Anda di halaman 1dari 52

REFERAT

PENATALAKSANAAN TERAPI OAT PADA GAGAL GINJAL

Oleh :
ULYANDINI
1102013292

PEMBIMBING :
dr Fikri Faisal Sp.P

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM RUMAH SAKIT


UMUM DR. SLAMET FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS
YARSI PERODE 03 JULI-06 SEPTEMBER

GARUT 2017

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmatNya referat ini dapat
terselesaikan dengan baik. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada dr Fikri Faisal
Sp.P selaku pembimbing sehingga referat ini dapat terselesaikan dengan tepat waktu.

Referat ini dibuat dengan tujuan untuk memenuhi kompetensi kepaniteraan klinik
SMF Ilmu Penyakit Dalam Rumah Sakit Umum dr Slamet Garut. Penulis berharap referat ini
dapat menjadi literatur atau sumber informasi pembelajaran Ilmu penyakit dalam khususnya
mengenai penatalaksanaan terapi oat pada gagal ginjal.

Akhir kata, penulis menyadari banyak kekurangan didalam penyusunan referat ini.
Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang berguna demi penyusunan
referat ini.

Garut, 18 Juli 2017

ULYANDINI

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................................2

DAFTAR ISI..............................................................................................................................3

PENDAHULUAN......................................................................................................................4

1.1 DEFINISI TB PARU...........................................................................................................6

1.2 EPIDEMIOLOGI TB PARU...............................................................................................6

1.3 PATOGENESIS TB PARU.................................................................................................7

1.4 KLASIFIKASI TB PARU.................................................................................................11

1.5 DIAGNOSIS TB PARU.....................................................................................................13

1.6 TATALAKSANA TB PARU............................................................................................21

1.7 KOMPLIKASI TB PARU.................................................................................................35

1.8 PENCEGAHAN TB PARU...............................................................................................35

2.1 DEFINISI GAGAL GINJAL.............................................................................................35

2.2 EPIDEMIOLOGI GAGAL GINJAL.................................................................................36

2.3 PATOGENESIS GAGAL GINJAL...................................................................................36

2.4 KLASIFIKASI GAGAL GINJAL.....................................................................................41

2.5 DIAGNOSIS GAGAL GINJAL........................................................................................42

2.6 PENATALAKSANAAN GAGAL GINJAL.....................................................................44

2.7 KOMPLIKASI GAGAL GINJAL.....................................................................................47

3. PENATALAKSANAAN TB DALAM KEADAAN KHUSUS..........................................47

KESIMPULAN........................................................................................................................49

DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................50

3
BAB I

PENDAHULUAN

Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di dunia


ini. Pada tahun 1992 World Health Organization (WHO) telah mencanangkan tuberkulosis
sebagai (Global Emergency). Laporan WHO tahun 2004 menyatakan bahwa terdapat 8,8 juta
kasus baru tuberkulosis pada tahun 2002, dimana 3,9 juta adalah kasus BTA (Basil Tahan
Asam) positif. Setiap detik ada satu orang yang terinfeksi tuberkulosis di dunia ini, dan
sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi kuman tuberkulosis. Jumlah terbesar kasus TB
terjadi di Asia tenggara yaitu 33 % dari seluruh kasus TB di dunia, namun bila dilihat dari
jumlah pendduduk, terdapat 182 kasus per 100.000 penduduk (WHO, 2010). Di Indonesia
berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1992 disebutkan bahwa penyakit TB
merupakan penyebab kematian kedua, sementara SKRT 2001 menyebutkan bahwa
tuberkulosis adalah penyebab kematian pertama pada golongan penyakit infeksi. Sementara
itu dari hasil laporan yang masuk ke subdit TB P2MPL Departemen Kesehatan tahun ,2001
terdapat 50.443 penderita BTA positif yang diobati (23% dari jumlah perkiraan penderita
BTA positif ). Tiga perempat dari kasus TB ini berusia 15 49 tahun. Pada tahun 2004 WHO
memperkirakan setiap tahunnya muncul 115 orang penderita tuberkulosis paru menular (BTA
positif) pada setiap 100.000 penduduk. Saat ini Indonesia masih menduduki urutan ke 3 di
dunia untuk jumlah kasus TB setelah India dan China.1
Gagal ginjal merupakan penurunan fungsi ginjal yang terjadi secara akut
(kekambuhan) maupun secara kronis (menahun). Gagal ginjal akut bila penurunan fungsi
ginjal berlangsung secara tiba-tiba, tetapi kemudian dapat kembali normal setelah
penyebabnya segera dapat diatasi. Gagal ginjal kronik gejala yang muncul secara bertahap,
biasanya tidak menimbulkan gejala awal yang jelas, sehingga penurunan fungsi ginjal
tersebut sering dirasakan. Gagal ginjal kronik atau penyakit tahap akhir adalah penyimpangan
progresif, ginjal yang tidak dapat pulih dimana kemampuan tubuh untuk mempertahankan
keseimbangan metabolik, cairan dan elektrolit mengalami kegagalan, yang mengakibatkan
uremia (Alam Syamsir dan Hadibroto Iwan, 2007). Menurut World Health Organization
(WHO), secara global lebih dari 500 juta orang mengalami penyakit gagal ginjal kronik
(Ratnawati, 2014). Berdasarkan data dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013
prevelensi gagal ginjal kronik di Indonesia sekitar 0,2%. Prevalensi kelompok umur 75
tahun dengan 0,6% lebih tinggi dari kelompok umur lainnya. Saat ini di Indonesia terdapat
40.000 penderita gagal ginjal kronik (GGK) . 2

