2. Epidemiologi/Insiden Kasus
Vertigo adalah gejala yang sering pada populasi umum dengan prevalensi 12
bulan 5% dan 1,4% insiden pada orang dewasa. Prevalensi meningkat dengan usia dan
sekitar dua sampai tiga kali lebih tinggi pada wanita dibandingkan pada pria. Hal ini
menyumbang sekitar 2-3% dari kunjungan gawat darurat (Thia, 2011).
Vertigo perlu dipahami karena merupakan keluhan nomor tiga yang paling sering
dikemukakan oleh penderita yang datang ke praktek umum, bahkan orang tua usia
sekitar 75 tahun, 50% datang ke dokter dengan keluhan vertigo. Rasa pusing (dizziness)
dan vertigo adalah gejala-gejala yang paling umum menyebabkan pasien mengunjungi
dokter (sama umumnya dengan sakit kepala dan sakit punggung). Insidensi timbulnya
pusing, vertigo, dan ketidakseimbangan adalah 5-10%, dan mencapai 40% pada pasien-
pasien yang berusia lebih dari 40 tahun. Insidensi terjadinya jatuh adalah 25% pada
pasien berusia lebih dari 65 tahun. Jatuh bisa merupakan suatu konsekuensi langsung
dari rasa pusing di populasi ini, dan risiko ini bercampur dengan defisit-defisit neurologi
lain (Thia, 2011).
Kehilangan pendengaran ringan adalah bentuk kecacatan yang paling umum di
Amerika Serikat. Insidensi hilang pendengaran adalah 25% pada orang-orang yang
berusia kurang dari 25 tahun, dan mencapai 40% pada orang berusia lebih dari 40 tahun.
Sekitar 25% populasi melaporkan terjadinya tinnitus. Tinnitus dan hilang pendengaran
biasanya dihubungkan dengan penyakit-penyakit labirin, yang mendorong ke arah
terjadinya pusing dan vertigo (Thia, 2011).
Migren lebih lazim (10%) dibandingkan penyakit Mnire (<1%). Sekitar 40%
dari pasien-pasien dengan migren mengalami pusing, mabuk jika naik mobil dan lain-
lain, dan kehilangan pendengaran ringan. Oleh karena itu, kadang sulit membedakan
migren dengan gangguan-gangguan telinga dalam primer (Thia, 2011).
3. Penyebab/Faktor Predisposisi
Vertigo berbeda dengan dizziness, suatu pengalaman yang mungkin pernah kita
rasakan, yaitu kepala terasa ringan saat akan berdiri. Sedangkan vertigo bisa lebih berat
dari itu, misalnya dapat membuat kita sulit untuk melangkah karena rasa berputar yang
mempengaruhi keseimbangan tubuh. Adanya penyakit vertigo menandakan adanya
gangguan sistem deteksi seseorang (Thia, 2011).
Tubuh merasakan posisi dan mengendalikan keseimbangan melalui organ
keseimbangan yang terdapat di telinga bagian dalam. Organ ini memiliki saraf yang
berhubungan dengan area tertentu di otak. Vertigo bisa disebabkan oleh kelainan di
dalam telinga, di dalam saraf yang menghubungkan telinga dengan otak dan di dalam
otaknya sendiri. Vertigo juga bisa berhubungan dengan kelainan penglihatan atau
perubahan tekanan darah yang terjadi secara tiba-tiba (Thia, 2011).
Penyebab terjadinya vertigo dikarenakan adanya gangguan pada sistem
keseimbangan tubuh. Bisa berupa trauma, infeksi, keganasan, metabolik, toksik,
vaskular, atau autoimun. Sistem keseimbangan tubuh kita dibagi menjadi 2 yaitu sistem
vestibular (pusat dan perifer) serta non vestibular (visual; retina, otot bola mata, dan
somatokinetik; kulit, sendi, otot) (Thia, 2011).
