Anda di halaman 1dari 9

Chapter Two Review

Paradigms, Theory, and Social Research

Putri Muna Adimah 1306374320

Sebuah temuan penelitian biasanya didasarkan hanya pada pengamatan pola. Kecuali
kita bisa memberikan penjelasan logis untuk pola tersebut, keteraturan yang kita amati
mungkin hanya sebuah kejadian yang kebetulan. Dengan terjadinya pola tersebut, kita
membutuhkan sebuah penjelasan yang logis mengenai kejadian kebetulan tersebut. Teori
berusaha memberikan penjelasan yang logis terhadap suatu kejadian. Ada 3 fungsi dari teori.
Pertama, teori mencegah kita agar tidak terbawa atau terpengaruh oleh sebuah kebetulan. Jadi
dengan adanya teori kita dapat mengantisipasi kejadian yang akan terjadi di masa mendatang.
kedua, teori memaknai pola yang diamati dengan cara yang dapat menyarankan kemungkinan
lainnya (tindakan yang efektif). Contohnya, setelah melakukan penelitian, diketahui bahwa
keluarga broken home cenderung menghasilkan anak anak yang kriminal, jadi kita bisa
mengambil tindakan yang tepat dengan memberikaan semacam bimbingan konseling kepada
mereka. Dan ketiga, teori berusaha untuk membentuk dan mengarahkan kepada
kemungkinan adanya temuan baru melalui pengamatan empiris. Secara analogi, teori
mengarahkan peneliti dimana mereka akan menemukan pola pola yang menarik dari
kehidupan sosial. Disini kita akan membahas dasar acuan dari sebuah teori yang disebut
dengan paradigma, yang mendasari adanya teori teori. Paradigma menyediakan cara
pandang dan kerangka logis sehingga terbentuklah teori.

Ketika kita sedang menjalankan sebuah paradigma ada dua manfaat yang kita peroleh.
Pertama, kita dapat lebih memahami pandangan orang lain yang memiliki paradigma yang
berbeda dengan kita. Kedua kita bisa berpikir diluar paradigma kita. Biasanya dalam ilmu
alam, keberhasilan sebuah paradigma dinilai dari perubahan pandangannya. Dari pandangan
yang salah ke pandangan yang benar. Namun hal ini berbeda dari ilmu sosial. Paradigma dari
ilmu sosial menawarkan bermacam pandangan yang masing masing saling mengungkap
kekurangan dan kelebihan aspek sosial. Disini kita akan membahas berbagai macam teori
yang menginspirasi berbagai jenis penelitian.

Teori makro dan teori mikro. Teori makro bekerja dalam lingkup masyarakat yang
luas. Sedangkan teori mikro bekerja dengan isu isu kehidupan sosial dalam level individu
dan kelompok kecil. Dalam beberapa paradigma selanjutnya kita akan melihat perbedaan
yang jelas antara makro dan mikro. Seperti interaksionisme simbolic dan ethnometodology
termasuk kedalam level mikro. Sedangkan seperti teori konflik dapat dimasukkan ke dalam
level makro.

