Latar Belakang
Banjir merupakan fenomena yang hampir selalu terjadi setiap tahun, bahkan saat ini
kondisi Jakarta semakin identik dengan banjir, hujan deras yang mengguyur dalam
hitungan menit saja mampu menciptakan genangan air di mana-mana. Seluruh aktivitas
warga Jakarta pun lumpuh. Dampak sosial dan ekonomi semakin tak terkendali.
Luas daerah genangan banjir setiap tahun makin bervariasi. Pada bulan Januari
2002 Jakarta mengalami banjir bandang dengan genangan yang sangat meluas hingga
Jakarta lumpuh total. Banjir bandang 2007 menjadi salah satu yang terbesar sejak banjir
1621, 1654, 1918, 1942, 1976, 1996, dan 2002. Penyebab dan dampak banjir pun
menjadi semakin kompleks. Kini banjir tak semata akibat faktor alam tapi juga faktor
sosial ekonomi dan budaya. Mari kita ambil contoh cerita: Sungai Ciliwung meluap.
Air mengalir sampai dan melalui tengah kota Jakarta. Perkampungan dan perumahan
yang padat di sekitarnya menjadi korban. Akibat lebih luasnya? Jalanan macet,
Prasarana dan sarana kota lumpuh hingga roda perekonomian terganggu.
Jakarta merupakan daerah rawan banjir. Karenanya, Jakarta dapat digolongkan
sebagai daerah rentan bencana. Untuk itulah, penting bagi masyarakat Jakarta untuk
dapat untuk melakukan tindakan pencegahan atau pengurangan risiko bencana.
Kebutuhan ini dapat dimulai dengan melakukan penyiapan kesiagaan masyarakat dalam
menghadapi banjir. Salah satu upaya menyiapkan kesiagaan masyarakat dalam
menghadapi banjir adalah dengan meningkatkan kecepatan masyarakat untuk
mengidentifikasi ketinggian air pada pintu air. Upaya inilah yang disebut dengan Sistem
Peringatan Dini. Semakin cepat dan akurat sistem peringatan dininya semakin cepat
masyarakat mempersiapkan diri menghadapi bencana banjir.
Semoga dokumen ini dapat menjadi sebuah pembelajaran bagi kita bahwa
Sistem Peringatan Dini merupakan salah satu upaya penting untuk dapat mengurangi
risiko bencana. Yang tak kalah penting adalah pemilihan Sistem Peringatan Dini yang
mengakar darikebutuhan dan karakteristik masyarakat setempat hingga dapat
memberikan kemudahan dalam penerapan dan optimalisasi dalam pemanfaatannya. .
Dalam rangka memperkuat kapasitas anggota Satlinmas dalam penerapan EWS yang
efektif, ACF juga memfasilitasi diskusi kelompok terarah/FGD yang diselenggarakan
pada 4 Juni 2009. Melibatkan para anggota Satlinmas dari 3 kelurahan.
Sirine diletakkan di wilayah paling rawan terkena dampak banjir rob, seperti
RW 17 dan RW 04. Tingkat efektivitas penggunaan sirine bertahap bersamaan dengan
pertambahan jumlahnya. 2 pemasangan Sirine pada awal belum efektif menjangkau
wilayah yang rentan banjir. 1 Sirine kemudian ditambah dan berhasil menjangkau RW
17 yang merupakan wilayah rentan banjir rob. Jangkauan suara sirine juga telah
ditingkatkan dengan trik pemasangan di dekat tanggul yang mengelilingi wilayah
pemukiman. Diharapkan agar fungsi dari keberadaan sirine tersebut bisa lebih efektif.
Selama ini jaringan informasi yang dipergunakan adalah pintu air lurah
(terdapat informasi ketinggian air) Satlinmas PBP RT/RW PKK Karang Taruna
(Melakukan diseminasi informasi melalui masjid) Ormas.
Selain peralatan yang terbatas, kurangnya kesadaran warga untuk ikut serta
dalam penanggulangan banjir, termasuk dalam perawatan alat-alat EWS juga menjadi
kendala dalam pengembangan sistem peringatan dini banjir di Kelurahan Penjaringan.
