Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Filariasis (penyakit kaki gajah) atau juga dikenal dengan elephantiasis adalah penyakit
menular dan menahun yang disebabkan oleh infeksi cacing filaria yang ditularkan melalui
gigitan berbagai spesies nyamuk. Di Indonesia, vektor penular filariasis hingga saat ini telah
diketahui ada 23 spesies nyamuk dari genus Anopheles, Culex, Mansonia, Aedes dan
Armigeres. Filariasis dapat menimbulkan cacat menetap berupa pembesaran kaki, tangan, dan
organ kelamin.

Filariasis merupakan jenis penyakit reemerging desease, yaitu penyakit yang dulunya
sempat ada, kemudian tidak ada dan sekarang muncul kembali. Kasus penderita filariasis
khas ditemukan di wilayah dengan iklim sub tropis dan tropis (Abercrombie et al, 1997)
seperti di Indonesia. Filariasis pertama kali ditemukan di Indonesia pada tahun 1877, setelah
itu tidak muncul dan sekarang belum diketahui bagaimana perkembangannya. Filariasis
tersebar luas hampir di seluruh Propinsi di Indonesia. Berdasarkan laporan dari hasil survei
pada tahun 2000 yang lalu tercatat sebanyak 1553 desa di 647 Puskesmas tersebar di 231
Kabupaten 26 Propinsi sebagai lokasi yang endemis, dengan jumlah kasus kronis 6233 orang.

Upaya pemberantasan filariasis tidak bisa dilakukan oleh pemerintah semata.


Masyarakat juga harus ikut memberantas penyakit ini secara aktif. Dengan mengetahui
mekanisme penyebaran filariasis dan upaya pencegahan, pengobatan serta rehabilitasinya,
diharapkan program Indonesia Sehat berkeadilan Tahun 2015 dapat terwujud salah satunya
adalah terbebas dari endemi filariasis.

1.2 Rumusan Masalah


Dari latar belakang di atas, dapat ditarik suatu rumusan masalah antara lain sebagai
berikut.
1. Apa yang dimaksud dengan filariasis?
2. Bagaimana teori simpul terjadinya filariasis?
3. Bagaimana mekanisme perjalanan penyakit filariasis?
4. Bagaimana upaya pencegahan dan pengobatan filariasis?

1.3 Tujuan
Adapun tujuan penyusunan makalah ini adalah mengacu pada rumusan masalah di atas
sebagai berikut.
1. Untuk mengetahui yang dimaksud dengan filariasis.
2. Untuk mengetahui teori simpul terjadinya filariasis.
3. Untuk mengetahui mekanisme perjalanan penyakit filariasis.
4. Untuk mengetahui upaya pencegahan dan pengobatan filariasis.

1.4 Manfaat
Manfaat penyusunan makalah ini adalah agar masyarakat dapat mengetahui segala
sesuatu tentang filariasis, bagaimana teori simpul terjadinya filariasis, dan bagaimana upaya
pencegahan, pengobatan serta rehabilitasi filariasis. Dengan demikian, diharapkan
masyarakat ikut memberantas penyakit ini secara aktif sehingga tidak menjadi endemi di
masyarakat.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Filariasis

Filariasis adalah penyakit menular (penyakit kaki gajah) yang disebabkan oleh cacing
filaria yang ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk. Penyakit ini bersifat menahun (kronis)
dan jika tidak mendapat pengobatan dapat menimbulkan cacat menetap berupa pembesaran
kaki, lengan, payudara, scrotum dan alat kelamin baik perempuan maupun laki-laki.
Akibatnya, penderita tidak dapat bekerja secara optimal, bahkan hidupnya tergantung kepada
orang lain sehingga menjadi beban keluarga, masyarakat dan negara (Achmadi, 2001).

Penyebab penyakit kaki gajah adalah tiga jenis spesies cacing filaria yaitu Wucheria
bancrofti, Brugi malayi, dan Brugia timori. Cacing ini memiliki bentuk langsing ditemukan di
dalam sistem peredarah darah putih, otot, jaringan ikat atau rongga permukaan tulang
belakang. Cacing bentuk dewasa ditemukan pada pembuluh dan jaringan darah putih pasien.
W.bancrofti ditemukan umumnya pada malam hari (noktural) terutama di bagian selatan
dunia termasuk Indonesia, sedangnkan di daerah pasifik ditemukan siang dan malam (non-
periodik), sedangkan jenis malayi lebih timbul pada malam hari.

