Gerontik - Hanifa - FG 2 - Tugas 3
Gerontik - Hanifa - FG 2 - Tugas 3
1 Universitas Indonesia
2
berupa analgesik (paracetamol), NSAID, analgesik kuat (opioid), dan obat adjuvan
(Fitzcharles, Lussier, & Shir, 2010). Penatalaksanaan farmakologi pada lansia turut
diperhatikan terkait peningkatan sensitivitas terhadap obat, interaksi obat-obat dan
terkait komorbiditas (Villa-Blanco & Calvo-Aln, 2009). Penatalaksanaan secara non
farmakologi dilakukan dengan mengedukasi lansia, memberikan dorongan untuk
berlatih strategi manajemen diri dan membiasakan terhadap kebiasaan hidup sehat
seperti kontrol berat badan dan aktivitas fisik secara teratur dan olahraga.
Penatalaksanaan medis berupa penggantian sendi (arthroplasty) dapat dilakukan untuk
mengembalikan fungsi sendi (Touhy & Jett, 2014).
Perubahan patologis lain yang umum terjadi pada lansia yaitu rheumatoid
arthritis. Rheumatoid arthritis merupakan gangguan peradangan multisistem kronis
yang ditandai dengan kerusakan sinovitis (Villa-Blanco & Calvo-Aln, 2009).
Rheumatoid arthritis dianggap sebagai penyakit autoimun di mana akibat peradangan
yang terjadi pada lapisan sendi menyerang dan merusak tulang rawan dan tulang dalam
sendi (Touhy & Jett, 2014). Lingkungan dan genetik merupakan faktor risiko dari
rheumatoid arthritis. Ciri khas dari rheumatoid arthritis yakni nyeri dan bengkak pada
sendi-sendi secara simetris dan secara umum terjadi pada sendi kecil di bagian
pergelangan tangan, lutut, penggelangan kaki, dan tangan. Selain itu, rheumatoid
arthritis juga ditandai dengan kelelahan dan demam serta perih dan hangat pada bagian
sendi.
Rheumatoid arthritis dapat diidentifikasi dengan pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan fisik yang dilakukan berupa inspeksi dan palpasi
pada bagian sendi untuk melihat tanda dari khas rheumatoid arthritis dan rentang gerak
sendi. Pemeriksaan penunjang yang dilakukan berupa uji lab darah, peradangan,
antibodi, dan imaging tests. Uji lab darah dapat memberikan gambaran tingkat
peradangan dan biomarker terkait rheumatoid arthritis. Erythrocyte Sedimentation Rate
(ESR) dan protein C-Reactive Protein (CRP) merupakan penanda peradangan. Nilai
ESR atau CRP tinggi tidak secara pasti menunjukkan rheumatoid arthritis, tetapi ketika
dikombinasikan dengan petunjuk lain, seperti antibodi, membantu membuat diagnosis
rheumatoid arthritis (Arthritis Foundation, n.d.). Rheumatoid Factor (RF) merupakan
antibodi yang ditemukan di sekitar 80 persen orang dengan rheumatoid arthritis. Meski
demikian RF dapat terjadi pada penyakit inflamasi lainnya, sehingga RF bukan tanda
pasti rheumatoid arthritis. Anti-Cyclic Citrullinated Peptida (anti-CCP) timbul terutama
pada pasien dengan rheumatoid arthritis. Perbedaan secara spesifik antara osteoarthritis
dan rheumatoid arthritis terangkum dalam tabel 1 (Villa-Blanco & Calvo-Aln, 2009;
Touhy & Jett, 2014; Arthritis Foundation, n.d.).
Universitas Indonesia
3
Patofisiologi
Universitas Indonesia
4
Daftar Pustaka
Universitas Indonesia