Pertama tama kita akan melihat bagaimana paradigma berkembang pada masa awal
positivisme. Pencetus dari lahirnya positivisme adalah Auguste Comte. Yang menyatakan
bahwa masyarakat adalah fenomena yang bisa dipelajari secara ilmiah. Sebelum paradigma
ini berkembang, biasanya paradigma religius dipakai untuk menjelaskan tentang peerbedaan
masyarakat. Comte berusaha untuk memisahkan penelitiannya dari agama. Dengan filosofi
positifnya, Comte yakin bahwa kepercayaan agama akan digantikan oleh ilmu sains (ilmiah)
dan objektivitas. Kemudian berkembang pula paradigma yang didasarkan pada teori Darwin.
Dalam bukunya The Origin of Species, beliau mengatakan bahwa spesies yang dapat
bertahan lebih lama adalah yang mampu mengatasi lingkungannya. Atau biasa disebut
dengan survival of the fittest. Paradigma ini memunculkan dugaan dugaan dan
mempengaruhi pemikiran bahwa things are getting better and better. Padahal setiap
perubahan yang terjadi bagaikan dua sisi pedang, yang mempunyai sisi yang tidak selalu
menjadi baik, bisa juga menjadi buruk. Lalu ada paradigma lainnya, yaitu paradigma konflik.
Paradigma ini melihat perilaku manusia sebagai cara untuk mendominasi dan menguasai
yang lainnya ataupun menghindar untuk dikuasai. Selanjutnya adalah paradigma
interaksionisme simbolik. Salah satu tokohnya adalah George Simmel. Ia tertarik tentang
bagaimana individu berinteraksi dengan yang lainnya. Pemikirannya lebih ke arah mikro.
Interaksionisme simbolik merupakan sebuah paradigma yang melihat perilaku manusia
sebagai hasil dari pemaknaan interaksi sosial. Dengan pemaknaan tersbut maka akan
mempengaruhi interaksi selanjutnya. Pemikiran Simmel juga berpengaruh kepada sosiolog
seperi C. H Cooley dengan ide primary group nya, dan G. H Mead dengan pemikirannya
tentang generalized others. Lalu ada paradigma etnometodology. Ethnomethodology
mencoba memahami cara-cara karakter yang wajar dalam kehidupan sehari-hari dilakukan
oleh masyarakat. Mengapa demikian? Karena menurut salah satu tokohnya yaitu Harold
Grafinkel, yang menyatakan bahwa orang terus membuat struktur sosial melalui interaksi dan
tindakannya. Selanjutnya ada paradigma struktural fungsional. Adalah paradigma yang
melihat masyrakat sebagai komponen komponen yang saling melengkapi. Masyarakat akan
bertahan apabila semua komponennya bekerja sama dengan baik. Lalu ada paradigma
feminis. Paradigma yang melihat dan memahami masyarakat melalui pandangan perempuan.
Perempuan mempunyai pengetahuan tentang status dan pengalaman mereka yang tidak
dimiliki oleh pria. Paradigma feminis mencerminkan ketidakadilan terhadap perempuan dan
melihat bahwa cara perempuan dan pria memahami masyarakat adalah berbeda. Dan yang
terakhir ada critical race theory. Salah satu paradigma yang non tradisional. Paradigma ini
didasarkan pada kepedulian terhadap perbedaan ras serta keadilan.
Terdapat beberapa elemen dalam sebuah teori sosial yaitu, obeservasi, fakta, dan
hukum selain itu juga, konsep, variabel dan hipotesis. Hipotesis adalah perkiraan yang
spesifik tentang kenyataan empiris dalam sudut pandang yang lebih luas. Ada 3 elemen di
dalam sains tradisional. Yang pertama adalah teori, kemudian operationalization.
Operasionalisasi adalah cara kita untuk mengukur variabel variable yang ada dalam
penelitian kita. Dengan mengoperasionalisasikan variable yang kita miliki, kita dapat melihat
permasalahan permasalahan yang baru.
Terdapat dua cara yang berbeda dalam membangun sebuah teori dalam penelitian
sosial, yaitu deduktif dan induktif. Penelitian deduktif dimulai dengan sebuah teori yang
kemudian kita bisa mendapatkan sebuah hipotesis. Dan hipotesis tersebut diuji melalui
observasi. Sedangkan penelitian induktif, dimulai dengan mengobservasi dan mencari pola
yang sama terhadap objek yang kita teliti. Kemudian teori dikembangkan dari hasil analisis
data penelitian.
Lalu bagaimana paradigma dan teori bisa memandu berjalannya sebuah penelitian ?
Dari apa yang telah dipaparkan sebelumnya bahwa dengan memilih paradigma tertentu
ataupun teori tertentu, tidak menjamin kesimpulan penelitian yang tertentu pula. Namun
paradigma dan teori dapat mempengaruhi apa yang kita cari dan yang kita abaikan.

