Anda di halaman 1dari 13

POKOK-POKOK DASAR AGAMA

BUDDHA

SAMANNAPHALA SUTTA

NAMA : SURYA DHARMA


NIM :
DOSEN : HENDRA

STAB DHARMA WIDYA VIHARA SIDDHARTA


SERPONG, TANGERANG SELATAN 2013
SAMANNAPHALA SUTTA

Demikian yang telah kami dengar : Pada suatu ketika Sang Bhagava sedang berdiam
di Rajagaha, di Hutan Mangga milik tabib Jivaka Komarabhacca bersama-sama dengan
seribu dua ratus lima puluh bhikkhu. Pada waktu itu hari Uposatha tanggal lima belas dari
bulan Kattika. Malam itu bulan purnama sedang bulatnya; Raja Ajatasattu dari Magadha,
putra Ratu Videha, sedang duduk di teras istananya tingkat atas dengan dikelilingi oleh
para menterinya. Pada hari Uposatha yang keramat itu, raja bersabda : Betapa
menyenangkan, Saudara-saudara, malam terang bulan ini! Betapa indahnya, dan
menyenangkan bulan purnama ini, dan betapa sejuknya Saudara-saudara, malam terang
bulan ini! Betapa agungnya, Saudara-saudara, pertanda dari malam terang bulan ini!
Petapa atau Brahmana manakah kiranya yang dapat kita kunjungi malam ini, yang akan
dapat memuaskan batin kita?
Ketika Raja Ajatasattu selesai berkata demikian, salah seorang menteri berkata
kepadanya : Baginda, di sana ada Purana Kassapa; kepala suatu kelompok petapa,
mempunyai banyak pengikut, guru suatu aliran, termashur dan terkenal sebagai
seorang sophi; dihormati oleh orang banyak, berpengalaman, telah lama menjadi
petapa, tua dan matang dalam kehidupan. Lebih baik Baginda pergi berkunjung
kepadanya. Dengan pergi mengunjunginya, kemungkinan hati Baginda menjadi
tenang dan damai. Namun, setelah ia selesai berkata demikian, Raja Ajatasattu tetap
diam.
Kemudian, salah seorang menteri lainnya berkata kepada raja : Baginda, di sana ada
Makkhali Gosala; kepala suatu kelompok pertapa, mempunyai banyak pengikut, guru
suatu aliran, termashur dan terkenal sebagai seorang sophi, dihormati oleh orang
banyak, berpengalaman, telah lama menjadi petapa, tua dan matang dalam kehidupan.
Lebih baik Baginda pergi berkunjung kepadanya. Dengan pergi mengunjunginya,
kemungkinan hati Baginda menjadi tenang dan damai. Namun, setelah ia selesai
berkata demikian, Raja Ajatasattu tetap diam.
Kemudian, salah seorang menteri lainnya berkata kepada raja: Baginda, di sana ada
Ajita Kesakambala; kepala suatu kelompok petapa, mempunyai banyak pengikut,
guru suatu aliran, termashur dan terkenal sebagai seorang sophi; dihormati oleh orang
banyak, berpengalaman, telah lama menjadi petapa, tua dan matang dalam kehidupan.
Lebih baik Baginda pergi berkunjung kepadanya. Dengan pergi mengunjunginya,
kemungkinan hati Baginda menjadi tenang dan damai. Namun, setelah ia selesai
berkata demikian, Raja Ajatasattu tetap diam.
Kemudian, salah seorang menteri lainnya berkata kepada raja : Baginda, di sana ada
Pakudha Kaccayana; kepala suatu kelompok petapa, mempunyai banyak pengikut,
guru suatu aliran, termasyur dan terkenal sebagai seorang sophi, dihormati oleh orang
banyak, berpengalaman, telah lama menjadi petapa, tua dan matang dalam kehidupan.
Lebih baik Baginda pergi berkunjung kepadanya. Dengan pergi mengunjunginya,
kemungkinan hati Baginda menjadi tenang dan damai. Namun, setelah ia selesai
berkata demikian, Raja Ajatasattu tetap diam.
Pada waktu itu tabib Jivaka Komarabhacca duduk berdiam diri, tidak jauh dari raja.
Kemudian raja berkata kepada Jivaka Komarabhacca: Jivaka, mengapa engkau tetap
berdiam diri, tidak berkata apa pun?"Baginda, Sang Bhagava, Yang Maha Suci,
Yang Telah Mencapai Penerangan Sempurna, kini sedang berdiam di Hutan Mangga
milik kita, bersama dengan anggota bhikkhu-sangha sebanyak seribu dua ratus lima
puluh. Demikianlah berita baik mengenai Gotama, Sang Bhagava yang telah tersebar
luas : Sang Bhagava, Yang Maha Suci, Yang telah Mencapai Penerangan Sempurna,
sempurna pengetahuan serta tindak tanduk-Nya, sempurna menempuh Jalan, Pengenal
segenap alam, Pembimbing yang tiada tara bagi mereka yang bersedia untuk
dibimbing, Guru para dewa dan manusia, Yang Sadar, Yang Patut Dimuliakan. Lebih
baik Baginda pergi berkunjung kepada Sang Bhagava. Dengan pergi
mengunjunginya, kemungkinan hati Baginda menjadi tenang dan damai."Bila
demikian, Jivaka, siapkan gajah-gajah tunggangan.
Baiklah, Baginda! kata tabib Jivaka Komarabhacca mematuhi perintah raja.
Kemudian ia menyiapkan lima ratus ekor gajah betina serta gajah kerajaan yang biasa
dinaiki oleh raja, dan melapor : Baginda, gajah-gajah telah disiapkan dengan baik.
Terserah kepada Baginda untuk memilih waktu keberangkatan yang sesuai.
Selanjutnya raja memerintahkan lima ratus orang wanitanya naik ke atas gajah betina,
seekor untuk seorang, sedang ia sendiri naik gajah kerajaan. Tidak lama kemudian,
berangkatlah rombongan raja dengan kebesaran kerajaan, serta diiringi oleh para
pengikutnya yang membawa obor. Dari Rajagaha mereka menuju ke Hutan Mangga
milik Jivaka Komarabhacca.
Ketika mendekati Hutan Mangga, tiba-tiba raja dicengkam oleh rasa takut dan
khawatir, semua bulu badannya berdiri tegak. Dengan perasaan cemas dan gelisah, ia
berkata kepada Jivaka: Apakah kau tidak menipuku, Jivaka? Apakah kau tidak
membohongiku? Apakah kau tidak mengkhianatiku kepada musuh-musuh?
