Anda di halaman 1dari 13

Alodia Pandora E0015035

TUGAS IPU KELAS D

KAIDAH PERILAKU DALAM PERATURAN DI INDONESIA

1. Perintah di PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA


JAKARTA NOMOR 8 TAHUN 2007 TENTANG KETERTIBAN UMUM

Pasal 2 ayat (1)


Setiap pejalan kaki wajib berjalan di tempat yang telah ditentukan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

2. Larangan di PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA


JAKARTA NOMOR 8 TAHUN 2007 TENTANG KETERTIBAN UMUM

Pasal 2 ayat (6)


Setiap orang atau badan dilarang membuat, merakit atau mengoperasikan angkutan
umum kendaraan jenis empat yang bermesin dua tak.

3. Pembebasan di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP)

Pasal 7 ayat (1)


Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak
wanita sudah mencapai 16 tahun.

Atas peraturan ini dapat diberikan pembebasan pengecualian kepada seorang pria atau
wanita yang belum mencapai umur yang telah ditentukan dalam pasal tersebut diatas
dengan mengajukan suatu permohonan kepada penguasa atau pengadilan setempat
dimana mereka bertempat tinggal, permohonan itu dapat diajukan oleh orang tua atau
walinya, tetapi biasanya dimintakan kepada pengadilan setempat, sesuai dengan bunyi
pasal 7 ayat (2) UUP tersebut, yang berbunyi: Dalam hal penyimpangan terhadap ayat
(1) pasal ini dapat diminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk
oleh kedua orang tua pihak pria maupun wanita.

4. Izin di Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Pasal 29
Laki-laki yang belum mencapai umur delapan belas tahun penuh dan perempuan yang
belum mencapai umur lima belas tahun penuh, tidak diperkenankan mengadakan
perkawinan. Namun jika ada alasan-alasan penting, Presiden dapat menghapuskan
larangan ini dengan memberikan dispensasi.
Resume Kaidah Perilaku

Kaidah-kaidah perilaku adalah kaidah yang menetapkan bagaimana kita harus atau boleh
berperilaku. Kaidah-kaidah ini bertugas untuk menjamin bahwa tata hukum akan dapat
menjamin fungsinya, yakni menata (meregulasi, mengatur) perilaku orang-orang dalam
masyarakat. Setiap orang dalam hidupnya sering bersentuhan dengan kaidah-kaidah perilaku ini.

Ciri dari kaidah perilaku adalah bahwa kaidah-kaidah tersebut meletakkan atau
membebankan kewajiban-kewajiban untuk melaksanakan suatu perilaku tertentu, di pihak lain
terdapat kewajiban-kewajiban untuk menjauhi atau tidak melakukan perilaku tertentu.

Kaidah-kaidah perilaku ada beberapa jenis, yaitu:

1. Perintah (gebod)
Perintah adalah kaidah-kaidah yang menetapkan bahwa hal menjalankan suatu perbuatan
adalah suatu kewajiban.
2. Larangan (verbod)
Larangan adalah kaidah-kaidah yang menentukan bahwa suatu perbuatan harus tidak
dilakukan.
3. Izin
Izin mewujudkan pengecualian dari suatu larangan. Kaidah yang di dalamnya izin
diberikan, di dalam hukum sering tampil dalam sosok sebuah lisensi (vergunning).
4. Pembebasan (dispensasi)
Pembebasan mewujudkan pengecualian terhadap suatu perintah.

Antara empat perintah perilaku ini terdapat berbagai hubungan, yang juga dapat memperlihatkan
hubungan logikal tertentu:

