Anda di halaman 1dari 50

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Ulkus Kaki Diabetik

1. Definisi

Kaki diabetes merupakan gambaran umum dari kelainan tungkai bawah

secara menyeluruh pada penderita DM yang diawali dengan adanya lesi hingga

terbentuknya ulkus dan menjadi ulkus kaki diabetik. 15 Ulkus kaki diabetik adalah

salah satu bentuk komplikasi kronis DM berupa luka terbuka pada permukaan

kulit ekstremitas bawah yang dapat disertai adanya kematian jaringan setempat.16

2. Klasifikasi

Jika ulkus ditemukan, deskripsi harus mencakup karakteristik ulkus,

termasuk ukuran, kedalaman, penampakan, dan lokasi. Sistem klasifikasi yang

seringkali digunakan adalah sistem klasifikasi Wagner (tabel 2.1) yang bisa

mengukur hingga kedalaman ulkus dan luas jaringan nekrosis. 17

Tabel 2.1 Sistem Klasifikasi Ulkus Wagner 17

Derajat Keterangan

0 Kulit intak/utuh

1 Luka superfisial

Luka luas yang melibatkan ligamen, tendon, kapsul sendi, atau fasia
2
tanpa abses maupun osteomyelitis

3 Luka dalam dengan abses atau osteomyelitis

4 Luka dengan gangren sebagian kaki

5 Luka dengan gangren luas seluruh kaki

Universitas Lambung Mangkurat


8

Ulkus kaki diabetik yang memerlukan waktu lebih dari 8 minggu untuk

sembuh, tidak sembuh, atau masih terjadinya ulkus, diklasifikasikan menjadi

ulkus kaki diabetik yang kronis.18

3. Patofisiologi

Secara umum, terjadinya masalah kaki diabetik diawali adanya hiperglikemi

pada penderita DM yang menyebabkan kelainan neuropati dan kelainan pada

pembuluh darah. Neuropati, baik neuropati sensorik maupun motorik dan otonom

akan mengakibatkan berbagai perubahan pada kulit dan otot yang kemudian

menyebabkan terjadinya perubahan distribusi tekanan pada telapak kaki dan

selanjutnya akan mempermudah terjadinya ulkus. Adanya kerentanan terhadap

infeksi menyebabkan infeksi mudah merebak menjadi infeksi yang luas. Faktor

aliran darah yang kurang juga akan lebih lanjut menambah rumitnya pengelolaan

kaki diabetik.19

Gambar 2.1 Patofiologi Ulkus Kaki Diabetik 19

Universitas Lambung Mangkurat


9

5. Faktor Risiko

Faktor risiko terjadi ulkus diabetik pada penderita DM menurut Lipsky

dengan modifikasi dikutip oleh Riyanto dkk terdiri atas:20

a. Faktor-faktor risiko yang tidak dapat diubah :

1) Umur 60 tahun.

2) Lama DM 10 tahun.

b. Faktor-faktor risiko yang dapat diubah (termasuk kebiasaan dan gaya hidup):

1) Neuropati (sensorik, motorik, perifer).

2) Obesitas.

3) Hipertensi.

4) Kadar HbA1C yang tidak terkontrol.

5) Kadar glukosa darah tidak terkontrol.

6) Insusifiensi vaskular karena adanya aterosklerosis yang disebabkan:

a) Kolesterol Total tidak terkontrol.

b) Kolesterol HDL tidak terkontrol.

c) Trigliserida tidak terkontrol.

7) Kebiasaan merokok.

8) Ketidakpatuhan diet DM.

9) Kurangnya aktivitas Fisik.

10) Pengobatan tidak teratur.

11) Perawatan kaki tidak teratur.

12) Penggunaan alas kaki tidak tepat.

Universitas Lambung Mangkurat


10

B. Kecemasan

1. Definisi

Kecemasan (anxiety) berasal dari bahasa latin angustus yang berarti kaku

dan ango-anci yang berarti mencekik. Kecemasan dapat diartikan sebagai

respon emosi tanpa objek, berupa perasaan takut dan kekhawatiran yang tidak

jelas dan berlebihan disertai berbagai gejala sumatif yang menyebabkan gangguan

bermakna dalam fungsi sosial.21 Kecemasan juga merupakan suatu sinyal yang

menyadarkan, ia memperingatkan adanya bahaya yang mengancam dan

memungkinkan seseorang mengambil tindakan untuk mengatasi ancaman. 22

Gangguan kecemasan merupakan gangguan pikiran, perasaan dan tingkah

laku yang merusak diri sendiri dengan kecemasan sebagai gejala utama. 22

Gangguan kecemasan berbeda dari rasa takut atau kecemasan yang normal dengan

gejala cemas yang berlebihan atau terus-menerus di luar waktu yang seharusnya.23

2. Etiologi

Ada beberapa teori mengenai penyebab kecemasan:11

a. Teori Psikologis

Dalam teori psikologis terdapat 3 bidang utama:

1) Teori psikoanalitik

Freud menyatakan bahwa kecemasan adalah suatu sinyal kepada ego yang

memberitahukan adanya suatu dorongan yang tidak dapat diterima dan

menyadarkan ego untuk mengambil tindakan defensif terhadap tekanan dari dalam

tersebut. Idealnya, penggunaan represi sudah cukup untuk memulihkan

keseimbangan psikologis tanpa menyebabkan gejala, karena represi yang efektif

Universitas Lambung Mangkurat


11

dapat menahan dorongan di bawah sadar. Namun jika represi tidak berhasil

sebagai pertahanan, mekanisme pertahanan lain (seperti konversi, pengalihan, dan

regresi) mungkin menyebabkan pembentukan gejala dan menghasilkan gambaran

gangguan neurotik yang klasik (seperti histeria, fobia, neurosis obsesif-

kompulsif).

2) Teori perilaku

Teori perilaku menyatakan bahwa kecemasan disebabkan oleh stimuli

lingkungan spesifik. Pola berpikir yang salah, terdistorsi, atau tidak produktif

dapat mendahului atau menyertai perilaku maladaptif dan gangguan emosional.

Penderita gangguan cemas cenderung menilai lebih terhadap derajat bahaya dalam

situasi tertentu dan menilai rendah kemampuan dirinya untuk mengatasi ancaman.

3) Teori eksistensia

Teori ini memberikan model gangguan kecemasan umum dimana tidak

terdapat stimulus yang dapat diidentifikasikan secara spesifik untuk suatu

perasaan kecemasan yang kronis.

b. Teori Biologis

Peristiwa biologis dapat mendahului konflik psikologis namun dapat juga

sebagai akibat dari suatu konflik psikologis.

1) Sistem saraf otonom

Stresor dapat menyebabkan pelepasan epinefrin dari adrenal melalui

mekanisme berikut ini: ancaman dipersepsi oleh panca indera, diteruskan ke

korteks serebri, kemudian ke sistem limbik dan RAS (Reticular Activating

System), lalu ke hipotalamus dan hipofisis. Kemudian kelenjar adrenal

Universitas Lambung Mangkurat


12

mensekresikan katekolamin dan terjadilah stimulasi saraf otonom.

Hiperaktivitas sistem saraf otonom akan mempengaruhi berbagai sistem

organ dan menyebabkan gejala tertentu, misalnya: kardiovaskuler (contoh:

takikardi), muskuler (contoh: nyeri kepala), gastrointestinal (contoh: diare), dan

pernafasan (contoh: nafas cepat).

2) Neurotransmiter

Tiga neurotransmiter utama yang berhubungan dengan kecemasan adalah

norepinefrin, serotonin, dan gamma-aminobutyric acid (GABA). Pada penderita

dengan gangguan kecemasan, khususnya gangguan panik, memiliki kadar

metabolit noradrenergik yaitu 3-methoxy-4-hydroxyphenylglycol (MHPG) yang

meninggi dalam cairan serebrospinalis dan urin. Terdapat beberapa laporan yang

menyatakan bahwa obat-obatan yang menyebabkan pelepasan serotonin dapat

menyebabkan peningkatan kecemasan pada penderita dengan gangguan

kecemasan. Beberapa penderita dengan gangguan kecemasan diduga memiliki

fungsi reseptor GABA yang abnormal.

Selain itu, Freud menyebutkan ada lima macam sumber kecemasan, yaitu:24

1) Frustasi (tekanan perasaan)

Frustasi adalah kegagalan memperoleh kepuasan, rintangan terhadap

aktivitas yang diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu, keadaan emosional yang

diakibatkan oleh rasa terkekang, kecewa, dan kekalahan. Selain itu, frustasi

merupakan suatu proses yang menyebabkan orang merasa akan adanya hambatan

terhadap terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan, atau menyangka akan terjadi sesuatu

hal yang menghalangi keinginannya.

Universitas Lambung Mangkurat


13

2) Konflik

Konflik adalah ketidakpastian di dalam suatu pendapat emosi dan tindakan

orang lain. Lebih tepatnya, konflik terjadi saat terdapatnya dua macam

dorongan/kebutuhan atau lebih yang bertentangan atau berlawanan satu sama lain

dan tidak mungkin dipenuhi dalam waktu yang sama. Keadaan mental merupakan

hasil impuls-impuls, hasrat-hasrat, keinginan, dan sebagainya yang saling

bertentangan namun bekerja pada saat yang sama.

3) Ancaman

Ancaman merupakan peringatan yang harus diperhatikan dan diatasi agar

tidak terjadi.

4) Harga diri

Harga diri bukan merupakan faktor yang dibawa sejak lahir, tetapi

merupakan faktor yang dipelajari dan terbentuk berdasarkan pengalaman individu.

Individu yang kurang mempunyai harga diri akan menganggap bahwa dirinya

tidak cakap atau cenderung kurang percaya pada kemampuan dirinya dalam

menghadapi lingkungan secara efektif dan akhirnya akan mengalami berbagai

kegagalan

5) Lingkungan

Freud mengatakan bahwa faktor yang yang dapat mempengaruhi kecemasan

adalah lingkungan di sekitar individu. Adanya dukungan dari lingkungan, mampu

mengurangi kecemasan pada individu tersebut.

