Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Korupsi merupakan tindakan yang sangat merugikan negara. Pada


zaman setelah reformasi seperti ini kita tidak asing lagi mendengar kata
korupsi dan sudah banyak contoh orang-orang yang tertangkap tindak pidana
korupsi oleh Komisi Penanggulangan Korupsi disiarkan di media. Kerugian
yang disebabkan oleh orang-orang yang berkorupsi jumlahnya tidak main-
main yaitu ratusan juta hingga triliun dan yang pelakukannya adalah pejabat-
pejabat tinggi negara seperti Gubernur, Walikota, Ketua DPR dan lain-lain.
Namun sepertinya masih banyak saja orang-orang terutama aparatur negara
yang masih melakukan korupsi. Mau di bawa dimanakah negeri ini jika
pemimpinnya saja melakukan tindakan merugikan negara, sehingga yang
kaya semakin kaya dan yang miskin menjadi semakin bertambah miskin.

Indonesia Corruption Watch (ICW) merilis hasil temuan terkait


penyalahgunaan jabatan di pemerintahan baik di pemerintahan pusat maupun
pemerintahan daerah. Dari data itu, ditemukan enam pejabat yang selama ini
dianggap getol melakukan korupsi. Mereka yakni pegawai pemda di
kementerian, direktur/komisaris pegawai swasta, kepala dinas, anggota
DPR/DPRD, direktur komisaris BUMD, dan kepala daerah.

Dari data yang ada, ICW menempatkan pejabat atau pegawai


pemerintah daerah di kementrian menempati peringkat pertama dengan
presentase sebesar 42,6% dengan total tersangka sebanyak 281 orang.
Adapun peringkat kedua pejabat yang paling banyak ditetapkan tersangka
karena kasus korupsi adalah jabatan direktur atau komisaris pegawai swasta
yaitu sebanyak 18,9%. Selain dua pejabat di institusi tersebut, peringkat
selanjutnya ditempati oleh kepala dinas dengan persentase sebesar 8,6%, lalu
anggota DPR atau DPRD sebesar 7,5%, Direktur komisaris pejabat BUMD

1
5,1%, dan yang terakhir adalah kepala daerah sebesar 3,7%. para pejabat
tersebut biasanya melakukan tidak pidana korupsi dengan modus
penggelapan, penyalahgunaan anggaran, dan laporan fiktif.

Dampak yang ditimbulkan oleh pelaku korupsi bahkan memengaruhi


semua sektor tatanan negeri ini, seperti sektor ekonomi, hukum,
pemerintahan, sosial, dan lain-lain. Akibatnya tingkat kriminalitas semakin
tinggi. Korupsi yang berkembang dewasa ini tidak bisa lepas dari dinamika
masyarakat dimasa lalu. Dengan kata lain korupsi yang ada sekarang tidak
tumbuh dengan tiba-tiba, melainkan telah melewati garis waktu yang panjang.
Mencari akar korupsi tentu bisa dilakukan dengan berbagai pendekatan, dan
pada kesempatan ini kami (penulis) akan mencoba mengkaji akar korupsi
melalui pendekatan sejarah yang di alami khususnya yang dialami oleh
Indonesia itu sendiri.

B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan
D. Metode Penulisan
E. Sistematika Penulisan

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Korupsi Secara Umum


Korupsi berasal dari bahasa Latin: corruptio dari kata kerja corrumpere =
busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok. Menurut Transparency
International korupsi adalah perilaku pejabat publik, baik politikus|politisi
maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri
atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan
kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka. Dalam arti yang luas,
korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk
keuntungan pribadi.
Korupsi menurut Pasal 2 Undang-Udang No. 31 Tahun 1999 Setiap
orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri
atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonoman negara
Korupsi menurut Pasal 3 Undang-Udang No. 31 Tahun 1999 Setiap
orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada
padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara
atau perekonomian negara.