4
Banyaknya penderita TB paru dan gagal ginjal di Indonesia tidak menuutup
kemungkinan orang yang menderita TB paru juga menderita gagal ginjal atau sebaliknya,
oleh karena itu referat ini bertujuan untuk mengetahui penatalaksanaan terapi OAT pada
gagal ginjal.

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. TB paru

1.1 Definisi TB Paru


Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium
tuberculosis complex. Sebagian besar kuman Mycobacterium tuberculosis menyerang paru,
tetapi dapat juga menyerang organ tubuh lainnya. Penyakit ini merupakan infeksi bakteri
kronik yang ditandai oleh pembentukan granuloma pada jaringan yang terinfeksi dan reaksi
hipersensitivitas yang diperantarai sel (cell mediated hypersensitivity). Penyakit tuberkulosis
yang aktif bisa menjadi kronis dan berakhir dengan kematian apabila tidak dilakukan
pengobatan yang efektif. 1

1.2 Epidemiologi TB Paru


Diperkirakan sekitar sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi oleh Mycobacterium
tuberkulosis. Pada tahun 1995, diperkirakan ada 9 juta pasien TB baru dan 3 juta kematian
akibat TB diseluruh dunia. Diperkirakan 95% kasus TB dan 98% kematian akibat TB
didunia, terjadi pada negara-negara berkembang. Demikian juga, kematian wanita akibat TB
lebih banyak dari pada kematian karena kehamilan, persalinan dan nifas. 1

Gambar 1.Angka Insidens TB didunia 1

6
Sekitar 75% pasien TB adalah kelompok usia yang paling produktif secara ekonomis (15-50
tahun). Diperkirakan seorang pasien TB dewasa, akan kehilangan rata-rata waktu kerjanya 3
sampai 4 bulan. Hal tersebut berakibat pada kehilangan pendapatan tahunan rumah tangganya
sekitar 20-30%. Jika ia meninggal akibat TB, maka akan kehilangan pendapatannya sekitar
15 tahun. Selain merugikan secara ekonomis, TB juga memberikan dampak buruk lainnya
secara sosial stigma bahkan dikucilkan oleh masyarakat. Pada tahun 1990-an, situasi TB
didunia semakin memburuk, jumlah kasus TB meningkat dan banyak yang tidak berhasil
disembuhkan, terutama pada negara yang dikelompokkan dalam 22 negara dengan masalah
TB besar (high burden countries). Menyikapi hal tersebut, pada tahun 1993, WHO
mencanangkan TB sebagai kedaruratan dunia (global emergency).

