Anda di halaman 1dari 7

Ventilator Associated Pneumonia (VAP)

A. Definisi
Ibrahim, 2000 dalam Wiryana, 2007, membagi VAP menjadi onset dini yang terjadi
dalam 4 hari pertama pemberian ventilasi mekanis dan onset lambat yang terjadi 5 hari atau
lebih setelah pemberian ventilasi mekanik. VAP onset dini yang terjadi pada 4 hari pertama
perawatan di ICU pada umumnya memiliki prognosis lebih baik karena disebabkan oleh
kuman yang masih sensitif terhadap antibiotika. VAP onset lambat yang terjadi setelah 5 hari
atau lebih perawatan memiliki prognosis yang lebih buruk karena disebabkan oleh kuman
patogen yang Multi Drug Resisten (MDR).
Ventilator Associated Pneumonia (VAP) di definisikan sebagai pneumonia yang
terjadi 48 jam atau lebih setelah ventilator mekanik diberikan. Ventilator Associated
Pneumonia (VAP) merupakan bentuk infeksi nosokomial yang paling sering ditemui di unit
perawatan intensif (UPI), khususnya pada pasien yang menggunakan ventilator mekanik
(Wiryana, 2007).
Berdasarkan penelitian tentang perbandingan Clinical Pulmonary Infection Score
(CPIS) dan kriteria klinik dalam mendiagosis VAP pada paien ICU yang komplek
menunjukkan bahwa 40 orang pasien yang di rawat di ICU dengan umur rata-rata adalah 14,8
59,6 tahun. Lama hari rawat di ICU antara 14,5 19,2 hari dengan rata rata durasi
penggunaan ventilator mekanik 12,3 13,6 hari. Sensitifitas menunjukkan 35,3% dan 78,3%
pada hari pertama dan ketiga dari hari rawat masing-masing pasien. Spesifits menunjukkan
95,7% dan 81,3% pada hari pertama dan hari ketiga dari hari ketiga dari hari rawat masing
masing pasien (Tan Bnazon, Ayuyao dan Guia, 2007).
Ventilator Associated Pneumonia (VAP) merupakan komplikasi sebanyak 28% dari
pasien yang menerima ventilasi mekanik. Kejadiannya meningkat seiring dengan peningkatan
durasi penggunaan ventilasi mekanik. Estimasi insiden adalah sebesar 3% per hari selama 5
hari pertama, 2% per hari selama 6 10 hari dan !% per hari setelah 10 hari (Amanullah &
Posner, 2010).

B. Etiologi
VAP ditentukan berdasarkan 3 komponen tanda infeksi sistemik yaitu demam,
takikardi dan leukositsis diserta gambaran infiltrat bau ataupun perburukan di foto thorax dan
penemuan bakteri penyebab infeksi paru. Beberapa kuman di duga sebagai penyebab VAP
(Farthoukh dkk, 2003).

C. Klasifikasi
Menurut tores dkk dalam Wiryana, 2007, berdasarkan derajat penyakit, faktor risiko dan
onsetnya maka ada klasifikasi untuk mengetahui kuman penyebab VAP, sebagai berikut :
a. Penderita dengan faktor risiko biasa, derajat ringan-sedang dan onset kapan saja selama
perawatan atau derajat berat dengan onset dini.
b. Penderita dengan faktor risiko spesifik dan derajat ringan-sedang yang terjadi kapan saja
selama perawatan
c. Penderita derajat berat dan onset dini dengan faktor risiko spesifik atau onset lambat.

D. Patofisiologi
Adanya interaksi antara penjamu (pasien, perawat, dokter dan lain-lain), agen
(mikroorganisme patogen) dan lingkungan (lingkungan rumah sakit, prosedur pengobatan
dan lain-lain) menentukan seseorang dapat terinfeksi atau tidak.

