Patofisiologi
Patofisiologi terjadinya nekrolisis epidermal toksik belum jelas, namun, dipercaya bahwa
fenomena immun kompleks yang bertanggung jawab. Salah satu teori menyatakan
akumulasi metabolit obat pada epidermis secara genetik dipengaruhi oleh proses imunologi
setiap individu. Limfosit T CD8+ dan makrofag mengaktifkan proses inflamasi yang
menyebabkan apoptosis sel epidermis.18
Gejala klinik
Pasien mungkin menampakkan gejala-gejala prodromal 2-3 hari seperti malaise, rash,
demam, batuk, arthralgia, mialgia, rhinitis, headache, anorexia, serta mual dan muntah,
dengan atau tanpa diare. Gejala dan tanda prodromal lainnya yang dapat berkembang
seperti konjungtivitis (32%), faringitis (25%), dan pruritus (28%). Pada fase akut (8-12 hari)
terjadi demam yang persisten, pengelupasan epidermis, dan terlibatnya membran mukosa.
Komplikasi berupa stomatitis san mukositis, nyeri pada saat menelan sehingga pasien
beresiko tinggi untuk terjadinya dehidrasi dan malnutrisi. Konjungtiva biasanya terlibat 1-3
hari sebelum munculnya lesi kulit. Erosi mukosa pipi, hidung, faring, dan trakeobronkial
dapat terjadi. Erosi juga dapat terjadi pada esofagus, perineum, vagina, uretra serta mukosa
usus.19
Tanda vital pasien dapat didapatkan hiperpireksia, hipotensi sekunder sampai hipovolemia
dan takikardi. Pada pameriksaan kulit didapatkan:
Lesi kulit dimulai dengan nyeri/rasa terbakar, panas, eritematous, macula morbiliform
secara simetris pada wajah dan dada sebelum menyebar ke seluruh badan.
Nikolsky sign positif
Krusta hemoragik pada bibir
Konjungtivitis umumnya ditemukan sebelum terjadi pengelupasan epidermis.
Pneumonia merupakan komplikasi yang paling berat dan merupakan kegagalan nafas akut
dan membutuhkan intubasi.19
Gambaran Histopatologi
Secara histologi, terdapat penebalan nekrosis epidermis dengan tanda inflamasi dermis atau
epidermis. Bisa terdapat pelepasan dan pengelupasan epidermis. Nekrosis sel satelit dapat
terlihat, sampai nekrosis eosinofil secara luas.19
Pemeriksaan dan Tes
Tes-tes laboratorium hanya bisa membantu dalam menentukan terapi simptomatik atau
suportif. Pemeriksaan radiologi tidak spesifik namun foto thoraks dapat dilakukan untuk
mengetahui adanya inflamasi trakeobronkial yang menyebabkan pneumonia.18
Terapi
Perawatan kegawatdaruratan: unit gawatdarurat harus mencegah kehilangan cairan dan
elektrolit dan mencegah infeksi sekunder. Pemberian cairan dan elektrolit secara agresif,
mengatasi nyeri, dan perawatan kulit dengan teliti merupakan tindakan yang sangat penting.
