Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Manusia dikenal sebagai makhluk berfikir. Dan hal inilah yang menjadikan
manusia istimewa dibandingkan makhluk lainnya. Kemampuan berpikir atau
daya nalar manusialah yang menyebabkannya mampu mengembangkan
pengetahuan berfilsafatnya. Dia mengetahui mana yang benar dan mana yang
salah, mana yang baik dan mana yang buruk, yang indah dan yang jelek.
Secara terus menerus manusia diberikan berbagai pilihan. Dalam melakukan
pilihan ini manusia berpegang pada filsafat atau pengetahuan. Dengan
berfilsafat manusia akan mampu mencintai kebijaksanaan, sehingga dengan
hal itu manusia mampu menjadi insan yang sempurna, sebab dia bisa
mengoptimalkan akal ini untuk berfikir. Ciri ciri dari filsafat adalah :
1. Radikal, artinya berpikir sampai ke akar-akarnya, hingga sampai pada
hakikat atau substansi yang dipikirkan.
2. Universal, artinya pemikiran filsafat menyangkut pengalaman umum
manusia. Kekhususan berpikir kefilsafatan menurut Jespers terletak pada
aspek keumumannya.
3. Konseptual, artinya merupakan hasil generalisasi dan abstraksi
pengalaman manusia. Misalnya :Apakah Kebebasan itu ?
4. Koheren atau konsisten (runtut). Koheren artinya sesuai dengan kaidah-
kaidah berpikir logis.Konsisten artinya tidak mengandung kontradiksi.
5. Sistematik, artinya pendapat yang merupakan uraian kefilsafatan itu harus
saling berhubungan secara teratur dan terkandung adanya maksud atau
tujuan tertentu.
6. Komprehensif, artinya mencakup atau menyeluruh. Berpikir secara
kefilsafatan merupakan usaha untuk menjelaskan alam semesta secara
keseluruhan.

1
7. Bebas, artinya sampai batas-batas yang luas, pemikiran filsafati boleh
dikatakan merupakan hasil pemikiran yang bebas, yakni bebas dari
prasangka-prasangka sosial, historis, kultural, bahkan relijius.
8. Bertanggungjawab, artinya seseorang yang berfilsafat adalah orang-orang
yang berpikir sekaligus bertanggungjawab terhadap hasil pemikirannya,
paling tidak terhadap hati nuraninya sendiri.
Berpikir, meneliti dan menganalisa adalah proses awal dalam memperoleh
ilmu pengetahuan. Dengan berpikir, seseorang sebenarnya tengah menempuh
satu langkah untuk medapatkan pengetahuan yang baru. Aktivitas berpikir
akan membuahkan pengetahuan jika disertai dengan meneliti dan
menganalisa secara kritis terhadap suatu obyek
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimanakah peran filsafat dan peran ilmu gizi dalam mengatasi masalah
kesehatan masyarakat?
1.3 Tujuan
Menjelaskan peran filsafat dan peran ilmu gizi dalam mengatasi masalah
kesehatan masyarakat.
1.4 Manfaat
Makalah ini ditulis untk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Ilmu dan
sebagai bahan bacaan dan media pengetahuan mengenai Filsafat Ilmu.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 PENGANTAR ILMU FILSAFAT


A. Pengertian Filsafat.
Secara etimologis, istilah filsafat yang merupakan padanan kata falsafah
(bahasa Arab) dan philosophy (bahasa Inggris), berasal dari bahasa Yunani
philosophia. Kata philosophia merupakan kata majemuk yang terdiri dari kata
philos dan sophia. Kata philos berarti kekasih atau sahabat, sedangkan kata sophia
berarti kebijaksanaan atau kearifan atau pengetahuan. Jadi, secara harfiah
philosophia berarti mencintai kebijaksanaan atau sahabat pengetahuan.
Pengertian fisafat menurut beberapa ahli :
1. Para filsuf pra-Sokratik.
Filsafat adalah ilmu yang berupaya untuk memahami hakikat alam
dan realitas ada dengan mengandalkan akal budi.
2. Plato.
Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang berusaha meraih kebenaran
yang asli dan murni. Selain itu, Plato juga mengatakan bahwa filsafat
adalah penyelidikan tentang sebab-sebab dan asas-asas yang paling akhir
dari segala sesuatu yang ada.
3. Aristoteles.
Filsafat adalah ilmu pegetahuan yang senantiasa berupaya mencari
prinsin-prinsip dan penyebab-penyebab dari realitas ada. Aristoteles juga
mengatakan bahwa filsafat adalah ilmu pengetahuan yang berupaya
mempelajari being as being atau being as such.
4. Ren Descartes.
Filsuf Prancis yang terkenal dengan argument je pense, donc e suis,
atau dalam bahasa Latin cogito ergo sum (aku berpikir maka aku ada),
mengatakan bahwa filsafat adalah himpunan dari segala pengetahuan yang
pangkal penyelidikannya adalah mengenai Tuhan, alam dan manusia.1
5. William James.

3
Filsuf Amerika yang terkenal sebagai tokoh pragmatism dan
pluralisme, filsafat adalah suatu upaya yang luar biasa hebat untuk berpikir
yang jelas dan terang.
6. R. F. Beerling.
Filsuf yang pernah menjadi guru besar filsafat di Universitas
Indonesia, dalam bukunya Filsafat Dewasa Ini mengatakan bahwa filsafat
memajukan pertanyaan tentang kenyataan seluruhnya atau tentang
hakikat, asas, prinsip dari kenyataan. Beerling juga mengatakan bahwa
filsafat adalah suatu usaha untuk mencapai radix, atau akar kenyataan
dunia wujud, juga akar pengetahuan tentang diri sendiri.
B. Sifat Dasar Filsafat.
1. Berpikir Radikal.
Berfilsafat berarti berpikir secara radikal. Filsuf adalah pemikir
radikal. Karena berpikir secara radikal, ia tidak akan pernah terpaku
hanya pada fenomena suatu entitas tertentu. Ia tidak akan pernah berhenti
hanya pada suatu wujud realitas tertentu. Keradikalan berpikirnya itu akan
senantiasa mengobarkan hasratnya untuk menemukan akar seluruh
kenyataan. Berpikir radikal tidak berarti hendak mengubah, membuang,
atau menjungkirbalikkan segala sesuatu, melainkan dalam arti yang
sebenarnya, yaitu berpikir secara mendalam, untuk mencapai akar
persoalan yang dipermasalahkan. Berpikir radikal justru hendak
memperjelas realitas, lewat penemuan serta pemahaman akan akar realitas
itu sendiri.
2. Mencari Asas.
Filsafat bukan hanya mengacu kepada bagian tertentu dari realitas,
melainkan kepada keseluruhannya. Dalam memandang keseluruhan
realitas, filsafat senantiasa berupaya mencari asas yang paling hakiki dari
keseluruhan realitas. Mencari asas pertama berarti berupaya menemukan
sesuatu yang menjadi esensi realitas. Dengan menemukan esensi suatu
realitas, realitas itu dapat diketahui dengan pasti dan menjadi jelas.
3. Memburu Kebenaran.