Universitas Lambung Mangkurat


14

3. Faktor Predisposisi

Secara umum, kecemasan dipengaruhi oleh beberapa faktor menurut Stuart

dan Sudden sebagai berikut:24

a. Faktor eksternal

1) Ancaman integritas diri

Meliputi ketidakmampuan fisiologis atau gangguan terhadap kebutuhan

dasar (penyakit, trauma fisik, pembedahan yang akan dilakukan).

2) Ancaman sistem diri

Antara lain: ancaman terhadap identitas diri, harga diri, hubungan

interpersonal, kehilangan, dan perubahan status dan peran.

b. Faktor internal

1) Potensial stresor

Stresor psikososial merupakan keadaan yang menyebabkan perubahan

dalam kehidupan sehingga individu dituntut untuk beradaptasi.

2) Maturitas

Kematangan kepribadian inidividu akan mempengaruhi kecemasan yang

dihadapinya. Kepribadian individu yang lebih matur maka lebih sukar mengalami

gangguan akibat kecemasan, karena individu mempunyai daya adaptasi yang lebih

besar terhadap kecemasan.

3) Pendidikan

Tingkat pendidikan individu berpengaruh terhadap kemampuan berpikir.

Semakin tinggi tingkat pendidikan maka individu semakin mudah berpikir

Universitas Lambung Mangkurat


15

rasional dan menangkap informasi baru. Kemampuan analisis akan mempermudah

individu dalam menguraikan masalah baru.

4) Respon koping

Mekanisme koping digunakan seseorang saat mengalami kecemasan.

Ketidakmampuan mengatasi kecemasan secara konstruktif merupakan penyebab

terjadinya perilaku patologis.

5) Status sosial ekonomi

Status sosial ekonomi yang rendah pada seseorang akan menyebabkan

individu mudah mengalami kecemasan.

6) Keadaan fisik

Individu yang mengalami gangguan fisik akan mudah mengalami kelelahan

fisik. Kelelahan fisik yang dialami akan mempermudah individu mengalami

kecemasan.

7) Tipe kepribadian

Individu dengan tipe kepribadian A lebih mudah mengalami gangguan

akibat kecemasan daripada orang dengan tipe kepribadian B. Misalnya dengan

orang tipe A adalah orang yang memiliki selera humor yang tinggi, tipe ini

cenderung lebih santai, tidak tegang dan tidak gampang merasa cemas bila

menghadapi sesuatu, sedangkan tipe B ini orang yang mudah emosi, mudah

curiga, tegang maka tipe B ini akan lebih mudah merasa cemas.

Selain itu banyak bukti menunjukkan bahwa manusia mewarisi

kecenderungan untuk tegang atau gelisah. Kontribusi kontribusi kecil dari

banyak gen di wilayah wilayah kromosom yang berbeda secara kolektif

Universitas Lambung Mangkurat


16

membuat kita rentan mengalami kecemasan jika ada faktor faktor psikologis dan

sosial tertentu yang mendukungnya.25

8) Lingkungan dan situasi

Seseorang yang berada di lingkungan asing lebih mudah mengalami

kecemasan dibandingkan di lingkungan yang yang sudah dikenalnya.

9) Dukungan sosial

Dukungan sosial dan lingkungan merupakan sumber koping individu.

Dukungan sosial dari kehadiran orang lain membantu seseorang mengurangi

kecemasan sedangkan lingkungan mempengaruhi area berfikir individu.

10) Usia

Usia muda lebih mudah cemas dibandingkan individu dengan usia yang

lebih tua. Penelitian oleh Lutfa dkk menunjukkan semakin bertambahnya usia, ada

kecenderungan penurunan tingkat kecemasan.26

11) Jenis kelamin

Gangguan kecemasan tingkat panik lebih sering dialami wanita daripada

pria. Wanita dua kali lebih sering mengalami kecemasan daripada pria. Hal ini

dipengaruhi oleh pengaruh hormon sehingga wanita lebih mudah mengalami

cemas.27

Universitas Lambung Mangkurat


17

Selain itu, faktor-faktor yang mempengaruhi kecemasan menurut Kaplan

dan Sadock, antara lain:27

a. Faktor-faktor intrinsik

1) Pengalaman menjalani pengobatan

Pengalaman awal dalam pengobatan merupakan pengalaman-pengalaman

yang sangat berharga yang terjadi pada penderita terutama untuk masa-masa yang

akan datang. Pengalaman awal ini sebagai bagian penting dan bahkan sangat

menentukan bagi kondisi mental penderita di kemudian hari. Apabila pengalaman

penderita tentang terapi kurang, maka cenderung mempengaruhi peningkatan

kecemasan saat menghadapi tindakan.

2) Konsep diri dan peran

Konsep diri adalah semua ide, pikiran, kepercayaan dan pendirian yang

diketahui individu terhadap dirinya dan mempengaruhi individu berhubungan

dengan orang lain. Menurut Stuart & Sundeen, peran adalah pola sikap perilaku

dan tujuan yang diharapkan dari seseorang berdasarkan posisinya di masyarakat.

Banyak faktor yang mempengaruhi peran seperti kejelasan perilaku dan

pengetahuan yang sesuai dengan peran, konsistensi respon orang yang berarti

terhadap peran, kesesuaian dan keseimbangan antara peran yang dijalaninya. Juga

keselarasan budaya dan harapan individu terhadap perilaku peran. Disamping itu,

pemisahan situasi yang akan menciptakan ketidaksesuaian perilaku peran, jadi

setiap orang disibukkan oleh beberapa peran yang berhubungan dengan posisinya

pada setiap waktu. Seseorang yang mempunyai peran ganda baik di dalam

Universitas Lambung Mangkurat


18

keluarga atau di masyarakat memiliki kecenderungan mengalami kecemasan yang

berlebih disebabkan konsentrasi terganggu.

b. Faktor-faktor ekstrinsik

1) Kondisi medis (diagnosis penyakit)

Terjadinya gejala kecemasan yang berhubungan dengan kondisi medis

sering ditemukan walaupun insidensi gangguan bervariasi untuk masing-masing

kondisi medis. Penderita dengan diagnosa baik tidak terlalu mempengaruhi

tingkat kecemasan.

2) Akses informasi

Akses informasi adalah pemberitahuan tentang sesuatu agar orang

membentuk pendapatnya berdasarkan sesuatu yang diketahuinya. Informasi

adalah segala penjelasan yang didapatkan penderita sebelum pelaksanaan terapi

yang terdiri dari tujuan, proses, risiko, efek samping, komplikasi, alternatif

tindakan yang tersedia serta proses administrasi. Semakin tinggi akses informasi

penderita maka semakin rendah kecemasan yang akan muncul karena terapi yang

dipilih telah dipertimbangkan sebelumnya.

3) Proses adaptasi

Tingkat adaptasi manusia dipengaruhi oleh stimulus internal dan eksternal

yang dihadapi individu dan membutuhkan respon perilaku yang terus menerus.

Proses adaptasi sering menstimulasi individu untuk mendapatkan bantuan dari

sumber-sumber di lingkungan dimana dia berada. Perawat merupakan sumber

daya yang tersedia di lingkungan rumah sakit yang mempunyai pengetahuan dan

Universitas Lambung Mangkurat


19

keterampilan untuk membantu penderita mengembalikan atau mencapai

keseimbangan diri dalam menghadapi lingkungan yang baru.

4) Jenis tindakan terapi

Semakin berat dan banyak tindakan medis yang dilakukan dalam terapi,

semakin berpengaruh terhadap tingkat kecemasan penderita.

5) Komunikasi terapeutik

Komunikasi sangat dibutuhkan baik bagi perawat maupun penderita.

Penderita sangat membutuhkan penjelasan yang baik dari perawat dalam terapi

penyakit jangka panjang. Komunikasi yang baik diantara mereka turut

berkontribusi dalam perbaikan kondisi penderita. Penderita yang cemas saat akan

menjalani terapi kemungkinan mengalami efek yang tidak menyenangkan bahkan

akan membahayakan.

4. Patofisiologi

Stresor merupakan stimulus atau peristiwa yang menimbulkan perubahan

penyesuaian diri pada individu, sedangkan stres adalah usaha yang dilakukan

untuk mengembalikan keseimbangan penyesuaian diri akibat stresor. 28

Kemampuan seseorang mengatasi masalah dipengaruhi faktor-faktor kepribadian,

sering tidaknya suatu stresor terjadi dan kemampuan seseorang mengatasi

masalah.29 Apabila perilaku penyesuaian diri fisik dan psikologis terhadap stres

berjalan lancar dan masalah yang dialami akan memperkuat kepribadian maka

individu tersebut dapat dikatakan normal atau eustres. Namun, apabila individu

tersebut gagal mengatasi masalah yang dialami atau penyesuaian yang dilakukan

Universitas Lambung Mangkurat


20

tidak berhasil/tidak cocok lagi maka individu dapat dikatakan sakit atau

mengalami distres.28

Dalam keadaan stres yang berlebihan, Hans Selye menggambarkan dalam

mekanisme dekompensasi mental atau General Adaptation Syndrome (GAS) yang

merupakan tahapan-tahapan reaksi ketika seseorang mengatasi stresor yang

dialaminya, yaitu:28

1) Tahap reaksi waspada atau reaksi bahaya, dimana stresor baru muncul secara

tiba-tiba dan mulai meningkatkan kewaspadaan dan kepekaan serta

penggunaan berbagai mekanisme defensif secara intensif.

2) Tahap resistensi atau fase pertahanan, dimana individu berusaha maksimal

untuk bertahan dan beradaptasi dalam menghadapi stres.

3) Tahap kelelahan atau fase kepayahan, dimana terjadinya penyakit adaptasi

karena stres dalam waktu yang panjang dan bila terus berlangsung dapat

menyebabkan kematian.

