Anda di halaman 1dari 24

Tanti Elzi Hayatri

240210150002

IV. HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN


Limbah adalah sisa suatu usaha yang mengandung bahan berbahaya atau
beracun karena sifat, konsentrasi, atau jumlahnya yang dapat membahayakan
lingkungan, kesehatan, kelangsungan hidup manusia atau makhluk hidup lainnya
(Mahida,1984). Menurut Palar (2004), limbah industri adalah semua jenis bahan sisa
atau bahan buangan yang berasal dari hasil samping suatu proses perindustrian.
Menurut Sugiharto (1987) air limbah adalah kotoran dari masyarakat, rumah tangga
dan juga yang berasal dari industri, air tanah, serta buangan lainnya. Menurut
Keputusan MLH No. 112 Tahun 2003 yang dimaksud dengan air limbah domestik
adalah air limbah yang berasal dari usaha dan atau kegiatan permukiman (real estate),
rumah makan (restaurant), perkantoran, perniagaan, apartemen dan asrama.
Limbah perlu dikarakteristik terlebih dahulu sebelum rancangan proses
dimulai. Sifat limbah cair yang perlu diketahui adalah volume aliran, konsentrasi
organik, karakteristik dan toksisitas. Tingkat bahaya keracunan yang disebabkan oleh
limbah juga bergantung pada jenis dan karakteristik limbah.
Praktikum kali ini yaitu tentang pengujian karakteristik berbagai jenis limbah,
diantaranya pengujian karakteristik fisik limbah, pengujian BOD dan DO, pengujian
COD, pengujian bakteri koliform, pengujian bakteri Salmonella-Shigella, dan
perhitungan total mikroorganisme dari limbah. Limbah yang digunakan yaitu limbah
rumah tangga, limbah industry pangan, limbah pertanian, limbah PDAM, dan limbah
tekstil. Tujuan praktikum kali ini yaitu mengenal sifat-sifat limbah cair pertanian,
mengukur nilai BOD beberapa jenis air limbah dengan menggunakan metode
sederhana, mengukur nilai COD beberapa jenis air limbah dengan menggunakan
metode sederhana tanpa refluks.
4.1 Karakteristik Limbah Cair
Sifat fisik dan kimiawi limbah cair penting diketahui untuk keperluan
penangannan, pengolahan maupun teknik manajemen lingkungan (Tobing,1997).
Karakteristik fisik itu sendiri adalah warna, bau, suhu, pH, dan endapan yang
terkandung di dalam sampel tersebut. Berikut hasil pengamatan sifat fisik dan
kimiawi limbah:
Tanti Elzi Hayatri
240210150002

Tabel 1. Hasil Pengamatan Pengujian Karakteristik Fisik Limbah


Perlakuan PDAM L. Rumah Limbah Limbah L.Industri
Tangga Pertanian Tekstil Pangan
pH 6,4 6,2 6,9 6,5 3,2
Suhu 23C 23C 28C 23C 24C
Warna Bening Keruh Putih Bening Putih keruh
berminyak keruh
Bau Tidak Tidak berbau Amis Tidak Asam
berbau berbau
(Sumber : Dokumentasi pribadi, 2017)
Air limbah industri pangan yang digunakan adalah limbah tahu, warna air
limbah tersebut putih keruh. Air limbah PDAM berwarna bening. Air limbah
pertanian berwarna putih keruh. Limbah pertanian biasanya terdiri atas pestisida,
bahan pupuk dan lainnya (Kristianto, 2002). Limbah tekstil berwarna bening karena
air limbah yang diambil sudah beberapa kali melalui penyaringan, bukan langsung
dari buangan limbah yang pertama, dan air limbah rumah tangga yang digunakan
yaitu limbah cuci piring, airnya berwarna keruh karena busa dari sabun dan juga
berminyak karena bekas piring kotor atau wajan kotor. Kekeruhan pada limbah
rumah tangga ditimbulkan oleh adanya bahan-bahan anorganik dan organik yang
terkandung di dalam limbah berupa zat-zat yang mengendap, tersuspensi dan terlarut
(Suriawiria, 2003).
Warna air limbah merupakan ciri kualitatif yang dapat dipakai untuk mengkaji
kondisi umum limbah cair. Air normal tidak berwarna, sehingga tampak bersih,
bening, dan jernih. Bila air tersebut warnanya berubah maka hal ini merupakan salah
satu indikasi bahwa air telah tercemar.
Tingkat kekeruhan air sangat berhubungan erat dengan padatan tersuspensi.
Padatan tersuspensi yaitu bahan-bahan yang melayang dan tidak larut dalam air.
Kekeruhan disebabkan oleh adanya bahan organik dan anorganik yang tersuspensi
dan terlarut. Semakin tinggi kandungan bahan tersuspensi, maka semakin keruh air
limbah tersebut (Effendi, 2003). Warna adalah ciri kualitatif yang dapat dipakai untuk
mengkaji kondisi umum air limbah. Air buangan industri serta bangkai benda organik
yang menentukan warna air limbah itu sendiri (Sugiharto, 1987).
Tanti Elzi Hayatri
240210150002

Limbah PDAM dan limbah tekstil tidak berbau, limbah tekstil seharusnya
berbau tajam, hal ini karena limbah tekstil yang diambil bukan hasil pembuangan
pertama sehingga limbah tidak berbau. Limbah indutri pangan berbau asam karena
limbah yang digunakan limbah tahu, tahu memiliki aroma asam, sehingga limbahnya
berbau asam. Limbah rumah tangga berbau asam ketengikan. Limbah cair
mengeluarkan bau yang sangat tajam akibat pembusukan bahan organik yang
dikandungnya.
Bau yang berasal dari asam-asam yang mudah menguap merupakan gas-gas
hasil fermentasi yang memberikan aroma spesifik, seperti hidrogen sulfida yang
diuraikan oleh bakteri anaerobik kemudian bakteri anaerobik tersebut mereduksi
sulfat menjadi sulfit. Bau ini dapat menyebabkan rasa tidak nyaman serta
mengganggu suasana lingkungan. Untuk menghindari terjadinya bau ini dapat
dilakukan dengan pengawasan pH limbah cair antara 7.2-7.4, dengan demikian dapat
dikurangi akumulasi asam-asam dan pembusukan bahan organik lainnya
(Tobing,1997). Pembusukan air limbah merupakan sumber dari bau air limbah
(Sugiharto, 1987). Hal ini disebabkan karena adanya zat organik terurai secara tidak
sempurna dalam air limbah (Yazied, 2009).
Suhu merupakan suatu indikator adanya polutan yang memiliki temperatur
tinggi, namun tidak bisa berdiri sendiri sebagai parameter karena harus berkaitan
dengan kondisi lain (Mahida, 1984). Suhu air limbah biasanya lebih tinggi daripada
air bersih, karena adanya tambahan air hangat dari perkotaan (Tchobanoglous, 1991).
Berdasarkan hasil pengamatan suhu limbah tahu yaitu 24 oC, suhu ini
merupakan suhu ruang dari tempat praktikum. Menurut literatur, suhu limbah cair
tahu pada umumnya lebih tinggi dari air bakunya, yaitu 400C-460C. Suhu yang
meningkat di lingkungan perairan akan mempengaruhi kehidupan biologis, kelarutan
oksigen dan gas lain, kerapatan air, viskositas, dan tegangan permukaan. Bahan-
bahan organik yang terkandung di dalam buangan industri tahu pada umumnya
sangat tinggi (Herlambang, 2002).
Suhu limbah rumah tangga pada praktikum yaitu 24oC, hal ini berbeda dengan
literatur, diduga suhu tersebut merupakan suhu ruangan pada saat praktikum. Ketidak
Tanti Elzi Hayatri
240210150002

