TINJAUAN PUSTAKA
2.1 ANATOMI
Endometrium adalah lapisan dalam dinding kavum uteri yang berfungsi sebagai bakal tempat
implantasi hasil konsepsi. Selama siklus haid, jaringan endometrium berproliferasi, menebal
dan mengadakan sekresi, kemudian jika tidak ada pembuahan/ implantasi, endometrium rontok
kembali dan keluar berupa darah/ jaringan haid.
Pada suatu fase dimana ovum tidak dibuahi oleh sperma, maka kurpus luteum akan berhenti
memproduksi hormon progesteron dan berubah menjadi korpus albikan yang menghasilkan
sedikit hormon diikuti meluruhnya lapisan endometrium yang telah menebal, karena hormon
estrogen dan progesteron telah berhenti diproduksi. Pada fase ini, biasa disebut menstruasi atau
peluruhan dinding rahim.
Endometriosis adalah suatu keadaan dimana jaringan mirip dengan dinding rahim
(endometrium) ditemukan di tempat lain dalam tubuh (Smeltzer, 2001). Endometriosis adalah
adanya kelenjar dan stroma endometrium di luar uterus paling sering mengenai ovarium atau
perlukaan peritoneum viseralis yang mengantung (Ralph C. & Martin L., 2009).
Endometriosis merupakan lesi jinak dengan sel-sel yang mempunyai sel-sel yang melapisi
uterus yang tumbuh secara aberans pada rogga pelvis di luar uterus (Diane C. & JoAnn C.,
2000). Meskipun jinak, endometriosis bersifat progresif, cenderung kambuh dan dapat
menginvasi secara lokal, dapat memiliki banyak fokus yang tersebar luas dan dapat terjadi
dalam nodus limfe pelvis (30%). Ovarium, ligamentum sakrouterina, septum rektovaginal, dan
peritoneum pelvis lebih sering terkena namun, endometriosis dapat juga mempengaruhi traktus
intestinalis (kolon rektosigmoid) dan traktus urinarius.
Berdasarkan data dari Ralph C. & Martin L. (2009), endometriosis menyerang 10-20% wanita
yang masih mengalami menstruasi dan ditemukan pada 30-45% wanita infertil yang
menyebabkan 20% dari seluruh operasi di bidang ginekologi serta merupakan satu-satunya
penyebab perawatan inap non kebidanan (>5%) pada waita berumur 15-44 tahun. Perbedaan
utama endometriosis remaja dan dewasa adalah hubungannya dengan kelainan kongenital pada
saluran reproduksi pasien pubertas (William M., 2005).
Sistem klasifikasi untuk endometriosis pertama kali dibuat oleh American Fertility Society
(AFS) pada tahun 1979 yang kemudian berubah nama menjadi ASRM pada tahun 1996. ASRM
merevisi klasifikasi endometriosis pada tahun 1996, yang dikenal dengan sistem skoring
revisied AFS (r-ASF). Sistem ini membagi edometriosis kedalam empat derajat keparahan,
yaitu:
2.4 Etiologi
Etiologinya tidak diketahui, tetapi ada beberapa mekanisme yang mungkin berperan penting
dalam pathogenesis. Mekanisme dari penyakit ini adalah menstruasi retrograde (sel-sel
endometrium bergerak mundur melalui tuba falopii memasuki rongga abdomen) atau
penyebaran melalui sistem limfatik atau perdarahan. Jaringan yang nyasar tersebut biasanya
ditemukan menempel pada ovarium, permukaan posterior uterus, ligamentum uterosakral,
ligamentum latum, atau pada usus. Namun, banyak teori telah diusulkan untuk menjelaskan
presentasi klinis penyakit.
1. Teori implantasi yaitu implantasi sel endometrium akibat regurgitasi transtuba pada
saat menstruasi.
2. Teori metaplasia, yaitu metaplasia sela multipotensial menjadi endometrium, namun
teori ini tidak didukung bukti klinis maupun eksperimen.
3. Teori induksi, yaitu kelanjutan teori metaplasia dimana faktor biokimia indogen
menginduksi perkembangan sel peritoneal yang tidak diperesiansi menjadi
jaringan endometrium (Mansjoer, 2001: 381).
4. Teori sistem kekebalan, kelainan sistem kekebalan menyebabkan
jaringan menstruasi tumbuh di daerah selain rahim.
5. Teori genetik, keluarga tertentu memiliki faktor tertentu yang menyebabkan kepekaan
yang tinggi terhadap endometriosis. Bahwa anak ataupun
penderita endometriosis beresiko besar mengalami endometriosis sendiri.
