OKTOBER 2017
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS NUSA CENDANA
TRAUMA KIMIA
DisusunOleh :
Eustakia Y. Ega Pena (1108012045)
Pembimbing :
dr. Eunike Cahyaningsih Sp. M
Referat ini telah disusun dan dilaporkan dalam rangka memenuhi salah satu syarat
Kepanitraan klinik di Bagian/ SMF Ilmu Penyakit Mata RSUD Prof. Dr. W. Z. Johannes,
Kupang.
PembimbingKlinik
Ditetapkan di : Kupang
Trauma kimia pada mata merupakan salah satu keadaan kedaruratan oftalmologi
karena dapat menyebabkan cedera pada mata, baik ringan, berat bahkan sampai kehilangan
penglihatan. Trauma mata dapat disebabkan oleh berbagai hal, namun di sini, kami akan
membahas tentang trauma kimia pada mata yang melibatkan trauma akibat basa dan asam
pada mata. Trauma kimia pada mata merupakan trauma yang mengenai bola mata akibat
terpaparnya bahan kimia baik yang bersifat asam atau basa yang dapat merusak struktur bola
mata tersebut.1
Pengaruh bahan kimia tersebut sangat tergantung pada pH, kecepatan dan jumlah
bahan kimia.3 Oleh karena itu trauma karena asam dan basa kuat lebih berbahaya. Trauma
karena bahan alkali dua kali lebih sering dibandingkan karena bahan asam, karena alkali lebih
banyak digunakan dalam industri dan rumah tangga. 2 Trauma yang disebabkan oleh bahan
alkali lebih cepat merusak dan menembus kornea dibandingkan bahan asam. Trauma asam
kuat dapat menyebabkan pengendapan dan penggumpalan protein, sementara trauma basa
dapat menyebabkan penghancuran jaringan kolagen kornea. 3 Pada trauma kimia basa dapat
menembus ke dalam bilik mata depan dalam waktu 7 detik, karena sifat bahan basa yaitu
koagulasi sel dan proses penyabunan yang disertai dengan dehidrasi. 3
Penatalaksanaan yang diberikan terutama melakukan irigasi secepatnya dengan bahan
fisiologis atau air bersih. Irigasi sebaiknya dilakukan sesegera mungkin dan cukup lama,
paling sedikit 15-30 menit.3 Selain itu perlu juga ditentukan jenis bahan kimia yang mengenai
mata, hal ini bisa didapatkan dari anamnesis serta pemeriksaan dengan kertas lakmus untuk
menentukan sifat bahan, apakah sifat asam kuat atau basa kuat. Hal ini penting dilakukan
karena dalam tatalaksana diperlukan langkah untuk menetralisasi bahan. Trauma kimia yang
parah memerlukan perawatan yang lama dan intensif di rumah sakit serta kunjungan rawat
jalan yang juga berlangsung lama. Pemulihan dan rehabilitasi membutuhkan waktu berbulan-
bulan. Sebagai akibat dari kehilangan penglihatan sesisi atau kedua-duanya maka pasien bisa
kehilangan kemampuan mengemudi, kehilangan pekerjaan dan menjadi tergantung dengan
orang lain. 1,4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Asam cenderung
berikatan dengan protein
Menyebabkan koagulasi
protein plasma
Gangguan persepsi
penglihatan
Mukopolisakarida jaringan
menghilang & terjadi
penggumpalan sel kornea
Dilepaskan plasminogen
aktivator & kolagenase
(merusak kolagen kornea)
Terjadi gangguan
penyembuhan epitel
Gambar 7. Klasifikasi trauma kimia: (a) derajat 1, (b) derajat 2, (c) derajat 3, (d)
derajat 4.6
Klasifikasi ini juga bertujuan untuk penatalaksaan yang sesuai dengan kerusakan yang
muncul serta indikasi penentuan prognosis. Klasifikasi ditetapkan berdasarkan tingkat
kejernihan kornea dan keparahan iskemik limbus. Menurut klasifikasi Hughes:
Ringan
Prognosis baik
Terdapat erosi epitel kornea
Kekeruhan yang ringan pada kornea
Tidak terdapat iskemia dan nekrosis kornea ataupun konjungtiva
Sedang
Prognosis baik
Kornea keruh, sehingga sukar melihat iris dan pupil secara terperinci
Terdapat nekrosis dan iskemi ringan pada konjungtiva dan kornea
Berat
Prognosis buruk
Akibat kekeruhan kornea, pupil tidak dapat dilihat
Konjungtiva dan sklera pucat
2.2.5. Diagnosis dan Penanganan Trauma Kimia pada Mata
Diagnosis pada trauma mata dapat ditegakkan melalui gejala klinis, anamnesis dan
pemeriksaan fisik dan penunjang. Namun hal ini tidaklah mutlak dilakukan dikarenakan
trauma kimia pada mata merupakan kasus gawat darurat sehingga hanya diperlukan
anamnesa singkat.6
2.2.5.1. Gejala Klinis
Terdapat gejala klinis utama yang muncul pada trauma kimia, yaitu epifora,
blefarospasme, dan nyeri berat. Trauma akibat bahan yang bersifat asam biasanya dapat
segera terjadi penurunan penglihatan akibat nekrosis superfisial kornea. Sedangkan pada
trauma basa, kehilangan penglihatan sering bermanifestasi beberapa hari sesudah kejadian.