Jika mendapatkan pengobatan, dekompensasi dapat berhenti pada setiap

tahap. Namun kadang-kadang juga dapat kembali ke fungsi yang lebih baik

dengan sendirinya sebelum tahap kelelahan berlangsung. Stres yang tidak teratasi

dapat menyebabkan kecemasan, kekecewaan, ketegangan, rasa bersalah, dan

sebagainya.28

Kecemasan merupakan respon dari persepsi ancaman yang diterima oleh

sistem saraf pusat. Persepsi ini timbul akibat adanya rangsangan dari luar maupun

dari dalam seperti pengalaman masa lalu dan faktor genetik. Rangsangan tersebut

dipersepsi oleh panca indra, diteruskan dan direspon oleh sistem saraf pusat sesuai

Universitas Lambung Mangkurat


21

pola hidup tiap individu. Di dalam saraf pusat, proses tersebut melibatkan jalur

Cortex Cerebri Limbic System Reticular Activating System Hypothalamus

yang memberikan impuls kepada kelenjar hipofisis untuk mensekresi mediator

hormonal terhadap target organ yaitu kelenjar adrenal yang kemudian memacu

sistem saraf otonom melalui mediator hormonal yang lain seperti katekolamin.

Hiperaktivitas sistem saraf otonom menyebabkan timbulnya kecemasan. 30

5. Manifestasi Umum

Respon fisiologis terhadap kecemasan meliputi:14

a) Kardiovaskuler; terjadi peningkatan tekanan darah, palpitasi, jantung berdebar,

denyut nadi meningkat, tekanan nadi menurun, syok dan lain-lain.

b) Respirasi terjadi perubahan napas cepat dan dangkal, rasa tertekan pada dada,

rasa tercekik.

c) Kulit terjadi perasaan panas atau dingin pada kulit, muka pucat, berkeringat

seluruh tubuh, rasa terbakar pada muka, telapak tangan berkeringat, gatal-gatal.

d) Gastrointestinal akan mengeluh anoreksia, rasa tidak nyaman pada perut, rasa

terbakar di epigastrium, nausea, diare.

e) Pada sistem neuromuskuler dapat menyebabkan reflek meningkat, reaksi

kejutan, mata berkedip-kedip, insomnia, tremor, kejang, wajah tegang, gerakan

lambat.

Respon psikologis terhadap kecemasan dapat muncul berbagai gejala seperti

gelisah, tremor, gugup, bicara cepat dan tidak ada koordinasi, menarik diri,

menghindar. Aspek kognitif mengalami gangguan perhatian, konsentrasi hilang,

mudah lupa, salah tafsir, bloking, bingung, lapangan persepsi menurun, kesadaran

Universitas Lambung Mangkurat


22

diri yang berlebihan, khawatir yang berlebihan, obyektifitas menurun, takut

kecelakaan, takut mati dan lain-lain. Afektif dapat berupa tidak sabar, tegang,

neurosis, tremor, gugup yang luar biasa, sangat gelisah dan lain-lain.14

6. Klasifikasi

Menurut Stuart dan Sundeen, ada empat tingkat kecemasan yang dapat

dialami oleh individu, yaitu:14

1) Kecemasan ringan

Kecemasan ringan berhubungan dengan ketegangan dalam kehidupan

sehari-hari dan menyebabkan seseoran menjadi waspada dan meningkatkan lahan

persepsinya.

2) Kecemasan sedang

Kecemasan sedang memungkinkan seseorang untuk memusatkan pada

masalah yang penting dan mengesampingkan yang lain sehingga seseorang

mengalami perhatian yang selektif, namun masih dapat melakukan sesuatu yang

terarah.

3) Kecemasan berat

Kecemasan berat sangat mengurangi lahan persepsi seseorang. Seseorang

dengan kecemasan berat cenderung untuk memusatkan pada sesuatu yang terinci

dan spesifik, serta tidak dapat berpikir tentang hal lain.

4) Panik

Panik berhubungan dengan terperangah, ketakutan dan teror karena

mengalami kehilangan kendali. Orang yang sedang panik tidak mampu

melakukan sesuatu walaupun dengan pengarahan.

Universitas Lambung Mangkurat


23

7. Diagnosis

Edisi kelima Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder (DSM-

V-TR) mencantumkan klasifikasi gangguan kecemasan seperti berikut ini:

gangguan kecemasan perpisahan, mutisme selektif, fobia spesifik, gangguan

kecemasan sosial (fobia sosial), gangguan panik, serangan panik spesifik,

agorafobia, gangguan kecemasan menyeluruh, gangguan ansietas yang diinduksi

zat, gangguan kecemasan akibat keadaan medis umum, dan gangguan kecemasan

lain yang ditentukan, serta gangguan kecemasan yang tidak tergolongkan.

Menurut kriteria diagnostik ini, setiap gangguan kecemasan didiagnosis hanya

ketika gejala tidak disebabkan oleh efek fisiologis dari suatu zat/obat atau kondisi

medis lain atau tidak lebih baik dijelaskan oleh gangguan mental lain. Gangguan

kecemasan karena induksi zat/obat melibatkan kecemasan karena intoksikasi zat

atau gejala putus obat. Dalam gangguan kecemasan karena kondisi medis lain,

gejala kecemasan adalah konsekuensi fisiologis kondisi medis lain.23

Kecemasan karena kondisi medis lain didiagnosis ketika kondisi medis

diketahui dapat menginduksi kecemasan dan ketika kondisi medis mendahului

timbulnya kecemasan. Tampak prevalensi tinggi dari gangguan kecemasan antara

individu dengan berbagai kondisi medis, termasuk asma, hipertensi, ulkus, dan

arthritis. Namun, alasan peningkatan prevalensi ini dapat pula dikarenakan

gangguan kecemasan yang langsung menyebabkan kondisi medis. 23

Universitas Lambung Mangkurat


24

Tabel 2.2 Gangguan Kecemasan Karena Kondisi Medis Lain 23

Kriteria Diagnosis 293.84 (F06.4)

A. Serangan panik atau kecemasan didominasi dalam gambaran klinis.


B. Terdapat bukti dari riwayat, pemeriksaan fisik, atau temuan laboratorium bahwa
gangguan tersebut adalah konsekuensi patofisiologi yang langsung disebabkan oleh
kondisi medis lain.
C. Gangguan ini tidak lebih baik dijelaskan oleh gangguan mental lain.
D. Gangguan tidak terjadi secara khusus selama masa delirium.
E. Gangguan tersebut menyebabkan distres atau gangguan yang bermakna dalam
bidang sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lainnya.

Penulisan catatan: Sertakan nama kondisi medis lainnya dalam nama gangguan
mental (misalnya, gangguan 293,84 [F06.4] kecemasan karena pheochromocytoma).
Kondisi medis lainnya harus dikodekan dan terdaftar secara terpisah langsung sebelum
gangguan kecemasan karena kondisi medis.

Dalam menentukan apakah gejala kecemasan disebabkan oleh kondisi medis

lain, dokter harus terlebih dahulu menetapkan kehadiran kondisi medis. Diagnosis

ini tidak dimaksudkan untuk mencakup gangguan kecemasan primer yang timbul

dalam konteks penyakit medis yang kronis.23

8. Pengukuran Kecemasan

Sejak perkembangannya, Beck Anxiety Inventory (BAI) telah banyak

digunakan dalam penelitian klinis, terutama sebagai pengukuran kecemasan

umum. Mengingat singkatnya, kesederhanaan, dan diduga kemampuan untuk

mengukur kecemasan umum, BAI merupakan kandidat yang bagus untuk

digunakan sebagai indikator tingkat keparahan.31

BAI digunakan untuk mengungkap kecemasan yang menetap dalam diri

individu. BAI merupakan skala psikologis yang terdiri dari 21 item,

dikembangkan oleh Aaron T. Beck dan rekan-rekannya. Item-item yang terdapat

pada BAI ini menggambarkan kondisi emosi, psikis dan kognitif yang merupakan

Universitas Lambung Mangkurat


25

gejala kecemasan dan bukan depresi.32

BAI menanyakan bagaimana perasaan subjek dalam sebulan terakhir yang

mengungkapkan gejala kecemasan pada umumnya (seperti mati rasa dan

kesemutan, berkeringat bukan karena panas, dan takut terjadinya terburuk).

Kuesioner dirancang untuk rentang usia 1780 tahun. BAI dapat digunakan

kepada individu dengan cacat mental dan dapat diberikan secara oral untuk

individu dengan gangguan penglihatan. BAI juga dapat diberikan dan dinilai oleh

paraprofesional, tetapi harus digunakan dan diinterpretasikan hanya oleh para

profesional yang sudah terlatih dan berpengalaman. Setiap pertanyaan dinyatakan

dalam empat kemungkinan pilihan jawaban (lihat tabel 2.4).33 Total skor berkisar

antara 063 dan umumnya dikategorikan sebagai berikut:34

Tabel 2.3 Kategori Skor Beck Anxiety Inventory 34

Interval Skor Keterangan

09 Normal atau tidak ada kecemasan

10 18 Kecemasan ringan sampai sedang

19 29 Kecemasan sedang sampai berat

30 63 Kecemasan sangat berat

Tabel 2.4 Kategori Skala Likert Beck Anxiety Inventory 33

Nilai Pilihan Jawaban Keterangan

0 Tidak sama sekali Tidak mengganggu

1 Ringan Tidak begitu mengganggu

2 Sedang Sangat tidak menyenangkan kadang-kadang

3 Berat Sangat mengganggu

Universitas Lambung Mangkurat


26

Dalam BAI, Aaron T. Beck dan rekan-rekan menjelaskan bahwa kecemasan

terdapat empat aspek, yaitu:35

1) Subjective; yang dialami sebagai perasaan takut, tidak nyaman, merasa tidak

dapat santai/rileks, dan tidak siap untuk menangani secara efektif saat ini

(langsung) atau diantipasi.

2) Neurophysiologic; kecemasan yang dialami sebagai paresthesia (mati rasa atau

kesemutan), peningkatan respon kejut, dan kesulitan berkonsentrasi.

3) Autonomic; kecemasan dimana perasaan panas, keluar keringat (diaforesis),

denyut jantung meningkat, wajah kosong, dan lain-lain.

4) Panic-related; kecemasan terkait.