4
Filsuf adalah pemburu kebenaran. Kebenaran yang diburu adalah
kebenaran hakiki tentang seluruh realitas dan setiap hal yang dapat
dipersoalkan. Untuk memperoleh kebenaran yang sungguh-sungguh dapat
dipertanggungjawabkan, setiap kebenaran yang telah diraih harus
senantiasa terbuka untuk dipersoalkan kembali dan diuji demi meraih
kebenaran yang lebih pasti. Jelas terlihat bahwa kebenaran filsafat tidak
pernah bersifat mutlak dan final, melainkan terus bergerak dari suatu
kebenaran menuju kebenaran baru yang lebih pasti.
4. Mencari Kejelasan.
Salah satu penyebab lahirnya filsafat adalah keraguan. Ada filsuf
yang mengatakan bahwa berfilsafat berarti berupaya mendapatkan
kejelasan dan penjelasan mengenai seluruh realitas, ada pula yang
mengatakan bahwa filsuf senantiasa mengejar kejelasan pengertian
(clarity of understanding). Gesler dan Freinberg mengatakan bahwa cirri
khas penelitian filsafat adalah usaha keras demi meraih kejelasan
intelektual (intellectual clarity).
5. Berpikir Rasional.
Berpikir secara radikal, mencari asas, memburu kebenaran, dan
mencari kejelasan tidak mungkin berhasil dengan baik tanpa berpikir
secara rasional. Berpikir secara rasional berarti berpikir secara logis,
sistematis dan kritis.
C. Kegunaan Filsafat.
1. Bagi ilmu pengetahuan (mater scientiarum).
Filsafat berguna untuk melahirkan, merawat, dan mendewasakan
berbagai ilmu pengetahuan.
2. Bagi kehidupan praktis.
- Filsafat membantu manusia untuk memahami artistik (misalnya dalam
menilai bangunan atau arsitek)
- Filsafat menggiring manusia ke pengertian yang terang dan
pemahaman yang jelas.

5
- Filsafat juga menuntun manusia ke tindakan dan perbuatan yang
konkret berdasarkan pengertian yang terang dan pemahaman yang
jelas.
D. Cabang Filsafat.
1. Logika.
Filsafat berusaha untuk memahami watak dari pemikiran yang
benar dan mengungkapkan cara berpikir yang sehat. Satu hal yang
dijumpai dalam seluruh sejarah filsafat adalah ajakannya kepada akal,
argumentasi dan logika. Setiap orang menggunakan argumentasi unutk
menopang pendapat atau membedakan antara argumentasi yang benar dan
yang salah. Logika adalah pengkajian yang sistematis tentang aturan-
aturan unutk menguatkan sebab-sebab yang mengenai konklusi, aturan-
aturan itu dapat dipakai untuk membedakan argumentasi yang baik dari
argumentasi yang tidak baik.
2. Metafisika.
Bagi Aristoteles, isitilah metafisika berarti filsafat pertama (first
philosophy), yaitu pembicaraan tentang prinsip-prinsip yang paling
universal. Istilah tersebut mempunyai arti sesuatu yang di luar kebiasaan
(beyond nature). Metafisika membicarakan watak yang sangat mendasar
(ultimate) dari benda, atau realitas yang berada di belakang pengalaman
yang langsung (immediate experience).
3. Epistemologi.
Secara umum epistemology adalah cabang filsafat yang mengkaji
sumber-sumber, watak, dan kebenaran pengetahuan. Istilah untuk nama
teori pengetahuan adalah epistemologi, yang berasal dari kata Yunani
episteme (pengetahuan). Ada tiga pokok persoalan dalam bidang
epistemologi, yaitu :
a. Apakah sumber-sumber pengetahuan? Darimana pengetahuan yang
benar itu datang? Bagaimana kita mengetahuinya? Ini semua adalah
problema asal (origins).

6
b. Apakah watak dari pengetahuan? Adakah dunia yang riil di luar akal,
dan kalau ada, dapatkah kita mengetahuinya? Ini semua adalah
problema penampilan (appearance) terhadap realitas.
c. Apakah pengetahuan kita itu benar? Bagaimana kita membedakan
antara kebenaran dan kekeliruan? Ini semua adalah problema
mencoba kebenaran (verification).
4. Etika.
Dalam arti yang luas, etika adalah pengkajian soal moralitas.
Dalam moralitas dan etika, ada tiga bidang utama, yaitu :
a. Etika deskriptif (descriptive ethics), yaitu berusaha untuk menjelaskan
pengalaman moral dengan cara deskriptif.
b. Etika normatif (normative ethics), yaitu berusaha merumuskan
perimbangan yang dapat diterima tentang apa yang harus ada dalam
pilihan dan penilaian.
c. Metaetika (metaethics), pada metaetika perhatian dipusatkan kepada
analisa, arti istilah dan bahasa yang dipakai dalam pembicaraan etika,
serta cara berpikir yang dipakai untuk membenarkan pernyataan-
pernyataan etika
E. Hubungan antara Filsafat dengan Ilmu Gizi.
Hubungan antara filsafat dengan ilmu gizi terletak pada pembuktian bahwa
gizi merupakan sebuah ilmu. Dalam penbuktian ini digunakan 3 pilar filsafat
ilmu pengetahuan, yaitu ontologi, epistemologi dan aksiologi. Ontologi yaitu
mengenai apa hakikat yang dikaji oleh ilmu gizi, ilmu gizi mengkaji dan
mempelajari mengena bahan pangan dan zat-zat gizi yang terkandung dalam
bahan pangan tersebut serta dampaknya terhadap kesehatan. Epistemologi
yaitu mengenai cara memperoleh pengetahuan, ilmu gizi diperoleh melalui
pendidikan yang memiliki kompetensi keilmuan dan pendidikan yang
berjenjang. Aksiologi yaitu mengenai nilai kegunaan, ilmu gizi digunakan
unutk mengatasi masalah kesehatan yang berkaitan dengan gizi dan
menentukan asupan yang sesuai untuk penderita penyakit tertentu maupun
diet bagi orang sehat.

7
2.2 AKSIOLOGI DAN ONTOLOGI
A. Definisi Aksiologi dan Ontologi.
Aksiologi
Secara etimologis, aksiologi berasal dari bahasa Yunani axios yang
berarti nilai dan logos yang berarti teori. Terdapat banyak pendapat tentang
pengertian aksiologi. Menurut Jujun S. Suriasumantri aksiologi adalah teori
nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari ilmu pengetahuan yang diperoleh.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1995:19) aksiologi adalah
kegunaan ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia, kajian tentang nilai-
nilai khususnya etika. Menurut Wibisono (dalam Surajiyo, 2009:152)
aksiologi adalah nilai-nilai sebgai tolak ukur kebenaran, etika dan moral
sebagai dasar normatif penelitian dan penggalian, serta penerapan ilmu.
Ontologi
Secara etimologis, ontologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu ontos
yang berarti ada dan logos yang berarti ilmu. Jadi, ontologi adalah ilmu
tentang yang ada. Secara istilah, ontologi adalah ilmu yang membahas
tentang hakikat yang ada, yang merupakan ultimate reality baik yang
berbentuk jasmani/konkret maupun rohani/abstrak (Bakhtiar, 2004).
Sedangkan menurut Suriasumantri (1985), ontologi membahas tentang apa
yang ingin kita ketahui, seberapa jauh kita ingin tahu atau dengan kata lain
suatu pengkajian mengenai teori tentang ada.
B. Ilmu dan Moral.
Ilmu atau science secara harfiah berasal dari kata Latin scire yang
berarti mengetahui. Menurut Suriasumantri (1990), ilmu merupakan hasil
karya perorangan yang dikomunikasikan dan dikaji secara terbuka oleh
masyarakat. Sedangkan moral merupakan tekad manusia untuk menemukan
kebenaran, sebab untuk menemukan kebenaran dan terlebih-lebih lagi untuk
mempertahankan kebenaran diperlukan keberanian moral. Moral berkaitan
dengan metafisika keilmuan, maka masalah moral berkaitan dengan cara
panggunaan pengetahuan ilmiah. Pada era modern ini sudah banyak
ditemukan teknologi canggih dan semakin berkembang. Tetapi
perkembangan ilmu dan teknologi ini tidak selamanya berjalan sesuai dengan

