Anda di halaman 1dari 10

Basic Geochemistry in Petroleum Geology

I (Maturasi)

28 Jumat Jun 2013

Posted by feibronjul in ilme bumo, Petroleum system

Tinggalkan komentar

Tag

hidrokarbon, source rock

Tulisan sebelumnya membahas tentang pengenalan aplikasi geokimia di dunia Migas dan
kekayaan material organik batuan induk. Sekarang, akan dibahas mengenai kematangan batuan
induk. Selain kaya, batuan induk harus mempunyai derajat kematangan agar material organik
mampu menghasilkan hidrokarbon.

Maturasi atau derajat kematangan adalah tingkat batuan induk sudah mampu merubah material
organik menjadi hidrokarbon. Derajat batuan induk dapat diukur dari TAI (Thermal Alteration
Index), TTI (Time Temperatur Index), Ro-VR (Vitrinite Reflectane), dan Tmax.

Yang umum dan cepat adalah Ro. Konsep pengukuran Ro sama halnya dengan metode
membedakan batubara, yaitu melihat kilap yang dimunculkan. bila sangat hitam dan kilapnya
transparan dikatakan antrasit (high coal rank), dan bila warna coklat dengan kilap tanah
dikatakan peat (Lower coal rank). Begitu juga dengan Ro source rock, yang mengukur kilap dari
kerogennya dan dinyatakan dalam angka.

Tabel 1 memperlihatkan tingkat kematangan batuan induk.

Tabel 1. Tingkat kematangan batuan induk.


Jadi, data sampel geokimia sebuah sumur pemboran dicocokkan dengan Tabel 1. Bila nilai Ro
sampel 0.4%, maka dapat dinyatakan batuannya belum mencapai kematangan. Bila didapatkan
nilai Ro 0.7, dapat dinyatakan batuannya sudah di level peak mature.

Selain untuk kematangan, Ro dapat digunakan sebagai indikator uplift dan erosi. Caranya adalah
dilakukan plot Ro vs Depth. Pada umumnya, hubungan Ro vs Depth berupa garis linear. semakin
dalam sampel, semakin tinggi pula nilai Ro-nya. Bila terdapat nilai Ro yang rendah padahal
sedimennya berumur lebih tua dibandingkan dengan batuan di atasnya, maka dapat disimpulkan
terjadinya pengangkatan. disitu. Perhatikan Gambar 2.

Gambar 2. Hasil Ro vs Depth pada 3 sumur. Sumur Sungai-1 menggambarkan adanya perbedaan
aliran panas Sumur Malas-1 dan Uli-1 memperlihatkan adanya uplifting dan proses erosi.

Gambar 2 memperlihatkan hubungan Ro vs Depth. Bila adanya aliran panas (heat flow) antara
formasi akan terlihat seperti pada Sumur Sungai-1 yang mempunyai 2 trend berbeda. Formasi
dengan trend -2 menandakan adanya heat flow yang tinggi, sehingga mempengaruhi nilai Ro
batuan sampel.

Sumur Malas-1 dan Uli-1 pada Gambar 2, memperlihatkan adanya sampel formasi yang lebih
dalam tapi Ro-nya sama rendahnya dengan formasi dangkal, ini mengindikasikan terjadinya
uplifting dan erosi. Akibatnya Ro pada batuan yang terangkat akan terendapkan pada heatflow
yang rendah, sehingga nilai Ro-pun cenderung rendah.

Sekian untuk kematangan.

Selanjutnya, akan diberikan contoh soal untuk melatih kemampuan geokimianya.


Basic Geochemistry in Petroleum Geology I
(Material Organik)

26 Rabu Jun 2013

Posted by feibronjul in ilme bumo, Petroleum system

Tinggalkan komentar

Secara garis besar tentang dasar geokimia pada system petroleum (Baca:Basic Geochemistry in
Petroleum Geology I), tulisan ini merupakan kelanjutan untuk menilai kualitas source rock.

Salah satu penilaian batuan induk adalah tingkat kekayaan material organik yang terdapat pada
batuannya. Material Organik (organic Matter) adalah organisme yang terawetkan dalam batuan.
Kekayaan material organik pada batuan induk dinyatakan dalam TOC, atau total organic carbon.

Faktor yang mempengaruhi preservasi material organik:

konsentrasi dan sifat oksidator, bila oksidasi tinggi maka organisme sangat mudah
mengalami pembusukan.
tipe material organi yang terawetkan, misalnya: alga, kayu, dll
kecepatan akumulasi sedimentasi, semakin cepat sedimen mengubur material organik,
maka pembusukan dapat dihindari.

Dari 3 faktor di atas, oksidasi merupakan faktor pengontrol utama.