6. Teori Retrograde menstruation (menstruasi yang bergerak mundur) menurut teori
ini, endometriosis terjadi karena sel-sel endometrium yang dilepaskan pada
saat menstruasi mengalir kembali melalui tubake dalam rongga pelvis.
Studi terhadap kembar dan keluarga menunjukkan adanya keterlibatan komponen genetik.
Konsumsi daging merah dan trans fats berhubungan dengan peningkatan risiko endometriosis
yang dikonfirmasi dengan laparoskopi, dan makan buah-buahan, sayuran hijau, dan asam
lemak n-3 rantai panjang dikaitkan dengan penurunan risiko. Laktasi lama dan kehamilan
multipel bersifat protektif. Endometriosis dikaitkan dengan peningkatan risiko penyakit
autoimun, endometrioid ovarium, clear-cell karsinoma, serta kanker lainnya, termasuk
limfoma non-Hodgkin dan melanoma.
2.5 Patofisiologi
Endometriosis dipengaruhi oleh faktor genetik. Wanita yang memiliki ibu atau saudara
perempuan penderita endometriosis memiliki resiko lebih besar terkena penyakit seperti ini,
karena adanya gen abnormal yang diturunkan dalam tubuh wanita tersebut.
Sel endometrial seperti ini dapat memasuki peredaran darah dan limpa, sehingga sel
endometrial seperti ini memiliki kesempatan buat mengikuti aliran regional tubuh dan menuju
ke bagian tubuh lainnya.
Dimanapun lokasi terdapatnya, endometrial ekstra uterin seperti ini dapat dipengaruhi oleh
siklus endokrin normal. Karena dipengaruhi oleh siklus endokrin, maka pada saat estrogen dan
progresteron meningkat, jaringan endometrial seperti ini juga mengalami perkembangbiakan.
Pada saat terjadi perubahan, kadar estrogen dan progresteron lebih rendah atau berkurang.
Jaringan endometrial seperti ini akan menjadi nekrosis dan terjadi perdarahan di daerah pelvic.
Perdarahan di daerah pelvic seperti ini disebabkan karena iritasi peritoneum dan menyebabkan
nyeri saat menstruasi (dysmenorea). Setelah perdarahan, penggumpalan darah di pelvis akan
menyebabkan adhesi atau perlekatan di dinding dan permukaan pelvis. Hal seperti ini akan
menyebabkan nyeri, tidak hanya di pelvis tapi juga nyeri pada daerah permukaan terkait, nyeri
saat latihan, defekasi, BAK dan saat melakukan hubungan seks.
Adhesi juga dapat terjadi di sekitar uterus dan tuba falopii. Adhesi di uterus menyebabkan
uterus mengalami retroversi, sedangkan adhesi di tuba falopii menyebabkan gerakan spontan
ujung-ujung fimbriae buat membawa ovum ke uterus menjadi terhambat. Hal-hal inilah yang
menyebabkan terjadinya infertilisasi pada endometriosis.
Pada intinya, endometriosis berespon seperti endometrium normal, jadi ikut menebal,
melepaskan diri, dan sebagainya seperti selama siklus haid biasa, termasuk perdarahan. Pada
ovarium, beruba endometrium (kista yang dilapisi endometrium yang berfungsi). Bila berdarah
ke dalam, isi kista tampak berwarna coklat disebut kista coklat. Bila perdarahan ke luar akan
timbul perlengketan-perlengketan dalam rongga peritoneum.
Penyebab kondisi ini belum jelas, namun ada 2 teori yaitu menstruasi retrograd dan metaplasia.
Teori menstruasi retrograd mengatakan bahwa selama menstruasi ada endometrium yang
memasuki tuba uterine dan akhirnya masuk ke rongga pelvis. Teori metaplasia mengatakan
bahwa terdapat sisa epitel ambrional yang belum berdiferensiasi sampai menarke. Jaringan
inilah yang berespon terhadap estrogen dan progresteron sebagaimana endometrium.
