Anda di halaman 1dari 24

TUGAS MAKALAH KEPERAWATAN GERONTIK

TEKNIK KOMUNIKASI TERAPEUTIK PADA LANSIA DENGAN GANGGUAN


PENGLIHATAN DAN AFASIA

DISUSUN OLEH:

Sita Nur Fajari 220110150068 Arina Elhaqqa 220110150119


Syifa Aulia 220110150069 Ade Surya D 220110150124
Epah Hudaepah 220110150071 Destiyani R 220110150129
Gema Riksa N 220110150073 Yulita Rosalina 220110150130
Rika Komala 220110150078 Fajriatun Dhalia 220110160164
Faiza Zulfikar S 220110150084 Rini Riandini 220110160165
Ichlas Damar O 220110150091 Wini Winuraeni 220110160166
Annisa Suci U 220110150097 Anne C Afriliani 220110160167
Vera Rosaria 220110150102 Reny Ismeliyana 220110160168
Farras Amalia A 220110150105 Marjuannah 220110160169
Filiyanti Halim 220110150106 Risman Ariana 220110160170
Lenda Putri 220110150107 Ria Anggelina 220110150173

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS PADJADJARAN

2017

0
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, kmai
haturkan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-
Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.

Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai
pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu, kami ucapkan terima
kasih banyak kepada semua pihak yang telah berkontribusi.

Terlepas dari semua itu, kami menyadari bahwa masih ada kekurangan baik dari segi
susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu, dengan tangan terbuka kami menerima
segala kritik dan saran dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ini.

Akhir kata, kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat maupun
inspirasi terhadap pembaca.

Jatinangor, 9 Oktober 2017

Penyusun

1
Daftar isi

KATA PENGANTAR......................................................................................................................................... 1
Daftar isi ........................................................................................................................................................ 2
BAB I .............................................................................................................................................................. 3
PENDAHULUAN ............................................................................................................................................. 3
1.1 Latar Belakang............................................................................................................................... 3
1.2 RumusanMasalah.......................................................................................................................... 4
1.3 Tujuan ........................................................................................................................................... 4
BAB II ............................................................................................................................................................. 6
PEMBAHASAN ............................................................................................................................................... 6
A. PENGERTIAN KOMUNIKASI TERAPEUTIK .......................................................................................... 6
B. Tujuan Komunikasi Terapeutik ......................................................................................................... 6
C. Konsep Gangguan ............................................................................................................................. 6
D. Konsep Afasia .................................................................................................................................. 16
E. Teknik Teknik Berkomunikasi Terapeutik Pada Pasien Gangguan Penglihatan ......................... 19
F. Teknik komunikasi terapetik pasien dengan afasia pada lansia ..................................................... 20
BAB III .......................................................................................................................................................... 22
SIMPULAN ................................................................................................................................................... 22
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................................................... 23

2
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Komunikasi adalah proses pengiriman dan penerimaan informasi atau pesan
antara dua individu atau lebih dengan efektif sehingga bisa dipahami dengan mudah.
Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, komunikasi adalah pengiriman dan
penerimaan berita atau pesan dari dua orang atau lebih supaya pesan yang dimaksud bisa
dipahami. Komunikasi adalah elemen dasar dari interaksi manusia yang memungkinkan
seseorang untuk menetapkan, mempertahankan dan meningkatkan kontrak dengan orang
lain karena komunikasi dilakukan oleh seseorang, setiap hari orang seringkali salah
berpikir bahwa komunikasi adalah sesuatu yang mudah. Namun sebenarnya adalah proses
yang kompleks yang melibatkan tingkah laku dan hubungan serta memungkinkan individu
berasosiasi dengan orang lain dan dengan lingkungan sekitarnya. Hal itu merupakan
peristiwa yang terus berlangsung secara dinamis yang maknanya dipacu dan
ditransmisikan. Untuk memperbaiki interpretasi pasien terhadap pesan, perawat harus tidak
terburu-buru dan mengurangi kebisingan dan distraksi. Kalimat yang jelas dan mudah
dimengerti dipakai untuk menyampaikan pesan karena arti suatu kata sering kali telah lupa
atau ada kesulitan dalam mengorganisasi dan mengekspresikan pikiran. Instruksi yang
berurutan dan sederhana dapat dipakai untuk mengingatkan pasien dan sering sangat
membantu. (Bruner & Suddart, 2001 : 188).

Komunikasi adalah proses interpersonal yang melibatkan perubahan verbal dan


non verbal dari informasi dan ide. Komunikasi mengacu tidak hanya pada isi tetapi juga
pada perasaan dan emosi dimana individu menyampaikan hubungan ( Potter-Perry, 301 ).
Perawat kesehatan mempunyai peran sebagai berikut :
- pelaksana perawatan,
- pengelola perawatan,
- pendidik dan;
- pengembang ilmu keperawatan.

3
Dari keempat peran yang melekat pada diri seorang perawat kesehatan dan yang
secara langsung berhubungan dengan intervensi keperawatan adalah peran pelaksana
perawatan dan pengelola perawatan. Seorang perawat kesehatan dalam melakukan
intervensi keperawatan harus dilakukan secara komprehensif dan sekaligus holistik. Pada
saat itulah komunikasi therapeutic sebaiknya dipergunakan pada setiap intervensi kepada
pasien, interpersonal skill seorang perawat kesehatan dalam berkomunikasi menjadi suatu
tuntutan yang harus dimiliki oleh setiap perawat.

Komunikasi pada lansia membutuhkan perhatian khusus. Perawat harus waspada


terhadap perubahan fisik, psikologi, emosi, dan sosial yang memperngaruhi pola
komunikasi. Perubahan yang berhubungan dengan umur dalam sistem auditoris dapat
mengakibatkan kerusakan pada pendengaran. Perubahan pada telinga bagian dalam dan
telinga mengalangi proses pendengaran pada lansia sehingga tidak toleran teradap suara.
Berdasarkan hal hal tersebut kami menulis makalah ini yang berjudul komunikasi
terapeutik pada lansia .