akuratan hasil terjadi karena limbah yang diambil dari pagi, sedangkan praktikum
dilakukan siang hari, sehingga limbah tidak segar lagi dan limbah tidak langsung
diukur. Suhu limbah rumah tangga dipengaruhi oleh proses yang dialami pada
sumbernya serta proses anaerobik yang berlangsung di dalam limbah itu sendiri. Pada
umumnya suhu limbah rumah tangga lebih tinggi dari suhu normal air, bahkan
limbah dari sumber tertentu dapat mencapai 4050o C, misalnya dari sumber-sumber
yang aktivitasnya menggunakan pencucian dalam keadaan panas (Suriawiria, 2003).
Suhu air limbah dipengaruhi oleh proses yang dialami pada sumbernya serta
proses aerobik dan anaerobik yang berlangsung di dalam limbah itu sendiri (Yusuf,
2001). Kodoatie dan Sjarief (2005) menyatakan suhu dari buangan air limbah
biasanya sedikit lebih tinggi dari suhu air minum. Metcalf dan Eddy (2002) yang
menyatakan bahwa temperatur dari air limbah umumnya lebih tinggi dari tempat
persediaan air lokal, karena adanya kegiatan rumah tangga dan industri.
Peningkatan suhu juga berpengaruh pada kemampuan air untuk mengikat
oksigen terlarut, namun demikian perubahan suhu secara ekstrim yang umumnya
berasal dari air buangan dalam proses industri dapat mematikan biota (Cech, 2005).
Metcalf dan Eddy (2002) menambahkan suhu optimal untuk kegiatan bakteri berada
dalam kisaran 25-35C. Pada limbah domestik sendiri, peningkatan suhu
mengakibatkan turunnya kadar oksigen, sehingga menyebabkan terjadinya
pembusukan, dan menimbulkan bau yang tidak sedap (Yusuf, 2001).
Pengukuran pH penting dilakukan pada air limbah, dikarenakan limbah
suasana asam dapat menyebabkan racun yang berbahaya bagi lingkungan. Parameter
pH lingkungan mempengaruhi proses pengolahan biologis, kisaran pH yang baik
yaitu antara 6.5-8.5. Daerah aktivitas pH bagi kehidupan mikroorganisme dibedakan
atas tiga golongan yaitu mikroorganisme asedofilik, mikroorganisme mesofilik
(Neutrofilik) dan mikroorganisme alkalifilik.
pH limbah tahu yang telah diukur dengan pH meter yaitu 3,2. Nilai tersebut
menunjukkan pH tahu yang diamati bersifat asam. Hal ini sesuai dengan literatur, air
limbah industri tahu sifatnya cenderung asam, pada keadaan asam ini zat-zat yang
mudah menguap terlepas. Hal ini mengakibatkan limbah tahu mengeluarkan bau
Tanti Elzi Hayatri
240210150002

asam (busuk) (BPPT, 1997). Berdasarkan KepMenLH no. 51 tahun 1995, baku mutu
pH limbah cair tahu yaitu 6-9, hal ini tidak sesuai dengan hasil pengamatan. pH air
limbah tahu berada dibawah baku mutu, karena pada limbah cair tahu terdapat sisa
asam yang berasal dari proses penggumpalan dalam pembuatan tahu.
Nilai pH air digunakan untuk mengekpresikan kondisi keasaman (konsentrasi
ion hidrogen) air limbah. Skala pH berkisar antara 1-14; kisaran nilai pH 1- 7
termasuk kondisi asam, pH 7-14 termasuk kondisi basa, dan pH 7 adalah kondisi
netral (Siregar, 2005). Skala pH mengacu kepada kekuatan atau konsentrasi dari ion
atau atom hidrogen dalam air. Adanya ion hidrogen dan ion hidroksil diakibatkan
selalu ada proses pemisahan molekul dalam air (Mahida, 1986). Air dengan pH 4
berarti 10 kali lebih asam dari pH 5 (Cech, 2005).
Berikut syarat baku mutu limbah menurut peraturan Mentri Lingkungan
Hidup Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2014 tentang baku mutu air limbah:

Gambar 1. Syarat Baku Mutu Limbah Cair Industri Pangan


Sumber : (MENLH, 2014)
Tanti Elzi Hayatri
240210150002

Gambar 2. Syarat Baku Mutu Limbah Cair Industri Tekstil


Sumber : (MENLH, 2014)

Gambar 3. Syarat Baku Mutu Limbah Cair Industri Tekstil


Sumber : (MENLH, 2014)

Syarat pH limbah menurut baku mutu yaitu antara 6-9. Berdasarkan hasil
pengamatan limbah limbah indutri pangan tidak sesuai dengan baku mutu pH limbah
menurut MENLH. pH limbah indutri pangan yang diamati yaitu 3,2. Apabila nilai pH
kurang dari 6,6 aktifitas bakteri metanogenik dapat terhambat (Rittmann, 2001) dan
diperlukan alkalinitas yang tinggi untuk memastikan kondisi pH netral. Walaupun
limbah cair tahu dalam kondisi asam, namun kondisi ini merupakan kondisi yang
sesuai untuk proses fermentasi bahan organik oleh mikroorganisme yaitu bakteri
Actinomycetes dalam EM-4 dengan pH rendah 3-4 (Sucipto, 2012).
Tanti Elzi Hayatri
240210150002