Paradigms, Theory, and Social Research


Putri Muna Adimah 1306374320

Essay :
1. Menguji hubungan antara pendidikan dengan prasangka menggunakan metode
deduktif dan induktif :
Metode deduktif adalah metode penelitian secara linear. Dalam metode ini
teori dijadikan dasar dalam sebuah penelitian. Kemudian kita menetapkan sebuah
hipotesis yang nantinya diuji dengan melakukan observasi. Kita dapat menguji
hubungan antara pendidikan dengan prasangka melalui metode ini. Dari materi yang
didapat di chapter 1, telah ditentukan bahwa penelitian ini menggunakan dua variabel.
Yaitu pendidikan dan prasangka. Pendidikan adalah Prasangka adalah penilaian
seseorang yang tidak dilengkapi dengan informasi yang relevan yang bisa dijadikan
dasar penilaian tersebut. Kemudian menentukan hipotesisnya yaitu, orang yang tidak
berpendidikan lebih berprasangka daripada yang berpendidikan. Lalu hipotesis ini
diuji dengan melakukan observasi. Dari materi yang didapat dari chapeter 1, diketahui
bahwa 90% orang yang tidak berpendidikan adalah orang yang berprasangka dan 10
% nya adalah orang yang berpendidikan namun juga berprasangka. Kemudian
diketahui pula 70% orang yang berpendidikan adalah orang yang tidak berprasangka
dan 30% nya adalah orang yang berpendidikan namun juga berprasangka. Jadi
berdasarkan hasil observasi, diketahui benar bahwa berpendidikan atau tidak
berpendidikannya mempengaruhi seseorang dalam berprasangka.

Metode induktif adalah metode yang bersifat siklis. Metode ini dimulai
dengan mengobservasi dan mencari pola yang sama terhadap objek yang kita teliti.
Kemudian teori dikembangkan dari hasil analisis data penelitian. Apabila kita
menggukan metode ini untuk menguji hubungan pendidikan dengan prasangka,
pertama tama kita melakukan observasi kepada orang orang yang menempuh
pendidikan dan yang tidak berpendidikan. Kemudian kita memberikan sebuah kasus
dan meminta mereka untu menilainya. Sebagai contoh adalah perbedaan penilaian
tentang hubungan homoseksual dari sudut pandang orang yang berpendidikan dengan
yang tidak berpendidikan. Dari hasil observasi dapat diketahui bahwa 72% orang
yang menempuh pendidikan tidak sampai SMA, 62% orang yang menempuh
pendidikan sampai jenjang SMA, 56% orang yang menempuh pendidikan sampai
sekolah tinggi, 44% orang yang menempuh pendidikan sampai diploma dan 30%
orang yang menempuh pendidikan sampai tingkat S1 menilai bahwa hubungan
homoseksual merupakan hubungan yang salah. Hal ini membuktikan bahwa, Hal ini
dikarenakan pendidikan membuat seseorang memiliki pandangan yang luas dan
memiliki bermacam macam cara pandang. Sedangkan prasangka melambangkan
cara pandang yang sempit. Jadi semakin tinggi pendidikan seseorang maka semakin
berkurang tingkat prasangkanya.
2. Tambunan, Andri Syaputra. 2005. Dampak Pemanfaatan Internet Terhadap Prestasi
Belajar Mahasiswa Pada Program Studi Ilmu Perpustakaan Fakultas Sastra
Universitas Sumatera Utara. Skripsi sarjana tidak diterbitkan. Medan : Universitas
Sumatera Utara.
Teori :
Menurut Siregar (1997;4), internet adalah suatu jaringan internasional dari
jaringan jaringan yang menghubungkan jutaan komputer di seluruh penjuru duinia.
Sebagai suatu infrastruktur, jaringan ini memiliki peranan yang besar dalam
penyebaran arus informasi. Dengan kata lain prasarana ini merupakan jalan raya
informasi (informaton highway) yang digunakan mengangkut berbagai muatan
informasi dan menghubungkan banyak manusia di bumi. Selanjutnya Siregar (1996 :
1) mengutarakan bahwa melalui jaringan ini kita dapat memperoleh informasi dan
hiburan dari berbagai sumber di seluruh dunia dengan begitu cepat. Kemudian
menurut Hadiana dan Djaelani (2005) yaitu bahwa sejalan dengan perkembangan
teknologi jaringan khususnya internet, dan pemerataan pemakaian fasilitas internet di
Indonesia, maka sudah selayaknya untuk memulai penerapan teknologi ini di bidang
pendidikan, yang diharapkan dapat menunjukkan peningkatan mutu pendidikan
khusunya pendiidkan tinggi dan instiusi yang relatif telah memili fasilitas jaringan
komputer.
Dengan melihat berbagai pendapat yang telah dikemukakan tersebut di atas,
maka penulis dapat melihat bahwa internet menyediakan berbagai informasi yang
mampu mendukung mahasiswa dalam meningkatkan prestasi kuliah mereka. Oleh
sebab itu maka penulis ingin melihat lebih jauh tentang bagaimana peran internet
tersebut dalam mendukung proses belajar mahasiswa di perguruan tinggi khususnya
pada Program Studi Ilmu Perpustakaan Fakultas Sastra USU.

