PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1
5,1%, dan yang terakhir adalah kepala daerah sebesar 3,7%. para pejabat
tersebut biasanya melakukan tidak pidana korupsi dengan modus
penggelapan, penyalahgunaan anggaran, dan laporan fiktif.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan
D. Metode Penulisan
E. Sistematika Penulisan
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
adalah perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan suatu
keuntungan yang tidak resmi dengan hak-hak dari pihak lain secara salah
menggunakan jabatannya atau karakternya untuk mendapatkan suatu keuntungan
untuk dirinya sendiri atau orang lain, berlawanan dengan kewajibannya dan hak-
hak dari pihak lain.
Menurut Syeh Hussein Alatas pakar sosiologi korupsi dalam Damanhuri
(2010) topologi korupsi ada 7, yaitu :
1) Korupsi transaktif yaitu korupsi yang menunjukan adanya kesepakatan
tibal balik antara pihak yang memberi dan menerima demi keuntungan
bersama dimana kedua pihak sama-sama aktif menjalankan tindak
korupsi.
2) Korupsi ekstortif yaitu korupsi yang menyertakan bentuk-bentuk
koersi tertentu dimana pihak pemberi dipaksa untuk menyuap agar
tidak membahayakan diri, kepentingan, orang-orangnya atau hal-hal
lain yang dihargainya.
3) Korupsi investif yaitu korupsi yang melibatkan suatu penawaran
barang atau jasa tanpa adanya pertalian langsung dengan keuntungan
tertentu yang diperoleh pemberi, selain keuntungan yang di harapkan
akan di peroleh di masa datan
4) Korupsi nepotistik yaitu korupsi berupa pemberian perlakukan khusus
pada teman atau yang mempunyai kedekatan hubungan dalam rangka
menduduki jabatan publik. Dengan kata lain mengutamakan kedekatan
hubungan dan bertentangan dengan norma dan aturan yang berlaku.
4
untuk mendukung kepentingan mereka; graft atau sogok-menyogok, ketika
seorang pejabat menunjukkan bahwa dia harus dihargai agar sesuai dengan
tindakan publik; nepotisme atau menyewa atau mengalokasikan kontrak
berdasarkan kekerabatan atau persahabatan; mendorong pejabat publik lain atau
perantara untuk melakukan tindakan korupsi; dan kampanye uang atau menerima
dana dari kelompok yang berkompromi dalam pemilihan.
5
Belanda (Amtenaren dan Binenland Bestuur) maupun pemerintah Hindia Belanda
sendiri. Sejarawan lebih tertarik pada pengkajian sejarah politik dan sosial,
padahal dampak yang ditimbulkan dari aspek sejarah ekonomi itu, khususnya
dalam budaya korupsi yang sudah mendarah daging mampu mempengaruhi
bahkan merubah peta perpolitikan, baik dalam skala lokal yaitu lingkup kerajaan
yang bersangkutan maupun skala besar yaitu sistem dan pola pemerintahan di
Nusantara ini. Sistem dan pola itu dengan kuat mengajarkan perilaku curang,
culas, uncivilian, amoral, oportunis dan lain-lain dan banyak menimbulkan
tragedy yang teramat dahsyat.
6
Mataram lemah dan semakin tidak punya gigi karena dipecah belah dan dipreteli
gigi taringnya oleh Belanda.
Pada tahun 1755 dengan Perjanjian Giyanti, VOC rnemecah Mataram menjadi
dua kekuasaan yaitu Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta. Kemudian
tahun 1757/1758 VOC memecah Kasunanan Surakarta menjadi dua daerah
kekuasaan yaitu Kasunanan Surakarta dan Mangkunegaran. Baru pada beberapa
tahun kemudian Kasultanan Yogyakarta juga dibagi dua menjadi Kasultanan
Yogyakarta dan Pakualaman
Benar bahwa penyebab pecah dan lemahnya Mataram lebih dikenal karena
faktor intervensi dari luar, yaitu campur tangan VOC di lingkungan Kerajaan
Mataram. Namun apakah sudah adayang meneliti bahwa penyebab utama
mudahnya bangsa asing (Belanda) mampu menjajahIndonesia sekitar 350 tahun
(versi Sejarah Nasional?), lebih karena perilaku elit bangsawan yang korup, lebih
suka memperkaya pribadi dan keluarga, kurang mengutamakan aspek pendidikan
moral, kurang memperhatikan character building, mengabaikan hukum apalagi
demokrasi Terlebih lagi sebagianbesar penduduk di Nusantara tergolong miskin,
mudah dihasut provokasi atau mudah termakan isu dan yang lebih parah mudah
diadu domba.