Praktikum selanjutnya yaitu mengamti endapan yang ada pada limbah dengan
tiga kali pengamatan dengan sampel yang sama setiap minggunya selama 3 minggu.
Berikut hasil pengamatannya :
Tabel 2. Hasil Pengamatan Endapan
Kel Kode Berat Wc+k Wc+k+e Wendapan Berat Endapan
cawan Cawan (W1) (W2) (W3=W2 - W1) (mg/L)
1 4A 3,5514 4,0894 0,0366 0,0366 0,1830
2 2A 4,9802 5,5222 0,1209 0,1289 0,6445
3 8A 4,0211 4,5694 0,0299 0,0299 0,1495
4 5A 4,4742 5,0188 0,0488 0,0488 0,2440
5 3A 4,5216 5,0668 0,0338 0,1690
(Sumber : Dokumentasi pribadi, 2017)
Berdasarkan hasil pengamatan, semua limbah terdapat endapan meskipun
secara kasat mata air tersebut tidak terlihat keruh atau memiliki endapan. Berat
endapan tertinggi hasil penyaringan terdapat pada limbah kelompok 2 dengan nilai
6,445 10-1 mg/L, diikuti limbah kelompok 4 dengan endapan seberat 2,440 10-1
mg/L, limbah kelompok 1 dengan endapan seberat 1,83010-1 mg/L, limbah
kelompok 5 dengan endapan 1,690x10-1 mg/L, dan limbah kelompok 4 dengan
endapan seberat 1,49510-1 mg/L.
4.2 Pengujian BOD (Biohemical Oxygen Demand)
Salah satu cara untuk mengetahui seberapa jauh beban pencemaran pada air
limbah adalah dengan mengukur BOD (Biological Oxygen Demand), dan COD
(Chemical Oxygen Demand) (Masturi, 1997). BOD (Biological Oxygen Demand)
adalah jumlah kebutuhan oksigen yang diperlukan oleh mikroorganisme untuk
mengoksidasi senyawa organik yang ada dalam limbah (Alaerts dan Santika, 1984).
Berkurangnya oksigen selama oksidasi ini sebenarnya selain digunakan untuk
oksidasi bahan organik, juga dalam proses sintesa sel serta oksidasi sel dari
mikroorganisme. Uji BOD ini tidak dapat digunakan untuk mengukur jumlah bahan-
bahan organik yang sebenarnya terdapat di dalam air, tetapi hanya mengukur secara
relatif jumlah konsumsi oksigen yang digunakan untuk mengoksidasi bahan organik
tersebut. Semakin banyak oksigen yang dikonsumsi, maka semakin banyak pula
kandungan bahanbahan organik di dalamnya (Kristanto, 2002).
Tanti Elzi Hayatri
240210150002

Sampel limbah diencerkan dan ditambahkan 2 mL MnSO4, ditambahkan 2 mL


reagen alkali iodida azida, kocok hingga homogen sampai terbentu endapan. Sampel
didiamkan 5-10 menit, lalu ditambahkan 5 mL H2SO4 pekat hingga endapan larut
sempurna, masukkan 25 ml sampel. Setelah itu dititrasi dengan larutan natrium
thiosulfate sampai berwarna kuning jerami, ditambah 3 tetes amilum hingga warna
ungu tua. Catat volum, selanjutnya dilakukan perhitungan BOD. Indikator digunakan
larutan amilum, yang akan membentuk senyawa adsorpsi dengan iodium. Titik akhir
ditandai dengan hilangnya warna biru. Perhitungan nilai DO dan BOD secara
matematis dinyatakan sebagai berikut.
2 2 3 2 2 3 8000
( ) =

(1 2)300
5 =

Oksigen terlarut adalah jumlah oksigen yang ada dalam air dan dinyatakan
dalam mg/l atau ppm (part per million) pada suhu 25oC. Oksigen terlarut dibutuhkan
oleh mikroorganisme dan makhluk hidup lainnya untuk kehidupannya. Adanya
oksigen terlarut di dalam air ini akan mencegah bau yang tidak enak. Semakin tinggi
DO dalam air, semakin baik kehidupan biota airnya. Pemeriksaan BOD diperlukan
untuk menentukan beban pencemaran akibat air buangan penduduk atau industri, dan
untuk mendesain sistem pengolahan biologis bagi air yang tercemar tersebut. Hasil
yang didapat pada uji DO (Dissolve Oxygen) dan BOD (Biochemical Oxygen
Demand) merupakan satuan angka yang menyatakan ketersediaan oksigen di dalam
air limbah. Perbedaannya, pada DO merupakan jumlah ketersediaan oksigen terlarut
yang berasal dari hasil fotosistesis atau absorpsi dengan udara yang digunakan untuk
menganalisa jumlah bahan organik yang ada di dalam air sedangkan BOD merupakan
jumlah banyaknya oksigen yang dibutuhkan oleh bakteri selama penguraian senyawa
organik pada kondisi aerobik.
Penentuan nilai BOD pada percobaan ini adalah dengan menggunakan metode
titrasi winkler yang secara umum banyak digunakan untuk menentukan kadar oksigen
Tanti Elzi Hayatri
240210150002

terlarut. Prinsip metode winkler adalah oksigen didalam sampel akan mengoksidasi
MnSO4 yang ditambahkan ke dalam larutan pada keadaan alkalis, sehingga terjadi
endapan MnO2. Penambahan asam sulfat dan kalium iodida menyebabkan
dibebaskannya iodin yang ekuivalen dengan oksigen terlarut. Iodin yang dibebaskan
tersebut kemudian dianalisis dengan metode titrasi iodometri dengan larutan standard
tiosulfat dan indikator kanji. Berikut ini reaksi dalam metoda Titrasi Winkler yaitu
MnSO4 + 2KOH Mn(OH)2(aq) + K2SO4 (aq)
Mn(OH)2 + 1/2 O2 MnO2(s) + H2O(l)
(endapan)

MnO2 + 2KI + 2H2O Mn(OH)2 + I2 + KOH


I2 + 2Na2S2O3 2NaI + Na2S2O6 (Salmin, 2005).
Berikut hasil pengamatan dan perhitungannya:
Tabel 3. Hasil Pengamatan Pengukuran BOD dan DO pada Limbah
Vtitrasi Vtitrasi
DO0 DO5 BOD
Kel Sampel DO0 DO5
(mg/L) (mg/L) (mg/L)
(mL) (mL)
1 Industri Pangan (Tahu) 0,8 0,6 0,0427 0,0320 1,6
2 Tekstil 0,9 0,8 0,0480 0,0427 0,8
3 Pertanian 1,0 0,8 0,0533 0,0427 1,6
4 Rumah Tangga 1,0 0,8 0,0533 0,0427 1,6
5 PDAM 0,7 0,2 0,0373 0,0107 0,0*
Sumber : (Dokumentasi Pribadi, 2017)
Hasil pengujian kadar BOD limbah industri pangan, limbah pertanian, dan
limbah rumah tangga menunjukkan nilai BOD yang sama yaitu sebesar 1,6 mg/L,
sementara BOD terendah terdapat pada limbah air PDAM dengan BOD 0,0 mg/L.
Nilai BOD limbah tekstil sebesar 0,8 mg/L. Menurut MENLH (2014), kadar
maksimum BOD limbah tekstil yaitu 60 mg/L. Nilai BOD yang rendah menunjukkan
kandungan senyawa organik yang terurai oleh mikroorganisme kecil sehingga
kebutuhan oksigen untuk reaksi biokimia tersebut sedikit. Berdasarkan pernyataan
Alaerts dan Santika (1987) yang menyatakan bahwa batas aman kadar BOD perairan
adalah 1 ppm, dan perairan tercemar umumnya memiliki BOD di atas 4 ppm. Untuk
mengurangi nilai pencemar BOD tersebut dapat dilakukan dengan metode
penambahan desinfektan atau dengan pengendapan kimia.
Tanti Elzi Hayatri
240210150002