BAI memiliki konsistensi internal yang tinggi (alpha Cronbach = 92) dan

penelitian awal menunjukkan reliabilitas test-retest dalam satu minggu (r =

0,75).32 Validitas konstruk menunjukkan konvergensi yang baik antara BAI

dengan pengukuran kecemasan lainnya seperti Hamilton Anxiety Rating Scale (r =

0.51), State Trait Anxiety Inventory (r = 0.470.58) dan Symptom Checklist90

Revised Anxiety subscale (r = 0.81).36 Validitas konstruk diskriminan

menunjukkan BAI berkorelasi dengan hanya kecemasan (r = 0,48) secara

signifikan lebih bermakna dibandingkan dengan hanya depresi (r = 0,25) dalam

sampel kejiwaan. Dalam sampel normatif, BAI berkorelasi secara bermakna

dengan kecemasan sekaligus depresi. Meskipun BAI menunjukkan adanya

korelasi dengan depresi, BAI lebih baik dalam membedakan kecemasan dengan

depresi daripada Trait Anxiety Inventory.35

Universitas Lambung Mangkurat


27

BAB III

LANDASAN TEORI DAN HIPOTESIS

A. Landasan Teori

Penderita DM tipe 2 yang telah menderita 10 tahun apabila kadar glukosa

darah tidak terkendali, maka akan muncul komplikasi yang berhubungan dengan

vaskuler berupa makroangiopatimikroangiopati yang akan terjadi seperti

vaskulopati dan neuropati. Hal tersebut akan mengakibatkan menurunnya sirkulasi

darah dan menurunkan kepekaan terhadap robekan/luka pada kaki penderita

diabetik. Ulkus kaki diabetik adalah kelainan tungkai bawah yang diawali dengan

adanya lesi hingga terbentuknya ulkus (luka) yang disebabkan olah gangguan

pembuluh darah, gangguan persarafan dan infeksi akibat tidak terkendalinya

penyakit DM dengan baik.37

Proses penyembuhan luka yang sempurna normalnya membutuhkan waktu

314 hari dengan melalui tiga tahapan, yaitu tahap inflamasi, tahap proliferasi dan

tahap pembentukkan kembali jaringan baru. Kembalinya luka seperti sedia kala

80% dapat dicapai dalam waktu tiga minggu pertama sejak proses penyembuhan.

Apabila luka belum atau baru sembuh atau berulang setelah lebih dari delapan

minggu, luka diklasifikasikan menjadi luka kronis. 18 Ulkus kaki diabetik rentan

terhadap infeksi, lama menderita dan kekambuhan yang akhirnya mempengaruhi

kesehatan mental penderita.38

Menurut Bala Neeru dkk., penyembuhan luka tampaknya menjadi prediksi

penting untuk kecemasan dimana mereka dengan ulkus kaki yang lama sembuh

27

Universitas Lambung Mangkurat


28

dan berulang menampakkan gejala kecemasan yang lebih.13 Penderita ulkus

diabetik mengalami beberapa perubahan di kehidupannya dan berdampak pada

sisi psikologis seperti mempunyai pandangan negatif, putus asa, tidak bersih,

bersalah, kesedihan, tidak berdaya, takut akan amputasi dan kepercayaan diri yang

berkurang. Dari sisi fisik, penderita ulkus diabetik akan merasa mudah lelah,

merasakan nyeri terdapatnya discharge, pruritus, edema, gangguan tidur,

penurunan aktivitas, keterbatasan fisiknya membuat ketergantungan pada

pertolongan orang untuk menjalani aktivitas dan penurunan higienitas individu

dikarenakan penderita mengalami kesulitan untuk mandi dan mencuci tangan atau

tubuhnya yang kotor. Pada sisi ekonomi, penderita ulkus diabetik yang

memerlukan perawatan dan harus ke rumah sakit berkali-kali akan mengakibatkan

berkurangnya ekonomi keluarga dan dapat menimbulkan pengangguran. Begitu

pula pada sisi psikososial yang berdampak pada berkurangnya kontak sosial yang

dikarenakan pembatasan aktivitas dan mobilitas serta kepercayaan diri yang

kurang sehingga terjadi isolasi sosial, selain karena bau. Stresor-stresor tersebut

yang akan mengakibatkan menurunnya kualitas hidup penderita.39

Stresor merupakan stimulus atau peristiwa yang menimbulkan perubahan

penyesuaian diri pada individu, sedangkan stres adalah usaha yang dilakukan

untuk mengembalikan keseimbangan penyesuaian diri akibat stresor. Menurut

Hans Selye, apabila perilaku penyesuaian diri fisik dan psikologis terhadap stres

berjalan lancar dan masalah yang dialami akan memperkuat kepribadian maka

individu tersebut dapat dikatakan normal atau eustres. Namun, apabila individu

tersebut gagal mengatasi masalah yang dialami atau penyesuaian yang dilakukan

Universitas Lambung Mangkurat


29

tidak berhasil/tidak cocok lagi maka individu dapat dikatakan sakit atau

mengalami distres. Stres yang tidak teratasi dapat menyebabkan kecemasan,

kekecewaan, ketegangan, rasa bersalah, dan sebagainya.28

Menurut teori biologis, penyebab kecemasan adalah stresor yang dapat

menyebabkan pelepasan epinefrin dari adrenal melalui mekanisme berikut ini:

ancaman dipersepsi oleh panca indera, diteruskan ke korteks serebri, kemudian ke

sistem limbik dan RAS (Reticular Activating System), lalu ke hipotalamus dan

hipofisis. Kemudian kelenjar adrenal mensekresikan katekolamin dan terjadilah

stimulasi saraf otonom. Hiperaktivitas sistem saraf otonom akan mempengaruhi

berbagai sistem organ dan menyebabkan gejala tertentu seperti takikardi, pusing,

gangguan gastrointestinal dan nafas cepat.11 Hiperaktivitas saraf otonom

merupakan salah satu dari gejala kecemasan selain ketegangan motorik dan

kewaspadaan berlebih.40

Kecemasan dipengaruhi oleh beberapa faktor eksternal dan faktor internal.

Faktor eksternal antara lain ancaman integritas diri dan sistem diri, kondisi medis,

akses informasi, proses adaptasi, jenis tindakan terapi, serta komunikasi

terapeutik. Potensial stresor, maturitas, pendidikan, respon koping, status sosial

ekonomi, keadaan fisik, tipe kepribadian, lingkungan dan situasi, dukungan sosial,

usia, jenis kelamin, pengalaman menjalani pengobatan, serta konsep diri dan

peran merupakan faktor-faktor internal dari kecemasan.24,25,26 Berdasarkan uraian

di atas, maka dapat dibuat kerangka teori sebagai berikut:

Universitas Lambung Mangkurat


30

DM tipe 2 10 tahun

Aterosklerotik Mikroangiopati Neuropati

Penurunan kepekaan kulit terhadap luka

Ulkus kaki diabetik37

Lebih dari 8 minggu (kronis) atau berulang18

Fisik
39 Psikologis
Stresor
Ekonomi
Sosial

Eustres Distres

Hipersekresi katekolamin
oleh glandula adrenal11

Faktor internal Ketegangan motorik


Potensial stresor Hiperaktivitas saraf otonom
Maturitas Kewaspadaan berlebih
Tingkat pendidikan
Respon koping
Status sosial ekonomi
Keadaan fisik
Tipe kepribadian Faktor eksternal
Lingkungan dan situasi Ancaman integritas diri dan
Dukungan sosial sistem diri
Usia Kondisi medis
Jenis kelamin Akses informasi
Pengalaman menjalani Proses adaptasi
pengobatan Jenis tindakan terapi
Konsep diri dan peran Komunikasi terapeutik

Gejala kecemasan13

Gambar 3.1 Skema Kerangka Teori Penelitian Hubungan Lama Menderita Ulkus
Kaki Diabetik dengan Gejala Kecemasan di RSUD Ulin
Banjarmasin11,13,18,37,39

Universitas Lambung Mangkurat


31

Berdasarkan landasan teori diatas maka didapatkan kerangka konsep sebagai

berikut:

Lama menderita ulkus Gejala


kaki diabetik kecemasan

Variabel Bebas Variabel Terikat

Ancaman integritas diri dan sistem diri


Kondisi medis
Akses informasi
Proses adaptasi
Jenis tindakan terapi
Komunikasi terapeutik
Potensial stresor
Maturitas
Tingkat pendidikan
Respon koping
Status sosial ekonomi
Keadaan fisik
Tipe kepribadian
Lingkungan dan situasi
Dukungan sosial
Usia
Jenis kelamin
Pengalaman menjalani pengobatan
Konsep diri dan peran

Variabel Pengganggu

Gambar 3.2 Skema Kerangka Konsep Penelitian Hubungan Lama Menderita


Ulkus Kaki Diabetik dengan Gejala Kecemasan di RSUD Ulin
Banjarmasin

B. Hipotesis

Terdapat hubungan lama menderita ulkus kaki diabetik dengan gejala

kecemasan di RSUD Ulin Banjarmasin.

Universitas Lambung Mangkurat


BAB IV

METODE PENELITIAN

A. Rancangan Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode observasional analitik dengan

pendekatan cross sectional karena pada penelitian ini hanya mengambil data pada

satu subjek penelitian dalam satu waktu saja dan tidak lagi mengambil data pada

subyek tersebut di waktu yang berbeda.

B. Populasi dan Sampel

Populasi pada penelitian ini adalah seluruh penderita DM tipe 2 dengan

komplikasi ulkus kaki diabetik yang datang ke poliklinik Kaki Diabetik RSUD

Ulin Banjarmasin pada periode Juli - September 2016 dan memenuhi kriteria

sebagai berikut:

1) Bersedia menjadi sampel penelitian dengan mengisi surat pernyataan

persetujuan mengikuti penelitian.

2) Lama menderita DM tipe 2 10 tahun.

3) Tingkat keparahan ulkus kaki diabetik adalah derajat II dan derajat III.

4) Berusia antara 46 65 tahun.