Namun sebenarnya kerusakan yang terjadi pada trauma basa lebih berat dibanding trauma
asam.6
2.2.5.2. Anamnesis
Pada anamnesis, sering sekali pasien menceritakan telah tersiram cairan atau
tersemprot gas pada mata atau partikel-partikelnya masuk ke dalam mata. Perlu diketahui apa
persisnya zat kimia dan bagaimana terjadinya trauma tersebut (misalnya tersiram sekali atau
akibat ledakan dengan kecepatan tinggi) serta kapan terjadinya trauma tersebut.6
Perlu diketahui apakah terjadi penurunan visus setelah cedera atau saat cedera terjadi.
Onset dari penurunan visus apakah terjadi secara progresif atau terjadi secara tiba-tiba. Nyeri,
lakrimasi, dan pandangan kabur merupakan gambaran umum trauma. Harus pula dicurigai
adanya benda asing intraokular apabila terdapat riwayat trauma akibat ledakan.3,6
2.2.5.3. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan yang seksama sebaiknya ditunda sampai mata yang terkena zat kimia
sudah terigasi dengan air dan pH permukaan bola mata sudah netral. Obat anestesi topikal
atau lokal sangat membantu agar pasien tenang, lebih nyaman, dan kooperatif sebelum
dilakukan pemeriksaan. Setelah dilakukan irigasi, pemeriksaan dilakukan dengan perhatian
khusus untuk memeriksa kejernihan dan keutuhan kornea, derajat iskemik limbus, tekanan
intra okular, konjungtivalisasi pada kornea, neovaskularisasi, peradangan kronik, dan defek
epitel yang menetap dan berulang.6
Hasil pemeriksaan fisik yang sering muncul adalah:
a) Defek epitel kornea
Kerusakan epitel kornea dapat bervariasi mulai keratitis epitel punctata yang ringan sampai
defek kornea yang menyeluruh. Apabila dicurigai ada defek epitel namun tidak ditemukan
pada pemeriksaan awal, mata tersebut harus di periksa ulang setelah beberapa menit.
b) Stroma yang kabur
Kekaburan stroma bervariasi, mulai dari ringan sampai opasifikasi menyeluruh sehingga
tidak bisa melihat kamera okuli anterior (KOA).
c) Perforasi kornea
Perforasi kornea lebih sering dijumpai beberapa hari sampai minggu setelah trauma kimia
yang berat.
d) Reaksi inflamasi KOA
Tampak gambaran flare dan sel di KOA. Reaksi inflamasi KOA lebih sering terjadi pada
trauma alkali / basa.
e) Peningkatan TIO
Terjadi peningkatan TIO tergantung kepada tingkat inflamasi pada segmen anterior dan
deformitas jaringan kolagen kornea. Kedua hal tersebut menyebabkan penurunan outflow
uveoscleral dan peningkatan TIO.
f) Kerusakan kelopak mata
Jika kerusakan kelopak mata menyebabkan mata tidak bisa ditutup maka akan mudah iritasi.
g) Inflamasi konjungtiva
Dapat terjadi hiperemi konjungtiva.
h) Penurunan ketajaman penglihatan
Terjadi karena defek epitel atau kekeruhan kornea, meningkatnya lakrimasi atau
ketidaknyamanan pasien.
Gambar 8. Trauma kimia karena jeruk lemon. Vaskularisasi kornea terlihat jelas, dan mata
menjadi kering akibat kehilangan sebagian besar sel goblet.
2.2.5.4. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang dalam kasus trauma kimia mata adalah pemeriksaan pH bola
mata secara berkala dengan kertas lakmus. Irigasi pada mata harus dilakukan sampai tercapai
pH normal. Pemeriksaan bagian anterior mata dengan lup atau slit lamp bertujuan untuk
mengetahui lokasi luka. Pemeriksaan oftalmoskopi direk dan indirek juga dapat dilakukan.