Preservasi material organik akan kaya bila kondisi:

stagnan basin, kerapatan perlapisan Oksigen, semakin ke dasar air, semakin kecil.
oxygen-minimum layer (OML): tingkat komsumsi oksigen lebih besar dari tingkat
oksigen influx, sederhananya, jumlah oksigen yang ada tidak mencukupi laju konsumsi
yang tinggi.
restricted cirlucation: hampir tidak ada sirkulasi air, influx (arus masuk) material organik
sangat tinggi, aktivitas bakteri pengurai terbatas, umumnya terjadi di daerah swaps (rawa-
rawa), lagoon.

Kualitas batuan induk berdasarkan nilai TOC nya dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Poor: 0-0.5 wt.% TOC


2. Fair: 0.5-1 wt.% TOC
3. Good: 1-2 wt.% TOC
4. Very good: 2-4 wt.% TOC
5. Excellent: >4 wt.% TOC

Untuk lebih jelas perhatikan Tabel 1 dibawah:

Tabel 1. Kekayaan batuan induk dilihat dari nilai TOCnya, semakin tinggi TOC semakin kaya
material organik yang ada pada batuan induk tersebut.

Selain TOC, dikenal juga istilah lain untuk karakterisasi batuan induk yaitu kerogen (Kerosene
generator) yaitu komponen organik batuan induk yang tidak dapat larut dalam larutan organik
biasa dan NaOH. Kerogen terbentuk dari organisme mati yang terpreservasi pada saat stase awal
dari diagenesis dan litifikasi. Kerogen menjadi penting dikarenakan dapat dijadikan sebagai
acuan untuk memprediksi jenis fluida yang akan mengisi reservoir berdasarkan tipe kerogen
batuan induk.

Tipe Kerogen:

Tipe-1: jarang, material organiknya berasal dari green algae (ex: Botryococcus, etc)
Tipe-2: umumnya terendapkan di laut, material organiknya berasal dari alga, cutile, resin,
spores, pollen
Tipe-3: pengaruh coastal sangat kuat, material organiknya kaya lignin, dan kandungan
hidrogen rendah.
Tipe-4: material organik dari kayu dan sudah teroksidasi, potensial menghasilkan
hidrokarbon kecil.

Bagaimana cara mengklasifikasi tipe kerogen dari batuan induk?

berdasarkan Nilai HI (Hidrogen Indeks), perhatikan Tabel 2.


Tabel 2. Tipe kerogen dibedakan berdasarkan nilai HI (Hidrogen Indeks). Tipe Kerogen akan
menentukan jenis fluida hidrokarbon yang akan dihasilkan (Peter dan Cassa, 1994)

berdasarkan Plot HI vs Ro, perhatikan Gambar 1:

Gambar 1. Crossplot antara HI vs Ro atau Rv pada gambar. DIstribusi sampel terletak di dalam
Tipe-2.

berdasarkan Plot HI vs Tmax, Gambar 2.


Gambar 2. Crossplot antara nilai HI dan Tmax.

berdasarkan Plot HI vs OI, Gambar 3.

Gambar 3. Crossplot nilai HI terhadap OI untuk mendapatkan klasifikasi tipe kerogen.


Aplikasi Geokimia Inorganik pada
Eksplorasi Minyak

25 Selasa Jun 2013

Posted by feibronjul in ilme bumo, Petroleum system

Tinggalkan komentar

Kebetulan sempat ikut forum diskusi SPE (Society of Petroleum Engineer) dengan
tema:Inorganic Geochemistry Applied to Oil Exploration oleh Jean-Claude Lacharpagne
(Total Professeurs Associes Paris, France).

Presentasi yang dibawakan sang professor sangat kreatif dan memberikan sudut pandang yang
berbeda ke saya. Awalnya, saya mengharapkan geokimia tentang batuan induk, tapi ternyata apa
yang saya dapat luar biasa sekali, tentang pemamfaatan geokimia di reservoir.

Inorganic Geochemistry merupakan study terhadap proses yang terjadi selama penimbunan
sedimen (Burial) dan interaksinya dengan fluida, efek terhadap reservoir properties dan
komposisi air formasi yang dihasilkan.

Selama masa pengendapan batuan, mineral pembentuk batuan akan mengalami kompaksi,
dissolusi, sementasi dan perubahan kimia/isotop air formasi. Mineral yang tidak stabil seperti
feldspar akan mudah terlarutkan dan menjadi clay, clay ini akan menjadi semen untuk butiran-
butiran pembentuk batuan. Akibatnya, rongga yang ada di antara butiran mineral batuan sedimen
akan terisi. Hal ini akan mengurangi porisitas batuan.

