Komter Kelompok 4 Kelas B
Komter Kelompok 4 Kelas B
DISUSUN OLEH:
FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
2017
0
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, kmai
haturkan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-
Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.
Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai
pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu, kami ucapkan terima
kasih banyak kepada semua pihak yang telah berkontribusi.
Terlepas dari semua itu, kami menyadari bahwa masih ada kekurangan baik dari segi
susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu, dengan tangan terbuka kami menerima
segala kritik dan saran dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ini.
Akhir kata, kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat maupun
inspirasi terhadap pembaca.
Penyusun
1
Daftar isi
KATA PENGANTAR......................................................................................................................................... 1
Daftar isi ........................................................................................................................................................ 2
BAB I .............................................................................................................................................................. 3
PENDAHULUAN ............................................................................................................................................. 3
1.1 Latar Belakang............................................................................................................................... 3
1.2 RumusanMasalah.......................................................................................................................... 4
1.3 Tujuan ........................................................................................................................................... 4
BAB II ............................................................................................................................................................. 6
PEMBAHASAN ............................................................................................................................................... 6
A. PENGERTIAN KOMUNIKASI TERAPEUTIK .......................................................................................... 6
B. Tujuan Komunikasi Terapeutik ......................................................................................................... 6
C. Konsep Gangguan ............................................................................................................................. 6
D. Konsep Afasia .................................................................................................................................. 16
E. Teknik Teknik Berkomunikasi Terapeutik Pada Pasien Gangguan Penglihatan ......................... 19
F. Teknik komunikasi terapetik pasien dengan afasia pada lansia ..................................................... 20
BAB III .......................................................................................................................................................... 22
SIMPULAN ................................................................................................................................................... 22
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................................................... 23
2
BAB I
PENDAHULUAN
3
Dari keempat peran yang melekat pada diri seorang perawat kesehatan dan yang
secara langsung berhubungan dengan intervensi keperawatan adalah peran pelaksana
perawatan dan pengelola perawatan. Seorang perawat kesehatan dalam melakukan
intervensi keperawatan harus dilakukan secara komprehensif dan sekaligus holistik. Pada
saat itulah komunikasi therapeutic sebaiknya dipergunakan pada setiap intervensi kepada
pasien, interpersonal skill seorang perawat kesehatan dalam berkomunikasi menjadi suatu
tuntutan yang harus dimiliki oleh setiap perawat.
1.2 RumusanMasalah
1. Apa definisi komunikasi terapeutik ?
2. Apa tujuan dari komunikasi terapeutik ?
3. Bagaimana konsep gangguan penglihatan pada lansia ?
4. Bagaimana konsep afasia pada lansia ?
5. Bagaimana teknik komunikasi terapeutik pada lansia dengan gangguan penglihatan ?
6. Bagaimana teknik komunikasi terapeutik pada lansia dengan afasia?
1.3 Tujuan
Tujuan umum berdasarkan rumusan masalah diatas dapat ditentukan yaitu, untuk
mengetahui teknik apa saja yang dapat diberikan terkait komunikasi terapeutik dan konsep yang
digunakan dalam penerapannya pada klien.
4
2. Untuk mengetahui tujuan dari komunikasi terapeutik.
3. Untuk mengetahui konsep gangguan penglihatan pada lansia.
4. Untuk mengetahui konsep afasia pada lansia.
5. Untuk mengetahui teknik komunikasi terapeutik pada lansia dengan gangguan penglihatan.
6. Untuk mengetahui teknik komunikasi terapeutik pada lansia dengan afasia.
5
BAB II
PEMBAHASAN
C. Konsep Gangguan
Mata adalah organ sensorik yang mentransmisikan rangsang melalui jarak pada otak ke lobus
oksipital dimana rasa penglihatan ini diterima. Sesuai dengan proses penuaan yang terjadi,
6
tentunya banyak perubahan yang terjadi, diantaranya alis berubah kelabu, dapat menjadi kasar
pada pria, dan menjadi tipis pada sisi temporalis baik pada pria maupun wanita. Konjungtiva
menipis dan berwarna kekuningan,produksi air mata oleh kelenjar lakrimalis yang berfungsi
untuk melembabkan dan melumasi konjungtiva akan menurun dan cenderung cepat menguap,
sehingga mengakibatkan konjungtiva lebih kering.