1.3 Patogenesis TB Paru

A. TUBERKULOSIS PRIMER
Kuman tuberkulosis yang masuk melalui saluran napas akan bersarang di jaringan paru,
dimana ia akan membentuk suatu sarang pneumonik, yang disebut sarang primer atau afek
primer. Sarang primer ini mugkin timbul di bagian mana saja dalam paru, berbeda dengan
sarang reaktivasi. Dari sarang primer akan kelihatan peradangan saluran getah bening menuju
hilus (limfangitis lokal). Peradangan tersebut diikuti oleh pembesaran kelenjar getah bening
di hilus (limfadenitis regional). Afek primer bersama-sama dengan limfangitis regional

7
dikenal sebagai kompleks primer. Kompleks primer ini akan mengalami salah satu nasib
sebagai berikut : 1
1. Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali (restitution ad integrum)
2. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain sarang Ghon, garis fibrotik,
sarang perkapuran di hilus)
3. Menyebar dengan cara :
a) Perkontinuitatum, menyebar kesekitarnya Salah satu contoh adalah epituberkulosis,
yaitu suatu kejadian dimana terdapat penekanan bronkus, biasanya bronkus lobus
medius oleh kelenjar hilus yang membesar sehingga menimbulkan obstruksi pada
saluran napas bersangkutan, dengan akibat atelektasis. Kuman tuberkulosis akan
menjalar sepanjang bronkus yang tersumbat ini ke lobus yang atelektasis dan
menimbulkan peradangan pada lobus yang atelektasis tersebut, yang dikenal sebagai
epituberkulosis.
b) Penyebaran secara bronkogen, baik di paru bersangkutan maupun ke paru sebelahnya.
Penyebaran ini juga terjadi ke dalam usus
c) Penyebaran secara hematogen dan limfogen. Kejadian penyebaran ini sangat
bersangkutan dengan daya tahan tubuh, jumlah dan virulensi basil. Sarang yang
ditimbulkan dapat sembuh secara spontan, akan tetapi bila tidak terdapat imuniti yang
adekuat, penyebaran ini akan menimbulkan keadaan cukup gawat seperti tuberkulosis
milier, meningitis tuberkulosa, typhobacillosis Landouzy. Penyebaran ini juga dapat
menimbulkan tuberkulosis pada alat tubuh lainnya, misalnya tulang, ginjal, anak
ginjal, genitalia dan sebagainya.

Komplikasi dan penyebaran ini mungkin berakhir dengan :


Sembuh dengan meninggalkan sekuele (misalnya pertumbuhan terbelakang pada anak
setelah mendapat ensefalomeningitis, tuberkuloma ) atau
Meninggal Semua kejadian diatas adalah perjalanan tuberkulosis primer.

B. TUBERKULOSIS POST-PRIMER
Dari tuberkulosis primer ini akan muncul bertahun-tahun kemudian tuberkulosis post-primer,
biasanya pada usia 15-40 tahun. Tuberkulosis post primer mempunyai nama yang bermacam
macam yaitu tuberkulosis bentuk dewasa, localized tuberculosis, tuberkulosis menahun, dan

8
sebagainya. Bentuk tuberkulosis inilah yang terutama menjadi problem kesehatan rakyat,
karena dapat menjadi sumber penularan. Tuberkulosis post-primer dimulai dengan sarang
dini, yang umumnya terletak di segmen apikal dari lobus superior maupun lobus inferior.
Sarang dini ini awalnya berbentuk suatu sarang pneumonik kecil. Nasib sarang pneumonik
ini akan mengikuti salah satu jalan sebagai berikut : 1
1. Diresopsi kembali, dan sembuh kembali dengan tidak meninggalkan cacat
2. Sarang tadi mula mula meluas, tapi segera terjadi proses penyembuhan dengan
penyebukan jaringan fibrosis. Selanjutnya akan membungkus diri menjadi lebih keras,
terjadi perkapuran, dan akan sembuh dalam bentuk perkapuran. Sebaliknya dapat juga
sarang tersebut menjadi aktif kembali, membentuk jaringan keju dan menimbulkan
kaviti bila jaringan keju dibatukkan keluar.
3. Sarang pneumonik meluas, membentuk jaringan keju (jaringan kaseosa). Kaviti akan
muncul dengan dibatukkannya jaringan keju keluar. Kaviti awalnya berdinding tipis,
kemudian dindingnya akan menjadi tebal (kaviti sklerotik). Nasib kaviti ini :
Mungkin meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumonik baru. Sarang
pneumonik ini akan mengikuti pola perjalanan seperti yang disebutkan diatas
Dapat pula memadat dan membungkus diri (encapsulated), dan disebut tuberkuloma.
Tuberkuloma dapat mengapur dan menyembuh, tapi mungkin pula aktif kembali,
mencair lagi dan menjadi kaviti lagi
Kaviti bisa pula menjadi bersih dan menyembuh yang disebut open healed cavity,
atau kaviti menyembuh dengan membungkus diri, akhirnya mengecil. Kemungkinan
berakhir sebagai kaviti yang terbungkus, dan menciut sehingga kelihatan seperti
bintang (stellate shaped).