a. Sebuah perintah dan sebuah larangan saling mengecualikan (saling menutup yang satu
terhadap lainnya), sebab bukankah orang tidak dapat pada waktu yang bersamaan
mengemban kewajiban untuk melakukan sesuatu dan kewajiban untuk tidak melakukan
hal itu. Jadi, terdapat suatu pertentangan antara sebuah perintah dan sebuah larangan, dan
dengan itu orang memaksudkan bahwa suatu perilaku tertentu yang dilarang, tidak dapat
pada waktu yang bersamaan juga diharuskan, tetapi mungkin saja terjadi bahwa perilaku
tertentu ini tidak diperintahkan maupun tidak dilarang. Dalam logika hubungan ini
disebut kontraris. Sebuah hubungan kontraris terdapat antara dua proposisi umum atau
proposisi universal (dua-duanya berkenaan dengan kewajiban umum), yang berbeda
dalam kualitasnya (yang satu berkenaan dengan melakukan sesuatu, yang lainnya
berkenaan dengan tidak melakukan sesuatu).
b. Sebuah perintah mengimplikasikan sebuah izin. Sebab, jika orang mengemban kewajiban
untuk melakukan sesuatu, maka orang tersebut juga pasti mempunyai izin untuk
melakukan hal itu. Dengan cara yang sama sebuah larangan mengimplikasikan sebuah
pembebasan (dispensasi), sebab jika orang mempunyai kewajiban untuk tidak melakukan
sesuatu, maka orang termaksud itu juga mempunyai izin untuk tidak melakukan sesuatu
itu. Jadi terdapat suatu implikasi secara respekstif antara sebuah perintah dan sebuah
izin, dan antara sebuah larangan dan sebuah dispensasi, dalam arti bahwa jika suatu
perilaku tertentu diperintahkan maka orang itu juga mempunyai izin untuk berperilaku
demikian, dan bahwa jika suatu perilaku tertentu dilarang maka orang itu juga dibebaskan
(dari keharusan) untuk berperilaku demikian. Dalam Logika hubungan demikian ini
disebut subalternasi. Hubungan sub-alternasi terdapat antara sebuah proposisi universal
dan sebuah proposisi partikular (hubungan ini berkenaan dengan di satu pihak sebuah
kewajiban umum dan di lain pihak sebuah kebolehan khusus) yang kualitasnya sama
(atau untuk melakukan sesuatu, atau untuk tidak melakukan sesuatu).
c. Sebuah izin dan dispensasi (pembebasan) tidak saling menggigit, sebab orang dapat
mempunyai izin untuk melakukan sesuatu, dan pada saat yang sama ia dapat mempunyai
izin untuk tidak melakukan hal itu. Jadi, antara izin dan dispensasi terdapat suatu
kontras semu. Jika suatu perilaku tertentu diperbolehkan, maka terdapat kemungkinan
bahwa pada waktu yang bersamaan ia juga dibebaskan (dari keharusan) untuk berperilaku
demikian. Namun tidak mungkin terjadi bahwa suatu perilaku tertentu tidak
diperbolehkan dan orang juga tidak dibebaskan (dari keharusan) untuk berperilaku
demikian. Hubungan ini dalam Logika disebut hubungan subkontraris.
d. Akhirnya sebuah perintah dan sebuah dispensasi, seperti juga sebuah larangan dan sebuah
izin, tidak dapat ada (berlaku) bersama-sama. Bukankah orang tidak dapat mempunyai
kewajiban untuk melakukan sesuatu sedangkan ia juga diizinkan untuk tidak melakukan
hal itu. Begitu juga orang tidak dapat mempunyai kewajiban untuk tidak melakukan
sesuatu padahal pada saat yang sama ia juga diperbolehkan untuk melakukan hal itu. Jadi,
secara respektif antara sebuah perintah dan sebuah dispensasi, dan antara sebuah larangan
dan sebuah izin terdapat perlawanan (tegenspraak). Jika sebuah perilaku tertentu
diperintahkan maka orang tidak dapat dibebaskan daripadanya, dan jika suatu perilaku
tertentu dilarang maka orang tidak dapat memiliki izin untuk melakukan hal itu. Namun
dapat terjadi bahwa berkenaan dengan suatu perilaku tertentu tidak terdapat suatu
perintah maupun suatu dispensasi, atau tidak terdapat suatu larangan maupun suatu izin.
Hubungan ini dalam Logika disebut hubungan kontradiksi.

CONTOH KAIDAH PERILAKU

1. Perintah

- Setiap warga negara wajib menjaga fasilitas umum dengan tertib dan baik.
- Setiap pengunjung Taman Bermain BIANGLALA wajib mematuhi segala aturan yang
berlaku demi kenyamanan dan keselamatan masing-masing pengunjung.
- Setiap individu wajib menghargai kepercayaan individu lain.
- Setiap murid SMA Negeri 2 Bogor wajib memakai seragam rapih termasuk dasi dan topi
pada saat upacara berlangsung.
- Setiap pengendara motor wajib memakai sepatu ketika berkendara.
- Setiap orang wajib menjaga lingkungan dengan baik dan benar.
- Setiap orang wajib menanam minimal satu pohon di lingkungan tempat ia tinggal.
- Setiap Warga Negara Asing yang datang ke Indonesia dengan tujuan berlibur, harus bisa
menghargai budaya nasional Indonesia.
- Perokok elektronik dan/atau vape berkewajiban untuk merokok pada tempatnya dan tidak
mengganggu kenyamanan umum.
- Setiap pengemudi wajib memiliki kotak hitam di dalam kendaraannya.