2.7 Manifestasi klinis
Tanda umum adanya endometriosis adalah nyeri pelvis yang parah. Dapat muncul sesekali atau
konstan, dan biasa berkaitan dengan siklus menstruasi si penderita. (Andi Priyatna, 2009)
Gejala paling umum yang menjadi ciri khas kasus endometriosis adalah : (VitaHealth, 2007)
a. Nyeri yang sangat hebat di bagian perut dan sekitar panggul yang terjadi sebelum atau
awal dari siklus haid (75% kasus), sehingga membuat pasien tidak berdaya (pingsan),
tetapi tidak sampai mengancam nyawa. Lokasi nyeri di daerah panggul sering
berhubungan dengan lokasi dari lesi endometriosis. Bila endometriosis telah menyerang
indung telur, rasa nyeri tersebut mungkin berlanjut hingga akhir siklus haid, dan semakin
parah sakitnya berhubungan dengan perkembangan penyakitnya.
b. Nyeri sendi kalau ditekan (fibromyalgia), yang disertai dengan kelelahan sehingga
membuat tidak nyaman.
c. Sakit sewaktu melakukan hubungan intim atau biasa disebut disperunia (32% kasus).
Sangat umum terjadi pada penderita dengan sebaran endometriosis berlokasi pada
jaringan di belakang rahim dan dinding panggul, serta permukaan dasar panggul dan
ligamen pada daerah tersebut (ligamen uterosakral). Semakin dalam penetrasi pada saat
hubungan seksual, rasa sakit pun akan semakin berat.
d. Perdarahan dari anus sewaktu buang air besar, yang mungkin terasa sangat sakit,
disebabkan tumbuhnya implan endometrium pada usus besar (colon), atau pada saluran
kencing bila kasus endometriosisnya sudah parah.
e. Gangguan pra-haid dan perdarahan pada rahim. Gangguan siklus haid berupa bercak-
bercak menjelang haid dan perdarahan rahim yang tidak seharusnya terjadi. Kurangnya
frekuensi ovulasi, tidak teratur, atau jumlahnya tidak cukup adalah gejala umum yang
juga mungkin dialami penderita endometriosis. Namun, gangguan-gangguan tersebut
kurang spesifik, karena pada penderita yang parah pun sering kali fungsi sel telurnya
masih normal.
f. Terjadi rasa sakit pada waktu buang air kecil, yang kadang-kadang disertai darah di
dalam urin. Hal ini terjadi karena implan tersebut menekan organ tubuh yang membawa
kotoran ke luar (kandung kemih, usus, dan anus)
g. Masalah infertilitas (kemandulan) akibat penyempitan dan tersumbatnya saluran indung
telur, sehingga menghalangi sel telur sampai di rahim. Dalam hal ini terindikasi bahwa
prevalensi endometriosis 3x lebih tinggi pada wanita yang tidak subur dibandingkan
dengan wanita yang subur pada umumnya. Namun, berbagai pendapat menyatakan ada
begitu banyak faktor penyebab infertilitas, dan bahkan banyak pasien endometriosis
yang kemudian masih tetap bisa mengalami kehamilan.
h. Sebagai tambahan, wanita penderita endometriosis bisa mengalami gejala yang
menyerupai gangguan saluran pencernaan (gastrointestinal) dan kelelahan kronis
(chronic fatigue syndrome) yang dialami lebih dari 20% penderita endometriosis di
Amerika Serikat.
i. Gangguan fase luteal (luteinized unruptured fillice syndrome), pasien mampu
berovulasi, tetapi bisa keluar dari ovarium. Hal ini pada beberapa kasus menjadi
penyebab terjadinya kemandulan.
Gejala-gejela biasanya berupa nyeri pelvis, infertilitas, dan perdarahan abnormal : (Ralph
Benson, 2008)
a. Nyeri Pelvis
Nyeri panggul merupakan tanda utama endometriosis, dengan ciri khas nyeri bersifat kronis
dan berulang, timbul sebagai dismenore didapat atau sekunder. Nyeri biasanya terjadi 24-48
jam sebelum menstruasi dan mereda beberapa saat setelah timbul menstruasi. Namun rasa tidak
nyaman dapat terjadi selama seluruh interval menstruasi. Nyeri ditandai dengan nyeri konstan,,
biasanya pada pelvis atau punggung bawah (sakrum). Namun nyeri mungkin unilateral atau
bilateral dan dapat menyebar ke tungkai bawah atau selangkang. Jika dibandingkan dengan
dismenore primer, nyeri pelvis lebih konstan dan jarang timbul di bagian garis tengah tubuh.
Gejala-gejala pelvis lainnya adalah kejang yang berat, rasa berat pada panggul dan tekanan
pada pelvis.