Selain itu dapat pula dilakukan pemeriksaan tonometri untuk mengetahui tekanan
intraokular.6
2.2.6. Penatalaksanaan
2.2.6.1.Tatalaksana Emergensi5
1. Irigasi
Merupakan hal yang krusial dan harus dilakukan sesegera mungkin untuk
meminimalkan durasi kontak mata dengan bahan kimia dan untuk menormalisasi pH pada
saccus konjungtiva. Larutan normal saline (atau yang setara) harus digunakan untuk
mengirigasi mata selama 15-30 menit sampai pH mata menjadi normal (7,3). Pada trauma
basa hendaknya dilakukan irigasi lebih lama, paling sedikit 2.000 ml dalam 30 menit. Makin
lama makin baik. Jika perlu dapat diberikan anastesi topikal, larutan natrium bikarbonat 3%,
dan antibiotik. Irigasi dalam waktu yang lama lebih baik menggunakan irigasi dengan kontak
lensa (lensa yang terhubung dengan sebuah kanul untuk mengirigasi mata dengan aliran yang
konstan.
2. Double eversi pada kelopak mata
Dilakukan untuk memindahkan material yang terdapat pada bola mata. Selain itu
tindakan ini dapat menghindarkan terjadinya perlengketan antara konjungtiva palpebra,
konjungtiva bulbi, dan konjungtiva forniks.
3. Debridemen
Pada daerah epitel kornea yang mengalami nekrotik dapat terjadi re-epitelisasi pada
kornea. Trauma kimia ringan (derajat 1 dan 2) dapat diterapi dengan pemberian obat-obatan
seperti steroid topikal, sikloplegik, dan antibiotik profilaksis selama 7 hari. Sedangkan pada
trauma kimia berat, pemberian obat-obatan bertujuan untuk mengurangi inflamasi, membantu
regenerasi epitel dan mencegah terjadinya ulkus kornea.
2.2.6.2.Medikamentosa5
1. Steroid
Steroid bertujuan untuk mengurangi inflamasi dan infiltrasi neutofil. Namun
pemberian steroid dapat menghambat penyembuhan stroma dengan menurunkan sintesis
kolagen dan menghambat migrasi fibroblas. Untuk itu steroid hanya diberikan secara inisial
dan di-tappering off setelah 7-10 hari. Deksametason 0,1% ED dan Prednisolon 0,1% ED
diberikan setiap 2 jam. Bila diperlukan dapat diberikan Prednisolon IV 50-200 mg.
2. Sikloplegik
Siklopegik diberikan untuk mengistirahatkan iris, mencegah iritis, dan sinekia
posterior. Atropin 1% ED atau Scopolamin 0,25% diberikan 2 kali sehari.
3. Asam askorbat
Asam askorbat dapat mengembalikan keadaan jaringan scorbutik dan meningkatkan
penyembuhan luka dengan membantu pembentukan kolagen matur oleh fibroblas kornea.
Natrium askorbat 10% topikal diberikan setiap 2 jam. Untuk dosis sitemik dapat diberikan
sampai dosis 2 gr.
4. Beta bloker/karbonik anhidrase inhibitor
Beta blokter digunakan untuk menurunkan tekanan intra okular dan mengurangi
resiko terjadinya glaukoma sekunder. Diberikan secara oral asetazolamid (diamox) 500 mg.
5. Antibiotik
Antibiotik profilaksis diberikan untuk mencegah infeksi oleh kuman oportunis.
Tetrasiklin efektif untuk menghambat kolagenase, menghambat aktifitas netrofil, dan
mengurangi pembentukan ulkus. Dapat diberikan bersamaan antara topikal dan sistemik
(doksisiklin 100 mg).
2.2.6.3. Pembedahan3,5
1. Pembedahan Segera
Sifatnya segera dibutuhkan untuk revaskularisasi limbus, mengembalikan populasi sel
limbus, dan mengembalikan kedudukan forniks. Prosedur berikut dapat digunakan untuk
pembedahan:
Pengembangan kapsul Tenon dan penjahitan limbus, bertujuan untuk
mengembalikan vaskularisasi limbus juga mencegah perkembangan ulkus kornea.
Transplantasi stem sel limbus dari mata pasien yang lain (autograft) atau dari
donor (allograft), bertujuan untuk mengembalikan epitel kornea menjadi normal.