9
Ganbar 2. Skema perkembangan sarang tuberculosis post primer dan perjalanan
penyembuhannya 1

PATOLOGI
Untuk lebih memahami berbagai aspek tuberkulosis, perlu diketahui proses patologik yang
terjadi. Batuk yang merupakan salah satu gejala tuberkulosis paru, terjadi karena kelainan
patologik pada saluran pernapasan akibat kuman M.tuberculosis. Kuman tersebut bersifat
sangat aerobik, sehingga mudah tumbuh di dalam paru, terlebih di daerah apeks karena pO2
alveolus paling tinggi. Kelainan jaringan terjadi sebagai respons tubuh terhadap kuman.
Reaksi jaringan yang karakteristik ialah terbentuknya granuloma, kumpulan padat sel
makrofag. Respons awal pada jaringan yang belum pernah terinfeksi ialah berupa sebukan sel
radang, baik sel leukosit polimorfonukleus (PMN) maupun sel fagosit mononukleus. Kuman
berproliferasi dalam sel, dan akhirnya mematikan sel fagosit. Sementara itu sel mononukleus
bertambah banyak dan membentuk agregat. Kuman berproliferasi terus, dan sementara
makrofag (yang berisi kuman) mati, sel fagosit mononukleus masuk dalam jaringan dan
menelan kuman yang baru terlepas. Jadi terdapat pertukaran sel fagosit mononukleus yang
intensif dan berkesinambungan. Sel monosit semakin membesar, intinya menjadi eksentrik,
sitoplasmanya bertambah banyak dan tampak pucat, disebut sel epiteloid. Sel-sel tersebut
berkelompok padat mirip sel epitel tanpa jaringan diantaranya, namun tidak ada ikatan
interseluler dan bentuknya pun tidak sama dengan sel epitel. Sebagian sel epiteloid ini
membentuk sel datia berinti banyak, dan sebagian sel datia ini berbentuk sel datia Langhans

10
(inti terletak melingkar di tepi) dan sebagian berupa sel datia benda asing (inti tersebar dalam
sitoplasma). Lama kelamaan granuloma ini dikelilingi oleh sel limfosit, sel plasma, kapiler
dan fibroblas. Di bagian tengah mulai terjadi nekrosis yang disebut perkijuan, dan jaringan di
sekitarnya menjadi sembab dan jumlah mikroba berkurang. Granuloma dapat mengalami
beberapa perkembangan , bila jumlah mikroba terus berkurang akan terbentuk simpai
jaringan ikat mengelilingi reaksi peradangan. Lama kelamaan terjadi penimbunan garam
kalsium pada bahan perkijuan. Bila garam kalsium berbentuk konsentrik maka disebut cincin
Liesegang . Bila mikroba virulen atau resistensi jaringan rendah, granuloma membesar
sentrifugal, terbentuk pula granuloma satelit yang dapat berpadu sehingga granuloma
membesar. Sel epiteloid dan makrofag menghasilkan protease dan hidrolase yang dapat
mencairkan bahan kaseosa. Pada saat isi granuloma mencair, kuman tumbuh cepat ekstrasel
dan terjadi perluasan penyakit. Reaksi jaringan yang terjadi berbeda antara individu yang
belum pernah terinfeksi dan yang sudah pernah terinfeksi. Pada individu yang telah terinfeksi
sebelumnya reaksi jaringan terjadi lebih cepat dan keras dengan disertai nekrosis jaringan.
Akan tetapi pertumbuhan kuman tretahan dan penyebaran infeksi terhalang. Ini merupakan
manifestasi reaksi hipersensitiviti dan sekaligus imuniti. 1

