Anda di halaman 1dari 18

BAHAN KULIAH FILSAFAT PENDIDIKAN

I.Pengertian,Ruang lingkup Bahasan Filsafat Pendidikan

Filsafat Pendidikan terbentuk dari dua kata yaitu: Filsafat & Pendidikan.
Sebelum kita mengartikan apa itu filsafat pendidikan kita lihat dulu pengertian filsafat
yaitu;Filsafat berasal dari bahasa Yunani yang tersusun dari dua ata Philein berarti cinta dan
Sophosyang berarti hikmah (wisdom).Dari segi semantik filsafat adalah cinta terhadap
pengetahuanatau kebijakan.Sedangkan dari segi praktis filsafat berarti alam berfikir atau alam
pikiran . .
Ciri-ciri berfikir filosofi :
Berfikir dengan menggunakan disiplin berpikir yang tinggi.
Berfikir secara sistematis.
Menyusun suatu skema konsepsi, dan
Menyeluruh.

-Untuk mencapai pemikiran filsafat manusia mempunyai empat pola pikir yaitu:
a.Pemikiran awam yaitu apa adanya
b.Pemikiran Ilmiah yaitu dasarkan atas teori dan landasan konsep
c.Pemikiran pseudo Ilmiah berdasarkan kepada kekuatan tertentu
d.Pemikiran Filsafat pemikiran yang tersusun secara sistematis dan sampai keakar-akarnya.

Dengan demikian dapat diartikan bahwa filsafat pendidikan adalah

Ilmu Pendidikan adalah ilmu yang membicarakan masalah umum pendidikan secara
menyeluruh dan abstrak,selain itu juga bercirikan teoritis dan juga bersiafat praktis yang
menunjukkan bagaimana pendidikan itu dilaksanakan. Untuk memenuhi ketentuan tersebut
pendidikan harus memenuhi landasan konsep yang berfungsi untuk dilapangan pendidikan
,dengan demikian pendidikan perlu bantuan ilmu yang kaya dengan ide-ide yaitu filsafat.
Dengan demikian dapat disimpulakan bahwa Filsafat pendidikan adalah ilmu pendidikan
yang bersendikan filsafat atau filsafat yang diterapkan dalam usaha pemikiran dan
pemecahan mengenai masalah pendidikan.
Sedangkan Filsafat pendidikan menurut Al-Syaibany (1973:30) adalahPelaksanaan
pandangan falsafah dan kaidah falsafah dalam bidang pendidikan.filsafat itu mencerminan
satu segi dari segi pelaksanaan falsafah umum dan menitikbertkan kepada pelaksanaan
prinsip-prinsip dan kepercayaan-kepercayaan yang menjadi asar dari falsafah umum dalam
menyelesaikan masalah-masalah pendidikan secara praktis.
Menurut Kneller filsafat pendidikan merupakan aplikasi filsafat dalam lapangan pendidikan

2. Ruang LingkupBahasan filsafat pendidikan

1. Apa hakikat pendidikan itu


2. Apakah pendidikan itu berguna untuk membina kepribadian manusia
3. Apakah sebenarnya tujuan pendidikan itu
4. Siapakah hakikatnya yang bertanggung jawab terhadap pendidikan
5. Apakah hakikat pribadi manusia itu
6. Apakah hakikat masyarakat itu
7. Apakah isi Kurikulum yang relevan dengan pendidikan ideal
8. Bagaimana metode pendidikan yang efektif
9. Bagaimana asas penyelenggaraan pendidikan yang baik

3. Pendekatan-Pendekatan Filsafat Pendidikan


1.Pendekatan Tradisional yaitu untuk memecahkan problem hidup dan kehidupan manusia
sepanjang perkembangannya dalam bentuk yang murni
2.Pendekatan yang bersifat Progresive yaitu yang bersifat kritis untuk memecahkan
problematika pendidikan masa kini .

4. Pendeketan dalam teori pendidikan


A. Pendekatan Sains:Suatu pengkajian dengan menggunakan sain untuk
mempelajari,menelaah dan memecahkan masalah pendidikan (Deskriptif analitis=Ilmiah)
Jenis Sain pendidikan: Sosiologi Pendidikan,Psikologi Pendidikan,Evaluasi pendidikan,Adm
Pendidikan
B. Pendekatan Filosofis=Memecahkan Masalah dengan metode filsafat (sinopsis
merumuskan Apa dan Bagaimana)
C. Pendekatan Religi:Ajaran religi dijadikan sumber inspirasi untuk menyusun teori dan
konsep pendidikan
D. Pendekatan Multidisiplin yaitu pendekatan menyeluruh (holistik)
E. Pendekatan Penulisan; Mengkaji pendekatan salah satu dari pendekatan diatas.

5 Obyek Materi dan Formal Filsafat


Obyek Materi
- Masalah Tuhan
- Masalah Alam
- Masalah Manusia
Obyek Formal
-Mencari keterangan sedalam-dalamnya sampai ke akar persoalan tersebut

II. LATAR BELAKANG MUNCULNYA FILSAFAT PENDIDIKAN

MANUSIA DENGAN CIPTA,RASA DAN KARSA.


CIPTA:PEMUNCULAN SESUATU YANG BELUM PERNAH ADA ATAU PIKIRAN
RASA:PERNYATAAN TENTANG SESUATU YANG BERSANGKUT PAUT DENGAN
JIWA SESEORANG
KARSA: SUATU TENAGA YANG BEKERJA DAN DATANG DARI DALAM DIRI
SESEORANG
Lahirnya filsafat pendidikan,sebagai ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri,lahir sebagai
disiplin ilmu pendidikan pada tahun 1908 dinegara bagian anglo saxon dengan
judulPHILOSOPHY of EDUCATION

1. ASUMSI LAHIRNYA FILSAFAT PENDIDIKAN


1.Ilmu pendidikan adalah ilmu pengetahuan normatif yang merupakan disiplin ilmu yang
merumuskan kaidah,norma,dan nilai yang dijadikan ukuran tingkah laku
2.Ilmu Pendidikan adalah ilmu pengetahuan praktis,yaitu sebagai penyalur dan pelestarian
nilai-nilai dari aspek kebudayaan dari generasi ke generasi.

2. Problema yang dihadapi filsafat & Pendidikan

1.Ontologi= (Realita) kebenaran =Ada & Apa


a. Apakah alam semesta memiliki bentuk rasional
b. Apakah dinamakan jiwa merupakan kenyataan dalam diri atau hanya bentuk materi gerak
c.Siapakah manusia,dari mana dan hendak kemana
d.apakah alam semesta terjadi dengan sendirinya atau ada yang menciptakakannya.

2.Epistimologi (Pengetahuan) tata kerjanya:


a. Bagaimana terminologinya
b. Bagaimana filsafatnya
c. Bagaimana sistimatikanya
d. Bagaimana teori & tekniknya
e. Bagaimana asas atau dasarnya

3.Aksiologi ( Nilai)=penerapan Ilmu


(Apakah kebaikan tertinggi itu?) Teori Moral
(Apakah perilaku antar manusia yang baik itu?)

3.Alasan dasar filsafat pendidikan dipelajari guru


1. Karena setiap individu bertindak termasuk dalam pendidikan
2. Karena setiap individu bertanggung jawab dalam pendidikan
3. Karena setiap individu memiliki filsafat hidup sendiri-sendiri
4. Untuk menentukan arah dan pikiran yang diinginkan dari aliran filsafat tersebut
5. Sebagai ilmu yang berdiri sendiri.