8
tujuan awalnya, yaitu mensejahterakan kehidupan manusia. Jika
perkembangan ilmu dan teknologi dihadapkan dengan moral, maka para
ilmuwan akan terbagi ke dalam dua golongan pendapat. Golongan pertama
ingin melanjutkan tradisi kenetralan ilmu secara total, sedangkan golongan
kedua mencoba menyesuaikan kenetralan ilmu secara pragmatis berdasarkan
perkembangan ilmu dan masyarakat.
Einstein dan Socrates pernah berpendapat bahwa ilmu pengetahuan
juga akan mendatangkan malapetaka bagi manusia. Ilmu pengetahuan politik,
ekonomi, sosial, informasi dan komunikasi, teknologi dan militer bisa saja
mendatangkan kesejahteraan sekaligus menimbulkan malapetaka bagi
manusia. Moral sangat berperan penting untuk mengendalikan penciptaan dan
penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi, karena Ren Descartes pernah
berkata ilmu tanpa moral adalah buta, moral tanpa ilmu adalah bodoh.
C. Objek Aksiologi.
1. Etika.
Etika adalah cabang filsafat yang membahas secara kritis dan
sistematis masalah-masalah moral. Kajian etika lebih fokus pada perilaku,
norma dan adat istiadat manusia. Etika sendiri dalam buku Etika Dasar
yang ditulis oleh Franz Magnis Suseno diartikan sebagai pemikiran kritis,
sistematis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan
moral. Tujuan dari etika adalah agar manusia mengetahui dan mamu
mempertanggungjawabkan apa yang ia lakukan. Didalam etika, nilai
kebaikan dari tingkah laku manusia menjadi sentral persoalan.
Maksudnya adalah tingkah laku yang penuh dengan tanggung jawab, baik
tanggung jawab terhadap diri sendiri, masyarakat, alam maupun terhadap
Tuhan sebagai sang pencipta. Dalam perkembangannya, etika dibedakan
menjadi etika deskriptif dan etika normatif.
a. Etika deskriptif.
Etika deskriptif memberikan gambaran tentang tingkah laku moral
dalam arti yang luas, seperti berbagai norma dan aturan yang berbeda
dalam suatu masyarakat atau individu yang berada dalam kebudayaan
tertentu atau yang berada dalam kurun atau periode tertentu.

9
b. Etika normatif.
Etika normatif dianggap sebagai bagian yang paling penting dalam
studi etika karena ketika mempelajari etika normative muncul
berbagai studi atau kasus yang berkaitan dengan masalah moral. Etika
normative merupakan etika yang mengkaji tentang apa yang harus
dirumuskan secara rasional dan bagaimana prinsip-prinsip etis dan
bertanggung jawab itu dapat digunakan oleh manusia.
2. Estetika.
Estetika merupakan nilai yang mempersoalkan tentang nilai
keindahan. Keindahan mengandung arti bahwa didalam diri segala
sesuatu terdapat unsure-unsur yang tertata secara tertib dan harmonis
dalam satu kesatuan hubungan yang menyeluruh. Maksudnya adalah
suatu objek yang indah bukan semata-mata bersifat selaras serta berpola
baik melainkan harus juga mempunyai kepribadian. Sebenarnya
keindahan bukanlah merupakan suatu kualitas objek, melainkan sesuatu
yang senantiasa bersangkutan dengan perasaan.
D. Metode dalam Ontologi.
Lorens Bagus memperkenalkan tiga tingkatan abstraksi dalam ontologi, yaitu
abstraksi fisik, abstraksi bentuk dan abstraksi metaphisik. Abstraksi fisik
menampilkan keseluruhan sifat khas suatu objek, abstraksi bentuk
mendiskripsikan sifat umum yang menjadi ciri semua sesuatu yang sejenis
dan abstraksi methapisik menengahkan prinsip umum yang menjadi dasar
dari semua raelitas. Sedangkan metode pembuktian dalam ontology oleh
Lorens Bagus dibedakan menjadi dua, yaitu pembuktian apriori dan
pembuktian aposteriori.

2.3 EPISTEMOLOGI
A. Definisi Epistemologi.
Secara etimologi, epistemologi merupakan kata gabungan yang berasal
dari dua kata dalam bahasa Yunani, yaitu episteme yang berarti pengetahuan dan
logos yang lazim dipakai untuk menunjukkan adanya pengetahuan sistematik.
Jadi, epistemologi dapat diartikan sebagai pengetahuan sistematik mengenai

10
pengetahuan. Epistemologi atau teori pengetahuan adalah cabang ilmu filsafat
yang berurusan dengan hakikat dan lingkungan pengetahuan, pengandaian-
pengandaian, dan dasar-dasarnya serta pertanggungjawaban atas pernyataan
pengetahuan yang dimiliki (Hamlyn dalam Bakhtiar, 2004:148).
B. Menganalisis Sains.
Sains menggunakan cara berpikir logis, yaitu dengan menggunakan logika
yang kontinuitas dalam berpikir. Dalam penerapannya, sains menggunakan
langkah-langkah sistematis, artinya dalam proses pemecahan masalah sains
menggunakan langkah-langkah yang teratur sesuai dengan aturan-aturan yang
sudah dibakukan. Langkah-langkah sistematis tersebut berlaku untuk setiap
bidang kajian sains dengan hasil yang sama jika dilakukan pada situasi yang sama.
Selain itu, dalam memecahkan masalah dilakukan berdasarkan pengalaman-
pengalaman yang dapat dirasakan oleh semua orang.
C. Jenis Pengetahuan.
Pengetahuan sains dibedakan menjadi empat jenis pengetahuan, yaitu :
1. Ordinary Knowledge
Pengetahuan yang didasarkan pada akal sehat yang sifatnya umum.
2. Scientific Knowledge
Pengetahuan yang didasarkan pada hasil penelitian dengan prosedur
yang bersifat ilmiah.
3. Philosophical Knowledge
Pengetahuan yang didasarkan pada mencari hakikat esensial dari objek
yang dipelajari.
4. Religious Knowledge
Pengetahuan yang didasarkan pada mempelajari kitab suci.

2.4 ETIKA ILMU


A. Definisi Etika Ilmu.
1. Pengertian etika.
Secara etimologi kata etika artinya adalah watak kesusilaan atau
adat yang berasal dari bahasa Yunani, yaitu ethos dan secara terminologi
etika adalah salah satu cabang filsafat yang membahas tentang tingkah

11
laku manusia atau perbuatan manusia dalam hubungannya dengan baik
dan buruk, tingkah laku, gerak-gerik, kata-kata dan sebagainya.
2. Pengertian ilmu.
Secara etimologi ilmu berarti tahu atau pengetahuan. Kata ilmu
berasal dari bahasa Arab (Alima-Yalamu) dan dari bahasa Latin scrie
yang artinya ingin tahu. Sedangkan secara terminologi, ilmu adalah
semacam pengetahuan yang mempunyai ciri-ciri, tanda-tanda dan syarat-
syarat tertentu. Dapat dipahami bahwa ilmu adalah sekumpulan
pengetahuan yang disusun secara sistematis berdasarkan pengalaman dan
pengamatan yang kemudian dihubungkan berdasarkan pemikiran yang
cermat dan telliti kemudian dapat dipertanggungjawabkan dengan
berdasarkan metode dan akan terus dikembangkan oleh para ahlinya
sehingga tertuju pada titik kesempurnaan.
B. Etika Ilmuwan dan Fungsi Beretika.
Etika ilmuwan disini maksudnya adalah etika yang dimiliki oleh seorang
ilmuwan, yaitu sikap bertanggung jawab terhadap apa yang akan diakibatkan oleh
hasil penelitian atau penemuannya. Etika berperan sebagai pengendali atas apa
yang benar dan apa yang salah dalam penciptaan pengetahuan dan teknologi.
Ilmuwan harus tau pasti akan digunakan untuk apa pengetahuan dan teknologi
yang diciptakannya, apakah untuk membantu kesejahteraan hidup manusia atau
justru sebaliknya. Disinilah etika yang dimiliki para ilmuwan berperan untuk
mengendalikan keinginan ilmuwan. Ilmuwan harus bertanggung jawab dengan
apa yang akan dan telah diakibatnya oleh hasil pengetahuan dan teknologi yang
telah diciptakannya, baik dimasa lampau, masa sekarang, maupun masa yang akan
datang.
C. Hubungan Etika Ilmu dan Masyarakat.
Sejalan dengan perkembangan ilmu dan teknologi, para ahli harus
menggunakan etika ilmu untuk mempertimbangkan baik buruknya ilmu dan
teknologi yang sedang dikembangkan. Selain itu, para ahli juga harus beretika
ilmu agar pengembangan ilmu dan teknologi ini tetap pada tujuannya, yaitu
mensejahterakan kehidupan manusia bukan untuk mempersulit kehidupan
manusia. Bukan hanya para ahli, para pengguna ilmu dan teknologi ini juga harus