Penyebab umum dari vertigo (Thia, 2011):
1) Keadaan lingkungan
Motion sickness (mabuk darat, mabuk laut)
2) Obat-obatan
Alkohol
Gentamisin
3) Kelainan sirkulasi
Transient ischemic attack (gangguan fungsi otak sementara karena berkurangnya
aliran darah ke salah satu bagian otak) pada arteri vertebral dan arteri basiler
4) Kelainan di telinga
Endapan kalsium pada salah satu kanalis semisirkularis di dalam telinga bagian
dalam (menyebabkan benign paroxysmal positional vertigo)
Infeksi telinga bagian dalam karena bakteri Herpes zoster
Labirintitis (infeksi labirin di dalam telinga)
Peradangan saraf vestibuler
Penyakit Meniere
5) Kelainan neurologis
Sklerosis multipel
Patah tulang tengkorak yang disertai cedera pada labirin, persarafannya atau
keduanya
Tumor otak
Tumor yang menekan saraf vestibularis.
4. Patofisiologi
Vertigo timbul jika terdapat ketidakcocokan informasi aferen yang disampaikan
ke pusat kesadaran. Susunan aferen yang terpenting dalam sistem ini adalah susunan
vestibuler atau keseimbangan, yang secara terus-menerus menyampaikan impulsnya ke
pusat keseimbangan (Prasti Pirawati, 2004).
Susunan lain yang berperan ialah sistem optik dan pro-prioseptik, jaras-jaras yang
menghubungkan nuklei vestibularis dengan nuklei N. III (okulomotorius), IV (troklearis)
dan VI (abdusens), susunan vestibuloretikularis, dan vestibulospinalis (Prasti Pirawati,
2004).
Informasi yang berguna untuk keseimbangan tubuh akan ditangkap oleh reseptor
vestibuler, visual, dan proprioseptik; reseptor vestibuler memberikan kontribusi paling
besar, yaitu lebih dari 50% disusul kemudian reseptor visual dan yang paling kecil
kontribusinya adalah proprioseptik (Prasti Pirawati, 2004).
Dalam kondisi fisiologis/normal, informasi yang tiba di pusat integrasi alat
keseimbangan tubuh berasal dari reseptor vestibuler, visual dan proprioseptik kanan dan
kiri akan diperbandingkan, jika semuanya dalam keadaan sinkron dan wajar, akan
diproses lebih lanjut. Respon yang muncul berupa penyesuaian otot-otot mata dan
penggerak tubuh dalam keadaan bergerak. Di samping itu orang menyadari posisi kepala
dan tubuhnya terhadap lingkungan sekitar (Prasti Pirawati, 2004).
Jika fungsi alat keseimbangan tubuh di perifer atau sentral dalam kondisi tidak
normal/tidak fisiologis, atau ada rangsang gerakan yang aneh atau berlebihan, maka
proses pengolahan informasi akan terganggu, akibatnya muncul gejala vertigo dan gejala
otonom. Di samping itu, respons penyesuaian otot menjadi tidak adekuat sehingga
muncul gerakan abnormal yang dapat berupa nistagmus (gerakan mata yang cepat dari
kiri ke kanan atau dari atas ke bawah), unsteadiness (keadaan yang tidak tenang), ataksia
(gejala berupa pudarnya kemampuan koordinasi atas gerakan otot) saat berdiri/berjalan
dan gejala lainnya (Prasti Pirawati, 2004).
a) Vertigo fisiologik
Sistem vestibular dihadapkan pada gerakan kepala yang tidak lazim dan tidak
pernah diadaptasi sebelumnya, seperti ketika seseorang mengalami mabuk laut.
Posisi kepala/leher yang tidak lazim, seperti ekstensi yang berlebihan ketika
seseorang mengecat langit-langit rumah.
b) Vertigo patologik
Kedaan ini terjadi akibat lesi pada sistem visual, somatosensorik atau vestibuler.
Vertigo visual disebabkan oleh pemandangan yang baru atau tidak tepat atau karena
timbulnya paresis otot ekstraokuler yang tiba-tiba dengan diplopia; pada keaadaan
lainnya, kompensasi sistem saraf pusat menetralkan vertigo secara cepat. Vertigo
somatosensoris, jarang dalam isolasi, biasanya disebabkan oleh neuropati perifer yang
menurunkan masuknya sensoris yang perlu untuk kompensasi sentral jika terdapat
disfungsi sistem vestibuler atau visual (Prasti Pirawati, 2004).
