Anda di halaman 1dari 30

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

2.1.1 Uretritis

Uretritis merupakan inflamasi pada uretra yang dapat disebabkan oleh infeksi

maupun non infeksi. Infeksi yang menyebabkan uretritis terutama ditularkan melalui

hubungan seksual, karenanya penyakit ini juga termasuk dalam Penyakit Menular

Seksual (PMS). Infeksi biasanya ditandai dengan duh mukopurulen atau purulen dan

disuria atau gatal pada uretra. Infeksi bakteri yang asimtomatis sering pula terjadi.2

2.1.2 Sindrom Uretra

Sindrom uretra merupakan presentasi klinis sistitis tanpa ditemukannya

mikroorganisme (steril). Penamaan sindrom uretra kemudian diubah menjadi sindrom

nyeri uretra oleh International Continence Society (ICS) pada tahun 2002 dengan

beberapa masih menerima penamaan lama. Sindrom ini digambarkan sebagai gejala-

gejala teriritasinya saluran kemih bagian bawah (disuria, frekuensi dan nokturia, urgensi,

serta nyeri yang persisten atau hilang timbul pada uretra ataupun pelvis) tanpa

ditemukannya patogen dalam kultur urin maupun kelainan urologi yang nyata. Dalam

panduan European Association of Urology (EAU) 2013, sindrom uretra dianggap sebagai

bagian dari nyeri pelvis kronis (Bladder Pain Syndrome/BPS). 2,4

2.2 Klasifikasi

2.2.1 Uretritis

Berdasarkan penyebabnya, uretritis dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu:2

3
4

1. Uretritis Gonokokal

Inflamasi pada uretra yang disebabkan oleh infeksi bakteri Neisseria gonorrhoaea (N.

gonorrhoaea).

2. Uretritis Non Gonokokal

Inflamasi pada uretra karena infeksi yang disebabkan selain oleh bakteri

N.gonorrhoaea. Beberapa organisme penyebabnya, antara lain Chlamydia trachomatis

(C. trachomatis), Ureaplasma urealyticum (U. urealyticum), Mycoplasma genitalium

(M. genitalium), Trichomonas vaginalis (T. vaginalis), Candida sp., Neisseria

meningitides (N. meningitides), Herpes Simplex Virus, atau Adenovirus.

3. Uretritis Non Infeksi atau Uretritis Tidak Spesifik

Inflamasi pada uretra yang bukan disebabkan oleh infeksi, seperti trauma yang dapat

menyebabkan striktur uretra, pemasangan kateter yang terlalu sering, atau iritasi akibat

kulit yang sensitif pada suatu bahan yang mengenai uretra (kondom, sabun, cairan

desinfektan, spermisida).

2.2.2 Sindrom Uretra

Berdasarkan tipe penderita, sindrom uretra dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu:2

1. Penderita dengan piuria, biakan urin dapat diisolasi E. coli dengan cfu/ml urin 103-

105. Sumber infeksi berasal dari kelenjar peri-uretral atau uretra sendiri.

2. Penderita dengan leukosituri 10-50/lapang pandang tinggi dan kultur urin steril.

Kultur (biakan) urin khusus ditemukan C. trachomatis atau bakteri anaerobik.

3. Penderita tanpa piuri dan biakan urin steril.


5

2.3 Epidemiologi

2.3.1 Uretritis

Sebanyak hampir 80% kasus uretritis, baik pada laki-laki maupun perempuan,

disebabkan oleh infeksi gonokokal.2 Pada tahun 2008, WHO memperkirakan 106 juta

kasus gonore terjadi secara global pada orang dewasa. Prevalensi infeksi menular seksual

di Indonesia sangat tinggi ditemukan di Bandung, yakni dengan prevalensi infeksi gonore

sebanyak 37,4%, di Surabaya dengan prevalensi 19,8%, dan di Jakarta dengan prevalensi

29,8%. Kejadian gonore pada laki-laki dilaporkan tiga kali lebih banyak dibandingkan

pada perempuan dengan penularan terjadi lebih efisien dari laki-laki ke perempuan

daripada sebaliknya. Insiden tertinggi terjadi pada umur dewasa muda yaitu usia 15-29

tahun.5

Insiden infeksi non gonokokal juga semakin meningkat tiap tahun, dengan

perempuan lebih banyak daripada pria. Kelompok usia terbanyak pada perempuan adalah

15-24 tahun, sedangkan pada pria adalah 20-24 tahun. Etnis American Indian/Alaska

Natives dan Latin serta Afro-American lebih banyak daripada kulit putih. Urutan

penyebab tersering infeksi ini terangkum dalam Tabel 2.1. Pemasangan kateter yang

sering juga dapat menyebabkan uretritis sebanyak 2-20%, terutama penggunaan kateter

berbahan lateks lebih sering menyebabkan uretritis hingga 10 kali lipat dibandingkan

kateter berbahan silikon.2

Tabel 2.1 Penyebab tersering uretritis non gonokokal6

Bakteri Penyebab Prevalensi di Dunia (%)


C. trachomatis 11 50
M. genitalium 6 50
U. urealyticum 5 26
T. vaginalis 1 20
Candida sp. <10
6

N. meningitides <10
Adenovirus 24
Herpes Simplex Virus (HSV) 23

2.3.2 Sindrom Uretra

Dari beberapa penelitian, 15-30% perempuan dewasa yang menunjukkan gejala

iritasi saluran kemih bawah didiagnosa dengan sindrom uretra. Kebanyakan penderita

adalah perempuan daripada laki-laki dengan rentang usia 20-30 tahun dan 50-60 tahun.

Kondisi ini banyak terjadi pada ras Kaukasia daripada ras lainnya.4

2.4 Etiologi

2.4.1 Uretritis Gonokokal

Uretritis gonokokal disebabkan oleh N. gonorrhoaea yang merupakan bakteri Gram

negatif, non motil, tidak membentuk spora, serta dapat tumbuh tunggal (monokokus) atau

berpasangan (diplokokus). Masing-masing cocci berbentuk ginjal, ketika organisme

berpasangan, sisi yang cekung akan berdekatan. N. gonorrhoeae adalah antigen yang

heterogen dan mampu berubah struktur permukaannya pada tabung uji (in vitro) yang

diasumsikan berada pada organisme hidup (in vivo) untuk menghindar dari pertahanan

inang (host). Struktur permukaannya adalah sebagai berikut: 2,7

a. Pili. Pili adalah tentakel berbentuk rambut yang dapat memanjang hingga beberapa

mikrometer dari permukaan gonoccoci. Perpanjangan tersebut menempel pada sel

inang dan resisten terhadap fagositosis. Pili terbuat dari sekumpulan protein pilin yang

secara antigen berbeda-beda pada seluruh strain N. gonorrhoeae.