Bagaimana mungkin dapat terjadi bahwa di sana tidak ada suara sama sekali, tidak
ada suara bersin atau pun batuk dalam sejumlah besar anggota bhikkhu sangha
sebanyak seribu dua ratus lima puluh orang itu?"Janganlah khawatir, Baginda. Aku
tidak menipu, mendustai atau pun mengkhianatimu kepada musuh-musuh.
Lanjutkanlah, O Baginda, berjalanlah terus ! Di sana, dalam ruang pertemuan, lampu-
lampu telah menyala terang.
Kemudian raja melanjutkan perjalanan dengan gajahnya sejauh jalan masih dapat
dilalui oleh gajah-gajah, dan selanjutnya berjalan kaki sampai di pintu ruang
pertemuan; dan berkata kepada Jivaka Komarabhacca : Jivaka, tetapi dimanakah
Sang Bhagava berada?"Baginda, itulah Sang Bhagava. Baginda, itulah Sang
Bhagava, sedang duduk bersandar pada tiang tengah dan menghadap ke Timur dengan
dikelilingi oleh anggota bhikkhu Sangha.
Kemudian Raja Ajatasatttu mendekati Sang Bhagava dan berdiri dengan hormat pada
salah satu sisi-Nya. Ketika ia telah berdiri di sana dan melihat anggota anggota
bhikkhu sangha duduk diam, tenang bagaikan sebuah danau tak berombak, ia berseru
: Dapatkah putraku, Udayi Bhadda, memiliki ketenangan seperti yang dimiliki oleh
bhikkhu sangha sekarang ini ?"Bila demikian, O Baginda, bagaimanakah engkau
mengarahkan pikiran cinta-kasihmu ? tanya Sang Buddha.Bhante, aku mencintai
putraku Udayi Bhadda dan mengharap agar ia dapat menikmati ketenangan seperti
yang dimiliki bhikkhu sangha ini.
Kemudian Raja Ajatasattu menyembah Sang Bhagava dan merangkapkan tangannya
ke arah bhikkhu sangha sebagai tanda hormat, selanjutnya ia duduk di samping Sang
Bhagava dan berkata : Bhante, aku ingin bertanya kepada Sang Bhagava tentang
suatu persoalan apabila Sang Bhagava berkenan."Tanyakanlah apa yang kau
kehendaki, O Baginda.
Bhante, terdapat sejumlah keahlian umum, seperti : kusir-gajah, kusir-kuda, sais
kereta perang, pemanah, pemikul tandu, komandan tentara, ajudan, opsir tinggi
kerajaan, pasukan tempur, orang-orang pemberani seperti gajah, pejuang, pahlawan,
prajurit dalam pakaian kulit rusa, budak-budak yang dilahirkan di rumah, tukang
masak, tukang cukur, tukang memandikan, pembuat kue perangkai bunga, tukang cuci
pakaian, penenun, penganyam, pembuat barang-barang tembikar, ahli hitung, akuntan
dan banyak lagi keahlian semacamnya. Dalam hidup sekarang ini mereka dapat
menikmati faedah-faedah nyata dari keahliannya. Mereka menunjang hidupnya
sendiri, orang-tua, anak-anak dan sahabat-sahabatnya dalam kebahagiaan dan
kesejahteraan. Mereka memberikan dana, persembahan-persembahan yang bernilai
tinggi kepada para petapa dan brahmana secara tetap; yang dapat membawa kelahiran
kembali dalam alam surga, yang berakhir dengan kebahagiaan sebagai hasilnya.
Apakah Bhante dapat menunjukkan kepadaku faedah-faedah nyata dari kehidupan
seorang petapa dalam masa sekarang ini ?
Dengan demikian, Bhante, ketika Purana Kassapa ditanya tentang faedah-faedah
nyata dari kehidupan seorang petapa, telah menerangkan teorinya tentang tiada-
perbuatan (akiriya). Bhante, seolah-olah seperti ketika seseorang ditanya apakah
buah mangga itu, akan menerangkan buah sukun; ketika ditanya apakah buah sukun
itu, akan menerangkan buah mangga. Demikian pula halnya dengan Purana Kassapa.
Ketika ia ditanya tentang faedah-faedah nyata dari kehidupan seorang petapa, telah
menerangkan teorinya tentang tiada perbuatan (akiriya). Bhante, kemudian
timbullah perenungan dalam diriku : Apakah layak bagi seseorang seperti diriku
untuk mencela petapa atau brahmana yang menetap dalam kerajaanku?
Sesungguhnya, Bhante, aku tidak menerima atau menentang terhadap apa yang telah
dikatakan oleh Purana Kassapa itu, dan walaupun merasa tidak puas dengan
jawabannya, aku tidak mengutarakan pernyataan tidak puas. Tanpa menerima ataupun
menolak atas jawabannya, aku bangkit dari tempat duduk dan pergi
meninggalkannya.
Sekarang, bagaimana pendapatmu, O Baginda. Seandainya di antara orang-orang
yang tinggal dalam kerajaanmu ada seorang budak yang bekerja untukmu, bangun
sebelummu dan istirahat setelahmu, gembira untuk melaksanakan perintahmu,
berusaha membuat ucapan dan kelakuannya menyenangkan, seorang yang dapat
mengerti. Kemudian ia berpikir : Sungguh mengagumkan dan luar biasa tumbuhnya
amal ibadah (punna) ini, akibat dari amal-ibadah ini! Raja Ajatasattu dari Magadha,
putra Ratu Videha ini adalah seorang manusia, dan aku juga manusia. Tetapi, Raja
Ajatasattu hidup dalam kenikmatan, dikaruniai dengan lima macam kesenangan indria
seperti gambarannya seorang dewa; sedang aku sendiri adalah seorang budak, bekerja
untuknya, bangun sebelumnya dan istirahat setelahnya, gembira untuk melaksanakan
perintahnya, berusaha membuat ucapan dan kelakuanku menyenangkan, seorang yang
dapat mengerti. Seandainya aku seperti dirinya, maka aku juga dapat memperoleh
amal-ibadah. Mengapa aku tidak mencukur rambut dan janggut, mengenakan jubah
kuning dan meninggalkan hidup keluarga untuk menempuh hidup sebagai petapa
(pabbaja) ?Beberapa waktu kemudian ia mencukur rambut dan janggutnya,
mengenakan jubah kuning dan meninggalkan hidup keluarga untuk menempuh hidup
sebagai petapa. Setelah masuk menjadi petapa, ia hidup mengendalikan diri dalam
perbuatan, ucapan dan pikiran, merasa puas dengan makanan dan tempat tinggal yang
diperoleh dari hasil dana, senang tinggal di tempat-tempat sunyi.Kemudian
seandainya orang-orangmu berkata demikian: Semoga hal ini berkenan di hati
Baginda. Tahukah Baginda bahwa seseorang yang dahulunya sebagai budakmu, yang
bekerja untukmu, bangun sebelummu dan istirahat setelahmu, gembira untuk
melaksanakan perintahmu, berusaha membuat ucapan dan perbuatannya
menyenangkan, seorang yang dapat mengerti; sekarang ia telah mencukur rambut dan
janggutnya, mengenakan jubah kuning dan meninggalkan hidup keluarga untuk
menempuh hidup Pabbaja. Setelah masuk menjadi petapa, ia hidup mengendalikan
diri dalam perbuatan, ucapan dan pikiran, merasa puas dengan makanan dan tempat
tinggal yang diperoleh dari hasil dana, senang tinggal di tempat- tempat sunyi ?Dan
selanjutnya apakah kau akan berkata: Suruh orang itu kembali, biar ia menjadi budak
lagi dan kembali bekerja untukmu.