Pasien dengan lesi kulit yang luas memerlukan kamar isolasi dan lingkungan yang steril.18
Daerah erosi pada kulit harus di lindungi dengan pakaian pelindung nonadherent seperti
petroleum gauze
Distress pernapasan bisa mengakibatkan pengelupasan dan edema dan membutuhkan
intubasi endotrakeal dan ventilasi.18
Cairan dan elektrolit harus dimonitor. Menjaga keseimbangan cairan dan basa titrat dengan
tekanan vena sentral dan output urine. Sekitar 3-4 L dibutuhkan pada pasien dengan 50 %
area kulit terlibat. Nutirsi secara parentral atau secara enteral via selang nasogastrik
biasanya dibutuhkan. Nutrisi enteral secara awal dan kontinu mengurangi risiko stress
ulcers, mengurangi translokasi bakteri dan infeksi enterogenik.19
2. Sindrom Stevens-Johnson
Definisi
Stevens dan dr. Johnson, sindrom Stevens-Johnson, disingkatkan sebagai SSJ, adalah reaksi
buruk yang sangat gawat terhadap obat. Efek samping obat ini mempengaruhi kulit,
terutama selaput mukosa. Juga ada efek samping yang lebih buruk, yang disebut sebagai
nekrolisis epidermis toksik ( toxic epidermal necrolysis/TEN). Ada juga bentuk yang lebih
ringan, disebut sebagai eritema multiforme (EM). Sekarang sindrom ini dikenal sebagai
eritema multiforme mayor.20Sindrom Stevens-Johnson pertama diketahui pada 1922
oleh dua dokter, dr. biasanya
Patofisiologi
SSJ adalah hipersensitifitas yang disebabkan oleh pembentukan sirkulasi kompleks imun
yang disebabkan oleh obat-obatan, infeksi virus, dan keganasan. Pada lebih dari setengah
kasus, tidak didapatkan adanya penyebab yang spesifik.20
Gejala klinik
Secara tipikal, penyakit ini dimulai dengan infeksi saluran pernapasan atas yang nonspesifik.
Hal ini merupakan bagian dari gejala prodromal yang berlangsung selama 1-14 hari yaitu
demam, radang tenggorokan, sakit kepala, dan malaise. Muntah dan diare kadang
merupakan gejala prodromal. Lesi mukokutaneus berkembang secara tiba-tiba. Lesinya
bersifat nonpruritus. Riwayat demam bisa terjadi akibat terkena infeksi, namun demam
telah dilaporkan terjadi pada lebih 85% kasus. Keterlibatan membrane mukosa oral bisa
membuat pasien mengalami kesulitan dalam makan dan minum. Pasien yang mempunyai
keterlibatan dalam genitourinary bisa mengeluhkan disuria. Gejala tipikal tersebut diatas
diikuti dengan batuk produktif dengan sputum purulen tebal, sakit kepala, mialgia dan
artralgia. Rash dimulai dengan macula yang berkembang menjadi papul, vesikel, bulla, plak
urtikaria, atau eritema yang konfluen.20
Penyebab SJS berupa:
Obat-obatan dan keganasan merupakan etiologi pada dewasa dan orang tua.
Pada kasus anak proses infeksi merupakan penyebab yang etrsering dibandingkan
keganasan atau reaksi obat.
Obat-obatan seperti sulfa, fenitoin, atau penisilin telah diketahui sebagai penyebab pada
dua pertiga pasien dengan SSJ.
Lebih setengah pasien dengan SSJ melaporkan infeksi saluran napas bagian atas
Keempat kategori etiologi adalah (1)infeksi, (2)obat-obatab, (3)keganasan, dan
(4)idiopatik.20
Pemeriksaan laboratorium:
Tidak didapatkan pemeriksaan laboratorium yang dapat membantu dalam penegakan
diagnosis.
CBC (complete blood count) bisa didapatkan sel darah putih yang normal atau leukositosis
nonspesifik. Peningkatan jumlah leukosit kemungkinan disebakan karena infeksi bakteri.
Kultur darah, urin, dan luka merupakan indikasi bila dicurigai penyebab infeksi.20
Tes lainnya:
Biopsi kulit merupakan pemeriksaan diagnostik tapi bukan merupakan prosedur unit
gawatdarurat.
Biopsi kulit memperlihatkan bulla subepidermal
Adanya nekrosis sel epidermis
Infiltrasi limfosit pada daerah perivaskular.20
Penatalaksanaan:
Perawatan prehospital: paramedis harus mengetahui adanya tanda-tand kehilangan cairan
berat dan mesti diterapi sebagai pasien SJS sama dengan pasien luka bakar.
Perawatan gawatdarurat:
Perawatan gawatdarurat harus diberikan penggantian cairan dan koreksi elektrolit.
Luka kulit diobati sebagai luka bakar.
