkatkan partisipasi masyarakat dalam setiap tahapan implementasi
kebijakan publik mulai dari perencanaan, pelaksanaan, sampai dengan penilaian.
Hal ini mengindikasikan bahwa dalam proses pemberdayaan, masyarakat
hanya dilibatkan sebagai pelaksanaan program saja. Masyarakat belum terlibat secara
optimal dalam proses perencanaan, pengorganisasian dan evaluasi. Keterlibatan
masyarakat pada seluruh proses pemberdayaan harus mendapat perhatian yang serius
yaitu; mulai dari indentifikasi masalah, potensi dan kelompok-kelompok strategis,
perencanaan kegiatan, pengorganisasian, pelaksanaan dan monitoring serta evaluasi
kegiatan. Pemerintah dan swasta atau lembaga lain harus sadar bahwa yang paling
mengenal dan paham terhadap kondisi masyarakat sasaran adalah masyarakat itu
sendiri. Oleh karena itu dalam menjamin keberlanjutan program pemberdayaan
sekitar kawasan hutan maka pelibatan masyarakat sekitar kawasan hutan adalah
suatu keharusan. Namun juga perlu disadari oleh semua pihak bahwa keterlibatan
dalam suatu proses pemberdayaan memiliki aturan main yang harus dipahami dan
diamalkan secara bersama. Artinya bahwa setiap pihak terlibat berdasarkan batas-
batas kewenangan dan peran masing-masing.
Data Tabel 21 menunjukkan kurangnya pelibatan masyarakat terutama pada
saat perencanaan, dan evaluasi. Masyarakat hanya dilibatkan pada saat pelaksanaan
sehingga terkesan adanya pemaksaan. Artinya masyarakat yang merupakan sasaran
program dalam hal ini masyarakat di sekitar kawasan hutan harus melaksanakan
program tersebut pada hal program tersebut belum tentu sama dengan kebutuhan
prioritas. Paradigma perencanaan program pemberdayaan sudah saatnya diubah dari
perencanaan yang bersifat top down dan sentralistik berubah menjadi perencanaan
yang bersifat botom up yang mengutamakan partisipasi masyarakat.
Berdasarkan pengakuan dari sebagian besar responden bahwa mereka hanya
dilibatkan pada awal pelaksanaan dan rekrutmen peserta program, karena ada
kaitannya dengan persyaratan pencairan dana. Pada saat perencanaan,
pengorganisasian dan evaluasi masyarakat tidak dilibatkan sama sekali. Jadi tidak
77
heran kalau sebagian besar program pemberdayaan kurang berhasil, apalagi
berkelanjutan. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa semua program tersebut tidak
membuat masyarakat berdaya/mandiri atau jumlah masyarakat miskin berkurang,
tetapi justru sebaliknya hanya membuat masyarakat semakin tergantung bantuan dari
pihak luar.
Sesungguhnya proses pemberdayan masyarakat di sekitar hutan dalam rangka
pengelolaan hutan dan lahan di Indonesia sudah dimulai sejak lama yang
implementasinya dalam bentuk penghijauan, reboisasi dan rehabilitasi lahan kritis
diberbagai DAS sejak tahun PELITA I (1970-an). Semua program tersebut
dimaksudkan supaya nilai-nilai pengelolaan hutan dan lahan dapat melembaga di
masyarakat. Dari segi keproyekan sudah ribuan ha lahan yang sudah direboisasi,
dihijaukan dan direhabilitasi. Demikian juga pembinaan masyarakat, sudah ribuan
orang dilatih dan disuluhkan nilai-nilai pengelolaan hutan dan lahan. Namun
demikian isu dan permasalahan yang berkaitan dengan kelestarian hutan dan lahan
masih saja menjadi isu atau problematik yang menarik untuk dibicarakan dan
memerlukan penanganan tersendiri. Fenomena kerusakan hutan dan lahan dalam
satuan DAS seperti kekeringan, banjir, erosi dan sedimentasi masih saja terjadi
bahkan kecenderungannya meningkat. Data terakhir menunjukkan bahwa laju
kerusakan hutan sebesar 1,6 juta ha/tahun jauh melebihi kemampuan untuk
merehabilitasinya yang hanya sekitar 900.000 s/d 1,2 juta ha/tahun. Dari beberapa
laporan menunjukkan bahwa:
1. tingkat partisipasi masyarakat dalam pengelolan DAS masih rendah
2. banyak proyek-proyek yang keberhasilannya sulit dipertahankan
3. kebijakan antar pemerintah atau NGO sering tidak sejalan (conflik of interest)
4. intervensi masyarakat terhadap lahan semakin ganas karena telah mamasuki
zona lindung. Padahal undang-undang telah menegaskan bahwa setiap
masyarakat atau lembaga yang mengelola atau memanfaatkan sumberdaya alam
diwajibkan untuk memelihara dan melakukan kegiatan konservasi tanah dan air.
Dari fenomena itu dapat ditarik kesimpulan bahwa pengelolaan hutan dan
lahan Indonesia belum melembaga dalam kehidupan masyarakat. Masih banyak
pemanfatan sumberdaya alam yang tidak menerapkan konsep-konsep pengelolaan
hutan lestari. Indikasi ini menunjukkan bahwa penerapan nilai-nilai pengelolan hutan
78
lestari masih rendah, belum diikuti oleh partisipasi masyarakat. Mengapa demikian?
Salah satu penyebabnya adalah strategi yang dilaksanakan selama ini kurang
melibatkan masyarakat. Keterlibatan mereka dalam pengelolaan hutan menjadi
terbatas bahkan di berbagai lokasi menjadi hilang. Hal ini membuat masyarakat
merasa asing terhadap lingkungan yang selama puluhan tahun digelutinya, bahkan di
beberapa tempat kegiatan mereka di hutan dianggap illegal. Lebih jauh lagi, rasa
memiliki mereka terhadap hutan di sekelilingnya menghilang. Di berbagai daerah di
Indonesia banyak terjadi konflik antara masyarakat dengan pihak swasta (HPH) dan
BUMN (Perhutani, Inhutani), dan antara masyarakat dengan pemerintah berkaitan
dengan pemanfaatan dan pemilikan hutan. Dampak dari keadaan ini adalah
kerusakan hutan yang tak terkendali disamping itu kesejahteraan masyarakat juga
tidak kunjung membaik.
Disamping itu paradigma yang berkembang dimasa lalu adalah bahwa
problema pengelolaan hutan dan lahan bukanlah problema masyarakat akan tetapi
merupakan problema pemerintah. Karena kegiatan yang dilakukan bersifat top down
dan instruksional serta kurang memperhatikan faktor-faktor yang mendorong
terjadinya proses pelembagaan baik dari aspek teknologi maupun dari aspek
organisasi dan nilai yang menyertainya. Teknologi yang diintrodusir biasanya
merupakan paket yang ditentukan dari pusat, demikian juga dalam penentuan
organisasi kelompok tani peserta kegiatan proyek tertentu.
Terkait dengan proses pemberdayaan dalam beberapa kasus, masyarakat
hanya dilibatkan sebagai pelaksana program saja. Masyarakat belum dilibatkan
secara optimal dalam proses perencanaan, pengorganisasian dan evaluasi. Menurut
Fauzi (2009), adakalanya masyarakat hanya dilibatkan pada awal pelaksanaan dan
rekrutmen peserta program, karena ada kaitannya dengan persyaratan pencairan
dana. Pada saat perencanaan, pengorganisasian dan evaluasi masyarakat tidak
dilibatkan sama sekali. Jadi tidak heran kalau sebagian program pemberdayaan
jarang berhasil, apalagi berkelanjutan. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa
banyak program tersebut tidak membuat masyarakat berdaya/mandiri atau jumlah
masyarakat miskin berkurang, tetapi justru sebaliknya hanya membuat masyarakat
semakin tergantung bantuan dari pihak luar.
79
Kegagalan program pemberdayaan dan pengentasan kemiskinan yang
dilakukan selama ini, selain disebabkan oleh tidak dilibatkannya masyarakat,
terutama pada waktu perencanaan, pengorganisasian dan evaluasi juga disebabkan
oleh para pelaku yang tidak memiliki komitmen dan keberpihakan pada masyarakat
(Sidu,2006:213). Pelaku pemberdayaan lebih cenderung mengutamakan kepentingan
pribadi dan kelompoknya daripada memikirkan bagaimana program tersebut berhasil
dan berkelanjutan atau dengan kata lain hanya menyelamatkan diri sendiri. Idealnya
seorang pelaku pemberdayaan harus menjadi fasilitator motivator, mediator dan
advokasi terhadap seluruh kepentingan masyarakat yang diberdayakan, bukan
sebaliknya mengambil keuntungan dari ketidakberdayaan masyarakat untuk
kepentingan pribadi dan kelompok.
