Portofolio Caisson Disease
Portofolio Caisson Disease
CAISSON DISEASE
Diajukan sebagai salah satu tugas Program Internsip Dokter Indonesia di Rumah Sakit
Disusun oleh:
dr. Idris Nur Karima
Pembimbing:
dr. L.M. Fatahillah, SpS, MKes
Pendamping:
dr. Kenangaan, MARS
1
Nama Peserta: dr. Idris Nur Karima
Nama Wahana: RSUD Baubau
Topik: Caisson Disease
Tanggal Kasus: 3 Januari 2017
Nama Pasien: Tn. L A No RM: 06 17 87
Tanggal Presentasi Nama Pembimbing: dr. L.M Fatahillah, SpS
Tempat Presentasi Nama Pendamping: dr. Kenangan, MARS
Obyektif Presentasi
Keilmuan Keterampilan Penyegaran Tinjauan Pustaka
Diagnostik Manajemen Masalah Istimewa
Neonatus Bayi Anak Remaja Dewasa Lansia Bumil
Deskripsi: Seorang pria berumur 37 tahun, dibawa oleh keluarga ke RSUD Baubau dengan
keluhan kedua anggota gerak bawah tidak bisa digerakkan sejak 3 minggu SMRS
dan luka bernanah ditelapak kaki kiri akibat benda panas, betis kanan dan kiri,
paha sebelah kiri, pantat, dan perut bagian bawah, mati rasa di kedua anggota
gerak bawah dari daerah lipat paha sampai ujung jari kaki, serta sukar BAB dan
BAK. Keluhan lumpuh dan mati rasa tersebut dialami setelah pasien menyelam.
Awalnya pada sore hari pasien menyelam sedalam kurang lebih 30m dengan
menggunakan kompresor sebagai sumber udara selama 20 menit kemudian pasien
naik ke permukaan dengan cepat. Sesaat setelah pasien tiba dipermukaan (di
perahu) pasien tidak sadarkan diri selama kurang lebih 15 menit. Setelah tersadar
pasien merasakan kedua kaki sulit digerakkan namun masih bisa berjalan.
Keesokan pagi pasien tidak bisa menggerakkan kedua kaki, tidak bisa BAB dan
BAK. Selama 3 minggu pasien ditangani dengan obat-obat tradisional kemudian di
bawa ke RS
Tujuan: Memberikan penanganan komprehensif pada pasien caisson disease berupa terapi
obat-obatan dan fisioterapi.
Bahan bahasan Tinjaun Riset Kasus Audit
Pustaka
Cara membahas Presentasi Diskusi Email Pos
dan diskusi
Data Pasien Nama: Tn L A No Registrasi 06 17 87
Data Klinik Ruang Perawatan CHR 3
Data utama untuk bahan diskusi
1. Diagnosis/gambaran klinis
Caisson disease, lumpuh kedua kaki, mati rasa di kedua kaki, terjadi tiba-tiba, riwayat
menyelam.
2. Riwayat Pengobatan
Selama 3 minggu di rumah sebelum ke RS pasien hanya berobat dengan obat-obatan
tradisional.
3. Riwayat Kesehatan/Penyakit
Hipertensi (-), DM (-).
4. Riwayat Keluarga
Hipertensi, DM, tidak diketahui.
5. Riwayat Pekerjaan dan Kebiasaan
Pasien sudah menjadi nelayan serta melakukan aktifitas menyelam memasang
bubuh/perangkap ikan di dasar laut sejak umur 14 tahun.
2
6. Kondisi Lingkungan Sosial dan Fisik
Pasien memiliki seorang istri dan 3 orang anak, yang tinggal di sebuah rumah panggung di
Kabaena. Dari segi ekonomi, pasien termasuk golongan menengah ke bawah
7. Lain-lain
Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum: tampak sakit sedang
Kesadaran: kompos mentis/GCS 15
Tekanan darah: 130/80 mmHg
Laju nadi: 100x/menit
Laju pernapasan: 22x/menit
Suhu:370C
Mata: konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, pupil isokor 3mm/3mm, refleks cahaya
+/+
Mulut: simetris, deviasi lidah (-)
Leher: KGB tidak teraba, trakea letak di tengah, kelenjar tiroid tidak membesar.