Menurut Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 5 Tahun 2012


tentang Baku Mutu Air Limbah Industri Tahu kadar BOD dari industri tahu tersebut
sebesar 252,98 mg/L. Hal ini menandakan limbah tahu yang diuji berada dalam batas
aman. Limbah industri tahu dapat menimbulkan pencemaran yang cukup berat karena
mengandung polutan organik yang cukup tinggi (Pohan, 2008). Limbah cair yang
dihasilkan jumlahnya cukup banyak dan kebanyakan berasal dari air proses
pencucian, perendaman serta pembuangan cairan dari campuran padatan tahu dan
cairan pada proses produksi (Nugraha, 2011). Kadar BOD yang melebihi standar
baku mutu perlu dilakukan pengolahan terlebih dahulu dengan tujuan air limbah yang
dihasilkan tidak mencemari air dan kualitas air sesuai dengan standar baku mutu,
mengingat tingginya potensi pencemaran pada perairan.
Berdasarkaan hasil pengamatan Nilai DO0 untuk semua sampel air limbah
berada pada kisaran 0,03-0,05 mg/L yang mengindikasikan bahwa pada sampel-
sampel tersebut dapat menyebabkan kematian mikroorganisme. Nilai DO0 yang lebih
kecil seperti pada limbah PDAM yang memiliki nilai DO0 terendah dapat diakibatkan
karena sampel tersebut sudah mengalami degradasi padatan organik sehingga
oksigen yang terlarut lebih sedikit dan dapat menyebababkan kesehatan terganggu
apabila dikonsumsi. Nilai DO yang baik untuk air yang digunakan adalah pada
kisaran 5-8 mg/L. Sedangkan nilai DO5 untuk setiap sampel berada pada kisaran 0,01
- 0,04 mg/L, hal ini menandakan DO5 lebih rendah daripada DO0.
Penurunan nilai DO5 menunjukkan adanya proses dekomposisi oleh
mikroorganisme. Semakin tinggi nilai penurunan selama inkubasi, semakin banyak
kandungan organik yang terkandung dalam limbah tersebut. Semakin tinggi nilai DO5
akan berpengaruh pada nilai BOD, di mana nilai BODnya akan semakin tinggi. Nilai
BOD semakin tinggi menunjukkan maka limbah tersebut semakin tercemar bahan
organik dalam jumlah yang tinggi sehingga oksigen yang dibutuhkan
mikroorganisme untuk mengurai senyawa organik semakin tinggi (Sumanti, 2010).
4.3 Pengujian COD (Chemical Oxygen Demand)
COD (Chemical Oxygen Demand) adalah banyaknya oksigen yang diperlukan
untuk mengoksidasi senyawa organik secara kimiawi (Alaerts dan Santika, 1984).
Tanti Elzi Hayatri
240210150002

Prinsip pengujian yang dipakai yaitu COD adalah jumlah oksidan Cr2O72- yang
bereaksi dengan contoh uji dan dinyatakan sebagai mg O2 untuk tiap 1000 ml contoh
uji. Senyawa organik dan anorganik dioksidasi oleh Cr2O72- menghasilkan Cr3+,
jumlah oksidan yang dibutuhkan dinyatakan dalam ekuivalen oksigen (O2 mg/L).
Angka COD merupakan ukuran bagi pencemaran air oleh zat-zat organik yang dapat
dioksidasi melalui proses mikrobiologis dan mengakibatkan berkurangnya oksigen
terlarut di dalam air. Sebagian besar zat organik melalui tes COD ini dioksidasi oleh
K2Cr2O7 dalam keadaan asam yang mendidih optimum.

CaHbOc + Cr2O72- + H+ > CO2 + H2O + 2Cr3+
Ag2SO4

Kuning katalisator Hijau


(Alaerts dan Santika, 1984)
Tahapan pengujiannya adalah dilakukan pengenceran terlebih dahulu supaya
jumlah mikroba yang tumbuh nantinya masih dapat dihitung, karena diduga jumlah
mikroba dalam sampel tergolong banyak. Analisis COD dilakukan dengan
memasukkan sampel ke dalam tabung reaksi sebanyak 2 mL lalu ditambahkan 8 mL
aquades dikocok hingga homogeny, sebanyak 25 ml sampel dipindahkan ke dalam
erlenmeyer kemudian ditambahkan 10 ml K2Cr2O7 (kalium dikromat) dan kocok,
panaskan selama 10 menit setelah itu dinginkan dalam suhu kamar. Digunakan
larutan K2Cr2O7 karena larutan ini mempunyai tingkat kemurnian dan ekivalen yang
tinggi, tidak higroskopik, padat, dan larutannya stabil. Jika setelah penambahan
kalium dikromat sampel masih berwarna hijau, berarti nilai COD dari sampel tersebut
masih tinggi yaitu diatas 1400 ppm maka pengenceran dilakukan lagi dan ditambah
kalium dikromat lagi sampai sampel berubah tidak berwarna (bening). Senyawa
kalium dikromat ini merupakan pengoksidasi yang digunakan sebagai sumber
oksigen (oxiding agent). Tujuan pemanaasan selama 10 menit untuk mempercepat
reaksi berikutnya.
Lalu dititrasikan dengan Na2S2O3 0,1 N hingga berubah menjadi warna kuning
pucat. Lalu ditambahkan pereaksi amilum sebanyak 0,5 ml dan dilanjutkan titrasi
dengan natrium tiosulfat (Na2S2O3) hingga menjadi hijau tosca. Penambahan amilum
Tanti Elzi Hayatri
240210150002

yang dilakukan saat mendekati titik akhir titrasi dimaksudkan agar amilum tidak
membungkus iodida yang dapat menyebabkan sulit untuk lepas kembali sehingga
warna biru sulit untuk lenyap atau hilang yang dapat menganggu pengamatan
perubahan warna pada titik akhir yaitu larutan yang tak berwarna (Zultiniar, 1999).
Kemudian dicatat volume Na2S2O3 yang digunakan untuk titrasi.
Pada prinsipnya pengukuran COD adalah oksidasi oleh larutan kalium
dikromat (K2Cr2O7) dalam keadaan asam dan suhu yang tinggi (pemanasan).
CaHbOc + Cr2O72- CO2 + H2O + Cr3+
Warna kuning warna hijau
Perhitungan nilai COD adalah sebagai berikut:
COD = (Vol. blanko-Vol.sampel) x N Na2S2O3 x 8000 x F
V sampel yang dititrasi (ml)
Contoh perhitungan kelompok 1A:
COD = (5,1-3,0) x 0,1 x 8000 x 2
2,5 (ml)
= 1344 ppm
Dengan rumus tersebut dilakukan penghitungan jumlah COD dari setiap
sampel. Hasil pengamatan dari analisis COD ini dapat dilihat pada tabel 4.
Tabel 4. Hasil Pengamatan Pengukuran COD pada Berbagai Macam Limbah
Vblanko V Na2S2O3
Kel Jenis Limbah FP COD (ppm) Rerata
(mL) (mL)
1 Industri 3,0 1344
2 1472
6 Pangan (Tahu) 2,6 1600
2 5,2 64
Industri Tekstil 2 224
7 5,7 384
3 5,3 320
Pertanian 5,1 5 560
8 5,6 800
4 5,0 160
Rumah Tangga 5 400
9 5,5 640
5 5,3 64
PDAM 1 112
10 5,6 160
Sumber : (Dokumentasi Pribadi, 2017)
Menurut Apriadi (2008), penurunan COD sangat dipengaruhi oleh aktivitas
mikroorganisme. Mikroorganisme akan mengubah bahan organik menjadi bahan
Tanti Elzi Hayatri
240210150002