Pada mata bagian dalam, perubahan yang terjadi adalah ukuran pupil menurun dan reaksi
terhadap cahaya berkurang dan juga terhadap akomodasi. Lensa menguning dan berangsur-
angsur menjadi lebih buram mengakibatkan katarak, sehingga memengaruhi kemampuan untuk
menerima dan membedakan warna-warna. Kadang warna gelap seperti coklat, hitam, dan marun
tampak sama. Pandangan dalam area yang suram dan adaptasi terhadap kegelapan berkurang (
sulit melihat dalam cahaya gelap) menempatkan lansia pada risiko sedera. Sementara cahaya
menyilaukan dapat menyebabkan nyeri dan membatasi kemampuan untuk membedakan objek-
objek dengan jelas, semua hal itu dapat memengaruhi kemampuan fungsional para lansia.
7
Jenis gangguan pada lansia dengan gangguan penglihatan
Pada usia lanjut seringkali dijumpai keluhan nrocos. Kegagalan fungsi pompa pada system
kanalis lakrimalis disebabkan oleh karena kelemahan palpebra, eversi punctum atau malposisi
palpebra sehingga akan menimbulkan keluhan epifora. Namun sumbatan system kanalis
lakrimalis yang sebenarnya atau dacryostenosis sering dijumpai pada usia lanjut, diman
dikatakan bahwa dacryostenosis akuisita tersebut lebih banyak dijumpai pada wanita dibanding
pria. Adapun patogenesia yang pasti terjadinya sumbatan ductus nasolakrimalis masih belum
jelas, namun diduga oleh karena terjadi proses jaringan mukosa dan berakibat terjadinya
sumbatan.
Setelah usia 40 tahun khususnya wanita pasca menopause sekresi basal kelenjar lakrimal secara
progesif berkurang. Sehingga seringkali pasien dengan sumbatan pada duktus nasolakrimalis tak
menunjukkan gejala epifora oleh karena volume air matanya sedikit. Akan tetapi bilamana
sumbatan sistim lakrimalis tak nyata akan memberi keluhan mata kering yaitu adanya rasa tidak
enak seperti terdapat benda asing atau seperti ada pasir, mata tersa leleh dan kering bahkan
kabur. Sedangkan gejala obyektif yang didapatkan diantaranya konjungtiva bulbi kusam dan
menebal kadang hiperaemi, pada kornea didapatkan erosi dan filamen. Periksa yang perlu
dilakukan adalah Schirmer, Rose Bengal, Tear film break up time
* Perubahan refraksi
Pada orang muda, hipermetrop dapat diatasi dengan kontraksi muskulus silisris. Dengan
bertambahnya usia hipermetrop laten menjadi lebih manifest karena hilangnya cadangan
akomodasi. Namun bila terjadi sclerosis nucleus pada lensa, hipermetrop menjadi berkurang atau
terjadi miopisasi karena proses kekeruhan di lensa dan lensa cenderung lebih cenbung.
Perubahan astigmat mulai terlihat pada umur 10-20 tahun dengan astigmat with the rule 75,5%
dan astigmat against the rule 6,8%. Pada umur 70-80 tahun didapatkan keadaan astigmat with
the rule 37,2% dan against the rule 35%. Factor-faktor yang mempengaruhi perubahan astigmat
antara lain kornea yang mengkerut oleh karena perubahan hidrasi pada kornea, proses penuaan
pada kornea.
Penurunan daya akomodasi dengan manifestasi presbiopia dimana seseorang akan kesulitan
untuk melihat dekat dipengaruhi oleh berkurangnya elastisitas lensa dan perubahan pada
muskulus silisris oleh karena proses penuaan.
8
produksi H.Aqueous 2% (0,06 mikro liter/menit) tiap decade. Penurunan ini tidsak sebanyak
yang diperkirakan, oleh karena dengan bertambahnya usia sebenarnya produksi H.Aqueous lebih
stabil disbanding perubahan tekanan intra okuler atau volume COA.