Dapat terjadi gejala-gejala saluran cerna, tanpa diketahui apakah disertai keterlibatan usus
besar atau tidak, misalnya nyeri perut siklik, konstipasi intermiten, diare, nyeri saat defekasi,
dan adanya darah dalam feses. Gejala-gejala saluran kemih meliputi gangguan frekuensi miksi,
disuri, hematuri perimenstruasi atau hidronefrosis. Penetrasi dalam saat hubungan seks dapat
menimbulkan nyeri hebat (dispareunia) yang dapat berlangsung selama 1-2 jam. Gejala-gejala
yang tidak lazim pada saat menstruasi pernah dilaporkan : kejang (implantasi di sistem saraf
pusat) dan hemotoraks atau hematemesis (implantasi di paru)
b. Infertilitas
Endometriosis didiagnosis hampir 2x lebih sering pada wanita infertil dibanding wanita ferrtil.
Karena itu endometriosis harus dicurigai pada setiap kasus infertilitas.
c. Perdarahan Abnormal
Perdarahan abnormal, tidak berhubungan dengan anovulasi, terjadi pada 15-20% wanita
dengan endometriosis. Gambaran yang khas adalah perdarahan berupa bercak pramenstruasi
atau menoragi atau keduanya.
a. Dismenore
b. Dispareunia
c. Infertilitas
1. Diagnosa klinis
Anamnesa
Keluhan utama dari endometriosis adalah nyeri. Nyeri pelvik kronis yang disertai dengan
infertilitas juga merupakan masalah klinis utama pada endometriosis. Emdometrium pada
organ tertentu dapat menimbulkan efek yang sesuai dengan fungsi organ tersebut, sehingga
lokasi penyakit dapat diduga.
Riwayat pada keluarga sangat penting untuk diketahui karena penyakit endometriosis bersifat
diwariskan. Keturunan pertama memiliki resiko tujuh kali lebih besar untuk mengalami hal
serupa. Endometriosis juga lebih mungkin berkembang pada saudara perempuan monozigot
daripada dizigot. Rambut dan nevus displastik telah diperlihatkan berhubungan dengan
endometriosis.
Jarang dilakukan kecuali penderita menunjukkan adanya gejala fokal siklik pada daerah organ
non ginekologi. Pemeriksaan dilakukan guna mencari penyebab nyeri yang letaknya kurang
tegas dan dalam. Endometrioma pada parut pembedahan bisa berupa pembengkakan yang nyeri
dan lunak fokal dapat menyerupai lesi lain seperti granuloma, abses dan hematom.
Pada genitalia eksterna dan permukaan vagina biasanya tidak didapatkan kelainan. Lesi pada
endometriosis terlihat hanya 14,4% pada pemeriksaan inspekulo, sementara pada pemeriksaan
manual lesi ini teraba pada 43,1% penderita. Ada kaitan antara stenosis pelvik dan
endometriosis pada penderita nyeri pelvik kronik. Paling umum, tanda positif ditemukan pada
pemeriksaan bimanual dan rektovaginal.
Hasil pemeriksaan fisik yang nnormal tidak menyingkirkan diagnosis endometriosis,
pemeriksaan pelvik sebagai pendekatan non bedah untuk diagnosis endometriosis dapat
dipakai pada endometrioma ovarium.gejala, tanda fisis dan pemeriksaan bimanual dapat
digunakan.
4. Dignosa pencitraan
Pencitraan berguna untuk memeriksa penderita endometriosis terutama jika dijumpai massa
pelvis atau adxena seperti endometrioma. Ultrasonografi pelvis secara transabdominal (USG-
TA), transvaginal (USG TV) atau secara transrektal (TR), CT Scan dan pencitraan resonansi
magnetik telah digunakan secara nir-infasif untuk mengenali implan endometriosis yang besar
dan endometrioma. Tetapi hal ini tak dapat menilai luasnya endometriosis. Bagaimanapun,
cara-cara tersebut masih penting untuk menetapkan sisi lesi atau menilai dimensinya yang
mungkin bermanfaat untuk menentukan pilihan teknik pembedahan yang akan dilakukan.
5. Diagnosa laparoskopi
Dengan pemeriksaan visualisasi langsung ke rongga abdomen, yang pada banyak kasus sering
dijumpai jaringan endometriosis tanpa adanya gejala klinis.
Penampakan klasik dapat berupa jelaga biru-hitam dengan keragaman derajat pigmentasi dan
fibrosis di sekelilingnya. Warna hitam disebabkan oleh timbunan hemosiderin dari serpih haid
yang terperangkap, kebanykan invasi ke peritoneum berupa lesi-lesi atpikal tak berpigmen
berwarna merah atau putih.