Angka kejadian filariasis meningkat sejalan dengan peningkatan usia, dan puncaknya
pada usia 20-30 tahun, lebih tinggi pada laki-laki. Di Indonesia hingga saat ini telah diketahui
ada 23 spesies nyamuk dari genus Anopheles, Culex, Mansonia, Aedes, dan Armigeres yang
dapat berperan sebagai vektor penular penyakit kaki gajah.

Seseorang dapat tertular atau terinfeksi penyakit kaki gajah apabila orang tersebut
digigit nyamuk yang infektif, yaitu nyamuk yang mengandung larva stadium III (L3).
Nyamuk tersebut mendapat cacing filaria kecil (mikrofilaria) sewaktu menghisap darah
penderita yang mengandung mikrofilaria atau binatang reservoir yang mengandung
mikrofilaria.

Lingkaran hidup filariasis meliputi : 1) pengisapan mikrofilaria dari darah atau


jaringan oleh serangga penghisap darah, 2) perubahan bentuk didalam serangga membentuk
larva yang aktif, 3) Pertumbuhan larva didalam serangga dan melalui gigitan serangga masuk
ke dalam tubuh, dan berkembang larva menjadi dewasa.
Untuk memberantas penyakit ini sampai tuntas, WHO sudah menetapkan kesepakatan
global (The Global Gool of Elimination of Lymphatic Filariasis as a Public Health Problem
by The Year 2020). Program eliminasi dilaksanakan melalui pengobatan, misalnya dengan
DEC dan Albendazol setahun sekali selama 5 tahun di lokasi yang endemis dan perawatan
kasus klinis, baik yang akut maupun kronis untuk mencegah kecacatan dan mengurangi
penderitanya.

2.2 Teori Simpul Penyakit Filariasis

SIMPUL 1 : Sumber Penyakit

Sumber penyakit adalah titik mengeluarkan atau mengemisikan agent penyakit. Agent
penyakit adalah komponen lingkungan yang dapat menimbulkan gangguan penyakit melalui
kontak secara langsung atau melalui media perantara (yang juga komponen lingkungan).
Penyakit filariasis adalah penyakit menular oleh karena itu sumber penyakit filariasis ini
adalah penderita penyakit menular itu sendiri dan parasit nematoda jaringan.
Teori simpul 1 disebut juga dengan Sumber Penyakit. Simpul 1 pada penyakit
menular umumnya adalah penderita itu sendiri. Pada penyakit filariasis, sumber penyakit
adalah penderita filariasis dan parasit nematoda jaringan.

SIMPUL 2 : Media Transmisi Penyakit

Mengacu pada gambar skematik tersebut, komponen lingkungan yang dapat


memindahkan agent penyaki pada hakikatnya hanya ada 5 komponen lingkungan yang lazim
kita kenal sebagai media transmisi penyakit, yakni : udara, air, tanah/pangan,
binatang/serangga, dan manusia/langsung. Media transmisi tidak akan memiliki potensi
penyakit kalau di dalamnya tidak mengandung bibit penyakit atau agent penyakit.

Penyebaran penyakit filariasis melalui nyamuk Anopheles sp, Aedes aegypti, dan
Culex yang menggigit penderita penyakit filariasis, kemudian nyamuk tersebut memindahkan
penyakit filariasis ke orang sehat melalui gigitan nyamuk tersebut. Proses penularan filariasis
dapat terjadi bila ada tiga unsur yaitu:

1. Adanya sumber penularan yakni manusia atau hospes reservoir yang mengandung
mikrofilaria dalam darahnya.

a. Manusia

Pada dasarnya setiap orang dapat tertular filariasis apabila digigit oleh nyamuk
infektif (mengandung larva stadium 3). Nyamuk infektif mendapat mikrofilaria dari
pengedap baik pengidap dengan gejala klinis maupun pengidap yang tidak
menunjukkan gejala klinis. Pada daerah endemis filariasis tidak semua orang
terinfeksi filariasis dan tidak semua orang yang terinfeksi filariasis menunjukkan
gejala klinis. Seseorang yang terinfeksi filariasis tetapi belum menunjukkan gejala
klinis biasanya sudah terjadi perubahan-perubahan patologis didalam tubuhnya.