Tidak, Bhante. Bahkan sebaliknya kita harus memberikan sembah dan
menyambutnya dengan berdiri dari tempat duduk atas dasar rasa hormat terhadap
dirinya serta mempersilahkan ia duduk. Kita harus menyediakan kebutuhan-
kebutuhan hidup petapa, yaitu : jubah, mangkuk, tempat tinggal dan obat-obatan
untuk orang sakit memohon agar ia menerimanya. Kita harus memberikan penjagaan,
pengawasan dan perlindungan hukum kepadanya."Dan bagaimana pendapatmu, O
baginda. Apakah ada atau tidak faedah-faedah nyata dari kehidupan seorang petapa
dalam masa sekarang ini ?"Sesungguhnya, Bhante, ada faedah-faedah nyata dari
kehidupan seorang petapa dalam masa sekarang ini.
Bila demikian, O Baginda, inilah yang Ku-katakan sebagai faedah nyata yang
pertama dari kehidupan seorang petapa dalam masa sekarang ini.
Bhante, apakah engkau dapat menunjukkan kepadaku faedah-faedah nyata lainnya
dari kehidupan seorang petapa dalam masa sekarang ini ?"Aku dapat, O Baginda.
Akan tetapi sebelumnya aku akan bertanya kepadamu. Jawablah dengan apa yang kau
anggap paling sesuai. Sekarang, bagaimana pendapatmu, O Baginda. Seandainya di
antara orang-orang yang tinggal dalam kerajaanmu ada seorang petani yang
mengerjakan tanahnya sendiri, orang berkeluarga, yang membayar pajak untuk
meningkatkan penghasilan negara. Kemudian ia berpikir : Sungguh mengagumkan
dan luar biasa tumbuhnya amal-ibadah (punna) ini, akibat dari amal-ibadah ini! Raja
Ajatasattu dari Magadha, putra Ratu Videha ini adalah seorang manusia, dan aku juga
manusia. Tetapi, Raja Ajatasattu hidup dalam kenikmatan, dikaruniai dengan lima
macam kesenangan indria seperti gambarannya seorang dewa; sedang aku sendiri
adalah seorang petani yang mengerjakan tanahku sendiri, orang berkeluarga, yang
membayar pajak untak meningkatkan penghasilan negara. Seandainya aku seperti
dirinya, maka aku juga dapat memperoleh amal-ibadah. Mengapa aku tidak mencukur
rambut dan janggutku, mengenakan jubah kuning dan meninggalkan hidup-keluarga
untuk menempuh hidup Pabbaja ?Beberapa waktu kemudian ia mencukur rambut
dan janggutnya, mengenakan jubah kuning dan meninggalkan hidup keluarga untuk
menempuh hidup Pabbaja. Setelah masuk menjadi petapa, ia hidup mengendalikan
diri dalam perbuatan, ucapan dan pikiran, merasa puas dengan makanan dan tempat
tinggal yang diperoleh dari hasil dana, senang tinggal di tempat-tempat sunyi.
Kemudian seandainya orang-orangmu berkata demikian: Semoga hal ini berkenan di
hati Baginda. Tahukah Baginda bahwa seorang yang dahulunya sebagai petani, yang
mengerjakan tanahnya sendiri, orang berkeluarga, yang membayar pajak untuk
meningkatkan penghasilan negara; sekarang ia telah mencukur rambut dan
janggutnya, mengenakan jubah kuning dan meninggalkan hidup keluarga untuk
menempuh hidup Pabbaja. Setelah masuk menjadi petapa, ia hidup mengendalikan
diri dalam perbuatan, ucapan dan pikiran, merasa puas dengan makanan dan tempat
tinggal yang diperoleh dari hasil dana, senang tinggal di tempat-tempat sunyi.Dan
selanjutnya apakah kau akan berkata : Suruh orang itu kembali, biar ia menjadi
petani yang mengerjakan tanahnya sendiri, orang berkeluarga, dan membayar pajak
untuk meningkatkan penghasilan negara lagi.
Tidak, Bhante. Bahkan sebaliknya kami harus memberikan sembah dan
menyambutnya dengan berdiri dari tempat duduk atas dasar rasa hormat terhadap
dirinya serta mempersilahkan ia duduk. Kami harus menyediakan kebutuhan-
kebutuhan hidup petapa, yaitu : jubah, mangkuk, tempat tinggal dan obat-obatan
untuk orang sakit, memohon agar ia menerimanya. Kami harus memberikan
penjagaan, pengawasan dan perlindungan hukum kepadanya.
Dan bagaimana pendapatmu, O Baginda. Apakah ada atau tidak faedah-faedah nyata
dari kehidupan seorang petapa dalam masa sekarang ini ?"Sesungguhnya, Bhante,
ada faedah-faedah nyata dari kehidupan seorang petapa dalam masa sekarang ini.
Bila demikian, O Baginda, inilah yang kukatakan sebagai faedah nyata yang kedua
dari kehidupan seorang petapa dalam masa sekarang ini.
Bhante, apakah engkau dapat menunjukkan faedah-faedah nyata lainnya dari
kehidupan seorang petapa dalam masa sekarang ini, faedah-faedah yang lebih indah
dan lebih tinggi daripada ini ?"Aku dapat, O Baginda. Dengarkan dan perhatikanlah,
O Baginda, aku akan berbicara."Baiklah, Bhante, jawab Raja Ajatasattu. Kemudian
Sang Bhagava berkata :
O Baginda, seandainya di dunia ini muncul seorang Tathagata, Yang Maha Suci,
Yang Telah Mencapai Penerangan Sempurna, sempurna pengetahuan serta tindak-
tanduk-Nya, sempurna menempuh Jalan, Pengenal segenap alam, Pembimbing yang
tiada tara bagi mereka yang bersedia untuk dibimbing, Guru para dewa dan manusia,
Yang Sadar, Yang Patut Dimuliakan. Beliau mengajarkan pengetahuan yang telah
diperoleh melalui usaha-Nya sendiri kepada orang-orang lain, dalam dunia ini yang
meliputi para dewa, mara dan Brahma-nya; para petapa, brahmana, raja beserta
rakyatnya. Beliau mengajarkan Dhamma (Kebenaran) yang indah pada permulaan,
indah pada pertengahan, indah pada akhir dalam isi maupun bahasanya. Beliau
mengajarkan cara hidup petapa (brahmacariya) yang sempurna dan suci.