anorganik dan bahan lainnya serta energi untuk sintesis bakteri tersebut. Karena pada
fase ini bakteri yang banyak tersebut memakan zat-zat yang ada untuk hidup.
Hasil yang didapatkan dalam pengujian COD (Chemical Oxygen Demand),
nilai COD paling tinggi terdapat pada sampel limbah industri tahu kelompok 6 yaitu
dengan nilai 1600 ppm, nilai COD yang paling kecil adalah sampel air PDAM
kelompok 5 dan limbah tekstil kelompok 2 yaitu memiliki COD yang sama sebesar
64 ppm. Rendahnya nilai COD pada limbah tekstil yang diamati karena, limbah
tekstil yang diambil tidak langsung dari pembuangan limbah tersebut, diduga limbah
yang diambil telah melewati beberapa kali aliran dan sudah tercemar sehingga COD
yang didapat rendah. COD adalah banyaknya oksidator kuat yang diperlukan untuk
mengoksidasi zat organik dalam air, dihitung sebagai mg/l O2. Beberapa zat organik
yang tidak terurai secara biologik antara lain asam asetat, asam sitrat, selulosa dan
lignin (zat kayu).
Nilai-nilai COD selalu lebih tinggi dari nilai BOD. Perbedaan di antara kedua
nilai disebabkan oleh banyak faktor seperti bahan kimia yang tahan terhadap oksidasi
kimia, seperti lignin, bahan kimia yang dapat dioksidasi secara kimia dan peka
terhadap oksidasi biokimia tetapi tidak dalam uji BOD 5 hari seperti selulosa, lemak
berantai panjang atau sel-sel mikroba dan adanya bahan toksik dalam limbah yang
akan menggangu uji BOD tetapi tidak uji COD. Sedikitnya kadar oksigen di dalam
air berarti semakin besar jumlah pencemar (organik) di dalam perairan tersebut,
karena itu secara logika dapat berkata bahwa air yang kita konsumsi harus memiliki
kadar COD yang sangat rendah, sehingga dapat disimpulkan bahwa kadar oksigen
untuk mengoksidasi materi organik dalam air limbah tahu sedikit, sedangkan jumlah
pencemar di dalam air limbah banyak.
4.4 Pengujian Bakteri Koliform
Bakteri koliform adalah jenis bakteri yang umum digunakan sebagai indikator
penentuan kualitas sanitasi makanan dan air. Bakteri jenis ini mudah untuk dikultur
dan keberadaannya dapat digunakan sebagai indikator keberadaan bakteri patogen
(Servais et al., 2007). Adanya bakteri coliform/fecal coliform di dalam air
menunjukkan kemungkinan adanya mikroba yang bersifat enteropatogenik dan
Tanti Elzi Hayatri
240210150002

toksigenik yang berbahaya bagi kesehatan (Widiyanti dan Ristiati, 2004). Bakteri
koliform dapat dibedakan menjadi 2 grup yaitu : (1) koliform fekal misalnya
Escherichia coli dan ( 2 ) koliform nonfekal misalnya Enterobacter aerogenes.
Prinsip penentuan angka bakteri coliform adalah bahwa adanya pertumbuhan bakteri
coliform yang ditandai dengan terbentuknya gas pada tabung Durham, setelah
diinkubasikan pada media yang sesuai (Harmita dan Radji, 2008).
Tujuan praktikum ini yaitu menghitung jumlah koliform dari beberapa jenis air
limbah dengan metode MPN. Perhitungan MPN berdasarkan pada jumlah tabung
reaksi yang positif, yakni yang ditumbuhi oleh mikroba setelah diinkubasi pada suhu
dan waktu tertentu. MPN merupakan metode penentuan jumlah bakteri yang tumbuh
pada pengenceran beberapa seri tabung dengan tabel MPN koliform. Pengamatan
tabung yang positif dapat dilihat dengan mengamati timbulnya kekeruhan atau
terbentuknya gas di dalam tabung kecil (tabung durham) yang diletakan terbalik,
yaitu jasad renik yang membentuk gas (Waluyo, 2004). Metode MPN ini lebih baik
dibandingkan dengan metode hitung cawan, karena lebih sensitif dan dapat
mendeteksi koliform dalam jumlah yang sangat rendah dalam sampel air (Supardi dan
Sukamto, 1999). Uji kulaitatif MPN dilakukan dengan tiga tahap pengujian yaitu:
1. Uji Penduga
Tahap pertama adalah menyiapkan 15 tabung reaksi dan persiapkan media yang
akan dipakai. Untuk sampel sebanyak 10 ml ditumbuhkan pada media LBDS
(Lactose Broth Double Stegth). Untuk sampel 1 ml dan 0,1 ml dimasukkan pada
media LBSS (Lactose Broth Single Stegth) yang berkomposisi sama tapi hanya kadar
laktosa setengah dari LBDS yaitu 5 gr. Semua tabung tersebut diinkubasi pada suhu
37oC selama 2 hari. Pengamatan dilakukan dengan mengamati perubahan warna atau
kekeruhan dan ada tidaknya gelembung udara pada tabung durham. Jika terdapat
gelembung udara maka tabung dinyatakan (+). Tanda positif pada tabel hasil
pengamatan menunjukkan adanya bakteri koliform dalam sampel air yang diuji.
2. Uji Penguat
Uji penguat dilakukan dengan mengambil sampel dari tabung uji penduga
yang positif (+). Tabung (+) itu pun harus yang paling representative dari keseluruhan
Tanti Elzi Hayatri
240210150002