Pasien SSJ semestinya diberikan perhatian khusus mengenai jalan nafas dan stabilitas
hemodinamik, status cairan, perawatn luka dan kontrol nyeri.
Penatalaksanaan SJS bersifat simtomatik dan suportif. Mengobati lesi pada mulut dangan
mouthwashes, anestesi topikal berguna untuk mengurangi rasa nyeri. daerah yang
mengalami pengelupasan harus dilindungi dengan kompres salin atau burrow solution
Penyakit yang mendasari dan infeksi sekunder perlu diidentifikasi dan diterapi. Obat
penyebab harus dihentikan.
Penggunaan obat-obat steroid sistemik masih kontroversial.
8. Pemfigus vulgaris
Definisi
diberi nama oleh Wichman pada tahun 1791. dalam kelompok penyakit melepuh autoimun pada
kulit dan membrane mukosa yang ditandai oleh adanya lepuhan intradermal dan ditemukannya
antibody immunoglobulin G (IgG) dalam sirkulasi yang melawan permukaan sel keratinosit. Yang
termasuk dalam penyakit pemfigus adalah pemfigus vulgaris (PV), pemfigus folliaceus dan
paraneoplastik pemfigus dengan kasus pemfigus vulgaris yang terbanyak yaitu sekitar 70
%.25Pemfigus berasal dari bahasa Yunani pemphix yang berarti gelembung atau melepuh.
Pemfigus dideskripsikan sebagai kelompok penyakit bullosa kronik, yang Istilah pemfigus masuk
Patofisiologi
PV adalah penyakit autoimun, intraepithelial, penyakit melepuh yang menyerang kulit dan
membrane mukosa yang ditandai dengan didapatkannya antibodi dalam sirkulasi yang
menyerang permukaasn sel keratinosit. Pada tahun 1964, autoantibodi menyerang permukaan
keratinosit digambarkan pada pasien pemfigus. Observasi klinik dan experimental menunjukkan
autoantibody dalam sirkulasi merupakan pathogen. Predisposisi immunogenetik tak bisa
dipungkiri. Lepuhan yang terjadi pada PV berehubungan dengan ikatan autoantibody IgG pada
permukaan molekul sel keratinosit. Antibodi interseluler atau PV ini berikatan dengan
desmosom keratinosit dan dengan area bebas desmosom pada membran sel keratinosit. Ikatan
autoantibody menyebabkan kehilangan adhesi sel, disebut akantolisis.25
PV antigen: adhesi intraseluler pada epidermis melibatkan beberapa molekul permukaan sel
keratinosit. Antibodi pemfigus mengikat molekul permukaan sel keratinosit desmoglein 1 dan
desmoglein 3. ikatan antibodi dengan desmoglein menyebabkan efek langsung terhadap
adheren desmosomal atau mungkin memacu proses seluler yang menghasilkan akantolisis.
Antibodi spesifik untuk antigen desmosomal juga didapatkan pada pasien PV, meskipun begitu,
peran antigen pada patogenesis penyakit masih belum diketahui. Antibodi: pasien dengan
penyakit aktif mempunyai autoantibodi dalam sirkulasi dan terikat pada jaringan dari subklas
IgG1 dan G4.25
Gejala klinis
PV menunjukkan lesi pada mulut pada 50-70% pasien, dan hampir semua pasien mengalami lesi
pada mukosa. Lesi mukosa mungkin merupakan tanda awal sekitar 5 bulan sebelum lesi kulit
berkembang. Pada kulit, terjadi lesi kutaneus. Lesi pada PV adalah lepuhan yang kaku, yang bisa
terdapat pada kulit normal tapi bisa ditemukan pada kulit eritematous. Kulit yang terlibat sering
terasa nyeri tapi jarang gatal.25
Pada pemeriksaan fisik didapatkan mukosa merupakan tempat yang pertama kali terserang.