Toraks: dada kiri dan kanan tampak simetris dalam keadaan statis dan dinamis
Pulmo: suara napas vesikuler +/+, ronkhi -/-, wheezing -/-
Abdomen: tampak agak kembung, supel pada perabaan, massa (-), hepar dan lien tidak
teraba, peristaltik +.
Ekstremitas: akral hangat, kekuatan otot superior 5/5 inferior 0/0, refleks patologis +/+,
hipoestesi (+) dari inguinal sampai ujung kaki.
Status lokalis:
Regio suprapubik: tampak luka ukuran 25x12cm, hiperemis (+), pus (+), nyeri tekan
(+).
Regio glutea: tampak luka lecet ukuran 5x5cm, hiperemis (+), pus (-).
Regio femur dekstra: tampak luka ukuran 4x4cm, pus (+).
Regio cruris sinistra: tampak luka ukuran 5x5cm, pus (+).
Regio plantar pedis sinistra: tampak luka ukuran 5x6cm, pus (+) mengering
Pemeriksaan Penunjang
Tanggal Darah lengkap Hasil
3-1-2017 Eritrosit 2,84/mm3
Hemoglobin 7,9g/dl
Hematokrit 24,9%
MCV 87,7um3
MCH 27,8pg
MCHC 31,7g/dl
RDW 13,6%
Trombosit 150.000/mm3
Leukosit 19.600/mm3
Diagnosis Kerja
o Paraparesa et causa caisson disease
o Retensio urin
o Selulitis
o Luka dekubitus
Penatalaksanaan
o IVFD RL 20 tpm
o Inj. Cefotaxim 1gr/IV
o Inj. Metronidazole 500mg/IV drips
3
o Inj. Ranitidin 50mg/IV
o Inj. Dexametason 5mg/IV
o Inj. Neurosanbe 1amp/IV drips
o Rawat luka
o Pasang kateter urin
Follow up
Tanggal S O A P
3-1-2017 Nyeri luka di KU: sedang o Paraparesa IVFD RL
daerah perut, CM et causa 20 tpm
kedua kaki Luka basah caisson Inj.
tidak bisa KO: 5/5 0/0 disease Cefotaxim
digerakkan o Retensio 1gr/IV
urin Inj.
o Selulitis Metronidaz
o Luka ole
dekubitus 500mg/IV
drips
Inj.
Ranitidin
50mg/IV
Inj.
Dexametas
on 5mg/IV
Inj.
Neurosanb
e 1amp/IV
drips
Rawat luka
4
Inj.
Farbion
1amp/12j/I
V drips
Rawat luka
Spuling
kateter urin
2x50cc
5
V
Inj.
Farbion
1amp/12j/I
V drips
Inj.
Ketorolac
1amp/12j/I
V
Furosemid
20mg/24j/d
rips
Mobafer
3x1
Rawat luka
Fisioterapi
Transfusi
PRC
7-1-2017 Nyeri luka di KU: sedang o Paraparesa IVFD RL
daerah perut, CM et causa 20 tpm
kedua kaki Luka di caisson Inj.
tidak bisa suprapubik disease Cefotaxim
digerakkan basah o Retensio 1gr/12j/IV
KO: 5/5 0/0 urin Inj.
o Selulitis Metronidaz
o Luka ole
dekubitus 500mg/8j/I
V drips
Inj.
Ranitidin
50mg/12j/I
V
Inj.
Farbion
1amp/12j/I
V drips
Inj.
Ketorolac
1amp/12j/I
V
Furosemid
20mg/24j/d
rips
Mobafer
3x1
Rawat luka
Fisioterapi
6
daerah perut, CM et causa 20 tpm
kedua kaki Luka di caisson Inj.
tidak bisa suprapubik disease Farbion
digerakkan basah o Retensio 1amp/12j/I
KO: 5/5 0/0 urin V drips
o Selulitis Inj.
o Luka Cefotaxim
dekubitus 1gr/12j/IV
Inj.
