240210150002
Limbah PDAM dan limbah tekstil tidak berbau, limbah tekstil seharusnya
berbau tajam, hal ini karena limbah tekstil yang diambil bukan hasil pembuangan
pertama sehingga limbah tidak berbau. Limbah indutri pangan berbau asam karena
limbah yang digunakan limbah tahu, tahu memiliki aroma asam, sehingga limbahnya
berbau asam. Limbah rumah tangga berbau asam ketengikan. Limbah cair
mengeluarkan bau yang sangat tajam akibat pembusukan bahan organik yang
dikandungnya.
Bau yang berasal dari asam-asam yang mudah menguap merupakan gas-gas
hasil fermentasi yang memberikan aroma spesifik, seperti hidrogen sulfida yang
diuraikan oleh bakteri anaerobik kemudian bakteri anaerobik tersebut mereduksi
sulfat menjadi sulfit. Bau ini dapat menyebabkan rasa tidak nyaman serta
mengganggu suasana lingkungan. Untuk menghindari terjadinya bau ini dapat
dilakukan dengan pengawasan pH limbah cair antara 7.2-7.4, dengan demikian dapat
dikurangi akumulasi asam-asam dan pembusukan bahan organik lainnya
(Tobing,1997). Pembusukan air limbah merupakan sumber dari bau air limbah
(Sugiharto, 1987). Hal ini disebabkan karena adanya zat organik terurai secara tidak
sempurna dalam air limbah (Yazied, 2009).
Suhu merupakan suatu indikator adanya polutan yang memiliki temperatur
tinggi, namun tidak bisa berdiri sendiri sebagai parameter karena harus berkaitan
dengan kondisi lain (Mahida, 1984). Suhu air limbah biasanya lebih tinggi daripada
air bersih, karena adanya tambahan air hangat dari perkotaan (Tchobanoglous, 1991).
Berdasarkan hasil pengamatan suhu limbah tahu yaitu 24 oC, suhu ini
merupakan suhu ruang dari tempat praktikum. Menurut literatur, suhu limbah cair
tahu pada umumnya lebih tinggi dari air bakunya, yaitu 400C-460C. Suhu yang
meningkat di lingkungan perairan akan mempengaruhi kehidupan biologis, kelarutan
oksigen dan gas lain, kerapatan air, viskositas, dan tegangan permukaan. Bahan-
bahan organik yang terkandung di dalam buangan industri tahu pada umumnya
sangat tinggi (Herlambang, 2002).
Suhu limbah rumah tangga pada praktikum yaitu 24oC, hal ini berbeda dengan
literatur, diduga suhu tersebut merupakan suhu ruangan pada saat praktikum. Ketidak
Tanti Elzi Hayatri
240210150002
akuratan hasil terjadi karena limbah yang diambil dari pagi, sedangkan praktikum
dilakukan siang hari, sehingga limbah tidak segar lagi dan limbah tidak langsung
diukur. Suhu limbah rumah tangga dipengaruhi oleh proses yang dialami pada
sumbernya serta proses anaerobik yang berlangsung di dalam limbah itu sendiri. Pada
umumnya suhu limbah rumah tangga lebih tinggi dari suhu normal air, bahkan
limbah dari sumber tertentu dapat mencapai 4050o C, misalnya dari sumber-sumber
yang aktivitasnya menggunakan pencucian dalam keadaan panas (Suriawiria, 2003).
Suhu air limbah dipengaruhi oleh proses yang dialami pada sumbernya serta
proses aerobik dan anaerobik yang berlangsung di dalam limbah itu sendiri (Yusuf,
2001). Kodoatie dan Sjarief (2005) menyatakan suhu dari buangan air limbah
biasanya sedikit lebih tinggi dari suhu air minum. Metcalf dan Eddy (2002) yang
menyatakan bahwa temperatur dari air limbah umumnya lebih tinggi dari tempat
persediaan air lokal, karena adanya kegiatan rumah tangga dan industri.