Penduduk pendatang pada suatu daerah endemis filariasis mempunyai resiko


terinfeksi filariasis lebih besar dibanding penduduk asli. Penduduk pendatang dari
daerah non endemis ke daerah endemis misalnya transmigran walaupun pada
pemeriksaan darah jari belum atau sedikit mengandung mikrofilaria akan tetapi sudah
menunjukkan gejala klinis yang lebih berat.

b.Hewan
Beberapa jenis hewan dapat berperan sebagai sumber penularan filariasis
(hewan resevoir). Dari semua spesies cacing filaria yang menginfeksi manusia di
Indonesia, hanya Brugia malayi tipe sub periodik nokturna dan non periodik yang
ditemukan pada lutung (Presbytis cristatus), kera (Macaca fascicularis) dan kucing
(Felis catus). Pengendalian filariasis pada hewan resevoir ini tidak mudah, oleh
karena itu juga akan menyulitkan upaya pemberantasan filariasis pada manusia.
(Utama, 2008)

2. Adanya vektor, yakni nyamuk yang dapat menularkan filariasis

3. Manusia yang rentan terhadap filariasis

Seseorang dapat tertular filariasis apabila orang tersebut mendapat gigitan


nyamuk infektif, yaitu nyamuk yang mengandung larva infektif (larva stadium 3-L3).
Pada saat nyamuk infektif menggigit manusia maka larva L3 akan keluar dari
proboscis dan tinggal di kulit sekitar lubang gigitan nyamuk, pada saat nyamuk
menarik probosisnya larva L3 akan masuk melalui luka bekas gigitan nyamuk dan
bergerak menuju ke sistem limfe. Cara penularan tersebut menyebabkan tidak
mudahnya penularan filariasis dari satu orang ke orang lain pada suatu wilayah
tertentu, sehingga dapat dikatakan bahwa seseorang dapat terinfeksi filariasis apabila
orang tersebut mendapat gigitan nyamuk ribuan kali. (Hasyim, 2008)

Larva L3 Brugia malayi dan Brugia timori akan menjadi cacing dewasa dalam
kurun waktu kurang lebih 3,5 bulan, sedangkan Wuchereria bancrofti memerlukan
waktu kurang lebih 9 bulan.

Disamping sulit terjadinya penularan dari nyamuk ke manusia, sebenarnya


kemampuan nyamuk untuk mendapatkan mikrofilaria saat menghisap darah yang
mengandung mikrofilaria juga sangat terbatas. Nyamuk yang menghisap mikrofilaria
terlalu banyak dapat mengalami kematian, tetapi jika mikrofilaria yang terhisap
terlalu sedikit dapat memperkecil jumlah mikrofilaria stadium larva L3 yang akan
ditularkan.

Kepadatan vektor, suhu dan kelembaban sangat berpengaruh terhadap


penularan filariasis. Suhu dan kelembaban berpengaruh terhadap umur nyamuk.
sehingga mikrofilaria yang telah ada dalam tubuh nyamuk tidak cukup waktunya
untuk tumbuh menjadi larva infektif L3 (masa inkubasi ekstrinsik dari parasit). Masa
inkubasi untuk ekstrinsik untuk Wuchereria bancrofti antara 10-14 hari sedangkan
Brugia malayi dan Brugia timori antara 8-10 hari.

Periodisitas mikrofilaria dan perilaku menggigit nyamuk berpengaruh terhadap


resiko penularan. Mikrofilaria yang bersifat periodik nokturna (mikrofilaria hanya
terdapat di dalam darah tepi pada waktu malam) memiliki vektor yang aktif mencari
darah pada waktu malam, sehingga penularan juga terjadi pada malam hari. Di daerah
dengan mikrofilaria sub periodik nokturna dan non periodik penularan dapat terjadi
siang dan malam hari (Utama, 2008).