1.2 RumusanMasalah
1. Apa definisi komunikasi terapeutik ?
2. Apa tujuan dari komunikasi terapeutik ?
3. Bagaimana konsep gangguan penglihatan pada lansia ?
4. Bagaimana konsep afasia pada lansia ?
5. Bagaimana teknik komunikasi terapeutik pada lansia dengan gangguan penglihatan ?
6. Bagaimana teknik komunikasi terapeutik pada lansia dengan afasia?

1.3 Tujuan
Tujuan umum berdasarkan rumusan masalah diatas dapat ditentukan yaitu, untuk
mengetahui teknik apa saja yang dapat diberikan terkait komunikasi terapeutik dan konsep yang
digunakan dalam penerapannya pada klien.

Tujuan khusus dari pembuatan makalah ini yaitu:

1. Untuk mengetahui defenisi komunikasi terapeutik.

4
2. Untuk mengetahui tujuan dari komunikasi terapeutik.
3. Untuk mengetahui konsep gangguan penglihatan pada lansia.
4. Untuk mengetahui konsep afasia pada lansia.
5. Untuk mengetahui teknik komunikasi terapeutik pada lansia dengan gangguan penglihatan.
6. Untuk mengetahui teknik komunikasi terapeutik pada lansia dengan afasia.

5
BAB II

PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN KOMUNIKASI TERAPEUTIK


Dalam praktik keperawatan, komunikasi merupakan sarana dalam membina
hubungan terapeutik dan komunikasi merupakan sarana untuk mempengaruhi orang lain
dalam upaya mencapai kesuksesan hasil tindakan keperawatan (Maksimus Ramses
Lalongkoe, 2013). Pengertian komunikasi terapeutik menurut beberapa ahli di antaranya:
a. Purwanto (1994), komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang direncanakan
secara sadar, bertujuan dan kegiatannya dipusatkan untuk kesembuhan pasien.
b. Northouse (1998), komunikasi terapeutik merupakan kemampuan perawat dalam
membantu klien beradaptasi terhadap stress, mengatasi gangguan psikologis, dan
belajar bagaimana berhubungan dengan orang lain.
c. Mulyana (2000), komunikasi terapeutik termasuk komunikasi interpersonal atau
komunikasi antarpribadi yaitu komunikasi antara orang-orang secara tatap muka
yang memungkinkan setiap pesertanya menangkap reaksi orang lain secara
langsung, baik secara verbal dan nonverbal.
d. Budi Ana Keliat dalam Mundakir (2006), komunikasi terapeutik adalah suatu
pengalaman bersama antara perawat-klien yang bertujuan untuk menyelesaikan
persoalan klien. Hubungan perawat-klien tidak akan tercapai tanpa adanya
komunikasi.
Dari beberapa definisi yang dikemukan para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa
komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang dirancang secara sadar oleh perawat
dengan tujuan membangun hubungan saling percaya demi kesembuhan pasien.
Komunikasi terapeutik merupakan salah satu cara untuk membina hubungan saling
percaya terhadap pasien dan pemberian informasi yang akurat kepada pasien, sehingga
diharapkan dapat berdampak pada perubahan yang lebih baik pada pasien dalam
menjalanakan terapi dan membantu pasien dalam rangka mengatasi persoalan yang
dihadapi pada tahap perawatan.

B. Tujuan Komunikasi Terapeutik


Menurut Purwanto (1994) tujuan komunikasi terapeutik adalah:
1. Membantu pasien memperjelas dan mengurangi beban perasaan dan pikiran serta
dapat mengambil tindakan untuk mengubah situasi yang ada bila pasien percaya
pada hal yang diperlukan.
2. Mengurangi keraguan, membantu dalam hal mengambil tindakan yang efektif dan
mempertahankan kekuatan egonya.
3. Memengaruhi orang lain, lingkungan fisik, dan dirinya sendiri.

C. Konsep Gangguan

Mata adalah organ sensorik yang mentransmisikan rangsang melalui jarak pada otak ke lobus
oksipital dimana rasa penglihatan ini diterima. Sesuai dengan proses penuaan yang terjadi,

6
tentunya banyak perubahan yang terjadi, diantaranya alis berubah kelabu, dapat menjadi kasar
pada pria, dan menjadi tipis pada sisi temporalis baik pada pria maupun wanita. Konjungtiva
menipis dan berwarna kekuningan,produksi air mata oleh kelenjar lakrimalis yang berfungsi
untuk melembabkan dan melumasi konjungtiva akan menurun dan cenderung cepat menguap,
sehingga mengakibatkan konjungtiva lebih kering.

Pada mata bagian dalam, perubahan yang terjadi adalah ukuran pupil menurun dan reaksi
terhadap cahaya berkurang dan juga terhadap akomodasi. Lensa menguning dan berangsur-
angsur menjadi lebih buram mengakibatkan katarak, sehingga memengaruhi kemampuan untuk
menerima dan membedakan warna-warna. Kadang warna gelap seperti coklat, hitam, dan marun
tampak sama. Pandangan dalam area yang suram dan adaptasi terhadap kegelapan berkurang (
sulit melihat dalam cahaya gelap) menempatkan lansia pada risiko sedera. Sementara cahaya
menyilaukan dapat menyebabkan nyeri dan membatasi kemampuan untuk membedakan objek-
objek dengan jelas, semua hal itu dapat memengaruhi kemampuan fungsional para lansia.