Peningkatan suhu juga berpengaruh pada kemampuan air untuk mengikat
oksigen terlarut, namun demikian perubahan suhu secara ekstrim yang umumnya
berasal dari air buangan dalam proses industri dapat mematikan biota (Cech, 2005).
Metcalf dan Eddy (2002) menambahkan suhu optimal untuk kegiatan bakteri berada
dalam kisaran 25-35C. Pada limbah domestik sendiri, peningkatan suhu
mengakibatkan turunnya kadar oksigen, sehingga menyebabkan terjadinya
pembusukan, dan menimbulkan bau yang tidak sedap (Yusuf, 2001).
Pengukuran pH penting dilakukan pada air limbah, dikarenakan limbah
suasana asam dapat menyebabkan racun yang berbahaya bagi lingkungan. Parameter
pH lingkungan mempengaruhi proses pengolahan biologis, kisaran pH yang baik
yaitu antara 6.5-8.5. Daerah aktivitas pH bagi kehidupan mikroorganisme dibedakan
atas tiga golongan yaitu mikroorganisme asedofilik, mikroorganisme mesofilik
(Neutrofilik) dan mikroorganisme alkalifilik.
pH limbah tahu yang telah diukur dengan pH meter yaitu 3,2. Nilai tersebut
menunjukkan pH tahu yang diamati bersifat asam. Hal ini sesuai dengan literatur, air
limbah industri tahu sifatnya cenderung asam, pada keadaan asam ini zat-zat yang
mudah menguap terlepas. Hal ini mengakibatkan limbah tahu mengeluarkan bau
Tanti Elzi Hayatri
240210150002
asam (busuk) (BPPT, 1997). Berdasarkan KepMenLH no. 51 tahun 1995, baku mutu
pH limbah cair tahu yaitu 6-9, hal ini tidak sesuai dengan hasil pengamatan. pH air
limbah tahu berada dibawah baku mutu, karena pada limbah cair tahu terdapat sisa
asam yang berasal dari proses penggumpalan dalam pembuatan tahu.
Nilai pH air digunakan untuk mengekpresikan kondisi keasaman (konsentrasi
ion hidrogen) air limbah. Skala pH berkisar antara 1-14; kisaran nilai pH 1- 7
termasuk kondisi asam, pH 7-14 termasuk kondisi basa, dan pH 7 adalah kondisi
netral (Siregar, 2005). Skala pH mengacu kepada kekuatan atau konsentrasi dari ion
atau atom hidrogen dalam air. Adanya ion hidrogen dan ion hidroksil diakibatkan
selalu ada proses pemisahan molekul dalam air (Mahida, 1986). Air dengan pH 4
berarti 10 kali lebih asam dari pH 5 (Cech, 2005).
Berikut syarat baku mutu limbah menurut peraturan Mentri Lingkungan
Hidup Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2014 tentang baku mutu air limbah:
Syarat pH limbah menurut baku mutu yaitu antara 6-9. Berdasarkan hasil
pengamatan limbah limbah indutri pangan tidak sesuai dengan baku mutu pH limbah
menurut MENLH. pH limbah indutri pangan yang diamati yaitu 3,2. Apabila nilai pH
kurang dari 6,6 aktifitas bakteri metanogenik dapat terhambat (Rittmann, 2001) dan
diperlukan alkalinitas yang tinggi untuk memastikan kondisi pH netral. Walaupun
limbah cair tahu dalam kondisi asam, namun kondisi ini merupakan kondisi yang
sesuai untuk proses fermentasi bahan organik oleh mikroorganisme yaitu bakteri
Actinomycetes dalam EM-4 dengan pH rendah 3-4 (Sucipto, 2012).
Tanti Elzi Hayatri
240210150002
Praktikum selanjutnya yaitu mengamti endapan yang ada pada limbah dengan
tiga kali pengamatan dengan sampel yang sama setiap minggunya selama 3 minggu.