Diagnosa endometriosis secara visual pada laparoskopi tak selalu sesuai dengan pemastian
histopatologi meski penderitanya mengalami nyeri pelvik kronik. Endometriosis yang didapat
dari laparoskopi sebesar 36%, ternyata secara histopatologi hanya terbukti 18% dari
pemeriksaan histopatologi.
Dua hal yang harus diperhatikan pada saat dilakukan laparoskopi adalah:
6. Biopsi
7. Stadium endometriosis
Penentuan stadium endometriosis sangat penting dilakukan terutama untuk menerapkan cara
pengobatan yang tepat dan untuk evaluasi hasil pengobatan. Namun stadium ini tidak memiliki
kolerasi dengan derajat nyeri, keluhan pasien, maupun prediksi respon terapi terhadap nyeri
atau infertilitas. Hal ini dapat dipahami karena endometriosis dapat dijumpai pada pasien yang
asimptomatik.
Klasifikasi endometriosis yang digunakan saat ini adalah menurut American Society For
Reproductive Medicine yang telah di revisi pada tahun 1996 yang berbasi pada tipe, lokasi,
tampilan, kedalaman invasi lesi, penyebaran penyakit dan perlengketan.
Penentuan stadium atau keterlibatan endometriosis didasarkan pada system nilai bobot
(weighted point system). Sebaran nilai-nilai tersebut telah ditetapkan secara sembarang. Untuk
menjamin penilaian yang sempurna, inspeksi pelvis hendaknya dilakukan searah jarum jam
atau berlawanan. Catat jumlah, ukuran, dan letak susunan endometriosis, bengkak (plak),
endometrioma, dan atau perlekatan. Pada stadium 1 (minimal), bobot : 1 5 ; stadium 2
(ringan), bobot : 6-15 ; stadium 3 (Sedang), bobot 16-40 ; stadium 4 (berat), bobot > 40.
8. CA125
CA 125 merupakan suatu glycoprotein dengan berat molekul tinggi yaitu 200.000 Dalton yang
biasa digunakan untuk marker tumor pilihan pada tumor epithel ovarium. Antigen CA 125
dihasilkan oleh epitel yang berasal dari epitel coelom (sel mesothelial pleura, pericardium dan
peritoneum) dan epitel saluran muller (tuba, endometrium, dan endoserviks). Permukaan epitel
ovarium fetus dan dewasa tidak menghasilkan CA 125 kecuali kista inklusi, permukaan epitel
ovarium yang mengalami metaplasia dan yang mengalami pertumbuhan papiler.
Pada kelainan ginekologi yang jinak, peningkatan kadar CA 125 ditemukan pada
endometriosis, penyakit radang panggul, myoma uteri, abses tubo ovarial dan TB multiviseral.
Pada awal kehamilan juga dapat dijumpai peningkatan CA 125.
Hubungan antara endometriosis dengan peningkatan kadar CA 125 sudah dikemukakan sejak
tahun 1980-an, dimana peningkatan ini terjadi karena konsentrasi yang lebih tinggi dari ektopik
endometrium. CA 125 dihasilkan juga oleh ektopik endometrium dibanding eutopik
endometrium. CA 125 dihasilkan juga oleh ektopik endometrium. Selama siklus haid normal,
ektopik endometrium adalah sumber utama dari produksi dan sekresi CA 125 ke dalam rongga
kelenjar dan pembuluh darah sehingga pada beberapa wanita dapat dijumpai peningkatan CA
125 selama menstruasi berlangsung, baik yang mengalami endometriosis maupun yang tidak.
Hal ini mungkin disebabkan oleh refluks endometrium menstrual ke rongga peritoneum.
CA 125 meningkat pada endometriosis lanjut, sehingga lebih baik sebagai penapisan bagi
diagnosis endometriosis sedang hingga berat (stadium 3 san 4). Kegunaannya terbatas untuk
menasah endometriosis minimal ringan, karena kepekaan teranya rendah.
2. Penatalaksanaan
Penanganan endometriosis bersifat simtomatis yaitu tergantung pada keluhan dan gejala
klinisnya. Tujuan penanganan endometriosis adalah mengontrol nyeri, mengontrol
perkembangan penyakit endometriosis dan mempertahankan fertilitasnya. Terdapat
tiga bentuk cara penanganan endometriosis, yaitu secara bedah, medikamentosa dan
kombinasi bedah dengan medikamentosa. Nyeri biasanya ditangani dengan terapi hormon dan
terapi bedah, sedangkan infertilitas ditangani dengan terapi bedah dan terapi spesifik untuk
infertilitas, misalnya inseminasi atau fertilisasi in vitro.
