Anda di halaman 1dari 5

TEORI DASAR

Rute pemberian obat bisa dilakukan dengan berbagai cara misalnya


melalui rute oral atau rektal, intravena, perkutan, intramuskular, inhalasi
dan intratekal. Adapun rute eliminasi obat bisa dengan cara melalui urin,
udara pernapasan, susu atau keringat dan juga feses (Staf pengajar
Departemen Farmakologi, 2008).

Rute pemberian obat ( Routes of Administration ) merupakan salah


satu faktor yang mempengaruhi efek obat, karena karakteristik lingkungan
fisiologis anatomi dan biokimia yang berbeda pada daerah kontak obat dan
tubuh karakteristik ini berbeda karena jumlah suplai darah yang berbeda;
enzim-enzim dan getah-getah fisiologis yang terdapat di lingkungan
tersebut berbeda. Hal-hal ini menyebabkan jumlah obat yang dapat
mencapai lokasi kerjanya dalam waktu tertentu akan berbeda, tergantung
dari rute pemberian obat. Rute pemberian obat dibagi 2, yaitu enternal dan
parenteral (Priyanto, 2008).

Jalur enteral berarti pemberian obat melalui saluran gastrointestinal


(GI), seperti pemberian obat melalui sublingual, bukal, rektal, dan oral.
Pemberian melalui oral merupakan jalur pemberian obat paling banyak
digunakan karena paling murah, paling mudah, dan paling aman. Alasan
lainnya menggunakan jalur enternal adalah kepraktisan dan tidak
menimbulkan rasa sakit.Sedangkan yang termasuk jalur parental adalah
transdermal (topikal), injeksi, endotrakeal (pemberian obat ke dalam
trakea menggunakan endotrakeal tube), dan inhalasi. Pemberian obat
melalui jalur ini dapat menimbulkan efek sistemik atau lokal
(Priyanto,2008).

Hewan coba / hewan uji atau sering disebut hewan laboratorium


adalah hewan yang khusus diternakan untuk keperluan penelitian biologik.
Hewan percobaan digunakan untuk penelitian pengaruh bahan kimia atau
obat pada manusia. Peranan hewan percobaan dalam kegiatan penelitian
ilmiah telah berjalan sejak puluhan tahun yang lalu, sehingga dengan
demikian jelas hewan percobaan mempunyai mission di dalam
keikutsertaannya menunjang program keselamatan umat manusia
melalui suatu penelitian biomedis (Ansel,1989).

Penggunaan hewan percobaan dalam penelitian ilmiah dibidang


kedokteran/biomedis telah berjalan puluhan tahun yang lalu. Hewan
sebagai model atau sarana percobaan haruslah memenuhi persyaratan-
persyaratan tertentu, antara lain persyaratan genetis / keturunan dan
lingkungan yang memadai dalam pengelolaannya, disamping faktor
ekonomis, mudah tidaknya diperoleh, serta mampu memberikan reaksi
biologis yang mirip kejadiannya pada manusia (Tjay,T.H dan Rahardja,K,
2007).

Alasan mengapa hewan percobaan tetap diperlukan dalam


penelitian khususnya di bidang kesehatan, pangan dan gizi antara lain: (1)
keragaman dari subjek penelitian dapat diminimalisasi, (2) variabel
penelitian lebih mudah dikontrol, (3) daur hidup relatif pendek sehingga
dapat dilakukan penelitian yang bersifat multigenerasi, (4) pemilihan jenis
hewan dapat disesuaikan dengan kepekaan hewan terhadap materi
penelitian yang dilakukan, (5) biaya relatif murah, (6) dapat dilakukan
pada penelitian yang berisiko tinggi, (7) mendapatkan informasi lebih
mendalam dari penelitian yang dilakukan karena kita dapat membuat
sediaan biologi dari organ hewan yang digunakan, (8) memperoleh data
maksimum untuk keperluan penelitian simulasi, dan (9) dapat digunakan
untuk uji keamanan, diagnostik dan toksisitas (Herlinda, 1986).

Cara memegang hewan serta cara penentuan jenis kelaminnya


perlu pula diketahui. Cara memegang hewan dari masing-masing jenis
hewan adalah berbeda-beda dan ditentukan oleh sifat hewan, keadaan fisik
(besar atau kecil) serta tujuannya. Kesalahan dalam caranya akan dapat
menyebabkan kecelakaan atau hips ataupun rasa sakit bagi hewan (ini
akan menyulitkan dalam melakukan penyuntikan atau pengambilan darah,
misalnya) dan juga bagi orang yang memegangnya (Katzug, B.G, 2001).
Percobaan dengan hewan percobaan akan memerlukan
pembunuhan untuk mendapatkan jaringan untuk penelitian in-vitro pada
akhir atau selama penelitian, untuk menilai bagaimana efeknya. Selain itu
pada akhir percobaan, hewan yang mengganggu nyeri hebat atau kronik,
penderitaan, rasa tidak enak, cacat yang tidak dapat disembuhkan, harus
dilakukan euthanasia yang berarti hewan harus dibunuh dengan cara
yang layak. Manusia yang berperan penting dalam proses pembunuhan
dengan cara yang layaknya. Karena itu peneliti harus mengetahui metode
euthanasia dan dapat mempergunakannya secara efektif dan manusiawi
(Isbagio, 1992).