tabungnya. Tabung yang representative adalah tabung yang medianya mengalami


perubahan warna seperti kekeruhan akibat bakteri asam yang tumbuh dan juga
memiliki gelembung dalam tabung durhamnya. Sampel diambil dan digoreskan pada
media EMB yang telah beku dalam cawan petri. Eosin Methylene Blue Agar (EMB)
yaitu media yang biasa digunakan untuk menumbuhkan bakteri koliform misalnya
Eschericia Coli. Cawan diinkubasi pada suhu 37oC selama 3 hari. Dipilih suhu 37C
karena media EMB biasa digunakan untuk menumbuhkan bakteri Eschericia Coli.
Kedua bakteri ini tempat hidup biasanya adalah dalam usus manusia, sehingga untuk
menumbuhkan bakteri ini secara optimal maka disesuaikan dengan suhu tubuh
manusia yaitu 37C. Diinkubasi selama 3 hari karena waktu ini dianggap cukup untuk
bakteri tumbuh dan berkembang biak. Hal yang diamati adalah ada atau tidaknya
pertumbuhan koloni fekal atau koloni non fekal.
3. Uji Pelengkap
Uji pelengkap dilakukan dengan mengisolasikan koloni dari hasil uji penguat
pada media NA dan LB. Isolasi pada media NA dilakukan dengan metode goresan
pada agar miring dan mencelupkan koloni pada 10 ml media LB. Kedua tabung
reaksi (NA dan LB) diinkubasi pada suhu 37oC selama 2 hari, dan diamati perubuhan.
Metode yang digunakan untuk membedakan koliform fekal (Escherichia coli) dan
koliform non fekal (Enterobacter aerogenes) adalah dengan melihat perbedaan
kebutuhan dasar metabolisme kedua organisme tersebut. E. coli melakukan
metabolisme lebih banyak didalam media glukosa, yang dapat dilihat dari
indikator merah methyl positif, memproduksi indol, tetapi tidak
memproduksi acetoin (acetil methyl karbinol). Berikut hasil pengamatannya:
Tabel 5. Hasil Pengamatan Uji Bakteri Koliform
Uji Penduga
Nilai
Kel Jenis Limbah LBDS LBDS LBDS Uji Penguat
MPN
10 ml 1 ml 0,1 ml
1 Tahu 3 3 0 2,40 Fekal
2 Tekstil 3 3 3 < 24,00 Fekal
3 Pertanian 3 3 3 < 24,00 Fekal
4 Rumah Tangga 3 3 3 < 24,00 Fekal
5 PDAM 3 0 1 0,39 Non fekal
Sumber : (Dokumentasi Pribadi, 2017)
Tanti Elzi Hayatri
240210150002

Berdasarkan hasil pengamatan menunjukkan bahwa limbah tahu, tekstil,


pertanian, dan limbah rumah tangga pada saat uji penguat terdapat bakteri fekal yang
artinya di dalam limbah tersebut terdapat E.coli, diketahui bakteri ini berasal dari
tinja manusia. Artinya, semakin banyak jumlah bakteri koliform fekal pada limbah
tersebut maka semakin banyak juga jumlah bakteri pathogen lainnya. Dan pada
limbah PDAM terdapat bakteri non fekal, sehingga tidak dilakukan uji penguat. Air
PDAM tidak dilakukan uji penguat karena pada uji penduga, tabung menunjukkan
hasil yang negatif sehingga didapat nilai MPN 0,39 berdasarkan tabel. Nilai MPN
limbah tekstil, pertanian, dan rumah tangga adalah sebesar <24,00. Sedangkan nilai
MPN limbah tahu yaitu sebesar 2,4.
Syarat batas maksimal total bakteri Coliform yang ditetapkan Peraturan
Menteri Kesehatan No. 492/MENKES/Per/IV/2010 dan No. 907/MENKES/SK
/VII/2002 yaitu 0 APM/100 mL sampel. Adanya bakteri coliform di dalam
makanan/minuman menunjukan kemungkinan adanya mikroba yang bersifat
enteropatogenik dan toksigenik yang berbahaya bagi kesehatan.
Semakin tinggi tingkat kontaminasi bakteri coliform, semakin tinggi pula
risiko kehadiran bakteri-bakteri patogen lain yang biasa hidup dalam kotoran manusia
dan hewan. Salah satu contoh bakteri patogen yang kemungkinan terdapat dalam air
terkontaminasi kotoran manusia atau hewan berdarah panas ialah bakteri Escherichia
coli, yaitu mikroba penyebab gejala diare, demam, kram perut, dan muntah-muntah
(Entjang, 2003). Escherichia coli dapat tumbuh di medium nutrien sederhana, dan
dapat memfermentasikan laktosa dengan menghasilkan asam dan gas (Pelczar dan
Chan, 2005).
Adanya bakteri Coliform yang tumbuh pada uji pendugaan, kemudian diuji
lanjut dengan uji penegasan Coliform dan Fecal Coliform karena adanya gas yang
terbentuk di dalam lactosa broth tidak selalu menunjukan jumlah bakteri Coliform,
sebab beberapa bakteri asam laktat misalnya (Lactobacillus bulgaricus dan
Streptococcus thermophylus) mampu memfermentasi laktosa dan membentuk gas.
Batram & Balance, (1996) menyatakan Coliform akan selalu ditemukan pada air yang
kaya akan nutrient, tanah, dan tumbuh-tumbuhan yang membusuk.
Tanti Elzi Hayatri
240210150002

4.5 Pengujian Bakteri Salmonella dan Shigella


Bakteri pathogen yang sering terdapat dalam air di sekitar lingkungan tempat
tinggal adalah Salmonella yaitu bakteri penyebab penyakit tifus/paratifus, serta
Shigella yaitu bakteri penyebab penyakit disentribasiler. Diperlukan pengujian
terhadap bakteri tersebut pada air limbah untuk memastikan apakah air tersebut
berbahaya jika terpakai untuk kegiatan sehari-hari.
Salmonella tumbuh optimal pada suhu 35 -37oC (DAoust, 2000). Jay (2000)
menjelaskan bahwa secara umum Salmonella tidak mampu memfermentasi laktosa,
sukrosa, atau salisin, namun glukosa dan beberapa jenis monosakarida tertentu dapat
difermentasi dengan disertai produksi gas. Bell dan Kyriakides (2003) menjelaskan
bahwa Salmonella umumnya cepat dibunuh dengan panas dalam bahan pangan
dengan aktivitas air (aw) yang tinggi, jika bahan pangan dengan aktivitas air yang
rendah, butuh suhu yang lebih tinggi untuk membunuhnya.
Tujuan pengujian ini adalah untuk mendeteksi danya bakteri Salmonella dan
Shigella pada sampel limbah secara kualitatif. Pengujian adanya bakteri Salmonella-
Shigella dilakukan menjadi 4 tahapan, yaitu:
1. Perbanyakan
Tahap perbanyakan dilakukan dengan menginokulasikan 1 ml sampel air
limbah ke dalam 9 ml media TTB (Tetrathionat Broth), kemudian diinkubasi selama
16 jam pada suhu 37oC. Pada saat inkubasi terjadi fase logaritmik, selain itu waktu
inkubasi tidak boleh melebihi 16 jam, karena bakteri yang akan tumbuh bukan
Salmonella sp atau Shigella, melainkan bakteri koliform.
2. Seleksi
Setelah masa inkubasi 16 jam, diambil 1 ose dan digoreskan pada cawan
berisi SSA beku, kemudian diinkubasi kembali selama 18-24 jam pada suhu 37oC.
Saat inkubasi terjadi proses seleksi karena bakteri yang bisa tumbuh pada media SS
hanya bakteri Salmonella dan Shigella.
3. Isolasi
Koloni yang telah tumbuh pada cawan media SSA ditusukkan pada SS Agar
miring untuk diisolasi pada proses inkubasi selama 24 jam pada suhu 35oC.
Tanti Elzi Hayatri
240210150002