SIMPUL 3 : Perilaku Pemajanan (Behavioural Exposure)

Agent penyakit dengan atau tanpa menunjang komponen lingkungan lain, masuk ke
dalam tubuh melalui satu proses yang kita kenal sebagai proses hubungan interaktif.
Hubungan interaktif antara komponen lingkungan dengan penduduk berikut perilakunya,
dapat diukur dengan konsep yang disebut sebagai perilaku pemajanan atau behavioural
exposure (Achmadi, 1985). Perilaku pemajanan adalah jumlah kontak antara manusia dengan
komponen lingkungan yang mengandung potensi bahaya penyakit (agent penyakit). Perilaku
pemajanan pada penyakit filariasis terdiri dari faktor manusia, faktor nyamuk dan faktor
agent.

a. Manusia

1. Umur
Filariasis menyerang pada semua kelompok umur. Pada dasarnya setiap orang
dapat tertular filariasis apabila mendapat tusukan atau gigitan nyamuk infektif
(mengandung larva stadium 3 atau L-3) ribuan kali. (Depkes RI, 2006)

2. Jenis kelamin
Semua jenis kelamin dapat terinfeksi mikrofilaria, pada laki-laki lebih tinggi
daripada insiden filariasis pada perempuan karena umumnya laki-laki lebih sring
kontak dengan vektor karena pekerjaannya (Depkes RI, 2006)

3. Imunitas
Orang yang pernah terinfeksi filariasis sebelumnya tidak terbentuk imunitas dalam
tubuhnya terhadap filaria demikian juga yang tinggal di daerah endemis biasanya
tidak mempunyai imunitas alami terhadap penyakit filariasis. Pada daerah
endemis filariasis tidak semua orang terinfeksi dan orang yang terinfeksi
menunjukkan gejala klinis. Seseorang yang terinfeksi filariasis tetapi belum
menunjukkan gejala klinis biasanya terjadi perubahan-perubahan patologis dalam
tubuh (Depkes RI, 2006)

b. Nyamuk
Nyamuk termasuk serangga yang melangsungkan siklus kehidupan di air,
kelangsungan hidup nyamuk akan terputus apabila tidak ada air. Nyamuk dewasa
sekali bertelur sebanyak 100-300 butir, besar telur sekitar 0,5mm, setelah 1-2hari
menetas menjadi jentik, 8-10hari menjadi kepompong (pupa), dan 1-2hari menjadi
nyamuk dewasa. (Depkes RI, 2007)

1. Siklus Gonotrofik
Yaitu waktu yang diperlukan untuk matangnya telur, waktu ini juga merupakan
interval mengigit nyamuk.

2. Frekuensi Menggigit Manusia


Frekuensi membutuhkan atau menghisap darah tergantung spesiesnya dan
dipengaruhi oleh temepratur dan kelembaban yang disebut siklus gonotrofik.
Untuk iklim tropis biasanya ini berlangsung sekitar 48-96 jam. (Depkes RI, 2007)

3. Faktor yang penting


Umur nyamuk (longevity) semakin panjang umur nyamuk semakin besar
kemungkinannya untuk menjadi penular atau vektor. Umur nyamuk bervariasi
tergantung dari spesiesnya dan dipengaruhi oleh lingkungan. Kemampuan
nyamuk vektor untuk mendapatkan mikrofilaria saat menghisap darah yang
mengandung mikrofilaria juga sangat terbatas, nyamuk yang menghisap
mikrofilaria terlalu banyak dapat mengalami kematian, tetapi jika yang terhisap
terlalu sedikit dapat memperkecil jumlah mikrofilaria stadium larva L3 yang akan
ditularkan. Periodisitas mikrofilaria dan perilaku menghisap darah nyamuk vektor
berpengaruh terhadap resiko penularan. Pengetahuan kepadatan nyamuk vektor
sangat penting untuk mengetahui musim penularan dan dapat digunakan sebagai
parameter untuk menilai keberhasilan program pemberantasan vektor (Depkes RI,
2007)
c. Agent
Secara epidemiologi cacing filaria dibagi menjadi 6 tipe yaitu :

1. Wucheria bancrofti tipe perkotaan (urban)


Ditemukan di daerah perkotaan seperti Bekasi, Tangerang, Pekalongan dan
sekitarnya memiliki periodisitas nokturna, ditularkan oleh nyamuk
Cx.quiquefasciatus yang berkembang biak di air limbah rumah tangga.
(DepKes RI, 2006)

2. Wuchereria bancrofti tipe Pedesaan (rural)


Ditemukan di daerah pedesaan luar Jawa terutama tersebar luas di Papua dan
Nusa Tenggara Timur, mempunyai periodisitas nokturna yang ditularkan
melalui berbagai spesies nyamuk Anopheles dan Culex .

3. Brugia malayi tipe periodik nokturna


Mikrofilaria ditemukan di darah pada malam hari. Jenis nyamuk penularannya
adalah Anopheles barbirostis yang ditemukan di daerah persawahan. (DepKes
RI, 2006)

4. Brugia malayi tipe subperiodik nokturna


Mikrofilaria ditemukan di drah tepi pada siang dan malam hari, tetapi lebih
banyak ditemukan pada malam hari. Jenis nyamuk penularnya adalah
Mansonia spp yang ditemukan di daerah rawa.

5. Brugia malayi tipe non periodik


Mikrofilaria ditemukan di darah tepi baik malam maupun siang hari. Jenis
nyamuk penularnya adalah Mansonia bonneae dan Mansonia uniformis yang
di temukan di hutan rimba.

6. Brugia timori tipe periodik nokturna


Di temukan di darah pada malam hari. Jenis nyamuk penularnya adalah
An.barbirostris yang ditemukan di daerah persawahan Nusa Tenggara Timur,
Maluku Tenggara. (DepKes RI, 2006)

SIMPUL 4 : Kejadian Penyakit

Kejadian penyakit merupakan outcome hubungan interaktif antara penduduk dengan


lingkungan yang miliki potensi bahaya gangguan kesehatan. Penyakit filariasis ini akan
menghasilkan 2 kejadian yaitu sehat maupun sakit.

2.3 Mekanisme Perjalanan Penyakit Filariasis

Larva infektif ( larva stadium 3 ) ditularkan ke tubuh manusia melalui gigitan


nyamuk, beberapa jam setelah masuk kedalam darah, larva berubah menjadi stadium 4 yang
kemudian bergerak menuju kelenjar limfe. Sekitar 9 bulan kemudian larva ini berubah
menjadi cacing dewasa jantan dan betina, cacing dewasa ini terutama tinggal di saluran limfe
aferens, terutama di saluran limfe ekstremitas bawah (inguinal dan obturator), ekstremitas
atas ( saluran limfe aksila ), dan untuk W.bancrofti ditambah dengan saluran limfe di daerah
genital laki-laki (epididimidis, testis, kordaspermatikus). Melalui kopulasi, cacing betina
mengeluarkan larva stadium 1 (bentuk embrionik/mikrofilaria ) dalam jumlah banyak, dapat
lebih dari 10.000 per hari. Mikrofilaria masuk ke dalam sirkulasi darah mungkin melalui
duktus thoracicus, mikrofilaremia ini terutama sering ditemukan pada malam hari antara
tengah malam sampai jam 6 pagi. Pada saat siang hari hanya sedikit atau bahkan tidak
ditemukan mikrofilaremia, pada saat tersebut mikrofilaria berada di jaringan pembuluh
darah paru. Penyebab periodisitas nokturnal ini belum diketahui, namun diduga sebagai
bentuk adaptasi ekologi lokal, saat timbul mikrofilaremia pada malam hari, pada saat itu pula
kebanyakan vektor menggigit manusia. Diduga pula pH darah yang lebihrendah saat malam
hari berperan dalam terjadinya periodisitas nokturnal. Darah yang mengandung mikrofilaria
dihisap nyamuk, dan dalam tubuh nyamuk larva mengalami pertumbuhan menjadi larva stadium 2
dan kemudian larva stadium 3 dalam waktu 10 12 hari. Cacing dewasa dapat hidup sampai
20 tahun dalam tubuh manusia, rata-rata sekitar 5 tahun. (Anies, 2006)
2.4 Upaya Pencegahan dan Pengobatan Filariasis

Pencegahan terhadap penyakit filariasis / kaki gajah dapat dilakukan dengan jalan :

1. Berusaha menghindari diri dari gigitan nyamuk


2. Membersihkan air pada rawa-rawa yang merupakan tempat perindukan nyamuk
3. Mengeringkan / genangan air sebagai tempat perindukan nyamuk
4. Membakar sisa-sisa sampah (berupa kertas dan plastik)
5. Minimal melakukan penyemprotan sebulan sekali

Pencegahan penyakit kaki gajah / filasiasis bagi penderita penyakit filariasis diharapkan
untuk memeriksakan kedokter agar mendapatkan penanganan obat obatan sehingga tidak
menyebabkan penularan kepada masyarakat lainnya.