Kriteria-kriteria yang harus dipenuhi ketika proses pembunuhan


hewan secara layak adalah sebagai berikut : (1) Hewan mati tanpa
memperlihatkan kepanikan, kesakitan dan kesukaran (2) Hilangnya
kesadaran dalam jangka waktu yang singkat (3) Dapat diandalkan dan
diulang kembali (4) Aman untuk orang yang mengerjakannya (5) Efek
fisiologis sesedikit mungkin (6) Sesuai dengan syarat dan tujuan penelitian
(7) Efek yang sesedikit mungkin untuk observator dan operator (8)
Pengaruh lingkungan seminimal mungkin (9) Mudah, murah, relatif bebas
biaya dan peralatan mekanik (10) Lokasi cukup jauh dan terpisah dari
ruangan tempat pemeliharaan hewan (Isbagio, 1992).

Ditinjau dari segi sistem pengelolaannya atau cara


pemeliharaannya, di mana faktor keturunan dan lingkungan berhubungan
dengan sifat biologis yang terlihat/karakteristik hewan percobaan, maka
ada 4 golongan hewan, yaitu : (1) Hewan liar (2)Hewan yang
konvensional, yaitu hewan yang dipelihara secara terbuka (3) Hewan yang
bebas kuman spesifik patogen, yaitu hewan yang dipelihara dengan sistem
barrier (tertutup) (4) Hewan yang bebas sama sekali dari benih kuman,
yaitu hewan yang dipelihara dengan sistem isolator.
Semakin meningkat cara pemeliharaannya, semakin sempurna hasil
percobaan yang dilakukan. Dengan begitu, apabila suatu percobaan
dilakukan terhadap hewan percobaan yang liar, hasilnya akan berbeda bila
meggunakan hewan percobaan konvensional ilmiah maupun hewan yang
bebas kuman (Sulaksono, M.E, 1987).

Hewan percobaan yang dipakai pada praktikum adalah tikus. Tikus


merupakan hewan poliesterus yang dapat melahirkan sepanjang tahun
tanpa mengenal musim. Jumlah keturunan yang dilahirkan tiga sampai 12
ekor per kelahiran. Untuk Pakan yang cukup tikus mampu melahirkan 16-
18 ekor. Pakan yang dibutuhkan bagi seekor tikus setiap harinya kurang
lebih10% dari bobot tubuhnya. Tikus sawah bobot tubuh rata-rata berkisar
antara 70-300 gram, dengan demikian pakan yang dibutuhkan berkisar
antara 730 gr per tikus (Ivakdalam, 2014).
DAFTAR PUSTAKA

Ansel, Howard.C. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Jakarta : Universitas


Indonesia Press.
Herlinda, Y. 1986. Hewan Percobaan Tikus Albino Strain Wistar di Unit
Penelitian Gizi Dipenogoro. Jurnal Kedokteran Indonesia.
36(11):491-495
Isbagio, Dyah Widyaningroem. 1992. Euthanasia pada Hewan Percobaan. Media
Litbangkes. 2(1) : 18-24
Ivakdalam, Lydia Maria. 2014. Uji Keefektifan Enam Jenis Perangkap dalam
Pengendalian Tikus Sawah (Rattus Arggentiventer). Agrilan Jurnal
Agribisnis Kepulauan. 2(2) : 38-46
Katzung, Bertram G. 2001. Farmakologi Dasar dan Klinik . Jakarta: Salemba
Medika.
Priyanto. 2008. Farmakologi Dasar Edisi II. Depok : Leskonfi
Staf Pengajar Departemen Farmakologi. 2008. Kumpulan Kuliah Farmakologi
Edisi ke-2. Jakarta : Penerbit EGC.
Sulaksono, M.E. 1992. Faktor Keturunan dan Lingkungan Menentukan
Karakteristik Hewan Percobaan dan Hewan Percobaan dan Hasil
Suatu Percobaan Biomedis. Jakarta: Gramedia.
Tjay,Tan Hoan dan K. Rahardja. 2007. Obat-obat Penting. Jakarta : Gramedia.

Anda mungkin juga menyukai