Pasien dengan lesi mukosa mungkin didaptkan oleh dokter gigi, dokter bedah oral, atau ahli
ginekologi. Pada membran mukosa didapatkan
Bulla yang intak jarang pada mulut. Biasanya ditemukan berbentuk tidak teratur, erosi pada
ginggiva, buccal, atau palatin yang nyeri dan lambat membaik.
Membrane mukosa yang paling sering adalah cavum oral yang terlibat pada hampir semua
pasien PV dan kadang merupakan satu-satunya area yang terlibat. Erosi mungkin bisa terlihat di
suatu daerah cavum oral. Erosi mungkin menyebar sampai ke laring yang menyebakan serak.
Pasien sering tidak bisa makan atau minum secara adekuat karena erosi.
Permukaan mukosa lainnya dapat terlibat termasuk konjungtiva, esofagus, labia, vagina,
serviks, penis, uretra, dan anus.25
Gambar 8 (A)Pemfigus vulgaris pada cavum oral. (B) Pemfigus vulgaris pada kulit
Pada kulit: lesi primer PV adalah lepuhan flaccid yang berisi cairan yang tumbuh pada kulit
normal atau pada kulit eritematous. Lepuhannya rapuh, sehingga, intak lepuhan mungkin tipis.
Cairannya keruh, atau lepuhan yang ruptur akan menghasilkan erosi yang nyeri, yang paling
banyak ditemukan di kulit. Erosi sering besar karena cenderung meluas secara perifer dengan
peragntian epitel. Pada kuku didapatkan peronikia akut, subungual hematom, dan distrofi kuku.
25
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium
Dalam menegakkan diagnosis dilakukan: histopatologi, direct immunofluorescence (DIF), dan
indirect immunofluorecence (IDIF)
Biopsi kulit25
Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan PV sama dengan penyakit bullosa autoimun yang lain, yaitu dengan
mengurangi formasi blister, mempercepat penyembuhan blister(lepuhan) dan erosi , dan
mnentukan dosis obat minimal dalam mengontrol proses penyakit.
Konsulatsi dan kerjasama dapat dilakukan antara:
Ahli penyakikt mata
Ahli THT
Penyakit dalam subdivisi endokrinalogi25
9. Purpura-Vaskulitis6
Definisi
Purpura adalah ekstravasasi sel darah merah (eritrosit) ke kulit dan selaput lendir(mukosa)
dengan manifestasi berupa makula kemerahan yang tidak hilang pada penekanan.Kadang-
kadang purpura dapat diraba(palpable purpura).Purpura secara perlahan-lahan mengalami
perubahan warna,mula-mula merah kemudian menjadi kebiruan,disusul warna coklat
kekuningan dan akhirnya memudar dan menghilang.Purpura bisa diklasifikasikan kepada dua
yaitu,purpura tanpa inflamasi dan purpura dengan inflamasi(vaskulitis).
Purpura dengan inflamasi terbagi:
1. Vaskulitis leukositoklastik(purpura anafilaksis)
2. Krioglobulinemia campuran(vaskulitis neutrofilik)
3. Pitiriasis likenoides et varioliformis akuta(Mucha Haberman)
4. Purpura pigmentasi kronik(vaskulitis limfositik)
5. Purpura infeksiosa(meningokok,gonokok,M.leprae,riketsia)
6. Purpura akibat alergi obat.
5.Purpura infeksiosa
Lebih sering terjadi kerusakan vaskuler baik langsung atau melalui reaksi alergi. Terdapat
kelainan laboratorium yaitu trombositopenia. Infeksi tersering adalah oleh meningokok yang
mengakibatkan terjadinya sepsis, endokarditis bacterial, infeksi virus misalnya morbili dan lain-
lain. Purpura dapat timbul sebagai gejala prodromal.