B. Pengertian Korupsi Menurut Para Ahli


Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia korupsi adalah penyelewengan
atau penggelapan (uang negara atau perusahaan) untuk kepentingan pribadi atau
orang lain. Menurut corruption is the abuse of trust in the interest of private gain,
korupsi adalah penyelahgunaan amanah untuk kepentingan pribadi Menurut
Bank Dunia korupsi adalah suatu tindakan penyalahgunaan jabatan publik untuk
mendapatkan ke untungan pribadi. Menurut Blacks Law Dictionary korupsi

3
adalah perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan suatu
keuntungan yang tidak resmi dengan hak-hak dari pihak lain secara salah
menggunakan jabatannya atau karakternya untuk mendapatkan suatu keuntungan
untuk dirinya sendiri atau orang lain, berlawanan dengan kewajibannya dan hak-
hak dari pihak lain.
Menurut Syeh Hussein Alatas pakar sosiologi korupsi dalam Damanhuri
(2010) topologi korupsi ada 7, yaitu :
1) Korupsi transaktif yaitu korupsi yang menunjukan adanya kesepakatan
tibal balik antara pihak yang memberi dan menerima demi keuntungan
bersama dimana kedua pihak sama-sama aktif menjalankan tindak
korupsi.
2) Korupsi ekstortif yaitu korupsi yang menyertakan bentuk-bentuk
koersi tertentu dimana pihak pemberi dipaksa untuk menyuap agar
tidak membahayakan diri, kepentingan, orang-orangnya atau hal-hal
lain yang dihargainya.
3) Korupsi investif yaitu korupsi yang melibatkan suatu penawaran
barang atau jasa tanpa adanya pertalian langsung dengan keuntungan
tertentu yang diperoleh pemberi, selain keuntungan yang di harapkan
akan di peroleh di masa datan
4) Korupsi nepotistik yaitu korupsi berupa pemberian perlakukan khusus
pada teman atau yang mempunyai kedekatan hubungan dalam rangka
menduduki jabatan publik. Dengan kata lain mengutamakan kedekatan
hubungan dan bertentangan dengan norma dan aturan yang berlaku.

Menurut Gibbons (1999) menyebutkan ada sembilan bentuk korupsi:


patronase politik atau menggunakan sumberdaya publik sebagai pendukung dalam
pemilihan; mempekerjakan pegawai pemerintah yang mendukung pandangan
politik penguasa atau kontrak alokasi pegawai berdasarkan kriteria partisan;
membeli suara (money politic); pork-barreling atau menjanjikan pekerjaan umum
kepada pemilih tetapi calon tahu bahwa pemilih tersebut tidak mampu
menjalankan pekerjaan; penyuapan atau warga negara yang membayar pejabat

4
untuk mendukung kepentingan mereka; graft atau sogok-menyogok, ketika
seorang pejabat menunjukkan bahwa dia harus dihargai agar sesuai dengan
tindakan publik; nepotisme atau menyewa atau mengalokasikan kontrak
berdasarkan kekerabatan atau persahabatan; mendorong pejabat publik lain atau
perantara untuk melakukan tindakan korupsi; dan kampanye uang atau menerima
dana dari kelompok yang berkompromi dalam pemilihan.

Menurut Ilmu Politik

Dalam ilmu politik, korupsi didefinisikan sebagai penyalahgunaan jabatan


dan administrasi, ekonomi atau politik, baik yang disebabkan oleh diri sendiri
maupun orang lain, yang ditujukan untuk memperoleh keuntungan pribadi,
sehingga meninmbulkan kerugian bagi masyarakat umum, perusahaan, atau
pribadi lainnya.

Menurut Ahli Ekonomi

Para ahli ekonomi menggunakan definisi yang lebih konkret. Korupsi


didefinisikan sebagai pertukaran yang menguntungkan (antara prestasi dan
kontraprestasi, imbalan materi atau nonmateri), yang terjadi secara diam-diam dan
sukarela, yang melanggar norma-norma yang berlaku, dan setidaknya merupakan
penyalahgunaan jabatan atau wewenang yang dimiliki salah satu pihak yang
terlibat dalam bidang umum dan swasta.