12
beretika karena tidak semua ilmu dan teknologi yang dikembangkan akan
dipergunakan dengan baik oleh manusia. Selain pada tanggung jawab terhadap
penggunaannya, tanggung jawab ilmu juga menyangkut tanggung jawab terhadap
hal-hal yang akan dan telah diakibatkan oleh ilmu di masa lalu, masa sekarang
maupun akibatnya di masa depan.
Menurut Achmad Charris Zubair (2002), tanggung jawab etis tidak hanya
menyangkut mengupayakan penerapan ilmu secara tepat dalam kehidupan
manusia saja. Akan tetapi, harus menyadari juga apa yang seharusnya dikerjakan
atau tidak dikerjakan untuk memperkokoh kedudukan serta martabat manusia
yang seharusnya, baik dalam hubungannya sebagai pribadi, dalam hubungannya
dengan lingkungan maupun sebagai makhluk yang bertanggung jawab terhadap
Tuhan. Jadi sesuai dengan pendapat Van Meslen (1985) bahwa perkembangan
ilmu akan menghambat ataupun meningkatkan keberadaan manusia tergantung
pada manusia itu sendiri, karena ilmu dilakukan oleh manusia dan untuk
kepentingan manusia dalam kebudayaannya.
D. Masyarakat Berbudaya Ilmu Pengetahuan.
Pada dasarnya kebudayaan adalah semua ciptaan manusia yang
berlangsung dalam kehidupan. Sedangkan pendidikan dan ehidupan masyarakat
adalah suatu hubungan antara proses dengan isi, yaitu proses pengoperan
kebudayaan dalam arti membudayakan masyarakat, aspek lain dari fungsi
pendidikan adalah mengolah kebudayaan itu menjadi sikap mental, tingkh laku,
bahkan menjadi kepribadian masyarakat. Ilmu adalah bagian dari pengetahuan
karena pengetahuan adalah unsur dari kebudayaan, maka ilmu yang merupakan
bagian dari pengetahuan dengan sendirinya juga merupakan salah satu unsur
kebudayaan. Antara ilmu dan kebudayaan ada hubungan timbal balik,
perkembangan ilmu tergantung pada perkembangan kebudayaan, sedangkan
perkembangan ilmu dapat memberikan pengaruh pada kebudayaan. Keadaan
sosial dan kebudayaan saling tergantung dan mendukung. Jadi, mempelajari ilmu
pengetahuan sudah pasti menjadi bagian dari budaya karena hubungan antara ilmu
pengetahuan dan budaya ibarat mata rantai yang saling berhubungan dan tidak
bisa dipisahkan.

13
2.5 TANGGUNG JAWAB MORAL KEILMUAN
A. Sumber Ilmu.
Ilmu diperoleh melalui beberapa cara, antara lain rasional, empiris, dan
intuisi.
1. Rasional.
Kebenaran ilmu melalui rasional menitikberatkan pada rasio atau
akal pikiran. Singkatnya, pandangan ini menyatakan bahwa akal adalah
dasar dari kepastian pengetahuan. Pengetahuan yang benar bisa diperoleh
dan diukur dengan akal. Akal inilah yang telah mengangkat kedudukan
manusia dan sekaligus menjadikannya makhluk yang utama. Pencetus
pandangan ini adalah Ren Descartes (1596-1650).
Kaum rasionalis mengembangkan sebuah paham yang kita kenal
dengan sebutan rasionalisme. Rasio merupakan landasan bagi
terbentuknya ilmu pengetahuan empiris manusia. Rasio kemudian
dikembangkan menjadi logika yang didasarkan atas premis-premis yang
kuat. Logika berbicara mengenai norma-norma atau kaidah-kaidah
berpikir yang benar agar diperoleh pengetahuan yang benar.
Terdapat dua macam logika, yaitu logika formal dan logika
material. Logika formal adalah logika yang memberi norma berpikir yang
benar dari segi berpikir dan logika material adalah logika yang
menjelaskan isi atau simpulan dari yang dibicarakan oleh logikan formal.
Metode berpikir logika ada dua, yaitu metode deduksi dan metode induksi.
Metode deduksi adalah metode berpikir dengan cara menyimpulkan
premis mayor (umum) untuk membentuk premis minor (khusus) dan
metode induksi adalah metode berpikir dengan menarik kesimpulan dari
premis minor ke premis mayor. Oleh karena itu, ilmu pengetahuan harus
dikembangkan melalui dasar-dasar logika yang kuat dan beralasan
sehingga kebenaran dapat dicapai.
2. Empiris.
Kata empiris berasal dari bahas Yunani empeirikos yang artinya
pengalaman. Kaum empiris berpendapat bahwa pengetahuan manusia
bukan didapat melalui penalaran rasional yang abstrak, melainkan melalui

14
pengalaman konkret. Menurut kaum empiris, berbagai gejala alamiah yang
timbul merupakan hal yang konkret dan dapat ditangkap oleh pancaindra
manusia. Masalah utama yang timbul dalam penyusunan pengetahuan
secara empiris adalah kecenderungan pengetahuan tersebut menjadi suatu
kumpulan fakta.
Kelemahan metode empiris adalah indra manusia yang terbatas.
Keterbatasan indra ini menimbulkan ketidaksesuaian antara hasil yang
dilaporkan dan objek yang sebenarnya. Kekeliruan indra ini harus
dikoreksi melalui eksperimen. Dengan kata lain, metode empiris
merupakan suatu bukti terukur karena empirisme harus dijelaskan melalui
pandangan rasionalis. Kerja sama antara empirisme dan rasionalisme
melahirkan suatu metode sains (scientific method) yang kemudian
melahirkan pengetahuan sains (scientific knowledge). Dalam bahasa
Indonesia, pengetahuan sains sering disebut dengan pengetahuan ilmiah
atau ilmu pengetahuan (Tafsir, 2001).
3. Intuisi.
Intuisi merupakan pengetahuan yang diperoleh tanpa melalui
proses penalaran tertentu. Seseorang yang pikirannya sedang terpusat pada
suatu masalah, tiba-tiba saja menemukan jawaban atas permasalahan
tersebut tanpa harus melalui proses berpikir yang panjang. Kegiatan
intuitif ini sifatnya sangat personal dan tidak bisa diramalkan.
Menurut Henri Bergson (1859-1941), intuisi merupakan hasil
evolusi dari kemampuan pemahaman tertinggi yang dimiliki manusia.
Menurut Achmad C. Z. (2002), intuisi adalah potensi manusia untuk
memahami hal-hal abstrak, symbol, lambing, isyarat, tanda-tanda, yang
merupakan tahap lanjut dari imajinasi yang sifatnya onerik, estetik, kreatif,
dan intuitif. Oleh sebab itu, intuisi disebut juga sebagai superindra atau
indra keenam (Inayat Khan, 2000).
B. Menerapkan Etika Keilmuan.
Aholiab Watloly (2001) telah meletakkan berbagai prinsip dasar dalam hal
memahami tanggung jawab pengetahuan dan keilmuan. Hubungan etika dan ilmu
berarti juga penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi membutuhkan etika