Perlu adanya pendidikan dan pencegahan serta pengenalan penyakit kaki gajah / filariasis
di wilayah masing masing sangatlah penting untuk memutus mata rantai penularan
penyakit ini.Membersihkan lingkinggan sekitar adalah hal terpenting untuk mencegah
terjadinya perkembangan nyamuk diwilayah tersebut.

Dari dulu sampai sekarang DEC merupakan pilihan obat yang murah dan efektif jika
belum bersifat kronis. Selain DEC, terdapat pula Ivermectin yang sampai sekarang harganya
pun semakin murah. Diethilcarbamazyne (DEC, 6 mg/kgBB/hari untuk 12 hari) bersifat
makro dan mikrofilarisidal merupakan pilihan yang tepat untuk individu dengan filariasis
limfe aktif (mikrofilaremia, antigen positif, atau deteksi USG positif cacing dewasa).
Meskipun albendazole (400 mg dua kali sehari selama 21 hari) juga mampu menunjukan
efikasi yang baik.

Pada kasus yang masih bersifat subklinis (hematuria, proteinuria, serta abnormalitas
limfosintigrafi) sebaiknya diberikan antibiotik profilaksis dengan terapi suportif misalnya
dengan antipiretik dan analgesik. Sedangkan jika sudah mikrofilaremia negatif, yakni ketika
manifestasi cacing dewasa sudah terlihat, barulah DEC menjadi acuan obat utama.

Pasien dengan limfedema positif pada ekstremitas patut mendapatkan fisioterapi


khusus untuk limfedema atau dekongestif. Pasien mesti dididik untuk hidup bersih dan
menjaga agar daerah yang membengkak tidak mengalami infeksi sekunder. Sementara itu
hidrokel bisa dialirkan secara berulang atau dengan insisi pembedahan. Jika dilakukan
dengan baik ditambah DEC yang teratur, sebenarnya gejala pembengkakan ini bisa dikurangi
hingga menjadi sangat minim.

Penggunaan DEC selama 12 hari dengan dosis 6 mg/kgBB (total dosis 72 mg)
merupakan patokan standar yang telah dilaksanakan di negara-negara dengan filariasis.
Sebenarnya dengan dosis tunggal 6 mg/kgBB selama sehari juga sudah mampu membunuh
parasit-parasit yang ada di tubuh. Penggunaan selama 12 hari merupakan sarana supresi
mikrofilaremia secara cepat. Namun biasanya penggunanan DEC dosis tunggal
dikombinasikan dengan albendazole atau ivermectin dengan hasil mikrofilarisidal yang
efektif.

Efek samping dari DEC ialah demam, menggigil, artralgia, sakit kepala, mual, hingga
muntah. Keberhasilan pengobatan ini sangat tergantung dari jumlah parasit yang beredar di
dalam darah serta sering menimbulkan gejala hipersensitivitas akibat antigen yang dilepaskan
dari debris sel-sel parasit yang sudah mati. Reaksi hipersensitivitas juga bisa terjadi akibat
inflamasi dari lipoprotein lipolisakarida dari organisme intraseluler Wolbachia, seperti yang
disebutkan di atas. Selain DEC, ivermectin juga memiliki efek samping yang serupa dengan
gejala ini.

Yang penting selain pengobatan klinis filariasis ialah edukasi dan promosi pada
masyarakat sekitar untuk memberantas nyamuk dengan gerakan 3M, sama seperti
pemberantasan demam berdarah. Selain itu, di beberapa tempat perlu juga dilakukan
pemberian DEC profilaksis yang ditambahkan ke dalam garam dapur khusus untuk
masyarakat di daerah tersebut. Namun yang belakangan tidak terlalu populer di Indonesia.
(farid)

Memang lebih dari 40 tahun untuk pengobatan penyakit kaki gajah , baik secara
Perorangan maupun secara massal dengan menggunakan DEC (Diethil Carbamazine Citrate).
DEC bersifat membunuh mikrofilaria dan makrofilaria (Cacing dewasa). Sampai saat ini
DEC merupakan satu satunya obat penyakit kaki gajah yang efekitf, aman dan relaitf
murah. Pada pengobatan perorangan bertujuan untuk menghanurkan parasit dan
mengeleminasi, guna mengurangi atau mencegah rasa sakit. Aturan dosis yang di anjukran
untuk 6mg/kg berat badan/hari selama 12 hari diminum seudah makan, dalam sehari 3 kali.
Pada pengobatan massal, di gunakan pemberian DEC dosis rendah dengan jangka waktu
pemberian yang lebih lama, misalya dalam bentuk garam DEC 0,2%-0,4% selama 9-12
bulan. Untuk orang dewasa digunakan 100mg/minggu selama 40 hari.