4 TEORI-TEORI FILSAFAT PENDIDIKAN

TEORI EMPIRISME:(JOHN LOCKE(1632-1704) Mengajarkan bahwa perkembanan


pribadi ditentukan oleh faktor lingkungan,terutama pendidikan setiap individu lahir sebaai
kertas putih dan lingkungan itu yang menulisinya ( Teori Tabula-rasa) Faktor pengalaman
dari lingkungan yang menentukan pribadi seseorang.(jadi lingkungan relatif dapat diatur dan
dikuasai oleh manusia)
( Bandingkan dengan hadits nabi bahwa anak yang lahir suci kedua orang tua yang membuat
majusi atau yahudi) (aliran yang optimis)

TEORI NATIVISME (ARTHUR SCHOPENHAUER 1788-1860) Berpendapat bahwa


perkembangan pribadi manusia ditentukan oleh heriditas (kodrati) pembawaan dari sejak
lahir tak dapat diubah oleh pengaruh alam sekitarnya/pendidikan. (pesimistis)
TEORI KONVERGENSI ( WILLIAM STREN 1871-1938) Berpendapat bahwa pribadi
manusi ditentukan oleh kedua faktor yaitu Internal (heriditas/Pembawaan )dan Ekstrenal
(lingkungan/Pendidikan) .heriditas yang baik apabila apabila tanpa pengaruh lingkungan
yang baik tidak akan membina kepribadian yang ideal (begitu sebaliknya)
ketiga aliran ini dikenal dengan Emprisme,Idealisme dan Realisme

5. ALIRAN-ALAIRAN DALAM FILSAFAT PENDIDIKAN


Di dunia dikenal beberapa aliran utama filsafat pendidikan yang di antaranya dapat disajikan
berikut ini:
1. Perennialisme
Perenialisme merupakan suatu aliran dalam pendidikan yang lahir pada abad kedua puluh.
Perenialisme berasal dari kata perennial yang berarti abadi, kekal atau selalu. Perenialisme
lahir sebagai suatu reaksi terhadap pendidikan progresif. Perenialisme menentang pandangan
progresivisme yang menekankan perubahan dan sesuatu yang baru. Jalan yang ditempuh oleh
kaum perenialis adalah dengan jalan mundur ke belakang, dengan menggunakan kembali
nilai nilai atau prinsip prinsip umum yang telah menjadi pandangan hidup yang kuat,
kukuh pada zaman kuno dan abad pertengahan.
Dalam pendidikan, kaum perenialis berpandangan bahwa dalam dunia yang tidak menentu
dan penuh kekacauan serta mambahayakan tidak ada satu pun yang lebih bermanfaat
daripada kepastian tujuan pendidikan, serta kestabilan dalam perilaku pendidik. Mohammad
Noor Syam (1984) mengemukakan pandangan perenialis, bahwa pendidikan harus lebih
banyak mengarahkan pusat perhatiannya pada kebudayaan ideal yang telah teruji dan
tangguh. Perenialisme memandang pendidikan sebagai jalan kembali atau proses
mengembalikan keadaan manusia sekarang seperti dalam kebudayaan ideal.

PANDANGAN MENGENAI KENYATAAN


Perenialisme berpendapat bahwa apa yang dibutuhkan manusia terutama ialah jaminan bahwa
reality is universal that is every where and at every moment the same (2:299) realita itu
bersifat universal bahwa realita itu ada di mana saja dan sama di setiap waktu. Dengan
keputusan yang bersifat ontologism kita akan sampai pada pengertian pengerian hakikat.
Ontologi perenialisme berisikan pengertian : benda individual, esensi, aksiden dan substansi.
Benda individual adalah benda yang sebagaimana nampak di hadapan manusia yang dapat
ditangkap oleh indera kita seperti batu, kayu,dll
Esensi dari sesuatu adalah suatu kualitas tertentu yang menjadikan benda itu lebih baik
intrinsic daripada halnya, misalnya manusia ditinjau dari esensinya adalah berpikir
Aksiden adalah keadaan khusus yang dapat berubah ubah dan sifatnya kurang penting
dibandingkan dengan esensialnya, misalnya orang suka barang barang antic
Substansi adalah suatu kesatuan dari tiap tiap hal individu dari yang khas dan yang
universal, yang material dan yang spiritual.
Menurut Plato, perjalanan suatu benda dalam fisika menerangkan ada 4 kausa.
Kausa materialis yaitu bahan yang menjadi susunan sesuatu benda misalnya telor, tepung
dan gula untuk roti
Kausa formalis yaitu sesuatu dipandang dari formnya, bentuknya atau modelnya, misalnya
bulat, gepeng, dll
Kausa efisien yaitu gerakan yang digunakan dalam pembuatan sesuatu cepat, lambat atau
tergesa tergesa,dll
Kausa finalis adalah tujuan atau akhir dari sesuatu. Katakanlah tujuan pembuatan sebuah
patung.
PANDANGAN MENGENAI NILAI

Perenialisme berpandangan bahwa persoalan nilai adalah persoalan spiritual, sebab hakikat
manusia adalah pada jiwanya. Sedangkan perbuatan manusia merupakan pancaran isi jiwanya
yang berasal dari dan dipimpin oleh Tuhan. Secara teologis, manusia perlu mencapai
kebaikan tertinggi, yaitu nilai yang merupakan suatu kesatuan dengan Tuhan. Untuk dapat
sampai kesana manusia harus berusaha dengan bantuan akal rationya yang berarti
mengandung nilai kepraktisan.
Menurut Aristoteles, kebajikan dapat dibedakan: yaitu yang moral dan yang intelektual.
Kebajikan moral adalah kebajikan yang merupakan pembentukan kebiasaan, yang merupakan
dasar dari kebajikan intelektual. Jadi, kebajikan intelektual dibentuk oleh pendidikan dan
pengajaran. Kebajikan intelektual didasari oleh pertimbangan dan pengawasan akal. Oleh
perenialisme estetika digolongkan kedalam filsafat praktis. Kesenian sebagai salah satu
sumber kenikmatan keindahan adalah suatu kebajikan intelektual yang bersifat praktis
filosofis. Hal ini berarti bahwa di dalam mempersoalkan masalah keindahan harus berakar
pada dasar dasar teologis, ketuhanan.
PANDANGAN MENGENAI PENGETAHUAN

Kepercayaan adalah pangkal tolak perenialisme mengenai kenyataan dan pengetahuan.


Artinya sesuatu itu ada kesesuaian antara piker (kepercayaan) dengan benda benda. Sedang
yang dimaksud benda adalah hal hal yang adanya bersendikan atas prinsip keabadian.Oleh
karena itu, menurut perenialisme perlu adanya dalil dalil yang logis, nalar, sehingga sulit
untuk diubah atau ditolak kebenarannya. Menurut Aristoteles, Prinsip prinsip itu dapat
dirinci menjadi :
Principium identitatis, yaitu identitas sesuatu. Contohnya apabila si Bopeng adalah benar
benar si Bopeng ia todak akan menjadi Si Panut.
Principium contradiksionis ( prinsipium kontradiksionis), yaitu hukum kontradiksi
(berlawanan). Suatu pernyataan pasti tidak mengandung sekaligus kebenaran dan kesalahan,
pasti hanya mengandung satu kenyataan yakni benar atau salah.
Principium exelusi tertii (principium ekselusi tertii), tidak ada kemungkinan ketiga. Apabila
pernyataan atau kebenaran pertama salah, pasti pernyataan kedua benar dan sebaliknya
apabila pernyataan pertama benar pasti pernyataan yang berikutnya tidak benar.
Principium rationis sufisientis. Prinsip ini pada dasarnya mengetengahkan apabila barang
sesuatu dapat diketahui asal muasalnya pasti dapat dicari pula tujuan atau akibatnya.
Perenialisme mengemukakan adanya hubungan antara ilmu pengetahuan dengan filsafat.
Science sebagai ilmu pengetahuan
Science yang meliputi biologi, fisika, sosiologi, dan sebagainya ialah pengetahuan yang
disebut sebagai empiriological analysis yakni analisa atas individual things dan peristiwa
peristiwa pada tingkat pengalaman dan bersifat alamiah. Science seperti ini dalam
pelaksanaan analisa dan penelitiannya mempergunakan metode induktif. Selain itu, juga
mempergunakan metode deduktif, tetapi pusat penelitiannya ialah meneliti dan mencoba
dengan data tertentu yang bersifat khusus.
Filsafat sebagai pengetahuan
Menurut perenialisme, fisafat yang tertinggi ialah ilmu metafisika. Sebab, science dengan
metode induktif bersifat empiriological analysis (analisa empiris); kebenarannya terbatas,
relatif atau kebenarannya probability. Tetapi filsafat dengan metode deduktif bersifat
ontological analysis, kebenaran yang dihasilkannya universal, hakiki, dan berjalan dengan
hukum hukum berpikir sendiri, berpangkal pada hukum pertama; bahwa kesimpulannya
bersifat mutlak, asasi. Hubungan filsafat dan pengetahuan tetap diakui urgensinya, sebab
analisa empiris dan analisa ontology keduanya dianggap perenialisme dapat komplementatif.
Tetapi filsafat tetap dapat berdiri sendiri dan ditentukan oleh hukum hukum dalam filsafat
sendiri, tanpa tergantung kepada ilmu pengetahuan.
PANDANGAN TENTANG PENDIDIKAN