Metronidaz
ole
500mg/8j/I
V drips
Inj.
Ranitidin
50mg/12j/I
V
Inj.
Ketorolac
1amp/12j/I
V
Furosemid
20mg/24j/d
rips
Mobafer
3x1
Rawat luka
Fisioterapi
7
Luka e 2x1
dekubitus Mobafer
3x1
Rawat luka
Fisioterapi
Daftar Pustaka
1. Vijayabarathi, M. Research article: Caisson Disease. International Journal of Advanced
Research. 2016. Volume 4. 25-30
2. Kaplan, joseph. Barotrauma in emergency medicine.
http://emedicine.medscape.com/article/768618.2011.
3. Butler, WP. Caisson disease during the construction of the Eads and Brooklyn Bridges:
A review.2004. Vol.21. No.34. UHM. Maryland
4. Rijadi S, R. Ilmu Kesehatan Penyelaman dan Hiperbarik. Lembaga Kesehatan Kelautan
TNI AL.
5. Hall, et Guyton. 2007. Fisiologi Kedokteran. Ed. 11. Elsevier.
6. Marjono, Mahar and Priguna Sidharta. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian Rakyat;
1988.p.265-67
7. Becker, Walter et al. 1994. Ear, Nose, and Throat Disease. 2nd edition. Thieme.
NewYork.
8. Marx, John . 2010. Rosen's emergency medicine: concepts and clinical practice (7th ed.).
Philadelphia, PA: Mosby/Elsevier. P.1913
9. Wilson, Williams C. 2007. Trauma Critical Care Volume 2. USA: Informa.Healthcare
USA, Inc. p.1267-1268
10. Alfred A. Bove. Decompression Sickness (Caisson Disease; The Bends). The Merk
Manual. 2009.
Hasil Pembelajaran
1. Mengenali tanda dan gejala yang diakibatkan oleh caisson disease.
2. Mengetahui penyebab terjadinya caisson disease.
3. Mengetahui pencegahan terjadinya caisson disease.
4. Mengetahui penatalaksanaan keadaan darurat pada caisson disease
8
Rangkuman hasil pembelajaran portofolio
1. Subyektif
Seorang pria, 37 tahun, dengan keluhan kedua anggota gerak bawah tidak bisa
digerakkan sejak 3 minggu SMRS dan luka bernanah ditelapak kaki kiri akibat benda
panas, betis kanan dan kiri, paha sebelah kiri, pantat, dan perut bagian bawah, mati rasa
di kedua anggota gerak bawah dari daerah lipat paha sampai ujung jari kaki, serta sukar
BAB dan BAK.
Keluhan lumpuh dan mati rasa tersebut dialami setelah pasien menyelam.
Riwayat terapi obat-obatan tradisional SMRS.
2. Obyektif
Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium yang dilakukan, hal-
hal yang bermakna dalam penegakan diagnosa antara lain sebagai berikut :
Adanya defisit neurologis berupa kekuatan otot superior 5/5 inferior 0/0, refleks
patologis +/+, hipoestesi (+) dari inguinal sampai ujung kaki.
Adanya luka pada :
Regio suprapubik: tampak luka ukuran 25x12cm, hiperemis (+), pus (+), nyeri
tekan (+).
Regio glutea: tampak luka lecet ukuran 5x5cm, hiperemis (+), pus (-).
Regio femur dekstra: tampak luka ukuran 4x4cm, pus (+).
Regio cruris sinistra: tampak luka ukuran 5x5cm, pus (+).