Tujuan utama dalam penganan dini terhadap penderita penyakit kaki gajah adalah
membasmi parasit / larva yang berkembang dalam tubuh penderita sehingga tingkat
penularan dapat ditekan dan dikurangi. Dietilkarbamasin citrate / dietylcarbamazine citrate
(DEC) adalah satu satunya obat filariasis yamg ampuh baik untuk filariasis bancroffi
maupun malayi, bersifat makrofilarisidal.

Obat ini teregolong murah, aman dan tidak ada resistensi obat.Penderita yang
mendapatkan teapi obat ini mungkin akan memberikan reaksi samping sisitematik .
Dietilkarbamasin tidak dapat di pakai untuk khemoprofilaksis.Pengobatan diberikan oral
sesudah makan malam, diserap cepat, mencapai konsentrasi puncak dalam darah sekitar 3
jam, dan diekresi melalui air kemih. Dietilkarbamasin tidak dapat diberikan pada anak
berumur kurang dari 2 tahun, ibu hamil / menyusui, dan penderita sakit berat / dalam keadaan
lemah. Namun, pada kasus penyakit kaki gajah / filariasis yang cukup parah (sudah
membesar) karna tidak dapat terdeteksi dini, selain pemberian obat-obatan tentunya
memerlukan langkah lanjutan seperti tindakan operasi.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat ditarik kesimpulan :

1. Filariasis adalah penyakit zoonosis menular yang banyak ditemukan di wilayah


tropika seluruh dunia. Penyebabnya adalah edema, infeksi oleh sekelompok cacing
nematoda parasit yang tergabung dalam superfamilia Filarioidea.
2. Penyakit kaki gajah (filariasis) ini umumnya terdeteksi melalui pemeriksaan
mikroskopis darah.
3. Pencegahan Filariasis dapat dilakukan dengan menghindari gigitan nyamuk
(mengurangi kontak dengan vektor)
4. Pengobatan filariasis harus dilakukan secara masal dan pada daerah endemis dengan
menggunakan obat Diethyl Carbamazine Citrate (DEC). DEC dapat membunuh
mikrofilaria dan cacing dewasa pada pengobatan jangka panjang.

3.2 Saran

Perlu dilakukan penyuluhan kepada masyarakat tentang habitat dan kebiasaan nyamuk, serta
cara-cara pengendalian vektor yang dapat dilakukan masyarakat, seperti kebersihan rumah
dan lingkungan sekitar serta upaya pengelolaan lingkungan alam rangka pencegahan
penularan penyakit filaria. Diharapkan pemerintah dan masyarakat lebih serius mencegah
kasus filariasis karena penyakit ini dapat membuat penderitanya mengalami cacat fisik
sehingga akan menjadi beban keluarga, masyarakat dan Negara
DAFTAR PUSTAKA

Achmadi, U. F. 2001. Analisis Kecendrungan Kesehatan Lingkungan Pada Repelita VII dan Era

Globalisasi, serta Perlunya Pendekatan Spasial Dalam Pengembangan Kesehatan di

Indonesia. Ditjen P2M & PL, Depkes RI. Jakarta

Achmadi, U. F. 2008. Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah. Penerbit Universitas Indonesia (UI

Press). Jakarta

Anies. 2006. Manajemen Berbasis Lingkungan Solusi Mencegah dan Menanggulangi Penyakit

Menular. Penerbit Elex Media Komputindo. Jakarta

Direktorat Kesehatan dan Gizi Masyarakat. 2006. Laporan Kajian Kebijakan Penanggulangan

(Wabah) Penyakit Menular. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Tahun 2006

Hasyim, Hamzah. 2008. Manajemen Penyakit Lingkungan Berbasis Wilayah (Application

Management Environmental Disease Based of Spesific Area). Jurnal Manajemen Pelayanan

Kesehatan. Vol. 11. No. 2

Depkes RI, 2006

Depkes RI, 2007

Anda mungkin juga menyukai