2. Larangan

- Setiap pengemudi dilarang menggunakan rokok eletronik dan/atau vape ketika sedang
berkendara.
- Setiap mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret dilarang melakukan
tindakan asusila selama masih menjadi mahasiswa di Universitas Sebelas Maret.
- Setiap mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret dilarang melakukan
pencemaran di lingkungan Fakultas Hukum UNS.
- Setiap mahasiswa Fakultas Hukum UNS dilarang mengambil dan/atau menggunakan
fasilitas yang tersedia di Fakulas Hukum UNS tanpa seizin bagian administrasi.
- Setiap mahasiswa Fakultas Hukum UNS dilarang melakukan kegiatan apapun di Fakultas
Hukum setelah jam 20.00 tanpa seizin bagian keamanan.
- Setiap warga negara dilarang melakukan tindakan yang bisa memperburuk nama dan citra
Negara.
- Setiap orang dilarang melakukan perbuatan tidak menyenangkan kepada orang lain.
- Setiap orang dilarang dengan sengaja melakukan perbuatan yang dapat membahayakan
keselamatan orang lain.

3. Pembebasan

- Setiap warga negara yang belum cakap hukum bisa melakukan perbuatan hukum dengan
syarat diwakilkan dan/atau didampingi dengan walinya.
- Apabila seorang pengemudi hendak menggunakan telepon genggam ketika berkendara,
wajib menggunakan alat bantu Bluetooth.
- Seorang perokok boleh merokok di tempat yang telah disediakan.
- Setiap orang yang ingin mengajukan bukti akta di bawah tangan ketika beracara di
Pengadilan agar bukti tersebut mempunyai kekuatan pembuktian yang hampir sama
dengan akta otentik bisa mengajukan pengesahan ke hadapan Notaris.
- Setiap mahasiswa Fakultas Hukum UNS boleh berkendara dengan tidak menggunakan
helm sepanjang masih berada di dalam lingkungan kampus UNS.
- Setiap mahasiswa boleh mengganndakan buku tanpa seizing penulis selama digunakan
untuk kepentingan pembelajaran.
4. Izin

- Apabila warga negara hendak melangsungkan pernikahan beda agama wajib


melampirkan keterangan izin pernikahan beda agama dari masing-masing agama calon
mempelai.
- Apabila warga negara hendak menutup jalan untuk kepentingan kegiatan keagamaan
wajib melampirkan izin Pemerintah Kota yang berwenang.
- Setiap mahasiswa Fakultas Hukum UNS boleh mengambil dan/atau menggunakan
fasilitas kelas dengan izin bagian administrasi.
- Setiap warga boleh mengkonsumsi minuman keras untuk kepentingan medis dan/atau
sesuai resep yang diberikan oleh Dokter.
- Setiap warga negara boleh menggunakan narkotika untuk kepentingan medis dan/atau
sesuai resep yang diberikan oleh Dokter.
- Dengan izin Pemerintah Kota yang berwenang, pedagang kaki lima boleh tetap berjualan
dengan ketentuan-ketentuan yang telah disepakati sebelumnya.

REFERENSI

Buku

Ilmu Perundang-undangan 1 oleh Maria Farida Indrati S.

Refleksi Tentang Hukum

Website

http://pertamananpemakaman.jakarta.go.id

http://ngada.org

http://wcw.cs.ui.ac.id

http://www.gitews.org
Alodia Pandora E0015035

TUGAS IPU KELAS D

CONTOH META-KAIDAH

1. Kaidah Pengakuan di Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Pasal 1 ayat (1)


Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan
perundang-undangan pidana yang telah ada

2. Kaidah Perubahan di Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Pasal 1 ayat (2)


Bilamana ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan, maka
terhadap terdakwa diterapkan ketentuan yang paling menguntungkannya.

3. Kaidah Kewenangan di Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Pasal 24
(1) Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
(2) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan
yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan
agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh
sebuah Mahkamah Konstitusi.
(3) Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur
dalam undang-undang.

LANDASAN PERATURAN

1. Atribusi dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 9 Tahun 2003, tentang Wewenang
Pengangkatan, Pemindahan, Dan Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil

Pasal 12 ayat (1)


Pejabat Pembina Kepegawaian Pusat menetapkan pengangkatan, pemindahan,
dan pemberhentian Pegawai Negeri Sipil Pusat di lingkungannya dalam dan dari jabatan
struktural eselon II ke bawah atau jabatan fungsional yang jenjangnya setingkat dengan
itu. Pengertian pejabat pembina kepegawaian pusat adalah Menteri.

2. Delegasi dalam Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 Tentang Pembentukan dan
Organisasi Kementerian Negara
Pasal 93
(1) Pejabat struktural eselon I diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul
Menteri yang bersangkutan
(2) Pejabat struktural eselon II ke bawah diangkat dan diberhentikan oleh Menteri yang
bersangkutan.
(3) Pejabat struktural eselon III ke bawah dapat diangkat dan diberhentikan oleh Pejabat
yang diberi pelimpahan wewenang oleh Menteri yang bersangkutan.

3. Mandat

Ketika kepala daerah memerintahkan bawahannya mengeluarkan uang daerah


untuk suatu kepentingan, maka konsekuensitanggung jawab dan tanggung gugat
tetap pada pemberi mandat (kapala daerah).
Pasal 59 UU No. 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik yang
menyebutkan:

Komisi Informasi Pusat harus sudah dibentuk paling lambat 1 (satu) tahun sejak
diundangkannya UndangUndang ini.

HIERARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA

Undang-Undang Dasar 1945 pada periode pertama berlaku, kemudian pada periode kedua
berlaku, dan periode ketiga berlaku, yaitu sejak Perubahan Pertama UUD 1945 pada 19 Oktober
1999 sampai saat ini hanya menetapkan tiga jenis peraturan, yang disebut Undang-Undang,
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU), dan Peraturan Pemerintah.

HIERARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN berdasarkan UU No. 1 Tahun


1950

Pasal 1

Djenis Peraturan-Peraturan Pemerintah Pusat ialah:

a. Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang


b. Peraturan Pemerintah
c. Peraturan Menteri

Pasal 2

Tingkat kekuatan peraturan-peraturan Pemerintah Pusat ialah menurut urutannja pada pasal 1.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa Peraturan Menteri merupakan salah satu jenis peraturan
perundang-undangan, yang terletak di bawah Peraturan Pemerintah dan bukan di bawah
Keputusan Presiden. Oleh karena, Undang-Undang Dasar Sementara 1950 menganut sistem
parlementer, sehingga Presiden hanya bertindak sebagai Kepala Negara dan tidak mempunyai
kewenangan untuk membentuk keputusan yang bersifat mengatur.

RESUME SINGKAT HIERARKI PERUNDANG-UNDANGAN

HIERARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN berdasarkan Ketetapan MPRS


No. XX/MPRS/1966

Dalam Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPRGR mengenai


Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundangan Republik
Indonesia tidak menyebutkan hal-hal mengenai garis besar tentang kebijakan Hukum Nasional
tetapi menentukan antara lain mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia, yaitu
Pancasila yang dirumuskan sebagai Sumber dari segala Sumber Hukum, dan juga mengenai
Tata Urutan Peraturan Perundangan Republik Indonesia.

Dalam Ketetapan MPRS tersebut diuraikan lebih lanjut dalam Lampiran I bahwa
perwujudan sumber dari segala sumber hukum Republik Indonesia adalah:

1. Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945


2. Dekrit 5 Juli 1959
3. Undang-Undang Dasar Proklamasi
4. Surat Perintah 11 Maret

Selain itu, dalam Lampiran II tentang Tata Urutan Peraturan Perundangan Republik
Indonesia menurut Undang-Undang Dasar 1945 dirumuskan sebagai berikut:

a. BENTUK-BENTUK PERATURAN PERUNDANGAN

1. Bentuk-bentuk Peraturan Perundangan Republik Indonesia menurut Undang-Undang


Dasar 1945 ialah sebagai berikut:

- Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945;


- Ketetapan MPR.
- Undang-undang Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang,
- Peraturan Pemerintah,
- Keputusan Presiden,

Peraturan-peraturan Pelaksanaan lainnya seperti :

- Peraturan Menteri
- Instruksi Menteri
- dan lain-lainnya.

2. Sesuai dengan sistim konstitusi seperti yang dijelaskan dalam Penjelasan autentik
Undang-Undang Dasar 1945, bentuk peraturanperundangan yang tertinggi, yang menjadi
dasar dan sumber bagi semua peraturan-perundangan bawahan dalam Negara.

3. Sesuai pula dengan prinsip Negara hukum, maka setiap peraturan perundangan harus
berdasar dan bersumber dengan tegas pada peraturan perundangan yang berlaku, yang lebih
tinggi tingkatnya.

b. 1. Undang-Undang Dasar.

Ketentuan-ketentuan yang tercantum didalam pasal-pasal UndangUndang Dasar adalah


ketentuan-ketentuan yang tertinggi tingkatnya yang pelaksanaannya dilakukan dengan
Ketetapan MPR, Undangundang atau Keputusan Presiden.

2. Ketetapan MPR

a). Ketetapan MPR yang memuat garis-garis besar dalam bidang legislatif dilaksanakan
dengan Undang-undang.

b). Ketetapan MPR yang memuat garis-garis besar dalam bidang eksekutif dilaksanakan
dengan Keputusan Presiden.

3. Undang-undang.

a). Undang-undang adalah untuk melaksanakan Undang-Undang Dasar atau Ketetapan


MPR.

b). Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan
peraturan-peraturan sebagai pengganti Undangundang.

(1) Peraturan Pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat
dalam persidangan yang berikut.

(2) Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan Pemerintah itu harus dicabut.

4. Peraturan Pemerintah.

Peraturan Pemerintah adalah memuat aturan-aturan umum untuk melaksanakan Undang-


undang.

5. Keputusan Presiden.
Keputusan Presiden berisi keputusan yang bersifat khusus (einmalig) adalah untuk
melaksanakan ketentuan Undang-Undang Dasar yang bersangkutan, Ketetapan MPR
dalam bidang eksekutif atau peraturan Pemerintah.
6. Peraturan-peraturan Pelaksanaan lainnya.
Peraturan-peraturan pelaksanaan lainnya seperti: Peraturan Menteri, Instruksi Menteri
dan lain-lainnya, harus dengan tegas berdasar dan bersumber pada peraturan perundangan
yang lebih tinggi.

Dengan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966
juga mengakui adanya suatu sistem norma hukum yang berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang di
mana suatu norma itu berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih tinggi dan diakui
pula adanya norma tertinggi yang menjadi dasar dan sumber bagi norma-norma di bawahnya.

Norma-norma hukum yang termasuk dalam sistem norma menurut Ketetapan MPRS No.
XX/MPRS/1966 adalah berturut-turut Undang-Undang Dasar 1945, Ketetapan MPR, Undang-
Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan
Menteri, Instruksi Menteri, dan lain-lainnya.

HIERARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN berdasarkan Ketetapan MPR


No. III/MPR/2000

Dalam Konsiderans Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan
Peraturan Perundang-undangan merumuskan sebagai berikut:

Pasal 1

(1) Sumber hukum adalah sumber yang dijadikan bahan untuk penyusunan peraturan
perundang-undangan.
(2) Sumber hukum terdiri atas sumber hukum tertulis dan tidak tertulis.
(3) Sumber hukum dasar nasional adalah Pancasila sebagaimana yang tertulis dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa,
Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin
oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan
mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia, dan batang tubuh
Undang-Undang Dasar 1945.

Pasal 2

Tata urutan peraturan perundang-undangan merupakan pedoman dalam pembuatan aturan


hukum di bawahnya.

Tata urutan peraturan perundangundangan Republik Indonesia adalah:

1. Undang-Undang Dasar 1945;


2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia;
3. Undang-Undang;
4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu);
5. Peraturan Pemerintah;
6. Keputusan Presiden;
7. Peraturan Daerah.