Mikroorganisme dapat menjadi penyebab infeksi nosokomial tergantung dari :


a. Kemampuan menempel pada sel penjamu
b. Dosis yang tidak efektif
c. Kemampuan untuk invasi dan reproduksi
d. Kemampuan memproduksi toksin
e. Kemampuan menekan sistem imun penjamu
Sumber Infeksi
- Petugas Rumah Sakit (perilaku) : kurang atau tidak memahami cara penularan penyakit
kurang atau tidak memperhatikan kebersihan, kurang atau tidak memperhatikan teknik
aseptik dan antiseptik, menderita suatu penyakit tertentu dan tidak mencuci tangan sebelum
atau sesudah melakukan tindakan.
- Alat alat yang dipakai (alat kesehatan, linen dan lain lain) : kotor atau kurang bersih atau
tidak steril, rusak atau tidak layak pakai, penyimpanan kurang baik, dipakai berulang dan
lewat batas waktu (expired).
- Pasien : kondisi sangat lemah, kebersihan kurang, menderita penyakit kronis atau menahun
dan menderita penyakit menular.
- Lingkungan : tidak ada sinar matahari atau penerangan yang masuk, ventilasi sirkulasi
kurang baik, ruangan lembab, banyak serangga, perhatikan kebersihan dan kelembaban,
pembuangan limbah.
Saluran pernapasan normal memiliki mekanisme pertahanan terhadap infeksi seperti
glotis dan laring, refleks batuk, sekresi trakeobronkial, gerak mukosilier, imunitas humoral
serta sistem fagositik yaitu makrofag alveolar dan neutrofil. Pneumonia terjadi bila sistem
pertahanan tersebut terganggu, terdapat invasi mikroorganisme virulen atau mikroorganisme
dalam jumlah sangat banyak. Sebagian besar VAP disebabkan oleh mikroaspirasi kolonisasi
kuman pada mukosa orofaring. Intubasi mempermudah masuknya kuman ke dalam paru serta
menyebabkan kontaminasi dan kolonisasi di ujung pipa endotrakeal. Bronkoskopi serat optik,
penghisapan lendir sampai trakea maupun ventilasi manual dapat mendorong kontaminasi
kuman patogen ke dalam saluran nafas bawah.
Enterobacteriaceae umumnya ditemukan di saluran orofaring sedangkan P. aeruginosa
lebih sering ditemukan di trakea. Koloni kuman gram negatif sering ditemukan di saluran
pernapasan atas saat perawatan lebih dari lima hari. Berbagai peralatan medis seperti alat
nebulisasi, sirkuit ventilator atau humidifier juga dapat menjadi sumber infeksi.
Ventilator-associated pneumonia dapat pula terjadi melalui cara lain diantaranya
akibat makroaspirasi material / isi lambung pada beberapa pasien meskipun peran saluran
cerna sebagai sumber kolonisasi asendens ke daerah orofaring dan trakeal masih menjadi
kontroversi. Penelitian terhadap 130 pasien di intubasi menemukan kuman gram negatif
dalam trakea 58% pasien yang mendapatkan pengobatan antasida dan antagonis serta 30%
pasien yang mendapatkan sukralfat. Sumber patogen lainmeliputi sinus-sinus paranasal, plak
gigi, daerah subglotis antara pita suara dan endotracheal tube cuff.
E. Faktor yang Mempengaruhi
Faktor risiko yang mempengaruhi kejadian VAP dapat dibagi menjadi tiga kategori
yaitu penjamu, peralatan yang digunakan dan faktor petugas yang terlibat dalam perawatan
pasien. Faktor penjamu disini adalah kondisi pasien yang sudah ada sebelumnya seperti
penyakit dasar dari pasien, misalnya penurunan kekebalan, penyakit paru obstruktif kronis
dan sindrom gangguan pernapasan akut. Faktor penjamu lainnya yang dapat mempengaruhi
kejadian VAP adalah posisi tubuh pasien, tingkat kesadaran, jumlah intubasi dan obat-obatan,
termasuk agen obat penenang dan antibiotik (Ernawati, 2006 ; Agustyne, 2007 ; Cindy,
2009). Selain dari hal diatas, Ttietjen dalam bukunya juga mencantumkan faktor usia dan
status nutrisi sebagai faktor yang dapat berpengaruh terhadap kejadian infeksi nosokomial.
Pada keadaan malnutrisi sering dikaitkan dengan penurunan imunitas sehingga menimbulkan
risiko ketergantungan terhadap ventilator, meningkatkan angka kejaddian infeksi dan
penyembuhan luka yang lama (Wiryana, 2007).
Adapun peralatan yang menjadi faktor risiko VAP adalah termasuk selang
endotrakeal, sirkuit ventilator dan adanya selang nasogastrik atau orogastrik (Augustyne,
2007).
Sementara faktor risiko VAP yang termasuk kategori petugas yang terlibat dalam
perawatan pasien diantaranya kurangnya kepatuhan tenaga kesehatan dalam melaksanakan
prosedur cuci tangan sebelum dan sesudah melakukan tindakan, prosedur pemasangan
ventilator mekanik, prosedur pemasangan pipa nasogastrik, perawatan mulut dan suction
(Ernawati, 2006 ; Augustyne, 2007 ; Cindy, 2009).