Berikut hasil pengamatannya :
Tabel 2. Hasil Pengamatan Endapan
Kel Kode Berat Wc+k Wc+k+e Wendapan Berat Endapan
cawan Cawan (W1) (W2) (W3=W2 - W1) (mg/L)
1 4A 3,5514 4,0894 0,0366 0,0366 0,1830
2 2A 4,9802 5,5222 0,1209 0,1289 0,6445
3 8A 4,0211 4,5694 0,0299 0,0299 0,1495
4 5A 4,4742 5,0188 0,0488 0,0488 0,2440
5 3A 4,5216 5,0668 0,0338 0,1690
(Sumber : Dokumentasi pribadi, 2017)
Berdasarkan hasil pengamatan, semua limbah terdapat endapan meskipun
secara kasat mata air tersebut tidak terlihat keruh atau memiliki endapan. Berat
endapan tertinggi hasil penyaringan terdapat pada limbah kelompok 2 dengan nilai
6,445 10-1 mg/L, diikuti limbah kelompok 4 dengan endapan seberat 2,440 10-1
mg/L, limbah kelompok 1 dengan endapan seberat 1,83010-1 mg/L, limbah
kelompok 5 dengan endapan 1,690x10-1 mg/L, dan limbah kelompok 4 dengan
endapan seberat 1,49510-1 mg/L.
4.2 Pengujian BOD (Biohemical Oxygen Demand)
Salah satu cara untuk mengetahui seberapa jauh beban pencemaran pada air
limbah adalah dengan mengukur BOD (Biological Oxygen Demand), dan COD
(Chemical Oxygen Demand) (Masturi, 1997). BOD (Biological Oxygen Demand)
adalah jumlah kebutuhan oksigen yang diperlukan oleh mikroorganisme untuk
mengoksidasi senyawa organik yang ada dalam limbah (Alaerts dan Santika, 1984).
Berkurangnya oksigen selama oksidasi ini sebenarnya selain digunakan untuk
oksidasi bahan organik, juga dalam proses sintesa sel serta oksidasi sel dari
mikroorganisme. Uji BOD ini tidak dapat digunakan untuk mengukur jumlah bahan-
bahan organik yang sebenarnya terdapat di dalam air, tetapi hanya mengukur secara
relatif jumlah konsumsi oksigen yang digunakan untuk mengoksidasi bahan organik
tersebut. Semakin banyak oksigen yang dikonsumsi, maka semakin banyak pula
kandungan bahanbahan organik di dalamnya (Kristanto, 2002).
Tanti Elzi Hayatri
240210150002
(1 2)300
5 =
Oksigen terlarut adalah jumlah oksigen yang ada dalam air dan dinyatakan
dalam mg/l atau ppm (part per million) pada suhu 25oC. Oksigen terlarut dibutuhkan
oleh mikroorganisme dan makhluk hidup lainnya untuk kehidupannya. Adanya
oksigen terlarut di dalam air ini akan mencegah bau yang tidak enak. Semakin tinggi
DO dalam air, semakin baik kehidupan biota airnya. Pemeriksaan BOD diperlukan
untuk menentukan beban pencemaran akibat air buangan penduduk atau industri, dan
untuk mendesain sistem pengolahan biologis bagi air yang tercemar tersebut. Hasil
yang didapat pada uji DO (Dissolve Oxygen) dan BOD (Biochemical Oxygen
Demand) merupakan satuan angka yang menyatakan ketersediaan oksigen di dalam
air limbah. Perbedaannya, pada DO merupakan jumlah ketersediaan oksigen terlarut
yang berasal dari hasil fotosistesis atau absorpsi dengan udara yang digunakan untuk
menganalisa jumlah bahan organik yang ada di dalam air sedangkan BOD merupakan
jumlah banyaknya oksigen yang dibutuhkan oleh bakteri selama penguraian senyawa
organik pada kondisi aerobik.