Perubahan normal pada system sensoris (penglihatan) akibat penuaan :

Perubahan Normal yang b.d Penuaan Implikasi Klinis


1. Kesukaran dalam membaca huruf-
1. Penurunan kemampuan akomodasi.
huruf yang kecil.
2. Kontriksi pupil sinilis.
2. Penyempitan lapang pandang
3. Peningkatan kekeruhan lensa dengan
3. Sensitivitas terhadap cahaya
perubahan warna menjadi
4. Penurunan penglihatan pada malam
menguning.
hari
5. dengan persepsi kedalamam

Perubahan sistem indera pada penuaan :

Perubahan Morfologis Perubahan Fisiologis


Penglihatan
Penurunan jaringan lemak sekitar mata Penurunan penglihatan jarak dekat
Penurunan elastisitas dan tonus jaringan Penurunan koordinasi gerak bola mata
Penurunan kekeuatan otot mata Distorsi bayangan
Penurunan ketajaman kornea Pandangaan biru-merah
Degenerasi pada sclera, pupil dan iris Compromised night vision
Peningkatan frekuensi proses terjadinya Penurunan ketajaman mengenali warna hijau,
penyakit biru dan ungu
Peningkatan densitas dan rigiditas lensa Kesulitan mengenali benda yang bergerak
Perlambatan proses informasi dari system
saraf pusat

7
Jenis gangguan pada lansia dengan gangguan penglihatan

* Perubahan sistem lakrimalis

Pada usia lanjut seringkali dijumpai keluhan nrocos. Kegagalan fungsi pompa pada system
kanalis lakrimalis disebabkan oleh karena kelemahan palpebra, eversi punctum atau malposisi
palpebra sehingga akan menimbulkan keluhan epifora. Namun sumbatan system kanalis
lakrimalis yang sebenarnya atau dacryostenosis sering dijumpai pada usia lanjut, diman
dikatakan bahwa dacryostenosis akuisita tersebut lebih banyak dijumpai pada wanita dibanding
pria. Adapun patogenesia yang pasti terjadinya sumbatan ductus nasolakrimalis masih belum
jelas, namun diduga oleh karena terjadi proses jaringan mukosa dan berakibat terjadinya
sumbatan.

Setelah usia 40 tahun khususnya wanita pasca menopause sekresi basal kelenjar lakrimal secara
progesif berkurang. Sehingga seringkali pasien dengan sumbatan pada duktus nasolakrimalis tak
menunjukkan gejala epifora oleh karena volume air matanya sedikit. Akan tetapi bilamana
sumbatan sistim lakrimalis tak nyata akan memberi keluhan mata kering yaitu adanya rasa tidak
enak seperti terdapat benda asing atau seperti ada pasir, mata tersa leleh dan kering bahkan
kabur. Sedangkan gejala obyektif yang didapatkan diantaranya konjungtiva bulbi kusam dan
menebal kadang hiperaemi, pada kornea didapatkan erosi dan filamen. Periksa yang perlu
dilakukan adalah Schirmer, Rose Bengal, Tear film break up time

* Perubahan refraksi

Pada orang muda, hipermetrop dapat diatasi dengan kontraksi muskulus silisris. Dengan
bertambahnya usia hipermetrop laten menjadi lebih manifest karena hilangnya cadangan
akomodasi. Namun bila terjadi sclerosis nucleus pada lensa, hipermetrop menjadi berkurang atau
terjadi miopisasi karena proses kekeruhan di lensa dan lensa cenderung lebih cenbung.

Perubahan astigmat mulai terlihat pada umur 10-20 tahun dengan astigmat with the rule 75,5%
dan astigmat against the rule 6,8%. Pada umur 70-80 tahun didapatkan keadaan astigmat with
the rule 37,2% dan against the rule 35%. Factor-faktor yang mempengaruhi perubahan astigmat
antara lain kornea yang mengkerut oleh karena perubahan hidrasi pada kornea, proses penuaan
pada kornea.

Penurunan daya akomodasi dengan manifestasi presbiopia dimana seseorang akan kesulitan
untuk melihat dekat dipengaruhi oleh berkurangnya elastisitas lensa dan perubahan pada
muskulus silisris oleh karena proses penuaan.

* Produksi humor aqueous

Pada mata sehat dengan pemeriksaan Fluorofotometer diperkirkan produksi H.Aqueous


2.4 + 0,06 micro liter/menit. Beberapa factor berpengaruh pada produksi H.Aqueous. dengan
pemeriksaan fluorofotometer menunjukkan bahwa dengan bertambahnya usia terjadi penurunan

8
produksi H.Aqueous 2% (0,06 mikro liter/menit) tiap decade. Penurunan ini tidsak sebanyak
yang diperkirakan, oleh karena dengan bertambahnya usia sebenarnya produksi H.Aqueous lebih
stabil disbanding perubahan tekanan intra okuler atau volume COA.

* Perubahan struktur kelopak mata

Dengan bertambahnya usia akan menyebabkan kekendoran seluruh jaringan kelopak mata.
Perubahan ini yang juga disebut dengan perubahan involusional terjadi pada :

1. M.orbicular
2. Retractor palpebra inferior
3. Tartus
4. Tendo kantus medial/lateral
5. Aponeurosis muskulus levator palpebra
6. Kulit

Berikut penjelasan dari uraian diatas :

1. M.orbicular

Perubahan pada m.orbicularis bias menyebabkan perubahan kedudukan palpebra yaitu terjadi
entropion atau ektropion. Entropion/ektropion yang terjadi pada usia lanjut disebut
entropion/ekropion senilis/ involusional. Adapun proses terjadinya mirip, namun yang
membedakan adalah perubahan pada m.orbicularis preseptal dimana enteropion muskulus
tersebut relative stabil.

Pada ektropion, bila margo palpebra mulai eversi, konjungtiva tarsalis menjadi terpapar
(ekspose), ini menyebabkan inflamasi sekunder dan tartus akan menebal sehingga secara
mekanik akan memperberat ektropionnya.

2. Retractor palpebra inferior

Kekendoran retractor palpebra inferior mengakibatkan tepi bawah tarsus rotasi/ berputar kearah
luar sehingga memperberat terjadinya entropion.

3. Tartus

Bilaman tartus kurang kaku oleh karena proses atropi akan menyebabkan tepi atas lebih
melengkung ke dalam sehingga entropion lebih nyata.

4. Tendo kantus medial/lateral

Perubahan involusional pada usia lanjut juga mengenai tendon kartus medial/ lateral sehingga
secar horizontal kekencangan palpebra berkurang.