Terciptanya masyarakat yang berdaya tidak terlepas dari keterlibatan ketiga
pilar utama pembangunan yaitu: pemerintah, masyarakat dan swasta. Ketiga pilar
pembangunan ini harus berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah, artinya
ketiganya saling terkait dan melengkapi tanpa ada yang merasa bahwa yang satu
lebih penting dari yang lainnya. Keberhasilan program pemberdayaan sangat
ditentukan oleh kepedulian, keberpihakan dan komitmen pemerintah dan swasta
dalam menyusun program-program pemberdayaan. Selain itu keterlibatan
masyarakat dalam proses pemberdayaan merupakan kata kunci dan jaminan
keberlanjutan program-program pemberdayaan tersebut.
Salah satu fungsi pemerintah dalam proses pemberdayaan adalah
menyediakan sarana dan prasarana penunjang dan menyediakan prangkat prangkat
hukum pelaksanaan kegiatan, seperti, peraturan daerah (Perda), peraturan bupati
(perbup) dan lain sebagainya. Pihak swasta dan lembaga-lembaga donor lainnya
berperan sebagai motivator, mediator, dan fasilitator terhadap pihak-pihak yang
memiliki kepedulian dan komitmen terhadap pemberdayaan masyarakat. Masyarakat
berperan sebagai pelaku utama dan penentu keberhasilan suatu program
pemberdayaan, sehingga masyarakat diyakinkan bahwa program tersebut dari
mereka, oleh mereka dan untuk mereka. Artinya program pemberdayaan itu
berdasarkan pada kondisi dan permasalahan yang mereka hadapi, sehingga
masyarakatlah yang menentukan dan melaksanakan alternatif pemecahannya dan
hasil dari upaya itu akan masyarakat rasakan sendiri.
80
Menurut informan keterlibatan warga masyarakat dalam proses
pemberdayaan sangat dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain faktor ketersediaan
sarana dan prasarana fisik, modal manusia yang berkualitas, modal sosial yang kuat
dan kemampuan pelaku pemberdayaan yang memadai.
Proses pemberdayaan memiliki hubungan yang cukup kuat dengan faktor
kemampuan pelaku pemberdayaan, modal sosial, dan modal fisik. Hal ini
mengandung makna bahwa, dalam memperbaiki proses pemberdayaan warga
masyarakat dapat dilakukan melalui peningkatan kemampuan pelaku pemberdayaan
yang didukung oleh modal sosial yang kuat dan ketersediaan modal fisik yang
memadai. Pelaku pemberdayaan memiliki peran yang penting dalam proses
pengalihan daya, kekuatan atau kemampuan kepada warga masyarakat yang lemah
atau yang diberdayakan sehingga mereka menjadi berdaya, berkekuatan atau
berkemampuan dalam menolong dirinya sendiri. Modal manusia menunjukkan nilai
korelasi yang lemah dan signifikan dengan proses pemberdayaan warga masyarakat.
Tingkat pendidikan warga masyarakat sebagian besar (59%) tamat SMP.
Pengembangan dan pelaksanaan program pemberdayaan warga masyarakat oleh para
pengambil kebijakan (pemerintah) belum memperhatikan kualitas sumberdaya
manusia secara sungguh-sungguh, tetapi masih berorientasi pada pencapaian target
proyek semata. Misalnya dalam menyalurkan dana bergulir dengan jumlah tertentu
pada program penguatan ekonomi rakyat belum memperhatikan kemampuan
masyarakat dalam mengelola dana tersebut. Akibatnya, banyak dana tidak kembali
dan akhirnya gagal. Jarang program pemberdayaan yang mengutamakan bagaimana
proses berjalan sesuai dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat sasaran serta
bagaimana keberlanjutannya setelah jangka waktu proyek itu berakhir. Semua
tahapan kegiatan program pemberdayaan mulai dari perencanaan sampai evaluasi
dilakukan oleh pihak luar, warga masyarakat hanya menunggu dan menerima
intruksi dari para pelaku pemberdayaan tentang apa yang harus dikerjakan. Kondisi
inilah yang terjadi di lokasi penelitian sehingga hasil yang diperoleh bukan
keberdayaan warga masyarakat tetapi mendorong terbentuknya masyarakat yang
memiliki mental menunggu uluran tangan dari pihak luar dan akhirnya
ketergantungan masyarakat terhadap pihak luar akan semakin tinggi.
81
Faktor modal sosial berpengaruh nyata dengan perbaikan proses
pemberdayaan terutama berkaitan dengan faktor tingkat kerjasama, kepercayaan
antar sesama warga masyarakat dan kepatuhan terhadap norma atau aturan yang
berlaku. Ketidakberhasilan proses pemberdayaan warga masyarakat di lokasi
penelitian saat ini sangat terkait dengan kesadaran warga masyarakat untuk secara
bersama-sama dalam menyelesaikan permasalahan yang mereka hadapi.
Faktor kemampuan pelaku pemberdayaan berpengaruh nyata terhadap
perbaikan proses pemberdayaan terutama berkaitan dengan tingkat ketrampilan dan
sikap keberpihakan terhadap kepentingan masyarakat. Mayarakat sekitar kawasan
hutan lebih senang jika seseorang atau pelaku pemberdayaan langsung memberikan
contoh bagaimana melakukan sesuatu yang dapat mendatangkan hasil dibanding
dikumpul dan diberi ceramah. Pelaku pemberdayaan yang hanya pandai berteori dan
menunjukkan sikap serba tahu cenderung dijauhi oleh masyarakat dan sebaliknya
pelaku pemberdayaan yang tidak banyak berteori tetapi suka bekerja, memiliki
ketrampilan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan rendah hati serta
membaur dengan masyarakat akan lebih disukai. Pelaku pemberdayaan yang
memiliki ketrampilan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan rendah hati
serta membaur dengan masyarakat akan dapat menumbuhkan kesadaran masyarakat
akan pentingnya kerjasama, saling mempercayai, patuh terhadap orma/aturan, peduli
terhadap sesama dan terlibat dalam kegiatan kemasyarakatan.
82
bagi kehidupan mahluk secara keseluruhan. Oleh karena itu, kelestarian lingkungan
merupakan hal yang penting dan mendesak untuk dipikirkan upaya-upaya yang
signifikan agar lingkungan tersebut dapat tetap lestari. Kelestarian lingkungan tidak
terlepas dari peran masyarakat, terutama masyarakat di sekitar dan dalam kawasan
hutan yang memiliki akses dan peluang yang tinggi untuk mengganggu atau merusak
lingkungan.
Kelestarian hutan memang penting, tetapi keberlanjutan kehidupan
masyarakat yang ada di sekitarnya juga tidak kalah pentingnya. Kedua hal tersebut
harus dipikirkan secara bersamaan agar keduanya tetap berkelanjutan. Kaitannya
dengan pelestarian hutan pemerintah telah banyak menggulirkan dana melalui
program-program yang berkaitan dengan perbaikan fisik lingkungan seperti
penghijauan, reboisasi dengan memberdayakan masyarakat sekitar kawasan hutan
untuk berpartisipasi dalam program tersebut.
Sulistiyani (2004) menjelaskan bahwa tujuan yang ingin dicapai dari
pemberdayaan masyarakat adalah untuk membentuk individu dan masyarakat
menjadi mandiri. Kemandirian tersebut meliputi kemandirian berpikir, bertindak dan
mengendalikan apa yang mereka lakukan. Kemandirian masyarakat merupakan suatu
kondisi yang dialami oleh masyarakat yang ditandai dengan kemampuan
memikirkan, memutuskan serta melakukan sesuatu yang dipandang tepat demi
mencapai pemecahan masalah-masalah yang dihadapi dengan mempergunakan
daya/kemampuan yang dimiliki. Masyarakat berdaya harus memiliki kemampuan
dalam berpikir, bersikap, bertindak dan berinovasi dalam dimensi politik, sosial,
ekonomi, dan lingkungan. Keempat dimensi tersebut harus terintegrasi dalam
kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotorik.
Hal ini sejalan dengan pendapat Mardikanto (2015:19), pemberdayaan
diharapkan dapat merangsang terjadinya proses perubahan perilaku yang dilakukan
melalui kegiatan proses belajar mengajar. Perilaku digolongkan menjadi 3 kelompok
yaitu: 1) pengetahuan dan informasi atau kognitif, 2) sikap dan apresiasi atau afektif,
dan 3) ketrampilan dan performansi atau psikomotorik.
83
a. Kemampuan Kognitif Masyarakat yang diberdayakan
84
satu balai dibagi menjadi beberapa kelompok penggunaan lahan. Sebagian besar dari
kawasan adat merupakan katuan (hutan) larangan. Hutan ini tidak boleh digunakan
untuk bahuma (bertanam) karena dipercayai sebagai kediaman leluhur masyarakat
balai.