F. Pencegahan
Dalam Wiryana, 2007, Meskipun VAP memiliki beberapa faktor risiko, intervensi
keperawatan banyak berperan dalam mencegah kejadian VAP. Ada dua cara pencegahan,
yaitu:
a. Tindakan pencegahan kolonisasi bakteri di orofaring dan saluran pencernaan.
Tindakan keperawatan yang perlu di lakukan antara lain:
1.) Mencuci tangan
Selalu mencuci tangan selama 10 detik harus dilakukan sebelum dan setelah kontak dengan
pasien. Selain itu, sarung tangan harus dipakai bila kontak dengan atau endotracheal sekresi
oral (Porzecanski, 2006).
2.) Suction
Suction endotracheal merupakan prsedur penting dan sering dilakukan untuk pasien yang
membutuhkan ventilasi mekanis. Prosedur ini dilakukan untuk mempertahankan patensi jalan
napas, memudahkan penghilangan sekret jalan napas, merangsang batuk dalam, dan
mencegah terjadinya pneumonia (Smeltzer, 2002).
3.) Oral dekontaminasi atau perawatan mulut juga merupakan salah satu tindakan mengurangi
jumlah bakteri dalam rongga mulut pasien, yang dapat dilakukan dengan intervensi mekanis
dan farmakologis. Intervensi mekanik termasuk menyikat gigi dan pembilasan dari rongga
mulut untuk menghilangkan plak pada gigi. Adapun intervensi farmakologis melibatkan
penggunaan antimikroba (Luna, 2003). Penggunaan antibiotik profilaksis sistemik tidak
menurunkan kejadianVAP dan ketika agen-agen yang digunakan tidak tepay, dapat
mengembangkan resistensi antibiotik (Mandell,2007).
4.) Perubahan posisi tidur
Rutin mengubah posisi pasien minimal setiap 2 jam dapat meningkatkan drainase paru dan
menurunkan resiko VAP. Penggunaan tempat tidur mampu rotasi lateral terus-menerus dapat
menurunkan kejadian pneumoonia tetapi tidak menurunkan angka kematian atau durasi
ventilasi mekanis (Pineda dkk, 2006).
b. Tindakan pencegahan untuk mencegah aspirasi ke paru-paru. Selain strategi untuk mencegah
kolonisasi, strategi untuk mencegah aspirasi juga dapat digunnakan untuk mengurangi risiko
VAP.
Strategi tersebut meliputi :
1.) Menyapih dan ekstubasi dini : karena adanya suatu selang endotracheal merupakan
predisposisi pasien VAP, oleh karena itu pasien harus di observasi setiap hari. Jika
memungkinkan menyapih dan ekstubasi lebih dini dari ventilasi mekanis lebih di anjurkan
(Wiryana, 2007).
2.) Posisi Semifowler : memberikan posisi pasien dalam posisi semifowler dengan kepala tempat
tidur di tinggikan mencegah refluks dan aspirasi bakteri dar lambung ke dalam saluran
napas. Cukup mengangkay kepala tempat tidur dan menurunkan VAP sebesar 34% (AACN,
2007).