Berangkat dari proses pengembangan sistem peringatan dini banjir yang sudah ada di
tiga kelurahan, maka EWS merupakan salah satu solusi wajib dalam mengurangi risiko
bencana. Dengan adanya penerapan EWS di 3 kelurahan, warga menjadi lebih siap
berhadapan dengan bencana. Risiko kehilangan harta benda dan jiwa bisa
diminimalisir.
Berangkat dari pemikiran tersebut, ACF bersama dengan SATLINMAS dan STPB
menyelenggarakan pertemuan jaringan antar warga masyarakat yang berdomisili di
bantaran Sungai Ciliwung dan Cipinang pada tanggal 10 September 2009. Kegiatan ini
dirasakan penting untuk membangun dasar pemikiran tentang pentingnya sebuah
jaringan komunitas di bantaran sungai untuk meminimalkan risiko banjir dengan
meningkatkan kapasitas masyarakat. Pertemuan jaringan ini mengundang perwakilan
warga dari 9 Kelurahan di bantaran Sungai Ciliwung yang meliputi Kelurahan Cililitan,
Balekambang, Rawajati, Cawang, Kebon Baru, Bidara Cina, Bukit Duri, Kampung
Melayu dan Kebon Manggis, 6 kelurahan dari bantaran Sungai Cipinang, yaitu
Kelurahan Pinang Ranti, Cipinang Besar Utara, Cipinang Besar Selatan, Cipinang
Muara, Kebon Pala dan Makasar, serta para petugas pintu air Cipinang hulu,
Pulogadung, Katulampa, Depok dan Manggarai.
Hasil pertemuan ini adalah sebagai berikut:
1. Terbangunnya jejaring komunikasi antar warga kelurahan di bantaran sungai
Cipinang dan antara warga kelurahan di bantaran sungai Ciliwung yang mencakup
kesepahaman dalam mengoptimalkan sistem peringatan dini banjir.
2. Terbukanya kesempatan mengakses informasi langsung dari petugas pintu air
mengenai mekanisme penyampaian informasi ketinggian air sebagai upaya
memberikan peringatan dini kepada masyarakat.
3. Pertukaran pikiran dalam upaya identifikasi permasalahan ancaman banjir,
seperti kurangnya perhatian pemerintah propinsi DKI Jakarta dalam pengelolaan sungai
yang terpadu dari hulu ke hilir secara langsung dapat meningkatkan risiko banjir di
Jakarta. Oleh karena itu diharapkan dengan adanya jaringan komunitas bantaran sungai
dapat berperan positif dalam mendorong kebijakan pemerintah terkait dengan
pengelolaan sungai dan pengurangan risiko banjir.
Pertemuan I melahirkan pertemuan kedua dimana perwakilan warga dari beberapa
kelurahan di bantaran sungai Ciliwung bersepakat membentuk Forum Masyarakat
Bantaran Kali Ciliwung. Forum ini akan dikoordinir oleh Satlinmas PBP Kampung
Melayu. Hal yang sama juga terjadi pada warga bantaran Sungai Cipinang yang
bersepakat membentuk Forum Komunikasi Masyarakat Bantaran Kali Cipinang yang
akan dikoordinir oleh STPB.
Peringatan dini merupakan sebuah elemen dasar dari kegiatan pengurangan risiko
banjir. Peringatan dini banjir mencakup tindakan memberikan informasi dengan bahasa
yang mudah dicerna dan dipahami oleh masyarakat awam. Penguatan dan
penyebarluasan skema atau jejaring peringatan dini banjir kepada semua unsur
masyarakat di tingkat kelurahan menjadi suatu kebutuhan penting, hal inilah yang
melatarbelakangi rangkaian kegiatan pertemuan dan sosialisasi yang menyepakati
skema peringatan dini ancaman banjir dilakukan di tiga kelurahan (Cipinang Besar
Utara, Kampung Melayu dan Penjaringan). Kegiatan ini merupakan sebuah kebutuhan
hasil rekomendasi FGD anggota SATLINMAS/STPB pada tanggal 4 Juni 2009 untuk
meningkatkan efektifitas sistem peringatan dini banjir.
Sosialiasi jejaring informasi peringatan dini dilakukan oleh relawan dari
SATLINMAS/STPB di masing-masing kelurahan. Dalam proses pelaksanaannya
relawan dituntut mampu memfasilitasi masyarakat dan menjaring ide-ide serta
merumuskannya dalam satu kesepakatan bersama. Sebelum terjun ke masyarakat,
sebuah pelatihan sehari pada tanggal 20 Oktober 2009 telah diberikan kepada relawan
untuk meningkatkan kemampuan dalam hal teknik fasilitasi, pengetahuan EWS dan
pengorganisasian masyarakat. Para relawan bertanggungjawab di wilayah
kelurahannya masing-masing yang meliputi Kelurahan CBU, Kampung Melayu dan
Penjaringan. Sementara pelaksanaan kegiatan telah dilakukan dimulai pada tanggal 25
Oktober 9 November 2009 dibagi menjadi tiga tahap, tahap I pertemuan besar di
tingkat kelurahan, tahap II dilakukan diskusi kelompok terarah di RW-RW yang rentan
banjir, dan tahap III pertemuan besar untuk menghasilkan kesepakatan akhir skema
peringatan dini banjir. Tahapan ini pada kenyataannya disesuaikan dengan kebutuhan
dan situasi di masing-masing kelurahan. Berdasarkan informasi yang berhasil dihimpun
dari para relawan di tiga kelurahan bahwa secara umum pelaksanaan kegiatan
sosialisasi sistem peringatan dini di tiga Kelurahan mendapat sambutan hangat dari
masyarakat. Warga menjadi tahu bagaimana alur peringatan dini banjir bekerja yang
menjangkau semua lapisan masyarakat. Di samping itu ruang lingkup ancaman banjir
di masing-masing kelurahan yang karakteristiknya berbeda juga menjadi poin penting
yang didiskusikan bersama warga masyarakat. Peran dan fungsi SATLINMAS/STPB
di masing-masing kelurahan juga tak luput dari pertanyaan kritis warga, hal ini tentu
akan menegaskan eksistensi, komitmen dan keberlanjutan organisasi tersebut di tingkat
kelurahan. Sedangkan bagi para relawan sendiri proses kegiatan ini telah banyak
memberikan pembelajaran baik itu bagi individu maupun bagi organisasi
SATLINMAS/STPB. Bekal teknik fasililitasi dan pengorganisasian kegiatan dalam
pelatihan relawan sangat membantu kami dalam kegiatan sosialisasi EWS kepada
masyarakat, ungkap Darwis di Penjaringan, salah seorang relawan dari Kelurahan
Penjaringan. Selain itu dengan dilakukannya sosialisasi EWS ini, peran SATLINMAS
PBP dalam penanggulangan bencana di Penjaringan semakin dikenal oleh masyarakat.
Selanjutnya, Pak Idris, relawan dari CBU, menyampaikan bahwa pada awalnya susah
sekali memberikan pemahaman kepada warga tentang cara-cara penanggulangan
bencana yang mencakup EWS, namun dengan kesabaran menggunakan berbagai cara
dan ilustrasi, sedikit demi sedikit masyarakat bisa mengerti apa yang harus diperbuat
sebelum, saat dan sesudah banjir terjadi.
Hal penting lain mengemuka dalam forum diskusi yang disampaikan warga Kampung
Melayu tentang perlunya komitmen dari individu yang masuk dalam skema peringatan
dini agar bergerak cepat dalam menyebarluaskan informasi yang menjangkau seluas-
luasnya warga masyarakat di sekitarnya.
Hasil akhir dari proses kegiatan ini merupakan skema/jejaring peringatan dini banjir
yang disepakati warga dan seluruh stakeholder di tingkat kelurahan. Skema ini
kemudian akan dicetak dan disebarluaskan kepada warga agar pemahaman masyarakat
terhadap hal ini semakin meningkat dan dapat menjangkau warga lebih banyak lagi.
EWS yang efektif harus bisa dipahami oleh masyarakat hingga kemudian dapat
tertanam kesadaran yang kuat untuk menjadikannya sebagai kebutuhan bersama. EWS
yang dibuat bersama masyarakat merupakan hal yang realistis dan dapat dipercaya,
karena masyarakatlah yang lebih mengetahui karateristik wilayah serta kebutuhannya.