Graft membran amnion, untuk membantu epitelisasi dan menekan fibrosis
2. Pembedahan Lanjut
Pada tahap lanjut dapat menggunakan metode berikut9 :
Pemisahan bagian-bagian yang menyatu pada kasus conjungtival bands dan
simblefaron.
Pemasangan graft membran mukosa atau konjungtiva.
Koreksi apabila terdapat deformitas pada kelopak mata.
Keratoplasti dapat ditunda sampai 6 bulan. Makin lama makin baik. Hal ini untuk
memaksimalkan resolusi dari proses inflamasi.
Keratoprosthesis bisa dilakukan pada kerusakan mata yang sangat berat dikarenakan
hasil dari graft konvensional sangat buruk.
2.2.7. Komplikasi
Komplikasi dari trauma mata bergantung pada berat ringannya trauma, dan jenis
trauma yang terjadi. Komplikasi yang dapat terjadi pada kasus trauma basa pada mata antara
lain:3
1. Simblefaron (Gambar 9), adalah gejala gerak mata terganggu, diplopia, lagoftalmus,
sehingga kornea dan penglihatan terganggu,
2. Kornea keruh, edema, neovaskuler,
3. Sindroma mata kering,
4. Katarak traumatik, trauma basa pada permukaan mata sering menyebabkan katarak.
Komponen basa yang mengenai mata menyebabkan peningkatan pH cairan akuos dan
menurunkan kadar glukosa dan askorbat. Hal ini dapat terjadi akut ataupun perlahan-
lahan. Trauma kimia asam sukar masuk ke bagian dalam mata maka jarang terjadi
katarak traumatik.
5. Glaukoma sudut tertutup, atau
6. Entropion dan ptisis bulbi (Gambar 10).
Gambar 9. Simblefaron.
Trauma kimia pada mata dapat berasal dari bahan yang bersifat asam dengan pH < 7
dan bahan yang bersifat basa dengan pH > 7. Trauma basa biasanya memberikan dampak
yang lebih berat daripada trauma asam, karena bahan-bahan basa memiliki dua sifat yaitu
hidrofilik dan lipolifik dimana dapat masuk secara cepat untuk penetrasi sel membran dan
masuk ke sudut mata depan, bahkan sampai retina. Sementara trauma asam akan
menimbulkan koagulasi protein permukaan, dimana merupakan suatu barier pelindung
sehingga zat asam tidak penetrasi lebih dalam lagi. Gejala utama yang muncul pada trauma
mata adalah epifora, blefarospasme dan nyaei yang hebat. Trauma kimia merupakan satu-
satunya jenis trauma yang tidak memerlukan anamnesa dan pemeriksaan yang lengkap.
Penatalaksanaan yang terpenting pada trauma kimia adalah irigasi mata dengan segera
samapai pH mata kembali normla dan diikuti dengan pemberian obat terutama antibiotik,
multivitamin, antiglaukoma, dll. Selain itu dilakukan juga upaya promotif dan preventif
kepada pasien. Menurut data statistik 90% kasus trauma dapat dicegah. Apabila dalam
menjalankan suatu pekerjaan menggunakan pelindung yang tepat.
DAFTAR PUSTAKA
1. Ilyas, Sidarta. Penuntun Ilmu Penyakit Mata. Edisi Ketiga. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta. 2008.
2. Randleman, J.B. Bansal, A. S. Burns Chemical. eMedicine Journal. 2009.
3. Vaughan DG, Taylor A, and Paul RE. Oftalmologi Umum.Widya medika.
Jakarta. 2000.
4. Arthur Lim Siew Ming and Ian J. Constable. Color Atlat of Ophthalmology Third
Edition. Washington. 2005.
5. Randleman JB.2006. Chemical department of ophtalology. diakses dari
http://www.emedicine.com
6. Ilyas S. 2002 . Ilmu penyakit mata edisi ketiga.Jakarta : FK UI
7. Center of Disease contol and prevention. Work related eye injuries. Diakses dari
http://www.cdc.gov/feature/dsworksplaceeye/
8. American College of Emergency Phycisians. Management of Ocular Complaints.
Diunduh tanggal 28 Juni 2012 dari http://www.acep.org/content.aspx?id=26712
9. Dua, H. S., King, A.J., Joseph, A. 2001 New classification for ocular surface burns,
85: 1379-1383, British Journal of Ophthalmology. Diakses 28 Juni 2012, dari
http://bjo.bmj.com/content/85/11/1379.full.pdf new classification.
10. Weaver C. Occular burns. Emedicine [online] 2011 October [diakses 22 Februari
2014]. Available from URL:http://emedicine.medscape.com/article/798696-
overview