C. Sejarah Korupsi di Indonesia


Korupsi di Indonesia sudah membudaya sejak dulu, sebelum dan sesudah
kemerdekaan, di era Orde Lama, Orde Baru, berlanjut hingga era Reformasi.
Berbagai upaya telah dilakukan untuk memberantas korupsi, namun hasilnya
masih jauh panggang dari api.
Sejarawan di Indonesia umumnya kurang tertarik memfokuskan kajiannya
pada sejarah ekonomi, khususnya seputar korupsi yang berkaitan dengan
kekuasaan yang dilakukan oleh para bangsawan kerajaan, kesultanan, pegawai

5
Belanda (Amtenaren dan Binenland Bestuur) maupun pemerintah Hindia Belanda
sendiri. Sejarawan lebih tertarik pada pengkajian sejarah politik dan sosial,
padahal dampak yang ditimbulkan dari aspek sejarah ekonomi itu, khususnya
dalam budaya korupsi yang sudah mendarah daging mampu mempengaruhi
bahkan merubah peta perpolitikan, baik dalam skala lokal yaitu lingkup kerajaan
yang bersangkutan maupun skala besar yaitu sistem dan pola pemerintahan di
Nusantara ini. Sistem dan pola itu dengan kuat mengajarkan perilaku curang,
culas, uncivilian, amoral, oportunis dan lain-lain dan banyak menimbulkan
tragedy yang teramat dahsyat.

D. Era Sebelum Indonesia Merdeka


Sejarah sebelum Indonesia merdeka sudah diwarnai oleh budaya-tradisi
korupsi yang tiada henti karena didorong oleh motif kekuasaan, kekayaan dan
wanita. Kita dapat menyirnak bagaimana tradisi korupsi berjalin berkelin dan
dengan perebutan kekusaan di Kerajaan Singosari (sampai tujuh keturunan saling
membalas dendam berebut kekusaan: Anusopati-Tohjoyo-Ranggawuni-Mahesa
Wongateleng dan seterusnya), Majapahit (pemberontakan Kuti, Narnbi, Suro dan
lain-lain), Demak (Joko Tingkir dengan Haryo Penangsang), Banten (Sultan Haji
merebut tahta dari ayahnya, Sultan Ageng Tirtoyoso), perlawanan rakyat terhadap
Belanda dan seterusnya sampai terjadfnya beberapa kali peralihan kekuasaan di
Nusantara telah mewarnai Sejarah Korupsi dan Kekuasaan diIndonesia.
Umumnya para Sejarawan Indonesia belum mengkaji sebab ekonomi
mengapa mereka saling berebut kekuasaan. Secara politik memang telah lebih
luas dibahas, namun motif ekonomi memperkaya pribadi dan keluarga diantara
kaum bangsawan belum nampak di permukaan Wajah Sejarah Indonesia.
Sebenarnya kehancuran kerajaan-kerajaan besar (Sriwijaya, Majapahit dan
Mataram) adalah karena perilaku korup dari sebagian besar para bangsawannya.
Sriwijaya diketahui berakhir karena tidak adanya pengganti atau penerus kerajaan
sepeninggal Bala-putra Dewa. Majapahit diketahui hancur karena adanya perang
saudara (perang paregreg) sepeninggal Maha Patih Gajah Mada. Sedangkan

6
Mataram lemah dan semakin tidak punya gigi karena dipecah belah dan dipreteli
gigi taringnya oleh Belanda.

Pada tahun 1755 dengan Perjanjian Giyanti, VOC rnemecah Mataram menjadi
dua kekuasaan yaitu Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta. Kemudian
tahun 1757/1758 VOC memecah Kasunanan Surakarta menjadi dua daerah
kekuasaan yaitu Kasunanan Surakarta dan Mangkunegaran. Baru pada beberapa
tahun kemudian Kasultanan Yogyakarta juga dibagi dua menjadi Kasultanan
Yogyakarta dan Pakualaman

Benar bahwa penyebab pecah dan lemahnya Mataram lebih dikenal karena
faktor intervensi dari luar, yaitu campur tangan VOC di lingkungan Kerajaan
Mataram. Namun apakah sudah adayang meneliti bahwa penyebab utama
mudahnya bangsa asing (Belanda) mampu menjajahIndonesia sekitar 350 tahun
(versi Sejarah Nasional?), lebih karena perilaku elit bangsawan yang korup, lebih
suka memperkaya pribadi dan keluarga, kurang mengutamakan aspek pendidikan
moral, kurang memperhatikan character building, mengabaikan hukum apalagi
demokrasi Terlebih lagi sebagianbesar penduduk di Nusantara tergolong miskin,
mudah dihasut provokasi atau mudah termakan isu dan yang lebih parah mudah
diadu domba.