5) Tingkat pendidikan rendah atau lulusan terakhir adalah SD atau SMP/sederajat.

6) Status ekonomi keluarga UMP (Upah Minimum Provinsi) Kalimantan Selatan

tahun 2016 atau setara Rp.2.085.050,-.

7) Skor L-MMPI dengan jumlah jawaban tidak <10 yang berarti sampel jujur.

32

Universitas Lambung Mangkurat


33

Sampel diambil dengan teknik systematic random sampling dengan jumlah

sampel penelitian korelasional menurut Fraenkel dan Wallen yaitu 50 orang. 41

C. Instrumen Penelitian

1. Lembar isian data dasar

2. Kuesioner Lie-Minessota Multiphasic Personality Inventory (L-MMPI)

3. Kuesioner kecemasan Beck Anxiety Inventory (BAI)

D. Variabel Penelitian

1. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah lama menderita ulkus kaki diabetik.

2. Variabel terikat dalam penelitian ini adalah gejala kecemasan.

3. Variabel pengganggu dalam penelitian ini antara lain:

a. Kejujuran sampel dikendalikan dengan kuesioner L-MMPI yang apabila

menjawab tidak 10 dinyatakan tidak jujur, sedangkan jawaban tidak

<10 dinyatakan jujur.42

b. Ancaman integritas diri, kondisi medis dan potensial stresor dikendalikan

dengan mengambil kriteria penderita DM tipe 2 dengan komplikasi ulkus

kaki diabetik dan lama menderita DM tipe 2 10 tahun.

c. Kondisi fisik dan jenis tindakan terapi dikendalikan dengan mengambil

kriteria tingkat keparahan ulkus kaki diabetik derajat II dan derajat III

d. Variasi usia penderita ulkus kaki diabetik dikendalikan dengan hanya

mengambil kriteria berusia 46 65 tahun.

e. Tingkat pendidikan dikendalikan dengan hanya mengambil kriteria tingkat

pendidikan rendah atau lulusan terakhir adalah SD hingga SMP/sederajat.

Universitas Lambung Mangkurat


34

f. Status sosial ekonomi dikendalikan dengan hanya memilih sampel yang

memiliki status ekonomi keluarga UMP Kalimantan Selatan tahun 2016

atau setara Rp.2.085.050,-.

g. Ancaman sistem diri, akses informasi, proses adaptasi, komunikasi

terapeutik, maturitas, respon koping, tipe kepribadian, lingkungan dan

situasi, dukungan sosial, pengalaman menjalani pengobatan, serta konsep

diri dan peran tidak dapat dikendalikan karena sulit untuk dideteksi peneliti.

h. Jenis kelamin, tidak dapat dikendalikan karena keterbatasan sampel.

E. Definisi Operasional

1. Ulkus kaki diabetik derajat II adalah komplikasi DM berupa luka luas yang

sudah melibatkan tendon tanpa abses pada kaki (dari tungkai ke bawah) dan

derajat III berupa luka dalam dengan abses berdasarkan klasifikasi Wagner

yang digunakan oleh petugas kesehatan di poli kaki diabetik RSUD Ulin

Banjarmasin dan tercatat dalam rekam medis sampel.

2. Lama menderita ulkus kaki diabetik yaitu jumlah waktu (dalam minggu) sejak

sampel mengetahui menderita ulkus kaki diabetik hingga saat dilakukan

penelitian. Pada penelitian ini, lama menderita ulkus kaki diabetik

diklasifikasikan menjadi dua, yaitu 8 minggu dan >8 minggu.

3. Kecemasan adalah perasaan subjektif yang digambarkan dengan

ketidaknyamanan atau kekhawatiran, ketakutan, dan ketidakpastian pada suatu

hal yang tidak diketahui dan dapat muncul tanpa sebab. Gejala kecemasan

bermanifestasikan sebagai gangguan somatik, gangguan kognitif, dan

gangguan afektif. Penilaian gejala kecemasan pada penelitian ini menggunakan

Universitas Lambung Mangkurat


35

metode BAI dengan skor 9 dikatakan tidak cemas dan skor >9 dikatakan

cemas.

F. Prosedur Penelitian

1. Tahap penemuan masalah dan studi pendahuluan

Melakukan penemuan masalah dengan mencari pada literatur yang tersedia

(buku teks, hasil penelitian sebelumnya, dan sebagainya). Setelah menemukan

masalah, dilakukan studi pendahuluan ke bagian terkait untuk mendapatkan data

awal dengan sebelumnya menyerahkan persyaratan ke Unit Pengelola Karya Tulis

Ilmiah (UP-KTI) Fakultas Kedokeran Universitas Lambung Mangkurat agar dapat

meminta surat ijin studi pendahuluan. Kemudian, surat izin diserahkan ke bagian

Tata Usaha (TU) dan bagian Pendidikan dan Penelitian (Diklit) RSUD Ulin

Banjarmasin. Surat tersebut lalu diserahkan ke poliklinik kaki diabetik RSUD

Ulin Banjarmasin dan proses studi pendahuluan dapat dilaksanakan.

2. Tahap pengajuan proposal dan perizinan

Data yang terkumpul dari studi pendahuluan diolah untuk menjadi salah

satu bahan dalam membuat proposal penelitian. Kemudian proposal diseminarkan

untuk mendapat persetujuan penelitian. Proposal yang telah disetujui diserahkan

ke UP-KTI agar dapat meminta surat ijin penelitian dan ethical clearance

penelitian. Kemudian, surat izin diserahkan ke bagian Diklit RSUD Ulin

Banjarmasin. Surat lalu diserahkan ke poliklinik kaki diabetik RSUD Ulin

Banjarmasin dan penelitian dapat dilakukan dengan jangka waktu yang sudah

ditentukan.

Universitas Lambung Mangkurat


36

3. Tahap pelaksanaan

Penelitian dilakukan dengan pertama-tama mengacak urutan sampel yang

diambil dari populasi yang memenuhi kriteria kemudian sampel diberikan

penjelasan mengenai penelitian (information for consent) serta mengisi

pernyataan persetujuan untuk menjadi sampel jika bersedia dan termasuk dalam

kriteria. Kemudian sampel diminta untuk mengisi lembar isian data dasar,

kuesioner LMMPI dan kuesioner BAI. Data derajat ulkus kaki diabetik

kemudian dicocokkan dengan rekam medis sampel. Sampel yang terpilih

dilakukan penelitian berdasarkan lama menderita ulkus kaki diabetik dan ada

tidaknya gejala kecemasan.

4. Tahap pelaporan

Data yang didapatkan akan dianalisis dan di sajikan dalam tabel hasil

penelitian serta ditarik kesimpulan. Pelaporan hasil penelitian dilakukan pada

seminar hasil penelitian.

Universitas Lambung Mangkurat


37

Penemuan data dan masalah

Studi pendahuluan

Pengajuan proposal dan perizinan ethical clearance

UP-KTI, Diklit RSUD Ulin Banjarmasin, dan Kepala Bagian poliklinik


kaki diabetik RSUD Ulin Banjarmasin

Pemilihan populasi dari seluruh penderita DM tipe 2 dengan


komplikasi ulkus kaki diabetik di poliklinik kaki diabetik RSUD Ulin
Banjarmasin periode Juli September 2016

Penjelasan mengenai penelitian (information for consent), pengisian


surat pernyataan persetujuan mengikuti penelitian (informed consent)

Pengisian lembar isian data dasar, dan kuesioner LMMPI

Pencocokan data lama menderita DM tipe 2 dan derajat ulkus kaki diabetik
dengan rekam medis

Sampel penelitian

Pengisian Beck Anxiety Inventory


(BAI)

Berdasarkan gejala kecemasan Berdasarkan lama menderita

Tidak cemas 8 minggu


Cemas >8 minggu

Cemas

Data dikumpulkan dan dianalisis serta ditarik kesimpulan

Pelaporan hasil penelitian

Gambar 4.1 Skema Prosedur Penelitian Hubungan Lama Menderita Ulkus Kaki
Diabetik dengan Gejala Kecemasan di RSUD Ulin Banjarmasin

Universitas Lambung Mangkurat


38

G. Teknik Pengumpulan dan Pengolahan Data

Data yang dikumpulkan adalah data primer dan data sekunder. Data primer

merupakan hasil wawancara kuesioner. Data sekunder berupa rekam medis

sampel. Hasil pengumpulan data ditampilkan dalam bentuk tabel lalu dianalisis.

H. Analisis Data

Analisis data menggunakan uji Chi Square dengan tingkat kepercayaan 95%

dan apabila syarat uji Chi Square tidak terpenuhi maka digunakan uji alternatif,

yaitu uji Fisher Exact.43 Jika terdapat hubungan antara variabel bebas dan variabel

terikat maka akan dilanjutkan dengan menghitung Odds ratio (OR).

I. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli September tahun 2016 di

Poliklinik Kaki Diabetik RSUD Ulin Banjarmasin.

J. Biaya penelitian

Biaya penelitian ini adalah sebesar Rp 700.000,00.

Universitas Lambung Mangkurat


BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ulkus kaki diabetik

ditinjau dari lama menderita merupakan salah satu penyebab atau faktor risiko

dalam menimbulkan gejala kecemasan khususnya di Poliklinik Kaki Diabetik

RSUD Ulin Banjarmasin. Penelitian telah dilaksanakan selama 2 bulan, yaitu

bulan Juli September 2016. Sampel dipilih secara acak dari perkiraan populasi

yang sesuai kriteria secara systematic random sampling hingga didapatkan sampel

sejumlah 50 responden.

Pengumpulan data pertama kali dilakukan dengan penentuan interval dari

data studi pendahuluan serta pengundian nomor sampel dengan cara melempar

koin. Didapatkan interval pengambilan sampel setiap dua nomor dan sampel yang

diambil hanya yang bernomor ganjil dari daftar pasien pada hari tersebut.