Penentuan nilai BOD pada percobaan ini adalah dengan menggunakan metode
titrasi winkler yang secara umum banyak digunakan untuk menentukan kadar oksigen
Tanti Elzi Hayatri
240210150002
terlarut. Prinsip metode winkler adalah oksigen didalam sampel akan mengoksidasi
MnSO4 yang ditambahkan ke dalam larutan pada keadaan alkalis, sehingga terjadi
endapan MnO2. Penambahan asam sulfat dan kalium iodida menyebabkan
dibebaskannya iodin yang ekuivalen dengan oksigen terlarut. Iodin yang dibebaskan
tersebut kemudian dianalisis dengan metode titrasi iodometri dengan larutan standard
tiosulfat dan indikator kanji. Berikut ini reaksi dalam metoda Titrasi Winkler yaitu
MnSO4 + 2KOH Mn(OH)2(aq) + K2SO4 (aq)
Mn(OH)2 + 1/2 O2 MnO2(s) + H2O(l)
(endapan)
Prinsip pengujian yang dipakai yaitu COD adalah jumlah oksidan Cr2O72- yang
bereaksi dengan contoh uji dan dinyatakan sebagai mg O2 untuk tiap 1000 ml contoh
uji. Senyawa organik dan anorganik dioksidasi oleh Cr2O72- menghasilkan Cr3+,
jumlah oksidan yang dibutuhkan dinyatakan dalam ekuivalen oksigen (O2 mg/L).
Angka COD merupakan ukuran bagi pencemaran air oleh zat-zat organik yang dapat
dioksidasi melalui proses mikrobiologis dan mengakibatkan berkurangnya oksigen
terlarut di dalam air. Sebagian besar zat organik melalui tes COD ini dioksidasi oleh
K2Cr2O7 dalam keadaan asam yang mendidih optimum.
CaHbOc + Cr2O72- + H+ > CO2 + H2O + 2Cr3+
Ag2SO4
yang dilakukan saat mendekati titik akhir titrasi dimaksudkan agar amilum tidak
membungkus iodida yang dapat menyebabkan sulit untuk lepas kembali sehingga
warna biru sulit untuk lenyap atau hilang yang dapat menganggu pengamatan
perubahan warna pada titik akhir yaitu larutan yang tak berwarna (Zultiniar, 1999).
Kemudian dicatat volume Na2S2O3 yang digunakan untuk titrasi.
Pada prinsipnya pengukuran COD adalah oksidasi oleh larutan kalium
dikromat (K2Cr2O7) dalam keadaan asam dan suhu yang tinggi (pemanasan).
CaHbOc + Cr2O72- CO2 + H2O + Cr3+
Warna kuning warna hijau
Perhitungan nilai COD adalah sebagai berikut:
COD = (Vol. blanko-Vol.sampel) x N Na2S2O3 x 8000 x F
V sampel yang dititrasi (ml)
Contoh perhitungan kelompok 1A:
COD = (5,1-3,0) x 0,1 x 8000 x 2
2,5 (ml)
= 1344 ppm
Dengan rumus tersebut dilakukan penghitungan jumlah COD dari setiap
sampel. Hasil pengamatan dari analisis COD ini dapat dilihat pada tabel 4.
Tabel 4. Hasil Pengamatan Pengukuran COD pada Berbagai Macam Limbah
Vblanko V Na2S2O3
Kel Jenis Limbah FP COD (ppm) Rerata
(mL) (mL)
1 Industri 3,0 1344
2 1472
6 Pangan (Tahu) 2,6 1600
2 5,2 64
Industri Tekstil 2 224
7 5,7 384
3 5,3 320
Pertanian 5,1 5 560
8 5,6 800
4 5,0 160
Rumah Tangga 5 400
9 5,5 640
5 5,3 64
PDAM 1 112
10 5,6 160
Sumber : (Dokumentasi Pribadi, 2017)
Menurut Apriadi (2008), penurunan COD sangat dipengaruhi oleh aktivitas
mikroorganisme. Mikroorganisme akan mengubah bahan organik menjadi bahan
Tanti Elzi Hayatri
240210150002
anorganik dan bahan lainnya serta energi untuk sintesis bakteri tersebut. Karena pada
fase ini bakteri yang banyak tersebut memakan zat-zat yang ada untuk hidup.