15
sebagai pertimbangan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi itu sendiri.
Tanggung jawab etis menyangkut kegiatan maupun penggunaan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Ini berarti ilmuwan dalam mengembangkan ilmu
pengetahuan dan teknologi harus memerhatikan kodrat dan martabat manusia,
menjaga ekosistem, bertanggung jawab pada kepentingan umum, dan generasi
mendatang, serta bersifat universal karena pada hakikatnya ilmu pengetahuan dan
teknologi adalah untuk mengembangkan dan memperkokoh ekosistem manusia
bukan untuk menghancurkan ekosistem tersebut. Dengan demikian, etika
dibutuhkan sebagai pertimbangan pemikiran yang kritis, yang dapat membedakan
antara apa yang sah dan yang tidak sah, membedakan apa yang benar dan apa
yang tidak benar.
C. Kesadaran Moral.
Manusia dalam kehidupannya dapat bertindak sesuai dengan norma-norma
yang berlaku di masyarakat ataupun sebaliknya. Manusia yang dapat bertindak
sesuai dengan norma-norma yang berlaku dapat dikatakan memiliki kesadaran
moral, yaitu adanya keinsyafan dalam diri manusia bahwa sebagai anggota
masyarakat dapat melakukan kewajibannya. Berkaitan dengan hal tersebut Zubair
(1995:51) mengatakan : Kesadaran moral merupakan faktor penting untuk
memungkinkan tindakan manusia selalu bermoral, berperilaku susila, lagi pula
tindakannya akan sesuai dengan norma yang berlaku. Kesadaran moral didasarkan
atas nilai-nilai yang benar-benar esensial dan fundamental. Perilaku manusia yang
berdasarkan atas kesadaran moral, perilakunya selalu direalisasikan sebagaimana
yang seharusnya,kapan saja dan di mana saja. Berdasarkan pendapat di atas, dapat
dikatakan bahwa orang yang memiliki kesadaran moral yang tinggi akan selalu
bertindak sesuai dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat dalam keadaan
apapun dan kapanpun.
Kesadaran moral merupakan pangkal otonomi manusia yang timbul dari
hati sanubari. Oleh karena itu tidak ada yang dapat secara mutlak mewajibkan
suatu hal kepada manusia kecuali atas dasar kesadarannya, sehingga kewajiban
tersebut dapat dilaksanakan secara sungguh-sungguh serta penuh tanggung jawab.
Suseno (1975:26) mengatakan bahwa : Kesadaran moral itu begitu tegas, orang
yang mengalaminya bagaikan suatu suara yang dibicarakan dalam dirinya dalam

16
bahasa sehari-hari kesadaran akan kewajiban itu disebut suara batin. Dengan
demikian kesadaran moral yang timbul dan ada dalam diri manusia itu harus
diyakini serta menjadi tatanan moral yang dapat dilaksanakan.

2.6 SEJARAH ILMU GIZI


A. Sejarah Perkembangan Ilmu Gizi di Dunia.
Pengakuan pertama ilmu gizi sebagai cabang ilmu yang berdiri sendiri
pada tahun 1926, oleh Mary Swartz Rose saat dikukuhkan sebagai professor ilmu
gizi di Universitas Columbia, New York, Amerika Serikat.
Zaman purba
- Makan untuk mempertahankan hidup.
- Dalam perkembangan ilmu gizi (dipelopori Tod Hunter) makanan
dijadikan bahan sebagai upaya penyembuhan dan pemulihan yang
dikenal dengan Terapi Diet.
Zaman Yunani
- Hipocrates : Peranan makanan terhadap penyembuhan penyakit (dasar
dalam Ilmu Dietetika).
- Tahun 1747, dr. Lind menemukan jeruk manis untuk menanggulangi
diet vitamin C (sariawan/scorbut).
- Tahun 1687, ditetapkan standart makanan (untuk buah dan sayuran
belum ditetapkan).
- Tahun 1854, suster Florence Nightinget : pemberian makanan kepada
pasien harus sesuai dengan kebutuhan pasien.
Abad XVI
- Adanya doktrin tentang hubungan antara makanan dengan panjang
usia.
- Doktrin dikemukakan oleh :
Camaro (1366 1464)
Francis Bacon (1561 1626) : makanan yang diatur dapat
memperpanjang usia.
Abad XVI XIX

17
Terjadi perkembangan penemuan di bidang kimia, faal, dan biokimia.
Tokoh-tokohnya :
- Lavoiser (1743 1794) : Bapak Ilmu Gizi.
- Liebig (1803 1973) : analisis protein, lemak, dan karbohidrat.
- Vait (1831 1908), Rubner (1854 1982), Atwater (1844 1907),
Lusk (1866 1932) : pakar dalam pengukuran energi dengan
kalorimeter.
- Hopkin (1861 1947), Eijkman (1851-1930) : perintis penemu
vitamin.
- Mendel (1872 1935), Osborn ( 1859 1929) : penemu vitamin dan
analisis kualitas protein.
Abad XX
Mc. Collum, Charles G. King, melanjutkan penelitian vitamin,
kemudian terus berkembang sehingga muncul Science of nutrition.
B. Sejarah Perkembangan Ilmu Gizi di Indonesia.
1. Belanda mendirikan Laboratorium Kesehatan pada tanggal 15 Januari
1888 di Jakarta, tujuannya menanggulangi penyakit beri-beri di Indonesia
dan Asia.
2. Tahun 1938, nama Laboratorium Kesehatan diganti dengan Lembaga
Eijkman
3. Tahun 1934, IVV (Het Institud dan Voor Volk Suceding) atau Lembaga
Makanan Rakyat dan setelah merdeka ( kira-kira tahun 1964) mulai
melakukan penelitian.
4. Tahun 1937 1942, diadakan survei gizi yaitu 7 tempat di Jawa , 1 tempat
di Lampung, dan 1 tempat di Seram.
5. Scooltema, Ochese, Terra, Jansen, Donath, Postmus, Van Veen mengamati
pola makanan, keadaan gizi, pertanian, dan perekonomian
6. Tahun 1919, Jansen, Donanth (dari Lembaga Eijkman) meneliti masalah
Gondok di Wonosobo.
7. Tahun 1930, Vanveen Postmus, De Hass menemukan defisiensi Vitamin A
di Indonesia.
8. Tahun 1935, De Haas meneliti tentang KEP di Indonesia.

18
9. Sejak Tahun 1919, Panne Kock, Van Veen, Koe Ford, Postmus
menganalisis nilai gizi berbagai makanan di Indonesia yang dikenal
dengan DKBM.
10. Tahun 1950, IVV diganti namanya menjadi Kementerian Kesehatan RI
atau LMR (Lembaga Makanan Rakyat) diketuai oleh Prof dr. Poerwo
Soedarmo (sebagai Direktur I) Bapak Persagi dan Bapak Gizi Indonesia.
Kemudian LMR membentuk kader / tenaga gizi dan pengalaman ilmu gizi
kepada masyarakat.
11. Tahun 1960, Prof. Poerwo Soedarmo mencetak tenaga ahli gizi (AKZI dan
FKUI) antara lain :
- Poerwo Soedarmo, Drajat Prawira Negara.
- Djaeni S. Sedia Utama, Soemila Sastromijoyo, Ied Goan Gong, Oei
Kam Nio.
- Soekartijah Martaatmaja, Darwin Kariyadi.
- Ig. Tarwotjo, Djoemadias Abu Naim.
- Sunita Almatsir : Perintis terapi diet dan institusi gizi.
12. Penelitian terus dikembangkan di Indonesia terutama oleh konsultan asing
(WHO, FAO) yaitu :
- Damen (1952-1955) : Kwashiorkor dan Xerophtalmia.
- Klerk (1956) : Tinggi badan dan berat badan anak sekolah.
- Bailey (1957 1958) : Kelaparan di gunung Kidul.