Penelitian :
Penenlitian ini pada dasarnya merupakan penelitian deskriptif. Dalam
pengumpulan data penelitian ini menggunakan metode proporsional (proportional
sampling). Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan, maka diperoleh
kesimpulan bahwa pada umumnya mahasiswa Prodi Perpustakaan, Fakultas Sastra
USU telah mengenal internet dan mengetahui internet sebagai sarana penyedia
informasi. Dan internet sudah menjadi pendukung proses belajar mereka. Frekuensi
pemanfaatan internet oleh mahasiswa juga bisa dibilang tinggi karena 35,29%
diantaranya memanfaatkan internet lebih dari 21 hari tiap bulannya. Sebanyak 82,35%
mahasiswa merasa pemanfaatan internet berguna untuk membantu mereka dalam
memahami sebagian besar materi perkuliahan, karena hampir sebagian besar
informasi tersedia di internet.
Dari paparan sebagian isi skripsi tersebut dapat kita perhatikan, hubungan antara teori
dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti. Dengan menggabungkan beberapa
teori seputar internet dan hubungannya dengan pendidikan dan dibuktikan dengan
hasil observasi, peneliti dapat menarik kesimpulan bahwa teorinya benar. Yaitu
fasilitas internet dapat mendukung mahasiswa dalam meningkatkan prestasi. Hal ini
menunjukkan bahwa dengan adanya peneli tian ilmiah maka akan terciptalah suatu
teori yang nyata dan dapat dipertanggungjawabkan.

Hubungan teori dengan penelitian adalah dimana teori adalah suatu hal yang diyakini
oleh pencetusnya dan teori tersebut tidak mungkin tercipta tanpa adanya suatu
penelitian ilmiah yang dilakukan oleh pencetus teori tersebut. Dengan keyakinan yang
ia miliki dan dengan keotentikan penelitian ilmiahnya itu, ia dapat mengambil
kesimpulan bahwa teorinya benar. Jadi tidak dapat dipisahkan antara teori yang
disimpulkan dengan penelitian ilmiah yang dilakukan. Dengan adanya peneli tian
ilmiah maka akan terciptalah suatu teori yang nyata dan dapat
dipertanggungjawabkan.

3. Etnometodologi
Etnometodologi menitikberatkan bagaimana pendukung budaya memandang,
menjelaskan, dan menggambarkan tata hidup mereka sendiri. Penelitian diarahkan
untuk mengungkap bagaimana seorang individu maupun kelompok memahami
kehidupannya. Subjek penelitian tak harus masyarakat terasing, melainkan
masyarakat yang ada di sekitar kita. Bagaimana orang atau suatu kelompok
memandang budayanya, menerangkan, dan menguraikan keteraturan dunia tempat
mereka hidup. Dengan kata lain, etnometodologi lebih banyak untuk mengungkap
budaya dalam konteks interaksi sosial. Dalam hal ini, bahasa sebagai medium
interaksi pun perlu diperhatikan sungguh-sungguh. Tiap-tiap pemilik budaya biasanya
memiliki bahasa khas sebagai medium interaksi sosial. Sehubungan dengan itu, realita
menjadi suatu hal yang sangat penting bagi model ini.
http://agustocom.blogspot.com/2010/11/etnometodologi.html

Interaksionisme simbolik

Interaksionisme simbolik adalah salah satu model penelitian budaya yang


berusaha mengungkap realitas perilaku manusia. Falsafah dasar interaksionisme
simbolik adalah fenomenologi.Namun, dibanding penelitian naturalistik dan etnografi
yang juga memanfaatkan fenomenologi, interaksionisme simbolik memiliki
paradigma penelitian tersendiri. Model penelitian ini pun mulai bergeser dari awalnya,
jika semula lebih mendasarkan pada interaksi kultural antar personal, sekarang telah
berhubungan dengan aspek masyarakat dan atau kelompok. Karena itu bukan
mustahil kalau awalnya lebih banyak dimanfaatkan oleh penelitian sosial, namun
selanjutnya juga diminati oleh peneliti budaya.

Perspektif interaksi simbolik berusaha memahami budaya lewat perilaku


manusia yang terpantul dalam komunikasi. Interaksi simbolik lebih menekankan pada
makna interaksi budaya sebuah komunitas. Makna esensial akan tercermin melalui
komunikasi budaya antar warga setempat. Pada saat berkomunikasi jelas banyak
menampilkan simbol yang bermakna, karenanya tugas peneliti menemukan makna
tersebut.