Regio plantar pedis sinistra: tampak luka ukuran 5x6cm, pus (+) mengering
Laboratorium Hb 7,9g/dl
3. Assesment
Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang didapatkan pasien mengalami
kelumpuhan anggota gerak bawah sejak 3 minggu SMRS. Selain itu juga diketahui
pasien mengalami kesulitan buang air kecil dan besar, serta mati rasa pada kedua
tungkai bawah. Pasien juga diketahui mempunyai riwayat menyelam pada kedalaman
30 meter. Hal-hal tersebut diatas merupakan tanda dan gejala caisson disease tipe II.
Tanda dan gejala diatas diakibatkan oleh adanya lesi pada medula spinalis. Timbulnya
penyakit dekompresi bentuk ini karena lambatnya aliran dalam vena-vena epidural.
Makin lambat aliran vena, makin lambat pula eliminasi gas nitrogen dalam jaringan
medulla spinalis. Konsekuensinya, seandainya terjadi stasis dalam vena-vena tersebut
oleh gelembung-gelembung gas atau bekuan darah, vena-vena bisa berdilatasi dan
menekan jaringan sumsum tulang, atau bahkan bisa terjadi pembentukan gelembung
nitrogen langsung dalam jaringan sumsum tulang.
4. Plan
Ada beberapa pilihan penatalaksanaan pada pasien yang mengalami caisson disease
diantaranya oksigenasi dengan O2 100%, rekompresi, medikamentosa, serta penunjang
fisioterapi. Penatalaksanaan oksigenasi dan rekompresi dilakukan segera setelah timbul
gejala dengan tujuan mencegah hipoksia jaringan serta memperkecil ukuran gelembung
gas, dan melarutkan kembali gelembung-gelembung gas nitrogen ke dalam darah atau
jaringan. Pada pasien ini tidak dapat dilakukan oksigenasi dan rekompresi. Selain
karena keterbatasan modalitas pengobatan, pasien ini datang ke RS tiga minggu setelah
menderita penyakit. Sehingga penatalaksanaan yang masih bisa dilakukan yaitu
medikamentosa dan fisioterapi. Pasien juga mengalami komplikasi berupa selulitis dan
luka dekubitus karena pasien tidak bergerak dalam waktu yang cukup lama. Selulitis
9
dan luka dekubitus ditangani dengan pemberian antibiotik dan rawat luka. Untuk
mencegah terjadinya luka dekubitus lebih lanjut dapat dilakukan edukasi kepada pasien
dan keluarga untuk melakukan mobilisasi.
5. Dasar Teori
A. Definisi
Dekompresi berarti tekanan udara di turunkan ke tekanan udara biasa dgn cara
bertahap atau perlahan-lahan.Istilah hiperbarik dimaksudkan suatu lingkungan yg berada
dlm udara bertekanan lebih dari 1 atmosfer.
Dekompresi atmosferik yang akut bisa menimbulkan kelainan pada susunan saraf
dan organ-organ lainnya. Penyakit dekompresi yang biasa dikenal dengan caisson disease
atau terkadang orang-orang menyebutnya divers disease. Penyakit dekompresi bangkit
jika dekompresi atmosferik terjadi mendadak dan penurunan tekanan atmosfernya lebih
dari 1 atmosfer. Caisson Disease adalah suatu penyakit atau kelainan yang disebabkan oleh
pelepasan dan pengembangan gelembung-gelembung gas dari fase larut dalam darah atau
jaringan akibat penurunan tekanan di sekitarnya.
B. Epidemiologi
Insiden penyakit dekompresi jarang terjadi, diperkirakan 2,8 kasus per 10.000
penyelaman, dengan risiko 2,6 kali lebih besar untuk laki-laki daripada perempuan. DCS
mempengaruhi sekitar 1.000 penyelam scuba AS per tahun. Pada tahun 1999, para
penyelam Jaringan Siaga (DAN) dibuat "Proyek Dive Eksplorasi" untuk mengumpulkan
data tentang profil menyelam dan insiden.Dari tahun 1998 hingga 2002, mereka merekam
50.150 penyelaman, dari yang 28 recompressions diminta - meskipun ini akan hampir pasti
mengandung insiden emboli gas arterial (USIA) - laju sekitar 0,05%.
C. Patofisiologi
Caisson disease biasanya diakibatkan oleh pembentukan gelembung gas, yang
dapat menyebar ke seluruh tubuh, yang menyebabkan berbagai macam gangguan. Suatu
gelembung gas yang terbentuk di punggung atau persendian dapat menyebabkan nyeri
terlokalisir (the bends). Gelembung gas pada jaringan medulla spinalis atau pada nervus
perifer dapat menyebabkan paraestesia, neuropraxia, atau paralisis. Sementara gelembung
gas yang terbentuk pada sistem sirkulasi dapat mengakibatkan emboli gas pada paru atau
serebrum. Beberapa macam gas bersifat lebih mudah larut dalam lemak. Nitrogen
misalnya, 5 kali lebih larut dalam lemak daripada dalam air. Rata-rata 40-50% cedera
10
akibat Caisson disease serius mengenai susunan saraf pusat. Mungkin wanita mempunyai
resiko yang lebih besar karena memiliki lebih banyak lemak dalam tubuhnya. Caisson
disease juga terjadi di daerah ketinggian, seperti orang-orang yang menyelam di danau
suatu gunung atau menyelam kemudian melakukan penerbangan.
D. Manifestasi Klinis
Gejala bisa ringan sampai berat :
- Pusing, muntah, sakit kepala
- Bising pada telinga yang cepat menjadi kehilangan pendengaran
11
- Pada kasus berat dapat terjadi gangguan penglihatan, ataxia, hingga kesadaran yang
menurun.
Manifestasi klinis caisson disease dibagi menjadi dua kategori:
1. Tipe I
Tipe I mempengaruhi sistem musculoskeletal, kulit dan saluran limfe.
Tipe I juga disebut bends. Dirasakan sebagai nyeri periartikuler di lengan dan kaki. Siku
dan bahu adalah yang paling sering terpengaruhi. Secara klasik, penempatan dan
pengembangan manset spigmomanometer hingga 150-200 mmHg pada sendi yang sakit
dapat meredakan rasa sakit dan membantu menegakkan diagnosis; akan tetapi sensitivitas
tindakan ini cukup rendah berdasarkan suatu studi.
Manifestasi kulit pada caisson disease tipe I bisa mencakup gatal, eritema, pembengkakan
dan nyeri di sendi dan otot-otot di sekitarnya. Bisa timbul mendadak atau berangsur-
angsur. Nyeri periartikuler ini mulanya hanya berupa rasa kaku atau tidak enak yang sukar
dilukiskan. Gerakan-gerakan anggota tubuh mungkin dapat meringankan sakitnya pada
fase permulaan , namun pada jam-jam berikutnya akan berdenyut-denyut. Rasa sakit sering
bertambah setelah 24 jam tanpa terapi dan biasanya akan reda dalam waktu 3-7 hari dan
berubah jadi rasa nyeri tumpul. Bisa tampak hiperemi yang bisa dikelirukan dengan radang
sendi. Yang paling sering terkena adalah sendi bahu. Sendi lain yang juga bisa terserang
adalah sendi siku, pergelangan tangan, sendi paha, sendi lutut, dan pergelangan kaki. Bisa
terserang 2 sendi atau lebih tetapi jarang simetris. Tipe I dapat memberikan gejala-gejala
lain seperti kelelahan yang berlebihan setelah menyelam, mengantuk atau pusing ringan,
dan gatal-gatal pada kulit (skin bend)
2. Tipe II
Caisson disease Tipe II lebih sering dilaporkan dan lebih serius dari pada Tipe I
(hal ini menandakan bias pengenalan dan pelaporan melebihi dari insidensi sebenarnya).