4. Identifikasi
Hasil koloni yang tumbuh pada SSA miring diamati ada tidaknya ciri-ciri
tumbuhnya Salmonella atau Shigella. Jika pada koloni terdapat area keruh atau pun
bening yang memiliki titik warana hitam ditengah-tengahnya maka pada koloni
terdapat Salmonella. Titik hitam adalah warna yang diakibatkan sulfur yang
dihasilkan oleh bakteri Salmonella. Apabila pada koloni terdapat area berwarna
pink/merah muda maka tidak ada produk sulfur, yaitu Shigella.
Prinsip seleksi Salmonella dan Shigela dengan media SSA ini adalah
menghambat pertumbuhan bakteri koliform oleh asetat dan bile salt. Enterobakter
seperti koliform akan menghasilkan koloni berwarna merah ketika tidak berhasil
dihambat pertumbuhannya. Koloni merah ini terbentuk akibat kemampuannya untuk
memfermentasi laktosa dan menghasilkan asam yang dengan adanya indikator netral
red menghasilkan koloni berwarna merah. Sedangkan bakteri patogenik seperti
Salmonella dan Shigela yang tidak memfermentasi laktosa menjadi asam akan
menghasilkan koloni bening. Selanjutnya dengan adanya sodium thiosulfat dan ferric
citrate akan membuat bagian tengah dari koloni Salmonella menjadi berwarna hitam
yang menunjukkan adanya produksi gas H2S oleh Salmonella (Pub. Health Reports,
1950). Berikut hasil pengamatannya:
Tabel 6. Hasil Pengamatan Uji Bakteri Salmonella dan Shigella
Kel Salmonella Shigella Gambar
1 negatif negatif

2 Positif Negatif

3 Positif Positif

4 Negatif Positif

5 Negatif Positif

Sumber : (Dokumentasi Pribadi, 2017)


Tanti Elzi Hayatri
240210150002

Berdasarkan hasil pengamatan, dapat dilihat bahwa limbah tekstil dan limbah
pertanian ditemukan Salmonella yang ditandai dengan adanya warna hitam pada
cawan petri. Sedangkan pada limbah tahu, tekstil dan rumah tangga tidak ditemukan
warna hitam pada cawan sehingga tidak ada Salmonella yang tumbuh. Warna hitam
ini berasal dari H2S (asam sulfida) dari media SSA. Sedangkan limbah rumah tangga,
pertanian, dan limbah PDAM ditemukan Shigella yang ditandai dengan warna pink
berbayang. Shigella seharusnya tidak tumbuh pada air PDAM, hal ini dapat
disebabkan karena pada saat praktikum, penggunaan ruangan yang sama dengan
pengujian limbah yang lain sehingga dapat tersebar melalui lingkungan. Air yang
terkontaminasi dengan limbah buangan manusia dan penanganan tidak higienis oleh
orang yang memproduksi pangan adalah kontaminasi yang paling umum terjadi.
Penyebab terdapatnya koloni Salmonella masih belum bisa diidentifikasi
sumbernya, karena air limbah tekstil umumnya berasal dari proses produksi yang
melibatkan pengkanjian, pewarnaan, pemutihan, dan printing yang bukan sumber
tumbuhnya bakteri pathogen Salmonella.
Tanti Elzi Hayatri
240210150002

V. KESIMPULAN
5.1 Pengujian Karakteristik Fisik
1. Warna limbah timbul akibat adanya suatu bahan terlarut atau suspensi di
dalam air. Warna limbah yang paling keruh yaitu air limbah pertanian dan
limbah industri pangan.
2. Bau pada limbah timbul karena adanya kegiatan mikroorganisme yang
menguraikan zat organik sehingga menghasilkan gas tertentu seperti pada
limbah industri pangan yang berbau asam dan limbah pertanian berbau busuk.
3. Suhu air limbah paling tinggi yaitu air limbah pertanian sebesar 28C dan
yang terendah sebesar 28C yaitu limbah rumah tangga, PDAM, dan limbah
tekstil .
4. Urutan limbah yang memiliki pH terendah sampai tertinggi adalah limbah
pertanian, tekstil, PDAM, rumah tangga, dan limbah tahu.
5. Berat endapan tertinggi hasil penyaringan terdapat pada limbah kelompok 2
dengan nilai 6,445 10-1 mg/L, dan yang terendah limbah kelompok 4 dengan
endapan seberat 1,49510-1 mg/L.
5.2 Pengujian BOD dan DO
1. Nilai DO5 pada semua sampel turun dari nilai DO0.
2. Kadar BOD tertinggi yaitu limbah industri pangan, limbah pertanian, dan
limbah rumah tangga yaitu sebesar 1,6 mg/L, sementara BOD terendah
terdapat pada limbah air PDAM dengan BOD 0,0 mg/L.
5.3 Pengujian COD
1. Nilai COD paling tinggi terdapat pada sampel limbah industri tahu kelompok
6 yaitu dengan nilai 1600 ppm, nilai COD yang paling kecil adalah sampel air
PDAM kelompok 5 dan limbah tekstil kelompok 2 yaitu memiliki COD yang
sama sebesar 64 ppm.
2. Tingginya nilai COD menunjukkan bahwa kebutuhan oksigen yang
diperlukan untuk mengoksidasi limbah secara kimia semakin tinggi yang
mengindikasikan tingginya kandungan senyawa organik maupun anorganik
dalam suatu limbah.
Tanti Elzi Hayatri
240210150002

5.4 Pengujian Bakteri Koliform


1. Nilai MPN limbah tekstil, pertanian, dan rumah tangga adalah sebesar <24,00.
Sedangkan nilai MPN limbah tahu yaitu sebesar 2,4 CFC/ml.
2. Hasil perhtungan MPN terendah dihasilkan oleh air mineral sebesar 0,39
CFC/ml tidak dilakukan uji penguat.
3. Seluruh sampel limbah menghasilkan bakteri fekal pada saat pengujian
kecuali limbah PDAM.
5.5 Pengujian Bakteri Salmonella Shigella
1. Sampel limbah yang mengandung Salmonella didapatkan oleh limbah air
tekstil dan limbah pertanian.
2. Sampel limbah yang mengandung Shigella yaitu limbah rumah tangga,
pertanian, dan limbah PDAM.
3. Air yang terkontaminasi Salmonella dan Shigella dapat menyebabkan
penyakit dan membahayakan kesehatan.
Tanti Elzi Hayatri
240210150002