Kegunaan inorganic geochemistry adalah untuk:

1. Memprediksi porositas reservoir dengan melihat karakteristik porositas vs depth, serta


burial history sedimentasi
2. Reservoir evolution
3. Melihat korelasi sand body reservoir dan kompartment reservoir
4. Melihat hubungan air formasi terhadap depth
Input yang digunakan untuk inorganic geochemistry:

1. Reservoir quality
2. Formation water
3. Thermal history
4. Fluids history (PVT)

Fokus inorganic geochemistry adalah sedimen klastik, dengan acuan:

1. Proses sedimentasi & lingkungan pengendapan


2. Burial
3. Pressure evolution
4. Umur relatif geologi
5. Organik vs mineral

Porositas reservoir akan berkurang seiring dengan semakin dalamnya reservoir pada kondisi
normal. Hal ini dipengaruhi oleh:

1. Kompaksi mekanik, terjadi pada depth < 2 km


2. Kompaksi kimia dan sementasi, terjadi pada depth > 2 km

Porisitas reservoir akan tetap besar bila terjadi kondisi:

1. Overpressure
2. Grain coating, terjadi bila mengecilnya permukaan untuk silika berkembang, terbatasnya
perpindahan masa akibat interaksi air dan mineral
3. Efek pengisian HC, semakin cepat HC mengisi reservoir akan semakin bagus karena
akan menjaga reservoir tetap porous.

Air Formasi,

1. Variasi salinitas air formasi dapat kita pelajari dengan melihat hubungan salinitas vs
depth, yang akhirnya dapat digunakan pada analisis petrophysics.
2. Hubungan Salinitas vs depth di Anggola menunjukkan 1 trend, yaitu: semakin dalam,
nilai salinitas semakin tinggi. Sedangkan di Indonesia, khususnya Mahakam Delta,
hubungannya tidak mempunyai trend yang bagus.
3. Reservoir kompartmen dapat dianalisis oleh SrRA (Strontium Residual Analysis). Nilai /
trend isotope Sr (Strontium) yang berbeda menandakan adanya horizon barier pada
reservoir tersebut.

Sayangnya, saya tidak bisa menampilkan gambar-gambar dari presentasi beliau.

Basic Geochemistry in Petroleum Geology I


18 Selasa Jun 2013

Posted by feibronjul in ilme bumo, Petroleum system

Tinggalkan komentar

Tulisan ini merupakan catatan dari berbagai sumber bacaan, kuliah, dll.

Geokimia adalah cabang ilmu yang menggunakan prinsip dan alat kimia untuk menjelaskan
mekanisme geologi yang terjadi, seperti komposisi kerak bumi, pembentukan hidrokarbon,
mineral, dan batuan.

Geokimia Petroleum adalah aplikasi dari prinsip kimia untuk memepelajari asal, pembentukan,
migrasi, akumulasi, dan perubahan hidrokarbon yang dapat dijadikan sebagai acuan dalam
pencarian/ ekspolorasi dan produksi/ekploitasi minyak dan gas bumi (Hunt, 1996). Selain
digunakan pada sistem petroleum konvensinal, geokimia juga digunakan untuk mengembangkan
shale play (baca:shale play).

Perhatikan stastik berikut yang memperlihatkan alasan dry hole dari sebuah sumur pemboran.

Statistik sumur bor yang dry. Terlihat alasan utama sumur tidak terdapat hidrokarbon
dikarenakan permasalahan pada source rock/batuan induk.

Fokus utama geokimia petroleum adalah penilaian source rock. Source rock merupakan batuan
yang kaya material organik, dan pada kondisi yang matang mampu menghasilkan hidrokarbon.

Klasifikasi Source Rock:


1. Potential source rock: volume batuan yang mempunyai kemapuan utnuk menghasilkan
hidrokarbon dalam jumlah yang ekonomis (dapat dikembangkan/dikomersialisasi) tapi
belum mencapai tingkat kematangan yang cukup.
2. Active source rock: volume batuan yang mampu menghasilkan dan mengeluarkan
(expelling) hidrokarbon dalam jumlah yang ekonomis (dapat dikomersialisasi) dan telah
matang.
3. Spent source rock: volume batuan yang telah melewati kematangan batuan induk (post
mature).

Syarat-syarat batuan induk (Source rock), yaitu:

1. Kaya material organik


2. Telah mencapai kematangan
3. Kerogen Type (Keroson Generator)
4. Ketebalan lapisan lapisan source rock
5. Penyebaran lapisan source rock
6. Jumlah perlapisan source rock

Bahasan tulisannya akan mengikuti alur (silahkan klik pilihan dibawah untuk melanjutkan
bacaan):

1. Kekayaan Material Organik (TOC) dan Tipe Kerogen,


2. Kematangan,
3. Contoh Latihan.

Anda mungkin juga menyukai