Kemudian, seorang yang berkeluarga atau salah seorang dari anak-anaknya atau
seorang dari keturunan keluarga rendah datang mendengarkan Dhamma itu, dan
setelah mendengarnya ia memperoleh keyakinan terhadap Sang Tathagata. Setelah ia
memiliki keyakinan itu, timbullah perenungan ini dalam dirinya : Sesungguhnya,
hidup berkeluarga itu penuh dengan rintangan, jalan yang penuh dengan kekotoran
nafsu. Bebas seperti udara adalah hidup Pabbaja. Sungguh sukar bagi seorang yang
hidup berkeluarga untuk menempuh hidup Brahmacariya secara sungguh-sungguh,
suci serta dalam seluruh kegemilangan kesempurnaannya. Maka, biarlah aku
mencukur rambut dan janggutku, mengenakan jubah kuning dan meninggalkan hidup
keluarga untuk menempuh hidup Pabbaja.
Setelah menjadi bhikkhu, ia hidup mengendalikan diri sesuai dengan Patimokkha
(peraturan-peraturan bhikkhu), sempurna kelakuan dan latihannya, dapat melihat
bahaya dalam kesalahan-kesalahan yang paling kecil sekalipun. Ia menyesuaikan dan
melatih dirinya dalam peraturan-peraturan. Menyempurnakan perbuatan-perbuatan
dan ucapannya. Suci dalam cara hidupnya, sempurna silanya, terjaga pintu-pintu
indrianya. Ia memiliki perhatian murni dan pengertian jelas (sati-sampajanna); dan
hidup puas.
Bagaimanakah, O Baginda, seorang bhikkhu yang sempurna silanya ? Dalam hal ini,
O Baginda, seorang bhikkhu menjauhi pembunuhan, menahan diri dari pembunuhan
mahluk-mahluk. Setelah membuang alat pemukul dan pedang, malu dengan
perbuatan-kasar; ia hidup dengan penuh cinta-kasih, kasih sayang dan bajik terhadap
semua mahluk, semua yang hidup. Inilah sila yang dimilikinya.Menjauhi pencurian,
menahan diri dari memiliki apa yang tidak diberikan; ia hanya mengambil apa yang
diberikan dan tergantung pada pemberian; ia hidup jujur dan suci. Inilah sila yang
dimilikinya.Menjauhi hubungan kelamin, menjalankan Brahmacariya (tidak kawin);
ia menahan diri dari perbuatan-perbuatan rendah dan hubungan kelamin. Inilah sila
yang dimilikinya.
Menjauhi kedustaan, menahan diri dari dusta, ia berbicara benar, tidak menyimpang
dari kebenaran, jujur dan dapat dipercaya, serta tidak mengingkari kata-katanya
sendiri di dunia. Menjauhi ucapan fitnah, menahan diri dari memfitnah; apa yang ia
dengar di sini tidak akan diceritakannya di tempat lain sehingga menyebabkan
pertentangan dengan orang-orang di sini. Apa yang ia dengar di tempat lain tidak akan
diceritakannya di sini sehingga menyebabkan pertentangan dengan orang-orang di
sana. Ia hidup menyatukan mereka yang terpecah-belah, pemersatu, mencintai
persatuan, mendambakan persatuan; persatuan merupakan tujuan pembicaraannya.
Inilah sila yang dimilikinya.Menjauhi ucapan kasar, menahan diri dari penggunaan
kata-kata kasar; ia hanya mengucapkan kata-kata yang tidak tercela, menyenangkan,
menarik, berkenan di hati, sopan, enak didengar dan disenangi orang. Inilah sila yang
dimilikinya.Menjauhi pembicaraan sia-sia, menahan diri dari percakapan yang tidak
bermanfaat; ia berbicara pada saat yang tepat, sesuai dengan kenyataan, berguna,
tentang Dhamma dan Vinaya. Pada saat yang tepat, ia mengucapkan kata-kata yang
berharga untuk didengar, penuh dengan gambaran yang tepat, memberikan uraian
yang jelas dan tidak berbelit-belit. Inilah sila yang dimilikinya.
Ia menahan diri untuk tidak merusak benih-benih dan tumbuh-tumbuhan. Ia makan
sehari sekali, tidak makan setelah tengah hari. Ia menahan diri dari menonton
pertunjukan-pertunjukan, tari-tarian, nyanyian dan musik. Ia menahan diri dari
penggunaan alat-alat kosmetik, karangan-karangan bunga, wangi-wangian dan
perhiasan-perhiasan. Ia menahan diri dari penggunaan tempat tidur yang besar dan
mewah. Ia menahan diri dari menerima emas dan perak. Ia menahan diri dari
menerima gandum (padi) yang belum dimasak. Ia menahan diri dari menerima daging
yang belum dimasak. Ia menahan diri dari menerima wanita dan perempuan-
perempuan muda. Ia menahan diri dari menerima budak-belian lelaki dan budak-
belian perempuan. Ia menahan diri dari menerima biri-biri atau kambing. Ia menahan
diri dari menerima babi dan unggas. Ia menahan diri dari menerima gajah, sapi dan
kuda. Ia menahan diri dari menerima tanah-tanah pertanian. Ia menahan diri dari
berlaku sebagai duta atau pesuruh. Ia menahan diri dari membeli dan menjual. Ia
menahan diri dari menipu dengan timbangan, mata uang maupun ukuran-ukuran. Ia
menahan diri dari perbuatan menyogok, menipu dan penggelapan. Ia menahan diri
dari perbuatan melukai, membunuh, memperbudak, merampok, menodong dan
menganiaya. Inilah sila yang dimilikinya.