Teori atau konsep pendidikan perenialisme dilatarbelakangi oleh filsafat filsafat Plato
sebagai Bapak Idealisme Klasik, filsafat Aristoteles sebagai Bapak Realisme Klasik, dan
filsafat Thomas Aquina yang mencoba memadukan antara filsafat Aristoteles dengan ajaran
Gereja Katolik yang tumbuh pada zamannya
1. Plato

Plato (427-347 SM), hidup pada zaman kebudayaan yang sarat dengan ketidakpastian, yaitu
fisafat sofisme. Ukuran kebenaran dan ukuran moral menurut sofisme adalah manusia secara
pribadi, sehingga pada zaman itu tidak ada kepastian dalam moral dan kebenaran, tergantung
pada masing masing individu. Plato berpandangan bahwa realitas yang hakiki itu tetap tidak
berubah karena telah ada pada diri manusia sejak dari asalnya. Menurut Plato, dunia idea,
yang bersumber dari ide mutlak, yaitu Tuhan. Manusia menemukan kebenaran, pengetahuan,
dan nilai moral dengan menggunakan akal atau ratio.
Tujuan utama pendidikan adalah membina pemimpin yang sadar akan asas normative dan
melaksanakannya dalam semua aspek kehidupan. Masyarakat yang ideal adalah masyarakat
adil sejahtera. Manusia yang terbaik adalah manusia yang hidup atas dasar prinsip idea
mutlak, yaitu suatu prinsip mutlak yang menjadi sumber realitas semesta dan hakikat
kebenaran abadi yang transcendental yang membimbing manusia untuk menemukan criteria
moral, politik, dan social serta keadilan. Ide mutlak adalah Tuhan
2. Aristoteles

Aristoteles (384 322 SM) adalah murid Plato, namun dalam pemikirannya ia mereaksi
terhadap filsafat gurunya, yaitu idealisme. Hasil pemikirannya disebut filsafat realisme. Ia
mengajarkan cara berpikir atas prinsip realistis, yang lebih dekat pada alam kehidupan
manusia sehari hari. Menurut Aristoteles, manusia adalah makhluk materi dan rohani
sekaligus. Sebagai materi, ia menyadari bahwa manusia dalam hidupnya berada dalam
kondisi alam materi dan social. Sebagai makhluk rohani, manusia sadar ia akan menuju pada
proses yang lebih tinggi yang menuju kepada manusia ideal
Perkembangan budi merupakan titik pusat perhatian pendidikan dengan filsafat sebagai alat
mencapainya. Ia menganggap penting pula pembentukan kebiasaan pada tingkat pendidikan
usia muda dalam menanamkan kesadaran menurut aturan moral. Aristoteles juga
menganggap kebahagiaan sebagai tujuan dari pendidikan yang baik. Ia mengembangkan
individu secara bulat, totalitas. Aspek aspek jasmaniah, emosi, dan intelek sama
dikembangkan, walaupun ia mengakui bahwa kebahagiaan tertinggi ialah kehidupan
berpikir (2:317)
3. Thomas Aquinas

Thomas berpendapat pendidikan adalah menuntun kemampuan kemampuan yang masih


tidur menjadi aktif atau nyata tergantung pada kesadaran tiap tiap individu. Seorang guru
bertugad untuk menolong membangkitkan potensi yang masih tersembunyi dari anak agar
menjadi aktif dan nyata. Menurut J.Maritain, norma fundamental pendidikan adalah
:
Cinta kebenaran
Cinta kebaikan dan keadilan
Kesederhanaan dan sifat terbuka terhadap eksistensi
Cinta kerjasama
Kaum perenialis juga percaya bahwa dunia alamiah dan hakikat manusia pada dasarnya tetap
tidak berubah selam berabad abad : jadi, gagasan gagasan besar terus memiliki potensi
yang paling besar untuk memecahkan permasalahan permasalahan di setiap zaman. Selain
itu, filsafat perenialis menekankan kemampuan kemampuan berpikir rasional manusia
sehingga membedakan mereka dengan binatang binatang lain.
PANDANGAN MENGENAI BELAJAR

Teori dasar dalam belajar menurut perenialisme adalah :