Hasil yang didapatkan dalam pengujian COD (Chemical Oxygen Demand),
nilai COD paling tinggi terdapat pada sampel limbah industri tahu kelompok 6 yaitu
dengan nilai 1600 ppm, nilai COD yang paling kecil adalah sampel air PDAM
kelompok 5 dan limbah tekstil kelompok 2 yaitu memiliki COD yang sama sebesar
64 ppm. Rendahnya nilai COD pada limbah tekstil yang diamati karena, limbah
tekstil yang diambil tidak langsung dari pembuangan limbah tersebut, diduga limbah
yang diambil telah melewati beberapa kali aliran dan sudah tercemar sehingga COD
yang didapat rendah. COD adalah banyaknya oksidator kuat yang diperlukan untuk
mengoksidasi zat organik dalam air, dihitung sebagai mg/l O2. Beberapa zat organik
yang tidak terurai secara biologik antara lain asam asetat, asam sitrat, selulosa dan
lignin (zat kayu).
Nilai-nilai COD selalu lebih tinggi dari nilai BOD. Perbedaan di antara kedua
nilai disebabkan oleh banyak faktor seperti bahan kimia yang tahan terhadap oksidasi
kimia, seperti lignin, bahan kimia yang dapat dioksidasi secara kimia dan peka
terhadap oksidasi biokimia tetapi tidak dalam uji BOD 5 hari seperti selulosa, lemak
berantai panjang atau sel-sel mikroba dan adanya bahan toksik dalam limbah yang
akan menggangu uji BOD tetapi tidak uji COD. Sedikitnya kadar oksigen di dalam
air berarti semakin besar jumlah pencemar (organik) di dalam perairan tersebut,
karena itu secara logika dapat berkata bahwa air yang kita konsumsi harus memiliki
kadar COD yang sangat rendah, sehingga dapat disimpulkan bahwa kadar oksigen
untuk mengoksidasi materi organik dalam air limbah tahu sedikit, sedangkan jumlah
pencemar di dalam air limbah banyak.
4.4 Pengujian Bakteri Koliform
Bakteri koliform adalah jenis bakteri yang umum digunakan sebagai indikator
penentuan kualitas sanitasi makanan dan air. Bakteri jenis ini mudah untuk dikultur
dan keberadaannya dapat digunakan sebagai indikator keberadaan bakteri patogen
(Servais et al., 2007). Adanya bakteri coliform/fecal coliform di dalam air
menunjukkan kemungkinan adanya mikroba yang bersifat enteropatogenik dan
Tanti Elzi Hayatri
240210150002
toksigenik yang berbahaya bagi kesehatan (Widiyanti dan Ristiati, 2004). Bakteri
koliform dapat dibedakan menjadi 2 grup yaitu : (1) koliform fekal misalnya
Escherichia coli dan ( 2 ) koliform nonfekal misalnya Enterobacter aerogenes.
Prinsip penentuan angka bakteri coliform adalah bahwa adanya pertumbuhan bakteri
coliform yang ditandai dengan terbentuknya gas pada tabung Durham, setelah
diinkubasikan pada media yang sesuai (Harmita dan Radji, 2008).