G. Metode Penilaian Clinical Pulmonary Infection Score (CPIS)


Kejadian VAP bisa dilihat dengan penilaian Clinical Pulmonary Infection Score
(CPIS). Penilaian CPIS awal dilakukan dalam 48 jam sejak pertama kali pasien terintubasi
dan menggunakan ventilasi mekanik di ICU dan pemeriksaan mikrobiologi dilakukan jika
terdapat gejala klinis. Selanjutnya penilaian CPIS dilakukan berkala. Biakan kuman diambil
berdasarkan teknik protected specimen brush, bronchoalveolar lavage ataupun blind
suctioning sekret bronkial (Sirvent, 2003).
Diagnosis VAP ditegakkan setelah menyingkirkan adanya pneumonia sebelumnya,
terutama pneumonia komunitas (Community Acquired Pneumonia).bila dari awal pasien
masuk ICU sudah menunjukkan gejala klinis dan biakan kuman didapatkan setelah 48 jam
dengan ventilasi mekanik serta nilai total CPIS > atau = 6, maka diagnosis VAP dapat
dittegakkan, namun jika nilai total CPIS < 6 maka diagnosis VAP disingkirkan. Penilaian
CPIS meliputi beberapa komponen yaitu suhu tubuh, leukosit, sekret trakea, fraksi
oksigenasi, pemeriksaan radiologi. Dalam penilaian CPIS klasik disertai pemeriksaan
mikrobioloogi, sedangkan penilaian CPIS modifikasi tanpa disertai pemeriksaan kultur (Luna
CM, 2003).

H. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan VAP menghadapi tantangan yang besar karena luasnya spektrum
klinis pasien, baku emas pemeriksaan yang belum di sepakati dan berbagai kendala
diagnostik lain. Pemberian antibiotik yang tepat merupakan salah satu syarat keberhasilan
tatalaksana VAP. Penentuan antibiotik tersebut harus didasarkan atas pengetahuan tentang
mikroorganisme, pola resistensi di lokasi setempat, pemilihan jenis obat berdasarkan
pertimbangan rasional, dan lain-lain. Pemberian antibiotik adekuat sejak awal dapat
meningkatkan angka ketahanan hidup pasien VAP saat data mikrobiologik belum tersedia.
Sebalikya, pemberian antibitik yang inadekuat menyebabkan kegagalan terapi akibat
timbulnya resistensi kuman terhadap obat.