Belanda memahami betul akar budaya korup yang tumbuh subur pada
bangsa Indonesia, maka melalui politik Devide et Impera mereka dengan mudah
menaklukkan Nusantara! Namun, bagaimanapun juga Sejarah Nusantara dengan
adanya intervensi dan penetrasi Barat, rupanya tidak jauh lebih parah dan penuh
tindak kecurangan, perebutan kekuasaanyang tiada berakhir, serta berintegrasi
seperti sekarang. Gelaja korupsi dan penyimpangan kekusaan pada waktu itu
masih didominasi oleh kalangan bangsawan,sultan dan raja, sedangkan rakyat
kecil nyaris belum mengenal atau belum memahaminya.

Perilaku korup bukan hanya didominasi oleh masyarakat Nusantara saja,


rupanya orang-orang Portugis, Spanyol dan Belanda pun gemar mengkorup
harta-harta Korpsnya, institusi atau pemerintahannya. Kita pun tahu kalau
penyebab hancur dan runtuhnya VOC juga karena korupsi. Lebihdari 200 orang

7
pengumpul Liverantie dan Contingenten di Batavia kedapatan korup dan
dipulangkan ke negeri Belanda. Lebih dari ratusan bahkan kalau diperkirakan
termasuk yang belum diketahui oleh pimpinan Belanda hampir mencapai ribuan
orang Belanda juga gemar korup.

Dalam buku History of Java karya Thomas Stanford Raffles (Gubernur


Jenderal Inggris yang memerintah Pulau Jawa tahun 1811-1816), terbit pertama
tahun 1816 mendapat sambutan yang luar biasa baik di kalangan bangsawan
lokal atau pribumi Jawa maupun bangsa Barat. Buku tersebut sangat luas
memaparkan aspek budaya meliputi situasi geografi, nama-nama daerah,
pelabuhan, gunung, sungai, danau, iklim, kandungan mineral, flora dan fauna,
karakter dan komposisi penduduk, pengaruh budaya asing dan lain-lain.

Hal menarik dalam buku itu adalah pembahasan seputar karakter


penduduk Jawa. Penduduk Jawa digambarkan sangat nrimo atau pasrah
terhadap keadaan. Namun, di pihak lain, mempunyai keinginan untuk lebih
dihargai oleh orang lain. Tidak terus terang, suka menyembunyikan persoalan, dan
termasuk mengambil sesuatu keuntungan atau kesempatan di kala orang lain tidak
mengetahui.

Hal rnenarik lainnya adalah adanya bangsawan yang gemar menumpuk


harta, memelihara sanak (abdi dalem) yang pada umumnya abdi dalem lebih suka
mendapat atau mencari perhatian majikannya. Akibatnya, abdi dalem lebih suka
mencari muka atau berperilaku oportunis. Dalam kalangan elit kerajaan, raja lebih
suka disanjung, dihorrnati, dihargai dan tidak suka menerima kritik dan saran.
Kritik dan saranyang disarnpaikan di muka umum lebih dipandang sebagai
tantangan atau perlawanan terhadap kekuasaannya. Oleh karena itu budaya
kekuasaan di Nusantara (khususnya Jawa) cenderung otoriter. Daiam
aspekekonomi, raja dan lingkaran kaum bangsawan mendominasi sumber-sumber
ekonomi di masyarakat. Rakyat umumnya dibiarkan miskin, tertindas, tunduk
dan harus menuruti apa kata, kemauan atau kehendak penguasa.

Budaya yang sangat tertutup dan penuh keculasan itu turut menyuburkan
budaya korupsi di Nusantara. Tidak jarang abdi dalem juga melakukan korup

8
dalam mengambil upeti (pajak)dari rakyat yang akan diserahkan kepada
Demang (Lurah) selanjutnya oleh Demang akan diserahkan kepada Turnenggung.
Abdidalem di Katemenggungan setingkat kabupaten atau propinsi juga
mengkorup (walaupun sedikit) hartayang akan diserahkan kepada Raja atau
Sultan.