b. Por. Por membesar hingga mencapai membran sel gonoccoci. Ini terjadi dalam trimer

untuk membentuk pori-pori pada permukaan melalui nutrisi yang masuk ke dalam sel.
7

c. Opa. Protein ini berfungsi dalam adhesi gonoccoci dalam koloni dan dalam

penempelan gonoccoci pada sel inang, khususnya sel-sel yang menampilkan antigen

karsinoembrionik.

d. Rmp. Protein ini secara antigen tersimpan di semua gonococci dan bergabung dengan

Por pada saat pembentukan pori-pori pada permukaan sel.

e. Lipooligosakarida (LOS). Pada gonococci LPS tidak memiliki rantai antigen-O

panjang dan disebut dengan lipooligosakarida. Dalam bentuk perkembangbiakan

secara molekuler, gonococci membuat molekul LOS yang secara struktural mirip

dengan membran sel manusia, yaitu glikosfingolipid. Gonococci LOS dan

glikosfingolipid manusia dengan struktur kelas yang sama, bereaksi dengan antibodi

monokloral yang sama, mengindikasikan perkembangan secara molekuler LOS yang

dipertahankan memiliki lakto-N-neotetraose glikose moietas yang sama terbagi dalam

serial paraglobosid glikosfingolipid manusia. Tampilan permukaan gonococci yang

sama dengan struktur permukaan pada sel manusia membantu gonococci untuk

menghindar dari pengenalan kekebalan (immune recognition).

f. Protein lainnya. Beberapa protein gonococci yang konstan secara antigen memiliki

kinerja yang kurang jelas dalam patogenesisnya. Lip (H8) adalah protein yang terdapat

pada permukaan, dimana heat-modifiable seperti Opa. Fbp (iron binding protein),

yang berat molekulnya sama dengan Por, tampak pada saat persediaan besi terbatas,

misalnya infeksi pada manusia. Gonococci mengkolaborasi IgA1 protease yang

memisah dan menonaktifkan IgA1, sebagian besar selaput lendir immunoglobulin

inang.
8

2.4.2 Uretritis Non Gonokokal

Pada uretritis non gonokokal, agen penyebab tersering adalah bakteri C.

trachomatis yang merupakan bakteri Gram negatif obligat intraseluler. Bakteri ini

memiliki beberapa serovar yang teridentifikasi, diantaranya serovar D K yang

berhubungan dengan infeksi urogenital. Serovar tersering yang menyebabkan uretritis

adalah serovar D, E, F. Beberapa organisme penyebab lainnya, yaitu Ureaplasma

urealyticum (U. urealyticum), Mycoplasma genitalium (M. genitalium), Trichomonas

vaginalis (T. vaginalis), Candida sp., Neisseria meningitides (N. meningitides), Herpes

Simplex Virus, atau Adenovirus.2

2.4.3 Sindrom Uretra

Pada sindrom uretra, beberapa hal yang bisa menjadi penyebab antara lain:8

a. Infeksi. Stam dkk. menyatakan bahwa sindrom uretra disebabkan oleh infeksi bakteri

dengan jumlah yang lebih rendah dari indikasi bakteruria, yaitu ditemukannya sekitar

102/mL bakteri dalam biakan urin. Namun, beberapa peneliti lainnya mempercayai

infeksi bakteri pada sindrom uretra merupakan penyebab sekunder dari kondisi yang

memburuk. Hal ini dikarenakan tidak ditemukannya leukosit polimorfonuklear dalam

urin dan rendahnya penemuan bakteri pada penelitian-penelitian tersebut. Bakteri lebih

sering ditemukan pada gejala yang berulang.

b. Prostatitis Pada Perempuan. Kelenjar Skene atau prostat perempuan merupakan salah

satu dari kelenjar parauretra perempuan. Kelenjar ini bercabang keluar dari lumen

uretra menuju jaringan lunak yang berdekatan sepanjang dua per tiga uretra. Gittes

mempercayai bahwa prostatitis pada perempuan atau terjadinya inflamasi sekitar

duktus dan kelenjar Skene sebagai salah satu penyebab sindrom uretra berulang. Nyeri

saat dipalpasi atau ditemukannya tenderness sepanjang dinding anterior vagina hingga
9

kelenjar parauretra sudah cukup sebagai bukti terjadinya sindrom uretra walaupun

tidak ada sekret yang keluar.

Gambar 2.1 Glandula Skene

c. Spasme Uretra. Kekakuan sfingter eksterna uretra telah ditemukan pada urethral

pressure profilometry perempuan dengan sindrom uretra. Relaksasi inkomplit atau

spasme sfingter striata tercatat oleh Lipshy pada beberapa seri kasus. Hal ini

menyebabkan aliran kencing melambat dan banyak penderita mengalami retensi urin.

d. Sistitis Interstisial. Berapa ilmuan memperdebatkan bahwa sindrom uretra dan sistitis

interstisial/sindrom nyeri kantong kemih adalah kondisi yang sama, dengan sindrom

uretra merupakan gejala awal yang lebih ringan dari sistitis interstisial. Namun, Yoon

dkk berpendapat bahwa sindrom uretra berbeda dari sistitis interstisial. Walaupun

menimbulkan gejala yang mirip, sindrom uretra hanya berhubungan dengan uretra

sedangkan sistitis interstisial berhubungan sampai kantong kemih. Hal ini didasari

oleh: (i) penemuan lokal (tenderness sepanjang uretra distal, tidak ada kelainan pada
10

uretra proksimal, dan berefek dengan terapi estrogen topikal); (ii) penemuan

urodinamik (peningkatan spastisitas pada uretra dan tingginya tekanan penutupan

sfingter uretra); dan (iii) tidak ditemukan gejala khas sistitis interstisial (tidak

ditemukannya ulkus Hunner serta perdarahan saat cystodistension). Sindrom uretra

hanya mengenai dua per tiga distal uretra dan dapat sembuh dengan sendirinya.

e. Psikogenik. Penderita sindrom uretra mendapatkan skor yang cukup tinggi pada tes

psikologis gejala hipokondrik, histeria, dan skizofrenia. Para penderita cenderung

memanifestasikan reaksi somatisasi atau psikofisiologis untuk mengatasi ketegangan

dan kecemasan.

f. Faktor Kebidanan dan Ginekologi. Dalam sebuah penelitian kecil di Turki, ditemukan

bahwa grande multipara, melahirkan tanpa episiotomi, abortus lebih dari dua kali, dan

prolaps organ pelvis berhubungan dengan kejadian sindrom uretra pada pasien

tersebut.

g. Hipoestrogen. Asal mula embriologis dari sinus urogenital primitif pada saluran

kelamin dan saluran kencing perempuan menunjukkan bahwa keduanya akan

dipengaruhi oleh hormon serupa. Losif berhasil menunjukkan adanya reseptor

estrogen afinitas tinggi di kandung kemih, trigone, dan uretra pada hewan dan

manusia. Fluktuasi kadar estrogen, seperti yang terjadi pada berbagai siklus dalam

kehidupan seorang perempuan, seperti saat hamil, siklus menstruasi dan menopause,

bisa menyebabkan sindrom uretra ringan.


11

2.5 Patofisiologi dan Patogenesis

2.5.1 Uretritis Gonokokal

Virulensi N. gonorrhoaea ditentukan dari keberadaan pili yang memediasi

penempelan, serta kemampuan untuk bertahan dari kekuatan aliran hidrodinamik pada

uretra, dimana hal ini juga menghambat pengambilan oleh fagosit. Invasi dan multiplikasi

terjadi pada sel kolumnar non-silia penghasil mucus pada epitel tuba Fallopi. Strain

dengan pili lebih banyak menempel pada permukaan sel mukosa manusia, dan lebih

virulen dibandingkan dengan strain tidak ber-pili. Penempelan ini merupakan awal dari

endositosis dan transpor melewati sel mukosa kedalam ruang interselular dekat membran

basal atau langsung ke jaringan subepitelial. Tidak terdapat toksin khusus yang dihasilkan

N. gonorrhoaea tetapi komponen lipooligosakarida dan peptidoglikan berperan dalam

menghambat fungsi silia dan menyebabkan inflamasi.2

Komponen peptidoglikan selain antigen pili, termasuk juga Porin, Opacity-

associated protein serta protein lain. Porin (sebelumnya dikenal sebagai protein I),

protein terbanyak pada permukaan N. Gonorrhoaea, menginisiasi proses endositosis dan

invasi. Opacity-associated protein (Opa, sebelumnya dikenal sebagai protein II) berperan

penting pada penempelan ke sel epitel, dan sel leukosit polimorfonuklear (PMNL) yang

akan menekan proliferasi sel T limfosit CD4+. Bakteri ini juga memproduksi suatu IgA1

protease yang melindungi bakteri dari respon imun IgA mukosa individu. Antibodi Rmp

(sebelumnya dikenal sebagai protein III) mencegah ikatan terhadap komplemen sehingga

dapat memblokade efek bakterisidal terhadap Porin dan lipooligosakarida.2

Antigen pili memegang peranan penting pada kompetensi dan transformasi genetik,

yang memungkinkan transfer material genetik antar bakteri in vivo. Antigen pili, bersama

Porin dan lipooligosakarida bertanggung jawab terhadap variasi antigenik, yang


12

menyebabkan infeksi berulang dalam periode waktu yang singkat. Lipooligosakarida

Gonokokal (LOS) berperan dalam aktivitas endotoksik dan berkontribusi pada efek

sitotoksik lokal pada tuba Fallopi. LOS juga memodulasi respon sistem imun, dimana

modulasi ke arah respon Th2 akan mengurangi kemampuan bersihan infeksi gonokokal.2

Selain itu faktor individu inang juga berperan penting dalam memediasi masuknya

bakteri ke dalam sel. Pelepasan diacylglycerol dan ceramide dibutuhkan untuk masuk ke

dalam sel epitel. Akumulasi ceramide dalam sel akan menginduksi apoptosis dimana

akan mengganggu integritas epitel dan memfasilitasi masuknya bakteri ke jaringan

subepitelial. Dilepaskannya faktor kemotaksis hasil dari aktivitas komplemen juga akan

menyebabkan inflamasi.2

Sebuah studi menunjukkan bahwa ada masa inkubasi dari waktu infeksi dengan

timbulnya gejala klinis penyakit. Selama masa inkubasi, gonokokus laten dan tidak dapat

dibiakkan dari uretra sampai 40 jam setelah inisiasi infeksi, setelah itu proses eksudatif

purulen dimulai. Data ini menunjukkan bahwa gonokokus memasuki dan mempengaruhi

respon imun diawal penyakit di mana mereka bertahan hidup dan bereplikasi. Bukti

terbaru menunjukkan bahwa awal infeksi, TNF- , IL-1 , IL-6 , dan IL-8 disekresi dari

sel epitel uretra primer. Pelepasan sitokin dan kemokin dari epitel urethra dapat

berpotensi memicu respon inflamasi yang terkait dengan uretritis gonokokal dengan

memicu masuknya PMNL. PMNL masuk dalam hubungan dengan pelepasan sitokin dari

epitel urethra yang selanjutnya potensiasi gejala klinis yang terkait dengan penyakit.

Transudat yang ada dapat menyebabkan kesulitan miksi sehingga dapat mengakibatkan

disuria. Selain itu, rasa gatal diinduksi oleh pelepasan mediator inflamasi histamin dari

PMNL khususnya eosinofil.9


13

2.5.2 Uretritis Non Gonokokal

Traktus urogenital merupakan daerah yang paling sering terinfeksi oleh C.

trachomatis. Transmisi terjadi melalui rute oral, anal, atau melalui hubungan seksual.

Gejala terjadi dalam 1-3 minggu setelah infeksi. Namun demikian, sering terjadi infeksi

asimtomatik sebesar 80% pada wanita dan 50% pada pria. 10

C. trachomatis merupakan bakteri gram negatif, nonmotil, dan bersifat obligat

intraselular. C. trachomatis penyebab uretritis non gonokokal ini termasuk subgrup A dan

mempunyai tipe serologic D-K. Bakteri ini memasuki sel dengan mekanisme endositosis

dan bereplikasi melalui binary fission di dalam sel. Dalam perkembangannya, C.

trachomatis mengalami dua fase, yaitu:2,11

a. Fase 1: fase noninfeksiosa, dimana fase noninfeksiosa terjadi keadaan laten yang dapat

ditemukan pada genitalia maupun konjungtiva.

b. Fase 2: fase penularan, bila vakuol pecah kuman keluar dalam bentuk badan elementer

yang dapat menimbulkan infeksi pada sel hospes yang baru.

Siklus pertumbuhan Chlamydia melibatkan transformasi antara bentuk yang

berbeda: badan elementer (EB) atau bentuk laten dan badan retikulet (RB) atau bentuk

replikasi. EB yang sangat menular menempel pada sel epitel kolumnar yang tidak bersilia

atau sel epitel kuboid yang menginduksi penyerapan oleh sel inang. EB secara metabolik

tidak aktif dan mewakili bentuk pertumbuhan ekstraselular C. trachomatis. Setelah

tertelan ke dalam fagosom, fusi antara fagosom dengan lisosom inang dapat dicegah.12

Namun, EB melakukan reorganisasi dalam fagosom menjadi RB yang aktif secara

metabolisme. RB tidak menular tetapi bisa bereplikasi dan melakukan dengan

pembelahan biner. Beberapa rangsangan, termasuk paparan jangka panjang antibiotik dan

IFN-, dapat membuat Chlamydia ke dalam keadaan persisten dan non inflamasi, yang
14

berlangsung secara in vitro sampai pemicu eksogen menghilang. Jika keadaan persisten

dapat dihindari, atau jika infeksi diaktifkan kembali dari persistensi, RB pada akhirnya

akan melakukan reorganisasi kembali ke EB, yang akan dilepaskan dari sel inang untuk

menginfeksi sel epitel di sekitarnya. 12

Gambar 2.2 Siklus hidup C. trachomatis serovar D12

2.5.3 Sindrom Uretra

Sindrom uretra adalah manifestasi dari disfungsional epitel saluran kemih bagian

bawah. Disfungsi terjadi di dua pertiga bagian distal uretra. Epitel yang disfungsional

membuat kebocoran potassium/kalium (K+), dan memungkinkan zat terlarut / metabolit

dalam urin menembus pertahanan epitel yang menyebabkan inflamasi, spasme, dan

fibrosis, serta menyediakan media di mana bakteri yang biasanya komensal berkembang

seiring waktu menjadi patogen. Konsentrasi kalium K+ dalam urin yang tinggi, yaitu

sekitar 40-140 meq/L, sering kali ditemukan pada penderita sindrom uretra. Dengan

konsentrasi tersebut, kebocoran K+ menyebabkan inflamasi pada submukosa uretra juga


15

menyebabkan depolarisasi saraf dan otot, hal ini menyebabkan cedera dan kerusakan

jaringan, sehingga memberikan media ideal untuk kolonisasi dan proliferasi bakteri.8

2.6 Manifestasi Klinis

2.6.1 Uretritis Gonokokal

Pada pria, masa inkubasi setelah terpapar hingga memberi manifestasi klinis rata-

rata 2-5 hari dengan 90% dalam kurun waktu hingga 14 hari. Gejala awal berupa rasa

nyeri dan terbakar saat berkemih (disuria) serta nanah (duh mukoid). Beberapa hari

kemudian, duh berubah menjadi lebih banyak, purulen, dan kadang-kadang bersama

sedikit darah segar. Tanda dan gejala uretritis yang tidak diterapi akan mencapai puncak

dalam 2 minggu, dengan resolusi spontan dalam waktu 6 bulan dari 95% pasien. Muara

uretra tampak kemerahan dan membengkak.2

Sedangkan pada wanita, 60-80% yang terinfeksi tidak menunjukkan gejala

(asimtomatis) dimana penyakit diketahui dari partner seksual yang simtomatis. Pada

wanita penderita yang simtomatis umumnya mengalami gejala lokal setelah 10 hari

terinfeksi. Umumnya penderita datang bila sudah ada komplikasi atau ditemukan saat

pemeriksaan antenatal maupun keluarga berencana. Apabila terdapat gejala, dapat berupa

kombinasi disuria ringan, duh vagina, perdarahan inter-menstrual (spotting), nyeri saat

berhubungan intim (dispareunia), dan nyeri abdomen bawah ringan. Duh tubuh yang

keluar dari serviks sifatnya purulen atau mukopurulen.2

2.6.2 Uretritis Non Gonokokal

Umumnya pada anamnesis didapatkan adanya duh uretra, krustasi pada meatus atau

noda celana dalam, nyeri saat kencing, dan gatal/iritasi pada penis/uretra, atau

asimtomatis. Pada pemeriksaan fisik, ditemukan kemerahan pada meatus uretra dan
16

didapatkan duh uretra dengan/tanpa masase uretra. Gejala baru timbul sekitar 1-3 minggu

setelah kontak seksual dan umumnya tidak seberat infeksi gonokokal pada pria. Pada

wanita, umumnya tidak menimbulkan gejala atau hanya menimbulkan gejala ringan.2

2.6.3 Sindrom Uretra

Sindrom uretra ditandai dengan disuria, dorongan untuk berkemih terus menerus

(urgensi), peningkatan jumlah berkemih sepanjang hari (frekuensi) dan malam hari

(nokturia), serta nyeri yang persisten atau hilang timbul pada uretra ataupun pelvis. 4

2.7 Diagnosis

2.7.1 Uretritis Gonokokal

Bila fasilitas pengobatan, tenaga medis dan laboratorium tersedia, maka untuk

diagnosa uretritis tidak cukup hanya dengan pemeriksaan klinis, tetapi harus diikuti

pemeriksaan bakteriologis. Diagnosis ditegakkan melalui identifikasi N. gonorrhoea dari

membran mukosa yang terinfeksi, dengan sediaan langsung, kultur, atau deteksi

molekuler biologis mikroorganisme tersebut pada genital, rektal, faring atau sekresi

okuler. 13

1. Pewarnaan Gram2,13

Pemeriksaan ini berguna terutama pada individu dengan infeksi gonokokal yang

bersifat simtomatis. Sensitivitas pewarnaan gram tergantung pada gejala-gejala orang

yang terinfeksi dimana eksudat uretra pada pria simptomatis mendeteksi hampir 95-

98%. Sedangkan pada wanita, pewarnaan gram spesimen serviks mempunyai

sensitivitas sebanyak 30-60% yang harus didukung klinis untuk lebih menegakkan.

Hasil disebut positif jika tampak kuman diplokokus Gram negatif berada diantara
17

PMNL. Namun, hasil negatif tidak dianjurkan untuk menyingkirkan diagnosis pada

pria yang asimtomatis.

Gambar 2.3 N. gonorrhoea tampak bakteri gram negatif diplokokus di antara


leukosit polimorfonuklear

Diagnosis uretritis harus dikonfirmasi dengan ditemukannya PMNL pada uretra

dengan cara:2

a. Hapusan uretral dengan pewarnaan Gram atau Methylene-blue, mengandung 5

PMNL per lapang pandang besar (x1000); dan/atau

b. Spesimen porsi awal urin setelah sentrifugasi dengan pewarnaan Gram,

mengandung 10 PMNL per lapang pandang besar (x1000).

2. Kultur dengan Media Thayer Martin2,13

Media Thayer Martin mengandung vankomisin untuk menekan pertumbuhan

kuman gram positif, kolimestat untuk menekan pertumbuhan bakteri gram negatif, dan

nistatin untuk menekan pertumbuhan jamur. Pemeriksaan kultur ini merupakan

pemeriksaan dengan sensitivitas dan spesifitas yang tinggi (80-90%), sehingga sangat

dianjurkan dilakukan terutama pada wanita atau pada pria dengan hasil negatif

spesimen pewarnaan Gram.


18

Sampel diambil menggunakan swab Dacron atau Rayon dengan cara insersi dan

rotasi swab selama 5 detik pada uretra pria atau insersi dan rotasi swab selama 10

detik pada servik wanita yang sebelumnya telah dibersihkan ektoserviknya. Kemudian

sampel diinokulasi ke plate modifikasi Thayer-Martin. Penting untuk memproses

sampel dengan segera karena gonokokus tidak toleran kondisi kering. Metode ini

menggunakan sungkup lilin untuk mendapatkan kadar CO2 yang tinggi karena N.

gonorrhoea merupakan kuman anaerob.

3. Tes Sampel Urin13

Tes sampel urin dapat dilakukan dengan cara dua buah gelas 10 mL diisi dan

diperiksa. Kekeruhan pada gelas pertama menunjukkan adanya uretritis. Setelah

disentrifugasi sedimen dari kedua gelas bisa diperiksa untuk melihat sel-selnya.

4. Tes Definitif13

a. Tes Oksidasi

Reaksi positif oksidasi dengan tetrametil-p-fenilendiamin hidroklorida 1%

dapat menghasilkan warna merah muda sampai ungu selama 5-10 menit apabila

hasil positif dan setelah 5-10 detik koloni gonokokus dapat diidentifikasi. Semua

neisseria memberi reaksi positif dengan perubahan warna.

b. Tes Fermentasi

Digunakan untuk membedakan N. gonorhoeae dengan spesies Neisseria yang

Iain. Media yang digunakan adalah cystine trypticase yang mengandung glukosa,

maltosa, sukrosa dan laktosa, serta fenol merah sebagai indikator. Hasilnya positif

bila wama berubah menjadi kuning. Hasil reaksi fermentasi spesies Neisseria

tampak pada Tabel 2.2.


19

Tabel 2.2 Reaksi Fermentasi Neisseria13


Spesies Glukosa Maltosa Sukrosa Laktosa
N. gonorrhoea + - - -
N. meningitides + + - -
N. catarrhalis - - - -
N.pharyngitidis + + + +

2.7.2 Uretritis Non Gonokokal

Chlamydia sp. tidak tampak dengan pengecatan gram. Biakan sel, Nuclei Acid

Amplification Tests (NAATs), direct immunofluorescence, Enzym Immunoassay

(EIA/ELISA), dan Nuclei Acid Hybridization Tests ( NAHTs) dapat digunakan untuk

mendeteksi C. trachomatis dari spesimen apusan uretral. Saat ini pemeriksaan NAATs

merupakan baku emas pemeriksaan infeksi urogenital Chlamydia sp. Namun demikian,

pemeriksaan NAATs tidak dapat membedakan antara penderita asimtomatis pembawa

dan kemungkinan kausa. 2,6

Nucleid acid amplification test (NAAT) dikembangkan untuk diagnosis infeksi

Chlamydia seperti reaksi rantai lipase, polymerase chain reaction (PCR), transcription

mediated amplification (TMA), dan strand displacement amplification assay yang dapat

mendeteksi DNA atau RNA pada gonokokus selain DNA pada Chlamydia. Tes ini

mempunyai keuntungan dimana pengambilan sampel tidak invasif dan bermanfaat

apabila kultur tidak dapat dilakukan. Media pertumbuhan disimpan dalam inkubator

karbon dioksida atau kaleng lilin pada suhu 95-98,6oF. Setelah inkubasi selama 24-48

jam, karakteristik koloni dapat terlihat.13

Diagnosis konfirmasi uretritis non gonokokal bila didapatkan satu atau lebih: 1)

duh uretral yang mukopurulen atau purulen, 2) hasil 1+ terhadap tes leukosit esterase

pada urin fase awal, 3) ditemukan leukosit dari pemeriksaan mikroskopis urin, serta 4)
20

terlihat secara makroskopis benang-benang dalam urin fase awal. Semen adalah contoh

yang fisiologis. Bila tidak didapatkan duh dari meatus uretra, apusan dengan kalsium

alginate dapat dimasukkan 5mm ke dalam uretra. 2,6

Sensitivitas dari pemeriksaan tersebut juga dipengaruhi oleh lama berkemih

terakhir. Secara konvensional disebutkan 2-4 jam adalah masa optimal untuk mendukung

diagnosis pada pria dengan gejala, pada pria yang tidak menunjukkan gejala awal

uretritis, dianjurkan pemeriksaan ulang dengan urin tamung semalam. Penderita

disarankan untuk minum terakhir kali pukul 20.00 dan menahan untuk berkemih

sepanjang malam hingga bangun pagi, serta tidak langsung menampung urin yang keluar

saat pertama kali berkemih tetapi urin pancaran tengah (midstream urine) pada urin fase

awal.2,6

2.7.3 Sindrom Uretra

Gejala-gejala seperti disuria, urgensi, frekuensi, nokturia, serta nyeri yang persisten

atau hilang timbul pada uretra ataupun pelvis harus dirasakan selama minimal 6 bulan.

Karena menimbulkan gejala yang mirip, sindrom uretra perlu dibedakan dengan sistitis

interstisial berdasarkan: (i) penemuan lokal (tenderness sepanjang uretra distal, tidak ada

kelainan pada uretra proksimal, dan berefek dengan terapi estrogen topikal); (ii)

penemuan urodinamik (peningkatan spastisitas pada uretra dan tingginya tekanan

penutupan sfingter uretra); dan (iii) tidak ditemukan gejala khas sistitis interstisial (tidak

ditemukannya ulkus Hunner serta perdarahan saat cystodistension).4,8

Sindrom uretra hanya mengenai dua per tiga distal uretra dan dapat sembuh dengan

sendirinya. Pada pemeriksaan fisik seringkali tidak ditemukan adanya kelainan urologi

yang nyata. Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan untuk menentukan tipe

penderita sindrom uretra, antara lain analisa urin rutin, pemeriksaan mikroskopis urin
21

segar tanpa putar, serta kultur urin. Pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukan

antara lain intravenous pyelography (IVP), magnetic resonance imaging (MRI), pelvic

ultrasonography dan cystography pada wanita atau prostate ultrasonography untuk pria.

Namun, dari semua pemeriksaan penunjang seringkali tidak didapatkan abnormalitas.2,4,14

2.8 Tatalaksana

2.8.1 Uretritis Gonokokal

Manajemen terhadap infeksi gonokokal telah banyak berubah pada dekade terakhir.

Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap pendekatan terapi termasuk resistensi

terhadap penisilin, ko-infeksi gonokokal dengan Chlamydia, dan lokasi anatomis infeksi.

Pentingnya terapi yang memadai dengan pilihan regimen yang meningkatkan kepatuhan,

memegang peranan penting. Sehingga, regimen dosis tunggal yang efektif telah

dikembangkan untuk infeksi gonokokal tanpa komplikasi. Sefalosporin generasi ketiga

terbukti sangat efektif sebagai terapi dosis tunggal bila diberikan sesuai rekomendasi,

meskipun disebutkan bahwa minimal inhibitory concentrations (MICs) terhadap

golongan N. Gonorrhoaea semakin meningkat.2

Regimen rekomendasi dosis tunggal infeksi gonokokal tanpa komplikasi2

(a) Ceftriaxone 250mg IM dosis tunggal

ATAU, BILA BUKAN PILIHAN

(b) Cefixime 400mg oral dosis tunggal

ATAU

(c) Regimen Sefalosporin IV dosis tunggal

DITAMBAH

Azitromisin 1gr oral dosis tunggal


22

ATAU

(d) Doksisiklin 2x100mg oral selama 7 hari

Regimen alternatif dosis tunggal infeksi gonokokal tanpa komplikasi2

(a) Cefpodoxime 400mg oral dosis tunggal

ATAU

(b) Cefuroxime axetil 1gr oral dosis tunggal

ATAU

(c) Spectinomisin

Berdasarkan pengalaman dengan mikroba lain yang telah berkembang menjadi

resisten dengan cepat, sebuah teori dasar muncul yang menyatakan terapi kombinasi

menggunakan dua antimikroba dengan mekanisme kerja yang berbeda (misalnya

sefalosporin dan azitromisin) dapat meningkatkan efikasi pengobatan dan berpotensi

memperlambat muncul dan penyebaran resistensi terhadap sefalosporin. Selain itu,

individu yang terinfeksi N. gonorrhoea sering koinfeksi dengan C. Trachomatis. Temuan

ini telah menghasilkan rekomendasi bahwa orang-orang yang diobati untuk infeksi

gonokokus juga harus diobati dengan regimen yang efektif terhadap infeksi genital C.

trachomatis tanpa komplikasi dimana mendukung penggunaan terapi ganda yang

mencakup Azitromisin.16

Regimen rekomendasi dosis ganda infeksi gonokokal tanpa komplikasi16

(a) Ceftriaxone 250mg IM dosis tunggal

DITAMBAH

(b) Azitromisin 1gr oral dosis tunggal

Regimen alternatif dosis ganda infeksi gonokokal tanpa komplikasi16

(a) Cefixime 400mg oral dosis tunggal


23

DITAMBAH

(b) Azitromisin 1gr oral dosis tunggal

Penderita yang terdiagnosis infeksi gonokokal tanpa komplikasi yang diterapi

dengan regimen sesuai rekomendasi tidak memerlukan tes ulang memastikan

kesembuhan. Penderita yang mengalami gejala menetap setelah terapi dianjurkan untuk

evaluasi kultur dan sensitivitas antibiotik. Infeksi gononokal yang persisten/rekuren lebih

disebabkan oleh reinfeksi daripada kegagalan terapi. Hal ini mengindikasikan

diperlukannya edukasi dan pemeriksaan partner seksual. Apabila hal ini terjadi, terapi

regimen awal perlu diberikan kembali.2

Namun, pada keadaan yang memungkinkan terjadinya kegagalan terapi, terapi

dosis ganda dengan Gemifloksasin 320mg oral dosis tunggal disertai Azitromisisn 2gr

oral dosis tunggal atau Gentamisin 240mg IM dosis tunggal ditambah Azitromisin 2gr

dapat dipertimbangan pemberiannya. Penderita dengan suspek kegagalan terapi setelah

mendapatkan regimen alternatif dapat diberikan Ceftriaxone 250mg IM dosis tunggal dan

Azitromisin 2gr oral dosis tunggal.16

2.8.2 Uretritis Non Gonokokal

a. Penanganan Pasangan Seksual2

Pasien dengan infeksi Chlamydia sp. harus dimonitor selama 2 minggu.

Pemberian informasi kepada pasangan, pencegahan hubungan seksual sementara

serta penyelesaian terapi dengan benar harus diperiksa. Dalam hal ini, pasangan

maupun semua orang yang memiliki kontak seksual langsung dengan penderita,

harus diidentifikasi dan diberikan saran untuk mendapat terapi serupa. Untuk

meminimalisir transmisi, pria yang mendapat terapi dianjurkan untuk


24

menghindari hubungan seksual selama 7 hari setelah terapi dosis tunggal atau

hingga selesai regimen 7 hari, dengan gejala yang telah hilang.

b. Farmakologi

Pengobatan harus diberikan segera setelah diagnosis uretritis non

gonokokal ditegakkan berdasarkan gejala yang berat tanpa menunggu hasil tes

Chlamydia sp. dan kultur N. gonorrhoaea. Apabila gejala yang muncul ringan

dan secara mikroskopis hanya terbukti lemah bahwa individu tersebut menderita

uretritis, perlu dilakukan kultur ulang 3-7 hari berikutnya menggunakan duh

yang pertama kali keluar dipagi hari.6

Regimen yang direkomendasikan6

(a) Doksisiklin oral 2x100mg atau 1x100mg per hari selama 7 hari jika

positif Chlamydia.

(b) Azitromisin oral 1x1gr per hari selama 7 hari jika positif Urealyticum.

(c) Jika positif M. genitalium, Azitromisin oral 500mg dosis tunggal untuk

hari pertama kemudian 1x250mg selama 4 hari

Regimen alternatif6

(a) Azitromisin oral 500mg dosis tunggal untuk hari pertama kemudian

250mg selama 4 hari.

ATAU

(b) Lymecicline 2x300mg selama 10 hari.

ATAU

(c) Tetrasiklin hidroklorida 2x500mg selama 10 hari.

Azitromisin merupakan golongan makrolid dengan aktivitas lebih rendah

terhadap kuman gram positif tetapi lebih aktif terhadap kuman gram negatif.
25

Pemberian Azitromisin 1mg pada pedoman sebelumnya berhubungan dengan

peningkatan resistensi makrolid terhadap M. genitalium dan menurunkan

efektivitas pada positif Chlamydia.6

Penderita diminta untuk control ulang 3 minggu setelah pengobatan

selesai. Jika gejala tidak hilang/berkurang (persisten), perlu diidentifikasi apakah

akibat kegagalan terapi atau reinfeksi. Pemeriksaan kultur Gram atau metilen

blue serta NAATs ualng perlu dilakukan untuk persisten/rekuren uretritis non

gonokokal sebelum diberikan penanganan lanjut.

Regimen yang direkomendasikan untuk kasus persisten/rekuren uretritis non

gonokokal

(a) Azitromisin oral 1x500mg hari pertama kemudian 1x250mg selama 4 hari

DITAMBAH

Metronidazol oral 2x400mg selama 5 hari

(Bila M. genitalium resisten terhadap makrolid, Azitromisin perlu diganti

dengan Moxifloksasin)

ATAU

(b) Moxifloksasin oral 2x400mg selama 7-14 hari

DITAMBAH

Metronidazole oral 2x400mg selama 5 hari.

2.8.3 Sindrom Uretra

Tujuan dari penanganan sindrom uretra adalah untuk mengurangi/menghilangkan

rasa tidak nyaman saat berkemih dan frekuensi berkemih yang berlebih. Penanganan

biasanya berupa trial and error yang meliputi terapi farmakologis dan terapi non

farmakologis (behavioral dan diet). 8,14


26

a. Terapi Non Farmakologis8,14

Terapi behavioral seperti biofeedback, meditasi, dan hipnosis telah dibuktikan

beberapa berhasil mengurangi rasa ingin tidak nyaman saat berkemih. Latihan dan

terapi pijat juga dapat membuat pasien lebih nyaman dalam mengontrol otot. Salah

satu latihan yang bermanfaat adalah yoga dan Tai Chi. Keduanya menekankan

keseimbangan, postur tubuh, dan gerakan terintegrasi yang dapat mengurangi hingga

menghilangkan ketegangan otot. Selain membuat nyaman terhadap permasalah otot

penderita sindrom uretra, kedua latihan tersebut juga membantu memfokuskan pikiran

sehingga beban-beban/stres yang mengganggu dapat berkurang. Berjalan santai secara

teratur selama 3 bulan juga menunjukkan adanya efek antidepresi yang hampir setara

pengobatan dengan pengobatan antidepresan.

Penderita disarankan untuk meningkatkan konsumsi air, sayur-sayuran, buah-

buahan, dan produk yang terbuat dari susu untuk mencegah dehidrasi akibat frekuensi

berkemih yang meningkat dan mengencerkan urin, sehingga meminimalisir kadar K+

yang lolos ke pertahanan mukosa yang bocor serta meningkatkan pembersihan

fisiologis dari pertahanan mukosa tersebut. Jumlah dari cairan yang dikonsumsi

sebaiknya diseimbangkan dengan jumlah pengeluran urin sehingga tidak terjadi

frekuensi berkembih yang semakin meningkat akibat banyaknya pemasukkan cairan.

Selain itu, penderita juga disarankan untuk menghindari makanan/minuman

yang tinggi garam dengan cara trial and error terhadap makanan yang dapat

menimbulkan gejala sindrom uretra. Inti dari diet ini adalah untuk mengurangi

keasaman dari urin yang mana semakin asam urin maka semakin banyak zat iritan

(Na+ dan K+) di dalamnya. Suplemen calcium glycerophospate, yang dijual bebas
27

dengan nama Prelief, serta sodium bicarbonate atau potassium bicarbonate dapat

menurunkan tingkat keasaman urin.

Terapi bedah, seperti dilatasi uretra, eksisi periurethral dan insisi prosedur insisi

telah dicoba untuk mengurangi kekakuan uretra yang mana dapat memperbaiki gejala

sindrom uretra. Dengan menghilangkan kekakuan uretra, akan mengurangi turbulensi

saat miksi dan cidera pada uretra, sehingga dapat memberikan waktu untuk tubuh

memperbaharui barrier mukosa. Namun, terapi invasif tidak terlalu dianjurkan karena

masih ada terapi lain yang efeknya hampir sama, yaitu dengan -blockers atau

relaksan otot.

b. Terapi Farmakologis8,14

Terapi farmakologi yang dapat mengurangi hingga menghilangkan gejala

sindrom uretra diantaranya adalah -blockers, relaksan otot, antispasmodik, hormon

pengganti, antidepresan dan sedatif, serta antibiotik. Obat -blockers seperti Prazosin

dan 1-blockers seperti Terazosin, Doxazosin, Tamsulosin, atau Alfuzosin, dapat

membantu merelaksasi spasme otot di bladder neck dan bagian proksimal uretra

sehingga tahanan urin keluar menurun (meningkatnya aliran urin) dan memudahkan

pengosongan kantung kemih. Jika spasme tidak ditangani segera, seiring waktu akan

bertambah kaku dan dapat menyebabkan trauma pada lapisan submukosa dan individu

tersebut akan mengalami retensi urin.

Relaksan otot, seperti Oxybutynin, Flavoxate, dan Hyoscyamine yang

merupakan golongan antikolinergik. Obat-obat ini bekerja dengan memblok kerja

asetilkolin pada saraf parasimpatis di otot polos, kelenjar sekresi, dan sistem saraf

pusat sehingga menurunkan kerja kantong kemih yang overaktif dan mengurangi

inkontinesia, urgensi dan frekuensi untuk berkemih. Obat-obat tadi juga berperan
28

sebagai antispasmodik yang menginhibisi kontraksi otot polos kantong kemih. Selain

golongan antikolinergik, golongan antagonis reseptor muskarinik juga berperan

sebagai relaksan otot dan antispasmodi seperti Trospium, Solifenacin suksinat,

Darienacin, Tolterodine tartrate, atau Fesoterodine.

Penggunaan terapi hormone pengganti seperti estrogen topikal membantu

mengurangi risiko infeksi saluran kemih dimana secara simultan juga meningkatkan

jumlah sel epitel mukosa matur yang akan meningkatkan pertahanan mukosa.

Penggunaan estrogen topikal juga dapat dibarengi dengan mucosal protecting agents

seperti Elmiron yang bisa berupa topikal atau sediaan oral. Elmiron bekerja dengan

membentuk sebuah lapisan pada dinding kantong kemih yang akan melindungi dari

substansi iritan pada urin. Penggunaan estrogen topikal bersama Elmiron dan

pemasukkan cairan yang cukup membuktikan mukosa dapat beregenerasi lebih cepat.

Kecenderungan seseorang dengan gangguan personalita atau gangguan depresi-

cemas memunculkan gejala sindrom uretra, menyebabkan penggunaan antidepresan

dan/atau sedatif cukup berpengaruh dalam meredakan sindrom uretra. Antidepresan

Imipramine atau Amitriptilin bekerja secara efektif meredakan nyeri kronis dengan

mengintervensi aktivitas saraf. Pada pasien tanpa gangguan kejiwaan, penggunaan

obat dosis rendah cukup untuk menghilangkan gejala sindrom uretra. Obat sedattif

yang dapat membantu mengurangi keluhan sindrom uretra bisa dengan Diazepam

yang meningkatkan aktivitas GABA.

Tingginya kadar K+ dalam urin penderita sindrom uretra menjadikan media

untuk berkembangnya mikroba patogen. Bagian proksimal uretra dan vagina

merupakan tempat unik untuk koloni bakteri. Penggunaan antibiotik spektrum luas
29

dengan metabolit bakterisid membantu menghancurkan mikroba dan mencegah

eksaserbasi, sehingga pertahanan mukosa dapat berekonstruksi.

2.9 Komplikasi

2.9.1 Uretritis Gonokokal

Komplikasi yang dapat ditimbulkan oleh uretritis gonokokal antara lain:2,15

1. Infeksi lokal. Terdiri dari salpingitis akut (PID) dan bartolinitis pada wanita,

epididimitis, penile limfangitis, prostatitis, seminal vasculitis, dan striktur uretra pada

pria. Komplikasi jangka panjang dari PID termasuk sterilitas dan risiko kehamilan

ektopik.

2. Infeksi sistemik. Infeksi melalui aliran darah bisa menyebabkan timbulnya bintik-

bintik merah berisi nanah pada kulit, timbul demam, rasa tidak enak badan atau nyeri

di beberapa sendi yang berpindah dari satu sendi ke sendi lainnya (sindroma artritis-

dermatitis). Bisa pula terjadi infeksi jantung (endokarditis). Infeksi pembungkus hati

(perihepatitis) bisa menyebabkan nyeri yang menyerupai kelainan kandung empedu.

Komplikasi yang terjadi bisa diatasi dan jarang berakibat fatal, tetapi masa

penyembuhan untuk artritis atau endokarditis berlangsung lambat.

3. Pada saat melahirkan, mata bayi dapat terinfeksi yang dapat menyebabkan kebutaan

bila tidak cepat ditangani.

2.9.2 Uretritis Non Gonokokal

Komplikasi tersering adalah epididymo-orchitis (inflamasi pada epididymis

dan/atau testis) dan reactive arthritis/Reiters syndrome (manifestasi klinis konjungtivitis,

uretritis, arthritis, serta manifestasi kulit). Kompliasi lainnya hampir sama dengan

komplikasi infeksi gonokokal.2


30

2.9.3 Sindrom Uretra

Sistitis interstinal merupakan komplikasi dari sindrom uretra yang berkepanjangan

dengan kelainan uretra bertambah hingga bagian proksimal dan nyeri pada suprapubik,

dimana perlu terapi yang adekuat dalam penyembuhannya (tidak self remitting).4

2.10Prognosis

2.10.1 Uretritis Gonokokal

Dengan terapi segera, infeksi gonokokal pada uretra jarang menyebabkan

morbiditas jangka panjang.2

2.10.2 Uretritis Non Gonokokal

Kegagalan terapi dengan regimen rekomendasi cukup jarang. Relaps dapat terjadi

dengan regimen alternatif. Reinfeksi cukup sering dan berhubungan dengan pasangan

seksual yang tidak diterapi atau didapat dari pasangan seksual yang baru.2

2.10.3 Sindrom Uretra

Gejala-gejala sindrom uretra biasanya membaik seiring waktu, tetapi dapat

berulang seumur hidup.14

2.11Pencegahan dan Pengendalian

2.11.1 Uretritis Gonokokal

Manajemen efektif dari infeksi menular seksual termasuk didalamnya manajemen

dari partner seksual penderita untuk mencegah reinfeksi dan memutus penyebaran

penyakit lebih lanjut. Pasangan seksual penderita harus dievaluasi dan diobati untuk

infeksi N.gonorrhoaea dan C. trachomatis jika kontak terakhir dalam kurun waktu 60

hari sebelum timbulnya gejala ataupun saat diagnosis dari infeksi gonokokal. Jika

hubungan seksual terakhir pasien lebih dari 60 hari sebelum timbulnya gejala atau
31

diagnosis, pasangan seks terbaru pasien harus diobati. Penderita dianjurkan menghentikan

aktivitas seksual hingga terapi komplit dan gejala menghilang. Kondom, jika digunakan

dengan benar, memberikan perlindungan yang efektif terhadap transmisi dan akusisi

gonore serta infeksi lain yang ditularkan ke dan dari permukaan mukosa genital. Preparat

spermisida pada diagframa atau spon serviks yang diresapi dengan nonoxynol 9

memberikan terhadap gonore dan infeksi Chlamydia. 2

Penekanan lebih besar ditempatkan pada pencegahan melalui pendidikan

kesehatan masyarakat, konseling penderita, dan modifikasi perilaku. Individiu yang aktif

secara seksual, terutama remaja, harus ditawarkan skrining PMS. Untuk pria,

pemeriksaan NAAT dari urin atau swab uretra dapat digunakan untuk skrining.

Mencegah penyebaran gonokokal dapat membantu mengurangi penularan HIV. Belum

ada vaksin yang efektif untuk infeksi gonokokal, tetapi upaya untuk menguji beberapa

kandidat sedang berlangsung.2

2.11.2 Uretritis Non Gonokokal

Metode terbaik dalam pencegahan komplikasi infeksi Chlamydia adalah

penapisan terhadap remaja dan dewasa muda yang aktif secara seksual. Edukasi penderita

sangat penting, menekankan penggunaan kondom. CDC menganjurkan penapisan

dilakukan pada wanita usia 25 tahun yang aktif secara seksual. Penderita dianjurkan

untuk menghentikan sementara aktivitas seksual hingga terapi selesai (7 hari) dan

pasangan telah selesai menjalani evaluasi dan terapi. Penderita diberikan konseling

tentang risiko dan penularan akan IMS yang lain.2

2.11.3 Sindrom Uretra

Menjaga kebersihan urogenital, mengatur pola makan yang cukup dan bersih,

olahraga teratur dan peregangan panggul, serta relaksasi untuk menurunkan kadar stres
32

dapat diterapkan untuk mencegah dan mengurangi gejala sindrom uretra. Kemunculan

gejala yang berulang atau memburuk perlu dievaluasi lebih lanjut untuk mencegah

keparahan penyakit atau mendeteksi adanya keganasan.14

Anda mungkin juga menyukai