Tujuan praktikum ini yaitu menghitung jumlah koliform dari beberapa jenis air
limbah dengan metode MPN. Perhitungan MPN berdasarkan pada jumlah tabung
reaksi yang positif, yakni yang ditumbuhi oleh mikroba setelah diinkubasi pada suhu
dan waktu tertentu. MPN merupakan metode penentuan jumlah bakteri yang tumbuh
pada pengenceran beberapa seri tabung dengan tabel MPN koliform. Pengamatan
tabung yang positif dapat dilihat dengan mengamati timbulnya kekeruhan atau
terbentuknya gas di dalam tabung kecil (tabung durham) yang diletakan terbalik,
yaitu jasad renik yang membentuk gas (Waluyo, 2004). Metode MPN ini lebih baik
dibandingkan dengan metode hitung cawan, karena lebih sensitif dan dapat
mendeteksi koliform dalam jumlah yang sangat rendah dalam sampel air (Supardi dan
Sukamto, 1999). Uji kulaitatif MPN dilakukan dengan tiga tahap pengujian yaitu:
1. Uji Penduga
Tahap pertama adalah menyiapkan 15 tabung reaksi dan persiapkan media yang
akan dipakai. Untuk sampel sebanyak 10 ml ditumbuhkan pada media LBDS
(Lactose Broth Double Stegth). Untuk sampel 1 ml dan 0,1 ml dimasukkan pada
media LBSS (Lactose Broth Single Stegth) yang berkomposisi sama tapi hanya kadar
laktosa setengah dari LBDS yaitu 5 gr. Semua tabung tersebut diinkubasi pada suhu
37oC selama 2 hari. Pengamatan dilakukan dengan mengamati perubahan warna atau
kekeruhan dan ada tidaknya gelembung udara pada tabung durham. Jika terdapat
gelembung udara maka tabung dinyatakan (+). Tanda positif pada tabel hasil
pengamatan menunjukkan adanya bakteri koliform dalam sampel air yang diuji.
2. Uji Penguat
Uji penguat dilakukan dengan mengambil sampel dari tabung uji penduga
yang positif (+). Tabung (+) itu pun harus yang paling representative dari keseluruhan
Tanti Elzi Hayatri
240210150002
4. Identifikasi
Hasil koloni yang tumbuh pada SSA miring diamati ada tidaknya ciri-ciri
tumbuhnya Salmonella atau Shigella. Jika pada koloni terdapat area keruh atau pun
bening yang memiliki titik warana hitam ditengah-tengahnya maka pada koloni
terdapat Salmonella. Titik hitam adalah warna yang diakibatkan sulfur yang
dihasilkan oleh bakteri Salmonella. Apabila pada koloni terdapat area berwarna
pink/merah muda maka tidak ada produk sulfur, yaitu Shigella.
Prinsip seleksi Salmonella dan Shigela dengan media SSA ini adalah
menghambat pertumbuhan bakteri koliform oleh asetat dan bile salt. Enterobakter
seperti koliform akan menghasilkan koloni berwarna merah ketika tidak berhasil
dihambat pertumbuhannya. Koloni merah ini terbentuk akibat kemampuannya untuk
memfermentasi laktosa dan menghasilkan asam yang dengan adanya indikator netral
red menghasilkan koloni berwarna merah. Sedangkan bakteri patogenik seperti
Salmonella dan Shigela yang tidak memfermentasi laktosa menjadi asam akan
menghasilkan koloni bening. Selanjutnya dengan adanya sodium thiosulfat dan ferric
citrate akan membuat bagian tengah dari koloni Salmonella menjadi berwarna hitam
yang menunjukkan adanya produksi gas H2S oleh Salmonella (Pub. Health Reports,
1950). Berikut hasil pengamatannya:
Tabel 6. Hasil Pengamatan Uji Bakteri Salmonella dan Shigella
Kel Salmonella Shigella Gambar
1 negatif negatif
2 Positif Negatif
3 Positif Positif
4 Negatif Positif
5 Negatif Positif
Berdasarkan hasil pengamatan, dapat dilihat bahwa limbah tekstil dan limbah
pertanian ditemukan Salmonella yang ditandai dengan adanya warna hitam pada
cawan petri. Sedangkan pada limbah tahu, tekstil dan rumah tangga tidak ditemukan
warna hitam pada cawan sehingga tidak ada Salmonella yang tumbuh. Warna hitam
ini berasal dari H2S (asam sulfida) dari media SSA. Sedangkan limbah rumah tangga,
pertanian, dan limbah PDAM ditemukan Shigella yang ditandai dengan warna pink
berbayang. Shigella seharusnya tidak tumbuh pada air PDAM, hal ini dapat
disebabkan karena pada saat praktikum, penggunaan ruangan yang sama dengan
pengujian limbah yang lain sehingga dapat tersebar melalui lingkungan. Air yang
terkontaminasi dengan limbah buangan manusia dan penanganan tidak higienis oleh
orang yang memproduksi pangan adalah kontaminasi yang paling umum terjadi.