Hipoglikemia adalah keadaan dengan kadar glukosa darah < 70 mg/dL, atau kadar glukosa darah
< 80 mg/dL dengan gejala klinis. Kasus hipoglikemia paling banyak dijumpai pada penderita
diabetes, sehingga pada artikel ini akan dibatasi pada kondisi tersebut. Hipoglikemia pada
penderita diabetes biasanya terjadi karena:
1. Kelebihan obat atau dosis obat: terutama insulin, atau obat hipoglikemik oral
2. Kebutuhan tubuh akan insulin yang relatif menurun: gagal ginjal kronik, pasca persalinan
3. Asupan makanan tidak adekuat: jumlah kalori atau waktu makanan tidak tepat
Gejala dan Tanda Klinis hipoglikemia pada pasien Diabetes Melitus dibagi menjadi 4 stadium
2. Stadium gangguan otak ringan: lemah, lesu, sulit bicara, kesulitan menghitung sementara
3. Stadium simpatik: keringat dingin pada muka, bibir atau tangan gemetar
4. Stadium gangguan otak berat: tidak sadar (dengan atau tanpa kejang)
1. Penggunaan preparat insulin atau obat hipoglikemik oral: perlu ditanyakan dosis terakhir,
waktu pemakaian terakhir, perubahan dosis
Beberapa hasil pemeriksaan fisik yang mungkin mendukung diagnosis klinis hipoglikemia dan
penting dalam merencanakan tatalaksana di antaranya adalah
4. Penurunan kesadaran
Trias Whipple dapat digunakan pedoman untuk membantu membedakan pasien hipoglikemia
atau penurunan kesadaran akibat etiologi yang lain. Trias whipple yang positif bisa digunakan
sebagai dasar untuk membuktikan adanya hipoglikemia
4. Kadar C-Peptide
Diagnosis banding yang perlu dipikirkan kepada pasien yang dicurigai hipoglikemia adalah
1. Obat:
o Sering: alkohol,
Terapi kegawatdaruratan hipoglikemia dapat dibagi menjadi dua strategi bergantung pada
kondisi klinis pasien: sadar atau tidak sadar.
1. Berikan gula murni 30 gram (2 sendok makan) atau sirop/permen gula murni (bukan
pemanis pengganti gula atau gula diet/gula diabetes) dan makanan yang mengandung
karbohidrat)
4. Pertahankan kadar Gula Darah diatas 100 mg/dL (bila sebelumnya tidak sadar)
5. Cari penyebab
Stadium Lanjut (koma hipoglikemia atau tidak sadar dan curiga hipoglikemia)
2. Diberikan cairan Dekstrosa 10% per infus, 8 jam kolf bila tanpa penyulit lain
o Bila GDs >200 mg/dL pertimbangkan menurunkan kecepatan drip Dekstrosa 10%
5. Bila GDs >100 mg/dL sebanyak 3 kali berturut-turut, pemantauan GDS dilakukan setiap 2
jam, dengan protokol sesuai di atas. Bila GDs >200 mg/dL pertimbangkan mengganti infus
dengan Dekstrosa 5% atau NaCl 0,9%.
6. Bila GDS >100 mg/dL sebanyak 3 kali berturut-turut masing-masing selang 2 jam,
pemantauan GDS dilakukan setiap 4 jam, dengan protokol sesuai di atas. Bila GDs >200
mg/dL pertimbangkan mengganti infus dengan Dekstrosa 5% atau NaCI 0,9%.
7. Bila GDs >100 mg/dL sebanyak 3 kali berturut-turut masing-masing selang 4 jam,
pemeriksaan GDS dapat diperpanjang sesuai kebutuhan sampai efek obat penyebab
hipoglikemia diperkirakan sudah habis dan pasien sudah dapat makan seperti biasa.
9. Bila pasien belum sadar, sementara hipoglikemia sudah teratasi, maka cari penyebab lain
atau pertimbangkan sudah terjadi brain damage akibat hipoglikemia berkepanjangan.
Hipoglikemia meningkatkan angka mortalitas pada pasien dalam kondisi kritis. Pada 22% pasien
yang mengalami epsiode hipoglikemia lebih dari satu kali. Angka mortalitas meningkat sesuai
dengan parahnya derajat hipoglikemia. Tatalaksana yang tepat akan menurunkan angka
mortalitas dan komplikasi pasien hipoglikemia.