Vertigo yang disebabkan oleh masalah dengan telinga bagian dalam atau sistem
vestibular disebut "perifer", "otologic" atau "vestibular". Penyebab paling umum adalah
benign paroxysmal positional vertigo (BPPV), tetapi penyebab lain termasuk penyakit
Mnire, sindrom kanal dehiscence unggul, labyrinthitis dan vertigo visual. Setiap
penyebab peradangan seperti pilek, influenza, dan infeksi bakteri bisa menyebabkan
vertigo transien jika mereka melibatkan telinga bagian dalam, seperti trauma kimia
(misalnya, aminoglikosida ) atau trauma fisik (misalnya, patah tulang tengkorak).
Motion sickness kadang-kadang diklasifikasikan sebagai penyebab dari vertigo perifer
(Prasti Pirawati, 2004).
Jika vertigo muncul dari pusat keseimbangan otak, biasanya lebih ringan, dan
memiliki defisit neurologis yang menyertainya, seperti bicara cadel, penglihatan ganda
atau nistagmus patologis . Patologi otak dapat menyebabkan sensasi disekuilibrium yang
merupakan sensasi ketidakeseimbangan. Sejumlah kondisi yang melibatkan sistem saraf
pusat dapat menyebabkan vertigo termasuk: sakit kepala migrain, sindrom meduler
lateralis, multiple sclerosis (Prasti Pirawati, 2004).
c) Vertigo psikogenik
Selain penyebab dari segi fisik, penyebab lain munculnya vertigo adalah pola
hidup yang tak teratur, seperti kurang tidur atau terlalu memikirkan suatu masalah hingga
stres. Vertigo yang disebabkan oleh stres atau tekanan emosional disebut vertigo
psikogenik (Prasti Pirawati, 2004).
d) Vertigo neurologik
e) Vertigo sistemik
Vertigo sistemik adalah keluhan vertigo yang disebabkan oleh penyakit tertentu,
misalnya diabetes mellitus, hipertensi dan jantung (Prasti Pirawati, 2004).
Berdasarkan gejala klinisnya, vertigo dapat dibagi atas beberapa kelompok (Prasti
Pirawati, 2004) :
a) Vertigo paroksismal
b) Vertigo kronis
Vertigo kronis adalah vertigo yang menetap, keluhannya konstan tanpa serangan
akut, dibedakan menjadi:
Yang disertai keluhan telinga : Otitis media kronika, meningitis Tb, labirintitis
kronis, Lues serebri, lesi labirin akibat bahan ototoksik, tumor serebelopontin
(Prasti Pirawati, 2004).
Disertai keluhan telinga : Trauma labirin, herpes zoster otikus, labirintitis akuta,
perdarahan labirin, neuritis N.VIII (vestibula koklearis), cedera pada auditiva
interna/arteria vestibulokoklearis (Prasti Pirawati, 2004).
Tanpa keluhan telinga : Neuronitis vestibularis, sindrom arteria vestibularis
anterior, ensefalitis vestibularis, vertigo epidemika, sklerosis multipleks,
hematobulbi, sumbatan arteria serebeli inferior posterior (Prasti Pirawati, 2004).
6. Gejala Klinis
Perasaan berputar yang kadang-kadang disertai gejala sehubungan dengan reak
dan lembab yaitu mual, muntah, rasa kepala berat, nafsu makan turun, lelah, lidah pucat
dengan selaput putih lengket, nadi lembut atau seperti senar dan halus (Prasti Pirawati,
2004).
Vertigo adalah sensasi berputar sementara stasioner, hal ini umumnya terkait
dengan kegoyangan, dan berlebihan keringat. Episode berulang pada mereka dengan
vertigo yang umum dan mereka sering merusak kualitas hidup. Penglihatan kabur,
penglihatan kabur, tinitus, mulut pahit, mata merah, mudah tersinggung, gelisah,
kesulitan berbicara, menurunkan tingkat dari kesadaran, dan tingkat kehilangan
pendengaran juga dapat terjadi. Sistem saraf pusat dapat menyebabkan gangguan gejala
permanen (Prasti Pirawati, 2004).
7. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik ditujukan untuk meneliti faktor-faktor penyebab, baik kelainan
sistemik, otologik atau neurologic vestibuler atau serebeler; dapat berupa pemeriksaan
fungsi pendengaran dan keseimbangan, gerak bola mata/nistagmus dan fungsi serebelum
(Thia, 2011).
Faktor sistemik yang juga harus dipikirkan/dicari antara lain aritmi jantung,
hipertensi, hipotensi, gagal jantungkongestif, anemi, hipoglikemi. Dalam menghadapi
kasus vertigo, pertama-tama harus ditentukan bentuk vertigonya, lalu letak lesi dan
kemudian penyebabnya, agar dapat diberikan terapi kausal yang tepat dan terapi
simtomatik yang sesuai (Thia, 2011).
Pemeriksaan fisik (Odesyafar, 2011) :
Pemeriksaan mata
Pemeriksaan alat keseimbangan tubuh
Pemeriksaan neurologik
Pemeriksaan otologik
Pemeriksaan fisik umum. Pada pemeriksaan fisik diarahkan ke kemungkinan
penyebab sistemik; tekanan darah diukur dalam posisi berbaring, duduk dan berdiri;
bising karotis, irama (denyut jantung) dan pulsasi nadi perifer juga perlu diperiksa
(Odesyafar, 2011).
Pada pasien-pasien dengan rasa pusing, pengujian umum perlu ditekankan pada
tanda-tanda vital, pengukuran tekanan darah secara terlentang dan berdiri, dan evaluasi
sistem neurologi dan cardiovasculer. Menguji telinga-telinga untuk adanya
infeksi/peradangan telinga tengah atau luar yang dapat terlihat. Test pendengaran
menggunakan satu garpu tala atau berbisik. Menguji leher untuk jangkauan pergerakan
(Thia, 2011).
Karakteristik nistagmus
Tes yang berhubungan dengan panas bisa dilakukan sebagai bagian dari
pengujian di sisi tempat tidur. Setelah mengecek kedua kanal telinga untuk pelubangan
tympanic dan lilin, tuang 1 ml air dengan suhu 30C. Amati nistagmus menggunakan
kacamata hitam Frenzel atau satu sistem video infra merah. Dengan cara ini, rasa pusing,
jangka waktu dan intensitas nistagmus, dapat dievaluasi (Thia, 2011).
Tes refleks vestibulospinal
Tes vestibular Hamid terdiri atas komponen motoris dan sensoris yang dilakukan
menggunakan satu bantalan busa (HCFP). Pengujian sederhana, mudah silakukan, dan
dapat digunakan untuk pasien-pasien dengan ketidakseimbangan dan pusing (Thia,
2011).
Pada komponen sensoris, pasien berdiri di atas HCFP dengan mata terbuka dan
lengan diregangkan selagi pemeriksa mengamati tingkat mengayunkan. Pasien kemudian
memiringkan kepalanya ke belakang dan menggerakannya ke kiri dan kanan (dengan
mata terbuka dan kemudian dengan mata yang tertutup). Pemeriksa harus siap untuk
menangkap pasien jika mereka jatuh (Thia, 2011).
Pasien-pasien dengan kelainan fungsi tubuh sentral dan perifer memiliki pola-
pola yang tidak meliputi pergerakan yang benar dan cepat, mengayunkan pinggul, atau
mengambil langkah. Tentu saja, test-test ini kwalitatif dan tergantung pada pengalaman
pemeriksa dan kondisi musculoskeletal pasien serta kemampuan untuk bekerja sama
(Thia, 2011).
Uji Hiperventilasi
Jika hasil-hasil dari tes vestibular normal, uji hiperventilasi selama 2 menit sangat
menolong dalam mengidentifikasi pasien-pasien dengan sindrom hiperventilasi. Hal ini
harus dilaksanakan dalam posisi duduk. Hiperventilasi harus dilakukan selagi pemeriksa
memonitor nistagmus dengan menggunakan kacamata hitam Frenzel atau sistem video
infra merah. Hiperventilasi dapat mengenali keduanya, baik disfungsi vestibular perifer
dan sentral serta timbulnya rasa pusing dan gejala-gejala neurologi yang berkaitan
dengan sindrom hiperventilasi (Thia, 2011).
8. Pemeriksaan Diagnostik/Penunjang
a) Tes-tes diagnostik vestibular
Evaluasi pasien dengan rasa pusing dimulai dengan menanyakan riwayat dengan
seksama dan lengkap; pemeriksaan fisik yang lengkap, termasuk uji vestibular. Selama
mengevaluasi pasien-pasien dengan gangguan vestibular dan keseimbangan, tes-tes
tambahan yang biasanya dipertimbangkan meliputi audiometri, uji vestibular, tes darah,
CT, dan MRI. Test-test ini, terutama uji vestibular harus disesuaikan menurut temuan
fisik dan riwayat (Thia, 2011).
Hasil MRI pada pasien-pasien muda yang berusia kurang dari 50 tahun adalah
rendah (< 1%). Insidensi adanya tumor pendengaran atau batang otak dan lesi-lesi fossa
posterior juga rendah. Penilaian klinis, pengujian neurotologic yang seksama, dan
dilakukannya penelitian-penelitian audio dan vestibular sangat menolong dalam
menyingkirkan MRI (Thia, 2011).
Pentingnya, hasil dari tes-tes ini bukan diagnostik dalam hal medis. Sebagai
contoh, kehilangan vestibular yang unileteral dapat berhubungan dengan vestibular
neuronitis atau suatu tumor pendengaran. Oleh karena itu, klinisi harus menghindari
keinginan untuk menginterpretasikan hasil-hasil ini sebagai kesatuan patologis. Dokter-
dokter yang bertanggung jawab atas penafsiran medis hasil-hasil ini juga perlu
mempunyai latar belakang dan pelatihan yang sesuai di dalam elektrofisiologi dan
neurofisiologi untuk mampu menggunakan hasil-hasil ini secara efektif. Mereka juga
harus sadar akan batas-batas dan variabilitas yang tidak bisa dipisahkan dalam test-test
tersebut. Tes-tes vestibular yang paling sering adalah electronystagmography (ENG), uji
kursi berputar atau akselerasi selaras sinusoidal (SHA), dan posturography dinamis
terkomputerisasi (CDP) (Thia, 2011).
Uji ENG
Test baku ENG terdiri atas saccadic, tatapan, pengejaran, pergerakan optokinetic-
mata, nistagmus dengan menggoyangkan kepala, nistagmus yang tergantung posisi,
nistagmus ancangan, dan tes-tes bithermal yang berkenaan dengan panas (Thia, 2011).
Tes Saccadic
Tes saccadic digunakan untuk mengevaluasi gerak mata yang cepat secara
fakultatif. Test harus dilakukan dengann merekam masing-masing mata secara terpisah,
terutama jika dicurigai terdapat diskonjugasi gerak mata. Satu saluran tunggal test
saccadic tidak menghasilkan informasi klinis yang berarti dan hanya digunakan sebagai
isyarat kalibrasi untuk gerak mata horisontal. Kelainan-kelainan saccadic umum meliputi
dysmetria, percepatan saccadic lambat, dan dysconjugate saccades (Thia, 2011).
Uji Tatapan
Tes tatapan digunakan untuk mengevaluasi kemampuan menghasilkan dan
menjaga satu tatapan mantap tanpa gerak atau tatapan yang menimbulkan nistagmus.
Perekaman ENG satu arus searah digunakan untuk membedakan elektronik dari gerak
pathologis. Kelainan-kelainan yang paling umum yang dapat dideteksi oleh test tatapan
adalah nistagmus yang ditimbulkan dan rebound nistagmus yang berkaitan dengan
penyakit cerebellar (Thia, 2011).
Uji Pergerakan mata
Gerak mata pengejaran mencegah keselipan suatu gambaran pada retina selagi
pasien sedang mengikuti jalan/objek yang bergerak cepat (Thia, 2011).
Test posisional
Tes posisional dilakukan dengan merekam gerak mata tanpa fiksasi penglihatan
dalam 3 posisi-posisi utama: terlentang, kepala ke arah kanan, dan kepala ke arah kiri.
Nistagmus pada perubahan posisi pada umumnya perifer dan satu tanda objektif dari
ketidaksamaan vestibular. Meskipun itu hadir hanya di dalam 1 posisi kepala (Thia,
2011).
Tes CDP
Posturography dinamis sudah menjadi satu bagian integral dari tes vestibular di
dalam banyak pusat-pusat pengujian vestibular. Aplikasi klinis posturography dalam
neurotology diperkenalkan di tahun 1970-an. Sistem CDP terdiri dari satu komputer
pengendali dan visual booth yang digunakan untuk mengevaluasi kedua-dua komponen
motoris dan sensoris keseimbangan. Test sensoris paling bermanfaat secara klinis,
terutama di dalam lesi-lesi perifer, rehabilitasi vestibular, dan kasus-kasus medikolegal.