Penyebab terdapatnya koloni Salmonella masih belum bisa diidentifikasi
sumbernya, karena air limbah tekstil umumnya berasal dari proses produksi yang
melibatkan pengkanjian, pewarnaan, pemutihan, dan printing yang bukan sumber
tumbuhnya bakteri pathogen Salmonella.
Tanti Elzi Hayatri
240210150002
V. KESIMPULAN
5.1 Pengujian Karakteristik Fisik
1. Warna limbah timbul akibat adanya suatu bahan terlarut atau suspensi di
dalam air. Warna limbah yang paling keruh yaitu air limbah pertanian dan
limbah industri pangan.
2. Bau pada limbah timbul karena adanya kegiatan mikroorganisme yang
menguraikan zat organik sehingga menghasilkan gas tertentu seperti pada
limbah industri pangan yang berbau asam dan limbah pertanian berbau busuk.
3. Suhu air limbah paling tinggi yaitu air limbah pertanian sebesar 28C dan
yang terendah sebesar 28C yaitu limbah rumah tangga, PDAM, dan limbah
tekstil .
4. Urutan limbah yang memiliki pH terendah sampai tertinggi adalah limbah
pertanian, tekstil, PDAM, rumah tangga, dan limbah tahu.
5. Berat endapan tertinggi hasil penyaringan terdapat pada limbah kelompok 2
dengan nilai 6,445 10-1 mg/L, dan yang terendah limbah kelompok 4 dengan
endapan seberat 1,49510-1 mg/L.
5.2 Pengujian BOD dan DO
1. Nilai DO5 pada semua sampel turun dari nilai DO0.
2. Kadar BOD tertinggi yaitu limbah industri pangan, limbah pertanian, dan
limbah rumah tangga yaitu sebesar 1,6 mg/L, sementara BOD terendah
terdapat pada limbah air PDAM dengan BOD 0,0 mg/L.
5.3 Pengujian COD
1. Nilai COD paling tinggi terdapat pada sampel limbah industri tahu kelompok
6 yaitu dengan nilai 1600 ppm, nilai COD yang paling kecil adalah sampel air
PDAM kelompok 5 dan limbah tekstil kelompok 2 yaitu memiliki COD yang
sama sebesar 64 ppm.
2. Tingginya nilai COD menunjukkan bahwa kebutuhan oksigen yang
diperlukan untuk mengoksidasi limbah secara kimia semakin tinggi yang
mengindikasikan tingginya kandungan senyawa organik maupun anorganik
dalam suatu limbah.
Tanti Elzi Hayatri
240210150002
DAFTAR PUSTAKA
Alaerts, G., and S.S. Santika. 1984. Metode Penelitian Air. Penerbit Usaha Nasional,
Surabaya.
Alaerts, G. dan S. Santika. 1987. Metoda Penelitian Air. Usaha Nasional, Surabaya.
Apriadi, T. 2008. Kombinasi bakteri dan tumbuhan air sebagai bioremediator dalam
mereduksi kandungan bahan organik limbah kantin Bogor (ID). Institut
Pertanian Bogor, Bogor.
Bartram, J.and R. Balance. 1996. Water Quality Monitoring A Practical guide to
the design and implementation of freshwater quality studies and monitoring
programmes. World Health Organization, Geneva.