1. Terapi Bedah
Terapi bedah pada endometriosis bisa dilakukan dengan cara laparotomi dan laparoskopi,
namun menurut Sinaii sebagian besar (69,1%) dilakukan dengan laparoskopi. Hampir sebagian
besar dimulai dengan tindakan laparoskopi diagnostik, walaupun sebenarnya pengenalan dan
konfirmasi terhadap lesi endometriosis tidaklah mudah. Terdapat tiga tampilan lesi
endometriosis, yaitu lesi peritoneum, lesi vagina dan lesi supra vagina. Lesi peritonium bisa
dalam bentuk lesi tipikal, misalnya : Pukerer black, powder burm dan lain-lain, bisa juga dalm
bentuk red flame- lik, white opacification, glandular excrescences. Saat laparoskopi
diagnostik ditentukan gradasi endometriosis dengan menggunakan sistem klasifikasi menurut
ASRM. Berdasarkan panduan ESHRE disebutkan bahwa inspeksi visual dengan laparoskopi
merupakan standar emas untuk diagnosis definitif endometriosis.
Saat terapi bedah dilakukan dua hal, yaitu mempertahankan kesuburan dengan memperbaiki
distorsi anatomi adneksa dengan cara melakukan pembebasan perlekatan, mengambil jaringan/
implan endometriosis yang dilakukan dengan cara ablasi atau eksisi. Beberapa hal penting yang
harus diperhatikan saat melakukan tindakan bedah adalah: usia penderita, gradasi penyakit
endometriosis, berat ringannya keluhan dan kebutuhan untuk fertilitasnya.
3. Radiasi
Pengobatan ini bertujuan untuk menghentikan fungsi ovarium, terapi cara ini tidak dilakukan
lagi, kecuali jika ada kontra indikasi terhadap pembedahan.
4. Radioterapi
Dilakukan pada penderita yang diagnosanya sudah jelas dan keadaan umumnya kurang baik.
2. Komplikasi
Komplikasi dari endometriosis meliputi:
Infertilitas dapat terkait dengan pembentukan parut dan distorsi anatomi karena endometriosis,
namun endometriosis juga dapat mengganggu dengan cara yang lebih halus: sitokin dan bahan
kimia lain mungkin akan dirilis yang mengganggu reproduksi. Komplikasi dari endometriosis
termasuk usus dan obstruksi saluran kemih akibat perlengketan pelvis. Juga, peritonitis dari
perforasi usus dapat terjadi.
2. Prognosis
Endometriosis ditemukan dapat menghilang secara spontan pada 1/3 wanita yang tidak
ditatalaksana secara aktif. Manajemen medis (supresi ovulasi) untuk mengurangi nyeri pelvis
tapi tidak untuk pengobatan endometriosis yang berkaitan dengan infertilitas. Namun, tetap ada
potensi untuk konsepsi. Kombinasi estrogen progestin meredakan nyeri pelvis. Setelah 6 bulan
terapi danazol, sebesar 90% pasien dengan endometiosis sedang mengalami penurunan nyeri
pelvis. Total abdominal hysterectomy and bilateral salpingo-oophoretomy dilapokan hingga
90% dalam meredakan nyeri. Kehamilan masih mungkin begantung pada keparahan penyakit.
Tanda dan gejala secara umum menurun dengan adanya onset menopause dan selama
kehamilan.
Analisa Data
No DATA ETIOLOGI MASALAH
3.5 Intervensi
Gangguan pola seksual Kaji riwayat seksual dalam Mengkaji riwayat seksual
berhubungan dengan nyeri kehidupan pasien dan klien digunakan untuk
saat berhubungan seksual periksa hubungan dengan menetukan tindakan
pasangan seksualnya keperawatan.
Tujuan : Klien dapat
melakukan hubungan Berikan informasi terhadap Dengan memberikan
seksual dengan nyeri berubahnya pola seksualitas informasi pasien dapat
terantisipasi akibat penyakit yang mengetahui penyakitnya.
Kriteria hasil: penurunan diderita.
skala nyeri kurang dari 5 dari Terapis dapat membantu
rentang 1-10 Perawat berkolaborasi memulihkan kebiasaan klien
dengan terapis dengan serta melatihnya untuk
perencanaan modifikasi kembali normal.
perilaku untuk membantu
pasien yang Memposiskan klien dan
berhasrat menurunkan keluarga sebagai
perilaku seksual yang
berbeda