Kedudukan hutan sebagai nafas kehidupan masyarakat adat Dayak Bakumpai
bertimbal balik dengan kesadaran mereka menjaga dan memelihara hutan dengan
baik. Hutan menjadi landasan ideologi, sosial, dan sekaligus sumber penunjang
perekonomian mereka. Mereka percaya bahwa Jubata Duwata dalam sistem
kepercayaan masyarakat dayak Meratus akan mengutuk mereka yang
menghancurkan hutan.
Terdapat lima prinsip dasar yang bisa dicermati dalam budaya yang terpatri
dalam pengetahuan dan kearifan lokal yaitu keberlanjutan, kebersamaan,
keanekaragaman hayati, subsisten, dan kepatuhan kepada hukum adat. Bila kelima
prinsip ini dilaksanakan secara konsisten maka akan menghasilkan pembangunan
berkelanjutan yang berwawasan lingkungan, yang mencakup secara ekonomis
bermanfaat, secara ekologis tidak merusak, dan secara budaya menghormati nilai-
nilai kemanusiaan.
Pengetahuan lokal tidak hanya sebatas pada apa yang dicerminkan dalam
metode dan teknik bertaninya saja, tetapi juga mencakup tentang pemahaman
(insight), persepsi dan suara hati atau perasaan (intuition) yang berkaitan dengan
lingkungan yang seringkali melibatkan perhitungan pergerakan bulan atau matahari,
astrologi, kondisi geologis dan meteorologis. Pengetahuan asli yang dimiliki suatu
komunitas, kata Chambers & Richards (1995:xiii) tidak lagi dipandang sebagai
takhayul (superstition), tetapi telah mengajarkan kita pada kerendahan hati dan
kebutuhan untuk belajar dari suatu komunitas sebelum kita mengajari mereka.
Kadang-kadang pengetahuan lokal yang sudah beradaptasi dengan baik dan
efektif untuk mengamankan kehidupan mereka dalam lingkungan tertentu menjadi
tidak sesuai lagi di bawah kondisi lingkungan yang sudah terdegradasi (Thrupp,
1989). Adakalanya suatu teknologi yang dikembangkan di tempat lain dapat
diselaraskan dengan kondisi lingkungannya sehingga menjadi bagian integral sistem
bertani mereka. Hal ini bisa didapat melalui pelatihan dan/atau interaksi dengan
pihak lain. Karenanya teknologi eksternal ini akan menjadi bagian dari teknologi
85
lokal mereka sebagaimana layaknya teknologi yang mereka kembangkan sendiri.
Pengetahuan praktis petani tentang ekosistem lokal, tentang sumber daya alam dan
bagaimana mereka saling berinteraksi, akan tercermin baik di dalam teknik bertani
maupun ketrampilan mereka dalam mengelola sumber daya alam.
Pelatihan yang sering diadakan sebelum proyek fisik kehutanan bertujuan
mempersiapkan anggota kelompok tani melaksanakan kegiatan fisik agar tercapai
tujuan pembangunan hutan yang diharapkan. Melalui pelatihan, seseorang atau
komunitas akan mampu mengembangkan tingkah laku (pengetahuan, sikap,
keterampilan) agar mencapai sesuatu yang diinginkan (Robinson, 1981;12). Menurut
Brundage (1981:73), pelatihan pada umumnya ditujukan kepada orang dewasa. Hal
ini ditegaskan informan Bapak Junaedi berikut:
Pengetahuan tentang teknis kehutanan juga didapat melalui pelatihan.
Hampir tiap tahun sebelum pelaksanakan fisik, kami sering mengikuti
pelatihan yang dilaksanakan pihak kehutanan seperti Gerhan, Hutan
Kemasyarakatan, Agroforestri, perlebahan dll. Kami pun pernah studi
banding ke Jawa (Program PHBM Perhutani) (Wawancara tanggal 7 Mei
2015)
86
konsep dari hasil pengalamannya menandai teori yang logis; dan ia harus mampu
mempergunakan konsep tersebut sebagai panduan dalam melakukan kegiatan.
Setelah keempat langkah tersebut dilalui, seseorang akan memperoleh pengalaman
baru, dimana pengalaman baru tersebut akan direfleksikan kembali, lalu dibuat
kesimpulan baru, dan diterapkan demikian seterusnya hingga daur belajar akan
terulang kembali.
Lebih jauh Marzuki (2015), menyatakan bahwa dengan pelatihan diharapkan
terjadi perbaikan tingkah laku pada partisipan pelatihan. Kondisi ini diakui informan
Bapak Basrani berikut:
Setelah mengikuti pelatihan, wawasan pengetahuan kami menjadi
bertambah dan motivasi kami menjadi tinggi untuk melaksanakan proyek
kehutanan. Ketika kami ikut pelatihan Kebun Bibit Rakyat (KBR), kami jadi
tahu cara memproduksi bibit berkualitas. Kami juga bisa membuat daftar
pengelolaan keuangan KT, surat menyurat dan membuat proposal. Tidak
percuma kami ikut pelatihan, sudah gratis, diberi uang saku bahkan
berguna untuk meningkatkan taraf hidup kami nantinya (wawancara
tanggal 7 Mei 2015)
87
terhadap mereka. Meskipun demikian ada juga masyarakat yang telah memiliki
kemampuan analisis tinggi sebagaimana dapat dilihat dari kemampuan (a) membuat
kesimpulan dari hasil pemahaman yang diperoleh, (b) mencari sumber-sumber
pengetahuan lainnya, (c) membedakan misalnya jenis-jenis tanaman hutan yang
toleran dan intoleran, pupuk organik dan anorganik, bibit berkualitas baik dan tidak
(d) cara mengukur jarak tanam, cara menghitung potensi hutan. Sebagai ilustrasi
ditegaskan oleh informan Bapak Basrani:
Semenjak mendapat bimbingan dari penyuluh kehutanan, kami dapat
mengetahui tentang pupuk organik. Dulunya kami biasa menggunakan
pupuk buatan pabrik seperti urea, TSP, atau KCl, kami menganggap yang
terbaik adalah pupuk tersebut. Dulu kami menanam pohon Ulin di padang
terbuka dan tidak pernah berhasil. Setelah diberi pemahaman oleh
penyuluh bahwa setiap jenis tanaman dapat dibedakan dari jenis tahan
tidaknya terhadap naungan, kami pun jadi tahu hal tersebut. (wawancara
tanggal 8 Mei 2015).
88
Gambar 15. Kemampuan Kognitif Masyarakat (diadaptasi dari model Taksonomi
Bloom (1956)
Tabel 23.
89
Tingkat kemauan masyarakat untuk hadir dalam kegiatan pertemuan-
pertemuan dan pelatihan dalam rangka pengelolaan hutan tergolong sedang dengan
skor 55,48 (Lampiran 10). Sebanyak 27.42% responden menyatakan kadang-kadang
datang menghadiri setiap undangan pertemuan yang dilaksanakan dalam kegiatan
program pemberdayaan masyarakat, 29,84% responden jarang datang, 14.52%
responden tidak pernah datang, 20,16% responden sering datang dan 8,06%
responden pasti datang (Gambar 16).
90
Menurut Jamasy (2004), partisipasi tidak hanya diukur oleh jumlah
melainkan harus juga diukur oleh seberapa banyak elemen masyarakat yang
terlibat, misalnya dari latar belakang jenis kelamin (laki-laki dan perempuan), latar
belakang usia (tua dan muda), latar belakang sosial-ekonomi (kaya menengah dan
miskin) dan lain sebagainya. Bias partisipasi seringkali dijumpai, misalnya
pertemuan yang dihadiri oleh 40 orang dan yang dihadiri oleh 20 orang. Dari aspek
jumlah, 40 orang lebih baik dari yang 20 orang, tetapi dari aspek kualitas mungkin
saja yang 20 orang akan menjadi lebih baik dan partisipatif karena mereka adalah
wakil dari seluruh elemen masyarakat, sementara yang 40 orang hanyalah dari
tertenu saja.
Minat masyarakat untuk terlibat dalam rangka pengelolaan hutan di KPHK
Barito Kuala tergolong sedang dengan nilai 56,61 (Lampiran 10). Sebanyak 13,71%
responden menyatakan berminat untuk terlibat dalam pengelolaan hutan, 7,26%
responden menyatakan sangat berminat, 45,16% responden menyatakan tidak
berminat dan 13,71% menyatakan sangat tidak berminat (Gambar 17).
Menurut J. Holland (1990), minat yang sesuai merupakan faktor penting yang
menentukan individu dapat berprestasi. Minat adalah kesadaran individu terhadap
sesuatu hal yang bersangkut paut dengan dorongan sehingga individu memusatkan
91
seluruh perhatiannya terhadap objek tertentu dengan senang hati melakukan aktivitas
yang berhubungan dengan objek (Fisher, 1930:34). Menurut Asher (dalam Hanani,
1995) minat merupakan aktivitas psikis manusia yang menyebabkan individu
memberikan perhatiannya kepada suatu objek yang kemudian diikuti, kecenderungan
untuk mendekati objek tersebut dengan perasaan senang, karena individu mengetahui
bahwa apa yang dikerjakannya itu akan mendatangkan hasil yang sesuai dengan
harapannya. Berdasarkan uraian di atas minat adalah kondisi di mana individu
memusatkan seluruh perhatiannya pada suatu objek tertentu dengan perasaan senang.