Bell, C. dan A. Kyriakides. 2003. Salmonella. Woodhead Publishing Limited.
Cambrige, England.
BPPT, 1997a. Teknologi Pengolahan Limbah Tahu-Tempe Dengan Proses Biofilter
Anaerob dan Aerob. Available at: http://www.enviro.bppt.go.id/-Kel-1/.
[Diakses tanggal 2 Mei 2017]
Cech, T.V. 2005. Principles of Water Resources History, Development, Management,
and Policy. Second Edition. Wiley, USA.
DAoust, J.Y. 2000. Salmonella. Di dalam : Doyle, M.P. (eds.). Foodborne Bacterial
Pathogens. Marcel Dekker, Inc. New York.
Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air bagi Pengelola Sumber Daya dan Lingkungan
Perairan. Penerbit Kanusius, Yogyakarta.
Entjang, I. 2003. Mikrobiologi dan Parasitologi untuk Akademi Keperawatan dan
Sekolah Tenaga Kesehatan yang Sederajat. Citra Adtya Bakti, Bandung.
Gubernur Jawa Tengah. 2012. Peraturan Daerah Propinsi Jawa Tengah Nomor 5
Tahun 2012 tentang Baku Mutu Air Limbah Rumah Sakit Di Propinsi Jawa
Tengah.
Harmita dan M. Radji. 2008. Buku Ajar Analisis Hayati. Penerbit Buku Kedokteran
EGC, Jakarta.
Herlambang. 2002. Teknologi Pengolahan Sampah dan Air Limbah. Available at :
Jurnal.bppt.go.id/index.php/JAI/article/download/281/280. [Diakses pada 27
Mei 2017].
Jay, J. M. 2000. Modern Food Microbiology. Aspen Publisher, Inc. Gaithersburg,
Maryland.
Tanti Elzi Hayatri
240210150002
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup. Nomor 51 Tahun 1995 tentang Baku
Mutu Air Limbah Domestik. MENLH, Jakarta.
Kodoatie, R.J. dan R. Sjarief. 2005. Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu. Penerbit
Andi, Yogyakarta.
Kristanto, P. 2002. Ekologi Industri. Penerbit Andi Offest, Yogyakarta.
Mahida, U.N. 1984. Pencemaran Air dan Pemanfaatan Limbah Industri. Penerbit PT.
Rajawali Grafindo, Jakarta.
Mahida, U.N.1986. Pencemaran Air dan Pemanfaatan Limbah Industri. Penerbit CV.
Rajawali, Jakarta.
Masturi. 1997. Pengambilan Minyak Kedelai PraProses Pembuatan Tahu. Laporan
Penelitian Badan Penelitian dan Pengembangan Industri, Semarang.
Menteri Kesehatan RI. 2010. SyaratSyarat Dan Pengawasan Kualitas Air Minum.
PERMENKES NO.492/MENKES/PER/IV/2010.
Menteri Kesehatan RI. 2002. SyaratSyarat Dan Pengawasan Kualitas Air Minum.
PERMENKES NO.907/MENKES/SK/VII/2002.
Menteri Lingkungan Hidup RI. 2014. Tentang Baku Mutu Air Limbah. MENLH,
Jakarta.
Metcalf dan Eddy. 2002. Wastewater Engineering Treatment, Disposal and Reuse.
McGrawHill, New York.
Nugraha, H., dan S. Hari. 2011. Pengukuran Produktivitas dan Waste Reduction
dengan Pendekatan Productivity. Institut Teknologi Sepuluh Nopember,
Surabaya.
Palar, H. 2004. Pencemaran dan toksikologi logam berat. Penerbit Rineka cipta,
Jakarta. p. 78-86.
Pelczar, dan Chan. 2005. Dasar-dasar Mikrobiologi. Penerbit Universitas
Indonesia (UI-Press), Jakarta.
Pohan, N. M. 2008. Pengolahan Limbah Cair Industri Tahu dengan Proses Biofilter
Aerobik. Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan.