Anda di halaman 1dari 26

LAPORAN TUTORIAL

Stroke

Kelompok A 2 :
Rosida Dewi A. 125070507111001
Sabrina Firda F. 125070507111003
Ratri Septyaning Palupi 125070500111027
Arsy Arundina 125070500111028
Dian Indrawati S. 125070507111004
Sakinah Maghdalena N. 125070507111011
Novia Putri K. 125070500111008
Dewi Laksmita 125070500111009
Karina Larasati 125070500111015

Mata Kuliah :
Farmakoterapi Sistem Organ III

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2014
DEFINISI

Stroke adalah tanda-tanda klinis yang berkembang cepat akibat gangguan fungsi otak
fokal atau global, dengan gejala-gejala yang berlangsung selama 24 jam atau lebih atau
menyebabkan kematian, tanpa adanya penyebab lain yang jelas selain vaskuler (Kelompok
Studi Serebrovaskuler dan Neurogeriatri Perdossi,1999).

EPIDEMIOLOGI

Saat ini terdapat 4,6 juta penderita stroke di Amerika Serikat, dan stroke merupakan
penyebab utama dari disabilitas orang dewasa. Kurang lebih 20% pasien di rumah perawatan
telah mengalami stroke dan stroke juga merupakan diagnosis utama pada rehabilitasi pasien
rawat inap. Stroke juga salah satu penyakit paling mahal di Amerika Serikat, dengan biaya
per tahun lebih besar lebih dari 50 juta dolar. Proyeksi saat ini adalah kematian disebabkan
oleh stroke akan meningkat secara eksponen dalam 30 tahun mendatang dikarenakan
menuanya populasi dan ketidakmampuan kita untuk mengontrol faktor resiko (Dipiro, dkk.,
2008).

Resiko stroke meningkat di atas populasi umum pada individu laki-laki lansia dan
pada ras Afrika Amerika. Dan juga, perbedaan geografi pada insiden stroke terjadi, seperti
pada beberapa area di Amerika Serikat tenggara memiliki tingkat mortalitas stroke lebih dari
dua kali dibandingkan dengan rata-rata nasional. Fenomena ini, awalnya mendeskripsikan
wilayah di pesisir Carolina dan Georgia, telah dinamakan Sabuk Stroke (Dipiro, dkk.,
2008).

Prevalensi stroke di Indonesia berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan sebesar 7 per


mil dan yang terdiagnosis tenaga kesehatan atau gejala sebesar 12,1 per mil. Prevalensi stroke
berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan tertinggi di Sulawesi Utara (10,8%), diikuti DI
Yogyakarta (10,3%), Bangka Belitung dan DKI Jakarta masing-masing 9,7 per mil.
Prevalensi stroke berdasarkan terdiagnosis tenaga kesehatan dan gejala tertinggi terdapat di
Sulawesi Selatan (17,9%), DI Yogyakarta (16,9%), Sulawesi Tengah (16,6%), diikuti Jawa
Timur sebesar 16 per mil (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kemenkes RI,
2013).

Prevalensi penyakit stroke pada kelompok yang didiagnosis tenaga kesehatan serta
yang terdiagnosis tenaga kesehatan atau gejala meningkat seiring dengan bertambahnya
umur, tertinggi pada umur 75 tahun (43,1% dan 67,0%). Prevalensi stroke yang terdiagnosis
tenaga kesehatan maupun berdasarkan diagnosis atau gejala sama tinggi pada laki-laki dan
perempuan (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kemenkes RI, 2013).

Prevalensi stroke cenderung lebih tinggi pada masyarakat dengan pendidikan rendah,
baik yang didiagnosis tenaga kesehatan (16,5%) maupun diagnosis tenaga kesehatan atau
gejala (32,8%). Prevalensi stroke di kota lebih tinggi dari di desa, baik berdasarkan diagnosis
tenaga kesehatan (8,2%) maupun berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan maupun gejala
(12,7%). Prevalensi lebih tinggi pada masyarakat yang tidak bekerja baik yang didiagnosis
tenaga kesehatan (11,4%) maupun yang didiagnosis tenaga kesehatan atau gejala (18%).
Prevalensi stroke berdasarkan diagnosis atau gejala lebih tinggi pada kuintil indeks
kepemilikan terbawah dan menengah bawah masing-masing 13,1 dan 12,6 per mil (Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kemenkes RI, 2013).

ETIOLOGI

Stroke dapat disebabkan karena ischemic (88%) atau hemorrhagic (12%). Stroke
hemorrhagic, meskipun jarang terjadi, tetapi secara signifikan lebih mematikan dibanding
stroke ischemic. Stroke hemorrhagic termasuk perdarahan subarachnoid, perdarahan
intracerebral, dan hematoma subdural (DiPiro et al, 2008).

- Perdarahan subarachnoid terjadi ketika darah memasuki ruang subaracnoid (tempat


cairan cerebrospinal) karena trauma, rupture dari aneurisma intracranial, atau rupture
malformasi arteriovenous (AVM).

- Perdarah intracerebral terjadi ketika pembuluh darah rupture bersama dengan


parenkima otak, menghasilkan pembentukan hematoma. Tipe perdarahan ini sangat
sering terjadi berkaitan dengan tekanan darah yang tidak terkontrol dan tekadang
karena terapi antithrombotic atau thrombolytic.

- Hematoma subdural mengacu pada pengumpulan darah dibawah dura (yang


membungkus otak) dan banyak disebabkan karena trauma.

Stroke ischemic disebabkan karena pembentukan thrombus local atau karena adanya emboli
yang menyebabkan oklusi dari arteri cerebral. Atherosclerosis, khususnya pada pembuluh
darah otak, merupakan factor penyebab pada banyak kasus stroke ischemic, meskipun 30%
lainnya disebabkan factor cryptogenic. Emboli dapat muncul dari arteri intra atau
ekstrakranial (termasuk pada lengkungan aorta). Emboli cardiogenic, terjadi jika pasien juga
memiliki komorbid dengan fibrilasi atrial, kelainan katup jantung, atau kondisi lainnya dari
jantung yang dapat menyebabkan pembentukkan clot (DiPiro et al, 2008).