Alasan mereka dapat mengkorup, karena satuan hitung belum ada yang
standar, di samping rincian barang-barang yang pantas dikenai pajak juga masih
kabur. Sebagai contoh, upeti dikenakan untuk hasil-hasil pertanian seperti Kelapa,
Padi, dn Kopi. Namun ukuran dan standar upeti di beberapa daerah juga berbeda-
beda baik satuan barang, volume dan beratnya, apalagi harganya. Beberapa alasan
itulahyang mendorong atau menye-babkan para pengumpul pajak cenderung
berperilaku memaksa rakyat kecil, di pihak lain menambah beban kewajiban
rakyat terhadap jenis atau volume komoditiyang harus diserahkan

Kebiasaan mengambil upeti dari rakyat kecil yang dilakukan oleh Raja
Jawa ditiru oleh Belanda ketika menguasai Nusantara (1800 1942) minus Zaman
Inggris (1811 1816), Akibat kebijakan itulah banyak terjadi perlawanan-
perlawanan rakyat terhadap Belanda. Sebut saja misalnya perlawanan Diponegoro
(1825 -1830), Imam Bonjol (1821 1837), Aceh (1873 1904) dan lain-lain.
Namun,yang lebih menyedihkan lagi yaitu penindasan atas penduduk pribumi
(rakyat Indonesia yang terjajah) juga dilakukan oleh bangsa Indonesia sendiri.
Sebut saja misalnya kasus penyelewengan pada pelaksanaan Sistem Cuituur
Stelsel (CS) yang secara harfiah berarti Sistem Pembudayaan. Walaupun tujuan
utama sistem itu adalah membudayakan tanaman produktif di masyarakat agar
hasilnya mampu untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan memberi
kontribusi ke kas Belanda, namun kenyataannya justru sangat memprihatinkan.

Isi peraturan (teori atau bunyi hukumnya) dalam CS sebenarnya sangat


manusiawi dan sangat beradab, namun pelaksanaan atau praktiknyalah yang
sangat tidak manusiawi, mirip Dwang Stelsel (DS), yang artinya Sistem
Pemaksaan. Itu sebabnya mengapa sebagian besar pengajar, guru atau dosen

9
sejarah di Indonesia mengganti sebutan CS menjadi DS. mengganti ungkapan
Sistem Pembudayaan menjadi Tanam Paksa.

Seperti apakah bentuk-bentuk pelanggaran CS tersebut? Beberapa di antaranya


adalah sebagai berikut:

1. Penduduk diwajibkan menanam 1/5 dari tanah miliknya dengan tanaman yang
laku dijual di pasar internasional (Kopi, Tembakau, Cengkeh, Kina, Tebu dan
boleh juga Padi, bukan seperti sebelumnya yang lebih suka ditanam penduduk
yaitu pete, jengkol, sayur-sayuran, padi dan lain-lain). Namun praktiknya ada
yang dipaksa oleh Belanda Item (orang Indonesia yang bekerja untuk Belanda)
menjdi 2/5, 4/5 dan ada yang seluruh lahan ditanami dengan tanaman kesukaan
Belanda.

2. Tanah yang ditanami tersebut (1/5) tidak dipungut pajak, namun dalam
praktiknya penduduk tetap diwajibkan membayar (meskipun yang sering meng-
korup belum tentu Belanda)

3. Penduduk yang tidak rnempunyai tanah diwajibkan bekerja di perkebunan atau


perusahaan Belanda selama umur padi (3,5 bulan). Namun, praktiknya ada yang
sampai 1 tahun, 5 tahun, 10 tahun dan bahkan ada yang sampai mati. Jika ada
yang tertangkap karena berani melarikan diri maka akan mendapat hukuman
cambuk (poenali sanksi).

4. Jika panen gagal akibat bencana alam (banjir, tanah longsor, gempa bumi) maka
segala kerugian akan ditanggung pemerintah. Namun praktik di lapangan,
penduduk tetap menanggung beban itu yang diperhitungkan pada tahun
berikutnya.

5. Jika terjadi kelebihan hasil produksi (over product) dan melebihi kuota, maka
kelebihannya akan dikembalikan kepada penduduk. Namun praktiknya dimakan
oleh Belanda Item atau para pengumpul.

6. Pelaksanaan CS akan diawasi langsung oleh Belanda. Namun pelaksanaannya


justru lebih banyak dilakukan oleh Belanda Item yang karakternya kadang-
kadang jauh lebih kejam, bengis dan tidak mengenal kornpromi.

10
E. Era Pasca Kemerdekaan
Titik tekan dalam persoalan korupsi sebenarnya adalah masyarakat masih
belum melihat kesungguhan pemerintah dalam upaya memberantas korupsi. Ibarat
penyakit, sebenarnya sudah ditemukan penyebabnya, namun obat mujarab untuk
penyembuhan belum bisa ditemukan.
Pada era di bawah kepemimpinan Soekarno, tercatat sudah dua kali
dibentuk Badan Pemberantasan Korupsi Paran dan Operasi Budhi namun
ternyata pemerintah pada waktu itu setengah hati menjalankannya. Paran,
singkatan dari Panitia Retooling Aparatur Negara dibentuk berdasarkan Undang-
undang Keadaan Bahaya, dipimpin oleh Abdul Haris Nasution dan dibantu oleh
dua orang anggota yakni Prof M Yamin dan Roeslan Abdulgani.
Salah satu tugas Paran saat itu adalah agar para pejabat pemerintah
diharuskan mengisi formulir yang disediakan istilah sekarang : daftar kekayaan
pejabat negara. Dalam perkembangannya kemudian ternyata kewajiban pengisian
formulir tersebut mendapat reaksi keras dari para pejabat. Mereka berdalih agar
formulir itu tidak diserahkan kepada Paran tetapi langsung kepada Presiden.
Usaha Paran akhirnya mengalami deadlock karena kebanyakan pejabat
berlindung di balik Presiden. Di sisi lain, karena pergolakan di daerah-daerah
sedang memanas sehingga tugas Paran akhirnya diserahkan kembali kepada
pemerintah (Kabinet Juanda).
Tahun 1963 melalui Keputusan Presiden No 275 Tahun 1963, upaya
pemberantasan korupsi kembali digalakkan. Nasution yang saat itu menjabat
sebagai Menkohankam/Kasab ditunjuk kembali sebagai ketua dibantu oleh
Wiryono Prodjodikusumo. Tugas mereka lebih berat, yaitu meneruskan kasus-
kasus korupsi ke meja pengadilan.
Lembaga ini di kemudian hah dikenal dengan istilah Operasi Budhi.
Sasarannya adalah perusahaan-perusahaan negara serta lembaga-lembaga negara
lainnya yang dianggap rawan praktik korupsi dan kolusi. Operasi Budhi ternyata
juga mengalami hambatan. Misalnya, untuk menghindari pemeriksaan, Dirut

11
Pertamina mengajukan permohonan kepada Presiden untuk menjalankan tugas ke
luar negeri, sementara direksi yang lain menolak diperiksa dengan dalih belum
mendapat izin dari atasan.
Dalam kurun waktu 3 bulan sejak Operasi Budhi dijalankan, keuangan
negara dapat diselamatkan sebesar kurang lebih Rp 11 miliar, jumlah yang cukup
signifikan untuk kurun waktu itu. Karena dianggap mengganggu prestise
Presiden, akhirnya Operasi Budhi dihentikan. Menurut Soebandrio dalam suatu
pertemuan di Bogor, prestise Presiden harus ditegakkan di atas semua
kepentingan yang lain
Selang beberapa hari kemudian, Soebandrio mengumurnkan pembubaran
Paran/Operasi Budhi yang kemudian diganti namanya menjadi Kotrar (Komando
Tertinggi Retooling Aparat Revolusi) di mana Presiden Sukarno menjadi
ketuanya serta dibantu oleh Soebandrio dan Letjen Ahmad Yani. Sejarah
kemudian mencatat pemberantasan korupsi pada masa itu akhirnya mengalami
stagnasi.

F. Era Orde Lama


Dasar Hukum: KUHP (awal), UU 24 tahun 1960
Pemberitaan dugaan korupsi Ruslan Abdulgani menyebabkan koran tersebut
kemudian di bredel. Kasus 14 Agustus 1956 ini adalah peristiwa kegagalan
pemberantasan korupsi yang pertama di Indonesia, dimana atas intervensi PM
Ali Sastroamidjoyo,Ruslan Abdulgani sang menteri luar negeri, gagal ditangkap
oleh Polisi Militer. Sebelumnya Lie Hok Thay mengaku memberikan satu
setengah juta rupiah kepada Ruslan Abdulgani, yang diperoleh dari ongkos cetak
kartu suara pemilu.Syamsudin Sutan Makmur, dan Direktur Percetakan
Negara,Pieter de Queljoe berhasil ditangkap. Mochtar Lubis dan Rosihan Anwar
justru kemudian dipenjara tahun 1961 karena dianggap sebagai lawan politik
Sukarno
Nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda dan asing di Indonesia
tahun 1958 dipandang sebagai titik awal berkembangnya korupsi di Indonesia.
Upaya Jenderal AH Nasution mencegah kekacauan dengan menempatkan

12
perusahaan-perusahaan hasil nasionalisasi di bawah Penguasa Darurat Militer
justru melahirkan korupsi di tubuh TNI. Jenderal Nasution sempat memimpin tim
pemberantasan korupsi pada masa ini, namun kurang berhasil.
Pemberantasan korupsi di Indonesia saat ini dilakukan oleh beberapa
institusi:
1) Tim Tastipikor (Tindak Pidana Korupsi)
2) Komisi Pemberantasan Korupsi
3) Kepolisian
4) Kejaksaan
5) BPKP
6) Lembaga non-pemerintah: Media massa Organisasi massa

G. Era Orde Baru


Pada pidato kenegaraan di depan anggota DPR/MPR tanggal 16 Agustus
1967, Pj Presiden Soeharto menyalahkan rezim Orde Lama yang tidak mampu
memberantas korupsi sehingga segala kebijakan ekonomi dan politik berpusat di
Istana. Pidato itu memberi isyarat bahwa Soeharto bertekad untuk membasmi
korupsi sampai ke akar-akarnya. Sebagai wujud dari tekad itu tak lama kemudian
dibentuklah Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) yang diketuai Jaksa Agung.
Tahun 1970, terdorong oleh ketidak-seriusan TPK dalam memberantas
korupsi seperti komitmen Soeharto, mahasiswa dan pelajar melakukan unjuk rasa
memprotes keberadaan TPK. Perusahaan-perusahaan negara seperti Bulog,
Pertamina, Departemen Kehutanan banyak disorot masyarakat karena dianggap
sebagai sarang korupsi. Maraknya gelombang protes dan unjuk rasa yang
dilakukan mahasiswa, akhirnya ditanggapi Soeharto dengan membentuk Komite
Empat beranggotakan tokoh-tokoh tua yang dianggap bersih dan berwibawa
seperti Prof Johannes, IJ Kasimo, Mr Wilopo dan A Tjokroaminoto. Tugas
mereka yang utama adalah membersihkan antara lain Departemen Agama, Bulog,
CV Waringin, PT Mantrust, Telkom, dan Pertamina. Namun kornite ini hanya

13
macan ompong karena hasil temuannya tentang dugaan korupsi di Pertamina
tak direspon pemerintah.
Ketika Laksamana Sudomo diangkat sebagai Pangkopkamtib, dibentuklah
Opstib (Operasi Tertib) derigan tugas antara lain juga memberantas korupsi.
Kebijakan ini hanya melahirkan sinisme di masyarakat. Tak lama setelah Opstib
terbentuk, suatu ketika timbul perbedaan pendapat yang cukup tajam antara
Sudomo dengan Nasution. Hal itu menyangkut pemilihan metode atau cara
pemberantasan korupsi, Nasution berpendapat apabila ingin berhasil dalam
memberantas korupsi, harus dimulai dari atas. Nasution juga menyarankan kepada
Laksamana Sudomo agar memulai dari dirinya. Seiring dengan berjalannya
waktu, Opstib pun hilang ditiup angin tanpa bekas sama sekali.

H. Era Reformasi
Jika pada masa Orde Baru dan sebelumnya korupsi lebih banyak
dilakukan oleh kalangan elit pemerintahan, maka pada Era Reformasi hampir
seluruh elemen penyelenggara negara sudah terjangkit Virus Korupsi yang
sangat ganas. Di era pemerintahan Orde Baru, korupsi sudah membudaya sekali,
kebenarannya tidak terbantahkan. Orde Baru yang bertujuan meluruskan dan
melakukan koreksi total terhadap ORLA serta melaksanakan Pancasila dan DUD
1945 secara murni dan konsekwen, namun yang terjadi justru Orde Baru lama-
lama rnenjadi Orde Lama juga dan Pancasila maupun UUD 1945 belum pernah
diamalkan secara murni, kecuali secara konkesuen alias kelamaan.
Kemudian, Presiden BJ Habibie pernah mengeluarkan UU Nomor 28
Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari KKN
berikut pembentukan berbagai komisi atau badan baru seperti KPKPN, KPPU
atau lembaga Ombudsman, Presiden berikutnya, Abdurrahman Wahid membentuk
Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK).

Badan ini dibentuk dengan Keppres di masa Jaksa Agung Marzuki Darusman dan
dipimpin Hakim Agung Andi Andojo, Namun di tengah semangat menggebu-
gebu untuk rnemberantas korupsi dari anggota tim, melalui suatu judicial review

14
Mahkamah Agung, TGPTPK akhirnya dibubarkan. Sejak itu, Indonesia
mengalami kemunduran dalam upaya. pemberantasan KKN.

Di samping membubarkan TGPTPK, Gus Dur juga dianggap sebagian masyarakat


tidak bisa menunjukkan kepemimpinan yang dapat mendukung upaya
pemberantasan korupsi. Kegemaran beliau melakukan pertemuan-pertemuan di
luar agenda kepresidenan bahkan di tempat-tempat yang tidak pantas dalam
kapasitasnya sebagai presiden, melahirkan kecurigaan masyarakat bahwa Gus Dur
sedang melakukan proses tawar-menawar tingkat tinggi.

Proses pemeriksaan kasus dugaan korupsi yang melibatkan konglomerat


Sofyan Wanandi dihentikan dengan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3)
dari Jaksa Agung Marzuki Darusman. Akhirnya, Gus Dur didera kasus Buloggate.
Gus Dur lengser, Mega pun menggantikannya melalui apa yang disebut sebagai
kompromi politik. Laksamana Sukardi sebagai Menneg BUMN tak luput dari
pembicaraan di masyarakat karena kebijaksanaannya menjual aset-aset negara.

Di masa pemerintahan Megawati pula kita rnelihat dengan kasat mata


wibawa hukum semakin merosot, di mana yang menonjol adalah otoritas
kekuasaan. Lihat saja betapa mudahnya konglomerat bermasalah bisa mengecoh
aparat hukum dengan alasan berobat ke luar negeri. Pemberian SP3 untuk Prajogo
Pangestu, Marimutu Sinivasan, Sjamsul Nursalim, The Nien King, lolosnya
Samadikun Hartono dari jeratan eksekusi putusan MA, pemberian fasilitas MSAA
kepada konglomerat yang utangnya macet, menjadi bukti kuat bahwa elit
pemerintahan tidak serius dalam upaya memberantas korupsi, Masyarakat menilai
bahwa pemerintah masih memberi perlindungan kepada para pengusaha besar
yang nota bene memberi andil bagi kebangkrutan perekonomian nasional.
Pemerintah semakin lama semakin kehilangan wibawa. Belakangan kasus-kasus
korupsi merebak pula di sejumlah DPRD era Reformasi.

15
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Kesimpulannya bahwa korupsi adalah segala tindakan yang
menyelewengkan suatu jabatan atau amanah atau kekuasaan demi mendapatkan
suatu keuntungan bagi diri si pelaku.
Dan sejarah korupsi di Indonesia sangatlah panjang, mulai dari zaman
sebelum kemerdekaan yaitu pendudukan belanda di Indonesia, lalu zaman setelah
kemerdekaan yaitu mulai dari era orde lama, era orde baru, hingga era reformasi
sekarang ini budaya korupsi belum bisa hilang dan terus mengakar di bumi
pertiwi ini

B. Saran
Bagi mahasiswa, agar mempunyai semangat yang lebih untuk mempelajari
tentang arti korupsi dan sejarah korupsi di Indonesia. Lebih lanjut, diharapkan
makalah ini bisa dijadikan referensi bagi mahasiswa dalam mempelajari tentang
arti korupsi.

16
DAFTAR PUSTAKA

Axel,D, Christos,K, Steve ,M., 2004.Corruption Around the World: Evidence from a
Structural Model.
http://www.untukku.com/artikel-untukku/sejarah-korupsi-di-indonesia-untukku.html
Komisi Pemberantasan Korupsi (2008), Survei Persepsi Masyarakat Terhadap KPK dan
Korupsi Tahun 2008.
Transparency International (2008), Transparency International 2008 orruption Perceptions
Index Immediate Release.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
Mauro, Paolo (1995), Corruption and Growth, The Quarterly Journal of Economics,
August 1995.

17

Anda mungkin juga menyukai