1.4 Klasifikasi Tb Paru

A. TUBERKULOSIS PARU
Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru, tidak termasuk pleura
(selaput paru) 1

1. Berdasar hasil pemeriksaan dahak (BTA)


Selain dari pengelompokan pasien sesuai definisi tersebut datas, pasien juga
diklasifikasikan menurut : 1
a. Lokasi anatomi dari penyakit
b. Riwayat pengobatan sebelumnya
c. Hasil pemeriksaan uji kepekaan obat

a. Klasifikasi berdasarkan lokasi anatomi dari penyakit:


Tuberkulosis paru:
Adalah TB yang terjadi pada parenkim (jaringan) paru. Milier TB dianggap sebagai TB paru
karena adanya lesi pada jaringan paru. Limfadenitis TB dirongga dada (hilus dan atau

11
mediastinum) atau efusi pleura tanpa terdapat gambaran radiologis yang mendukung TB pada
paru, dinyatakan sebagai TB ekstra paru.Pasien yang menderita TB paru dan sekaligus juga
menderita TB ekstra paru, diklasifikasikan sebagai pasien TB paru. Adalah TB yang terjadi
pada organ selain paru, misalnya: pleura, kelenjar limfe, abdomen, saluran kencing, kulit,
sendi, selaput otak dan tulang. Diagnosis TB ekstra paru dapat ditetapkan berdasarkan hasil
pemeriksaan bakteriologis atau klinis. Diagnosis TB ekstra paru harus diupayakan
berdasarkan penemuan Mycobacterium tuberculosis. Pasien TB ekstra paru yang menderita
TB pada beberapa organ, diklasifikasikan sebagai pasien TB ekstra paru pada organ
menunjukkan gambaran TB yang terberat. 1

b. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya:1


1. Pasien baru TB: adalah pasien yang belum pernah mendapatkan pengobatan TB
sebelumnya atau sudah pernah menelan OAT namun kurang dari 1 bulan ( dari 28
dosis).
2. Pasien yang pernah diobati TB: adalah pasien yang sebelumnya pernah menelan
OAT selama 1 bulan atau lebih ( dari 28 dosis). Pasien ini selanjutnya
diklasifikasikan berdasarkan hasil pengobatan TB terakhir, yaitu:
Pasien kambuh: adalah pasien TB yang pernah dinyatakan sembuh atau pengobatan
lengkap dan saat ini didiagnosis TB berdasarkan hasil pemeriksaan bakteriologis atau
klinis (baik karena benar-benar kambuh atau karena reinfeksi).
Pasien yang diobati kembali setelah gagal: adalah pasien TB yang pernah diobati
dan dinyatakan gagal pada pengobatan terakhir.
Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow-up): adalah
pasien yang pernah diobati dan dinyatakan lost to follow up (klasifikasi ini
sebelumnya dikenal sebagai pengobatan pasien setelah putus berobat /default).
Lain-lain: adalah pasien TB yang pernah diobati namun hasil akhir pengobatan
sebelumnya tidak diketahui
3. Pasien yang riwayat pengobatan sebelumnya tidak diketahui.

c. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan uji kepekaan obat


Pengelompokan pasien disini berdasarkan hasil uji kepekaan contoh uji dari Mycobacterium
tuberculosis terhadap OAT dan dapat berupa : 1
Mono resistan (TB MR): resistan terhadap salah satu jenis OAT lini pertama saja

12
Poli resistan (TB PR): resistan terhadap lebih dari satu jenis OAT lini pertama selain
Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) secara bersamaan
Multi drug resistan (TB MDR): resistan terhadap Isoniazid (H) dan Rifampisin (R)
secara bersamaan
Extensive drug resistan (TB XDR): adalah TB MDR yang sekaligus juga resistan
terhadap salah satu OAT golongan fluorokuinolon dan minimal salah satu dari OAT
lini kedua jenis suntikan (Kanamisin, Kapreomisin dan Amikasin)
Resistan Rifampisin (TB RR): resistan terhadap Rifampisin dengan atau tanpa
resistensi terhadap OAT lain yang terdeteksi menggunakan metode genotip (tes cepat)
atau metode fenotip (konvensional).