Gejala caisson disease tipe II melebihi daripada yang dideskripsikan di caisson disease tipe
I. Gejalanya meliputi sistem saraf pusat, telinga dalam, dan paru-paru. Sistem saraf pusat
pada umumnya paling rawan terkena penyakit dekompresi karena mengandung lemak yang
tinggi. Medulla spinalis terutama daerah lumbal paling sering terlibat dibandingkan
jaringan otak. Gejala caisson disease spinal termasuk lemah tungkai atau kelumpuhan,
parestesia, mati rasa, nyeri punggung bawah dan nyeri perut. Gejala tungkai sering dimulai
dengan rasa ditusuk pada bagian distal dan menuju proksimal, diikuti dengan gangguan
sensori atau motorik. Tingkat dermatom sensorik yang sering muncul pada pasien DCS
12
spinal, biasanya pada dermatom T12 sampai L1. Gejala ginjal, inkontinesia feses, dapat
terjadi. Caisson disease spinal bisa muncul sendiri ataupun dengan kombinasi gejala otak,
telinga dalam, atau paru-paru. Gejala otak termasuk nyeri kepala ringan hingga sedang,
penglihatan kabur, diplopia, disartria, kelelahan yang abnormal, dan perilaku yang
terganggu. Penurunan kesadaran pada caisson disease sistem saraf pusat jarang terjadi.
Gejala caisson disease telinga dalam sama dengan barotrauma telinga dalam dan termasuk
mual, pusing, vertigo, dan nistagmus.
Gejala klinis dapat berupa :
a. Gejala-gejala neurologis , tergantung pada bagian mana yang terserang :
1). Lesi pada otak
Biasanya karena emboli arterial atau timbul gelembung gas langsung pada
jaringan otak. Efeknya sama dengan gejala stroke, tergantung pada pembuluh darah
mana yang mengalami sumbatan, gejala : penglihatan kabur, hemiplegi,
hemiparesis, afasia motorik/ sensorik, confusion atau kehilangan kesadaran, dan
atau konvulsi.
2). Lesi pada serebelum
Jalan terhuyung-huyung (staggering), kesulitan bicara, atau tremor.
3). Lesi pada medulla spinalis.
Yang sering terserang adalah daerah lumbal. Gangguan bisa berupa
gangguan sensorik dan atau motorik yang menyerang bagian bawah tubuh dan
kedua ekstremitas inferior. Segera setelah tiba di permukaan gejala pertamanya
adalah transient back pain yang menjalar ke perut, ada rasa parestesi dan hipestesi
pada dua tungkai, selanjutnya tungkai jadi lemah dan terlihat ataksia. Akhirnya
terjadi paralise di bawah pinggang. Gejala lain bisa berupa gangguan buang air
kecil, nyeri di kolumna vertebralis, dan gangguan buang air besar. Timbulnya
penyakit dekompresi bentuk ini karena lambatnya aliran dalam vena-vena epidural.
Makin lambat liran vena, makin lambat pula eliminasi gas nitrogen dalam jaringan
medulla. Konsekuensinya, seandainya terjadi stasis dalam vena-vena tersebut oleh
gelembung-gelembung gas atau bekuan darah, vena-vena bisa berdilatasi dan
menekan jaringan sumsum tulang, atau bahkan bisa terjadi pembentukan
gelembung nitrogen langsung dalam jaringan sumsum tulang.
4). Lesi pada organ vestibuler.
Gejala-gejala klinis dapat berupa vertigo, gangguan pendengaran, dan
13
tinnitus. Bisa terjadi juga mual atau muntah.
b. Gejala-gejala dari paru dan jantung
Sumbatan gelembung-gelembung gas dalam jumlah besar pada sirkulasi
pulmoner akan memberikan gejala berupa gangguan pernapasan berupa sesak
napas, batuk-batuk nonproduktif dan nyeri dada. Sumbatan pada sirkulasi pulmoner
bisa menimbulkan gejala payah jantung kanan. Gejala iskemia otot jantung bisa
timbul bilamana ada emboli arterial yang masuk pembuluh darah koroner.
c. Gejala-gejala gastrointestinal
Usus dapat dirusak oleh gelembung-gelembung gas dalam dinding usus atau
pembuluh darah sehingga dapat menyebabkan rasa mual, kehilangan nafsu makan,
muntah, dan diare.
d. Bends shock
Syok karena penyakit dekompresi jarang terjadi. Mekanisme syok pada
penyakit dekompesi belum jelas. Faktor-faktor yang berperan antara lain : kehilangan
volume plasma, kegagalan jantung kanan akut, dekompensasio kordis,hilangnya tonus
vasomotor perifer karena lesi di medulla spinalis, dan skin bends.