Menurut Crow & Crow (1973) faktor-faktor yang mempengaruhi minat
adalah faktor dorongan dari dalam individu, motif sosial, dan faktor emosional.
Faktor dorongan dari dalam individu muncul dari adanya kebutuhan-kebutuhan dasar
individu, misalnya dorongan untuk mencari makan karena lapar. Faktor motif sosial,
individu didorong untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan agar dapat diterima
dan diakui oleh lingkungan tersebut misalnya minat untuk mengenakan pakaian
mahal dan bermerk, dan faktor emosional berkaitan erat dengan perasaan atau emosi
keberhasilan dalam suatu aktivitas memunculkan perasaan senang dan mendorong
timbulnya minat untuk melakukan hal yang sama dikemudian hari. Dan kegagalan
sering menyebabkan hilangnya minat. Istilah minat digunakan dalam dua cara pada
psikologi, yang pertama minat diartikan sebagai suatu rasa senang yang dihasilkan
dari adanya perhatian khusus terhadap sesuatu atau aktivitas tertentu dan yang kedua
diartikan sebagai sikap atau kondisi psikologis yang ditandai oleh adanya
kecenderungan untuk memahami suatu pengalaman yang akan selalu diulangi (Ahser
dalam Hanani,1995). Berdasarkan uraian di atas minat dipengaruhi oleh faktor
dorongan dari dalam individu, faktor motif sosial, dan faktor emosional.
Pada tingkatan menanggapi (responding) direflesikan dalam bentuk
penyampaian pendapat/opini atas materi yang disampaikan penyuluh, dan dukungan
terhadap program kehutanan yang melibatkan masyarakat. Hal ini sesuai dengan
pendapat (Rahman, 2010:3), responding merupakan partisipasi aktif sebagai bagian
dari perilakunya. Pada tingkat ini masyarakat tidak saja memperhatikan fenomena
khusus tetapi ia juga bereaksi. Hasil pemberdayaan pada ranah ini menekankan pada
pemerolehan respons, berkeinginan memberi respons, atau kepuasan dalam memberi
respons.
92
Tingkat partisipasi masyarakat dalam memberikan masukan atau usulan
dalam kegiatan pertemuan-pertemuan yang dilakukan tergolong rendah dengan nilai
47,42, dimana pada umumnya warga yang aktif dalam berpendapat hanya orang-
orang tertentu saja, dan kebanyakan warga selalu mengikut pendapat-pendapat yang
disampaikan tokoh-tokoh masyarakat atau pengurus KTH. Sebagian besar responden
atau sebanyak 38,71% responden menyatakan jarang menyampaikan usul dalam
setiap pertemuan yang dilaksanakan dalam kegiatan pemberdayaan masyarakat,
7,26% responden selalu menyampaikan usul, 20,16% responden menyatakan
kadang-kadang menyampaikan usulan, 7,26% responden menyatakan jarang
menyampaikan usulan dan 24,19% responden menyatakan tidak pernah
menyampaikan usulan (Gambar 18).
93
pertemuan. Sebanyak 12,10% responden menyatakan sering memperbincangkan
kegiatan pembangunan yang dilaksanakan pemberdayaan masyarakat di luar forum
pertemuan pemberdayaan masyarakat, 5,65% responden menyatakan sangat sering,
31,45% responden menyatakan kadang-kadang memperbincangkan, 29,84%
responden menyatakan jarang memperbincangkan dan 20,97% responden
menyatakan tidak pernah memperbincangkan kegiatan pemberdayaan masyarakat di
luar forum pertemuan pemberdayaan masyarakat (Gambar 19).
94
Gambar 20. Sikap Dukungan Masyarakat terhadap Kegiatan Program Pemberdayaan
Masyarakat dalam Pengelolaan Hutan
Kami senang ada program kehutanan di daerah kami, karena lahan di sini
sudah banyak yang gundul akibat perusahaan kayu dan tambang batubara.
Kalau tidak dihijaukan, air sungai/sumur akan cepat kering, cuacanya
panas, dan rawan longsor. Kami juga senang karena bisa meningkatkan
pendapatan dan kesempatan kerja lebih baik daripada harus mengambil
kayu di hutan jauh-jauh (wawancara dengan Bapak Basrani tanggal 7 Mei
2015 )
95
Dulu warga Tabunganen Kecil dan Tabunganen Muara meramu Gaharu
dari hutan namun hasilnya terus berkurang dan sulit didapat, padahal itu
mata pencaharian utama kami selain berladang. Sejak pihak kehutanan
memberikan penyuluhan tentang budidaya dan Inokulasi Gubal Gaharu,
saya mengikuti dan mematuhi apa yang diarahkan penyuluh dengan
menanam di lahan pekarangan sebanyak 300 batang. Saat ini pohon
Gaharu sebagian sudah disuntik dengan bantuan penyuluh dan siap panen
(wawancara dengan Bapak Rahmat tanggal 18 Mei 2015 )
96
Pengalaman di Sanggau, Kalimantan Barat, kegiatan rehabilitasi partisipatip yang
dilakukan proyek perhutanan-sosial, terbukti memiliki tingkat keberhasilan lebih
dari 80% dibanding proyek-proyek rehabilitasi pada umumnya yang hanya
sekitar 30%.
2. Perluasan lapangan kerja dan kesempatan kerja bagi masyarakat desa hutan, baik
yang secara langsung terlibat dalam kegiatan perhutanan sosial, maupun yang
melakukan kegiatan-kegiatan pendukungnya, seperti: pengadaan dan
perdagangan bibit, pengadaan dan perdagangan pupuk
3. Perbaikan mutu sumberdaya manusia, yang dapat diharapkan dari beragam
kegiatan pelatihan yang dilaksanakan terkait dengan pengembangan perhutanan
sosial, seperti: pelatihan teknis agroforestri, pelatihan keorganisasian, pelatihan
usaha produktif.
Sementara itu berdasarkan Gambar 20, sebanyak 63,71% tidak mendukung
program kehutanan di daerahnya. Ada berbagai alasan yang menyebabkan penolakan
tersebut sebagaimana ditegaskan oleh informan berdasarkan pengalaman historis
mereka:
Banyak proyek kehutanan yang pernah dikembangkan di sini gagal,
misalnya dulu pernah proyek reboisasi dengan tanaman Akasia. Akibat
banyaknya tanaman Akasia, tanaman lain tidak bisa berkembang dengan
baik, malah sering terjadi kebakaran. Pernah juga tanam Sengon tahun
2000, ternyata ketika di panen harganya murah sekali. Belum lagi harus
mengeluarkan biaya ekstra karena terkena kebijakan peredaran kayu hutan.
Kadangkala teknologi yang ditawarkan sulit diterapkan petani dan bahkan
belum tentu lebih baik dari yang sudah ada (wawancara dengan Bapak
Saladeri tanggal 8 Mei 2015)
pihak kehutanan melalui penyuluh? Ada beberapa alasan yang menurut Fujisaka
(1993) dan Pretty (1995), yakni teknologi yang direkomendasikan seringkali tidak
97
menjawab masalah yang dihadapi petani sasaran, teknologi yang ditawarkan sulit
diterapkan petani dan mungkin tidak lebih baik dibandingkan teknologi lokal yang
sudah ada, inovasi teknologi justru menciptakan masalah baru bagi petani karena
sistem dan strategi penyuluhan yang masih lemah sehingga tidak mampu
teknologi baru, seringkali akibat pengalaman kurang baik di masa lalu, dan adanya
Tanaman Sengon yang kami tanam sebagian besar banyak yang gagal,
akibat pertumbuhan tanaman yang tidak sesuai harapan. Pada saat
disampaikan pihak kehutanan bahwa Sengon mempunyai prospek yang
bagus, dalam umur 7 tahun diameternya bisa mencapai 40 cm, namun
kenyataannya maksimal 27 cm. Disamping itu juga ketidakjelasan status
pemasaran hasil hutan kayu apabila sudah menghasilkan, padahal lahan
sudah terlanjur ditanami dengan tanaman hutan. Katanya kalau menjual
kayu Sengon harus ada ijin lagi dari kehutanan termasuk biaya resmi dan
tidak resmi yang harus dikeluarkan. Padahal kayunya hasil tanaman kami
sendiri. Beda apabila lahan tersebut dikembangkan tanaman Sawit,
pendapatan yang akan diterima lebih menjanjikan dan bisa didapat setiap
hari sehingga kebutuhan anggota keluarga lebih terjamin (wawancara
tanggal 8 Mei 2015).
promosi dari kehutanan pusat atau keberhasilan di daerah lain. Maka daerah lain
mengambil kebijakan serupa, padahal belum tentu cocok dan sesuai. Pengalaman
Barat. Dari aspek tata niaga kayu, sebenarnya telah diatur dalam Permenhut
98
No..P.63/Menhut-II/2006 untuk hutan negara, dan Permenhut No. P.62/Menhut-
II/2006 untuk Hutan Hak (Syahadat & Dwiprabowo, 2008:201). Hanya saja sebagian
besar masyarakat tidak mengetahui hal tersebut atau malas mengurus, akibatnya
dengan berbekal surat jalan dari Kepala Desa, masyarakat menjual kayu ke luar
daerah dan ketika ada razia kayu terpaksa harus berurusan dengan pihak berwajib
Dengan kondisi tersebut, masyarakat lebih memilih cara yang aman dan lebih
ada satu pun komoditi kehutanan (kayu) yang nilai ekonomi dan pasarnya
menandingi karet.