1.5 Diagnosis TB Paru

A. GAMBARAN KLINIK
Diagnosis tuberkulosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinik, pemeriksaan
fisik/jasmani, pemeriksaan bakteriologik, radiologik dan pemeriksaan penunjang lainnya 1

Gejala klinik
Gejala klinik tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala respiratorik (atau
gejala organ yang terlibat) dan gejala sistemik.1

1. Gejala respiratorik

batuk 3 minggu

batuk darah

sesak napas

nyeri dada

Gejala respiratorik ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai gejala yang cukup
berat tergantung dari luas lesi. Kadang penderita terdiagnosis pada saat medical check up.
Bila bronkus belum terlibat dalam proses penyakit, maka penderita mungkin tidak ada gejala
batuk. Batuk yang pertama terjadi karena iritasi bronkus, dan selanjutnya batuk diperlukan
untuk membuang dahak ke luar. Gejala tuberkulosis ekstra paru tergantung dari organ yang

13
terlibat, misalnya pada limfadenitis tuberkulosa akan terjadi pembesaran yang lambat dan
tidak nyeri dari kelenjar getah bening, pada meningitis tuberkulosa akan terlihat gejala
meningitis, sementara pada pleuritis tuberkulosa terdapat gejala sesak napas & kadang nyeri
dada pada sisi yang rongga pleuranya terdapat cairan.1

2. Gejala sistemik

Demam

gejala sistemik lain: malaise, keringat malam, anoreksia, berat badan menurun

Pemeriksaan Jasmani
Pada pemeriksaan jasmani kelainan yang akan dijumpai tergantung dari organ yang terlibat.
Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung luas kelainan struktur paru. Pada
permulaan (awal) perkembangan penyakit umumnya tidak (atau sulit sekali) menemukan
kelainan. Kelainan paru pada umumnya terletak di daerah lobus superior terutama daerah
apex dan segmen posterior , serta daerah apex lobus inferior. Pada pemeriksaan jasmani dapat
ditemukan antara lain suara napas bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah,
tanda-tanda penarikan paru, diafragma & mediastinum. Pada pleuritis tuberkulosa, kelainan
pemeriksaan fisik tergantung dari banyaknya cairan di rongga pleura. Pada perkusi ditemukan
pekak, pada auskultasi suara napas yang melemah sampai tidak terdengar pada sisi yang
terdapat cairan. Pada limfadenitis tuberkulosa, terlihat pembesaran kelenjar getah bening,
tersering di daerah leher (pikirkan kemungkinan metastasis tumor), kadang-kadang di daerah
ketiak. Pembesaran kelenjar tersebut dapat menjadi cold abscess 1

Pemeriksaan Bakteriologik1
a. Bahan pemeriksasan
Pemeriksaan bakteriologik untuk menemukan kuman tuberkulosis mempunyai arti yang
sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan untuk pemeriksaan bakteriologik ini
dapat berasal dari dahak, cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan
lambung, kurasan bronkoalveolar (bronchoalveolar lavage/BAL), urin, faeces dan jaringan
biopsi (termasuk biopsi jarum halus/BJH)1

b. Cara pengumpulan dan pengiriman bahan


Cara pengambilan dahak 3 kali, setiap pagi 3 hari berturut turut atau dengan cara:
14
Sewaktu/spot (dahak sewaktu saat kunjungan)

Dahak Pagi ( keesokan harinya )

Sewaktu/spot ( pada saat mengantarkan dahak pagi)

Bahan pemeriksaan/spesimen yang berbentuk cairan dikumpulkan/ditampung dalam pot yang