Selanjutnya, O Baginda, seorang bhikkhu yang sempurna silanya, tidak melihat
adanya bahaya dari sudut mana pun sejauh berkenan dengan pengendalian terhadap
sila, O Baginda, sama seperti seorang kesatria yang patut dinobatkan menjadi raja,
yang musuh-musuhnya telah dikalahkan, tidak melihat bahaya dari sudut mana pun
sejauh berkenaan dengan musuh-musuh; demikian pula, seorang bhikkhu yang
sempurna silanya, tidak melihat bahaya dari sudut mana pun sejauh berkenaan dengan
pengendalian sila. Dengan memiliki kelompok sila yang mulia ini, dirinya merasakan
suatu kebahagiaan murni (anavajja sukham). Demikianlah, O Baginda, seorang
bhikkhu yang memiliki sila sempurna.
Bagaimanakah, O Baginda, seorang bhikkhu memiliki penjagaan atas pintu-pintu
indrianya? O Baginda, bilamana seorang bhikkhu melihat suatu obyek dengan
matanya, ia tidak terpikat dengan bentuk keseluruhan atau bentuk perinciannya. Ia
berusaha menahan diri terhadap bentuk-bentuk yang dapat memberikan kesempatan
bagi tumbuhnya keadaan-keadaan tidak baik atau buruk, keserakahan dan kebencian;
yang telah begitu lama menguasai dirinya sewaktu ia berdiam tanpa pengendalian diri
terhadap indria pengelihatannya. Ia menjaga indria pengelihatannya, dan memiliki
pengendalian terhadap indria pengelihatannya.Bilamana ia mendengar suara dengan
telinganya, ia tidak terpikat dengan bentuk keseluruhan atau bentuk perinciannya. Ia
berusaha menahan diri terhadap bentuk-bentuk yang dapat memberikan kesempatan
bagi tumbuhnya keadaan-keadaan tidak baik dan buruk, keserakahan dan kebencian;
yang telah begitu lama menguasai dirinya sewaktu ia berdiam tanpa pengendalian diri
terhadap indria pendengarnya. Ia menjaga indria pendengarannya, dan memiliki
pengendalian terhadap indria pendengarannya.Bilamana ia mencium bau dengan
hidungnya, ia tidak terpikat dengan bentuk keseluruhan atau bentuk perinciannya. Ia
berusaha menahan diri terhadap bentuk-bentuk yang dapat memberikan kesempatan
bagi tumbuhnya keadaan-keadaan tidak baik dan buruk, keserakahan dan kebencian;
yang telah begitu lama menguasai dirinya sewaktu ia berdiam tanpa pengendalian diri
terhadap indria penciumannya. Ia menjaga indria penciumannya, dan memiliki
pengendalian terhadap indria penciumannya.Bilamana ia mengecap rasa dengan
lidahnya, ia tidak terpikat dengan bentuk keseluruhan atau bentuk perinciannya. Ia
berusaha menahan diri terhadap bentuk-bentuk yang dapat memberikan kesempatan
bagi tumbuhnya keadaan-keadaan tidak baik dan buruk, keserakahan dan kebencian;
yang telah begitu lama menguasai dirinya sewaktu ia berdiam tanpa pengendalian diri
terhadap indria pengecapannya. Ia menjaga indria pengecapannya, dan memiliki
pengendalian terhadap indria pengecapannya.Bilamana ia merasakan suatu sentuhan
dengan tubuhnya, ia tidak terpikat dengan bentuk keseluruhan atau bentuk-
perinciannya. Ia berusaha menahan diri terhadap bentuk-bentuk yang dapat
memberikan kesempatan bagi tumbuhnya keadaan-keadaan tidak baik dan buruk,
keserakahan dan kebencian; yang telah begitu lama menguasai dirinya sewaktu ia
berdiam tanpa pengendalian terhadap indria perabanya. Ia menjaga indria perabanya,
dan memiliki pengendalian terhadap indria perabanya.Bilamana ia mengetahui
sesuatu (dhamma) dengan pikirannya, ia tidak terpikat dengan bentuk keseluruhan
atau bentuk perinciannya. Ia berusaha menahan diri terhadap bentuk-bentuk yang
dapat memberikan kesempatan bagi tumbuhnya keadaan-keadaan tidak baik dan
buruk; keserakahan dan kebencian; yang telah begitu lama menguasai dirinya sewaktu
ia berdiam tanpa pengendalian terhadap indria pikirannya. Ia menjaga indria
pikirannya, dan memiliki pengendalian terhadap indria pikirannya.
Dengan memiliki pengendalian diri yang mulia ini terhadap indria-indrianya, ia
merasakan suatu kebahagiaan yang tidak dapat diterobos oleh noda apa pun.
Demikianlah, O Baginda, seorang bhikkhu yang memiliki pengendalian atas pintu-
pintu indrianya.
Bagaimanakah, O Baginda, seorang bhikkhu memiliki perhatian murni dan
pengertian jelas ? Dalam hal ini, O Baginda, seorang bhikkhu mengerti dengan jelas
sewaktu ia pergi atau sewaktu kembali; ia mengerti dengan jelas sewaktu melihat ke
depan atau melihat ke samping; ia mengerti dengan jelas sewaktu mengenakan jubah
atas (sanghati), jubah luar (civara) atau mengambil mangkuk (patta); ia mengerti
dengan jelas sewaktu makan, minum, mengunyah atau menelan; ia mengerti dengan
jelas sewaktu buang air atau sewaktu kencing; ia mengerti dengan jelas sewaktu
dalam keadaan berjalan, berdiri, duduk, tidur, bangun, berbicara atau diam.
Demikianlah, O Baginda, seorang bhikkhu yang memiliki perhatian murni dan
pengertian jelas.
Bagaimanakah, O Baginda, seorang bhikkhu merasa puas ? Dalam hal ini, O
Baginda, seorang bhikkhu merasa puas hanya dengan jubah-jubah yang cukup untuk
menutupi tubuhnya, puas hanya dengan makanan yang cukup untuk menghilangkan
rasa lapar perutnya. Dan kemana pun ia akan pergi, ia pergi hanya dengan membawa
hal-hal ini. O Baginda, sama seperti seekor burung dengan sayapnya, kemana pun
akan terbang, burung itu terbang hanya dengan membawa sayapnya. Demikian pula,
O Baginda, seorang bhikkhu merasa puas hanya dengan jubah-jubah yang cukup
untuk menutupi tubuhnya, puas hanya dengan makanan yang cukup untuk
menghilangkan rasa lapar perutnya. Maka, kemana pun ia akan pergi, ia pergi hanya
dengan membawa hal-hal ini. Demikianlah, O Baginda, seorang bhikkhu merasa
puas.