9
Perubahan-perubahan pada jaringan palpebra juga diperberat dengan keadaan dimana bola mata
pada usia lanjut lebih enoftalmus karena proses atropi lemak orbita. Akibatnya kekencangan
palpebra secara horizontal relative lebih nyata. Jadi apakah proses involusional tersebut
menyebabkan margo palpebra menjadi inverse atau eversi tergantung perubahan-perubahan yang
terjadi pada m.orbikularis oculi, retractor palpebra inferior dan tarsus.

5. Aponeurosis muskulus levator palpebra

Dengan bertambahnya usia maka aponeurosis m.levator palpebra mengalami disinsersi dan
terjadi penipisan, akibatnya terjadi blefaroptosis akuisita. Meskipun terjadi perubahan pada
aponeurosis m.levator palpebra namun m.levatornya sendiri relative stabil sepanjang usia. Bial
blefaroptosis tersebut mengganggu penglihatan atau secara kosmetik menjadi keluhan bias
diatasi dengan tindakan operasi.

6. Kulit

Pada usia lanjut kulit palpebra mengalami atropi dan kehilangan elastisitasnya sehingga
menimbulkan kerutan dan lipatan-lipatan kulit yang berlebihan. Keadaan ini biasanya diperberat
dengan terjadinya peregangan septum orbita dan migrasi lemak preaponeurotik ke arterior.
Keadaan ini bisa terjadi pada palpebra superior maupun inferior dan disebut sebagai
dermatokalis.

Gejala dan tanda :

1. Kesulitan menggangkat palpebra superior


2. Rasa tidak enak di daerah perorbita akibat penggunaan otot ocipitofrontalis dan otot
orbicularis oculi dalam mengatasi kesulitan mengangkat palpebra.
3. Terbatasnya lapangan pandang superior
4. Keluhan kosmetik.

Penanganan :

Dilakukan blefaroplasti untuk mengatasi gejala dan memperbaiki penampilan.

Dengan terjadinya perubahan struktur pada kelopak mata tersebut akibat proses penuaan, maka
secar klinis manifestasi yang sering dijumpai adalah :

1. Entropion involusional
2. Ektropion involusional
3. Blefaroptosis
4. Dermatokalasis

Aspek Klinis Entropion dan Ekstropion pada Usia Lanjut

Entropion Senilis / Involusional

10
Yaitu suatu keadaan dimana margo palpebra mengalami inverse yang terjadi pada lanjut usia.

Gejala dan tanda :

1. Mata merah
2. Berair
3. Rasa gatal

Hal ini disebabkan oleh karena iritasi dan abrasi cornea. Bila berlanjut bias menyebabkan ulkus
cornea.

Penanganan :

Koreksi entropion yaitu dengan cara :

1. Jahitan eversi
2. Prosedur Weis (splitting palpebra transversa + jahitan eversi) dengan / tanpa pemendekan
horizontal
3. Plikasi retractor palpebra inferior

Ektropion Senilis / Involusional

Yaitu suatu keadaan dimana margo palpebra mengalami eversi yang terjadi pada usia lanjut.

Gejala dan tanda :

1. Epifora
2. Konjungtiva palpebra hipewremi dan hipertrofi
3. Konjungtiva bulbi hiperemi

Penanganan :

Koreksi ektropion dengan cara :

1. Lazy T
2. Eksisi diamond tarsokonjungtiva
3. Pemendekan palpebra horizontal

Perubahan Dari segi aspek klinik

Glaukoma

Merupakan sekumpulan gangguan, glaukoma ditandai dengan tekanan intraokuler yang tinggi
yang merusak saraf optikus. Glaukoma dapat terjadi sebagai penyakit primer atau kongenital
atau sebagai akibat sekunder dari penyakit atau kondisi lain. Ada 2 bentuk glaukoma, yaitu:

11
Glaukoma primer

a. Glaukoma sudut terbuka ( juga dikenal dengan glaukoma kronis, sederhana, dan sudut lebar).

Glaukoma sudut terbuka adalah tipe yang paling umum terjadi pada lansia dan akibat dari
perubahan degeneratif di jalinan trabekular. Perubahan ini menghambat aliran humor aqueosa
dari mata, yang menyebabkan tekanan intraokuler meningkat. Akibat dari hal tersebut adalah
kerusakan saraf optikus.glaukoma sudut terbuka terhitung sekitar 90% dari semua kasus
glaukoma dan umumnya terjadi di keluarga.

b. Glaukoma sudut tertutup( dikenal dengan glaukoma akut atau sudut sempit)

Glaukoma sudut tertutup akibat dari penurunan aliran balik humor aqueosa yang disebabkan oleh
sudut yang menyempit secara anatomis di antara iris dan kornea.hal ini menyebabkan tekanan
intraokuler meeningkat dengan tiba-tiba. Serangan glaukoma sudut tertutup dapat dipicu oleh
trauma, dilatasi pupil,stres atau perubahan mendorong iris ke arah depan( misalnya, hemoragi
atau pembengkakan lensa.glaukoma yang tidak diobati dapat memburuk menjadi kebutaan total.

Glaukoma sekunder

Glaukoma sekunder dapat terjadi akibat kondisi-kondisi seperti infeksi, uveitis, cedera,
pembedahan, penggunaan obat-obatan yang berkepanjangan(seperti kortikosteroid), oklusi vena,
dan diabetes. Kadang kala, pembuluh darah baru dapat terbentuk (vaskularisasi baru) dan
menghambat drainase humor aqueosa.

Tanda dan gejala:

1. Sakit kepala tumpul di pagi hari


2. Rasa sakit yang ringan pada mata
3. Kehilangan perifer (penglihatan menyempit)
4. Melihat lingkaran cahaya di sekitar cahaya
5. Penurunan ketajaman penglihatan (khususnya pada malam hari) yang tidak dapat
dikoreksi dengan kacamata.
6. Inflamasi mata unilateral
7. Kornea berkabut
8. Pupil berdilatasi sedang yang tidak bereaksi terhadap cahaya
9. Peningkatan tekanan intraokuler diketahui dengan cara membuat tekanan yang lembut
pada kelopak mata pasien yang tertutup menggunakan ujung jari, bola mata menahan
tekanan tersebut.