Pilihan anggota masyarakat untuk tidak ikut atau tidak berpartisipasi aktif
dalam program mempunyai alasan beragam seperti kualitas jenis tanaman yang
diberikan pada program terdahulu tidak sesuai dengan apa yang diharapkan, jenisnya
tidak marketable, dan tidak ekonomis. Pada beberapa kasus program serupa,
masyarakat tidak mengetahui secara pasti kemana mereka harus menjual kayu
terpaksa ditebang dan diganti dengan tanaman yang lebih komersial seperti Karet
disebabkan oleh hal yang lebih ekstrim lagi, kalau dana yang seharusnya mereka
terima sering tidak sesuai di bawah nilai yang tertulis pada bukti pembayaran. Setiap
dana yang akan dicairkan maka terlebih dahulu harus ada bukti-bukti pengeluaran
uang dan penandatangan sejumlah berita penerimaan barang yang sebenarnya belum
diberikan. Jadi terkesan bahwa sebenarnya uang telah dicairkan, padahal sebenarnya
99
tidak. Persyaratan tandatangan terlebih dahulu inilah yang sering dikeluhkan petani
dan pelaksana proyek, namun kebijakan pusat memang harus seperti itu.
Ada juga yang memilih untuk tidak ikut karena alasan bahwa program
yang cepat, karena menunggu waktu panen, padahal mereka butuh uang untuk
Kami takajut pas di kabun gatah wan dukuh ampun kami sakalinya ada
patuk habang. Waktu ditakunakan wan pambakal, sakalinya nangitu patuk
batas kawasan hutan. Artinya kabun kami barada dalam kawasan hutan
pamarintah (Kami terkejut ketika di kebun karet dan kebun buah punya
kami ternyata telah dipasang patok merah. Saat ditanyakan dengan kepala
desa, ternyata patok tersebut adalah patok batas kawasan hutan. Artinya
kebun kami berada dalam kawasan hutan pemerintah).
Lupak, Tabunganen Kecil dan Tabunganen Muara telah dimulai bersamaan dengan
awal terbentuknya desa induk yang dulu bernama Kampung Sungai Pinang sendiri
tahun 1948. Masyarakat asli yang mendiami wilayah ini pada mulanya adalah
masyarakat Dayak Bakumpai Barito Kuala. Mereka mengelola hutan sebagai lahan
tanaman obat, ada juga masyarakat yang menggunakan lahan kosong sebagai areal
sawah. Jadi sejak dahulu, kawasan hutan sudah digarap oleh masyarakat sekitar
kesepakatan dan kepercayaan dalam aturan adat tanpa menggunakan bukti tertulis.
100
Jadi meskipun tanah tersebut secara turun temurun dimiliki oleh masyarakat, tidak
satu pun dari mereka memiliki surat kepemilikan tanah. Batas-batas tambit
Hanjuang (Cordyline sp) dan sungai. Penentuan batas ini merupakan kesepakatan
antar pemilik-pemilik lahan yang berbatasan langsung sehingga tidak timbul masalah
di kemudian hari.
Menurut informan dari Desa Kuala Lupak dan Sungai Telan, keberadaan
penetapan kawasan hutan. Saat ini sebagian lahan kampung sedang diusulkan untuk
mendapatkan status Enclave, namun tidak sedikit lahan milik lainnya yang tidak
hutan. Dokumen legal yang dimiliki KPHK Barito Kuala atas nama negara adalah
menurut Peta Tata Guna Hutan Kesepakatan (SK Menhut No. 247/Kpts-II/1984),
direvisi dengan Permenhut No.435/2009. Inilah yang menjadi pemicu konflik lahan
hutan antara masyarakat dengan pihak kehutanan. Jadi, akar dari persoalan konflik
komplek. Terkait dengan hal ini masyarakat sepenuhnya tidak bisa disalahkan karena
secara de facto masyarakat telah dahulu menguasai wilayah tersebut meskipun secara
101
de jure statusnya adalah kawasan hutan. Keberadaan dusun/kampung/desa definitif
di dalam kawasan hutan adalah realita di banyak daerah di Indonesia akibat dari
berbagai alasan atau latar belakang (kasus per kasus) yang perlu dipahami benar
guna penanganannya yang tepat dan adil. Keberadaan kampung di dalam kawasan
hutan bisa karena memang sudah ada sebelum ditetapkan sebagai kawasan, bisa
karena program pemerintah di masa lalu dan juga bisa karena pendudukan kawasan
fungsi kawasan itu sendiri, serta manfaat kawasan bagi kehidupan masyarakat
hutan adalah adanya penetapan desa definitif sebanyak 34 buah dan 7 pemukiman
transmigrasi yang belum dienclave dikeluarkan dari kawasan hutan, akibatnya dalam
satu tapak yang sama terdapat dua kewenangan yaitu BKSDA Kalsel, dan
warganya, ada oknum membagi lahan hutan bagi warga, termasuk warga pendatang
Selama ini kami melihat bahwa hutan yang katanya dikuasai pemerintah
tidak pernah dikelola pihak kehutanan, sehingga menjadi lahan tidur dan
tidak produktif. Disisi lain, masyarakat perlu lahan untuk dibudidayakan
demi mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari, diantaranya untuk Tambak
Ikan Bandeng. Itulah alasannya kenapa lahan hutan tersebut dibagikan
102
kepada masyarakat. Namun pembagiannya berdasarkan kemampuan dan
keperluan masing-masing (wawancara tanggal 7 Mei 2015).
menurut informan disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, sebagai buntut belum
mengeluarkan lahan yang mereka kuasai dari status sebagai kawasan hutan (enclave),
sedangkan dari sisi pemerintah hanya akan melakukan enclave untuk lahan
pemukiman. Artinya lahan-lahan hutan yang telah digarap dan atau dikuasai tidak
akan berubah statusnya menjadi lahan milik, kecuali lahan seluas rumah yang
ini dituntaskan. Kedua, Adanya kekhawatiran warga kalau program kehutanan yang
akan masuk ke desanya sebagai upaya membujuk warga agar tidak melakukan
tuntutan atas lahan yang dikuasainya atau paling tidak menyetujui tawaran enclave
menurut versi pemerintah. Jadi, daripada termakan bujuk rayu pemerintah, lebih baik
tidak menerima sama sekali program kehutanan, dan yang ketiga, keterbukaan arus
informasi melalui media cetak dan media elektronik termasuk internet di zaman
lahan oleh masyarakat di daerah lain terhadap lahan hutan yang dikuasai negara atau
dulu karena berada di bawah tekanan penguasa, masyarakat cenderung tidak berani
daerahnya, tentu akan berimbas kepada tidak terlaksananya program kehutanan yang
103
telah dan akan disusun, termasuk kegiatan KPHK Barito Kuala yang akan mulai
mengajukan tiga alasan status penguasaan tanah (lahan) sedemikian penting dalam
pogram manajemen sumber daya alam: pertama, penguasaan tanah itu berdampak
pada orang-orang yang memiliki akses terhadap sumber daya; kedua, penguasaan
tanah itu menentukan apakah orang mau ikut serta dalam aktivitas proyek itu atau
tidak; dan ketiga, penguasaan tanah itu berdampak pada distribusi manfaat program
itu.
terhadap kawasan hutan. Kalau sudah terjadi pengakuan tersebut, maka upaya
pembangunan hutan lestari akan lebih mudah tercapai. Hal ini sesuai dengan
pendapat Simon (2006:145), kunci tercapainya pengelolaan hutan yang lestari salah
satunya adalah kepastian batas kawasan hutan yang diakui oleh semua fihak. Oleh
karena itu adanya batas kawasan hutan yang tetap sangat penting, sebab kalau tidak
berproduksi hutan bersifat jangka panjang dan pengelolaannya tidak dapat diatur
untuk cepat mengalami perubahan dalam waktu singkat atau mendadak. Misalnya,
kalau tidak ada batas kawasan hutan yang tetap, pekerjaan membangun hutan dapat
sia-sia kalau sebelum waktu masak tebang batas kawasannya dilanggar untuk
adalah valuing atau menilai. Sikap yang ditunjukkan pada tahap ini adalah kepuasan
104
teknologi dan mengusulkan perencanaan program perhutanan sosial.