Setelah memiliki kelompok-sila yang mulia ini, memiliki pengendalian terhadap
indria-indria yang mulia ini, memiliki perhatian murni dan pengertian jelas yang
mulia ini, memiliki kepuasan yang mulia ini, ia memilih tempat-tempat sunyi di
hutan, di bawah pohon, di lereng bukit, di celah gunung, di gua karang, di tanah-
kubur, di dalam hutan lebat, di lapangan terbuka, di atas tumpukan jerami untuk
berdiam. Setelah pulang dari usahanya mengumpulkan dana makanan dan selesai
makan; ia duduk bersila, badan tegak, sambil memusatkan perhatiannya ke depan.
Dengan menyingkirkan kerinduan terhadap dunia, ia berdiam dalam pikiran yang
bebas dari kerinduan, membersihkan pikirannya dari nafsu-nafsu. Dengan
menyingkirkan itikad jahat, ia berdiam dalam pikiran yang bebas dari itikad jahat,
dengan pikiran bersahabat serta penuh kasih sayang terhadap semua mahluk, semua
yang hidup, ia membersihkan pikirannya dari itikad jahat. Dengan menyingkirkan
kemalasan dan kelambanan, ia berdiam dalam keadaan bebas dari kemalasan dan
kelambanan; dengan memusatkan perhatiannya pada pencerapan terhadap cahaya
(alokasanni), ia membersihkan pikirannya dari kemalasan dan kelambanan. Dengan
menyingkirkan kegelisahan dan kekhawatiran, ia berdiam bebas dari kekacauan;
dengan batin tenang, ia membersihkan pikirannya dari kegelisahan dan kekhawatiran.
Dengan menyingkirkan keragu-raguan, ia berdiam mengatasi keragu-raguan; dengan
tidak lagi ragu-ragu terhadap apa yang baik, ia membersihkan pikirannya dari keragu-
raguan.
O Baginda, sama halnya seperti seseorang, yang setelah berhutang, ia berdagang
sampai berhasil, sehingga bukan saja ia mampu membayar kembali pinjaman
hutangnya, tetapi masih ada kelebihan untuk merawat seorang istri. Dan ia berpikir :
Dahulu aku berhutang dan berdagang sampai berhasil, sehingga bukan saja aku dapat
membayar kembali pinjaman hutangku, tetapi masih ada kelebihan untuk merawat
seorang istri. Dengan demikian ia merasa gembira, bersenang hati atas hal itu.
O Baginda, sama halnya seperti seseorang yang diserang penyakit, berada dalam
kesakitan, amat parah keadaannya, tidak dapat mencerna makanannya, sehingga tidak
ada lagi kekuatan dalam dirinya; namun setelah beberapa waktu ia sembuh dari
penyakit itu, dapat mencerna makanannya sehingga kekuatannya pulih. Dan ia
berpikir: Dahulu aku diserang penyakit, berada dalam kesakitan, amat parah
keadaanku, tidak dapat mencerna makananku, sehingga tidak ada lagi kekuatan dalam
diriku; namun, sekarang aku telah sembuh dari penyakit itu, dapat mencerna makanan
sehingga kekuatanku pulih. Dengan demikian ia merasa gembira, bersenang hati atas
hal itu.
O Baginda, sama halnya seperti seseorang yang ditahan dalam rumah penjara, dan
setelah beberapa waktu ia dibebaskan dari tahanannya, aman dan sehat, barang-
barangnya tidak ada yang dirampas. Dan ia berpikir : Dahulu aku ditahan dalam
rumah penjara, dan sekarang aku telah bebas dari tahanan, aman dan sehat, barang-
barangku tidak ada yang dirampas. Dengan demikian ia merasa gembira, bersenang
hati atas hal itu.
O, Baginda, sama halnya seperti seseorang yang menjadi budak, bukan tuan bagi
dirinya sendiri, tunduk kepada orang lain, tidak dapat pergi kemana ia suka; dan
setelah beberapa waktu ia dibebaskan dari perbudakan itu, menjadi tuan bagi dirinya
sendiri, tidak tunduk kepada orang lain, seorang yang bebas, bebas pergi ke mana ia
suka. Dan ia berpikir : Dahulu aku seorang budak, bukan tuan bagi diriku sendiri,
tunduk kepada orang lain, tidak dapat pergi kemana aku suka; dan sekarang aku telah
bebas dari perbudakan, menjadi tuan bagi diriku sendiri, tidak tunduk kepada orang
lain, seorang yang bebas, bebas pergi kemana aku suka. Dengan demikian ia merasa
gembira, bersenang hati atas hal itu.
O Baginda, sama halnya seperti seseorang yang dengan membawa kekayaan dan
barang-barang, melakukan perjalanan di padang pasir, di mana tidak terdapat
makanan melainkan banyak bahaya; dan setelah beberapa waktu ia berhasil keluar
dari padang pasir itu, selamat tiba di perbatasan desanya, suatu tempat yang aman,
tidak ada bahaya. Dan ia berpikir : Dahulu, dengan membawa kekayaan dan barang-
barang, aku melakukan perjalanan di padang pasir, di mana tidak terdapat makanan
melainkan banyak bahaya; dan sekarang aku telah berhasil keluar dari padang pasir
itu, selamat tiba di perbatasan desaku, suatu tempat yang aman, tidak ada bahaya.
Dengan demikian ia merasa gembira, bersenang hati atas hal itu.
Demikianlah, O Baginda, selama lima rintangan (panca nivarana) belum
disingkirkan, seorang bhikkhu merasakan dirinya seperti orang yang berhutang,
terserang penyakit, dipenjara, menjadi budak, melakukan perjalanan di padang pasir.
Tetapi, O Baginda, setelah lima rintangan itu disingkirkan, maka seorang bhikkhu
merasa dirinya seperti orang yang telah bebas dari hutang, bebas dari penyakit, keluar
dari penjara, bebas dari perbudakan, sampai di tempat yang aman.
Apabila ia menyadari bahwa lima rintangan itu telah disingkirkan dari dalam dirinya,
maka timbullah kegembiraan, karena gembira maka timbullah kegiuran (piti), karena
batin tergiur, maka seluruh tubuhnya terasa nyaman, karena tubuh menjadi nyaman,
maka ia merasa bahagia, karena bahagia, maka pikirannya menjadi terpusat.
Kemudian, setelah terpisah dari nafsu-nafsu, jauh dari kecenderungan-kecenderungan
tidak baik, maka ia masuk dan berdiam dalam jhana pertama; suatu keadaan batin
yang tergiur dan bahagia (piti-sukha), yang timbul dari kebebasan, yang masih
disertai dengan Vitakka (pengarahan pikiran pada obyek) dan vicara
(mempertahankan pikiran pada obyek). Seluruh tubuhnya dipenuhi, digenangi,
diresapi serta diliputi dengan perasaan tergiur dan bahagia, yang timbul dari
kebebasan; dan tidak ada satu bagian pun dari tubuhnya yang tidak diliputi oleh
perasaan tergiur dan bahagia itu, yang timbul dari kebebasan (viveka).