PATOFISIOLOGI

- Stroke iskemik

Dalam aterosklerosis karotid, akumulasi progresif lipid dan sel-sel inflamasi dalam intima
arteri yang terkena, dikombinasikan dengan hipertrofi sel otot polos arteri, menyebabkan plak
formasi. Akhirnya, stres semata-mata dapat mengakibatkan pecahnya plak, paparan kolagen,
agregasi platelet, dan pembentukan bekuan. Bekuan dapat tetap berada di kapal,
menyebabkan oklusi lokal, atau perjalanan distal sebagai emboli, akhirnya penginapan hilir
dalam bejana otak. Di kasus emboli kardiogenik, stasis darah di atrium atau ventrikel jantung
menyebabkan pembentukan gumpalan lokal yang bisa menjadi copot dan perjalanan langsung
melalui aorta ke sirkulasi serebral. Hasil akhir dari kedua pembentukan thrombus dan emboli
adalah oklusi arteri, penurunan aliran darah otak dan menyebabkan iskemia distal occlusion.
Yang rata-rata aliran darah normal otak 50 mL / 100 g per menit, dan ini dipertahankan
melalui berbagai tekanan darah (arteri berarti tekanan 50 sampai 150 mm Hg) dengan proses
yang disebut cerebral autoregu lation. Pembuluh darah otak melebar dan menyempit dalam
menanggapi perubahan tekanan darah, tetapi proses ini dapat terganggu oleh aterosklerosis
dan cedera akut, seperti stroke. Ketika otak local aliran darah berkurang di bawah 20 mL /
100 g per menit, iskemia terjadi kemudian, dan ketika pengurangan lebih lanjut di bawah 12
mL / 100 g per menit bertahan, kerusakan permanen otak terjadi, dan ini disebut infark.
Jaringan yang iskemik tetapi mempertahankan integritas membran disebut sebagai penumbra
iskemik karena biasanya mengelilingi infark inti. Penumbra ini berpotensi diselamatkan
melalui terapi intervensi. Pengurangan dalam penyediaan nutrisi ke sel iskemik akhirnya
menyebabkan penipisan fosfat berenergi tinggi (misalnya, adenosin trifosfat [ATP]) yang
diperlukan untuk pemeliharaan membran integritas. Selanjutnya, kalium ekstraseluler
terakumulasi di saat yang sama natrium dan air diasingkan intraseluler, menyebabkan sel
pembengkakan dan akhirnya lisis. Ketidakseimbangan elektrolit juga menyebabkan
depolarisasi sel dan masuknya kalsium ke dalam sel. Peningkatan hasil kalsium intraseluler
dalam aktivasi lipase, protease, dan endonuklease dan pelepasan asam lemak bebas dari
membran fosfolipid. Depolarisasi neuron menyebabkan pelepasan asam amino rangsang,
seperti glutamat dan aspartat, yang mengabadikan kerusakan saraf ketika dirilis di kelebihan.
Akumulasi asam lemak bebas, termasuk arakidonat asam, hasil dalam pembentukan
prostaglandin, leukotrien, dan bebas radikal. Pada iskemia, besarnya menguasai produksi
radikal bebas sistem pembilasan normal, meninggalkan molekul-molekul reaktif menyerang
membran sel dan berkontribusi pada intraseluler pemasangan asidosis. Semua peristiwa ini
terjadi dalam 2 sampai 3 jam dari timbulnya iskemia dan berkontribusi pada death. sel utama
Kemudian target untuk intervensi dalam proses patofisiologis terlibat setelah iskemia serebral
termasuk masuknya inflamasi diaktifkan sel, mulai dari 2 jam setelah onset iskemia dan
berlangsung selama beberapa hari. Juga, inisiasi apoptosis, atau diprogram kematian sel,
diduga terjadi berjam-jam setelah akut menghina dan dapat mengganggu pemulihan dan
perbaikan tissue( dipiro et al,2008)
- Hemorhagic stroke

Patofisiologi stroke hemoragik tidak serta dipelajari sebagai bahwa stroke iskemik. Namun,
diketahui bahwa suplai darah di parenkim otak menyebabkan kerusakan pada sekitarnya
jaringan melalui efek mekanik menghasilkan (efek massa) dan neurotoksisitas dari komponen
darah dan produk degradasi mereka produk.Sekitar 30% dari perdarahan intraserebral terus
memperbesar selama 24 jam pertama, paling dalam waktu 4 jam, dan volume bekuan adalah
prediktor yang paling penting dari hasil, terlepas dari location.Volume perdarahan> 60 mL
berhubungan dengan 71% sampai 93% mortalitas pada 30 days.Sebagian besar kematian dini
hemoragik stroke (hingga 50% pada 30 hari) disebabkan oleh peningkatan mendadak dalam
tekanan intrakranial yang dapat menyebabkan herniasi dan kematian.( dipiro et al,2008)

MANIFESTASI KLINIS

Stroke adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan sebuah onset-mendadak


defisit neurologis fokal yang berlangsung setidaknya 24 jam dan diduga berasal dari vaskular.
Disebut TIA adalah gejala yang sama tetapi berlangsung kurang dari 24 jam dan biasanya
kurang dari 30 menit. Onset tiba-tiba dan durasi gejala ditentukan melalui riwayat.
Penggunaan teknik pencitraan sensitive (Magnetic resonance imaging [MRI]) telah
mengungkapkan bahwa gejala yang berlangsung lebih dari 1 jam dan kurang dari 24 jam,
meskipun teknis TIA, berhubungan dengan infark, membuat TIA dan stroke ringan klinis
tidak dapat dibedakan. Lokasi pusat cedera sistem saraf dan referensi untuk distribusi arteri
tertentu di otak ditentukan melalui pemeriksaan neurologis dan dikonfirmasi oleh studi
pencitraan seperti computed tomography (CT) scan dan MRI. Pasokan arteri utama ke otak
adalah diilustrasikan pada Gambar. 22-2. Tes diagnostik lebih lanjut dilakukan untuk
mengidentifikasi penyebab stroke pasien dan merancang sesuai strategi terapi untuk
mencegah kejadian lebih lanjut.

Secara umum, pasien mungkin tidak dapat dipercaya melaporkan riwayat karena
defisit kognitif atau bahasa. Riwayat terpercaya mungkin harus berasal dari anggota keluarga
atau saksi lain.

Gejala

Pasien mungkin mengeluhkan kelemahan pada satu sisi tubuh, ketidakmampuan untuk
berbicara, kehilangan penglihatan, vertigo, atau jatuh. Iskemik Stroke biasanya tidak
menyakitkan, tetapi pasien mungkin mengeluh sakit kepala, dan dengan stroke
hemoragik, itu bisa sangat parah.

Tanda

Pasien biasanya memiliki beberapa tanda-tanda disfungsi neurologis, dan defisit spesifik
ditentukan oleh daerah otak yang terlibat.

hemi- atau monoparesis terjadi umumnya, seperti halnya sebuah defisit hemisensorik.

Pasien dengan vertigo dan penglihatan ganda cenderung memiliki keterlibatan sirkulasi
posterior.