Penderita ulkus kaki diabetik yang terpilih dijelaskan information for consent dan

jika bersedia kemudian mengisi lembar informed consent, data isian dasar, serta

kuesioner L-MMPI. Jawaban instrumen penelitian yang telah diisi responden

langsung dicocokkan dengan rekam medik responden dan dievaluasi apakah

sesuai dengan kriteria inklusi. Jika terpenuhi kriteria inklusi, responden dapat

melanjutkan mengisi BAI. Pengisian instrumen penelitian dilakukan dengan

teknik wawancara langsung oleh peneliti. Hasil penelitian dianalisis menggunakan

uji Chi Square SPSS 16 dengan tingkat kepercayaan 95%.

39

Universitas Lambung Mangkurat


40

Menurut distribusi subjek penelitian berdasarkan kategori jenis kelamin,

pasien ulkus kaki diabetik berjenis kelamin laki-laki yang menjadi sampel dalam

penelitian ini berjumlah 16 orang (32%), sedangkan pasien ulkus kaki diabetik

yang mempunyai jenis kelamin perempuan berjumlah 34 orang (68%). Data

tersebut menunjukkan bahwa proporsi kasus ulkus kaki diabetik lebih banyak

terjadi pada pasien berjenis kelamin perempuan daripada laki-laki. Hal ini sesuai

dengan penelitian Khaier (2015) bahwa jumlah pasien ulkus perempuan lebih

banyak daripada laki-laki dikarenakan perubahan hormonal yang tidak stabil pada

perempuan yang dapat mempengaruhi sensitivitas sel-sel tubuh terhadap insulin,

sehingga dapat memperburuk kadar gula darah dan dapat menyebabkan

komplikasi diabetes dari waktu kewaktu.44

Analisa data dalam penelitian ini dengan menggunakan analisis univariat

dan bivariat. Berdasarkan hasil penelitian yang telah didapat, kedua analisis

tersebut dapat disajikan sebagai berikut.

A. Analisa Univariat

Analisa ini digunakan untuk menggambarkan distribusi frekuensi dari tiap

variabel. Variabel bebas adalah lama menderita ulkus kaki diabetik, sedangkan

variabel terikat dalam penelitian ini adalah gejala kecemasan.

1) Lama menderita ulkus kaki diabetik

Distribusi frekuensi variabel lama menderita ulkus kaki diabetik pada

sampel penelitian di RSUD Ulin Banjarmasin dapat dilihat pada Tabel 5.1 berikut.

Universitas Lambung Mangkurat


41

Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Lama Menderita Ulkus Kaki Diabetik
di RSUD Ulin Banjarmasin

Lama Menderita Ulkus Kaki Diabetik F %

8 Minggu 36 72

>8 Minggu 14 28

Total 50 100,0

Tabel 5.1 menunjukkan bahwa pasien ulkus kaki diabetik dengan kategori

lama menderita 8 minggu lebih banyak daripada pasien ulkus kaki diabetik

dengan kategori lama menderita >8 minggu.

2) Gejala kecemasan

Distribusi frekuensi variabel gejala kecemasan pada sampel penelitian di

poliklinik kaki diabetik RSUD Ulin Banjarmasin dapat dilihat pada Tabel 5.2

berikut.

Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Gejala Kecemasan Ulkus Kaki


Diabetik di Poliklinik Kaki Diabetik RSUD Ulin Banjarmasin

Gejala Kecemasan F %

Cemas 30 60

Tidak Cemas 20 40

Total 50 100,0

Tabel 5.2 menunjukkan bahwa sebagian besar sampel penelitian memiliki

gejala kecemasan dibandingkan dengan yang tidak memiliki gejala kecemasan.

Hal ini sesuai dengan penelitian Rahmat (2010) yang menyatakan individu yang

Universitas Lambung Mangkurat


42

menderita penyakit DM dengan ulkus diabetikum dapat mengakibatkan

munculnya komplikasi lain selain komplikasi fisik yaitu komplikasi psikologis

yang berupa kecemasan. Kecemasan yang terjadi disebabkan karena penyakitnya

yang bersifat penyakit seumur hidup, mudah berulang, membatasi aktivitas fisik

dan sosial, serta banyaknya biaya yang dikeluarkan.45

B. Analisa Bivariat

Analisis ini digunakan untuk menganalisis hubungan lama menderita ulkus

kaki diabetik di RSUD Ulin Banjarmasin.

Tabel 5.3 Hubungan Lama Menderita Ulkus Kaki Diabetik dengan Gejala
Kecemasan di RSUD Ulin Banjarmasin

Lama Menderita Gejala Kecemasan Total Chi


Ulkus Kaki Cemas Tidak Cemas Square OR
Diabetik
F % F % F % p value
8 Minggu 25 69,4 11 30,6 36 100,0 0,029 4,091
>8 Minggu 5 35,7 9 64,3 14 100,0 (p < 0,05)
14

Dari tabel 5.3 diatas, diketahui bahwa sampel penelitian dengan lama

menderita ulkus kaki diabetik 8 minggu lebih banyak yang memiliki gejala

kecemasan, sedangkan pada sampel dengan lama menderita ulkus kaki diabetik

>8 minggu didapatkan lebih banyak yang tidak mengalami gejala kecemasan.

Hasil penelitian dianalisis dengan uji Chi Square dan menghasilkan p = 0,029

dimana p < (0,05) yang berarti terdapat hubungan antara lama menderita ulkus

kaki diabetik dengan gejala kecemasan. Nilai odd ratio (OR) sebesar 4,091 dapat

diartikan pasien ulkus kaki diabetik dengan lama menderita 8 minggu memiliki

Universitas Lambung Mangkurat


43

risiko untuk menderita gejala kecemasan sebesar empat kali lipat dibandingan

dengan pasien yang telah menderita ulkus kaki diabetik >8 minggu.

Penyembuhan luka normalnya membutuhkan waktu 3-14 hari dan kembali

seperti sedia kala dalam waktu tiga minggu pertama sejak proses penyembuhan.

Apabila luka belum atau baru sembuh atau berulang setelah lebih dari delapan

minggu, luka diklasifikasikan menjadi luka kronis. 18 Ulkus kaki diabetik rentan

terhadap infeksi, lama menderita dan kekambuhan yang akhirnya mempengaruhi

kesehatan mental pasien, salah satunya kecemasan. 38 Dari hasil penelitian,

didapatkan lama menderita ulkus kaki diabetik 8 minggu lebih berpotensi

sebanyak empat kali untuk mengalami gejala kecemasan, sesuai dengan penelitian

yang dilakukan Mahmudal dkk. (2016) yang menyatakan bahwa lama menderita

memiliki hubungan dengan tingkat kecemasan pada pasien DM tipe 2 dimana

semakin baru menderita semakin cemas. Hal ini dapat terjadi karena belum

tercapainya mekanisme koping terhadap stresor yang diderita.46

Mekanisme koping merupakan mekanisme pertahanan diri terhadap perubahan

yang terjadi baik dari dalam maupun luar diri dan terbagi menjadi dua macam,

yaitu adaptif dan maladaptif. Apabila individu melakukan tindakan yang dapat

menyesuaikan diri dan berperilaku konstruktif, maka ia melakukan mekanisme

koping adaptif. Namun, apabila individu melakukan tindakan destruktif seperti

bereaksi lambat atau berlebihan terhadap masalah, menghindar, mencederai diri,

atau meminum alkohol maka ia dikatakan melakukan mekanisme koping

maladaptif.28

Universitas Lambung Mangkurat


44

Selain itu, cara lain untuk mempertahankan diri dari stresor dalam proses

adaptasi secara psikologis, yaitu berorientasi pada tugas (task oriented reaction)

atau mekanisme pembelaan ego (ego oriented). Cara penyesuaian yang

berorientasi pada tugas berorientasi pada proses penyelesaian masalah dan dapat

berupa menghadapi stresor secara frontal, menarik diri dari keadaan, atau

berkompromi. Apabila cara penyesuaian yang dilakukan untuk mencegah

terganggunya keadaan psikologis yang lebih dalam, individu dapat melakukan

mekanisme pembelaan ego seperti denial, rasionalisasi, identifikasi, introyeksi,

represi, regresi, proyeksi, isolasi, dan sebagainya.28

Hans Selye menggambarkan dalam mekanisme dekompensasi mental atau

General Adaptation Syndrome (GAS) yang merupakan tahapan-tahapan reaksi

ketika seseorang mengatasi stresor yang dialaminya, yaitu tahap reaksi waspada,

tahap resistensi, dan tahap kelelahan. Pada tahap reaksi, mekanisme koping

adaptif atau maladaptif yang akan muncul dan berlangsung hingga 3 bulan stresor

muncul. Apabila stesor tetap berlanjut, proses dekompensasi mental akan

memasuki tahap pertahanan dimana terjadi mekanisme pertahanan ego

semaksimal mungkin. Jika tahap pertahanan tidak berhasil atau dalam waktu 6

bulan setelah stresor menghilang respon stres masih menetap, maka individu

tersebut telah memasuki tahap kelelahan dimana akan terjadi penyakit mental

menetap bahkan dapat menyebabkan kematian.28

Dari penelitian diketahui bahwa lama menderita ulkus kaki diabetik 8

minggu lebih banyak yang memiliki gejala kecemasan. Hal ini dapat dikarenakan

lama menderita 8 minggu masih termasuk dalam tahap reaksi waspada dimana

Universitas Lambung Mangkurat


45

muncul mekanisme defensif maladaptif yang berupa kecemasan yang terus-

menerus, manifestasi somatis, dan efisiensi yang rendah. 28 Berdasarkan konsep

psikoneuroimunologi (PNI), saat psikologis mengalami stres, sel juga turut

mengalami stres dan mengaktivasi aksis HPA dan juga sistem saraf otonom.

Aktivasi kedua jalur tersebut dihubungkan dengan teori Hans Selye dimana pada

tahap reaksi waspada (saat stresor berlangsung hingga 3 bulan stresor muncul)

terjadi stres tahap 1 dimana stresor psikososial atau fisik ditangkap sel nukleus

paraventrikular (PVN cells) dan sel di locus cereleus noradrenergic center di

hipotalamus sehingga terjadi aktivasi aksis HPA yang mensekresikan hormon

corticotrophin relesing hormone (CRH) dan arginine vasopressin (AVP). Kedua

hormon tadi mengirimkan sinyal ke hipofisis sehingga POMC, terutama ACTH,

tereksresi oleh hipofisis anterior. Peningkatan sekresi ACTH menyebabkan

meningkatnya sekresi kortisol dan katekolamin. Hormon tersebut dikeluarkan

untuk menjaga homeostatis dalam menghadapi stres. Dalam batas tertentu

peningkatan kortisol digunakan sebagai upaya untuk menghadapi tuntutan baru

(cope) dengan peningkatan kebutuhan energi yang diakibatkan oleh stresor,

sedangkan katekolamin pada sistem saraf otonom akan membuat peningkatan

sistem kardiorespirasi dan neurohormonal yang akan menjadi manifestasi gejala

kecemasan yaitu hiperaktivitas saraf otonom.47

Gejala kecemasan yang muncul saat lama menderita ulkus kaki diabetik

8 minggu belum dapat dikatakan gangguan karena apabila penyesuaian diri

terhadap stres berjalan lancar dalam tahap reaksi waspada maka individu tersebut

dapat dikatakan normal atau eustres. Apabila penyesuaian yang dilakukan tidak

Universitas Lambung Mangkurat


46

berhasil/tidak cocok, pada saat itu individu dapat dikatakan sakit atau mengalami

distres yang mana akan terjadi mekanisme pertahanan ego.28 Pada sampel dengan

lama menderita ulkus kaki diabetik 8 minggu yang tidak mengalami gejala

kecemasan, dapat diartikan memiliki respon koping stres adaptif yang

membantunya melawan stresor sehingga tidak menimbulkan distres dan

mekanisme koping adaptif ini muncul lebih cepat daripada yang lama menderita

ulkus kaki diabetik 8 minggu.28 Selain itu, banyak faktor lain yang

mempengaruhi munculnya kecemasan seperti maturitas, tipe kepribadian,

lingkungan dan situasi, serta dukungan sosial orang sekitar dimana terdapat

perbedaan tiap orang. 24,25

Lamanya menderita ulkus kaki diabetik akan mempengaruhi pengalaman

serta pengetahuan individu dalam pengobatan dan perawatan luka ulkus kaki

diabetik sehingga sebagian besar dari mereka dapat beradaptasi dengan keadaan

sekarang yang mereka rasakan. Selain itu, semakin lama menjalani perawatan

ulkus kaki diabetik maka semakin tinggi akses informasi pasien terhadap penyakit

maupun terapinya sehingga semakin rendah kecemasan yang akan muncul. 27 Hal

ini sesuai dengan hasil penelitian dimana lama menderita ulkus kaki diabetik >8

minggu didapatkan lebih banyak yang tidak mengalami gejala kecemasan

dibandingkan yang mengalami gejala kecemasan.

Menurut konsep neuroplastisitas, pada sel otak terjadi perubahan volume

ketika terjadi suatu perubahan kondisi pada mental maupun fisik. Perubahan

volume merupakan suatu mekanisme homeostasis tubuh yang mana saat terjadi

stres dari eksternal juga terjadi stres pada internal tubuh sesuai konsep PNI.

Universitas Lambung Mangkurat


47

Perubahan volume dapat terjadi dengan terbentuknya atau berkurangnya bagian-

bagian sel-sel neuron dan sel glia (neurogenesis) serta pembentukkan koneksi

baru atau perubahan dalam proses yang ada seperti pembentukkan atau eliminasi

sinaps, remodeling atau pemangkasan dendrit dan akson. Ketika stres melanda,

terjadi penekanan terhadap neurogenesis yang akan menurunkan volume otak.

Namun berdasarkan konsep ini, otak memiliki kemampuan plastisitas adaptif yang

membantu perkembangan otak agar dapat berfungsi secara optimal menghadapi

stresor yang ada walaupun perbaikan kerusakan tidak seperti sedia kala terutama

pada stres kronis atau berat.48,49

Selain itu, pada saat menderita ulkus kaki diabetik >8 minggu diperkirakan

telah memasuki tahap adaptasi yang dapat berlangsung mulai dari stresor muncul

hingga sebelum 6 bulan setelah stresor menghilang (sebelum tahap kelelahan

berlangsung) yang mana terjadi pengurangan sinyal glukokortikoid sehingga

terjadi penurunan produksi kortisol. Beberapa penelitian telah mengkonfirmasi

keadaan hipokortisol pada orang-orang yang mengalami stres kronis, orang-orang

dengan jadwal yang tidak terprediksi, dan orang-orang dengan pengalaman

trauma pada awal kehidupannya. Di bawah pengaruh stres kronis, terjadi respon

hiperkortisol adaptif yang mengawali perubahan dari waktu ke waktu menjadi

keadaan hipokortisol untuk menjaga dan melindungi sistem metabolik tubuh dan

terutama otak dari ketidakresponan umpan balik negatif.50 Berdasarkan penjelasan

ini, semakin lama menderita ulkus kaki diabetik yang merupakan stresor dalam

penelitian ini, terjadi penurunan kortisol sehingga gejala kecemasan seperti pada

stres akut tidak muncul.

Universitas Lambung Mangkurat


48

Pada sampel yang menderita ulkus kaki diabetik >8 minggu yang

mengalami gejala kecemasan memiliki potensi yang lebih besar mengalami

gangguan psikiatri yang sebenarnya daripada yang menderita ulkus kaki diabetik

8 minggu. Hal ini dapat dikarenakan lama >8 minggu hampir memasuki tahap

kelelahan dimana terjadi gangguan penyesuaian yang lebih berat.28 Karenanya,

walaupun sedikit yang mengalami gejala kecemasan pada lama menderita >8

minggu, perlu observasi lebih lanjut terhadap pasien yang mengalami gejala

kecemasan dengan lama menderita ulkus kaki diabetik >8 minggu untuk

mencegah berlanjutnya respon stres hingga tahap kelelahan yang dapat menjadi

penyakit mental menetap.

Walaupun penderita ulkus kaki diabetik dengan lama menderita >8

minggu lebih berpotensi untuk menjadi gangguan mental, perlu dilakukan

diagnosis dan intervensi sejak awal jika didapati gejala kecemasan baik pada lama

menderita ulkus kaki diabetik >8 minggu maupun 8 minggu. Intervensi sejak

awal dapat berupa konseling yang menurut hasil penelitian Rahmat (2010),

konseling dapat menurunkan kecemasan dan meningkatkan kualitas hidup pasien

DM.51

Keterbatasan penelitian ini antara lain penelurusan sampel yang tidak

langsung ke masyarakat sehingga data yang didapat kemungkinan bias

dikarenakan tidak meneliti keseluruhan populasi ulkus kaki diabetik yang lama

menderita sekaligus mengalami kecemasan tetapi tidak berobat ke RSUD Ulin

Banjarmasin sebagai perbandingan data untuk populasi ulkus kaki diabetik yang

baru menderita tapi juga mengalami kecemasan dan berobat ke RSUD Ulin

Universitas Lambung Mangkurat


49

Banjarmasin. Kemudian, penggunaan metode cross sectional pada penelitian

sehingga tidak didapatkan persebaran sampel yang merata antara kategori lama

menderita 8 minggu dan >8 minggu. Selain itu, masih banyak faktor-faktor

pengganggu yang tidak dapat dikendalikan seperti jenis kelamin, ancaman sistem

diri, akses informasi, proses adaptasi, komunikasi terapeutik, maturitas, respon

koping, potensial stresor lain, tipe kepribadian, lingkungan dan situasi, dukungan

sosial, pengalaman menjalani pengobatan, serta konsep diri dan peran karena sulit

untuk dideteksi oleh peneliti saat penelitian berlangsung. Adapun kendala dalam

penelitian ini antara lain peneliti harus menunggu pasien selesai perawatan ulkus

kaki diabetiknya untuk dapat diwawancarai dan terkadang bentrok dengan jadwal

perkuliahan. Selain itu, beberapa responden yang masuk dalam kriteria penelitian

menolak untuk ikut berpartisipasi dalam penelitian ini.

Universitas Lambung Mangkurat


BAB VI

PENUTUP

A. Simpulan

Simpulan berdasarkan penelitian yang telah dilakukan adalah:

1. Didapatkan jumlah penderita DM tipe 2 yang mengalami ulkus kaki

diabetik dengan kategori lama menderita 8 minggu sebanyak 36 responden

(72%), sedangkan kategori lama menderita >8 minggu sebanyak 14

responden (28%).

2. Ditemukan sampel sebanyak 30 responden (60%) mengalami gejala

kecemasan, sedangkan sampel yang tidak mengalami gejala kecemasan

sebanyak 20 responden (40%).

3. Terdapat hubungan yang bermakna antara lama menderita ulkus kaki

diabetik dengan gejala kecemasan di RSUD Ulin Banjarmasin.

B. Saran

1. Penelitian Lain

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang faktor-faktor pengganggu

yang belum bisa dikendalikan antara lama menderita ulkus kaki diabetik dan

gejala kecemasan sehingga bisa dibahas secara mendalam. Selain itu, perlu

dilakukan dengan pendekatan penelitian yang berbeda seperti case control atau

kohort dan dilakukannya pengambilan serta penelusuran data di masyarakat

langsung agar persebaran sampel antar kategori lebih merata dan tidak bias.

50

Universitas Lambung Mangkurat


51

2. Instansi Terkait

Petugas kesehatan di instansi terkait diharapkan dapat meningkatkan

pemberian edukasi tentang pencegahan komplikasi ulkus kaki diabetik terhadap

penderita DM tipe 2 serta dilakukannya skrining dan diagnosis gejala kecemasan

sejak awal menderita ulkus kaki diabetik agar tidak terjadi keterlambatan

penanganan hingga menyebabkan gangguan kecemasan yang menetap.

3. Masyarakat

Dukungan dan motivasi masyarakat, terutama kerabat terdekat, terhadap

penderita DM tipe 2 dengan ulkus kaki diabetik diharapkan lebih ditingkatkan

sejak awal penderita menderita penyakitnya dalam semua aspek untuk

mengurangi dampak yang terjadi pada penderita dan membantu penderita

beradaptasi terhadap perubahan-perubahan yang terjadi akibat penyakitnya.