2.7 PERAN ILMU GIZI


A. Permaknaan Ilmu Gizi.
Ilmu gizi adalah ilmu yang mempelajari segala sesuatu tentang makanan
dalam hubungannya dengan kesehatan optimal. Kata gizi berasal dari bahasa
Arab ghizda, yang berarti makanan. Di satu sisi ilmu gizi berkaitan dengan
makanan dan di sisi lain dengan tubuh manusia (Almatsier, 2001). Ilmu gizi
merupakan ilmu yang relatif baru. Pengakuan pertama ilmu gizi sebagai cabang
ilmu yang berdiri sendiri terjadi pada tahun 1926, ketika mary Swartz Rose
dikukuhkan sebagai profesor Ilmu Gizi pertama di Universitas Columbia, new

19
York, Amerika Serikat. namun, perhatian mengenai hal-hal yang berkaitan dengan
makanan sesungguhnya sudah terjadi sejak lama (Almatsier, 2001).
Ilmu gizi merupakan ilmu terapan yang mempengaruhi berbagai disiplin
ilmu dasar, seperti Biokimia, Biologi, Ilmu Hayati (Fisiologi), Ilmu Penyakit
(Pathologi) dan beberapa lagi. Jadi untuk menguasai ilmu gizi secara ahli, harus
menguasai bagian-bagian ilmu dasar tersebut yang relevan dengan kebutuhan ilmu
gizi (Achmad, 2010). Pada mulanya ilmu gizi merupakan bagian dari ilmu
kesehatan masyarakat, tetapi kemudian mengalami pengembangan yang sangat
pesat, sehingga memisahkan diri dan menjadi disiplin ilmu sendiri. Namun
demikian, ilmu gizi masih dianggap tetap sebagai bagian dari rumpunan ilmu
kesehatan masyarakat (Achmad, 2010). Ilmu gizi mula-mula hanya mencakup
ruang lingkup yang sangat sempit, tetapi dalam perkembangannya melebar
meliputi suatu kawasan studi yang luas. Definisi ilmu gizi mula-mula sebagai
berikut: ilmu yang mempelajari nasib makanan sejak ditelan sampai diubah
menjadi bagian tubuh dan energi atau diekskresikan sebagai zat sisa (Achmad,
2010).
Dari definisi ini dapat diperkirakan bahwa ilmu gizi berstandar kuat sekali
pada biokimia dan ilmu hayati (fisiologi). Tujuan akhir ilmu ini ialah mencapai,
memperbaiki dan mempertahankan kesehatan tubuh melalui konsumsi makanan.
Dalam pelaksanaan untuk mencapai tujuan ini, dirasakan bahwa ruang lingkup
studi terlalu sempit, dan dengan perhatian yang sempit itu, sukar untuk mencapai
tujuan akhir tersebut (Achmad, 2010).
B. Peran Ilmu Gizi dalam Mengatasi Masalah Kemanusiaan.
Peranan ahli gizi dalam mengatasi masalah gizi gandan dan malnutrisi
sangat besar karena ahli gizi memiliki ilmu yang dapat menganalisa apa yang
sebenarnya terjadi dan tau apa yang harus dilakukan. Selain itu ahli gizi juga
mampu menyelesaikan masalah dibidang ketersediaan bahan pangan dengan cara
memberikan edukasi mengenai bahan makanan pengganti. Dengan begitu
kebutuhan pangan dapat tercukupi dan tidak ada yang kekurangan sumber bahan
pangan.

20
2.8 CABANG KEILMUAN GIZI
A. Cabang Keilmuan Gizi
1. Ilmu Gizi yang berkaitan dengan kesehatan perorangan disebut gizi
kesehatan perorangan (Clinical Nutrition), yaitu gizi klinik lebih
menitikberatkan pada kuratif daripada preventif dan promotifnya.
Dengan pendekatan kuratif prosesnya dimulai dari anamnesis dan
pengkajian status nutrisi pasien, pemeriksaan antropomotri beserta tindak
lanjut terhadap gangguannya, pemeriksaan radiologi dan tes laboratoium
yang bertalian dengan status nutrisi pasien, suplementasi oral, enteral dan
parenteral, interaksi timbal balik antara nutrien dan obat-obatan
2. Ilmu Gizi yang berkaitan dengan kesehatan masyarakat yang disebut gizi
kesehatan masyarakat (Public Health Nutrition), yaitu gizi masyarakat
berkaitan dengan gangguan gizi pada kelompok masyarakat, oleh sebab
itu sifatnya lebih ditekankan pada pencegahan (preventif) dan
peningkatan (promotif). Termasuk juga tentang bahan tambahan
makanan (pewarna, penyedap dan bahan-bahan kontaminan lainnya)
B. Peminatan Ilmu Gizi dan Turunan Keilmuannya.
Dapat dilihat dari masalah kesehatan yang terkait dengan gizi saat ini
semakin meningkat, yaitu masalah gizi ganda dan malnutrisi. Dapat
dipastikan bahwa kebutuhan akan ahli gizi akan semakin meningkat seirirng
dengan berjalannya waktu. Program studi ilmu gizi sejak kemunculannya
sudah menjadi jurusan favorit yang diburu para calon mahasiswa karena
dipercaya lebih mudah mendapatkan pekerjaan. Selain itu, ilmu gizi juga
memilki prospek kerja yang sangat luas. Mulai dari Pegawai Negeri Sipil
(PNS), pegawai swasta, hingga entrepreneur atau pengusaha.
C. Tantangan Perkembangan Keilmuan Gizi.
Tuntutan profesi ahli gizi pada era globalisasi menjadi lebih luas dan
berat. Adanya persaingan bebas yang tidak dapat terbendung menuntu
profesionalisme yang kuat, handal, dan tangguh. Tuntutan ini memaksa
profesi ahli gizi untuk bercermin dan berusaha menyetarakan dengan dunia
internasional. Saat ini sudah ada beberapa ahli gizi dari luar negeri yang
bekerja di beberapa rumah sakit swasta di Indonesia. Hal seperti ini tentu saja

21
tidak dapat diabaikan. Tuntutan profesionalisme ini dilandasi oleh adanya
ksetaraan tingkat pendidikan secara akademis maupun keprofesian. Era
globalisasi juga membawa dampak pada derasnya komunikasi dan informasi
yang masuk ke Indonesia dan beberapa teknologi yang berkaitan dengan gizi
juga ikut menyertainya. Untuk itu para ahli gizi secara professional juga harus
selalu berusaha menapis ilmu pengetahuan dan teknologi dan melakukan
penyesuaian-penyesuaian unutk kemudian dikembangkan dan diterapkan di
Indonesia.

2.9 TANTANGAN ILMU GIZI


A. Permasalahan Gizi di Dunia.
Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan masalah beban gizi
ganda kini tengah dialami negara-negar berpenghasilan rendah dan
menengah. Negara-negara ini bukan hanya masih kesulitan mengatasi
problem kurang gizi, tetapi juga dihadapkan pada masalah meningkatnya
jumlah anak-anak yang mengalami kelebihan berat badan (overweight) dan
obesitas. Menurut data WHO, lebih dari 75% anak yang kelebihan berat
badan tinggal di negara-negara berkembang. Masalah beban gizi ganda
merupakan bentuk dari malnutrisi dengan penyebab serta konsekuensi yang
dikaitkan dengan sistem makanan yang tidak seimbang. Hal ini
mengakibatkan ada anak yang kelebihan dan ada yang kekurangan gizi. Anak
yang kekurangan gizi pada awal kehidupannya akan mengalami pendek
(stunting) dan cenderung untuk kelebihan gizi di saat remaja dan dewasa.
B. Permasalahan Gizi di Indonesia.
Indonesia termasuk dalam lima besar negara dengan prevalensi
stunting tertinggi di Asia-Afrika. Prevalensi stunting di Indonesia tinggi
dankecepatan penurunannya per tahun sangat rendah. Indonesia termasuk
didalam 17 negara, diantara 117 negara, yang mempunyai masalah stunting,
wasting dan overweight. Indonesia teermasuk dudalam 47 negara dari 122
negara yang mempunyai masalah stunting pada balita dan anemia pada
wanita usia subur.
C. Perbandingan Permasalahan Gizi di Negara Maju dan Berkembang.

22
Bila suatu negara berkembang secara ekonomi dan ketersediaan
makanan meningkat, biasanya kejadian kurang gizi akan menurun sedangkan
masalah kesehatan kronis seperti penyakit jantung, diabetes, dan hipertensi
cenderung meningkat. Peningkatan tersebut tampaknya berkolerasi erat
dengan obesitas, tingginya asupan asam lemak jenuh, rendahnya asupan sayur
dan bbuah, rendahnya tingkat aktivitas fisik, serta diadopsinya pola hidup dan
kebiasaan makan ala negara Barat (negara maju). Negara yang mengalami
transisi masalah gizi sering mengalami peningkatan masalah obesitas. Anak-
anak yang dilahirkan oleh perempuan dengan masalah kurang gizi dapat
secara biologis terprogram saat dalam kandungan unutk menghemat energi.
Kemudian, bila terpapar dengan ketersediaan pangan yang berlebih maka
mereka akan mengalami kenaikan massa lemak disbanding pertumbuhan
tinggi. Akumulasi lemak yang berlebihan pada masa lanjut kehidupannya
akan menempatkan anak tersebut pada peningkatan risiko terjadinya
hipertensi, diabetes, penyakit jantung, dan lainnya.

2.10 GIZI DAN KESEHATAN


A. Definisi Kesehatan.
Kesehatan merupakan konsep yang sering digunakan, tetapi artinnnya sulit
dijelaskan. Meskipun demikian, kebanyakan sumber ilmuah sepakat bahwa
definisi kesehatan apa pun harus mengandung paling tidak komponen biomedis,
personal, dan sosiokultural (Smet, 1994). Dalam UU Kesehatan No. 23 tahun
1992, kesehatan didefinisikan secara lebih kompleks sebagai keadaan sejahtera
dari badan, jiwa dan social yang memungkinkan setiap orang hidup produktif
secara social dan ekonomi. Tidak hanya terbebas dari gangguan secara fisik,
mental, dan social, tetapi kesehatan dipandang sebagai alat atau sarana untuk
hidup secara produktif. Pandangan sehat produktif, telah banyak diterima dan
dianut oleh beberapa negara maju. Optimasi pandangan sehat produktif dapat
dilakukan melalui pemberian nilai dalam rentang sehat sakit. Keadaan ini sering
disebut sebagai kesehatan prima.
Menurut Travis dan Ryan (1998), sehat prima adalah kemampuan individu
untuk memilih jalan hidupnya, mampu berproses, menggunakan energy secara

23
efisien, terjadinya integrasi yang baik antara tubuh, akal, dan perasaan serta dapat
menerima dan mencintai apa yang dimilikinya. Kesehatan prima adalah suatu
keadaan yang sejahtera, yang berarti adanya sikap dan perilaku yang
mencerminkan kualitas hidup yang tinggi serta adanya tingkat potensi yang
maksimal dari individu (Anspaugh, Hamrick & Rosata, 1991).
B. Hubungan Antara Ilmu Gizi dan Kesehatan.
Ilmu gizi adalah ilmu yang mempelajari mengenai bahan pangan dan zat-zat
yang terkandung dalam bahan pangan tersebut termasuk dampaknya pada
kesehatan. Salah satu faktor untuk menjaga kesehatan adalah gaya hidup sehat,
yaitu mengonsumsi makanan seimbang dan olahraga. Selain itu, pada pasien
faktor yang membuat pasien cepat sembuh selain dari obat dan perawatan adalah
dari makanan yang dikonsumsi pasien tersebut. Jadi secara otomatis ilmu gizi dan
kesehatan memiliki hubungan yang saling terkait karena zat gizi yang dikonsumsi
seseorang akan berdampak pada kesehatan orang tersebut.

2.11 FILSAFAT DIETISIEN


A. Peran Dietisien.
1. Nutrition Care Provider (Pemberi asuhan gizi)
Dietisien memberikan pelayanan gizi yang bertujuan untuk
memecahkan masalah gizi, diagnosis gizi, intervensi gizi melalui
pemenuhan kebutuhan zat gizi klien secara optimal, baik berupa
pemberian makanan maupun konseling gizi, serta monitoring dan
evaluasi.
2. Manager (Pengelola asuhan gizi dan manajemen penyelenggaraan
makanan)
Dietisien mengkaji asupan makanan dan zat-zat gizi pasien serta
kemungkinan hubungannya dengan keadaan kesehatan dan penyakit
pasien. Dietisien juga bertanggung jawab dalam menerjemahkan
preskripsi diet ke dalam menu makanan yang memenuhi syarat diet serta
selera makan sehingga dpat diterima pasien, baik dalam bentuk makanan
per oral atau enteral (sonde).
3. Community Leader (Pemimpin dalam kegiatan komunitas maupun sosial)

24
Dietisien melakukan monitoring dan evaluasi terhadap efek diet yang
diberikan, baik secara oral, enteral, maupun parenteral, dan
mengkomunikasikannya secara lisan dan/atau tulisan ke anggota tim lain.
4. Educator (Pendidik kesehatan bagi klien dan keluarga)
Dietisien memberi konsultasi dan penyuluhan diet kepada pasien
dan keluarganya sesuai dengan informasi yang dibutuhkan.
5. Researcher (Peneliti)
Dengan keunggulan pada bidang gizi klinik, gizi masyarakat, gizi
institusi, gizi pangan dan gizi biomedis.
6. Collaborator
Berdasarkan hasil pengkajian (asesmen) status gizi pasien, dietisien
memberi masukan kepada dokter tentang kemungkinan terapi diet yang
perlu diberikan. Dietisien juga memberikan masukan kepada tenaga
kesehatan lain tentang produk-produk diet atau suplemen gizi yang ada di
pasaran, baik yang berkaitan dengan ketersediaan, komposisi, kegunaan
dan kesesuaiannya untuk keadaan pasien.
7. Advocate
B. Hakikat Dietisien.
Dietisien adalah nutrisionis yang memiliki kompetensi mandiri dalam
mendiagnosis, member terapi nutrisi, dan memulihkan kondisi kesehatan klien
(kompetensi klinis), melalui pendekatan dietetic bersama profesi kesehatan
lainnya. Menurut Almatsier (2006) dietisien adalah orang yang mempunyai
keahlian khusus tentang hubungan antara makanan, zat-zat gizi, kesehatan, dan
penyakit. Adapula yang berpendapat bahwa dietisien adalah seseorang yang
memiliki pendidikan gizi khususnya dietetic dan mendapat sertifikasi dari
Persatuan Ahli Gizi Indonesia (PERSAGI), bekerja untuk menerapkan prinsip-
prinsip gizi dalam pemberian makanan kepada individu atau kelompok,
merencanakan menu dan diet khusus, serta mengawasi penyelenggaraan dan
penyajian makanan.
C. Posisi Dietisien dengan Profesi Kesehatan Lainnya.

25
Posisi dietisien dalam tim pelayanan kesehatan sejajar dengan tenaga
kesehatan yang lainnya dalam menangani masalah gizi orang sakit maupun orang
yang sehat.

2.12 APLIKASI METODE ILMIAH


A. Fungsi Metode Ilmiah.
1. Observe
Melakukan pengamatan dengan kritis mengenai : what, where, when,
why, how.
2. Problems
Memikirkan masalah apa yang menarik, masalah apa yang tidak
seharusnya terjadi dan masalah apa yang tidak biasa.
3. Formulate Hypothesis
Memikirkan dugaan jawaban atas pertanyaan atau masalah yang dijumpai.
4. Develop Testable Hypothesis
Mengembangkan cara menguji kebenaran dugaan dari formulate
hypothesis.
5. Data Gathering
Mengumpulkan sata atau fakta-fakta untuk menguji kebenaran dugaan
penyebab.
6. Develop Theory
Mengumpulkan konsep penyebab masalah dan solusinya.
B. Metode Ilmiah dalam Menyelesaikan Permasalahan Gizi.
1. Melakukan pengamatan masalah gizi secara obyektif (tidak bias)
2. Merumuskan masalah gizi secara kritis (tahu prioritas masalah)
3. Menegakkan diagnosa (penyebab) masalah gizi secara kritis dan objektif
4. Memilih solusi masalah secara tepat dan kritis

2.13 METODE ILMIAH DALAM FUNGSI DIETISIEN


Penerapan Metode Ilmiah dalam Meningkatan Derajat Kesehatan Klien.
A. Penerapan metode ilmiah pada Dietetic Clinical Care.

26
1. Crtitical Thinkers pada fenomena lingkungan sosial budaya yang terkait
dengan isu-isu gizi.
2. Life-long Leraners.
- Membaca jurnal ilmiah gizi dengan sikap kritis dan sikap ilmiah.
- Ahli dalam melaksanakan penelitian ilmiah.
- Kritis dalam menanggapi dan mengamati fenomena alam dan sosial-
budaya
3. Menggunakan pendekatan ilmiah dalam menangani klien.
- Unbiased Observers (objektif dan kritis)
- Practice of Updated NCP (Nutritional Care Process) procedures.
- Evidence based decision in dietetic therapy.
4. Mengidentifikasi problem klinis yang menarik bagi pengembangan ilmu
dietetik dan prosedur klinis dietisien.
B. Penerapan metoda ilmiah dalam Nutrition Care Process.
1. Nutrition Assessment.
- Melakukan prosedur secara objekif, unbiased, dan up to date.
2. Nutrition Diagnosis.
- Melakukan uji hipotesis kerja dengan cermat dan ilmiah.
3. Nutrition Intervention.
- Memilih metode yang mutahir berbasis scientific evidence.
4. Monitor and evaluate.
- Memilih metode mutahir, unbiased dan ilmiah.
C. Penerapan metode ilmiah dalam fungsi Non-Clinical Care.
1. Critical Thinkers pada pengamatan praktek lingkup dietisien.
2. Merumuskan masalah ilmiah dan bisa diteliti kedepannya.
3. Ahli dalam melakukan penelitian terkait diet untuk kemajuan ilmu gizi.

27
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Secara harfiah philosophia berarti mencintai kebijaksanaan atau sahabat
pengetahuan. Sifat dasar filsafat yaitu, berpikir radikal, mencari asas, memburu
kebenaran, mecari kejelasan dan berpikir rasional. Filsafat berguna untuk
melahirkan, merawat, dan mendewasakan berbagai ilmu pengetahuan. Filsafat
memiliki beberapa cabang, antara lain logika, metafisika, epithemologi, dan etika.
Dalam hubungannya dengan ilmu gizi, filsafat berfungsi untuk membuktikan
bahwa gizi merupakan sebuah ilmu dengan menggunakan 3 pilar filsafat ilmu
pengetahuan. Filsafat memiliki 3 landasan, yaitu :
1. Aksiologi
Menurut Jujun S. Suriasumantri aksiologi adalah teori nilai yang berkaitan
dengan kegunaan dari ilmu pengetahuan yang diperoleh.
2. Ontologi
Menurut Suriasumantri (1985), ontologi membahas tentang apa yang ingin
kita ketahui, seberapa jauh kita ingin tahu atau dengan kata lain suatu
pengkajian mengenai teori tentang ada.
3. Epistemologi
Epistemologi atau teori pengetahuan adalah cabang ilmu filsafat yang
berurusan dengan hakikat dan lingkungan pengetahuan, pengandaian-
pengandaian, dan dasar-dasarnya serta pertanggungjawaban atas
pernyataan pengetahuan yang dimiliki (Hamlyn dalam Bakhtiar,
2004:148).
Filsafat juga terkait dengan etika ilmu dan kesadaran moral. Secara
etimologi kata etika artinya adalah watak kesusilaan atau adat dan ilmu berarti
tahu atau pengetahuan. Ilmu diperoleh melalui beberapa cara, antara lain rasional,
empiris, dan intuisi. Kesadaran moral merupakan faktor penting untuk
memungkinkan tindakan manusia selalu bermoral, berperilaku susila, lagi pula
tindakannya akan sesuai dengan norma yang berlaku.

28
Terkait dengan sejarah ilmu gizi, Pengakuan pertama ilmu gizi sebagai
cabang ilmu yang berdiri sendiri pada tahun 1926, oleh Mary Swartz Rose saat
dikukuhkan sebagai professor ilmu gizi di Universitas Columbia, New York,
Amerika Serikat. Bapak ilmu gizi dunia adalah Lavoiser dan bapak ilmu gizi
Indonesia adalah dr. Poerwo Soedarmo. Peranan ahli gizi dalam mengatasi
masalah gizi gandan dan malnutrisi sangat besar karena ahli gizi memiliki ilmu
yang dapat menganalisa apa yang sebenarnya terjadi dan tau apa yang harus
dilakukan. Ada juga cabang ilmu gizi perorangan (Clinical Nutrition) dan ilmu
gizi kesehatan masyarakat (Public Health Nutrition). Peminatan terhadap program
studi ilmu gizi uga selalu mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Namun,
menjadi ahli gizi juga memiliki persaingan dan tantangan yang cukup ketat
dengan ahli gizi asing dengan taraf internasional. Dalam menyelesaikan masalah
kesehatan yang terkait dengan gizi, ahli gizi juga menggunakan dan menerapkan
metode ilmiah.
3.2 Saran
Sudah selayaknya kita mengoptimalkan akal ini untuk berfikir, jangan
sampai kita terus memanjakan akal ini dengan berfikir hal hal yang mudah,
sekali kali marilah kita belajar Filsafat, agar akal ini mampu berkembang dan
berfikir secara mendalam. Ingatlah perkataan dari KH. Abdul Rahmat bahwa
seorang pahlawan itu adalah orang yang mampu berfikir secara dalam dan
mempunyai pandangan yang luas.

29
DAFTAR PUSTAKA

Asmadi. 2005. Konsep Dasar Keperawatan. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran


EGC.
Almatsier, Sunita. (2001).Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta : Gramedia Pustaka
Utama
Almatsier, Sunita. 2006. Penuntun Diet. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
Bagus, Lorenz. 2005. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia.
Bertens, K. 2007. Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Buku Panduan Akademik 2015 Program Studi S1 Gizi Kesehatan FK UGM. 2015.
(Online)
http://gamel.fk.ugm.ac.id/pluginfile.php/63805/coursecat/description/Buk
u%20Panduan%202015.pdf. Diakses pada 18 Januari 2017.

Cornelia, dkk. 2013. Konseling Gizi. Jakarta : Penebar Plus+ (Penebar Swadaya
Grup).
Djaeni, Achmad. Sediaoetama. 2010.Ilmu Gizi untuk Mahasiswa dan Profesi.
Jakarta : Dian Rakyat.
Maulana, Heri D. J. 2007. Promosi Kesehatan. Jakarta : Penerbit Buku Kesehatan
EGC.
Suhartono, Suparlan. Kesadaran Moral Kehidupan Bermasyarakat : Suatu
Pemikiran Kefilsafatan. (Online)
http://journal.unair.ac.id/filerPDF/Kesadaran%20Moral%20Kehidupan%
20Bermasyarakat.pdf. Diakses pada 17 Januari 2017.
Sunoto, FILSAFAT ILMU .1982, hllm. 6
Surajiyo. 2009. Ilmu Filsafat (Suatu Pengantar). Jakarta: Bumi Aksara.
Suseno, Franz Magnis. 1992. Filsafat Sebagai Ilmu Kritis. Yogyakarta : Kanisius.

30

Anda mungkin juga menyukai