Pemeriksaan diagnostik

a) Tonometri (dengan schitz pneumatic atau tonometer aplanasi) mengukur tekanan


intraokuler dan memberikan nilai dasar untuk perujukan. Rentang tekanan intraokuler normal
berkisar dari 8 sampai 21mmHg. Akan tetapi, pasien yang IOPnya menurun dari rentang normal

12
dapat mengalami tanda dan gejala glaucoma dan pasien yang mempunyai tekanan tinggi
mungkin tidak menunjukkan efek klinis.

b) Pemeriksaan slit lamp memperlihatkan efek glaucoma pada stuktur mata anterior,
meliputi kornea, iris dan lensa.

c) Gonioskopi menentukan sudut ruang anterior mata, yang memungkinkan pemeriksa untuk
membedakan glaucoma sudut terbuka dengan glaucoma sudut tertutup. Sudut mata normal pada
glaucoma sudut terbuka sedangkan pada glaucoma sudut tertutup tampak tidak normal. Akan
tetapi, pada pasien lansia penutupan sebagian dapat terjadi yang memungkinkan dua bentuk
glaucoma terjadi bersamaan.

d) Oftalmoskopi mempermudah visualisasi fundus. Pada glaucoma sudut


terbuka,pelengkungan discus optikus dapat terlihat lebih awal dibandingkan pada glaucoma
sudut tertutup

e) Perimetrik atau pemeriksaan lapang pandang menentukan keluasaan kehilangan


penglihatan perifer, yang membantu mengevaluasi pemburukan pada glaucoma sudut terbuka.

f) Fotografi fundus memantau dan mencatat perubahan pada discus optikus.

Penanganan

1. Glaukoma sudut terbuka

Untuk glaukoma sudut terbuka, terapi obat-obatan awal bertujuan untuk mengurangi tekanan
karena penurunan produksi humor aqueosa. Obat-obatan tersebut meliputi penyekat beta, seperti
timolol (digunakan secara hati-hati pada pasien yang menderita asma dan menderita bradikardia)
serta betaksolol; epineprin untuk mendilatasi pupil (dikontraindikasikan pada glaucoma sudut
tertutup); dan obat tetes mata miotik, seperti pilokarpin, untuk meningkatkan aliran balik humor
aqueosa.

Pasien yang tidak berespons terhadap terapi obat-obatan dapat memanfaatkan trabekuloplasti
laser argon; yaitu ahli oftalmologi memfokuskan sinar laser argon pada jalinan trabekular pada
sudut terbuka. Prosedur ini menghasilkan pembakaran termal yang mengubah permukaan
meshwork tersebut dan mudah aliran balik humor aqueosa.

Untuk melakukan trabekulektomi, ahli bedah mendiseksi lipatan sclera untuk membuka jalinan
trabekular. Ahli bedah menghilangkan blok jaringan kecil dan melakukan iridektomi perifer,
yang menciptakan lubang untuk aliran balik humor aqueosa dibawah konjungtiva dan
menghasilkan filtering bleb. Pada pascaoperatif, injeksi subkonjungtivafluororasil dapat
diberikan untuk mempertahankan tekanan fistula. Iridektomi mengurangi tekanan dengan cara
mengeksisi sebagian iris untuk mengembalikan aliran balik humor aqueosa. Beberapa hari
kemudian, ahli bedah melakukan iridektomi profilaktik pada mata lainnya (yang normal) untuk
mencegah episode glaukoma akut pada mata tersebut.

13
2. Glaukoma sudut tertutup

Glaukoma sudut tertutup (glaukoma akut) adalah kedaruratan yang membutuhkan terapi segera
untuk mengurangi tekanan intraokuler yang tinggi. Terapi obat-obatan praoperatif awal
menurunkan tekanan intraokuler dengan asetazolamid, pilokarpin (yang mengontriksikan pupil,
mendorong iris jauh dari trabekula dan memungkinkan cairan terbebas) dan manitol lewat I.V.
atau gliserin aoal (yang mendorong cairan dari mata dengan menjadikan hipertonik). Jika
pengobatan ini gagal untuk menurunkan tekanan, iridotomi laser atau iridektomiperifer dengan
pembedahan harus dilakukan dengan cepat untuk menyelamatkan penglihatan pasien.

Analgetik narkotik dapat digunakan jika pasien mengalami nyeri berat. Setelah iridektomi
perifer, tetes mata sikloplegik dapat diberikan untuk merilekskan otot-otot siliaris dan
mengurangi inflamasi, sehingga mencegah perlekatan.

Asuhan keperawatan

Pengkajian

Pengkajian pada lansia dengan gangguan penglihatan meliputi hal-hal berikut ini:

1. Ukuran pupil mengecil


2. Pemakaian kacamata
3. Penglihatan ganda
4. Sakit pada mata seperti glaukoma dan katarak
5. Mata kemerahan
6. Mengeluh ketidaknyamanan terhadap cahaya terang (menyilaukan)
7. Kesulitan memasukkan benang ke lubang jarum
8. Permintaan untuk membacakan kalimat
9. Kesulitan atau ketergantungan dalam melakukan aktivitas pemenuhan kebutuhan sehari-
hari (mandi, berpakaian, ke kamar kecil, makan, BAK/BAB serta berpindah)
10. Visus

Masalah keperawatan

Masalah keperawatan yang biasanya terdapat pada lansia dengan masalah penglihatan adalah
sebagai berikut:

1. Gangguan persepsi sensori:penglihatan


2. Risiko cedera: jatuh
3. Gangguan mobilitas fisik
4. Gangguan pemenuhan kebutuhan sehari-hari
5. Kurang pengetahuan
6. Kecemasan