O Baginda, sama halnya seperti tukang memandikan yang pandai atau pembantunya
akan menebarkan bubuk-sabun wangi dalam sebuah mangkuk logam, memercikinya
dengan air setetes demi setetes dan kemudian ia meramasnya bersama sehingga
bubukan sabun itu dapat menyerap seluruh cairan; dibahasi, diresapi dan diliputi
dengannya, baik dalam maupun luar, dan tidak ada yang mengalir keluar.Demikian
pula O Baginda, bhikkhu itu seluruh tubuhnya dipenuhi, digenangi, diresapi serta
diliputi dcngan perasaan tergiur dan bahagia, yang timbul dari kebebasan; sehingga
tidak ada satu bagian pun dari tubuhnya yang tidak diliputi oleh perasaan tergiur dan
bahagia, yang timbul dari kebebasan itu.Inilah, O Baginda, faedah nyata dari
kehidupan seorang petapa dalam masa sekarang ini, yang lebih indah dan lebih tinggi
daripada yang terdahulu.
Selanjutnya, O Baginda, seorang bhikkhu yang telah membebaskan diri dari vitakka
dan vicara, memasuki dan berdiam dalam jhana kedua; yaitu keadaan batin yang
tergiur dan bahagia, yang timbul dari ketenangan konsentrasi, tanpa disertai dengan
vitakka dan vicara, keadaan batin yang memusat. Demikianlah seluruh tubuhnya
dipenuhi, diresapi serta diliputi dengan perasaan tergiur dan bahagia, yang timbul dari
konsentrasi dan tidak ada satu bagian pun dari tubuhnya yang tidak diliputi oleh
perasaan tergiur dan bahagia itu, yang timbul dari konsentrasi.
O Baginda, bagaikan sebuah kolam yang dalam, yang mempunyai sumber air di
bawahnya, tanpa lubang masuk dari Timur atau Barat, waktu ke waktu tidak turun
hujan; namun, arus air yang sejuk, yang berasal dari sumber itu akan tetap memenuhi,
menggenangi, meresapi dan meliputi kolam itu, sehingga tidak ada satu bagian pun
dari kolam itu, yang tidak diliputi oleh air yang sejuk itu.Demikian pula, O Baginda,
bhikkhu itu seluruh tubuhnya dipenuhi, digenangi, diresapi serta diliputi oleh perasaan
tergiur dan bahagia, yang timbal dari konsentrasi; sehingga tidak ada satu bagian pun
dari tubuhnya yang tidak diliputi oleh perasaan tergiur dan bahagia yang timbul dari
konsentrasi itu.Inilah, O Baginda, faedah nyata dari kehidupan seorang petapa dalam
masa sekarang ini, yang lebih indah dan lebih tinggi daripada yang terdahulu.
Selanjutnya, O Baginda, seorang bhikkhu yang telah membebaskan dirinya dari
perasaan tergiur, berdiam dalam keadaan seimbang yang disertai dengan perhatian
murni dan pengertian jelas. Tubuhnya diliputi dengan perasaan bahagia, yang
dikatakan oleh para ariya sebagai kebahagiaan yang dimiliki oleh mereka yang
batinnya seimbang dan penuh perhatian-murni; ia memasuki dan berdiam dalam
jhana ketiga. Demikianlah seluruh tubuhnya dipenuhi, digenangi, diresapi serta
diliputi dengan perasaan bahagia yang tanpa disertai dengan perasaan tergiur; dan
tidak ada satu bagian pun dari tubuhnya yang tidak diliputi oleh perasaan bahagia
Dengan pikiran yang telah terpusat, bersih, jernih, bebas dari nafsu, bebas dari noda,
lunak, siap untuk dipergunakan, teguh dan tidak dapat digoncangkan, ia
mempergunakan dan mengarahkan pikirannya pada ceto-pariyanana (pengetahuan
untuk membaca pikiran orang lain). Dengan menembus melalui pikirannya sendiri, ia
mengetahui pikiran-pikiran mahluk lain, pikiran orang-orang lain.Ia
mengetahui:Pikiran yang disertai nafsu sebagai pikiran yang disertai nafsu.
Pikiran tanpa-nafsu sebagai pikiran tanpa nafsu.
Pikiran yang disertai kebencian sebagai pikiran yang disertai kebencian.
Pikiran tanpa-kebencian sebagai pikiran tanpa kebencian.
Pikiran yang disertai ketidak tahuan sebagai pikiran yang disertai ketidaktahuan.
Pikiran tanpa-ketidaktahuan sebagai pikiran tanpa ketidaktahuan.
Pikiran yang teguh sebagai pikiran yang teguh.
Pikiran yang ragu-ragu sebagai pikiran yang raga-ragu.
Pikiran yang berkembang sebagai pikiran yang berkembang.
Pikiran yang tidak berkembang sebagai pikiran yang tidak berkembang.
Pikiran yang rendah sebagai pikiran yang rendah.
Pikiran yang luhur sebagai pikiran yang luhur.
Pikiran yang terpusat sebagai pikiran yang terpusat.
Pikiran yang berhamburan (kacau) sebagai pikiran yang berhamburan (kacau).
Pikiran yang bebas sebagai pikiran yang bebas.
Pikiran yang tidak bebas sebagai pikiran yang tidak bebas.
O Baginda, sama halnya seperti seorang wanita, lelaki atau anak kecil, yang ingin
memperindah diri dengan melihat wajahnya pada permukaan sebuah kaca yang bersih
dan jernih atau pada sebuah tempayan yang berisikan air jernih; maka apabila
wajahnya memiliki tahi-lalat, ia tahu bahwa wajahnya memiliki tahi-lalat; apabila
wajahnya tidak memiliki tahi-lalat, ia tahu bahwa wajahnya tidak memiliki tahi-
lalat.Demikian pula, O Baginda, dengan pikiran yang telah terpusat, bersih, jernih,
bebas dari nafsu, bebas dari noda, lunak, siap untuk dipergunakan, teguh dan tidak
dapat digoncangkan, bhikkhu itu mempergunakan dan mengarahkan pikirannya pada
ceto-pariyanana (pengetahuan untuk membaca pikiran orang lain). Dengan menembus
melalui pikirannya sendiri, ia mengetahui pikiran-pikiran mahluk lain, pikiran orang-
orang lain. Dan ia mengetahui pikiran yang disertai nafsu sebagai pikiran yang
disertai nafsu.
Pikiran tanpa-nafsu sebagai pikiran tanpa-nafsu.
Pikiran yang disertai kebencian sebagai pikiran yang disertai kebencian.