bermulut lebar, berpenampang 6 cm atau lebih dengan tutup berulir, tidak mudah pecah dan
tidak bocor. Apabila ada fasiliti, spesimen tersebut dapat dibuat sediaan apus pada gelas
objek (difiksasi) sebelum dikirim ke laboratorium. Bahan pemeriksaan hasil BJH, dapat
dibuat sediaan apus kering di gelas objek atau untuk kepentingan biakan dan uji resistensi
dapat ditambahkan NaCl 0,9% 3-5 ml sebelum dikirim ke laboratorium. Spesimen dahak
yang ada dalam pot (jika pada gelas objek dimasukkan ke dalam kotak sediaan) yang akan
dikirim ke laboratorium, harus dipastikan telah tertulis identitas penderita yang sesuai dengan
formulir permohonan pemeriksaan laboratorium. Bila lokasi fasiliti laboratorium berada jauh
dari klinik/tempat pelayanan penderita, spesimen dahak dapat dikirim dengan kertas saring
melalui jasa pos. Cara pembuatan dan pengiriman dahak dengan kertas saring:1
Kertas saring dengan ukuran 10 x 10 cm, dilipat empat agar terlihat bagian tengahnya
Dahak yang representatif diambil dengan lidi, diletakkan di bagian tengah dari kertas
saring sebanyak + 1 ml
Kertas saring dilipat kembali dan digantung dengan melubangi pada satu ujung yang
tidak mengandung bahan dahak
Dibiarkan tergantung selama 24 jam dalam suhu kamar di tempat yang aman, misal di
dalam dus
Bahan dahak dalam kertas saring yang kering dimasukkan dalam kantong plastik kecil
Kantong plastik kemudian ditutup rapat (kedap udara) dengan melidahapikan sisi
kantong yang terbuka dengan menggunakan lidi
Di atas kantong plastik dituliskan nama penderita dan tanggal pengambilan dahak
Dimasukkan ke dalam amplop dan dikirim melalui jasa pos ke alamat laboratorium.

c. Cara pemeriksaan dahak dan bahan lain


Pemeriksaan bakteriologik dari spesimen dahak dan bahan lain (cairan pleura, liquor
cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar (BAL), urin, faeces
dan jaringan biopsi, termasuk BJH) dapat dilakukan dengan cara: 1

15
Mikroskopik

biakan

Pemeriksaan mikroskopik:
Mikroskopik biasa : pewarnaan Ziehl-Nielsen pewarnaan Kinyoun Gabbett Mikroskopik
fluoresens: pewarnaan auramin-rhodamin (khususnya untuk screening) Untuk mendapatkan
hasil yang lebih baik, dahak dipekatkan lebih dahulu dengan cara sebagai berikut :1
Masukkan dahak sebanyak 2 4 ml ke dalam tabung sentrifuge dan tambahkan sama
banyaknya larutan NaOH 4%
Kocoklah tabung tersebut selam 5 10 menit atau sampai dahak mencair sempurna
Pusinglah tabung tersebut selama 15 30 menit pada 3000 rpm
Buanglah cairan atasnya dan tambahkan 1 tetes indicator fenol-merahpada sediment
yang ada dalam tabung tersebut, warnanya menjadi merah
Netralkan reaksi sedimen itu dengan berhati-hati meneteskan larutan HCl 2n ke dalam
tabung sampai tercapainya warna merah jambu ke kuning-kuningan
Sedimen ini selanjutnya dipakai untuk membuat sediaan pulasan (boleh juga dipakai
untuk biakan M.tuberculosis ) lnterpretasi hasil pemeriksaan mikroskopik dari 3 kali
pemeriksaan ialah bila :

2 kali positif, 1 kali negatif Mikroskopik positif

1 kali positif, 2 kali negatif ulang BTA 3 kali , kemudian bila 1 kali positif, 2 kali

negatif Mikroskopik positif

bila 3 kali negatf Mikroskopik negatif

Interpretasi pemeriksaan mikroskopik dibaca dengan skala


bronkhorst atau IUATLD

Catatan :
Bila terdapat fasiliti radiologik dan gambaran radiologik menunjukkan tuberkulosis aktif,
maka hasil pemeriksaan dahak 1 kali positif, 2 kali negatif tidak perlu diulang.

16
Pemeriksaan biakan kuman:
Pemeriksaan biakan M.tuberculosis dengan metode konvensional ialah dengan cara :

Egg base media (Lowenstein-Jensen, Ogawa, Kudoh)

Agar base media : Middle brook

Melakukan biakan dimaksudkan untuk mendapatkan diagnosis pasti, dan dapat mendeteksi
Mycobacterium tuberculosis dan juga Mycobacterium other than tuberculosis (MOTT).
Untuk mendeteksi MOTT dapat digunakan beberapa cara, baik dengan melihat cepatnya
pertumbuhan, menggunakan uji nikotinamid, uji niasin maupun pencampuran dengan
cyanogen bromide serta melihat pigmen yang timbul 1