Intervensi keperawatan

14
Intervensi keperawatan pada lansia dengan masalah penglihatan adalah sebagai berikut:

1. Kaji penyebab adanya gangguan penglihatan pada klien


2. Pastikan objek yang dilihat dalam linkup lapang pandang klien
3. Beri waktu lebih lama untuk memfokuskan sesuatu
4. Bersihkan mata apabila ada kotoran gunakan kapas basah dan bersih
5. Kolaborasi untuk penggunaan alat bantu penglihatan seperti kacamata dan
penatalaksanaan katarak
6. Berikan penerangan yang cukup
7. Hindari cahaya yang menyilaukan
8. Tulisan dicetak tebal dan besar untuk menandai atau pemberian informasi tertulis
9. Periksa kesehatan mata secara berkala

Diagnosa Keperawatan Utama dan Kriteria Hasil (Glaukoma)

Diagnosa 1:

Gangguan persepsi sensori (penglihatan) yang berhubungan dengan peningkatan tekanan


intraokuler

Kriteria hasil tindakan : Pasien akan mencari bantuan medis ketika perubahan penglihatan terjadi
dan akan memperoleh kembali penglihatan normal serta mempertahankan penglihatan
normalnya dengan terapi.

Diagnosa 2:

Risiko cidera yang berhubungan dengan gangguan penglihatan

Kriteria hasil tindakan : Pasien akan melakukan tindakan kewaspadaan untuk mencegah cedera
karena kerusakan penglihatan.

Diagnosa 3:

Takut yang berhubungan dengan kemungkinan kebutaan

Kriteria hasil tindakan : Pasien akan mengidentifikasi sumber-sumber rasa takut, mencari
informasi mengenai glaucoma dari sumber-sumber yang tepat untuk mengurangi rasa takut, dan
mengungkapkan pemahaman bahwa kepatuhan terhadap regimen terapi yang diresepkan dapat
mencegah kehilangan lebih lanjut.

Intervensi keperawatan

1. Bagi pasien yang menderita glaukoma sudut tertutup, berikan obat-obatan sesuai resep,
dan siapkan ia secara fisik dan psikologis untuk menjalani iridektomi laser atau
pembedahan.

15
2. Ingat untuk memberikan obat tetes mata sikloplegik hanya pada mata yang sakit. Pada
mata yang tidak sakit, obat tetes mata ini dapat mencetuskan serangan glaukoma sudut
tertutup dan dapat mengganggu penglihatan pasien yang masih tersisa.
3. Setelah trabekulektomi, berikan obat-obatan sesuai program untuk mendilatasi pupil.
Selain itu, oleskan kortikosteroid topical sesuai program untuk mengistirahatkan pupil.
4. Setelah pembedahan, lindungi mata dengan memasangpenutup mata dan pelindung mata,
menempatkan pasien pada posisi telungkup atau miring ke bagian yang tidak sakitdan
melakukan tindakan keamanan umum.
5. Pantau kemampuan pasien untuk melihat dengan jelas. Tanyakan pada pasien secar
teratur mengenai terjadinya perubahan penglihatan.
6. Pantau tekanan intraokuler secara teratur
7. Pantau kepatuhan pasien terhadap terapi dan perawatan tindak lanjut sepanjang hidup.

Penyuluhan pasien

1. Tekankan pentingnya kepatuhan yang sangat cermat terhadap terapi obat-obatan yang
diresepkan untuk mempertahankan tekanan intraokuler rendah dan mencegah perubahan
pada diskus optikus yang menyebabkan kahilangan penglihatan.
2. Jelaskan semua prosedur dan terapi, khususnya pembedahan, untuk membantu
mengurangi kecemasan pasien.
3. Informasikan pada pasien bahwa kehilangan penglihatan tidak dapat diperbaiki namun
terapi tersebut biasanya dapat mencegah kehilangan penglihatan lebih lanjut.
4. Ajarkan pada pasien mengenai tanda dan gejala yang membutuhkan perhatian medis
segera, seperti perubahan penglihatan yang tiba-tiba atau nyeri pada mata.
5. Beri tahu pada anggota keluarga cara memodifikasi lingkungan agar aman bagi pasien.
Sebagai contoh, anjurkan untuk mempertahankan lorong dirumah dengan pencahayaan
yang terang dan orientasikan kembali pasien terhadap susunan ruang jika perlu.
6. Diskusikan pentingnya skrining glukoma untuk deteksi dan pencegahan dini. Tekankan
pada pasien semua orang di atas 35 tahun harus melakukan pemeriksaan tonometri setiap
hari.

D. Konsep Afasia
a. Definisi Afasia
Afasia adalah gangguan komunikasi yang disebabkan oleh kerusakan pada
bagian otak yang mengandung bahasa (biasanya di hemisfer serebri kiri otak).
Individu yang mengalami kerusakan pada sisi kanan hemisfer serebri kanan otak
mungkin memiliki kesulitan tambahan di luar masalah bicara dan bahasa. Afasia
dapat menyebabkan kesulitan dalam berbicara, mendengarkan, membaca, dan
menulis, tetapi tidak mempengaruhi kecerdasan. Individu dengan afasia mungkin
juga memiliki masalah lain, seperti disartria, apraxia, dan masalah menelan.
Afasia adalah gangguan kemampuan berbahasa. Para penderita afasia dapat
mengalami gangguan berbicara, memahami sesuatu, membaca, menulis, dan
berhitung. Penyebab afasia selalu berupa cedera otak. Pada kebanyakan kasus,
afasia dapat disebabkan oleh pendarahan otak. Selain itu juga dapat disebabkan