Pikiran tanpa-kebencian sebagai pikiran tanpa kebencian.
Pikiran yang disertai ketidaktahuan sebagai pikiran yang disertai ketidaktahuan.
Pikiran tanpa-ketidaktahuan sebagai pikiran tanpa-ketidaktahuan.
Pikiran yang teguh sebagai pikiran yang teguh.
Pikiran yang ragu-ragu sebagai pikiran yang ragu-ragu.
Pikiran yang berkembang sebagai pikiran yang berkembang.
Pikiran yang tidak berkembang sebagai pikiran yang tidak berkembang.
Pikiran yang rendah sebagai pikiran yang rendah.
Pikiran yang luhur sebagai pikiran yang luhur.
Pikiran yang terpusat sebagai pikiran yang terpusat.
Pikiran yang berhamburan (kacau) sebagai pikiran yang berhamburan (kacau).
Pikiran yang bebas sebagai pikiran yang bebas.
Pikiran yang tidak-bebas sebagai pikiran yang tidak-bebas.
Inilah, OBaginda, faedah nyata dari kehidupan seorang petapa dalam masa sekarang
ini, yang lebih indah dan lebih tinggi dari pada yang terdahulu.
Dengan pikiran yang telah terpusat, bersih, jernih, bebas dari nafsu, bebas dari noda,
lunak, siap untuk dipergunakan, teguh dan tidak dapat digoncangkan, ia
mempergunakan dan mengarahkan pikirannya pada pengetahuan tentang
pubbenivasanussati (ingatan terhadap kelahiran-kelahiran lampau). Demikianlah ia
ingat tentang bermacam-macam kelahirannya yang lampau, seperti : satu kelahiran,
dua kelahiran, tiga kelahiran, empat kelahiran, lima kelahiran, sepuluh kelahiran, dua
puluh kelahiran, tiga puluh empat puluh kelahiran, lima puluh kelahiran, seratus
kelahiran, seribu kelahiran, seratus ribu kelahiran, melalui banyak masa-
perkembangan (samvatta-kappa), melalui banyak masa kehancuran (vivatta-kappa),
melalui banyak masa-perkembangan-kehancuran (samvatta-vivatta-kappa). Di suatu
tempat demikian, namaku adalah demikian, makananku adalah demikian, keluargaku
adalah demikian, suku-bangsaku adalah demikian aku mengalami kebahagiaan dan
penderitaan yang demikian, batas umurku adalah demikian. Kemudian, setelah aku
berlalu dari keadaan itu, aku lahir kembali di suatu tempat demikian; di sana, namaku
adalah demikian, makananku adalah demikian, keluargaku adalah demikian, suku-
bangsaku adalah demikian, aku mengalami kebahagiaan dan penderitaan yang
demikian, batas umurku adalah demikian. Setelah aku berlalu dari keadaan itu,
kemudian aku lahir kembali di sini. Demikianlah ia mengingat kembali tentang
bermacam-macam kelahirannya di masa lampau, dalam seluruh seluk-beluknya,
dalam seluruh macamnya.
Setelah beliau selesai berkata demikian, Raja Ajatasattu berkata kepada Sang
Bhagava: Sungguh mengagumkan, Bhante ! Sungguh mengagumkan, Bhante ! Sama
seperti halnya seseorang menegakkan kembali apa yang telah roboh, memperlihatkan
apa yang tersembunyi, menunjukkan jalan benar kepada ia yang tersesat, atau
memberikan cahaya dalam kegelapan: agar mereka yang mempunyai mata dapat
melihat benda-benda di sekitarnya. Demikian pula, dengan berbagai macam cara
Dhamma telah dibabarkan, oleh Sang Bhagava kepadaku. Dan sekarang, Bhante, aku
menyatakan berlindung kepada Sang Bhagava, Dhamma serta Sangha: Semoga Sang
Bhagava sudi menerima aku sebagai seorang upasaka, yang mulai hari ini sampai
selama-lamanya, telah menyatakan berlindung kepada Buddha, Dhamma serta
Sangha.Bhante, aku mengaku telah melakukan perbuatan salah; telah begitu bodoh,
lemah dan jahatnya aku, sehingga hanya karena menginginkan tahta kerajaan aku
sampai membunuh ayahku sendiri, seorang raja yang setia pada Kebenaran, manusia
Kebenaran. Bhante, semoga Sang Bhagava mengetahui kesalahanku itu sebagai suatu
kesalahan, sehingga di masa yang akan datang aku dapat menahan diri.
O Baginda, sesungguhnyalah itu suatu perbuatan salah; bahwasanya kau telah begitu
bodoh, lemah dan jahatnya, sehingga hanya karena menginginkan tahta kerajaan,
engkau sampai membunuh ayahmu sendiri, seorang raja yang setia pada Kebenaran,
manusia Kebenaran. Tetapi, karena engkau telah melihat perbuatan salah itu sebagai
suatu perbuatan salah dan mengakui hal itu sebagaimana adanya, maka kita
mengetahui pengakuanmu itu sebagaimana adanya.Sesungguhnya, O Baginda,
adalah merupakan suatu kebiasaan dalam disiplin para Ariya, bahwasanya, siapa pun
juga yang dapat melihat kesalahannya sendiri sebagai suatu kesalahan dan mau
mengakuinya, maka di masa yang akan datang ia akan dapat menahan diri.
Setelah Beliau berkata demikian, Raja Ajatasattu berkata kepada Sang Bhagava:
Bhante, sekarang kita akan mohon diri. Kita masih banyak tugas. Banyak hal yang
harus kita kerjakan.Silakan, O Baginda, kerjakanlah apa yang nampaknya pantas
bagimu.Demikianlah Raja Ajatasattu merasa gembira dan puas dengan kata-kata
Sang Bhagava. Kemudian ia bangkit dari tempat duduknya, memberi hormat pada
Sang Bhagava dan berjalan lewat samping kanan Beliau, dan meninggalkan tempat
itu.
Tidak berapa lama setelah Raja Ajatasattu pergi meninggalkan tempat itu, Sang
Bhagava berkata kepada bhikkhu-bhikkhu : O para bhikkhu, sang raja merasa amat
terpengaruh; ia merasa tersentuh hatinya. Dan seandainya, O para bhikkhu, sang raja
tidak membunuh ayahnya sendiri, seorang raja yang setia pada Kebenaran, manusia
Kebenaran; pastilah Mata Dhamma (dhamma-cakkhu) yang bersih tanpa noda akan
timbul dalam dirinya.Demikianlah sabda Sang Bhagava. Para bhikkhu merasa puas
dan bersuka cita mendengar sabda Sang Bhagava itu.

Anda mungkin juga menyukai