Berdasarkan Gambar 21, sebagian besar responden atau sebanyak 59,68% responden
menyatakan tidak puas, dan sebanyak 4,84% responden menyatakan sangat puas,
8,06% responden menyatakan cukup puas, 8.1% responden menyatakan kurang puas
dan 15,32% menyatakan sangat tidak puas terhadap program pembangunan hutan
merupakan bentuk lain dari penolakan warga terhadap pembangunan hutan sebelum
hutan dalam tergolong sedang dengan nilai rata-rata 52,74, misalnya masyarakat
105
menjadi lebih yakin mengembangkan tanaman hutan, melakukan pemberantasan
hama dan penyakit dengan teknologi yang ramah lingkungan, mengajukan pendapat
dalam forum-forum pertemuan dan lebih berani memimpin forum karena telah
biasa saja, 18,55% responden menyatakan sudah yakin dan sebanyak 6,45%
(Gambar 22).
parasarana. Kalau dihubungkan dengan hasil penelitian, ketika program PMDH dan
106
peserta muncul ketergantungan terhadap petugas penyuluh yang merepresentasikan
tercemin dari penuturan beberapa peserta yang selalu mengharapkan bantuan pupuk,
lebih pintar dan lebih bisa menguasai keadaan dari yang lain. Hal ini dapat
mengakibatkan sikap malas pada anggota kelompok dan kurang memotivasi mereka
Ini berarti bahwa pembinaan dan bantuan selama ini yang sebenarnya
ini, pembinaan dan bantuan terhadap masyarakat desa masih memerlukan waktu
yang relatif lama, memerlukan kesabaran dan berusaha untuk mengusahakan mereka
hasil yang positif terlebih dahulu. Penegasan ini penting mengigat selama ini mereka
dengan berbagai produk teknologi pertanian, keculai pupuk kandang yang berasal
dari kotoran ternak. Di samping itu perlu perubahan paradigma istilah keproyekan
sifatnya hanya sementara dan pancingan yang nantinya kegiatan selanjutnya tumbuh
pembiayaan.
107
kemampuan memilih teknologi, model dan pola apa saja yang tepat untuk
dilaksanakan. Pada tahap ini tingkat kemampuan memilih dengan pertimbangan yang
tepat tergolong sedang dengan nilai rata-rata 55,81. Sebagian besar responden atau
8.1% responden menyatakan kurang mampu dan tidak ada responden yang
Pada tahap ini masyarakat sudah mampu memilih berbagai teknologi dalam
pengelolaan hutan. Hal ini ditunjukkan dengan kemampuan petani bisa memilih
menggunakan pestisida alami dari daun mimba dalam membasmi hama ulat daun
pada tanaman gaharu, memilih tanaman yang cocok untuk dikembangkan dalam pola
tumpang sari, memilih teknik silvikultur yang digunakan dalam budidaya tanaman.
juga terlihat dari tingkat kekritisan warga dalam menyampaikan usulan atau kritik
dekat dapat diketahui bahwa warga yang kritis hanya personil itu-itu saja yang
notabene merupakan kelompok elite warga yang antara lain terdiri dari tokoh agama,
tokoh masyarakat, tokoh pemuda, perangkat desa, dan pegawai, namun adanya
kelompok warga yang kritis bisa dijadikan sebagai pendorong dan pemacu serta
sumber pembelajaran bagi anggota masyarakat yang lain untuk lebih peduli terhadap
108
yang tepat, menata pola tanam berdasarkan keruangan (spasial) dan waktu,
109
Pada tingkatan yang terakhir yaitu characterization by value set atau value
ke dalam suatu sistem nilai pribadi (Suciati,2005:45). Pada tingkat ini, masyarakat
bukan saja telah mencapai perilaku-perilaku pada tingkat yang lebih rendah, tetapi
telah mengintegrasikan nilai tersebut ke dalam suatu filsafat hidup yang lengkap,
meyakinkan, dan perilakunya akan selalu konsisten dengan filsafat hidup tersebut.
bahwa keberadaan hutan sangat penting bagi umat manusia dan lingkungannya,
memiliki tingkatan ini hanya dikatagorekan rendah (skor 44,87). Keyakinan ini
hanya diperlihatkan oleh kelompok tani dan masyarakat di Desa Sungai Telan yang
dimotori Bapak Basrani. Dalam penelitian ini, karena figur Kepala Desa Sungai
Telan bekerja keras sangat mendukung dan mempertahankan kawasan hutan agar
tidak dialih fungsi. Oleh sebab itu, pemerintah memberikan berbagai penghargaan
terhadap mereka yang berprestasi tersebut, Bapak Baserani Kepala Desa Sungai
Telan mendapat penghargaan dari pemerintah seperti Kepala Desa Peduli Hutan
Wana Lestari dari Kementerian Kehutanan, KT Karya Muda Mandiri sebagai Juara
II Hutan Rakyat Tingkat Provinsi, dan KT Sejahtera Lestari sebagai Juara III Kanitap
terbaik Tingkat Provinsi. Hal ini sesuai dengan teori dorongan berprestasi (need for
110
achievement/n-Ach) dari David McClelland yang menyampaikan konsep kebutuhan
untuk berprestasi.
Bagi personal anggota kelompok tani, pengurus dan aparat desa yang
berprestasi harus mendapat perhatian dan penghargaan atas prestasinya baik secara
formal maupun non formal, semakin sering tindakan khusus seseorang diberi hadiah,
semakin besar kemungkinan orang melakukan tindakan itu. Di lokasi penelitian, kita
dapat melihat figur Kepala Desa Sungai Telan misalnya merupakan pribadi-pribadi
yang yang memiliki dorongan berprestasi tinggi, dan mampu memotivasi warganya
bahkan melakukan rehabilitasi hutan. Begitu juga dengan para pelaku pemberdayaan
111
Gambar 24. Kemampuan Afektif Masyarakat (diadaptasi dari model Taksonomi
Bloom (1956)
112
Untuk katagore peniruan, petani termasuk mempunyai keterampilan yang
sedang dengan skor 74,78. Pada tahun 2003, berdasarkan sosialisasi, promosi dan
penyuluhan yang dilakukan, masyarakat banyak yang tertarik untuk menanam Jati.
Kala itu berbagai jenis Jati di tawarkan seperti Jati super, Jati Plus, Jati Supra, dan
Jati Emas. Berhubung keterbatasan anggaran pemerintah, maka hanya bisa dibangun
2 unit seluas 50 ha di Desa Sungai Telan dan Desa Kuala Lupak. Menurut data hasil
berkisar antara 95,83%-98,50% dengan kondisi tanaman sehat rata-rata 97,50%. Ini
Direktorat Bina Program Ditjen RRL Departemen Kehutanan. Pada tahun 2004,
2005, masyarakat pun ikut meniru menanam Gaharu di lahan garapannya. Menurut
113
hingga saat ini di Desa Sungai Telan, Kuala Lupak, Tabunganen Kecil, dan
Tabunganen Muara mencapai luas tanam sekitar 500 ha dengan jumlah
tanaman tidak kurang dari 100.000 pohon (wawancara tanggal 27 Mei
2015).