16
oleh kecelakaan atau tumor. Seseorang mengalami pendarahan otak jika aliran
darah di otak tiba-tiba mengalami gangguan. Hal ini dapat terjadi melalui dua cara
yaitu: terjadi penyumbatan pada pembuluh darah atau kebocoran pada pembuluh
darah.
b. Jenis Afasia
1. Global Afasia
Global afasia adalah afasia yang melibatkan semua aspek bahasa dan
mengganggu komunikasi lisan. Penderita tidak dapat berbicara secara
spontan atau melakukannya dengan susah payah, menghasilkan tidak lebih
dari fragmen perkataan. Pemahaman ucapan biasanya tidak ada; atau hanya
bisa mengenali beberapa kata, termasuk nama mereka sendiri dan
kemampuan untuk mengulang prkataan yang sama adalah nyata terganggu.
Penderita mengalami kesulitan menamakan benda, membaca, menulis, dan
menyalin kata kata. Bahasa otomatisme (pengulangan omong kosong)
adalah karakteristik utama. Distribusi lesi terletak di seluruh arteri serebri,
termasuk area Wernicke dan Broca.
2. Brocas afasia
Brocas afasia (juga disebut anterior, motorik, atau afasia
ekspresif) ditandai dengan tidak adanya gangguan spontan
berbicara, sedangkan pemahaman hanya sedikit terganggu.
Pasien dapat berbicara dengan susah payah, memproduksi kata
kata yang goyah dan tidak lancar. Penamaan, pengulangan,
membaca dengan suara keras, dan menulis juga terganggu.
Daerah lesi adalah di area Broca; mungkin disebabkan infark
dalam distribusi arteri prerolandic (arteri dari sulkus
prasentralis).
3. Afasia Wernicke
Afasia wernicke (juga disebut posterior, sensorik, atau
reseptif aphasia) ditandai dengan penurunan pemahaman yang
kronik. Bicara tetap lancar dan normal mondar-mandir, tetapi
kata kata penderita tidak bisa dimengerti (kata salad, jargon
aphasia). Penamaan, pengulangan kata-kata yang di dengar,
membaca, dan menulis juga nyata terganggu. Area lesi ialah
Area Wernicke (area 22). Mungkin disebabkan oleh infark
dalam distribusi arteri temporalis posterior.
4. Afasia transkortikal
Kata-kata yang didengar penderita dapat diulang, tapi
fungsi linguistik lainnya terganggu: tidak bisa bicara secara
spontan untuk penderita transkortikal motor afasia (sindrom
mirip dengan Broca afasia), tidak mempunyai pemahaman
bahasa bagi penderita transkortikal afasia sensorik (sindrom
mirip dengan Wernicke afasia). Area lesi transkortikol motorik
terletak di kiri lobus frontal berbatasan dengan area Broca
manakala lesi transkortikol sensorik terletak di temporo-
oksipital berhampiran Area Wernicke.
5. Amnestik (anomik) afasia

17
Jenis afasia yang ditandai dengan gangguan penamaan
dan mencari perkataan. Bicara masih spontan dan fasih tapi sulit
untuk menemukan kata dan mencipta ayat. Kemampuan untuk
mengulang, memahami, dan menulis kata-kata pada dasarnya
normal. Daerah lesinya di korteks temporoparietal atau di
substansia nigra.

6. Afasia konduksi
Pengulangan sangat terganggu; fasih, bicara spontan
terganggu oleh jeda untuk mencari kata-kata. Pemahaman
bahasa hanya sedikit terganggu. Daerah lesi ialah fasikulus
arkuata.
7. Afasia subkortikal
Jenis aphasia yang mirip dengan yang dijelaskan dapat
diproduksi oleh subkortikal lesi pada berbagai situs (thalamus,
kapsul internal striatum anterior).
c. Gejala klinis
1. Afasia Broca
Bicara tidak lancar
Tampak sulit memulai bicara
Kalimatnya pendek
Repetisi buruk
Kemampuan menamai buruk (anomia)
Pemahaman lumayan
Gramatika bahasa kurang, tidak kompleks
2. Afasia Wernicke
Bicara lancar
Panjang kalimat normal
Repetisi buruk
Kemampuan menamai buruk (anomia)
Komprehensi auditif dan membaca buruk
3. Afasia konduksi
Bicara lancar
Pemahaman bagus
Gangguan berat pada repetisi

d. Etiologi
1. Stroke iskemik strok dan hemoragik strok
2. Trauma kepala
3. Tumor otak (Space Occupying lesion)
4. Penyakit degeneratif seperti dementia.

18
5. Infeksi pada otak meningitis dan meningioencephalitis
e. Patofisiologi
Area motorik disuplai oleh arteri serebri anterior dan arteri serebri media
yang bercabang dari arteri karotis interna. Arteri serebri anterior menyuplai
korteks lobus frontalis dan lobus parietalis, manakala arteri serebri media
menyuplai korteks bagian lateral. Apabila terjadi kerusakan pada arteri serebri
media yang menyuplai area Wernicke, Broca dan area fasikulus arkuata akan
menyebabkan gangguan untuk memahami kata-kata, berbicara dengan lancar dan
juga mengulang kata kata.

E. Teknik Teknik Berkomunikasi Terapeutik Pada Pasien Gangguan Penglihatan

Berikut adalah teknik-teknik yang perlu diperhatikan selama berkomunikasi


dengan klien yang mengalami gangguan penglihatan :

1. Sedapat mungkin ambil posisi yang dapat dilihat klien bila ia mengalami kebutaan
persial atau sampaikan secara verbal keberadaan / kehadiran perawat ketika anda
berada didekatnya.
2. Indentifikasi diri anda dengan menyebut nama(dan peran)anda.
3. Berbicara menggunakan nada suara normal karena kondisi klien tidak
memungkinkan menerima pesan verbal secara visual.Nada suara anda memagang
peranan besar dan bermakna bagi klien.
4. Terangkan alasan anda menyentuh atau mengucaokan kata-kata sebelum
melakukan sentuhan pada klien.
5. Informasikan kepada klien ketika anda akan menggilakannya / memutus
komunikasi
6. Orientasikan klien dengan suara-suara yang terdengar disekitarnya.
7. Orientasikan klien pada lingkungan bila klien dipindah kelingkungan/ruangan
yang baru.
Agar komunikasi dengan orang dengan gangguan sensori penglihatan dapat
berjalan lancar dan mencapai sasarannya , maka perlu juga diperhatikan hal-hal sebagai
berikut :

1) Dalam berkomunikasi pertimbangan isi dan mata nada suara

2) Periksa lingkungan fisik

3) Perlu adanya ide yang jelas sebelum berkomunikasi

4) Berkomunikasikan pesan secara singkat

5) Komunikasikan hal-hal yang berharga saja

6) Dalam merencanakan komunikas,berkonsultasilah dengan pihak lain agar


memperoleh dukungan.