Dengan bertambahnya usia akan menyebabkan kekendoran seluruh jaringan kelopak mata.
Perubahan ini yang juga disebut dengan perubahan involusional terjadi pada :
1. M.orbicular
2. Retractor palpebra inferior
3. Tartus
4. Tendo kantus medial/lateral
5. Aponeurosis muskulus levator palpebra
6. Kulit
1. M.orbicular
Perubahan pada m.orbicularis bias menyebabkan perubahan kedudukan palpebra yaitu terjadi
entropion atau ektropion. Entropion/ektropion yang terjadi pada usia lanjut disebut
entropion/ekropion senilis/ involusional. Adapun proses terjadinya mirip, namun yang
membedakan adalah perubahan pada m.orbicularis preseptal dimana enteropion muskulus
tersebut relative stabil.
Pada ektropion, bila margo palpebra mulai eversi, konjungtiva tarsalis menjadi terpapar
(ekspose), ini menyebabkan inflamasi sekunder dan tartus akan menebal sehingga secara
mekanik akan memperberat ektropionnya.
Kekendoran retractor palpebra inferior mengakibatkan tepi bawah tarsus rotasi/ berputar kearah
luar sehingga memperberat terjadinya entropion.
3. Tartus
Bilaman tartus kurang kaku oleh karena proses atropi akan menyebabkan tepi atas lebih
melengkung ke dalam sehingga entropion lebih nyata.
Perubahan involusional pada usia lanjut juga mengenai tendon kartus medial/ lateral sehingga
secar horizontal kekencangan palpebra berkurang.
9
Perubahan-perubahan pada jaringan palpebra juga diperberat dengan keadaan dimana bola mata
pada usia lanjut lebih enoftalmus karena proses atropi lemak orbita. Akibatnya kekencangan
palpebra secara horizontal relative lebih nyata. Jadi apakah proses involusional tersebut
menyebabkan margo palpebra menjadi inverse atau eversi tergantung perubahan-perubahan yang
terjadi pada m.orbikularis oculi, retractor palpebra inferior dan tarsus.
Dengan bertambahnya usia maka aponeurosis m.levator palpebra mengalami disinsersi dan
terjadi penipisan, akibatnya terjadi blefaroptosis akuisita. Meskipun terjadi perubahan pada
aponeurosis m.levator palpebra namun m.levatornya sendiri relative stabil sepanjang usia. Bial
blefaroptosis tersebut mengganggu penglihatan atau secara kosmetik menjadi keluhan bias
diatasi dengan tindakan operasi.
6. Kulit
Pada usia lanjut kulit palpebra mengalami atropi dan kehilangan elastisitasnya sehingga
menimbulkan kerutan dan lipatan-lipatan kulit yang berlebihan. Keadaan ini biasanya diperberat
dengan terjadinya peregangan septum orbita dan migrasi lemak preaponeurotik ke arterior.
Keadaan ini bisa terjadi pada palpebra superior maupun inferior dan disebut sebagai
dermatokalis.
Penanganan :
Dengan terjadinya perubahan struktur pada kelopak mata tersebut akibat proses penuaan, maka
secar klinis manifestasi yang sering dijumpai adalah :
1. Entropion involusional
2. Ektropion involusional
3. Blefaroptosis
4. Dermatokalasis
10
Yaitu suatu keadaan dimana margo palpebra mengalami inverse yang terjadi pada lanjut usia.
1. Mata merah
2. Berair
3. Rasa gatal
Hal ini disebabkan oleh karena iritasi dan abrasi cornea. Bila berlanjut bias menyebabkan ulkus
cornea.
Penanganan :
1. Jahitan eversi
2. Prosedur Weis (splitting palpebra transversa + jahitan eversi) dengan / tanpa pemendekan
horizontal
3. Plikasi retractor palpebra inferior
Yaitu suatu keadaan dimana margo palpebra mengalami eversi yang terjadi pada usia lanjut.