Sebenarnya kategori peniruan yang paling nyata adalah pembangunan Sawit
Rakyat, karena dilakukan tanpa melalui proses penyuluhan dan dengan biaya sendiri.
karet. Fakta di lapangan, semakin luas kebun Sawit maka semakin tinggi
peniruan ini termasuk kemampuan psikomotorik kategori imitasi atau peniruan yang
ditunjukkan orang lain, mengamati kemudian mereplikasi. Hal ini sejalan dengan
teori difusi inovasi penyuluhan sebagai suatu perembesan atau penyebaran adopsi
inovasi dari satu individu yang telah mengadopsi ke individu lain dalam system
sosial masyarakat sasaran penyuluhan yang sama (Anonim, 2000:8). Sebagian besar
masyarakat yang meniru atau mengadopsi merupakan golongan yang melihat dulu
keberhasilan atau kegagalan suatu kegiatan yang dilakukan oleh golongan yang
disebut Rogers (1971) sebagai perintis atau innovator yang dalam hal ini adalah
Bapak Suroso dan anggota kelompok taninya sebagai golongan penerap dini atau
pelopor (early adopter). Golongan yang ikut mengadopsi ini oleh Rogers (1971)
dianggap sebagai penganut dini atau early majority dan golongan penganut lambat
(late majority).
tentang teori belajar social yang mengatakan bahwa proses peniruan tersebut sebagai
114
proses modelling, dimana kebanyakan perilaku manusia dipelajari sebagai hasil
akan digunakan sebagai patokan dalam bertindak. Lebih lanjut Sugiyono dan
harus ada usaha dan kemampuan mengingat dan mempertahankan kegiatan atas apa
yang telah diamati. Adanya motivasi berupa dorongan dan alasan-alasan tertentu
atau diistilahkan oleh Simpson (1972) sebagai reaksi yang diarahkan (Guided
berdasarkan arahan, petunjuk, atau manual. Pada tahap ini biasanya pada awalnya
atau Hutan Tanaman Rakyat. Dengan arahan penyuluh atau fasilitator, masyarakat
penyuluh membuat master file yang berisi contoh dokumen surat permohonan,
daftar nama kelompok, deskripsi wilayah yang diambil dari data profile desa, dan
115
Kelompok Tani mempunyai keterbatasan dalam hal administrasi dan
menyusun proposal, walaupun disetiap desa sudah memiliki perangkat
komputer bantuan Pemda. Agar program bisa jalan, maka kami yang
jemput bola ke desa binaan yang berminat mengajukan proposal kegiatan
kehutanan. Di samping kami serahkan CD file, kami tetap melakukan
pendampingan mengarahkan mereka hingga proposal diantar ke BPDAS
Barito atau Dishut Barito Kuala. Kalau tidak seperti itu, sedikit sekali
kemungkinan proposal bisa selesai (wawancara tanggal 5 Juni 2015).
sesuai instruksi tertulis atau verbal. Sebagai contoh, masyarakat bisa membuat bibit
tanaman proyek KBR sesuai standar perbenihan tanaman hutan. Misalnya untuk jenis
Jelutung dipersyaratkan bibit Jelutung Satu - Dua Payung berbatang tunggal siap
tanam, batang atas (entrys) berasal dari kebun entres yang sudah dimurnikan oleh
instansi berwenang dengan klon anjuran, bibit Jelutung batang bawah (rootstock)
yang diokulasi sudah berumur minimal 9 bulan, umur bibit minimal 2,5 bulan (dalam
diberi lubang, tinggi bibit minimal 50 cm, keadaan bibit bebas dari hama dan
penyakit. Begitu pula bibit Gaharu harus bibit generatif berasal dari sumber benih,
tinggi bibit minimal 50 cm, diameter pangkal batang bibit minimal 5 mm, media
tumbuh kompak, dan kondisi bibit normal, yaitu bibit yang sehat, berbatang tunggal
dan leher akar berkayu. Untuk mencapai persyaratan tersebut, petani mendapat
arahan dari penyuluh langsung baik secara teori maupun praktek di persemaian.
(pembakaran minimal), menanam bibit pohon yang baik dan benar, menggunakan
phi band untuk mengukur diameter pohon, menghitung potensi kayu, membuat
kebakaran hutan, membuat terasering, dan membuat biogas. Pada awalnya mendapat
116
arahan dan pendampingan dari penyuluh atau membaca manual aturan penggunaan,
yang kemudian meningkat pada keterampilan tahap precision, dimana kelompok tani
sudah trampil melakukan tanpa arahan atau instruksi langsung. Untuk keterampilan
bibit 93,5%, trampil menggunakan phiband 86,5%, menghitung potensi kayu 18,5%,
membuat pupuk organik 22,3%, memelihara tanaman hutan 32,5%, mencegah dan
serangkaian tindakan, mencapai harmonisasi, dan konsistensi internal. Pada tahap ini
salah satu contohnya direflesikan dalam bentuk kemampuan kelompok tani di Desa
agrosilvopasture secara sederhana. Bio Cyclo Farming (BCF) adalah suatu proses
keterpaduan antar sektoral pada bidang pertanian yang saling memanfaatkan sisa dari
proses pengelolaan dari suatu sektor, yang kemudian dimanfaatkan kembali pada
sektor lainnya untuk menghasilkan suatu manfaat lain yang berguna. BCF akan
beternak, dan membuat pupuk dalam satu siklus yang saling berkaitan. Menurut
117
Aryadi & Fauzi (2015:553), limbah dari kegiatan pertanian, kehutanan dan
peternakan kemudian dibuat kompos dan biogas untuk meningkatkan hasil pertanian
sebagai suatu proses multiple cropping yang dapat menghasilkan produksi sepanjang
tahun yang terdiri dari: Panen harian yang diperoleh dari telur unggas dan karet;
Panen bulanan berupa hasil tanaman sayuran; Panen musiman yang diperoleh dari
budidaya tanaman pangan seperti padi, jagung dan kedelai; Panen tahunan
dari budidaya sapi; Panen winduan dari hasil budidaya jati dan sengon.
dulunya dengan sistem pembakaran tidak terkontrol, maka sekarang petani sudah
sudah ditebas dikumpulkan dalam satu tempat kemudian dibakar dan dijaga agar
jangan sampai membakar lahan lain. Mereka juga menerapkan system pembakaran
bakar balas yaitu membakar areal terluar sedemikian rupa sehingga api menuju
pun harus membakar biasanya batang, cabang dan ranting pohon yang tidak bisa
disemprot.
umumnya keterampilan artikulasi dilakukan oleh mereka yang memang sudah dari
awal termasuk katagore innovator dan penerap dini sebagaimana dijelaskan pada
118
Katagore paling tinggi dari keterampilan psikomotorik adalah naturalization,
menjadi natural tanpa memerlukan banyak berpikir tentang hal tersebut. Ketika
menghadapi suatu persoalan atau pekerjaan maka secara alamiah sudah mahir untuk
Kelompok masyarakat pada katagore ini memiliki kreativitas yang tinggi, tanpa
tergantung dengan penyuluh atau fasilitator. Golongan masyarakat pada tingkat ini
tergolong sedang, dengan nilai rata-rata 64,52, dimana sebagian masyarakat suka
irigasi yang lebih baik, namun banyak juga warga yang masih tidak bisa secara
(Gambar 25).
119
Gambar 25. Diagram Kreativitas Masyarakat dalam Pembangunan Hutan
sangat mahal. Kemudian, ada anggota masyarakat yang menambahkan pupuk urea
dalam campuran herbisida, hasilnya disamping lebih murah juga waktu tumbuhnya
120
Gambar 26. Kemampuan Psikomotorik Masyarakat (diadaptasi dari model
Taksonomi Bloom versi Dave (1975)
121
Berdasarkan Tabel 25, aspek pengetahuan dan keterampilan masyarakat
untuk terlibat dalam pembangunan hutan tergolong sedang, namun tidak didukung
oleh perilaku sikap yang termasuk katagore rendah. Sikap yang rendah ini
masyarakat adalah masalah land tenurial yang sampai penelitian ini belum
materi belajar dan proses belajar. Kondisi afektif adalah merupakan perasaan yang
dimiliki oleh individu yang meliputi aspek minat, respon, semangat, jiwa kejuangan
yang berkaitan dengan tata nilai/norma dan diharapkan dapat diintervensi untuk
memadai, diperkuat oleh rasa memerlukan pembangunan dan perilaku sadar akan
kebutuhannya.
kelompok atau organisasi sebagai wadah yang dapat menampung aspirasi dan
122
kepentingannya. Di dalam kelompok atau organisasi, masyarakat secara bebas dan
terlibat penuh dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan kepentingan dan
dan peningkatan skala usahanya (ekonomi), menentukan pola interaksi dan jaringan
sosial maupun menciptakan lingkungan yang bersih dan sehat. Agar mampu
masyarakat harus memiliki sifat-sifat seperti, bebas merdeka sebagai pribadi yang
luhur, memahami diri dan lingkungannya, proaktif untuk mau bersama, menganggap
pihak lain sebagai mitra, jujur, adil dan bertanggung jawab serta memposisikan
perlu ditingkatkan. Pada hal jika dirunut sejak tahun 1988-sekarang program
banyak, baik tingkat provinsi maupun tingkat kabupaten. Program yang sering
dilakukan dan menelan biaya miliyaran rupiah itu seperti program reboisasi,
pengahijauan, HTI dan sekarang berjalan program Gerakan Rehabilitasi Hutan dan
melalui kelompok-kelompok.
beternak dan memahami secara baik manfaat dan status keberadaan kawasan hutan.
status dan fungsi hutan serta akibat yang ditimbulkan jika hutan rusak dan
123
memahami bahwa sistem bertani yang dilakukan saat ini tidak cukup memadai untuk
tersedia.
mengenal, menggali dan memanfaatkan potensi yang dimiliki dan berbuat sesuai
warga negara.
diberikan kepada individu terutama orang dewasa agar terjadi perubahan perilaku.