Aphasia terlihat biasa pada pasien dengan sirkulasi anterior stroke.

Pasien juga dapat menderita dysarthria, cacat bidang visual, dan mengubah tingkat
kesadaran.

Tes laboratorium

Pengujian hiperkoagulasi (defisiensi protein C, antibodi antifosfolipid) harus dilakukan


hanya ketika penyebab stroke tidak dapat ditentukan berdasarkan kehadiran faktor risiko
stroke. Protein C, protein S, dan antitrombin III sebaiknya diukur dalam "kondisi mapan,"
tidak dalam tahap akut. Antibodi antifosfolipid yang diukur dengan antibodi anticardiolipin,
2-glikoprotein I, dan lupus antikoagulan Layar yang dari hasil yang lebih tinggi dari protein
C, protein S, dan antitrombin III tapi harus disediakan untuk pasien yang muda (<50 tahun),
telah memiliki beberapa vena / arteri peristiwa trombotik, atau reticularis livedo (ruam kulit).

Tes Diagnostik lainnya

CT scan kepala akan mengungkapkan daerah hyperintensity (putih) di daerah perdarahan


dan akan normal atau hypointense (Gelap) di daerah infark. CT scan dapat mengambil 24 jam
(Dan jarang lagi) untuk mengungkapkan daerah infark.

MRI kepala akan mengungkapkan daerah iskemia dengan tinggi resolusi dan lebih awal
dari CT scan. Difusi-tertimbang imaging (DWI) akan mengungkapkan infark berkembang
dalam beberapa menit.

karotis Doppler (CD) studi akan menentukan apakah pasien memiliki tingkat tinggi
stenosis pada arteri carotid memasok darah ke otak (penyakit ekstrakranial).
Elektrokardiogram (EKG) akan menentukan apakah pasien memiliki fibrilasi atrium, faktor
etiologi ampuh untuk stroke.

Transthoracic echocardiography (TTE) akan menentukan apakah kelainan katup atau


kelainan dinding-gerak yang sumber emboli ke otak. A "test gelembung" yang dapat
dilakukan untuk mencari shunt intraatrial menunjukkan defek septum atrium atau foramen
ovale paten.

Transesophageal echocardiography (TEE) adalah lebih sensitive tes untuk trombus di


atrium kiri. Hal ini efektif dalam memeriksa arkus aorta untuk ateroma, potensi sumber
emboli.

Transcranial Doppler (TCD) akan menentukan apakah pasien cenderung memiliki stenosis
intrakranial (misalnya, arteri serebri stenosis).
DIFERRENSIAL DIAGNOSIS

a. Perbandingan antara stroke iskemik dan hemoragik.

Perdarahan Perdarahan
Gejala klinis Iskemik
Intraserebral Subarachnoid

gejala defisit fokal Berat ringan berat/ringan

onset menit/jam 1-2 menit pelan (jam/hari)