Pasien VAP yang mendapatkan pengobatan penisilin antipseudomonas ditambah


penghambat laktamase serta aminoglikosida menunjukkan angka kematian lebih rendah
diandingkan dengan pasien yang tidak mendapat antibiotik tersebut. Piperasilintazobaktam
merupakan antibiotik yang paling banyak digunakan (63%) diikuti golongan fluorokuinolon
(57%), vankomisin (47%), sefalosporin (28%) dan aminoglikosida (25%). Singh et al,
menyatakan bahwa siprofloksasin sangat efektif pada sebagian besar kuman
Enteroobacteriaceae, H. influenza dan S. aureus. Pemberian antibiotik dapat dihentikan
setelah tiga hari pada pasien dengan kecenderungan VAP rencah (CPIS <6 span="">
Prinsip penatalaksanaan VAP berdasarkan panduan ATS / IDSA tahun 2004
berdasarkan panduan ATS / IDSA tahun 2004 adalah : tidak menunda terapi yang adekuat
tetapi mengoptimalkannya. Pemilihan antimikroba empiris yaitu atau lebih obat yang
memiliki aktivitas melawan beberapa kuman patogen sekaligus, baik bakteri maupun jamur
(memiliki daya penetrasi yang baik terhadap sumber infeksi, mengacu pada pola kepekaan
kuman yang ada di rumah sakit ataupun obat antimikroba bespektrum luas sampai diketahui
pasti mikroorganisme penyebab dan kepekaannya terhadap antimikroba tersebut),
mempersingkat terapi menjadi masa terapi efektif minimal untuk memperkecil kejadian
resistensi serta menerapkan strategi pencegahan (preventif) dengan mengetahui faktor risiko
yang ada.
Awalnya penatalaksanaan VAP dilakukan berdasarkan prinsip terapi eskalasi
(escalation therapy) yaitu memulai terapi dengan satu jenis antibiotik misalnya sefalospotrin
generasi ketiga selanjutnya meningkatkan terapi dengan pemberian antibiotik lain yang
memiliki spektrum lebih luas misalnya golongan fluorokuinoolon atau karbapenem bila
pemeriksaan mikrobiologi menunjukkan resistensi kuman terhadap antibiotik sebelumnya
atau bila kondisi klinis pasien memburuk.
Saat ini dikenal prinsip terapi deeskalasi yaitu strategi pemberian antibiotik adekuat
(poten) sejak awal terapi kepada pasien yang memiliki faktor risiko tinggi, dengan
menghindari penggunaan antibiotik kurang tepat yang dapat memicu timbulnya resistensi.
Strategi tersebut dilakukan dengan memberikan terapi inisial tidak lebih dari empat jam sejak
pasien dirawat di ICU dengan antibiotik berspektrum luas dan dosis tinggi untuk menurunkan
mortalitas, mencegah disfungsi organ dan mempersingkat lama perawatan di rumah sakit
serta mengoptimalkan terapi deeskalasi untuk meminimalkan resistensi dan meningkatkan
cost-effectiveness.
Penilaian respon terapi harus dilakukan dengan hati-hati. Respons klinis dipengaruhi
oleh berbagai faktor diantarnya faktor pasien (usia, penyakit komorbid), faktor bakteri (pola
virulensi dan resistensi kuman terhadap antimikroba) dan faktor lain yang mungkin terjadi
selama episode VAP. Perbaikan klinis biasanya baru terjadi setelah 48-72 jam terapi sehingga
antibiotik yang diberikan tidak boleh diganti dalam waktu tersebut kecuali bila terdapat
perburukan progresif atau hasil pemeriksaannn mikrobilogi menunjukkan hasil yang tidak
sesuai. Penilaian respons terapi juga dapat dilakukan dengan melihat parameter lain misalnya
pemeriksaan hasil laboratorium darah serial (hitung sel darah putih, oksigenasi dan lain-lain),
foto thorax serial, pemeriksaan mikrobiologi spesimen saluran napas serial, CPIS serial dan
lain-lain.
Terapi antibiotik empirik dapat dimodifikasi berdasarkan penilaian berbagai
parameter tersebut. Modifikasi perlu dilakukan bila ditemukan kuman resisten atau tidak
diharapkan pada pasien yang menunjukkan respons terapi kurang baik. Terapi deeskalasi
dapat dilakukan pada pasien yang menunjukkan respons baik dan lebih di fokuskan pada
antibiotik tertentu bila mikroorganisme yang dikhawatirkan (P. aeruginosa atau Acinetbacter
spp) tidak ditemukan pada pemeriksaan mikrobiologi atau mikroorganisme masih sensitif
terhadap antibiotik golongan lebih rendah. Pasien yang tidak menunjukkan respons baik perlu
dievaluasi untuk menyingkirkan kemungkinan infeksi lain yang menyerupai pneumonia
(atelektasis, gagal jantung ongestif, emboli paru, trauma paru), mikroorganisme yang resisten
terhadap obat, infeksi organ lain serta komplikasi pneumonia dan terapinya.
Pencegahan VAP merupakan upaya penting yang harus dilakukan secara optimal.
Ventilasi mekanis non-invasif (tanpa intubasi) dilaporkan dapat menurunkan kejadian VAP
secara bermakna. Pembatasan penggunaan antibiotik secara berlebihan di ICU juga dapat
menurunkan insiden pneumonia nosokomial akibat resistensi obat. Koenig dan Truwit
menyatakan strtegi pencegahan VAP yang dikelompokkan berdasarkan waktu terkait dengan
proses intubasi (sebelum intubasi, saat intubasi dan setelah intubsi). Strategi yang dilakukan
sebelum intubasi meliputi melakukan ventilasi mekanis non-invasif bila memungkinkan serta
memperkirakan kemungkinan berbagai penyebab gagal napas . strategi saat proses intubasi
dilakukan diantaranya menghindari overdistensi lambung dan mengupayakan intubasi
melalui oroendotrakeal. Strategi setelahintubasi misalnya pemasangan pipa lambung melalui
mulut, menjaga kebersihan tangan terutama petugas kesehatan dengan sebaik-baiknya,
elevasi tempat tidur pasien 30-45 derajat, mengganti sirkuit respirasi bila diperlukan,
pengisapan subglotis secara kontinu, rootasi tempat tidur pasien dan lain-lain.
Strategi dikelompokkan menjadi dua yaitu strategi farmakologi yang bertujuan untuk
menurunkan kolonisasi saluran cerna terhadap kuman patogen serta strategi nonfarmakologi
yang bertujuan unyuk menurunkan kejadianaspirasi. Strategi secara umum yang tidak boleh
dilupakan adalah melakukan pengontrolan infeksi lokal di rumh sakit, kebijakan penggunaan
antibiotika secara rasional serta penerapan strategi pencegahan secara efektif.