Dalam pendidikan orang dewasa, pandangan tentang orang dewasa itu bukanlah
seperti cangkir kosong yang tidak mengetahui apa-apa melainkan secangkir air
proses pembelajaran bagi pelaku utama serta pelaku usaha agar mereka mau dan
keterampilan dan sikap. Maka jelaslah bahwa dalam penyuluhan tujuan pendidikan
tidak hanya pada kognitif saja tapi juga pada peningkatan kemampuan afektif dan
psikomotorik. Oleh karena itu, taksonomi yang lebih tepat adalah taksonomi Bloom.
empat tahapan dalam proses pemberdayaan masyarakat, yaitu tahap awal berupa
124
masyarakat sebagai suatu kebiasaan (using), maka perkembangan proses
kecuali di Desa Sungai Telan yang sudah mengarah kepada pemahaman. Setelah
pengelolaan pembangunan di tingkat komunitas atau dalam lingkup desa. Selama ini
oleh fasilitator pendamping masih tinggi, dimana ketika peran fasilitator berkurang
maka aktivitas dalam masyarakat pun belum benar-benar dapat berjalan secara
mandiri.
konsep pemberdayaan yang ada sehingga dapat tergerak untuk berperan aktif di
dalamnya dan lama kelamaan hal tersebut menjadi sebuah budaya dan mendarah
lokasi penelitian yang selama ini aktif terlibat atau peduli terhadap program
agama, aktifis pemuda, perangkat desa dan tokoh perempuan, sedangkan keterlibatan
individu lain seperti warga miskin dan kelompok rentan lainnya masih kurang,
125
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Sesuai dengan tujuan dari penelitian yang ini maka berdasarkan hasil dan
Kondisi modal sumber daya ditandai dengan sarana fisik di sekitar kawasan
hutan masih cukup tersedia (skor 57,05), modal sumberdaya manusia tergolong
sedang (skor 54,62), modal sosial termasuk kategori sedang (skor 65.95), modal
finansial tergolong sedang (56,89), dan modal sumberdaya hutan termasuk tinggi
(78,73).
2) Hutan bagi masyarakat bukanlah hal yang baru, terutama bagi masyarakat yang
masih memiliki nilai-nilai dan kultur tradisional. Sejak jaman dahulu, mereka
tidak hanya melihat hutan sebagai sumber daya potensial saja, melainkan
tradisional yang meyakini bahwa hutan memiliki nilai spiritual, yakni percaya
bahwa hutan atau komponen biotik dan abiotik yang ada di dalamnya sebagai
obyek yang memiliki kekuatan dan/atau pesan supranatural yang mereka patuhi.
Lupak adalah memungut (mengekstraksi) hasil hutan (kayu dan bukan kayu),
126
memanfaatkan lahan (kebun buah, perladangan, sawah, wanatani pekarangan,
pemberdayaan.
sedang.
evaluasi.
B. Saran
1. Saran Teoritik
teori belajar koneksionisme atau teori asosiasi yang dikemukakan Edward Lee
dalam pengelolaan hutan harus distimulus dengan pemberian peran dalam proses
127
prestasi, dan peran aktif pelaku pemberdayaan sebagai ujung tombak
(modelling).
terbatas pada faktor internal yang berkaitan dengan perasaan dan proses
harmonis, dan proses interaksi seseorang dengan orang lain di sekitar atau
negatif dapat memberikan pengaruh positif dan negatif terhadap sikap seseorang.
128
dalam penelitian ini. Dalam penelitian ini, point utama yang dapat mendorong
konflik lahan hutan, disamping tentu saja faktor penyebab lainnya. Apabila hati
telah menerima dengan baik, maka pengetahuan dan keterampilan akan dapat
dengan mudah diterima. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa masyarakat yang
pikiran Mead dalam tahapan tindakan yaitu Mind, Self and Society.
2. Saran Praktis
Beberapa saran praktis dari hasil penelitian ini yang dapat dijadikan dasar
pelatihan berkaitan dengan teknis dan non teknis kehutanan, penghargaan atas
2) Dalam setiap desa perlu dibangun areal demplot pembangunan hutan yang
sosial Bandura dan teori pengkondisian operan, masyarakat akan lebih tertarik
129
3) Perlu ada penelitian mendalam mengenai kesesuaian jenis tanaman dan daya
130
DAFTAR PUSTAKA
Byrne, B.M. 2009. Structural Equation Modeling With AMOS: Basic Concepts,
Applications, and Programming (2nd ed., p. 418). New York: Routledge
Taylor & Francis Group. doi:10.4324/9781410600219
Conway, G.R, 1983, Agroecosystem Analysis, ICCET Series E No ! 1983, Centre for
Environmental Technology and Department of Pure and Applied Biology,
The Imperial College of Science and Technoogy, London SW7 ILU, United
Kingdom
Elvida YS & Iis Alviya. 2009. Implementasi Dan Strategi Pembangunan Kesatuan
Pengelolaan Hutan Kuala Lupak. Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan. Vol.
6 No. 1, April 2009 : 57 - 70
131
Fauzi, H. 2009. Profil Aktivitas Sosial Ekonomi Masyarakat Di Dalam dan Sekitar
Kawasan Hutan di Kabupaten Barito Kuala. Jurnal Hutan Tropis Borneo
7.(28): 63 82
Gunawan, I., & Palupi, A. R. (2013). Taksonomi Bloom-Revisi Ranah
Kognitif:Kerangka Landasan untuk Pembelajaran, Pengajaran, dan Penilaian.
Program Studi PGSD FIP IKIP PGRI Madiun. Retrieved from
http://www.ikippgrimadiun.ac.id/ejourna
Ilham, Wahyuni,. 2011 Rancang Bangun KPHK Kuala Lupak. Balai Konservasi
Sumberdaya Alam. Kuala Lupakbaru
Irham,M. dan Novan,A.W. 2013. Psikologi Pendidikan:Teori dan Aplikasi dalam
Proses Pembelajaran. Ar-Ruzz Media. Yogyakarta.p.328
Krathwohl, D.R., 2002. A Revision of Blooms Taxonomy: An Overview. Theory
Into Practice, 41(4), pp.212218. Available at: http://www.tandfonline.com
/abs/. doi 10.1207/s15430421tip4104_2.
Levis, R.L. 2013. Metode Penelitian Perilaku Petani. Penerbit Ledalero.
Maumere.p.230
Mardikanto, T. 2015. Pemberdayaan Masyarakat dalam Perspektif Kebijakan Publik.
Alfabeta. Bandung
Miles, Matthew B. dan Huberman, A. Michael, 1992, Analisis Data Kualitatif,
Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia
Rahman, A. (2010). Pengembangan Perangkat Penilaian Hasil Belajar (3rd ed.,).
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta. p. 432
Sardjono, Mustofa Agung. 2004. Mosaik Sosiologis Kehutanan: Masyarakat Lokal,
Politik dan Kelestarian Sumberdaya. Debut Press. Jogjakarta. pp. 300.
Simon, H. 1994. Merencanakan Pembangunan Hutan untuk Strategi Kehutanan
Sosial, Yayasan Pusat Studi Sumber Daya Hutan. Yogyakarta
Simon, H. 1999. Pengelolaan Hutan Bersama Rakyat (Cooperative Forest
Management). Penerbit Bigraf Publishing. Yogyakarta
Siyamta. 2013. Ranah Kognitif Dalam Pembelajaran. Program Studi S3 Teknologi
Pembelajaran Program Pasca Sarjana Universitas Negeri. Malang (tidak
dipublikasikan).
Skinner,B.F. 1965. Science and Human Behavior. A Division of Simon & Schuster
Inc. New York. Maufur (Penterjemah). 2013. Ilmu Pengetahuan dan Perilaku
Manusia. Pustaka Pelajar. Yogyakarta
Slamet, M. 2003. Pemberdayaan Masyarakat. Dalam Membentuk Pola Perilaku
Manusia Pembangunan. Disunting oleh Ida Yustina dan Adjat Sudradjat.
Bogor: IPB Press
Suciati. 2005. Taksonomi Tujuan Instruksional (edisi kelima). PAU-PPAI
Universitas Terbuka. Jakarta
132
Tomlinson, S., 1997. Edward Lee Thorndike and John Dewey on the science of
education. Oxford Review of Education, 23(3), pp.365383. Available at:
http://links.jstor.org/sici?sici=0305-
4985%28199709%2923%3A3%3C365%3AELTAJD%3E2.0.CO%3B2-8.
133
Lampiran 1. Susunan organisasi tim peneliti dan pembagian tugas
134
penyusuna model
pemberdayaan
135
Lampiran 2. Surat Ijin Penelitian
136
Lampiran 3. Peta Lokasi Penelitian
137
Lampiran 4. Dokumentasi Penelitian
Gambar 2. Pertemuan dengan warga dan tokoh masyarakat Desa Sungai telan
138
Gambar 4. Wawancara dengan responden penelitian di Desa Sungai Telan
139