nyeri kepala Hebat sangat hebat ringan/tidak ada

diawali muntah Sering sering ringan

hipertensi hampir selalu biasanya tidak sering

kaku kuduk Jarang biasa ada tidak ada


kesadaran biasanya hilang hilang sebentar dapat hilang

hemiparesis sering sejak awal awal tidak ada sering sejak awal

deviasi mata bisa ada jarang mungkin ada

likuor sering berdarah berdarah jernih


Pemeriksaan Neurologi

Pemeriksaan saraf otak: pada stroke hemisferik saraf otak yang sering terkena adalah:
- Gangguan n. fasialis dan n. hipoglosus: tampak paresis n.fasialis tipe sentral (mulut
mencong) dan paresis n.hipoglosus tipe sentral (bicara pelo) disertai deviasi lidah bila
dikeluarkan dari mulut (Burnside, 2003; Welsby, 2009; Bickley, 2009; Junadi, 2005; Aliah ,
dkk, 2003).
- Gangguan konjugat pergerakan bola mata antara lain deviatio konyugae, gaze paresis
kekiri atau kekanan dan hemianopia. Kadang-kadang ditemukan sindroma Horner pada
penyakit pembuluh karotis (Burnside, 2003; Welsby, 2009; Bickley, 2009; Junadi, 2005;
Aliah , dkk, 2003).
- Gangguan lapangan pandang: tergantung kepada letak lesi dalam jaras perjalanan visual,
hemianopia kongruen atau tidak. Terdapatnya hemianopia merupakan salah satu faktor
prognostik yang kurang baik pada penderita Stroke (Burnside, 2003; Welsby, 2009; Bickley,
2009; Junadi, 2005; Aliah , dkk, 2003).
Pemeriksaan motorik: Hampir selalu terjadi kelumpuhan sebelah anggota badan
(hemiparesis). Dapat dipakai sebagai patokan bahwa jika ada perbedaan kelumpuhan yang
nyata antara lengan dan. tungkai hampir dipastikan bahwa kelainan aliran darah otak berasal
dari hemisfer (kortikal) sedangkan jika kelumpuhan sama berat gangguan aliran darah dapat
terjadi di subkortikal atau pada daerah vertebro-basilar (Burnside, 2003; Welsby, 2009;
Bickley, 2009; Junadi, 2005; Aliah , dkk, 2003).
Pemeriksilaan sensorik: dapat terjadi hemisensorik tubuh karena bangunan anatomik yang
terpisah, gangguan motorik berat dapat disertai gangguan sensorik ringan atau gangguan
sensorik berat disertai dengan gangguan motorik ringan (Burnside, 2003; Welsby, 2009;
Bickley, 2009; Junadi, 2005; Aliah , dkk, 2003).
Pemeriksaan refleks fisiologis dan patologis: pada fase akut refleks fisiologis pada sisi
yang lumpuh akan menghilang. Setelah beberapa hari refleks fisiologis akan muncul kembali
didahului dengan refleks patologis (Burnside, 2003; Welsby, 2009; Bickley, 2009; Junadi,
2005; Aliah , dkk, 2003).
Kelainan fungsi luhur: manifestasi gangguan lungsi luhur pada stroke hemisferik berupa
disfungsi parietal baik sisi dominan maupun non dominan. Kelainan yang paling sering
tampak adalah disfasi campuran (mixed-dysphasia) dimana penderita tak mampu berbicara /
mengeluarkan kata-kata dengan baik dan tidak mengerti apa yang dibicarakan orang
kepadanya. Selain itu dapat juga terjadi agnosia, apraxia.dan sebagainya (Burnside, 2003;
Welsby, 2009; Bickley, 2009; Junadi, 2005; Aliah , dkk, 2003).
Pemeriksaan Penunjang
Untuk memperoleh diagnosis kerja, selain hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik,
dibutuhkan pemeriksaan penunjang. Berikut pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan
sesuai dengan skenario yang diberikan.
a) Pemeriksaan Laboratorium
Analisis laboratorium standar mencakup urinanalisis, HDL, laju endap darah, panel
metabolik dasar (natrium, kalium, klorida, bikarbonat, glukosa, nitrogen urea darah,
dan kreatinin), profil lemak serum, dan serologi untuk sifilis. Pada pasien yang
dicurigai mengalami stroke iskemik, panel laboratorium yang mengevaluasi keadaan
hiperkoagulasi termasuk dalam perawatan standar. Pemeriksaan yang lazim
dilakukan adalah protrombin dengan rasio normalisasi internasional, waktu
tromboplastin parsial, dan hitung trombosit. Pemeriksaan lain yang mungkin
dilakukan adalah antibodi antikardiolipin, protein C dan S, antitrombin III,
plasminogen, faktor V Leiden, dan resistensi protein C aktif (Price, 2005 ; Clarke et
al., 2011 ; Brust, 2006; McPhee, 2005; McPhee, 2008)
b) Pemeriksaan Radiologi
- Pemeriksaan sinar X toraks merupakan prosedur standar karena pemeriksaan
ini dapat mendeteksi pembesaran jantung dan infiltrat paru yang berkaitan
dengan gagal jantung kongestif, pemeriksaan yang paling penting
adalah Untuk membantu mendeteksi apakah sebelumnya telah terjadi trauma
pada kepala atau tidak (Price, 2005 ; Clarke et al., 2011 ; Brust, 2006;
McPhee, 2005; McPhee, 2008).
- CT scan adalah non-invasif, tes yang tidak menyakitkan yang menggunakan
sinar X untuk menghasilkan gambar tiga dimensi dari bagian dalam kepala
pasien. Sebuah CT Scan awal dengan cepat dapat menyingkirkan perdarahan
atau tumor otak menyebabkan stroke-seperti gejala. Bahkan mungkin
menunjukkan area otak yang berada dalam bahaya sekarat tapi masih
diselamatkan. CT scan untuk membedakan Jenis patologi lokasi lesi, ukuran
lesi, menyingkirkan lesi non vaskuler.
- MRI ini adalah non-invasif, tes yang tidak menyakitkan yang menggunakan
medan magnet untuk menghasilkan gambar tiga dimensi dari bagian dalam
kepala pasien. Scan MRI menunjukkan otak dan sumsum tulang belakang
secara rinci lebih dari CT scan. MRI dapat digunakan untuk mendiagnosa
stroke iskemik, stroke hemoragik, dan masalah lain yang melibatkan otak,
batang otak, dan sumsum tulang belakang.
- Pemeriksaan lumbal melibatkan pemeriksaan CSS yang sering memberi
petunjuk bermanfaat tentang kausa storke, terutama apabila pasien datang
dalam keadaan tidak sadar dan tidak dapat memberikan anamnesis. Sebagai
contoh, mungkin terdapat darah di CSS pada stroke hemoragik, terutama pada
perdarahan subarakhnoid, informasi yang akan diperoleh harus ditimbang
terhadap resiko melakukan pungsi lumbal pada pasien koma. Yaitu pada
peningkatan TIK, penurunan mendadak tekanan CSS di tingkat spinal bawah
dapat memicu gerakan ke bawah isi kranium disertai herniasi ke dalam batang
otak dan kematian mendadak (Price, 2005 ; Clarke et al., 2011 ; Brust, 2006;
McPhee, 2005; McPhee, 2008).
- Ultrasonografi karotis terhadap arteria karotis merupakan evaluasi standar
untuk mendeteksi gangguan aliran darah karotis dan kemungkinan
memperbaiki kausa stroke (Price, 2005 ; Clarke et al., 2011 ; Brust, 2006;
McPhee, 2005; McPhee, 2008).
- Angiografi serebrum dapat memberi informasi penting dalam mendiagnosis
kausa dan lokasi stroke. Secara spesifik, angiografi serebrum dapat
mengungkapkan lesi ulseratif, stenosis, displasia fibromuskular, fistula
arteriovefna, vaskulitis, dan pembentukan trombus di pembuluh besar. Saat ini,
angiografi serebrum dianggap merupakan cara yang paling akurat untuk
mengindentifikasi dan mengukur stenosis arteri-arteri otak; namun, kegunaan
metode ini agak terbatas oleh penyulit yang dapat terjadi hampir pada 12%
pasien yang dicurigai mengidap stroke. Risiko utama dari pemeriksaan ini
adalah robeknya aorta atau arteria karotis dan embolisasi pada pembuluh besar
ke pembuluh intrakranium (Price, 2005 ; Clarke et al., 2011 ; Brust, 2006;
McPhee, 2005; McPhee, 2008).
- Doppler transkranium, yaitu ultrasonografi yang menggabungkan citra dan
suara, memungkinkan kita menilai aliran di dalam arteri dan mengindentifikasi
stenosis yang mengancam aliran ke otak. Keunggulan prosedur ini adalah
bahwa prosedur ini dapat dilakukan di tempat tidur pasien, noninvasif, dan
relatif murah; secara serial juga dapat menilai perubahan dalam CBF (Price,
2005 ; Clarke et al., 2011 ; Brust, 2006; McPhee, 2005; McPhee, 2008).
- Ekokardiogram transesofagus (TEE) sangat sensitif dalam mendeteksi
sumber kardioembolus potensial. Ekokardiogram telah menjadi komponen
rutin dalam evaluasi stroke iskemik apabila dicurigai kausa stroke adalah
kardioembolus tetapi fibrilasi atrium sudah disingkirkan sebagai penyebab
embolus (Price, 2005 ; Clarke et al., 2011 ; Brust, 2006; McPhee, 2005;
McPhee, 2008).