1. Epifora
2. Konjungtiva palpebra hipewremi dan hipertrofi
3. Konjungtiva bulbi hiperemi
Penanganan :
1. Lazy T
2. Eksisi diamond tarsokonjungtiva
3. Pemendekan palpebra horizontal
Glaukoma
Merupakan sekumpulan gangguan, glaukoma ditandai dengan tekanan intraokuler yang tinggi
yang merusak saraf optikus. Glaukoma dapat terjadi sebagai penyakit primer atau kongenital
atau sebagai akibat sekunder dari penyakit atau kondisi lain. Ada 2 bentuk glaukoma, yaitu:
11
Glaukoma primer
a. Glaukoma sudut terbuka ( juga dikenal dengan glaukoma kronis, sederhana, dan sudut lebar).
Glaukoma sudut terbuka adalah tipe yang paling umum terjadi pada lansia dan akibat dari
perubahan degeneratif di jalinan trabekular. Perubahan ini menghambat aliran humor aqueosa
dari mata, yang menyebabkan tekanan intraokuler meningkat. Akibat dari hal tersebut adalah
kerusakan saraf optikus.glaukoma sudut terbuka terhitung sekitar 90% dari semua kasus
glaukoma dan umumnya terjadi di keluarga.
b. Glaukoma sudut tertutup( dikenal dengan glaukoma akut atau sudut sempit)
Glaukoma sudut tertutup akibat dari penurunan aliran balik humor aqueosa yang disebabkan oleh
sudut yang menyempit secara anatomis di antara iris dan kornea.hal ini menyebabkan tekanan
intraokuler meeningkat dengan tiba-tiba. Serangan glaukoma sudut tertutup dapat dipicu oleh
trauma, dilatasi pupil,stres atau perubahan mendorong iris ke arah depan( misalnya, hemoragi
atau pembengkakan lensa.glaukoma yang tidak diobati dapat memburuk menjadi kebutaan total.
Glaukoma sekunder
Glaukoma sekunder dapat terjadi akibat kondisi-kondisi seperti infeksi, uveitis, cedera,
pembedahan, penggunaan obat-obatan yang berkepanjangan(seperti kortikosteroid), oklusi vena,
dan diabetes. Kadang kala, pembuluh darah baru dapat terbentuk (vaskularisasi baru) dan
menghambat drainase humor aqueosa.
Pemeriksaan diagnostik
12
dapat mengalami tanda dan gejala glaucoma dan pasien yang mempunyai tekanan tinggi
mungkin tidak menunjukkan efek klinis.
b) Pemeriksaan slit lamp memperlihatkan efek glaucoma pada stuktur mata anterior,
meliputi kornea, iris dan lensa.
c) Gonioskopi menentukan sudut ruang anterior mata, yang memungkinkan pemeriksa untuk
membedakan glaucoma sudut terbuka dengan glaucoma sudut tertutup. Sudut mata normal pada
glaucoma sudut terbuka sedangkan pada glaucoma sudut tertutup tampak tidak normal. Akan
tetapi, pada pasien lansia penutupan sebagian dapat terjadi yang memungkinkan dua bentuk
glaucoma terjadi bersamaan.
Penanganan
Untuk glaukoma sudut terbuka, terapi obat-obatan awal bertujuan untuk mengurangi tekanan
karena penurunan produksi humor aqueosa. Obat-obatan tersebut meliputi penyekat beta, seperti
timolol (digunakan secara hati-hati pada pasien yang menderita asma dan menderita bradikardia)
serta betaksolol; epineprin untuk mendilatasi pupil (dikontraindikasikan pada glaucoma sudut
tertutup); dan obat tetes mata miotik, seperti pilokarpin, untuk meningkatkan aliran balik humor
aqueosa.
Pasien yang tidak berespons terhadap terapi obat-obatan dapat memanfaatkan trabekuloplasti
laser argon; yaitu ahli oftalmologi memfokuskan sinar laser argon pada jalinan trabekular pada
sudut terbuka. Prosedur ini menghasilkan pembakaran termal yang mengubah permukaan
meshwork tersebut dan mudah aliran balik humor aqueosa.
Untuk melakukan trabekulektomi, ahli bedah mendiseksi lipatan sclera untuk membuka jalinan
trabekular. Ahli bedah menghilangkan blok jaringan kecil dan melakukan iridektomi perifer,
yang menciptakan lubang untuk aliran balik humor aqueosa dibawah konjungtiva dan
menghasilkan filtering bleb. Pada pascaoperatif, injeksi subkonjungtivafluororasil dapat
diberikan untuk mempertahankan tekanan fistula. Iridektomi mengurangi tekanan dengan cara
mengeksisi sebagian iris untuk mengembalikan aliran balik humor aqueosa. Beberapa hari
kemudian, ahli bedah melakukan iridektomi profilaktik pada mata lainnya (yang normal) untuk
mencegah episode glaukoma akut pada mata tersebut.
13
2. Glaukoma sudut tertutup
Glaukoma sudut tertutup (glaukoma akut) adalah kedaruratan yang membutuhkan terapi segera
untuk mengurangi tekanan intraokuler yang tinggi. Terapi obat-obatan praoperatif awal
menurunkan tekanan intraokuler dengan asetazolamid, pilokarpin (yang mengontriksikan pupil,
mendorong iris jauh dari trabekula dan memungkinkan cairan terbebas) dan manitol lewat I.V.
atau gliserin aoal (yang mendorong cairan dari mata dengan menjadikan hipertonik). Jika
pengobatan ini gagal untuk menurunkan tekanan, iridotomi laser atau iridektomiperifer dengan
pembedahan harus dilakukan dengan cepat untuk menyelamatkan penglihatan pasien.
Analgetik narkotik dapat digunakan jika pasien mengalami nyeri berat. Setelah iridektomi
perifer, tetes mata sikloplegik dapat diberikan untuk merilekskan otot-otot siliaris dan
mengurangi inflamasi, sehingga mencegah perlekatan.
Asuhan keperawatan
Pengkajian
Pengkajian pada lansia dengan gangguan penglihatan meliputi hal-hal berikut ini:
Masalah keperawatan
Masalah keperawatan yang biasanya terdapat pada lansia dengan masalah penglihatan adalah
sebagai berikut:
Intervensi keperawatan
14
Intervensi keperawatan pada lansia dengan masalah penglihatan adalah sebagai berikut:
Diagnosa 1:
Kriteria hasil tindakan : Pasien akan mencari bantuan medis ketika perubahan penglihatan terjadi
dan akan memperoleh kembali penglihatan normal serta mempertahankan penglihatan
normalnya dengan terapi.
Diagnosa 2:
Kriteria hasil tindakan : Pasien akan melakukan tindakan kewaspadaan untuk mencegah cedera
karena kerusakan penglihatan.
Diagnosa 3:
Kriteria hasil tindakan : Pasien akan mengidentifikasi sumber-sumber rasa takut, mencari
informasi mengenai glaucoma dari sumber-sumber yang tepat untuk mengurangi rasa takut, dan
mengungkapkan pemahaman bahwa kepatuhan terhadap regimen terapi yang diresepkan dapat
mencegah kehilangan lebih lanjut.
Intervensi keperawatan
1. Bagi pasien yang menderita glaukoma sudut tertutup, berikan obat-obatan sesuai resep,
dan siapkan ia secara fisik dan psikologis untuk menjalani iridektomi laser atau
pembedahan.
15
2. Ingat untuk memberikan obat tetes mata sikloplegik hanya pada mata yang sakit. Pada
mata yang tidak sakit, obat tetes mata ini dapat mencetuskan serangan glaukoma sudut
tertutup dan dapat mengganggu penglihatan pasien yang masih tersisa.
3. Setelah trabekulektomi, berikan obat-obatan sesuai program untuk mendilatasi pupil.
Selain itu, oleskan kortikosteroid topical sesuai program untuk mengistirahatkan pupil.
4. Setelah pembedahan, lindungi mata dengan memasangpenutup mata dan pelindung mata,
menempatkan pasien pada posisi telungkup atau miring ke bagian yang tidak sakitdan
melakukan tindakan keamanan umum.
5. Pantau kemampuan pasien untuk melihat dengan jelas. Tanyakan pada pasien secar
teratur mengenai terjadinya perubahan penglihatan.
6. Pantau tekanan intraokuler secara teratur
7. Pantau kepatuhan pasien terhadap terapi dan perawatan tindak lanjut sepanjang hidup.
Penyuluhan pasien
1. Tekankan pentingnya kepatuhan yang sangat cermat terhadap terapi obat-obatan yang
diresepkan untuk mempertahankan tekanan intraokuler rendah dan mencegah perubahan
pada diskus optikus yang menyebabkan kahilangan penglihatan.
2. Jelaskan semua prosedur dan terapi, khususnya pembedahan, untuk membantu
mengurangi kecemasan pasien.
3. Informasikan pada pasien bahwa kehilangan penglihatan tidak dapat diperbaiki namun
terapi tersebut biasanya dapat mencegah kehilangan penglihatan lebih lanjut.
4. Ajarkan pada pasien mengenai tanda dan gejala yang membutuhkan perhatian medis
segera, seperti perubahan penglihatan yang tiba-tiba atau nyeri pada mata.
5. Beri tahu pada anggota keluarga cara memodifikasi lingkungan agar aman bagi pasien.
Sebagai contoh, anjurkan untuk mempertahankan lorong dirumah dengan pencahayaan
yang terang dan orientasikan kembali pasien terhadap susunan ruang jika perlu.
6. Diskusikan pentingnya skrining glukoma untuk deteksi dan pencegahan dini. Tekankan
pada pasien semua orang di atas 35 tahun harus melakukan pemeriksaan tonometri setiap
hari.
D. Konsep Afasia
a. Definisi Afasia
Afasia adalah gangguan komunikasi yang disebabkan oleh kerusakan pada
bagian otak yang mengandung bahasa (biasanya di hemisfer serebri kiri otak).
Individu yang mengalami kerusakan pada sisi kanan hemisfer serebri kanan otak
mungkin memiliki kesulitan tambahan di luar masalah bicara dan bahasa. Afasia
dapat menyebabkan kesulitan dalam berbicara, mendengarkan, membaca, dan
menulis, tetapi tidak mempengaruhi kecerdasan. Individu dengan afasia mungkin
juga memiliki masalah lain, seperti disartria, apraxia, dan masalah menelan.
Afasia adalah gangguan kemampuan berbahasa. Para penderita afasia dapat
mengalami gangguan berbicara, memahami sesuatu, membaca, menulis, dan
berhitung. Penyebab afasia selalu berupa cedera otak. Pada kebanyakan kasus,
afasia dapat disebabkan oleh pendarahan otak. Selain itu juga dapat disebabkan
16
oleh kecelakaan atau tumor. Seseorang mengalami pendarahan otak jika aliran
darah di otak tiba-tiba mengalami gangguan. Hal ini dapat terjadi melalui dua cara
yaitu: terjadi penyumbatan pada pembuluh darah atau kebocoran pada pembuluh
darah.
b. Jenis Afasia
1. Global Afasia
Global afasia adalah afasia yang melibatkan semua aspek bahasa dan
mengganggu komunikasi lisan. Penderita tidak dapat berbicara secara
spontan atau melakukannya dengan susah payah, menghasilkan tidak lebih
dari fragmen perkataan. Pemahaman ucapan biasanya tidak ada; atau hanya
bisa mengenali beberapa kata, termasuk nama mereka sendiri dan
kemampuan untuk mengulang prkataan yang sama adalah nyata terganggu.
Penderita mengalami kesulitan menamakan benda, membaca, menulis, dan
menyalin kata kata. Bahasa otomatisme (pengulangan omong kosong)
adalah karakteristik utama. Distribusi lesi terletak di seluruh arteri serebri,
termasuk area Wernicke dan Broca.
2. Brocas afasia
Brocas afasia (juga disebut anterior, motorik, atau afasia
ekspresif) ditandai dengan tidak adanya gangguan spontan
berbicara, sedangkan pemahaman hanya sedikit terganggu.
Pasien dapat berbicara dengan susah payah, memproduksi kata
kata yang goyah dan tidak lancar. Penamaan, pengulangan,
membaca dengan suara keras, dan menulis juga terganggu.
Daerah lesi adalah di area Broca; mungkin disebabkan infark
dalam distribusi arteri prerolandic (arteri dari sulkus
prasentralis).
3. Afasia Wernicke
Afasia wernicke (juga disebut posterior, sensorik, atau
reseptif aphasia) ditandai dengan penurunan pemahaman yang
kronik. Bicara tetap lancar dan normal mondar-mandir, tetapi
kata kata penderita tidak bisa dimengerti (kata salad, jargon
aphasia). Penamaan, pengulangan kata-kata yang di dengar,
membaca, dan menulis juga nyata terganggu. Area lesi ialah
Area Wernicke (area 22). Mungkin disebabkan oleh infark
dalam distribusi arteri temporalis posterior.
4. Afasia transkortikal
Kata-kata yang didengar penderita dapat diulang, tapi
fungsi linguistik lainnya terganggu: tidak bisa bicara secara
spontan untuk penderita transkortikal motor afasia (sindrom
mirip dengan Broca afasia), tidak mempunyai pemahaman
bahasa bagi penderita transkortikal afasia sensorik (sindrom
mirip dengan Wernicke afasia). Area lesi transkortikol motorik
terletak di kiri lobus frontal berbatasan dengan area Broca
manakala lesi transkortikol sensorik terletak di temporo-
oksipital berhampiran Area Wernicke.
5. Amnestik (anomik) afasia
17
Jenis afasia yang ditandai dengan gangguan penamaan
dan mencari perkataan. Bicara masih spontan dan fasih tapi sulit
untuk menemukan kata dan mencipta ayat. Kemampuan untuk
mengulang, memahami, dan menulis kata-kata pada dasarnya
normal. Daerah lesinya di korteks temporoparietal atau di
substansia nigra.
6. Afasia konduksi
Pengulangan sangat terganggu; fasih, bicara spontan
terganggu oleh jeda untuk mencari kata-kata. Pemahaman
bahasa hanya sedikit terganggu. Daerah lesi ialah fasikulus
arkuata.
7. Afasia subkortikal
Jenis aphasia yang mirip dengan yang dijelaskan dapat
diproduksi oleh subkortikal lesi pada berbagai situs (thalamus,
kapsul internal striatum anterior).
c. Gejala klinis
1. Afasia Broca
Bicara tidak lancar
Tampak sulit memulai bicara
Kalimatnya pendek
Repetisi buruk
Kemampuan menamai buruk (anomia)
Pemahaman lumayan
Gramatika bahasa kurang, tidak kompleks
2. Afasia Wernicke
Bicara lancar
Panjang kalimat normal
Repetisi buruk
Kemampuan menamai buruk (anomia)
Komprehensi auditif dan membaca buruk
3. Afasia konduksi
Bicara lancar
Pemahaman bagus
Gangguan berat pada repetisi
d. Etiologi
1. Stroke iskemik strok dan hemoragik strok
2. Trauma kepala
3. Tumor otak (Space Occupying lesion)
4. Penyakit degeneratif seperti dementia.
18
5. Infeksi pada otak meningitis dan meningioencephalitis
e. Patofisiologi
Area motorik disuplai oleh arteri serebri anterior dan arteri serebri media
yang bercabang dari arteri karotis interna. Arteri serebri anterior menyuplai
korteks lobus frontalis dan lobus parietalis, manakala arteri serebri media
menyuplai korteks bagian lateral. Apabila terjadi kerusakan pada arteri serebri
media yang menyuplai area Wernicke, Broca dan area fasikulus arkuata akan
menyebabkan gangguan untuk memahami kata-kata, berbicara dengan lancar dan
juga mengulang kata kata.
1. Sedapat mungkin ambil posisi yang dapat dilihat klien bila ia mengalami kebutaan
persial atau sampaikan secara verbal keberadaan / kehadiran perawat ketika anda
berada didekatnya.