Menurut Blomer (Spradley, 1997:7) ada beberapa premis interaksionisme


simbolik yang perlu dipahami peneliti budaya, yaitu sebagai berikut:

Pertama, manusia melakukan berbagai hal atas dasar makna yang diberikan oleh
berbagai hal itu kepada mereka. Misalkan, para polisi, mobil polisi, penjual minum,
tipe orang, dan sebagainya dalam suatu kerumunan memiliki simbol yang bermakna
khusus.

Kedua, dasar interaksionisme simbolik adalah makna berbagai hal itu berasal dari,
atau muncul dari interaksi sosial seorang dengan orang lain. Kebudayaan sebagai
suatu sistem makna yang dimiliki bersama, dipelajari, diperbaiki, dipertahankan, dan
didefmisikan dalam konteks orang yang berinteraksi.
Ketiga, dari interaksionisme simbolik bahwa makna ditangani atau dimodifikasi
melalui suatu proses penafsiran yang digunakan oleh orang dalam kaitannya dengan
berbagai hal yang dia hadapi. Seorang polisi juga menggunakan kebudayaan untuk
menginterpretasikan situasi.

http://nikolassutrisno.blogspot.com/2010/11/makalah-interaksionisme-simbolik.html

Struktural Fungsional

Asumsi dasar dari Teori Fungsionalisme Struktural, yaitu bahwa masyarakat


terintegrasi atas dasar kesepakatan dari para anggotanya akan nilai-nilai
kemasyarakatan tertentu yang mempunyai kemampuan mengatasi perbedaan-
perbedaan sehingga masyarakat tersebut dipandang sebagai suatu sistem yang secara
fungsional terintegrasi dalam suatu keseimbangan. Dengan demikian masyarakat
adalah merupakan kumpulan sistem-sistem sosial yang satu sama lain berhubungan
dan saling ketergantungan. Teori Fungsionalisme Struktural yang mempunyai latar
belakang kelahiran dengan mengasumsikan adanya kesamaan antara kehidupan
organisme biologis dengan struktur sosial dan berpandangan tentang adanya
keteraturan dan keseimbangan dalam masyarakat tersebut dikembangkan dan
dipopulerkan oleh Talcott Parsons. Sebagaimana telah diuraikan di muka, bahwa Teori
Fungsionalisme Struktural beranggapan bahwa masyarakat itu merupakan sistem yang
secara fungsional terintegrasi ke dalam bentuk keseimbangan. Menurut Talcott
Parsons dinyatakan bahwa yang menjadi persyaratan fungsional dalam sistem di
masyarakat dapat dianalisis, baik yang menyangkut struktur maupun tindakan sosial,
adalah berupa perwujudan nilai dan penyesuaian dengan lingkungan yang menuntut
suatu konsekuensi adanya persyaratan fungsional.

http://rosalia6.blogspot.com/2013/02/paradigma-sosiologi-dan-teori.html#ixzz2uAGK2AJ0

4. Mengapa memakai paradigma sosial kognitif dan paradigma interaksionisme simbolik ?


Karena paradigma tersebut menyediakan dasar dasar teori dari pengertian tradisional
tentang identitas. Mengapa paradigma sosial kognitif ?. Karena menurut paradigma ini,
struktur pengetahuan terbagi secara kolektif, dan berkembang melalui proses interaksi
dan komunikasi (Augoustinous & Innes 1990). Paradigma ini sangat fleksibel dengan
perkembangan zaman dan sangat mendasar dalam interaksi sosial. Kemudian alasan
menggunakan paradigma interaksionisme simbolik adalah,karena paradigma ini
mengedepankan interaksi antar individu yang dapat diperoleh melalui komunikasi
ataupun pemberian suatu makna terhadap suatu objek, perilaku, dirinya sendiri ataupun
orang lain. Karena suatu makna berkembang dalam suatu interaksi, maka bahasa
memerankan peran yang penting dalam hal ini. Secara singkatnya, individu menghasilkan
sebuah identitas melalui cara bicaranya. Identitas dapat terlihat dalam interaksi sehari
hari. Itulah alasan mengapa peneliti menggunakan paradigma tersebut.

Anda mungkin juga menyukai