TERAPI
Modifikasi Gaya Hidup
1. Merokok
Merokok dapat meningkatkan resiko stroke iskemik karena adanya
penyempitan vaskular dan perubahan dinamik dari darah. Review Cochrane mengenai
terapi untuk penghentian merokok telah dilakukan. Terapi penggantian nikotin
terbukti bermanfaat dan meningkatkan kesempatan untuk menghentikan kebiasaan
merokok. Beberapa antidepresan seperti Bupropion dan Nortriptyline dapat menjadi
pilihan. Verenicline, agonis reseptor parsial, diketahui dapat meningkatkan kasus
pengehentian merokok sebanyak 3 kali lipat dibanding tanpa menggunakan obat dan
lebih efektif dari Bupropion (National Stroke Foundation, 2010).
2. Diet
Pengurangan sodium pada penyakit kardiovaskular terutama pada tekanan
darah tinggi dapat membantu pencegahan stroke. Studi meta-analisis menunjukkan
bahwa konsumsi buah dan sayur yang lebih dari 5 porsi per hari dapat mengurangi
resiko stroke. Selain itu, minyak ikan juga dapat menurunkan resiko kejadian stroke.
Pengurangan diet lemak juga menurunkan resiko penyakit kardiovaskular. Pemberian
supleme antioksidan menunjukkan tidak ada pengaruh dalam menurunkan kejadian
stroke (National Stroke Foundation, 2010).
3. Aktivitas Fisik
Beberapa aktivitas fisik seperti fitnes aerobik, jalan cepat, dan angkat beban
dapat menjadi faktor proteksi terhadap stroke. Aktifitas fisik ini juga terbukti
mengurangi resiko hipertensi dan meningkatkan kontrol glikemi pada penyakit
diabetes tipe 2. Durasi aktifitas fisik yang direkomendasikan adalah minimal 30 menit
setiap hari selama seminggu (National Stroke Foundation, 2010).
4. Obesitas
Obesitas dan overweight berhubungan dengan peningkatan resiko stroke.
Studi menunjukan bahwa marker pada jaringan adiposa abdomen dapat menunjukkan
tingkatan dan hubungan signifikan dengan resiko terjadinya stroke (National Stroke
Foundation, 2010).
5. Alkohol
Penghentian alkohol dapat mengurangi resiko terjadinya stroke primer tetapi
belum ada studi mengenai stroke sekunder. Pembatasan konsumsi alkkohol dapat
dilakukan dengan meminum 2 standar per hari (National Stroke Foundation, 2010).

Terapi Obat / Farmakologi


1. Antiplatelet
Platelet diproduksi oleh megakariosit sumsum tulang belakang (Liesner, R.J
and Machin, S.J 2003). Fungsi platelet diregulasi oleh substansi-substansi yang dibagi
menjadi tiga kategori. Kelompok yang pertama zat-zat yang berada diluar platelet
yang berinteraksi dengan reseptor membran platelet seperti katekolamin, kolagen,
thrombin dan prostasiklin. Sedangkan kategori yang kedua terdiri dari zat-zat yang
berada di dalam platelet yang berinteraksi dengan reseptor membran seperti
adenosine diphosphate (ADP), prostaglandin D2, prostaglandin E2 dan serotonin.
Dan kelompok ketiga yaitu zat-zat yang berada di dalam platelet dan berinteraksi
dengan platelet yaitu prostaglandin endoperoksida dan tromboxane A2 (TXA2), ion
kalsium (Katzung, 2003). Obat antiplatelet telah direkomendasikan untuk pengobatan
stroke dan transient ischemic attack untuk mengurangi resiko stroke berulang dan
kejadian vaskular lainnya. Berdasarkan prosedur penatalaksanaan pemberian obat
antiplatelet sebagai pilihan dapat digunakan aspirin, clopidogrel, dipyridamole dengan
aspirin (Hills dkk, 2007). Aspirin merupakan obat antiplatelet yang pertama
digunakan untuk mencegah stroke. Akan tetapi dua dekade terakhir beberapa jenis
obat antiplatelet lainnya dan kombinasi antara obat antiplatelet telah dievaluasi untuk
digunakan dalam memperbaiki keefektifan dan keamanan dari penggunaan aspirin
(ODonnel dkk, 2008). Beberapa percobaan penelitian telah dilakukan untuk menilai
efikasi dari pengobatan dengan antiplatelet, terutama penggunaan aspirin untuk
mencegah kejadian vaskular. The Antiplatelet Trialists Collaboration (APTC)
termasuk dalam meta-analisis untuk menentukan efek dari obat antiplatelet dengan
berbagai jenis obat antiplatelet pada populasi dengan resiko vaskular. Berdasarkan 17
percobaan penelitian ditemukan pengobatan dengan antiplatelet mengurangi kejadian
stroke, infark miokard dan kematian akibat gangguan vaskular (Sacco dkk, 2000).

Tingkat Penggunaan Terapi Antiplatelet (National Stroke Foundation, 2010)


2. Antikoagulan
Berdasarkan review Cochrane terbaru, terapi antikoagulan sebaiknya tidak
diberikan pada pasien stroke iskemik non-kardioemboli atau TIA karena terjadi
peningkatan adverse event (perdarahan intrakranial yang fatal). Namun jika pasien
dengan Atrial fibrilasi non-rheumatik dan TIA atau stroke iskemik minor, pemberian
antikoagulan lebih efektif dari terpai antiplatelet. Terapi dengan warfarin
membutuhkan monitro INR dengan range terapetik lebih dari 60-70%. Guideline
internasional merekomendasikan untuk menunda dimulainya terapi selama 2-4
minggu pada pasien dengan stroke akut. Aspirin dan antiplatelet sebaiknya diberikan
diantaranya kejadian stroke akut dengan waktu penggunaan antikoagulan (National
Stroke Foundation, 2010).
Tingkat Penggunaan Terapi Antikoagulan (National Stroke Foundation, 2010)
3. Penurun Kolesterol
Studi epidemiologi menunjukkan bahwa level kolesterol tinggi berhubungan
dengan tingginya resiko stroke iskemik tetapi rendah untuk stroke perdarahan.studi
meta-analisis menunjukkan bahwa terjadi penurunan resiko pada 12 bulan
penggunaan Statin yang dikaitkan dengan turunnya level LDL. Statin diketahui
memiliki profil kemanan yang baik dan tidak menimbulkan toksisitas hepar (National
Stroke Foundation, 2010).

Tingkat Penggunaan Terapi Antikoagulan (National Stroke Foundation, 2010)

4. Terapi Hipertensi

Tingkat Rekomendasi Terapi Pasien Stroke dengan Hipertensi (Furie et al, 2010)

5. Terapi Diabetes

Rekomendasi Terapi Pasien Stroke dengan Diabetes (Furie et al, 2010)


KASUS TUTORIAL
Tn K, 66 tahun, MRS dengan keluhan lemah tungkai kiri mendadak disertai nyeri kepala
sekitar jam sebelum MRS sebelum tidur saat mendapatkan telepon bahwa ibunya
meninggal. Hasil pemeriksaan fisik sebagai berikut: TD 170/100 mmHg, RR 24x/mnt, N 100
x/mnt, NC VII dan IX palsy. Pasien didiagnosis hemiparese ec stroke trombotik. Riwayat
penyakit terdahulu DM tidak terkontrol, HT tidak terkontrol, PJK, dan cardiomegaly.
Pemeriksaan faal hepar, faal ginjal, elektrolit dan hemologi DBN
Pemeriksaan lab lain: GDA 218 mg/dL.
Pasien mendapatkan terapi:
Infus RL 2 kolf/hari
Aspirin 1 x 100 mg
CDP cholin 2 x 250 mg
RCI (Regulasi Cepat Insulin) 1 x 4 IU secara IV kemudian maintenance
menggunakan novorapid 3 x 4 IU secara SC dalam 5 menit
Ranitidin 2 x 50 mg
Furosemide 1 x 20 mg pagi
Valsartan 1x 40 mg.
Setelah pemberian terapi tersebut dalam 24 jam keesokan harinya diperiksa secara fisik
pasien mengalami sesak nafas, TD menjadi 160/90 mmHg, GDA 200 mg/dL, disertai
hipokalemia dengan K: 3,0 mEq/dL.

Pertanyaan:
1. Apakah yang dimaksud dengan NC VII dan IX palsy?
Kelemahan atau kelumpuhan syarat kranial nomor VII yang bekerja pada otot-otot
wajah (diantaranya otot pada bagian frontalis, orbicularis oculi, businator, orbicularis
oris, platysma, perut posterior digastrikus, dan stapedius) dan perasa. CN VII palsy
ini dapat mengakibatkan gangguan pada bagian-bagian otot wajah seperti alis,
kelompak mata, lipatan nasobalial, dan gangguan pada indra perasa seperti ageusia
(kurangnya rasa) dan hypogeusia (berkurangnya rasa ketajaman). Juga kelemahan
atau kelumpuhan dari syaraf kranial nomor IX yang bekerja pada glossopharyngeal
neuralgia dan vagus. Kelemahan atau kelumpuhan pada syaraf kranial nomor IX
bagian syaraf glossofaringeal menyebabkan kesulitan menelan, penurunan sensor rasa
pada sepertiga pangkal lidah, langit-langit mulut, faring, dan disfungsi kelenjar parotis
sedangkan bagian vagus menyebabkan kelainan motilitas esofagus, kelumpuhn laring,
faring, dan palatal, kelainan sekresi asam lambung. kandung empedu, dan denyut
jantung. (NCBI)
2. Jelaskan maksud diberikannya terapi-terapi di atas sesuai dengan kondisi pasien!
Infus RL 2 kolf/hari = untuk kebutuhan resusitasi cairan pasien
Aspirin 1 x 100 mg = antiagregasi platelete untuk mencegah adanya penyumbatan
yang diakibatkan oleh agregasi platelete
CDP cholin 2 x 250 mg = sebagai neuroprotektor untuk mencegah kerusakan
syaraf yang lebih parah lagi
RCI (Regulasi Cepat Insulin) 1 x 4 IU secara IV kemudian maintenance
menggunakan novorapid 3 x 4 IU secara SC dalam 5 menit = untuk mengatasi
kondisi DM pasien yang tidak terkontrol
Ranitidin 2 x 50 mg = untuk mencegah iritasi lambung akibat penggunaan
NSAID (aspirin) jangka panjang
Furosemide 1 x 20 mg pagi = mengontrol HT pasien
Valsartan 1x 40 mg = mengontrol HT pasien
3. Apa kemungkinan yang melandasi terjadinya sesak nafas pada pasien? Bagaimana
mekanisme terjadinya sesak nafas dari faktor pencetus tersebut?
Salah satu efek samping dari aspirin dan ranitidine adalah sesak nafas, selain itu sesak
nafas juga dapat terjadi akibat alergi terhadap suatu obat misalnya aspirin, ranitidine,
dan obat-obatan yang lain. (Drugs.com)
Seperti yang telah kita ketahui semua jenis NSAID yang menghambat COX-1
termasuk aspirin dapat megakibatkan bronkospasm dan obstruksi nasal pada beberapa
orang. Mekanisme terjadinya adalah karena adanya sintesis LTC4 yang merupakan
leukotrien penyebab bronkospasm. Aspirin yang menghambat COX-1 menyebabkan
sebuah reaksi penurunan produksi E2 (PGE2-prostalglandin). Produksi PGE2 yang
terhambat menyebabkan overproduksi atau sintesis dari Cys-LTs (Cysteinyl
Leukotrienes) dan menghasilkan leukotrien aktif yang akan bekerja pada beberapa
reaksi dalam tubuh diantaranya C4 (LTC4) yang mengakibatkan bronkospasm.
(Varghese, et all., 2008)
NSAID yang menghambat COX-1 sehingga mengaktivasi jalur lipoxygenase yang
meningkatkan pelepasan Cys-LTs dan menyebabkan bronkospasm. (NCBI)
Gambar 1. Patofisiologi Aspirin menyebabkan bronkospasme.
(Varghese, et all., 2008)

4. Apa kemungkinan yang melandasi terjadinya hipokalemia pada pasien? Bagaimana


mekanisme terjadinya hipokalemia dari faktor pencetus tersebut?
Keadaan hipokalemia pada pasien dapat disebabkan
- Penggunaan furosemid sebagai diuretik loop, yang juga menghambat reabsorbsi
kalium di thick ascending limb. Selain itu ekskresi Ca++ dan Mg++ juga
ditingkatkan oleh furosemid, sebanding dengan peninggian ekskresi Na dan K.
Sehingga pasien mengalami keadaan hipokalemia
- Penggunaan insulin pada pasien. Insulin dapat mempengaruhi pompa K pada sel,
sehingga banyak Kalium yang masuk intrasel dan berkurang jumlahnya di
ekstrasel.

5. Rekomendasikan terapi setelah hari kedua pasien menjalani rawat inap di RS untuk
memperbaiki kondisi pasien!
- Aspirin sementara dihentikan dan dipantau reaksi sesak pasien. Apabila pasien
berhenti sesak, maka sesak kemungkinan besar disebabkan oleh alergi atau
hipersensitivitas terhadap aspirin, sehingga perlu penggantian aspirin dengan
clopidogrel
- Insulin rapid-acting yang diberikan pada awal MRS, diganti atau ditambahkan
dengan insulin long acting untuk kebutuhan basal, untuk mengontrol kadar gula
pasien
- Mengganti furosemid yang menyebabkan hipokalemi dengan diuretik
spironolakton yang hemat kalium.

6. Apa perbedaan antara trombolitik, antikoagulan & anti agregasi platelet?


- Trombolitik bekerja melarutkan trombus yang sudah terbentuk. Digunakan pada
saat trombus sudah terbentuk. Obat ini bekerja dengan cara berdifusi ke dalam
bekuan darah dan mengaktifkan plasminogen yang digunakan untuk
menghancurkan gumpalan-gumpalan pada kondisi seperti trombosis vena,
emboli paru, trombosis retina, juga infark miokard. Contoh : streptokinase
- Anti koagulan mencegah pembekuan darah menghambat pembentukan atau
menghambat fungsi beberapa faktor pembekuan darah. Contoh: Heparin,
warfarin
- Anti agregasi platelet merupakan obat yang menghambat agregasi trombosit,
terhambatnya pembentukan trombus yang terutama sering ditemukan pada
sistem arteri. Contoh: aspirin, sulfinpirazon, dipiridamo

Subjective
Pasien bernama Tn. K berusia 66 tahun dengan keluhan lemah tungkai kiri mendadak disertai
nyeri sekitar jam sebelum masuk rumah sakit sebelum tidur saat mendapat telepon bahwa
ibunya meninggal. Riwayat penyakit terdahulu DM tidak terkontrol, HT tidak terkontrol,
PJK, dan cardiomegaly. Dimana HT tidak terkontrol dan PJK meruapakan faktor resiko dari
stroke karena dengan kondisi tersebut terjadi penyempitan pembuluh darah akibat plak yang
terbentuk sehingga aliran darah menjadi terhambat, kompensasinya dengan tekanan aliran
darah menjadi lebih tinggi, dan memungkinkan untuk terjadinya iskemi akibat aliran
darahnya yang tidak lancar.
Keluhan tersebut terjadi pada pasien karena pasien yang shock akibat mendengar kabar
meninggalnya ibunya terjadi penurunan perfusi darah ke jaringan termasuk ke otak yang
parah sehingga terjadi iskemia. Iskemia tersebut menyerang bagian otak sebelah kanan dan
terjadi injury pada syaraf otak sehingga muncul keluhan palsy pada bagian tubuh sebelah kiri
yaitu tungkai. (Shah, 2011)

Objective
TD 170/100 mmHg, tinggi dimana nilai normalnya adalah kurang dari 140/90 mmHg karena
pasien memang memiliki riwayat hipertensi yang tidak terkontrol pasien dalam kondisi shock
yang kemungkinan juga dapat meningkatkan tekanan darah
RR 24x/mnt, tinggi dimana nilai normalnya adalah 18-20x/menit karena kondisi pasien saat
itu yang shock dan adanya serangan stroke mengakibatkan kebutuhan akan oksigen pasien
meningkat dan tubuh pasien mengkompensasi dengan peningkatan RR (respiration rate)
N 100 x/mnt, normal
NC VII dan IX palsy, adanya kelemahan pada syaraf kranial nomor VII dan IX dimana syaraf
karnial VII yang mengatur refleks otot wajah sedangkan syaraf kranial IX mengatur refleks
otot gastropharingeal
Pemeriksaan faal hepar, faal ginjal, elektrolit dan hemologi DBN (dalam batas normal)
GDA 218 mg/dL, tinggi dimana nilai normalnya adalah kurang dari 200 mg/dL karena
kondisi pasien yang memiliki riwayat DM tidak terkontrol dan pasien dalam kondisi shock
yang kemungkinan juga dapat meningkatkan kadar gula darah.
keesokan harinya diperiksa secara fisik :
sesak nafas, terjadi akibat penggunaan Aspirin dimana efek samping dari aspirin adalah
bronkospasme dan untuk orang-orang dengan sensitivitas tinggi terhadap aspirin dapat timbul
gejala sesak nafas yang parah
TD menjadi 160/90 mmHg, tinggi namun sudah cukup terkontrol dari hari sebelumnya
GDA 200 mg/dL, sudah mendekati normal namun perlu diturunkan lagi
hipokalemia dengan K: 3,0 mEq/dL, akibat penggunaan Furosemid yang menyebabkan
deplesi cairan dan penurunan kadar kalium dalam darah, penggunaan Insulin yang
mengambil kalsium untuk masuk ke intrasel agar dapat menempati reseptornya menyebabkan
penurunan kadar kalium dalam darah, dan adanya interaksi dari beberapa obat yang berefek
pada penurunan kadar kalium dalam darah.

Assessment

Obat Uraian Masalah


Aspirin Aspirin dapat menghambat prostaglandin yang kemudian
dapat meningkatkan kerja mediator inflamasi leukotrien
sehingga memicu bronkospasme
Furosemid Penggunaan furosemid sebagai diuretik loop, yang juga
menghambat reabsorbsi kalium di thick ascending limb, dan
meningkatkan eksresi kalium
Insulin Insulin rapid-acting yang diberikan pada awal MRS, diganti
atau ditambahkan dengan insulin long acting untuk kebutuhan
basal, untuk mengontrol kadar gula pasien

Insulin Penggunaan insulin pada pasien. Insulin dapat mempengaruhi


pompa K pada sel, sehingga banyak Kalium yang masuk
intrasel dan berkurang jumlahnya di ekstrasel.

Planning

Usulan (pada klinisi, perawat, dan


Obat Uraian Masalah
pasien)
Aspirin Aspirin dapat menghambat Aspirin sementara dihentikan dan
prostaglandin yang kemudian dapat dipantau reaksi sesak pasien. Apabila
meningkatkan kerja mediator pasien berhenti sesak, maka sesak
inflamasi leukotrien sehingga kemungkinan besar disebabkan oleh
memicu bronkospasme alergi atau hipersensitivitas terhadap
aspirin, sehingga perlu penggantian
aspirin dengan clopidogrel

Furosemid Penggunaan furosemid sebagai Mengganti furosemid yang menyebabkan


diuretik loop, yang juga menghambat hipokalemi dengan diuretik spironolakton
reabsorbsi kalium di thick ascending yang hemat kalium
limb, dan meningkatkan eksresi
kalium
Insulin Insulin yang diberikan pada awal Diganti atau ditambahkan dengan insulin
MRS hanya berupa insulin rapid- long acting untuk kebutuhan basal, untuk
acting mengontrol kadar gula pasien

Insulin Penggunaan insulin pada pasien. Tetap menggunakan insulin untuk


Insulin dapat mempengaruhi pompa menjaga kadar gula darah, namun mecari
K pada sel, sehingga banyak Kalium solusi untuk penyebab lain hipokalemi
yang masuk intrasel dan berkurang (penggantian furosemid dengan
jumlahnya di ekstrasel. spironolakton)

Terapi non Perlu terapi rehabilitasi setelah MRS Dilakukan terapi rehabilitasi untuk
farmakologi untuk pemulihan saraf dan fungsi pemulihan saraf, fungsi tubuh, dan
tubuh mencegah komplikasi stroke