1 Mental disiplin sebagai teori dasar
Penganut perenialisme sependapat bahwa latihan dan pembinaan berpikir (mental discipline)
adalah salah satu kewajiban tertinggi dari belajar, atau keutamaan dalam proses belajar (yang
tertinggi). Karena itu teori dan program pendidikan pada umumnya dipusatkan kepada
pembinaan kemampuan berpikir.
2 Rasionalitas dan Asas Kemerdekaan.
Asas berpikir dan kemerdekaan harus menjadi tujuan utama pendidikan ; otoritas berpikir
harus disempurnakan sesempurna mungkin. Dan makna kemerdekaan pendidikan ialah
membantu manusia untuk menjadi dirinya sendiri, be him-self, sebagai essential-self yang
membedakannya daripada makhluk- makhluk lain. Fungsi belajar harus diabdikan bagi tujuan
ini, yaitu aktualitas manusia sebagai makhluk rasional yang dengan itu bersifat merdeka.
3Learning to Reason ( Belajar untuk Berpikir)
Perenialisme tetap percaya dengan asas pembentukan kebiasaan dalam permulaan pendidikan
anak. Kecakapan membaca, menulis dan berhitung merupakan landasan dasar. Dan
berdasarkan pentahapan itu, maka learning to reason menjadi tujuan pokok pendidikan
sekolah menengah dan pendidikan tinggi.
4 Belajar sebagai Persiapan Hidup
Bagi Thomisme, belajar untuk berpikir dan belajar untuk persiapan hidup (dalam masyarakat)
adalah dua langkah pada jalan yang sama, yakni menuju kesempurnaan hidup, kehidupan
duniawi menuju kehidupan syurgawi.
5 Learning through Teaching (belajar melalui Pengajaran)
Adler membedakan antara learning by instruction dan learning by discovery,
penyelidikan tanpa bantuan guru. Dan sebenarnya learning by instruction adalah dasar dan
menuju learning by discovery, sebagai self education. Menurut perenialisme, tugas guru
bukanlah perantara antara dunia dengan jiwa anak, melainkan guru juga sebagai murid
yang mengalami proses belajar sementara mengajar. Guru mengembangkan potensi potensi
self discovery ; dan ia melakukan moral authorityatas murid muridnya, karena ia adalah
seorang professional yang qualified dan superior dibandingkan muridnya.
2. Esensialisme
(a) Berkaitan dengan hal-hal esensial atau mendasar yang seharusnya manusia tahu dan
menyadari sepenuhnya tentang dunia dimana mereka tinggal dan juga bagi kelangsungan
hidupnya. (b) Menekankan data fakta dengan kurikulum yang tampak bercorak vokasional.
(c) Konsentrasi studi pada materi-materi dasar tradisional seperti: membaca, menulis, sastra,
bahasa asing, matematika, sejarah, sains, seni dan musik. (d) Pola orientasinya bergerak dari
skill dasar menuju skill yang bersifat semakin kompleks. (e) Perhatian pada pendidikan yang
bersifat menarik dan efisien. (f) Yakin pada nilai pengetahuan untuk kepentingan
pengetahuan itu sendiri. (g) Disiplin mental diperlukan untuk mengkaji informasi mendasar
tentang dunia yang didiami serta tertarik pada kemajuan masyarakat teknis.
3. Progresivisme
(a) Suka melihat manusia sebagai pemecah persoalan (problem-solver) yang baik. (b) Oposisi
bagi setiap upaya pencarian kebenaran absolut. (c) Lebih tertarik kepada perilaku pragmatis
yang dapat berfungsi dan berguna dalam hidup. (d) Pendidikan dipandang sebagai suatu
proses. (e) Mencoba menyiapkan orang untuk mampu menghadapi persoalan aktual atau
potensial dengan keterampilan yang memadai. (f) Mempromosikan pendekatan sinoptik
dengan menghasilkan sekolah dan masyarakat bagi humanisasi. (g) Bercorak student-
centered. (h) Pendidik adalah motivator dalam iklim demoktratis dan menyenangkan. (i)
Bergerak sebagai eksperimentasi alamiah dan promosi perubahan yang berguna untuk pribadi
atau masyarakat.
4. Rekonstruksionisme
(a) Promosi pemakaian problem solving tetapi tidak harus dirangkaikan dengan penyelesaian
problema sosial yang signifikan. (b) Mengkritik pola life-adjustment (perbaikan tambal-
sulam) para Progresivist. (c) Pendidikan perlu berfikir tentang tujuan-tujuan jangka pendek
dan jangka panjang. Untuk itu pendekatan utopia pun menjadi penting guna menstimuli
pemikiran tentang dunia masa depan yang perlu diciptakan. (d) Pesimis terhadap pendekatan
akademis, tetapi lebih fokus pada penciptaan agen perubahan melalui partisipasi langsung
dalam unsur-unsur kehidupan. (e) Pendidikan berdasar fakta bahwa belajar terbaik bagi
manusia adalah terjadi dalam aktivitas hidup yang nyata bersama sesamanya. (f) Learn by
doing! (Belajar sambil bertindak).
5. Eksistensialisme
(a) Menekankan pada individual dalam proses progresifnya dengan pemikiran yang merdeka
dan otentik. (b) Pada dasarnya perhatian dengan kehidupan sebagai apa adanya dan tidak
dengan kualitas-kualitas abstraknya. (c) Membantu individu memahami kebebasan dan
tanggung jawab pribadinya. Jadi, menggunakan pendidikan sebagai jalan mendorong
manusia menjadi lebih terlibat dalam kehidupan sebagaimana pula dengan komitmen
tindakannya. (d) Individu seharusnya senantiasa memperbaiki diri dalam kehidupan dunia
yang terus berubah. (e) Menekankan pendekatan I-Thou (Aku-Kamu) dalam proses
pendidikan, baik guru maupun murid. (f) Promosikan pendekatan langsung-mendalam (inner-
directed) yang humanistik; dimana siswa bebas memilih kurikulum dan hasil pendidikannya.
6. Behavioral Engineering (Rekayasa Perilaku)
(a) Kehendak bebas adalah ilusi (Free-will is illusory). (b) Percaya bahwa sikap manusia
kebanyakan merefleksikan tingkah laku dan tindakan yang terkondisikan oleh lingkungan. (c)
Memakai metode pengkondisian sebagai cara untuk mengarahkan sikap manusia. (d)
Pendidik perlu membangun suatu lingkungan pendidikan dimana individu didorong melalui
ganjaran dan hukuman untuk kebaikan mereka dan orang lain.
7 PRAGMATISME PENDIDIKAN
A. Pengantar
Pragmatisme (dari bahasa Yunani: pragma, artinya yang dikerjakan, yang dilakukan,
perbuatan, tindakan) merupakan sebutan bagi filsafat yang dikembangkan oleh William
James (1842 - 1910) di Amerika Serikat. Menurut filsafat ini, benar tidaknya suatu ucapan,
dalil atau teori semata-mata bergantung pada manusia dalam bertindak. Istilah pragmaticisme
ini diangkat pada tahun 1865 oleh Charles S. Pierce (1839-1914) sebagai doktrin
pragmatisme. Doktrin dimaksud selanjutnya diumumkan pada tahun 1978.
Diakui atau tidak, paham pragmatisme menjadi sangat berpengaruh dalam pola pikir bangsa
Amerika Serikat. Pengaruh pragmatisme menjalar di segala aspek kehidupan, tidak terkecuali
di dunia pendidikan. Salah satu tokoh sentral yang sangat berjasa dalam pengembangan
pragmatisme pendidikan adalah John Dewey (1859 - 1952). Pragmatisme Dewey merupakan
sintensis pemikiran-pemikiran Charles S. Pierce dan William James. Dewey mencapai
popularitasnya di bidang logika, etika epistemologi, filsafat politik, dan pendidikan. Makalah
ini sendiri selanjutnya akan mendeskripsikan pemikiran John Dewey tentang pragmatisme
pendidikan.
B. Kehidupan John Dewey
John Dewey merupakan filosof, psikolog, pendidik dan kritikus sosial Amerika. Ia dilahirkan
di Burlington, Vermont, tepatnya tanggal 20 Oktober 1859. Pada tahun 1875, Dewey masuk
kuliah di University of Vermont dengan spesifikasi bidang filsafat dan ilmu-ilmu sosial.
Setelah tamat, ia mengajar sastra klasik, sains, dan aljabar di sebuah sekolah menengah atas
di Oil City, Pensylvania tahun 1879-1881. Bersama gurunya, H.A.P. Torrey, Dewey juga
menjadi tutor pribadi di bidang filsafat. Selain itu, Dewey juga belajar logika kepada Charles
S. Pierce dan C.S. Hall, salah seorang psikolog eksperimental Amerika. Selanjutnya, Dewey
melanjutkan studinya dan meraih gelar doktor dari John Hopkins University tahun 1884
dengan disertasi tentang filsafat Kant.