2. Indentifikasi diri anda dengan menyebut nama(dan peran)anda.
3. Berbicara menggunakan nada suara normal karena kondisi klien tidak
memungkinkan menerima pesan verbal secara visual.Nada suara anda memagang
peranan besar dan bermakna bagi klien.
4. Terangkan alasan anda menyentuh atau mengucaokan kata-kata sebelum
melakukan sentuhan pada klien.
5. Informasikan kepada klien ketika anda akan menggilakannya / memutus
komunikasi
6. Orientasikan klien dengan suara-suara yang terdengar disekitarnya.
7. Orientasikan klien pada lingkungan bila klien dipindah kelingkungan/ruangan
yang baru.
Agar komunikasi dengan orang dengan gangguan sensori penglihatan dapat
berjalan lancar dan mencapai sasarannya , maka perlu juga diperhatikan hal-hal sebagai
berikut :
19
Syarat Syarat Yang Harus Dimiliki Perawat Berkomunikasi Dengan
Pasien Gangguan Penglihatan
Dalam melakukan komunikasin terapeutik dengan pasien dengan gangguan
sensori penglihatan,perawat dituntut untuk menjadi komunikator yang baik sehingga
terjalin hubungan terapeutik yang efektif antara perawat dan klien,untuk itu syarat yang
harus dimilki oleh perawat dalam berkomunikasi dengan pasien dngan gangguan sensori
penglihatan adalah :
1) Adanya kesiapan artinya pesan atau informasi, cara penyampaian dan salurannya
harus dipersiapkan terlebih dahulu secara matang.
2) Kesungguhan artinya apapun wujud dari pesan atau informasi tersebut tetap harus
disampaikan secara sungguh-sungguh atau serius.
4) Kepercayaan diri artinya jika perawat mempunyai kepercayaan diri maka hal ini
akan sangat berpengaruh pada cara penyampaiannya kepada pasien.
6) Keramahan artinya bahwa keramahan ini merupakan kunci sukses dari kegiatan
komunikasi,karena dengan keramahan ya ng tulus tanpa dibuat-buat akan
menimbulkan perasaan tenang,senang dan aman bagi penerima
20
c. Harus jujur, temasuk ketika kita belum memahami pertanyaannya, sikap tubuh,
gambar, dan objek atau media lain yang dapat membantu untuk menjawab
keinginannya.
d. Dipersilahkan lansia menyampaikan apa yang ada dalam pikirannya.
e. Dorong lansia untuk menulis dan mengekspresikannya dan berikan kesempatan
untuk membaca dengan keras.
f. Gunakan gerakan isyarat terhadap objek pembicaraan jika mampu meningkatkan
pemahaman.
g. Gunakan sentuhan untuk memfokuskan pembicaraan, meningkatkan rasa aman.
21
BAB III
SIMPULAN
Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa komunikasi terapeutik adalah salah satu aspek penting
yang menentukan tingkat keberhasilan suatu proses asuhan keperawatan. Dalam konsep komunikasi
terapeutik dijelaskan bahwa hal ini dilakukan secara sadar dan terencana demi tercapainya suatu tujuan
dari asuhan keperawatan. Komunikasi terapeutik yang dilakukan pada lansia akan dibutuhkan skill khusus
yang perlu dimiliki oleh tenaga kesehatan untuk mencapai tujuan kesehatannya, karena pada lansia telah
terjadi kemunduran fungsi organ tubuh, yang diantaranya adalah gangguan penglihatan dan gangguan
pendengaran.
Dengan adanya gangguan tersebut komunikasi terapeutik yang dilakukan akan mengalami hambatan,
maka dari itu perawat perlu memiliki skill khusus agar asuhan keperawatan yang direncanakan tetap
tercapai. Beberapa hal yang perlu dilakukan perawat saat berkomunikasi dengan lansia yang memiliki
gangguan penglihatan dan pendengaran adalah sabar dan perlu meluangkan waktu lebih, gunakan isyarat
dan sentuhan untuk memfokuskan komunikasi, ketulusan, ketenangan, kepercayaan diri, keramahan serta
kesederhanaan informasi yang akan disampaikan agar dapat mudah dimengerti oleh pasien.
22
DAFTAR PUSTAKA
23