Belanda memahami betul akar budaya korup yang tumbuh subur pada
bangsa Indonesia, maka melalui politik Devide et Impera mereka dengan mudah
menaklukkan Nusantara! Namun, bagaimanapun juga Sejarah Nusantara dengan
adanya intervensi dan penetrasi Barat, rupanya tidak jauh lebih parah dan penuh
tindak kecurangan, perebutan kekuasaanyang tiada berakhir, serta berintegrasi
seperti sekarang. Gelaja korupsi dan penyimpangan kekusaan pada waktu itu
masih didominasi oleh kalangan bangsawan,sultan dan raja, sedangkan rakyat
kecil nyaris belum mengenal atau belum memahaminya.
7
pengumpul Liverantie dan Contingenten di Batavia kedapatan korup dan
dipulangkan ke negeri Belanda. Lebih dari ratusan bahkan kalau diperkirakan
termasuk yang belum diketahui oleh pimpinan Belanda hampir mencapai ribuan
orang Belanda juga gemar korup.
Budaya yang sangat tertutup dan penuh keculasan itu turut menyuburkan
budaya korupsi di Nusantara. Tidak jarang abdi dalem juga melakukan korup
8
dalam mengambil upeti (pajak)dari rakyat yang akan diserahkan kepada
Demang (Lurah) selanjutnya oleh Demang akan diserahkan kepada Turnenggung.
Abdidalem di Katemenggungan setingkat kabupaten atau propinsi juga
mengkorup (walaupun sedikit) hartayang akan diserahkan kepada Raja atau
Sultan.
Alasan mereka dapat mengkorup, karena satuan hitung belum ada yang
standar, di samping rincian barang-barang yang pantas dikenai pajak juga masih
kabur. Sebagai contoh, upeti dikenakan untuk hasil-hasil pertanian seperti Kelapa,
Padi, dn Kopi. Namun ukuran dan standar upeti di beberapa daerah juga berbeda-
beda baik satuan barang, volume dan beratnya, apalagi harganya. Beberapa alasan
itulahyang mendorong atau menye-babkan para pengumpul pajak cenderung
berperilaku memaksa rakyat kecil, di pihak lain menambah beban kewajiban
rakyat terhadap jenis atau volume komoditiyang harus diserahkan
Kebiasaan mengambil upeti dari rakyat kecil yang dilakukan oleh Raja
Jawa ditiru oleh Belanda ketika menguasai Nusantara (1800 1942) minus Zaman
Inggris (1811 1816), Akibat kebijakan itulah banyak terjadi perlawanan-
perlawanan rakyat terhadap Belanda. Sebut saja misalnya perlawanan Diponegoro
(1825 -1830), Imam Bonjol (1821 1837), Aceh (1873 1904) dan lain-lain.
Namun,yang lebih menyedihkan lagi yaitu penindasan atas penduduk pribumi
(rakyat Indonesia yang terjajah) juga dilakukan oleh bangsa Indonesia sendiri.
Sebut saja misalnya kasus penyelewengan pada pelaksanaan Sistem Cuituur
Stelsel (CS) yang secara harfiah berarti Sistem Pembudayaan. Walaupun tujuan
utama sistem itu adalah membudayakan tanaman produktif di masyarakat agar
hasilnya mampu untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan memberi
kontribusi ke kas Belanda, namun kenyataannya justru sangat memprihatinkan.
9
sejarah di Indonesia mengganti sebutan CS menjadi DS. mengganti ungkapan
Sistem Pembudayaan menjadi Tanam Paksa.
1. Penduduk diwajibkan menanam 1/5 dari tanah miliknya dengan tanaman yang
laku dijual di pasar internasional (Kopi, Tembakau, Cengkeh, Kina, Tebu dan
boleh juga Padi, bukan seperti sebelumnya yang lebih suka ditanam penduduk
yaitu pete, jengkol, sayur-sayuran, padi dan lain-lain). Namun praktiknya ada
yang dipaksa oleh Belanda Item (orang Indonesia yang bekerja untuk Belanda)
menjdi 2/5, 4/5 dan ada yang seluruh lahan ditanami dengan tanaman kesukaan
Belanda.
2. Tanah yang ditanami tersebut (1/5) tidak dipungut pajak, namun dalam
praktiknya penduduk tetap diwajibkan membayar (meskipun yang sering meng-
korup belum tentu Belanda)
4. Jika panen gagal akibat bencana alam (banjir, tanah longsor, gempa bumi) maka
segala kerugian akan ditanggung pemerintah. Namun praktik di lapangan,
penduduk tetap menanggung beban itu yang diperhitungkan pada tahun
berikutnya.
5. Jika terjadi kelebihan hasil produksi (over product) dan melebihi kuota, maka
kelebihannya akan dikembalikan kepada penduduk. Namun praktiknya dimakan
oleh Belanda Item atau para pengumpul.
10
E. Era Pasca Kemerdekaan
Titik tekan dalam persoalan korupsi sebenarnya adalah masyarakat masih
belum melihat kesungguhan pemerintah dalam upaya memberantas korupsi. Ibarat
penyakit, sebenarnya sudah ditemukan penyebabnya, namun obat mujarab untuk
penyembuhan belum bisa ditemukan.
Pada era di bawah kepemimpinan Soekarno, tercatat sudah dua kali
dibentuk Badan Pemberantasan Korupsi Paran dan Operasi Budhi namun
ternyata pemerintah pada waktu itu setengah hati menjalankannya. Paran,
singkatan dari Panitia Retooling Aparatur Negara dibentuk berdasarkan Undang-
undang Keadaan Bahaya, dipimpin oleh Abdul Haris Nasution dan dibantu oleh
dua orang anggota yakni Prof M Yamin dan Roeslan Abdulgani.
Salah satu tugas Paran saat itu adalah agar para pejabat pemerintah
diharuskan mengisi formulir yang disediakan istilah sekarang : daftar kekayaan
pejabat negara. Dalam perkembangannya kemudian ternyata kewajiban pengisian
formulir tersebut mendapat reaksi keras dari para pejabat. Mereka berdalih agar
formulir itu tidak diserahkan kepada Paran tetapi langsung kepada Presiden.
Usaha Paran akhirnya mengalami deadlock karena kebanyakan pejabat
berlindung di balik Presiden. Di sisi lain, karena pergolakan di daerah-daerah
sedang memanas sehingga tugas Paran akhirnya diserahkan kembali kepada
pemerintah (Kabinet Juanda).
Tahun 1963 melalui Keputusan Presiden No 275 Tahun 1963, upaya
pemberantasan korupsi kembali digalakkan. Nasution yang saat itu menjabat
sebagai Menkohankam/Kasab ditunjuk kembali sebagai ketua dibantu oleh
Wiryono Prodjodikusumo. Tugas mereka lebih berat, yaitu meneruskan kasus-
kasus korupsi ke meja pengadilan.
Lembaga ini di kemudian hah dikenal dengan istilah Operasi Budhi.
Sasarannya adalah perusahaan-perusahaan negara serta lembaga-lembaga negara
lainnya yang dianggap rawan praktik korupsi dan kolusi. Operasi Budhi ternyata
juga mengalami hambatan. Misalnya, untuk menghindari pemeriksaan, Dirut
11
Pertamina mengajukan permohonan kepada Presiden untuk menjalankan tugas ke
luar negeri, sementara direksi yang lain menolak diperiksa dengan dalih belum
mendapat izin dari atasan.
Dalam kurun waktu 3 bulan sejak Operasi Budhi dijalankan, keuangan
negara dapat diselamatkan sebesar kurang lebih Rp 11 miliar, jumlah yang cukup
signifikan untuk kurun waktu itu. Karena dianggap mengganggu prestise
Presiden, akhirnya Operasi Budhi dihentikan. Menurut Soebandrio dalam suatu
pertemuan di Bogor, prestise Presiden harus ditegakkan di atas semua
kepentingan yang lain
Selang beberapa hari kemudian, Soebandrio mengumurnkan pembubaran
Paran/Operasi Budhi yang kemudian diganti namanya menjadi Kotrar (Komando
Tertinggi Retooling Aparat Revolusi) di mana Presiden Sukarno menjadi
ketuanya serta dibantu oleh Soebandrio dan Letjen Ahmad Yani. Sejarah
kemudian mencatat pemberantasan korupsi pada masa itu akhirnya mengalami
stagnasi.
12
perusahaan-perusahaan hasil nasionalisasi di bawah Penguasa Darurat Militer
justru melahirkan korupsi di tubuh TNI. Jenderal Nasution sempat memimpin tim
pemberantasan korupsi pada masa ini, namun kurang berhasil.
Pemberantasan korupsi di Indonesia saat ini dilakukan oleh beberapa
institusi:
1) Tim Tastipikor (Tindak Pidana Korupsi)
2) Komisi Pemberantasan Korupsi
3) Kepolisian
4) Kejaksaan
5) BPKP
6) Lembaga non-pemerintah: Media massa Organisasi massa
13
macan ompong karena hasil temuannya tentang dugaan korupsi di Pertamina
tak direspon pemerintah.
Ketika Laksamana Sudomo diangkat sebagai Pangkopkamtib, dibentuklah
Opstib (Operasi Tertib) derigan tugas antara lain juga memberantas korupsi.
Kebijakan ini hanya melahirkan sinisme di masyarakat. Tak lama setelah Opstib
terbentuk, suatu ketika timbul perbedaan pendapat yang cukup tajam antara
Sudomo dengan Nasution. Hal itu menyangkut pemilihan metode atau cara
pemberantasan korupsi, Nasution berpendapat apabila ingin berhasil dalam
memberantas korupsi, harus dimulai dari atas. Nasution juga menyarankan kepada
Laksamana Sudomo agar memulai dari dirinya. Seiring dengan berjalannya
waktu, Opstib pun hilang ditiup angin tanpa bekas sama sekali.
H. Era Reformasi
Jika pada masa Orde Baru dan sebelumnya korupsi lebih banyak
dilakukan oleh kalangan elit pemerintahan, maka pada Era Reformasi hampir
seluruh elemen penyelenggara negara sudah terjangkit Virus Korupsi yang
sangat ganas. Di era pemerintahan Orde Baru, korupsi sudah membudaya sekali,
kebenarannya tidak terbantahkan. Orde Baru yang bertujuan meluruskan dan
melakukan koreksi total terhadap ORLA serta melaksanakan Pancasila dan DUD
1945 secara murni dan konsekwen, namun yang terjadi justru Orde Baru lama-
lama rnenjadi Orde Lama juga dan Pancasila maupun UUD 1945 belum pernah
diamalkan secara murni, kecuali secara konkesuen alias kelamaan.
Kemudian, Presiden BJ Habibie pernah mengeluarkan UU Nomor 28
Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari KKN
berikut pembentukan berbagai komisi atau badan baru seperti KPKPN, KPPU
atau lembaga Ombudsman, Presiden berikutnya, Abdurrahman Wahid membentuk
Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK).
Badan ini dibentuk dengan Keppres di masa Jaksa Agung Marzuki Darusman dan
dipimpin Hakim Agung Andi Andojo, Namun di tengah semangat menggebu-
gebu untuk rnemberantas korupsi dari anggota tim, melalui suatu judicial review
14
Mahkamah Agung, TGPTPK akhirnya dibubarkan. Sejak itu, Indonesia
mengalami kemunduran dalam upaya. pemberantasan KKN.
15
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kesimpulannya bahwa korupsi adalah segala tindakan yang
menyelewengkan suatu jabatan atau amanah atau kekuasaan demi mendapatkan
suatu keuntungan bagi diri si pelaku.
Dan sejarah korupsi di Indonesia sangatlah panjang, mulai dari zaman
sebelum kemerdekaan yaitu pendudukan belanda di Indonesia, lalu zaman setelah
kemerdekaan yaitu mulai dari era orde lama, era orde baru, hingga era reformasi
sekarang ini budaya korupsi belum bisa hilang dan terus mengakar di bumi
pertiwi ini
B. Saran
Bagi mahasiswa, agar mempunyai semangat yang lebih untuk mempelajari
tentang arti korupsi dan sejarah korupsi di Indonesia. Lebih lanjut, diharapkan
makalah ini bisa dijadikan referensi bagi mahasiswa dalam mempelajari tentang
arti korupsi.
16
DAFTAR PUSTAKA
Axel,D, Christos,K, Steve ,M., 2004.Corruption Around the World: Evidence from a
Structural Model.
http://www.untukku.com/artikel-untukku/sejarah-korupsi-di-indonesia-untukku.html
Komisi Pemberantasan Korupsi (2008), Survei Persepsi Masyarakat Terhadap KPK dan
Korupsi Tahun 2008.
Transparency International (2008), Transparency International 2008 orruption Perceptions
Index Immediate Release.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
Mauro, Paolo (1995), Corruption and Growth, The Quarterly Journal of Economics,
August 1995.
17