Pasal 3

(1) Undang-Undang Dasar 1945 merupakan hukum dasar tertulis Negara Republik
Indonesia, memuat dasar dan garis besar hukum dalam penyelenggaraan negara.
(2) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia merupakan putusan
Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai pengemban kedaulatan rakyat yang ditetapkan
dalam sidang-sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat.
(3) Undang-undang dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat bersama Presiden untuk
melaksanakan Undang-Undang Dasar 1945 serta Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Republik Indonesia.
(4) Peraturan pemerintah pengganti undang-undang dibuat oleh Presiden dalam hal ihwal
kegentingan yang memaksa, dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Peraturan pemerintah pengganti undang-undang harus diajukan ke Dewan
Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut.
b. Dewan Perwakilan Rakyat dapat menerima atau menolak peraturan pemerintah
pengganti undang-undang dengan tidak mengadakan perubahan.
c. Jika ditolak Dewan Perwakilan Rakyat, peraturan pemerintah pengganti undang-
undang tersebut harus dicabut.
(5) Peraturan pemerintah dibuat oleh Pemerintah untuk melaksanakan perintah undang-
undang.
(6) Keputusan presiden yang bersifat mengatur dibuat oleh Presiden untuk menjalankan
fungsi dan tugasnya berupa pengaturan pelaksanaan administrasi negara dan administrasi
pemerintahan.
(7) Peraturan daerah merupakan peraturan untuk melaksanakan aturan hukum di atasnya dan
menampung kondisi khusus dari daerah yang bersangkutan.
a. Peraturan daerah propinsi dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah propinsi
bersama dengan gubernur.
b. Peraturan daerah kabupaten/kota dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah
kabupaten/kota bersama bupati/walikota.
c. Peraturan desa atau yang setingkat, dibuat oleh badan perwakilan desa atau yang
setingkat, sedangkan tata cara pembuatan peraturan desa atau yang setingkat
diatur oleh peraturan daerah kabupaten/kota yang bersangkutan.
Pasal 4

(1) Sesuai dengan tata urutan peraturan perundang-undangan ini, maka setiap aturan hukum
yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan aturan hukum yang lebih tinggi.
(2) Peraturan atau keputusan Mahkamah Agung, Badan Pemeriksa Keuangan, menteri, Bank
Indonesia, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk oleh Pemerintah
tidak boleh bertentangan dengan ketentuan yang termuat dalam tata urutan peraturan
perundang-undangan ini.

Pengaturan tentang hierarki peraturan perundang-undangan dalam Ketetapan MPR No.


III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan tidak
dapat dilepaskan dengan keempat pasal di atas. Karena ketentuan dalam pasal-pasal tersebut
sangat erat kaitannya. Selain itu, berdasarkan keempat pasal tersebut terdapat permasalahan yang
sangat mendasar, sehingga memerlukan kajian dan pemahaman yang benar terhadap ketentuan
yang dirumuskan di dalamnya dan praktek ketatanegaraan yang berlaku di NKRI khususnya
dalam sistem perundang-undangan.

HIERARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN berdasarkan UU No. 10 Tahun


2004

Setelah selesainya Perubahan Keempat Undang-Undang Dasar 1945 dan ditetapkannya


Ketetapan MPR No. I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 1960 Sampai Dengan Tahun 2002, maka
DPR mengajukan Rancangan Undang-Undang tentang Tata Cara Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan.

Pasal 7

(1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut:


a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
c. Peraturan Pemerintah;
d. Peraturan Presiden;
e. Peraturan Daerah.
(2) Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e meliputi:
a. Peraturan Daerah provinsi dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah
provinsi bersama dengan gubernur;
b. Peraturan Daerah kabupaten/kota dibuat oleh dewan perwakilan rakyat
daerah kabupaten/kota bersama bupati/walikota;
c. Peraturan Desa/peraturan yang setingkat, dibuat oleh badan perwakilan
desa atau nama lainnya bersama dengan kepala desa atau nama lainnya.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembuatan Peraturan Desa/peraturan
yang setingkat diatur dengan Perataran Daerah kabupaten/kota yang
bersangkutan.
(4) Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang
diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.
(5) Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan adalah sesuai dengan hierarki
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Terlihat bahwa sejak berlakunya Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 kemudian


Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 sampai dengan berlakunya UU No. 10 Tahun 2004
permasalahan tentang jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan di Indonesia belum
berakhir.

REFERENSI

Buku

Ilmu Perundang-undangan 1 oleh Maria Farida Indrati S.

Refleksi Tentang Hukum

Website

http://pertamananpemakaman.jakarta.go.id

http://ngada.org

http://wcw.cs.ui.ac.id

http://www.gitews.org

Anda mungkin juga menyukai