E. Penegakan Diagnosis
Diagnosis caisson disease dapat ditegakkan melalui pertanyaan anamnesa mengenai
riwayat menyelam penderita sebelumnya (dalam waktu 24 jam terakhir) dan dari
pemeriksaan fisis, didapatkan gejala-gejala caisson disease.
1. Pemeriksaan Laboratorium
i) Darah rutin
- Pada pasien yang datang gejala neurologik yang persisten dalam beberapa minggu
setelah cedera bisa didapatkan hematokrit (Hct) sebanyak 48% atau lebih.
14
- Peningkatan CPK menunjukkan kerusakan jaringan yang disebabkan oleh
mikroemboli.
2.Pemeriksaan radiologi
Ketika ditunjukkan secara klinis, dilakukan untuk mengevaluasi adanya fraktur atau
dislokasi.
2). Computed tomography (CT) scan dan magnetic resonance imaging (MRI).
Pasien yang mungkin paling diuntungkan dari modalitas diagnostik sering yang
paling tidak stabil, membuat transportasi mereka ke tempat pemeriksaan radiologi
berpotensi berbahaya. Setiap pasien yang mengeluhkan dengan sakit kepala berat
atau nyeri punggung yang parah setelah menyelam terindikasi untuk dilkukan CT-
scan.
F. Tatalaksana
1. Perawatan pra rumah sakit
Perawatan pra-rumah sakit harus terdiri dari menilai dan memperbaiki setiap
kondisi yang mengancam jiwa langsung tetap menjaga oksigenasi dan perfusi yang
memadai. Pasien harus mendapat oksigen aliran tinggi dan infus cairan isotonik untuk
menjaga tekanan darah dan denyut nadi.
2. Di Rumah Sakit
-Menstabilkan jalan napas, pernapasan, dan sirkulasi.
-Lakukan intubasi endotrakeal pada pasien yang memiliki saluran udara tidak stabil atau
memiliki hipoksia persisten meskipun menghirup oksigen 100%.
-Lakukan torakostomi untuk mengevakuasi pneumotoraks atau hemotoraks.
-Lakukan intubasi nasotracheal atau orotracheal saat yang tepat.
15
-Jarum dekompresi dada diindikasikan untuk pneumothorax
Tujuan pengobatan penyakit dekompresi adalah melawan efek hipoksia pada
jaringan. Pengobatan terdiri dari 3 tindakan gabungan yang saling melengkapi., yaitu:
1. Oksigenasi (hiperarik atau normobarik)
Oksigenasi mempunyai keuntungan yaitu mencegah hipoksia jaringan, mengurangi
tekanan nitrogen yang terlarut dalam plasma atau jaringan (mempercepat larutnya
kembali gelembung-gelembung gas nitrogen)
2. Rekompresi
Merupakan tindakan darurat yang harus dilakukan secepatnya. Tujuannya adalah
memperkecil ukuran gelembung gas, dan melarutkan kembali gelembung-gelembung
gas nitrogen ke dalam darah atau jaringan.
Kadang-kadang bisa dipakai terapi darurat oksigeasi dan rekompresi dalam air dengan
kedalaman 9 meter. Teknik ini mungkin dapat digunakan pada tempat penyelaman
yang jauh dari failitas pengobatan hiperbarik. Oksigen 100% diberikan dari permukaan
ke kedalaman 9 meter lewat full face mask kepada penderita selama 30-120 menit.
Kecepatan naik ke permukaan 1 meter/12 menit. Proses naik (ascent) boleh dihentikan
bila perbaikan klinis kurang. Sesudah sampai ke permukaan oksigen tetap diberikan
secara intermitten.