Monitoring
Parameter Tujuan Monitoring
Profil lipid (LDL, HDL, untuk menjaga kadar kolesterol dan mengetahui
TG, TC) sejauh mana progresi aterosklerosis terkait PJK
yang diderita, dan untuk pertimbangan perlu atau
tidak lipid-lowering agent (statin)
GDP, GD2JPP, HBA1C Mengontrol kadar gula pasien
INR (international Mengontrol dan mencegah terjadinya pendarahan
Normalized Ratio) karena penggunaan clopidogrel
Elektrolit dan Kalium Mengontrol kondisi hipokalemi apakah sudah
normal, dan mengontrol kestabilan nilai elektrolit
lain pasien
Tekanan darah Mengontol tekanan darah agar tidak naik dan agar
tercapai >140/90 mmHg
Bronkospasme Mengetahui perbaikan kondisi sesak setelah
penggantian aspirin dengan clopidogrel
Pemulihan fungsi saraf Memantau pemulihan neurologis untuk mencegah
komplikasi

LEMBAR KONSELING
Materi Konseling Konseling
Perubahan gaya - Pasien diharap berhenti konsumsi alkohol
hidup - Pasien diharapkan menghindari merokok, karena
merokok menyebabkan takikardia dan naiknya
tekanan darah, sehingga memaksa jantung bekerja
keras dan membuthkan banyak suplai oksigen
- Membatasi konsumsi glukosa dan karbohidrat
unuk menjaga gula darah
- Menerapkan diet rendah garam untuk menjaga
tekanan darah
- Mengurangi makanan berlemak untuk menjaga
kadar kolesterol darah, agar mencegah progresi
PJK
- Mengurangi stress untuk mencegah kadar
adrenalin yang dapat menimbulkan vasokonstriksi
- Membatasi pekerjaan berat, karena dapat
meningkatkan kebutuhan oksigen
Pengobatan non Memberikan pengertian pada keluarga pasien bahwa
farmakologi rehabilitasi untuk pemulihan saraf, fungsi tubuh, dan
mencegah komplikasi stroke setelah MRS merupakan
tahap yang sangat penting bagi kesehatan pasien.
Penggunaan obat - Pasien diharap untuk menggunakan obat yang
diresepkan sesuai aturan dan secara teratur
- Pasien diharapkan untuk berkonsultasi dengan
apoteker atau dokter apabila ingin menggunakan
herbal atau obat lain
DAFTAR PUSTAKA

Aliah A, Kuswara F.F, Limoa RA, Wuysang. Gangguan Peredaran Darah Otak. Dalam:
Kapita Selekta Neurologi. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2003:79-102
Antithrombotic Trialists Collaboration. 2002. Collaborative meta-analysis of randomized
trials of antiplatelet therapy for prevention of death, myocardial infarction and stroke
in high risk patients. BMJ;324:71-86
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. 2013. Riset
Kesehatan Dasar 2013. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
Bickley LS, Szilagyi PG. Bates buku ajar pemeriksaan fisik dan riwayat kesehatan.edisi 8.
Jakarta:EGC;2009. Hal. 166-290.
Brust JCM. Current diagnosis and treatment in neurology. : McGraw-Hill Companies; 2006.
Hal 107-41.
Burnside JW, McGlynn TJ. Diagnosis fisik. Edisi 17. Jakarta:EGC;2003.hal. 267-83.
Clarke C, Howard R, Rossor M, Shorvon SD. Neurology: a queenshare textbook. USA:John
Wiley and Sons;2011.Hal 125-43
Dipiro, Joseph T. et. Al, 2006, Pharmacotheraphy Handbook, Sixth edition. Mc Graw Hill
Companies Yulinah, Iskandar, Prof.Dr,Apt, dkk, 2009, Iso Farmakoterapi, PT ISFI
Penerbitan; Jakarta
Dipiro, J., Robert L., Gary C., Gary R., Barbara G., dan L.Michael. 2008. Pharmacology A
Pathophysiologic Approach. United States : McGraw-Hill Companies, Inc.
Furie, KL, Kasner, SE, Adams, RJ et al. Guidelines for the prevention of stroke in patients
with stroke or transient ischemic attack. A guideline for healthcare professionals from
the American Heart Association/American Stroke Association. Stroke. 2011; 42: 227
276
Hills, N.K.; Johsnton, S.C. 2008. Trends in Usage of Alternative Antiplatelet Therapy After
Stroke and Transient Ischemic Attack. Stroke.39:1228-1232
Junadi,Purnawan, Kapita selekta kedokteran, Jilid ke II, Penerbit FKUI, Jakarta. 2005.h. 17-
26.
Katzung, B.G. 2003. Drugs Used in Disorders of Coagulation, In : Basic & Clinical
Pharmacology. McGraw-Hill. 9th ed.p.775-776
Kelompok studi serebrovaskuler & Neurogeriatri ,
1999,PERDOSSI : Konsensus Nasional Pengelolaan Stroke di Indonesia, Jakarta
Liesner, R.J and Machin, S.J. 2003. Platelet Disorders. In : Provan, D. ABC of Clinical
Haematology second edition. BMJ Books, Spain. P.35-39
McPhee SJ, Ganong WF. Patophysiology of disease: an introduction to clinical medicine.
Edisi 5.USA: McGraw-Hill Companies; 2005. Hal 582-4.
McPhee SJ, Papadakis MA. Current medical diagnosis and treatmen. International
Edition.USA: McGraw-Hill Companies; 2008. Hal 975-80.
National Stroke Foundation. Clinical Guidance for Stroke Management. 2010. Melbourne
Australia
ODonnel, M.J.; Hankey, G.J.; Eikelboom, J.W. 2008. Antiplatelet Therapy for Secondary
Prevention of Noncardioembolic Ischemic Stroke. Stroke.39:1638-1646
Price SA, Wilson LM . Patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit. Volume 2. Edisi
6. Jakarta: EGC; 2005.
Sacco, R.L.; Elkind, M.S. 2000. Update on Antiplatelet Therapy for Stroke Prevention. Arch
Intern Med.160:1579-1582
Shah, S. 2011. Pathophysiology of Stroke. FERNE (Foundation of Education and Research in
Neurological Emergencies : Yothe.
Varghese, M. dan R.F. Lockey. 2008. Aspirin Exacerbated Asthma. Allergy, Asthma, and
Clinically Immunology Vol. 4 Number 2
Welsby PD. 2009. Pemeriksaan fisik dan anamnesis klinis. Jakarta:EGC;.hal.77-89.

Anda mungkin juga menyukai