Dewey kemudian mengajar di University of Michigan (1884-1894), menjadi kepala jurusan
filsafat, psikologi dan pendidikan di University of Chicago tahun 1894. Pada tahun 1899,
Dewey menulis buku The School and Society, yang memformulasikan metode dan kurikulum
sekolah yang membahas tentang pertumbuhan anak. Dewey banyak menulis masalah-
masalah sosial dan mengkritik konfrontasi demokrasi Amerika, ikut serta dalam aktifitas
organisasi sosial dan membantu mendirikan sekolah baru bagi Social Reseach tahun 1919 di
New York.
Sebagian besar kehidupan Dewey dihabiskan dalam dunia pendidikan. Lembaga-lembaga
pendidikan yang disinggahi Dewey adalah University of Michigan, University of Colombia
dan University of Chicago. Tahun 1894 Dewey memperoleh gelar Professor of Philosophy
dari Chicago University. Dewey akhirnya meninggal dunia tanggal 1 Juni 1952 di New York
dengan meninggalkan tidak kurang dari 700 artikel dan 42 buku dalam bidang filsafat,
pendidikan, seni, sains, politik dan pembaharuan sosial.
Diantara karya-karya Dewey yang dianggap penting adalah Freedom and Cultural, Art and
Experience, The Quest of Certainty Human Nature and Conduct (1922), Experience and
Nature (1925), dan yang paling fenomenal Democracy and Education (1916).
Gagasan filosofis Dewey yang terutama adalah problem pendidikan yang kongkrit, baik yang
bersifat teoritis maupun praktis. Reputasinya terletak pada sumbangan pemikirannya dalam
filsafat pendidikan progresif di Amerika. Pengaruh Dewey di kalangan ahli filsafat
pendidikan dan filsafat umumnya tentu sangat besar. Namun demikian, Dewey juga memiliki
sumbangan di bidang ekonomi, hukum, antropologi, politik serta ilmu jiwa.
C. Sekilas Tentang Pragmatisme
Pragmatisme pada dasarnya merupakan gerakan filsafat Amerika yang begitu dominan
selama satu abad terakhir dan mencerminkan sifat-sifat kehidupan Amerika. Demikian
dekatnya pragmatisme dangan Amerika sehingga Popkin dan Stroll menyatakan bahwa
pragmatisme merupakan gerakan yang berasal dari Amerika yang memiliki pengaruh
mendalam dalam kehidupan intelektual di Amerika. Bagi kebanyakan rakyat Amerika,
pertanyaan-pertanyaan tentang kebenaran, asal dan tujuan, hakekat serta hal-hal metafisis
yang menjadi pokok pembahasan dalam filsafat Barat dirasakan amat teoritis. Rakyat
Amerika umumya menginginkan hasil yang kongkrit. Sesuatu yang penting harus pula
kelihatan dalam kegunaannya. Oleh karena itu, pertanyan what is harus dieliminir dengan
what for dalam filsafat praktis.
Membicarakan pragmatisme sebagai sebuah paham dalam filsafat, tentu tidak dapat
dilepaskan dari nama-nama seperti Charles S. Pierce, William Jamess dan John Dewey.
Meskipun ketiga tokoh tersebut dimasukkan dalam kelompok aliran pragmatisme, namun
diantara ketiganya memiliki fokus pembahasan yang berbeda. Charles S. Pierce lebih dekat
disebut filosof ilmu, sedangkan William James disebut filosof agama dan John Dewey
dikelompokkan pada filosof sosial.
Pragmatisme sebagai suatu interpretasi baru terhadap teori kebenaran oleh Pierce digagas
sebagai teori arti. Dalam kaitan dengan ini, dinyatakan: According to the pragmatic theory of
truth, a proposition is true in so far as it works or satisfies, working or satisfying being
described variously by different exponent on the view (Menurut teori pragmatis tentang
kebenaran, suatu proposisi dapat disebut benar sepanjang proposisi itu berlaku [works] atau
memuaskan [satisfies], berlaku dan memuaskannya itu diuraikan dengan berbagai ragam oleh
para pengamat teori tersebut).
Sementara itu, James menominalisasikan pragmatisme sebagai teori cash value. James
kemudian menyatakan: "True ideas are those that we can assimilate, validate, corrobrate, and
verify. False ideas are those that we can not" (Ide-ide yang benar menurut James adalah ide-
ide yang dapat kita serasikan, kita umumkan berlakunya, kita kuatkan dan kita periksa.
Sebaliknya ide yang salah adalah ide yang tidak demikian).
Untuk membedakan dengan dua pendahulunya tersebut, Dewey menamakan pragmatisme
sebagai instrumentalisme. Instrumentalisme sebenarnya sebutan lain dari filsafat
pragmatisme, selain eksperimentalisme. Pierce memaksudkan pragmatisme untuk membuat
pikiran biasa menjadi ilmiah, tetapi James memandangnya sebagai sebuah filsafat yang dapat
memecahkan masalah-masalah metafisik dan agama. Bahkan lebih jauh, James
menganggapnya sebagai theory of meaning dan theory of truth.
Dewey merumuskan esensi instrumentalisme pragmatis sebagai to conceive of both
knowledge and practice as means of making good excellencies of all kind secure in
experienced existence. Demikianlah, Dewey memberikan istilah pragmatisme dengan
instrumentalism, operationalism, functionalism, dan experimentalism. Disebut demikian
karena menurut aliran ini bahwa ide, gagasan, pikiran, dan inteligent merupakan alat atau
instrumen untuk mengatasi kesulitan atau persoalan yang dihadapi manusia.
D. Pemikiran John Dewey Tentang Pendidikan
1. Pengalaman dan Pertumbuhan
Pemikiran John Dewey banyak dipengaruhi oleh teori evolusi Charles Darwin (1809-1882)
yang mengajarkan bahwa hidup di dunia ini merupakan suatu proses, dimulai dari tingkatan
terendah dan berkembang maju dan meningkat. Hidup tidak statis, melainkan bersifat
dinamis. All is in the making, semuanya dalam perkembangan. Pandangan Dewey
mencerminkan teori evolusi dan kepercayaannya pada kapasitas manusia dalam kemajuan
moral dan lingkungan masyarakat, khusunya malalui pendidikan.
Menurut Dewey, dunia ini penciptaannya belum selesai. Segala sesuatu berubah, tumbuh,
berkembang, tidak ada batas, tidak statis, dan tidak ada finalnya. Bahkan, hukum moral pun
berubah, berkembang menjadi sempurna. Tidak ada batasan hukum moral dan tidak ada
prinsip-prinsip abadi, baik tingkah laku maupun pengetahuan.
Pengalaman (experience) adalah salah satu kunci dalam filsafat instrumentalisme.
Pengalaman merupakan keseluruhan aktivitas manusia yang mencakup segala proses yang
saling mempengaruhi antara organisme yang hidup dalam lingkungan sosial dan fisik.
Filsafat instrumentalisme Dewey dibangun berdasarkan asumsi bahwa pengetahuan
berpangkal dari pengalaman-pengalaman dan bergerak kembali menuju pengalaman. Untuk
menyusun kembali pengalaman-pengalaman tersebut diperlukan pendidikan yang merupakan
transformasi yang terawasi dari keadaan tidak menentu ke arah keadaan tertentu. Pandangan
Dewey mengenai pendidikan tumbuh bersamaan dengan kerjanya di laboratorium sekolah
untuk anak-anak di University of Chicago. Di lembaga ini, Dewey mencoba untuk
mengupayakan sekolah sebagai miniatur komunitas yang menggunakan pengalaman-
pengalaman sebagai pijakan. Dengan model tersebut, siswa dapat melakukan sesuatu secara
bersama-sama dan belajar untuk memantapkan kemampuannya dan keahliannya.
Sebagai tokoh pragmatisme, Dewey memberikan kebenaran berdasarkan manfaatnya dalam
kehidupan praktis, baik secara individual maupun kolektif. Oleh karenanya, ia berpendapat
bahwa tugas filsafat memberikan garis-garis arahan bagi perbuatan. Filsafat tidak boleh
tenggelam dalam pemikiran metafisik yang sama sekali tidak berfaedah. Filsafat harus
berpijak pada pengalaman dan menyelidiki serta mengolah pengalaman tersebut secara aktif
dan kritis. Dengan cara demikian, filsafat menurut Dewey dapat menyusun norma-norma dan
nilai-nilai.
2. Tujuan Pendidikan
Dalam menghadapi industrialisasi Eropa dan Amerika, Dewey berpendirian bahwa sistem
pendidikan sekolah harus diubah. Sains, menurutnya, tidak mesti diperoleh dari buku-buku,
melainkan harus diberikan kepada siswa melalui praktek dan tugas-tugas yang berguna.