Universitas Lambung Mangkurat


DAFTAR PUSTAKA

1. World Health Organization. Diabetes fact sheet. Department of


Noncommunicable Disease and Environmental Health; 2013.

2. Smeltzer SC, Bare BG, Hinkle JL and Cheever KH. Brunner & Suddarts
Textbook of medical surgical nursing. 12th Edition. Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins, 2010.

3. Departemen Kesehatan RI. Riset kesehatan dasar 2013. Jakarta: Badan


Penelitian Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI; 2013.

4. Pendsey SP. Understanding diabetic foot. International Journal of Diabetes in


Developing Countries. 2010;30(2):75-9.

5. Supriyadi D, Kusyati E dan Sulistyawati E. Pengaruh pendidikan kesehatan


dengan metode demonstrasi terhadap kemampuan merawat kaki pada
penderita diabetes melitus. Jurnal Manajemen Keperawatan. 2013;1(1):39-47.

6. Waspadji S. Kaki diabetes. Dalam: Aru WS, dkk, editors. Buku ajar ilmu
penyakit dalam jilid III. Edisi IV. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2006.

7. Poliklinik Kaki Diabetik. Buku Register Rawat Jalan. Banjarmasin: Rumah


Sakit Umum Daerah Ulin, 2015.

8. Rehman AU dan Syeda FK. Prevalence and level of depression, anxiety, and
stress among patients with type 2 diabetes mellitus. Annals of Pakistan
Institute of Medical Science. 2015;11(2):81-6.

9. Baharuddin HK dan Eviyanti KT. Hubungan tingkat kecemasan dan


komplikasi ulkus kaki diabetik pada pasien DM tipe II di RSUD Labuang
Baji Makassar. Jurnal Ilmiah Kesehatan Diagnosis. 2014;5(4):516-20.

10. Stahl SM. Stahls essential psychopharmacology: neuroscientific basis and


practical application. 4th Edition. New York: Cambridge University Press,
2013.

11. Sadock BJ and Sadock VA. Kaplan & Sadocks: buku ajar psikiatri klinis.
Edisi 2. Jakarta: EGC, 2010.

52

Universitas Lambung Mangkurat


53

12. Hawari D. Manajemen stress, cemas dan depresi. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI, 2006.

13. Neeru B, Gagandeep K, Pal A, Bajwa SJ, Harbandna S and Rajesh K.


Psychosocial, psychiatric, and clinical implications of diabetic foot
ulceration: A prospective analysis. J Soc Heal Diabetes. 2015;3(2):89-94.

14. Wiyadi, Loriana R dan Lusty J. Hubungan tingkat kecemasan dengan kadar
gula darah pada penderita diabetes melitus. Jurnal Husada Mahakam.
2013;3(6):263-318.

15. Misnadiarly. Diabetes melitus, gangren, ulcer, infeksi: mengenali gejala,


menanggulangi, dan mencegah komplikasi. Jakarta: Pustaka Obor Populer,
2006.

16. Tambunan, Yunizar, Monalisa dan Gultom. Perawatan kaki diabetik. Dalam:
Soegondo, dkk, editors. Penatalaksanaan diabetes melitus terpadu. Edisi 7.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2009.

17. Clayton W and Tom AE. A review of pathophysiology, classification, and


treatment of foot ulcers in diabetic patients. Clinical Diabetes Journal.
2009;27(2):52-8.

18. Liu ZJ and Velazquez OC. Hyperoxia, endothelial progenitor cell


mobilization and diabetic wound healing. Journal of Antioxidan and Redox
Signaling. 2008;10(11):1869-82.

19. Waspadji S. Kaki diabetes. Dalam: Siti S, dkk, editors. Buku ajar ilmu
penyakit dalam jilid II. Edisi VI. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2014.

20. Hastuti RT. Faktorfaktor risiko ulkus kaki diabetika pada penderita diabetes
melitus: studi kasus di RSUD Dr. Moewardi Surakarta (Tesis). Semarang:
Program Studi Magister Epidemiologi Universitas Diponegoro; 2013.

21. Norhidayah. Gambaran kejadian kecemasan pada ibu penderita retardasi


mental sindromik di SLB-C Banjarmasin (Skripsi). Banjarmasin: Fakultas
Kedokteran UNLAM; 2012.

22. Dixon T. Understanding anxiety problems. Help-For [book online]. 2015


[cited 2016 Mar 30]. Available from: www.help-for.com

Universitas Lambung Mangkurat


54

23. American Psychiatric Association. Diagnostic and statistical manual of


mental disorder: DSM V. 5th Edition. Arlington, VA: American Psychiatric
Association, 2013

24. Wita PS. Hubungan antara kepekaan humor dengan kecemasan menghadapi
penyusunan skripsi pada mahasiswa (Skripsi). Surabaya: Program Studi
Psikologi Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi Institus Agama Islam
Negeri Sunan Ampel; 2013.

25. Barlow, David dan Mark D. Intisari psikologi abnormal. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar; 2006.

26. Lutfa U dan Maliya A. Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kecemasan


pasien dalam tindakan kemoterapi di rumah sakit dr. Moewardi Surakarta.
Berita Ilmu Keperawatan. 2008;1(4):188-9.

27. Dyah SM dan Gun Gun AG. Pengaruh kecemasan terhadap kadar glukosa
darah pada penderita diabetes mellitus di wilayah Puskesmas Banyuanyar
Surakarta. Talenta Psikologi. 2013;2(2):180-97.

28. Maramis dan Willy F. Catatan ilmu kedokteran jiwa. Edisi 2. Surabaya:
Airlangga University Press; 2009.

29. Schneiderman N, Gail I, Scott DS. Stress and health: psychologycal,


behavioral and biological determinants. National Institutes of Health 2005;
1:607-628.

30. Kaplan HI dan Sadock BJ. Sinopsis psikiatri. Edisi 8. Tangerang: Binarupa
Aksara Publisher, 2005.

31. Ayunsari BR, Fasikhah SS dan Karmiyati D. Relaksasi kesadaran indera


untuk menurunkan tingkat kecemasan penderita diabetes melitus. Jurnal
Intervensi Psikologi. 2012;4(2):269-86.

32. Beck AT and Steer RA. Beck anxiety inventory manual. San Antonio, TX:
Harcourt Brace and Company, 1993.

33. Rush AJ, First MB and Burns B. Handbook of psychiatric measures. 2 nd


Edition. American Psychiatric Publishing Inc., 2008.

Universitas Lambung Mangkurat


55

34. Leyfer OT, Ruberg JL and Borden JW. Manual for the beck anxiety
inventory. San Antonio: Psychological Corporation, 2006.

35. Antony MM, Orsillo SM and Roemer L. Practitioners guide to empirically


based measures of anxiety. New York: Kluwer Academic Publishers, 2002.

36. Julian LJ. Measures of anxiety. Arthritis Care Res (Hoboken). 2011;63(11):1-
11.

37. Taluta YP, Mulyadi dan Hamuel RS. Hubungan tingkat kecemasan dengan
mekanisme koping pada penderita diabetes melitus tipe II di poliklinik
penyakit dalam RSUD Tobelo Kabupaten Halmahera Utara. eJournal
Keperawatan. 2014;2(1):1-9.

38. Singh S, Pai DR and Yuhhui C. Diabetic foot ulcer: diagnosis and
management. Clinical Research Foot and Ankle. 2013;1(3):1-9.

39. Herber OR, Wilfried S and Monika AR. A systematic review on the impact of
leg ulceration on patients quality of life. Biomed Central. 2007;5:1-12.

40. Maslim R. Diagnosis gangguan jiwa: rujukan ringkas PPDGJ-III. Jakarta: PT


Nuh Jaya, 2001.

41. Fraenkel JR and Wallen NE. How to design and evaluate research in
education. New York: McGrawHill Inc., 2008.

42. Azwar. Konsep pengukuran validitas. Jakarta: Gunadharma Press, 2007.

43. Dahlan, MS. Mendiagnosis, menatalaksana 13 penyakit statistik: disertai


aplikasi program strata. Seri 7. Jakarta: Sagung Seto, 2009.

44. Nuhayati Khaier. Faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian ulkus


diabetikum pada pasien diabetes melitus tipe 2. Jurnal Ilmu Keperawatan
Indonesia. 2015;5(2):9-18.

45. Utami DT, Darwin K, dan Agrina. Faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas
hidup pasien diabetes mellitus dengan ulkus diabetikum. JOM PSIK
Universitas Riau. 2014;1(2):1-7.

Universitas Lambung Mangkurat


56

46. Mahmudal NL, Thohirun, dan Irma P. Faktor yang berhubungan dengan
tingkat kecemasan penderita diabetes mellitus tipe 2 di rumah sakit nusantara
medika utama. Artikel Ilmiah Hasil Penelitian Mahasiswa. 2016:1-7.

47. Suparno. Penurunan produktivitas kerja terkait distres psikologis, serta terapi
mandiri yang mudah dan murah. Jurnal Aplikasi Manajemen. 2009;7(2):387-
400.

48. Kays JL, Robin AH, dan Katherine HT. The dynamic brain: neuroplasticity
and mental health. Journal of Neuropsychiatry Clinic Neuroscience.
2012;24(2):118-23.

49. Nava E. dan Brigitte R. Adaptation and maladaptation: insights from brain
plasticity. Progress in Brain Research. 2011;191(12):177-94.

50. Guilliams T.G. dan Lena E. Chronic stress and the HPA axis: clinical
assessment and therapeutic considerations. Poin Institute of Nutraceutical
Research. 2010;9(2):1-12.

51. Rahmat WP. Pengaruh konseling terhadap kecemasan dan kualitas hidup
pasien diabetes mellitus di Kecamatan Kebakkramat (Tesis). Solo: Program
Pasca Sarjana Universitas Sebelas Maret; 2010.

Universitas Lambung Mangkurat

Anda mungkin juga menyukai