I. Diagnosa Keperawatan yang Muncul


1.) Hipertermi
2.) Gangguan pertukaran gas
3.) Nyeri akut
4.) Intoleransi aktivitas
5.) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh

J. Intervensi
1. Hipertermi :
- Pemberian terapi Paracetamol
- Terapi Antibiotik
- Monitor tanda-tanda vital (RR, N, Suhu, TD)
2. Gangguan pertukaran gas :
- Suction
3. Nyeri Akut :
- Pemberian obat anti nyeri
4. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
- Pemasangan NGT
- DC (Pemasangan Selang Kateter)
- Terapi infus

DAFTAR PUSTAKA

Ewig E, Baurer T, Torres A. The pulmonary physycian in critical care: nosocomial


pneumonia. Thorax 2002; 57:366-71
Kollef MH. The prevention of ventilator associated pneumonia. N Engl J Med 2005;
340:627-34
Buisson CB. Antibiotic therapy of ventilator associated pneumonia. Chest 2003; 123:670-3
Tablan OC, Anderson LJ, Besser R, et al: Guidelines for preventing health-care associated
pneumonia. Recommendations of CDC and the health care infection control practices
advisory committee. CDC 2004;53 (RR03): 1-36
http://last3arthtree.files.wordpress.com/2009/02/pneumonia.pdf (Akses pada 29 September
2014)
http://www.klikpdpi.com/konsensus/pnenosokomial/pnenosokomial.pdf(Akses pada 30
Oktober 2014)
http://ojs.unud.ac.id/index.php/jim/article/download/3945/2937 (Akses pada 30 Oktober
2014)

http://cid.oxfordjournals.org/content/51/Supplement_1/S42.full.pdf (Akses pada 1 Oktober


2014)

Anda mungkin juga menyukai