19
Syarat Syarat Yang Harus Dimiliki Perawat Berkomunikasi Dengan
Pasien Gangguan Penglihatan
Dalam melakukan komunikasin terapeutik dengan pasien dengan gangguan
sensori penglihatan,perawat dituntut untuk menjadi komunikator yang baik sehingga
terjalin hubungan terapeutik yang efektif antara perawat dan klien,untuk itu syarat yang
harus dimilki oleh perawat dalam berkomunikasi dengan pasien dngan gangguan sensori
penglihatan adalah :
1) Adanya kesiapan artinya pesan atau informasi, cara penyampaian dan salurannya
harus dipersiapkan terlebih dahulu secara matang.

2) Kesungguhan artinya apapun wujud dari pesan atau informasi tersebut tetap harus
disampaikan secara sungguh-sungguh atau serius.

3) Ketulusan artinya sebelum individu memberikan informasi atau pesan kepada


individu lain pemberi informasi harus merasa yakin bahwa apa yang disampaikan
itu merupakan sesuatu yang baik dan menang perlu serta berguna untuk pasien

4) Kepercayaan diri artinya jika perawat mempunyai kepercayaan diri maka hal ini
akan sangat berpengaruh pada cara penyampaiannya kepada pasien.

5) Ketenangan artinya sebaik apapun dan sejak apapun yang akan


disampaikan,perawat harus bersifat tenang,tidak emosi maupun memancing emosi
pasien,karena dengan adanya ketenangan maka informasi akan lebih jelas baik
dan lancar.

6) Keramahan artinya bahwa keramahan ini merupakan kunci sukses dari kegiatan
komunikasi,karena dengan keramahan ya ng tulus tanpa dibuat-buat akan
menimbulkan perasaan tenang,senang dan aman bagi penerima

7) Kesederhanaan artinya didalam penyampaian informasi,sebaiknya dibuat


sederhana baik bahasa, pengungkapan dan penyampaiannya.Meskipun informasi
itu panjang dan rumit akan tetapi kalau dberikan secara sederhana berurutan dan
jelas maka akan memberikan kejelasan secara sederhana berurutan dan jelas maka
akan memberikan kejelasan informasi dengan baik.

F. Teknik komunikasi terapetik pasien dengan afasia pada lansia


Afasia merupakan gangguan fungsi bahasa yang disebabkan cidera atau
penyakit pusat otak. Ini termasuk gangguan kemampuan membaca dan menulis dengan
baik, demikian juga bercakap cakap, mendengar, berhitung, menyimpulkan dan
pemahaman terhadap sikap tubuh. Dimana penyebab afasia pertama adalah stroke,
cedera kepala, dan tumor otak (Brunner dan Siddart, 2001).
Teknik Komunikasi yang digunakan adalah :
a. Menghadap ke pasien dan membuat kontak mata.
b. Sabar dan meluangkan waktu.

20
c. Harus jujur, temasuk ketika kita belum memahami pertanyaannya, sikap tubuh,
gambar, dan objek atau media lain yang dapat membantu untuk menjawab
keinginannya.
d. Dipersilahkan lansia menyampaikan apa yang ada dalam pikirannya.
e. Dorong lansia untuk menulis dan mengekspresikannya dan berikan kesempatan
untuk membaca dengan keras.
f. Gunakan gerakan isyarat terhadap objek pembicaraan jika mampu meningkatkan
pemahaman.
g. Gunakan sentuhan untuk memfokuskan pembicaraan, meningkatkan rasa aman.

21
BAB III

SIMPULAN

Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa komunikasi terapeutik adalah salah satu aspek penting
yang menentukan tingkat keberhasilan suatu proses asuhan keperawatan. Dalam konsep komunikasi
terapeutik dijelaskan bahwa hal ini dilakukan secara sadar dan terencana demi tercapainya suatu tujuan
dari asuhan keperawatan. Komunikasi terapeutik yang dilakukan pada lansia akan dibutuhkan skill khusus
yang perlu dimiliki oleh tenaga kesehatan untuk mencapai tujuan kesehatannya, karena pada lansia telah
terjadi kemunduran fungsi organ tubuh, yang diantaranya adalah gangguan penglihatan dan gangguan
pendengaran.

Dengan adanya gangguan tersebut komunikasi terapeutik yang dilakukan akan mengalami hambatan,
maka dari itu perawat perlu memiliki skill khusus agar asuhan keperawatan yang direncanakan tetap
tercapai. Beberapa hal yang perlu dilakukan perawat saat berkomunikasi dengan lansia yang memiliki
gangguan penglihatan dan pendengaran adalah sabar dan perlu meluangkan waktu lebih, gunakan isyarat
dan sentuhan untuk memfokuskan komunikasi, ketulusan, ketenangan, kepercayaan diri, keramahan serta
kesederhanaan informasi yang akan disampaikan agar dapat mudah dimengerti oleh pasien.

22
DAFTAR PUSTAKA

Maryam RS,ekasari,MF,dkk .2008.mengenal usia lanjut dan perawatannya.Jakarta:salemba


medika

Tamher,s,noorkasiani.2009.kesehatan usia lanjut dengan pendekatan


asuhan keperawatan.Jakarta:salemba medika

Damaiyanti, Mukhripah. 2008. Komunikasi Terapeutik dalam Praktik Keperawatan. Bandung:


Refika Aditama.

23

Anda mungkin juga menyukai