3. Medikamentosa
a. Cairan dan elektrolit
Tujuannya adalah mengganti volume yang hilang, menormalkan kembali
hemokonsentrasi, mencegah stasis aliran darah dan memperbaiki perfusi jaringan.
Bisa digunakan normal saline, RL atau dextrose.
b. Anti platelet aggregation
Aspirin harus diberikan segera setelah ada gejala yang paling dini dari caisson
disease. Bila agregasi telah menimbulkan sumbatan vaskuler, maka aspirin tidak
lagi berguna.
c. Steroid
Mempunyai efek menstabilisir endothelium vaskuler dan anti edema. Dosis yang
dianjurkan adalah 1 gram hydrokortison succinate (i.v) secara bolus disertai 4 mg
dexamethason 21-phosphate (IM). Dexamethason dilanjutkan 8 mg (IM) tiap 6 jam
selama 2-3 hari.
d. Gliserol
16
Untuk mengobati serebral edema, gliserol diberikan per oral 0,8 ml/kgBB dalam
bentuk larutan dalam air 50%.
e. Anti konvulsi
Diazepam diberikan 10 mg per intra vena. Diazepam berguna sebagai
antikonvulsan dan sedative.
4. Antibiotik
Kelumpuhan dan hipoestesi secara tidak langsung dapat menyebabkan luka, misalnya
luka akibat dekubitus maupun cedera termal panas ataupun dingin. Antibiotik
digunakan untuk perawatan infeksi luka.
17
maka bila ada RUBT (Ruang Udara Bertekanan Tinggi) portable bertekanan 2 ATA
penderita dimasukkan ke dalam unit ini dan diangkut ke RUBT defenitif. Bila
perlengkapan ini tidak tersedia maka penderita diberi oksigen 100% pada tekanan 1 ATA
dengan masker tertutup rapat, diselingi tiap 30 menit bernafas selama 5 menit dengan udara
biasa untuk menghindari intoksikasi oksigen. Ini akan mempercepat pelepasan nitrogen
yang berlebihan dari dalam tubuh sehingga seringkali mengurangi gejala-gejala untuk
sementara waktu. Bila nampak gejala serius maka dipasang infus larutan garam isotonik
atau ringer, dan pada kasus ringan penderita diberi banyak air minum sampai urin berwarna
putih dan jumlahnya banyak bila perlu dipasang keteter dan pleurosentesis. Untuk
mencegah dekubitus, bagian yang lumpuh digerakkan pasif secara teratur. Bila nampak
gejala neurologik maka dosis tinggi kortikosteroid diberikan untuk menanggulangi edema,
namun keberhasilannya dipertanyakan. Begitu pula ada keraguan mengenai pemberian
aspirin per oral sebagai anti agregasi platelet, karena efek anti koagulasi obat ini dapat
meningkatkan perdarahan di telinga bagian dalam yang sudah rusak oleh gelembung
(barotrauma aural).
18
intervensi medik bila ia memburuk dan terbatasnya suplai gas. Oleh karenanya usaha untuk
mengatasi penyakit dekompresi seringkali tidak berhasil dan malahan beberapa penderita
lebih memburuk keadaannya. Cara rekompresi di bawah air dikembangkan di Australia
oleh Edmunds. Penderita selalu didampingi oleh seorang pengawas medis, dilangkapi
pakaian pelindung. Full face mask dan helm dengan suplai oksigen murni yang cukup
banyak untuk penderita dan suplai udara untuk pengawas yang disalurkan dari permukaan,
sehingga memungkinkan rekompresi pada kedalaman maksimum 9 meter selama 30-60
menit. Kecepatan naik adalah 1 meter tiap 12 menit, dan bila gejalanya kambuh, tetaplah
berada di kedalaman tersebut selama 30 menit sebelum meneruskan naik ke permukaan,
penderita diberi O2 selama 1 jam, kemudian bernafas dengan udara selama 1 jam,
demikian seterusnya hingga 12 jam.
Peserta Pendamping
19