Posturography bukan suatu pengganti untuk pengujian gaya berjalan dengan teliti dan
mungkin memiliki lebih banyak nilai dalam rehabilitasi dibanding dalam hasil diagnose
(Thia, 2011).
b) Pemeriksaan lainnya
Untuk mencegah terjadinya dampak yang lebih berat akibat serangan stroke yang
diawali dengan serangan vertigo, pemeriksaan lainnya adalah CT scan atau MRI kepala,
yang bisa menunjukkan kelainan tulang atau tumor yang menekan syaraf. Jika diduga
suatu infeksi, bisa diambil contoh cairan dari telinga atau sinus atau dari tulang belakang.
Jika diduga terdapat penurunan aliran darah ke otak, maka dilakukan pemeriksaan
angiogram, untuk melihat adanya sumbatan pada pembuluh darah yang menuju ke otak
(Thia, 2011).
c) Pemeriksaan tambahan :
Laboratorium
Radiologik dan Imaging
EEG, EMG, dan EKG.
9. Diagnosis/Kriteria Diagnosis
Diagnosis dipermudah dengan dibakukannya kriteria diagnosis, yaitu (Thia,
2011) :
1. Vertigo hilang timbul
2. Fluktuasi gangguan pendengaran berupa tuli saraf
3. Menyingkirkan kemungkinan penyebab dari sentral, misalnya tumor N.VIII (vestibula
koklearis)
Pengobatan khusus untuk pasien yang menderita vertigo yang disebabkan oleh
rangsangan dari perputaran leher (servikal), ialah dengan traksi leher dan fisioterapi, di
samping latihan-latihan lain dalam rangka rehabilitasi. Neuritis vestibuler diobati dengan
obat-obat simptomatik, neurotonik, anti virus dan rehabilitasi (Thia, 2011).
Rehabilitasi penting diberikan, sebab dengan melatih sistem vestibuler ini sangat
menolong. Kadang-kadang gejala vertigo dapat diatasi dengan latihan yang teratur dan
baik. Orang-orang yang karena profesinya, menderita vertigo servikal dapat diatasi
dengan latihan yang intensif sehingga gejala yang timbul tidak lagi mengganggu
pekerjaannya sehari-hari, misalnya pilot, pemain sirkus dan olahragawan (Thia, 2011).
11. Komplikasi
Komplikasi vertigo akibat obat dimana beberapa obat ototoksik dapat
menyebabkan vertigo yang disertai tinitus dan hilangnya pendengaran. Obat-obat itu
antara lain aminoglikosid, diuretik loop, antiinflamasi nonsteroid, derivat kina atau
antineoplasitik yang mengandung platina (Prasti Pirawati, 2004).
Streptomisin lebih bersifat vestibulotoksik, demikian juga gentamisin; sedangkan
kanamisin, amikasin dan netilmisin lebih bersifat ototoksik (Prasti Pirawati, 2004).
Antimikroba lain yang dikaitkan dengan gejala vestibuler antara lain sulfonamid,
asam nalidiksat, metronidaziol dan minosiklin (Prasti Pirawati, 2004).
Terapi berupa penghentian obat bersangkutan dan terapi fisik; penggunaan obat
supresan vestibuler tidak dianjurkan karena justru menghambat pemulihan fungsi
vestibluer (Prasti Pirawati, 2004).
Obat penyekat alfa adrenergik, vasodilator dan antiparkinson dapat menimbulkan
keluhan rasa melayang yang dapat dikacaukan dengan vertigo (Prasti Pirawati, 2004).
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul :
1) Nyeri akut berhubungan dengan tekanan saraf, vasospressor, peningkatan
intrakranial ditandai dengan klien menyatakan nyeri.
2) Risiko cedera berhubungan dengan gangguan keseimbangan berupa ataksia dan
pusing.
3) Ansietas berhubungan dengan kurang pengetahuan ditandai dengan wajah klien
tampak gelisah.
4) Kekurangan volume cairan berhubungan dengan mual, muntah ditandai dengan
kulit kering.
5) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
penurunan intake nutrisi oral ditandai dengan klien tidak nafsu makan karena rasa
mual.
A : Tujuan tercapai.
Nanda Diagnosis Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi 2009-2011. 2010. Jakarta: EGC
Sue Moorhead, dkk. 2008. Nursing Outcame Classification (NOC). United States of
America: Mosby