DAFTAR PUSTAKA
Alaerts, G., and S.S. Santika. 1984. Metode Penelitian Air. Penerbit Usaha Nasional,
Surabaya.
Alaerts, G. dan S. Santika. 1987. Metoda Penelitian Air. Usaha Nasional, Surabaya.
Apriadi, T. 2008. Kombinasi bakteri dan tumbuhan air sebagai bioremediator dalam
mereduksi kandungan bahan organik limbah kantin Bogor (ID). Institut
Pertanian Bogor, Bogor.
Bartram, J.and R. Balance. 1996. Water Quality Monitoring A Practical guide to
the design and implementation of freshwater quality studies and monitoring
programmes. World Health Organization, Geneva.
Bell, C. dan A. Kyriakides. 2003. Salmonella. Woodhead Publishing Limited.
Cambrige, England.
BPPT, 1997a. Teknologi Pengolahan Limbah Tahu-Tempe Dengan Proses Biofilter
Anaerob dan Aerob. Available at: http://www.enviro.bppt.go.id/-Kel-1/.
[Diakses tanggal 2 Mei 2017]
Cech, T.V. 2005. Principles of Water Resources History, Development, Management,
and Policy. Second Edition. Wiley, USA.
DAoust, J.Y. 2000. Salmonella. Di dalam : Doyle, M.P. (eds.). Foodborne Bacterial
Pathogens. Marcel Dekker, Inc. New York.
Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air bagi Pengelola Sumber Daya dan Lingkungan
Perairan. Penerbit Kanusius, Yogyakarta.
Entjang, I. 2003. Mikrobiologi dan Parasitologi untuk Akademi Keperawatan dan
Sekolah Tenaga Kesehatan yang Sederajat. Citra Adtya Bakti, Bandung.
Gubernur Jawa Tengah. 2012. Peraturan Daerah Propinsi Jawa Tengah Nomor 5
Tahun 2012 tentang Baku Mutu Air Limbah Rumah Sakit Di Propinsi Jawa
Tengah.
Harmita dan M. Radji. 2008. Buku Ajar Analisis Hayati. Penerbit Buku Kedokteran
EGC, Jakarta.
Herlambang. 2002. Teknologi Pengolahan Sampah dan Air Limbah. Available at :
Jurnal.bppt.go.id/index.php/JAI/article/download/281/280. [Diakses pada 27
Mei 2017].
Jay, J. M. 2000. Modern Food Microbiology. Aspen Publisher, Inc. Gaithersburg,
Maryland.
Tanti Elzi Hayatri
240210150002

Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup. Nomor 51 Tahun 1995 tentang Baku
Mutu Air Limbah Domestik. MENLH, Jakarta.
Kodoatie, R.J. dan R. Sjarief. 2005. Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu. Penerbit
Andi, Yogyakarta.
Kristanto, P. 2002. Ekologi Industri. Penerbit Andi Offest, Yogyakarta.
Mahida, U.N. 1984. Pencemaran Air dan Pemanfaatan Limbah Industri. Penerbit PT.
Rajawali Grafindo, Jakarta.
Mahida, U.N.1986. Pencemaran Air dan Pemanfaatan Limbah Industri. Penerbit CV.
Rajawali, Jakarta.
Masturi. 1997. Pengambilan Minyak Kedelai PraProses Pembuatan Tahu. Laporan
Penelitian Badan Penelitian dan Pengembangan Industri, Semarang.
Menteri Kesehatan RI. 2010. SyaratSyarat Dan Pengawasan Kualitas Air Minum.
PERMENKES NO.492/MENKES/PER/IV/2010.
Menteri Kesehatan RI. 2002. SyaratSyarat Dan Pengawasan Kualitas Air Minum.
PERMENKES NO.907/MENKES/SK/VII/2002.
Menteri Lingkungan Hidup RI. 2014. Tentang Baku Mutu Air Limbah. MENLH,
Jakarta.
Metcalf dan Eddy. 2002. Wastewater Engineering Treatment, Disposal and Reuse.
McGrawHill, New York.
Nugraha, H., dan S. Hari. 2011. Pengukuran Produktivitas dan Waste Reduction
dengan Pendekatan Productivity. Institut Teknologi Sepuluh Nopember,
Surabaya.
Palar, H. 2004. Pencemaran dan toksikologi logam berat. Penerbit Rineka cipta,
Jakarta. p. 78-86.
Pelczar, dan Chan. 2005. Dasar-dasar Mikrobiologi. Penerbit Universitas
Indonesia (UI-Press), Jakarta.
Pohan, N. M. 2008. Pengolahan Limbah Cair Industri Tahu dengan Proses Biofilter
Aerobik. Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan.

Rittman, & Mc Carthy. 2001. Enviromental Biotechnolog Principles and Application.


McGraw Hill International Ed, New York.
Salmin. 2005. Oksigen Terlarut (DO) dan Kebutuhan Oksigen Biologi (BOD) sebagai
Salah Satu Indikator untuk Menentukan Kualitas Perairan. Oseana, Vol.
XXX, No. 3, 2005, hal. 21-56.
Tanti Elzi Hayatri
240210150002

Servais, P., G. Billen, A. Goncalves, and T. Garcia-Armisen. 2007. Modelling


microbiological water quality in the Seine river drainage network: past,
present and future situations. Hydrol. Earth Syst. Sci. 11:1581-1592
Siregar, S.A. 2005. Instalasi Pengolahan Air Limbah. Kanisius, Yogyakarta.
Sucipto, C.D. 2012. Teknologi Pengolahan Daur Ulang Sampah. Goysen Publishing,
Yogyakarta.
Sugiharto. 1987. Dasar-Dasar Pengolahan Air Limbah. Penerbit Universitas
Indonesia, Jakarta.
Sumanti M, D. dan Rialita, T. 2010. Penanganan Limbah Industri Pangan. Bahan
Ajar Fakultas Teknologi Industri Pertanian, Bandung.
Supardi, I. dan Sukamto. 1999. Mikrobiologi dalam Pengolahan dan Keamanan
Pangan. Penerbit Alumni, Bandung.
Suriawiria, U. 2003. Mikrobiologi Air dan Dasar-Dasar Pengolahan Buangan Secara
Biologis. Penerbit PT. Alumni, Bandung.
Tchobanoglous, G. 1991. Teknik Sumber Daya Air. Erlangga, Jakarta.
Tobing P. L. 1997. Minimalisasi dan Pemanfaatan Limbah Cair-Padat Pabrik Kelapa
Sawit Dengan Cara Daur Ulang. Pusat Penelitian Kelapa Sawit, Medan.
Waluyo, L. 2004. Mikrobiologi Umum. Penerbit Universitas Muhamadiyah Press,
Malang.
Widiyanti, N. L. P, M. dan N. P. Ristiati. 2004. Analisis kualitatif bakteri koliform
pada depo Air sminumiIsi ulang di kota singaraja bali. Jurnal ekologi
kesehatan. 3 (1) : 64-73.
Yazied, N. 2009. Analisis Limbah pada Instalasi Pengolahan Air Limbah. Universitas
Brawijaya, Malang.
Yusuf, A. dan S.H. Berry. 2001. Pengolahan Limbah Kulit Pisang Menjadi Pektin
Dengan Metode Ekstraksi. Universitas Diponegoro, Semarang.

Anda mungkin juga menyukai