Oleh karenanya, masyarakat perlu didorong untuk terus terlibat aktif dan
bertanggungjawab dalam penerapan EWS termasuk dalam pemeliharaanya.
Sosialisasi EWS kepada masyarakat dan pihak-pihak yang terkait juga sangat
penting, agar warga dapat memahami informasi bencana yang datang dan segera bisa
mengantisipasi dampak yang ditimbulkan. Dengan sosialisasi tersebut, warga tidak
akan merasa ditakut-takuti, melainkan ditekankan kewaspadaannya.
Pemahaman masyarakat bahwa wilayahnya rawan banjir, sehingga menjadi
penting pengetahuan tentang kesiapsiagaan bencana juga harus terus ditingkatkan.
Masyarakat harus disiapkan menghadapi banjir dan meminimalisasi risiko dan
dampaknya.
Dengan adanya EWS sangat membantu warga untuk lebih cepat mengantisipasi
ancaman banjir. Di wilayah yang rentan banjir seperti DKI Jakarta, EWS merupakan
salah satu solusi wajib dalam mengurangi dampak banjir. EWS yang telah diajarkan,
harus terus diterapkan dan selalu mengakomodasikan informasi yang diberikan.
Dari proses pengembangan EWS banjir di atas, pada akhirnya yang diperlukan adalah
kemauan dan keseriusan masyarakat dan pemerintah dalam meminimalisasi risiko
banjir dalam setiap kebijakan dan praktek pengelolaan sumberdaya. Hal tersebut baru
bisa diwujudkan apabila masyarakat dan pemerintah memahami prinsip dan tujuan
penerapan sistem peringatan dini.
Oleh karena itu, upaya strategis penguatan kapasitas masyarakat serta membangun
kerjasama antar semua pihak dalam meminimalkan dampak/risiko banjir masih perlu
dilakukan secara berkesinambungan.
Keberhasilan dan Kegagalan keberhasilan perencanaan program EWS terletak pada
perencanaan yang di lakukan bersama masyarakat. Sudah semustinya kebutuhan akan
EWS juga berdasarkan kebutuhan dari masyarakat sehingga program menjadi efektif
memenuhi kebutuhan bukan menciptakan pemenuhan dari penciptaan kebutuhan.
Pelaksanaan program pun dapat akan menjadi sangat efektif.
Alat-alat yang diusulkan untuk sistem peringatan dini juga berdasarkan
kebutuhan dan partisipasi masyarakat sehingga mereka bisa menggunakan dengan
mudah dan tidak terlalu menelan biaya.
Pembelajaran pada kekurangan pekaan pada kebutuhan masyarakat terjadi pada
instalasi monika I. Akibatnya, sistem MONIKA sulit dimengerti dan masyarakat tidak
memiliki kapasitas dalam mengoperasikannya. Pelajaran yang bisa diambil dari
kegiatan ini adalah jangan pernah meninggalkan masyarakat didalam perencanaan
kegiatan apapun karena mereka yang tahu kebutuhan mereka dan mereka yang tahu
lokasi mereka. Arifan lokal harus menjadi pertimbangan dalam pengurangan risiko
bencana.
Saran
Penjajakan program penting dilakukan sebelum pengimplementasian Tujuan
utama adalah untuk mengerti ragam konteks permasalahan mulai dari kebutuhan,
kondisi sampai pengharapan komunitas yang didampingi. Keterlibatan masyarakat
dalam perencanaan kegiatan menjadi sangat penting karena dari merekalah kebutuhan
sebenarnya dapat teridentifikasikan. Perlu juga dicatat bahwa kearifan lokal sangatlah
penting untuk tidak diabaikan. Identifikasi bersama terhadap sistem peringatan dini
seringkali menghasilkan pemilihan alat yang sesuai tidak harus selalu canggih.
Melainkan, alat sederhana yang mudah dioperasikan dan terjangkau biaya
operasionalnya akan menjadi sangat efektif.
Sumber:https://www.google.co.id/search?biw=1920&bih=971&noj=1&q=sistem+peringatan
+banjir&spell=1&sa=X&ved=0ahUKEwib9KyhmqXNAhWGFZQKHff0DpIQvwUIHSgA#