Belajar harus lebih banyak difokuskan melalui tindakan dari pada melalui buku. Dewey
percaya terhadap adanya pembagian yang tepat antara teori dan praktek. Hal ini membuat
Dewey demikian lekat dengan atribut learning by doing. Yang dimaksud di sini bukan berarti
ia menyeru anti intelektual, tetapi untuk mengambil kelebihan fakta bahwa manusia harus
aktif, penuh minat dan siap mengadakan eksplorasi.
Dalam masyarakat industri, sekolah harus merupakan miniatur lokakarya dan miniatur
komunitas. Belajar haruslah dititiktekankan pada praktek dan trial and error. Akhirnya,
pendidikan harus disusun kembali bukan hanya sebagai persiapan menuju kedewasaan, tetapi
pendidikan sebagai kelanjutan pertumbuhan pikiran dan kelanjutan penerang hidup. Sekolah
hanya dapat memberikan kita alat pertumbuhan mental, sedangkan pendidikan yang
sebenarnya adalah saat kita telah meninggalkan bangku sekolah, dan tidak ada alasan
mengapa pendidikan harus berhenti sebelum kematian menjemput.
Tujuan pendidikan adalah efisiensi sosial dengan cara memberikan kemampuan untuk
berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan demi pemenuhan kepentingan dan kesejahteraan
bersama secara bebas dan maksimal. Tata susunan masyarakat yang dapat menampung
individu yang memiliki efisiensi di atas adalah sistem demokrasi yang didasarkan atas
kebebasan, asas saling menghormati kepentingan bersama, dan asas ini merupakan sarana
kontrol sosial. Mengenai konsep demokrasi dalam pendidikan, Dewey berpendapat bahwa
dalam proses belajar siswa harus diberikan kebebasan mengeluarkan pendapat. Siswa harus
aktif dan tidak hanya menerima pengetahuan yang diberikan oleh guru. Begitu pula, guru
harus menciptakan suasana agar siswa senantiasa merasa haus akan pengetahuan.
Karena pendidikan merupakan proses masyarakat dan banyak terdapat macam masyarakat,
maka suatu kriteria untuk kritik dan pembangunan pendidikan mengandung cita-cita utama
dan istimewa. Masyarakat yang demikian harus memiliki semacam pendidikan yang
memberikan interes perorangan kepada individu dalam hubungan kemasyarakatan dan
mempunyai pemikiran yang menjamin perubahan-perubahan sosial.
Dasar demokrasi adalah kepercayaan dalam kapasitasnya sebagai manusia. Yakni,
kepercayaan dalam kecerdasan manusia dan dalam kekuatan kelompok serta pengalaman
bekerja sama. Hal ini tidak dapat dipungkiri bahwa semua dapat menumbuhkan dan
membangkitkan kemajuan pengetahuan dan kebijaksanaan yang dibutuhkan dalam kegiatan
bersama.
Ide kebebasan dalam demokrasi bukan berarti hak bagi individu untuk berbuat sekehendak
hatinya. Dasar demokrasi adalah kebebasan pilihan dalam perbuatan (serta pengalaman) yang
sangat penting untuk menghasilkan kemerdekaan inteligent. Bentuk-bentuk kebebasan adalah
kebebasan dalam berkepercayaan, mengekspresikan pendapat, dan lain-lain. Kebebasan
tersebut harus dijamin, sebab tanpa kebebasan setiap individu tidak dapat berkembang.
Filsafat tidak dapat dipisahkan dari pendidikan, karena filsafat pendidikan merupakan
rumusan secara jelas dan tegas membahas problema kehidupan mental dan moral dalam
kaitannya dengan menghadapi tantangan dan kesulitan yang timbul dalam realitas sosial
dewasa ini. Problema tersebut jelas memerlukan pemecahan sebagai solusinya. Pikiran dapat
dipandang sebagai instrumen yang dapat menyelesaikan problema dan kesulitan tersebut.
Di dalam filsafat John Dewey disebutkan adanya experimental continum atau rangkaian
kesatuan pengalaman, yaitu proses pendidikan yang semula dari pengalaman menuju ide
tentang kebiasaan (habit) dan diri (self) kepada hubungan antara pengetahuan dan kesadaran,
dan kembali lagi ke pendidikan sebagai proses sosial. Kesatuan rangkaian pengalaman
tersebut memiliki dua aspek penting untuk pendidikan, yaitu hubungan kelanjutan individu
dan masyarakat serta hubungan kelanjutan pikiran dan benda.
A. Tinjauan Kritis
Satu hal yang harus digarisbawahi adalah bahwa pragmatisme merupakan filsafat bertindak.
Dalam menghadapi berbagai persoalan, baik bersifat psikologis, epistemologis, metafisik,
religius dan sebagainya, pragmatisme selalu mempertanyakan bagaimana konsekuensi
praktisnya. Setiap solusi terhadap masalah apa pun selalu dilihat dalam rangka konsekuansi
praktisnya, yang dikaitkan dengan kegunaannya dalam hidup manusia. Dan konsekuensi
praktis yang berguna dan memuaskan manusia itulah yang membenarkan tindakan tadi.
Dalam rangka itulah, kaum pragmatis tidak mau berdiskusi bertele-tele, bahkan sama sekali
tidak menghendaki adanya diskusi, malainkan langsung mencari tindakan yang tepat untuk
dijalankan dalam situasi yang tepat pula. Kaum pragmatis adalah manusia-manusia empiris
yang sanggup bertindak, tidak terjerumus dalam pertengkaran ideologis yang mandul tanpa
isi, melainkan secara nyata berusaha memecahkan masalah yang dihadapi dengan tindakan
yang konkrit.
Karenanya, teori bagi kaum pragmatis hanya merupakan alat untuk bertindak, bukan untuk
membuat manusia terbelenggu dan mandeg dalam teori itu sendiri. Teori yang tepat adalah
teori yang berguna, yang siap pakai, dan yang dalam kenyataannya berlaku, yaitu yang
mampu memungkinkan manusia bertindak secara praktis. Kebenaran suatu teori, ide atau
keyakinan bukan didasarkan pada pembuktian abstrak yang muluk-muluk, melainkan
didasarkan pada pengalaman, pada konsekuansi praktisnya, dan pada kegunaan serta
kepuasan yang dibawanya. Pendeknya, ia mampu mengarahkan manusia kepada fakta atau
realitas yang dinyatakan dalam teori tersebut.
Pragmatisme mempunyai dua sifat, yaitu merupakan kritik terhadap pendekatan ideologis dan
prinsip pemecahan masalah. Sebagi kritik terhadap pendekatan ideologis, pragmatisme
mempertahankan relevansi sebuah ideologi bagi pemecahan, misalnya fungsi pendidikan.
Pragmatisme mengkritik segala macam teori tentang cita-cita, filsafat, rumusan-rumusan
abstrak yang sama sekali tidak memiliki konsekuansi praktis. Bagi kaum pragmatis, yang
penting bukan keindahan suatu konsepsi melainkan hubungan nyata pada pendekatan
masalah yang dihadapi masyarakat.
Sebagai prinsip pemecahan masalah, pragmatisme mengatakan bahwa suatu gagasan atau
strategi terbukti benar apabila berhasil memecahkan masalah yang ada, mengubah situasi
yang penuh keraguan dan keresahan sedemikian rupa, sehingga keraguan dan keresahan
tersebut hilang.
Dalam kedua sifat tersebut terkandung segi negatif pragmatisme dan segi-segi positifnya.
Pragmatisme, misalnya, mengabaikan peranan diskusi. Justru di sini muncul masalah, karena
pragmatisme membuang diskusi tentang dasar pertanggungjawaban yang diambil sebagai
pemecahan atas masalah tertentu. Sedangkan segi positifnya tampak pada penolakan kaum
pragmatis terhadap perselisihan teoritis, pertarungaan ideologis serta pembahasan nilai-nilai
yang berkepanjangan, demi sesegera mungkin mengambil tindakan langsung.
Dalam kaitan dengan dunia pendidikan, kaum pragmatisme menghendaki pembagian yang
tetap terhadap persoalan yang bersifat teoritis dan praktis. Pengembangan terhadap yang
teoritis akan memberikan bekal yang bersifat etik dan normatif, sedangkan yang praktis dapat
mempersiapkan tenaga profesional sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Proporsionalisasi
yang teoritis dan praktis itu penting agar pendidikan tidak melahirkan materialisme
terselubung ketika terlalu menekankan yang praktis. Pendidikan juga tidak dapat
mengabaikan kebutuhan praktis masyarakat, sebab kalau demikian yang terjadi berarti
pendidikan tersebut dapat dikatakan disfungsi, tidak memiliki konsekuansi praktis.

Tiga Paradigma Utama Pendidikan


Paradigma adalah world view, cara memandang dunia. Dari suatu paradigma akan terbentuk
perilaku yang mencerminkan paradigma yang dianut. Bagaimana suatu pendidikan sebagai
sebuah perilaku kolektif dan sistemik memandang dunia, adalah pertanyaan yang harus
dijawab sebelum kita menentukan variabel-variabel pendidikan lainnya. Paradigma
pendidikan ini ditentukan oleh para pemegang kebijakan sistem pendidikan (stake holder)
seperti, pemerintah, kepala sekolah, pemilik yayasan, pimpinan organisasi, dan sebagainya.
Dalam menjawab pertanyaan, bagaimana pendidikan memandang dunia, ada tiga jawaban
yang lazimnya muncul. Yang pertama, adalah sistem pendidikan yang memandang realitas
luar sebagai sesuatu yang given, telah berlaku dari sononya, tidak bisa/perlu dirubah, bahkan
perlu dilestarikan. Inilah sistem pendidikan yang pro status quo. Para ahli filsafat pendidikan
mengistilahkannya dengan Pendidikan Konservatif.
Pendidikan konsevatif ini lazim diberlakukan pada negara-negara dengan rezim yang otoriter.
Rezim yang menggunakan kekuatan represif untuk membungkam mulut rakyatnya. Rezim ini
berusaha untuk mengelabui masyarakatnya bahwa ketidakadilan dan penyakit sosial yang ada
(seperti: pengangguran, kriminalitas, konflik sosial, kemiskinan, kebodohan) adalah sesuatu
yang terjadi dengan sendirinya, sebagai sebuah determinasi historis (takdir sejarah).
Pendidikan ini juga berusaha untuk memisahkan peran pendidikan dengan realitas luar
pendidikan. Pendidikan hidup dalam menara gading yang tak tersentuh (karena mahalnya
pendidikan) dan tak menyentuh masyarakat banyak. Dari sistem pendidikan seperti inilah
akan kita dapati output pendidikan yang gamang ketika kembali ke realitas sosialnya. Persis
seperti cerita putra asli pedalaman kalimantan yang pergi menempuh pendidikan di pulau
Jawa dan ketika pulang kembali ke Kalimantan hanya menjadi sampah masyarakatnya. Dia
tidak bisa berbuat apa-apa. Berburu tidak bisa. Bertani/berladang tidak bisa. Bahkan,
berenang saja, sebagai suatu keahlian wajib di Kalimantan yang banyak sungai, kagak gape !
Paradigma pendidikan yang kedua adalah paradigma liberal. Paradigma ini memandang
bahwa ketidakadilan sosial terjadi karena kelalaian manusia itu sendiri. Kalau ada
pengangguran maka itu adalah kesalahan manusianya yang kurang kreatif, tidak berjiwa
wirausaha dan malas. Kalau ada kemiskinan kota (poor urban) itu disebabkan karena
manusianya yang malas berusaha di desa dan maunya hidup enak saja di kota. Pendidikan ini
memang lebih memusatkan pehatiannya pada diri manusia. Untuk itu pendidikan dengan
paradigma ini banyak menggelar praktek-praktek pengembangan manusia (istilah yang biasa
dipakai adalah human development, self management, melejitkan potensi diri dan
sejenisnya). Dari paradigma liberal ini pula lahir pelatihan/training semacam AMT
(Achievement Motivation Training) yang disusun oleh David Mc Leland. Pelatihan ini
berasumsi bahwa kemelaratan masyarakat disebabkan oleh kurang dimilikinya need of
achievement (virus berprestasi) dalam masyarakat itu. Untuk itu training-training AMT
banyak digelar oleh negara-negara kaya di negara-negara dunia ketiga (development and
under development countries) untuk menyebarkan virus berprestasi di tengah-tengah
rakyatnya.
Pendidikan liberal ternyata tidak berperan banyak untuk mengatasi ketimpangan sosial.
Ideologi developmentalisme yang berada dibelakang paradigma pendidikan ini malah
melahirkan sekelompok masyarakat elit baru yang tidak mau menyentuh masyarakat yang
ada dibawahnya. Efek menetes yang diyakini oleh developmentalisme ternyata hanyalah
khayalan. Masyarakat bawah enggan disentuh karena dipandang mereka sebagai masyarakat
yang malas.
Inilah pola pendidikan yang blaming the victim !
Paradigma pendidikan yang ketiga adalah paradigma pendidikan kritis. Pendidikan kritis
memandang, bahwa pendidikan harus secara utuh meresapi dan menyatu di tengah-tengah
masyarakatnya. Paradigma ini memandang akar ketidakadilan sosial adalah sistem yang
berlaku pada masyarakat itu. Sistem itu dapat berupa sistem politik (yang otoriter dan anti
demokrasi), sistem sosial (yang melestarikan kasta-kasta dan menghambat laju mobilitas
sosial), sistem ekonomi (yang kapitalistik, dan anti kerakyatan) sistem budaya (yang patriaki
dan anti egaliter), bahkan sistem pendidikan itu sendiri (yang menjadi alat pengukuh
kekuasaan dan pro status quo). Untuk itu pendidikan kritis berupaya melahirkan individu-
individu (dan akhirnya masyarakat) yang mampu mendekonstruksi dan merekonstruksi
sistem yang ada. Pola pendidikan inilah yang berupaya untuk diperjuangkan oleh Paulo
Freire, seorang ahli pendidikan dari Amerika Latin yang berupaya untuk menghapuskan buta
huruf sekaligus menggali akar kemelaratan sosial di Brazilia.
Pola pendidikan yang kritis ini nyatanya tidak diminati oleh para ahli pendidikan (yang
memang produk dari pendidikan konservatif) sehingga bentuk prakteknya jarang kita
saksikan di Indonesia. Pendidikan ini lebih populer di kalangan aktifis LSM/NGO kiri yang
anti kemapanan dan pro HAM. Karena itu pula, bangunan ilmiah dari paradigma kritis ini
masih terus tumbuh dan berkembang
Kesadaran Manusia
Setiap praktek pendidikan membentuk kesadaran. Kesadaran ini dapat didefinisikan juga
sebagai pandangan hidup yang menjadi pola (pattern) yang mempengaruhi penerimaan
pengetahuan, sikap dan perilaku yang merupakan hasil transfer dari pendidikan itu. Secara
komunal, kesadaran ini akan menjadi kesadaran masyarakat yang mempengaruhi pola hidup
masyarakat.
Menurut analisis Freire ada tiga kesadaran yang menjadi turunan dari tiga paradigma
pendidikan di atas.
Pertama, adalah kesadaran magis. Secara arkeologis ilmu pengetahuan, kesadaran magis
terbentuk pada masyarakat yang masih mempercayai hal-hal yang supranatural. Masyarakat
ini meyakini bahwa kekuatan terbesar yang mempengaruhi kehidupan mereka adalah hal-hal
yang gaib, mistis, supranatural (luar alam). Sehingga hal-hal gaib ini harus di-tundukkan
dengan sesajen dan doa-doa. Kuntowijoyo menyebut masyarakat ini sebagai masyarakat
pada tahap mitos. Masyarakat dengan kesadaran magis, adalah masyarakat yang
deterministik, pasrah pada takdir. Masyarakat ini akhirnya, nrimo saja terhadap ketidak adilan
sosial yang terjadi. Di tinjau dari paradigma pendidikan, masyarakat dengan kesadaran magis
adalah masyarakat hasil dari pendidikan konservatif.
Kedua, adalah kesadaran naif. Masyarakat dengan kesadaran naif adalah masyarakat yang
memandang bahwa setiap ketidakadilan sosial berakar dari kelemahan manusia. Secara
arkeologis ilmu pengetahuan, masyarakat dengan kesadaran naif terbentuk pada masyarakat
yang percaya bahwa kekuatan natural (alam) adalah kekuatan terbesar yang mempengaruhi
segala masalah di dunia ini. Untuk itu kekuatan alam harus ditundukkan oleh tangan manusia.
Bila alam tak bisa ditundukkan oleh manusia, yang itu akan mengakibatkan kekacauan, maka
manusia itulah yang lalai dan lemah. Untuk itulah maka diciptakan mesin-mesin yang
berfungsi untuk membantu manusia menundukkan alam. Dalam era penciptaan mesin-mesin
yang menggantikan manusia itulah muncul ideologi-ideologi politik dan sosial besar dunia
(kapitalisme dan sosialisme). Sehingga, Kuntowijoyo mengistilahkan masyarakat pada tahap
ini adalah masyarakat pada tahap ideologis. Pendidikan paradigma kedua (liberal) adalah
pendidikan yang memproduksi masyarakat dengan kesadaran ini.
Ketiga, adalah kesadaran kritis. Yaitu masyarakat yang menyadari bahwa kekacauan di dunia
ini diciptakan oleh sistem yang dibuat oleh manusia itu sendiri. Secara arkeologis ilmu
pengetahuan, masyarakat kritis adalah masyarakat yang keyakinannya telah bergeser dari
kepercayaan kekuatan terbesarnya kepada alam menuju kekuatan manusia. Untuk itu
kekuatan manusia yang menjelma pada sistem ini harus ditundukkan dengan ilmu dan
kesadaran kritis. Karena itu pula Kuntowijoyo menyebut masyarakat pada tahap ini dengan
istilah masyarakat ilmu. Hanya pendidikan kritis-lah yang dapat menghasilkan kesadaran
kritis ini.

Tujuan Pendidikan dan Teori Belajar


Secara umum ada tiga tujuan pendidikan yang biasanya ingin dicapai oleh para pelaku
pendidikan. Hal ini berdasarkan pada tiga tindakan sosial (social act) utama manusia yang
diungkapkan Jurgen Habermas. Tiga tindakan itu adalah; tindakan karya (work), tindakan
komunikasi dan tindakan pembebasan.
Pendidikan yang bertujuan karya (work) adalah pendidikan yang bertujuan untuk
menghasilkan manusia-manusia siap guna. Dapat bekerja, baik sendiri maupun bersama-
sama untuk melestarikan dan memajukan sistem yang telah ada. Secara ekstrim, pendidikan
yang bertujuan karya ini akhirnya akan menciptakan manusia yang cinta pada benda mati
(nekrofili) dan tidak cinta pada manusia yang lain (biofili)6. Manusia nekrofili akan merasa
utuh kemanusiaannya jika memiliki harta kekayaan dan kekuasaan, meskipun tidak dicintai
oleh manusia lainnya.
Pendidikan dan pelatihan yang belangsung selama ini hampir 90% bermain pada wilayah
kekaryaan ini. Secara umum pendidikan dengan tujuan kekaryaan ini memakai behaviorisme
sebagai landasan teori belajarnya, disamping juga sedikit teori kognitif dan humanistik.
Berikut ini simpul-simpul teori-teori belajar tersebut menurut Ernest Hilgard dan Gordon
Bower dari Standford University7 :
Dari teori S-R :
o Murid harus aktif
o Frekuensi latihan yang cukup tinggi sangat penting untuk memperoleh ketrampilan dan
retensi (penguatan daya ingatan) dilakukan belajar secara berulang-ulang.
o Sangat diperlukan re-enforcement: murid yang dapat mengulang dengan baik dan
menjawab dengan benar dapat diberi ganjaran.
o Generalisasi dan diskriminasi memberi kesan akan pentingnya praktek dalam konteks yang
bervariasi, sehingga belajar adalah penting bagi jajaran stimuli yang lebih luas.
o Tingkah laku yang baru dicapai lewat peniruan model, pengenalan dan pembentukan
tingkah laku,
o Drive state diperlukan juga, tetapi ini berbeda dari sikap, atau dalam drive state ini mereka
tidak perlu menyesuaikan secara keseluruhan pada prinsip-prinsip drive education yang
didasarkan pada eksperimen penghilangan makanan.
Dari teori kognitif :
o Organisasi pengetahuan yang akan disajikan tidak mengalami arbitrasi. Prosedur penyajian
materi tidak sekedar berlangsung dari yang sederhana hingga yang kompleks, tetapi dari
keseluruhan sampel sampai keseluruhan yang lebih kompleks.
o Secara kultural belajar relatif. Situasi belajar dipengaruhi oleh kebudayaan secara luas
maupun oleh sub-kebudayaan dimana orang merasa memiliki.
o Cognitif feedback semestinya mengkonfirmasikan pengetahuan yang benar dan membuat
koreksi terhadap belajar yang salah. Murid mengusahakan sesuatu secara profesional dan
kemudian menerima atau menolak apa-apa yang dikerjakan atas dasar konsekuensi-
konsekuensi.
o Penentuan tujuan belajar oleh murid sangat penting sebagai motivasi belajar, keberhasilan
dan kegagalan belajar itu sangat menentukan bagaimana ia menetapkan tujuan-tujuan di masa
yang akan datang.
o Pemikiran yang berbeda-beda yang mengacu pada pemilihan alternatif perlu dikembangkan
secara terpadu dan hanya mempunyai satu cara yang logis untuk satu jawaban yang benar.
Dari teori motivasi dan kepribadian :
o Memperhatikan kemampuan masing-masing murid sangat penting. Rata-rata cara dan
waktu belajar masing-masing individu sehingga harus diakomodasikan dalam desain training.
o Perkembangan setelah bayi lahir, pengaruh keturunan, serta bakat dan kemampuan sama
pentingnya untuk diperhatikan.
o Tingkat ketegangan (anxiety) mempengaruhi belajar manusia antara satu individu dan yang
lainnya.
o Situasi yang sama mungkin saja menghasilkan motivasi yang berbeda-beda, tergantung
apakah mereka diarahkan untuk kebutuhan afiliasi atau pencapaian tujuan.
o Organisasi motif dan nilai yang terkandung dalam individu sesuai dengan cara belajarnya.
Orang cenderung belajar apa-apa yang dipandang perlu bagi khusus dirinya.
Tujuan pendidikan yang kedua adalah interaksi atau komunikasi. Pendidikan ini bertujuan
untuk menciptakan masyarakat yang egaliter yang mampu bekerjasama dan berinteraksi
untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan. Dalam dunia industri, pelatihan komunikasi
juga kerap diselenggarakan namun dalam kaitannya sebagai komplemen dari training ke-
karya-an.
Pendidikan komunikasi meniscayakan lingkungan belajar yang saling menghormati,
menghargai, saling terbuka, dan bebas dari saling menghujat. Dalam lingkungan belajar yang
emansipatoris itulah akan muncul segala potensi-potensi individu yang dikelola sedemikian
sehingga menjadi kekuatan kelompok. Pendidikan ini, bila dilepaskan dari kepentingan
kapitalisme, dapat menghantarkan pesertanya menjadi manusia-manusia biofili, manusia
yang lebih menghargai nilai kemanusiaannya manusia yang lain.
Pendidikan komunikasi sebagai wahana pengelolaan kekuatan individu menjadi kekuatan
kelompok (group dynamic) memakai teori psikologi Gestalt sebagai teori belajarnya.
Psikologi Gestalt diciptakan oleh Kurt Lewin dengan simpul-simpul pemikiran sebagai
berikut :
Inti dari konsep pengaruh medan adalah, Sebuah lingkungan selalu beada dalam pengaruh
kekuatan medan. Istilah kekuatan medan diambil dari teori medan magnet ilmu fisika, yang
dalam medan magnet pusat kekuatan terletak pada butir-butir magnet yang masing-masing
mempunyai daya dorong dan daya tarik terhadap satu sama lainnya, sedangkan pada
kelompok manusia, pusat kekuatan medan terletak pada aktor-aktor secara individual yang
berada di suatu lingkungan yang masing-masing memiliki tujuan.
Lewin menjelaskan bahwa perilaku seseorang merupakan fungsi dari kepribadian
(personality) dan pengaruh lingkungan (environment) sekitarnya. B = f (P.E)
Menurut Lewin ada tiga kekuatan yang berpengaruh dalam suatu medan. Yaitu aprreciation
(-), influence (+) dan controll (-/+).
Totalitas dari ketiga kekuatan di atas menciptakan medan yang meneukan jalannnya proses
interaksi sosial, yang disebut dengan group dynamic
Tujuan pendidikan yang ketiga adalah pembebasan. Pendidikan pembebasan bertujuan agar
manusia tidak hanya menyadari kekuatan-kekuatan individunya (yang dilatih dalam training
kekaryaan), namun juga menyadari kekuatan-kekuatan kelompoknya (yang diasah dalam
training interaksi), dan realitas struktural yang melingkupinya, sehingga mereka dapat
membebaskan diri dari struktur yang membelenggunya.
Dalam praktiknya, pendidikan pembebasan lebih banyak memakai asumsi-asumsi training
untuk berinteraksi, sehingga seringkali training interaksi dan pembebasan berbaur menjadi
satu tema, participatory learning.
Bila training untuk interaksi sulit ditemui maka training untuk pembebasan lebih sulit lagi
untuk dijumpai dan didapatkan contohnya. Namun, sekali lagi literatur-literatur dari Paulo
Freire dapat kita jadikan rujukan dalam menggagas training perubahan di masyarakat kita.
Kesimpulan
Dengan banyaknya aliran-aliran dalam ranah filsafat bukan berarti akan membuat semakin
tidak jelasnya konstruksi filsafat pendidikan. Akan tetapi dalam masing-masing aliran dapt
menghasilkan titik temu yang harmonis, yang fungsinya guna mendapatkan gambaran filsafat
pendidikan yang harmonis dan etis serta mempunyai nilai tawar yang lebih qualified.
Wallahualam bi shawab.
Literatur untuk pengembangan lebih lanjut :
Barnadib,Imam,1988, Filsafat Pendidikan, Sistem Dan Metode, Andi Offset, Yogyakarta.
Hadiwiyono,Harun,1980, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Kanisius, Yogyakarta
Hamersma,Harry,1984, Tokoh-Tokoh Filsafat Modern, PT Gramedia, Jakarta
Mudhofir,Ali,1988, Kamus Teori dan Aliran dalam Filsafat, Yogyakarta, Liberty.
Bashori,Tauhid,2004, Pragmatisme Pendidikan, telaah Pemikiran John Dewey,
Hadiwiyono,Harun,1980, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Yogyakarta, Kanisius.
Hamersma,Harry,1984, Tokoh-Tokoh Filsafat Modern, Jakarta, PT Gramedia.
Prasetya ,Filsafat pendidikan , Pustaka Setia,Bandung
Uyoh Sadulloh,.Pengantar filsafat pendidikan, Al-Fabeta,Bandung
Ali saifullah H.A ,Antara Filsafat dan Pendidikan,Ali saifullah H.A,Usaha nasional,Surabaya
Filsafat Pendidikan ,H.B.Hamdani Ali,Kota kembang,Yogyakarta
Mohammad Noor syam ,Filsafat pendidikan dan dasar filsafat Pendidikan pancasila, Usaha
Nasional Surabay

Anda mungkin juga menyukai