Pemeriksaan Radiologik
Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA dengan atau tanpa foto lateral. Pemeriksaan lain
atas indikasi : foto apiko-lordotik, oblik, CT-Scan. Pada pemeriksaan foto toraks,
tuberkulosis dapat memberi gambaran bermacam-macam bentuk (multiform). Gambaran
radiologik yang dicurigai sebagai lesi TB aktif : 1
Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru dan
segmen superior lobus bawah
Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau nodular
Bayangan bercak milier
Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang)

Gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif 1

Fibrotik pada segmen apikal dan atau posterior lobus atas

Kalsifikasi atau fibrotik

Kompleks ranke

Fibrotoraks/Fibrosis parenkim paru dan atau penebalan pleura

Luluh Paru (Destroyed Lung ) : 1


Gambaran radiologik yang menunjukkan kerusakan jaringan paru yang berat,
biasanya secara klinis disebut luluh paru . Gambaran radiologik luluh paru terdiri dari

17
atelektasis,multikaviti dan fibrosis parenkim paru. Sulit untuk menilai aktiviti lesi atau
penyakit hanya berdasarkan gambaran radiologik tersebut.
Perlu dilakukan pemeriksaan bakteriologik untuk memastikan aktiviti proses penyakit
Luas lesi yang tampak pada foto toraks untuk kepentingan pengobatan dapat
dinyatakan sbb (terutama pada kasus BTA dahak negatif) :
Lesi minimal , bila proses mengenai sebagian dari satu atau dua paru dengan luas
tidak lebih dari volume paru yang terletak di atas chondrostemal junction dari iga
kedua depan dan prosesus spinosus dari vertebra torakalis 4 atau korpus vertebra
torakalis 5 (sela iga 2) dan tidak dijumpai kaviti
Lesi luas, Bila proses lebih luas dari lesi minimal.

Pemeriksaan Penunjang
Salah satu masalah dalam mendiagnosis pasti tuberkulosis adalah lamanya waktu yang
dibutuhkan untuk pembiakan kuman tuberkulosis secara konvensional. Dalam perkembangan
kini ada beberapa teknik baru yang dapat mengidentifikasi kuman tuberkulosis secara lebih
cepat. 1,2

1)
Polymerase chain reaction (PCR): Pemeriksaan PCR adalah teknologi canggih yang
dapat mendeteksi DNA, termasuk DNA M.tuberculosis. Salah satu masalah dalam
pelaksanaan teknik ini adalah kemungkinan kontaminasi. Cara pemeriksaan ini telah
cukup banyak dipakai, kendati masih memerlukan ketelitian dalam pelaksanaannya.
Hasil pemeriksaan PCR dapat membantu untuk menegakkan diagnosis sepanjang
pemeriksaan tersebut dikerjakan dengan cara yang benar dan sesuai standar. Apabila
hasil pemeriksaan PCR positif sedangkan data lain tidak ada yang menunjang kearah
diagnosis TB, maka hasil tersebut tidak dapat dipakai sebagai pegangan untuk
diagnosis TB. Pada pemeriksaan deteksi M.tb tersebut diatas, bahan / spesimen
pemeriksaan dapat berasal dari paru maupun luar paru sesuai dengan organ yang
terlibat.1,2

2) Pemeriksaan serologi, dengan berbagai metoda: 1,2

a. Enzym linked immunosorbent assay (ELISA)

18
Teknik ini merupakan salah satu uji serologi yang dapat mendeteksi respon humoral berupa
proses antigen-antibodi yang terjadi. Beberapa masalah dalam teknik ini antara lain adalah
kemungkinan antibodi menetap dalam waktu yang cukup lama.1,2

b. Mycodot
Uji ini mendeteksi antibodi antimikobakterial di dalam tubuh manusia. Uji ini menggunakan
antigen lipoarabinomannan (LAM) yang direkatkan pada suatu alat yang berbentuk sisir
plastik. Sisir plastik ini kemudian dicelupkan ke dalam serum penderita, dan bila di dalam
serum tersebut terdapat antibodi spesifik anti LAM dalam jumlah yang memadai yang sesuai
dengan aktiviti penyakit, maka akan timbul perubahan warna pada sisir yang dapat dideteksi
dengan mudah 1,2

c. Uji peroksidase anti peroksidase (PAP)


Uji ini merupakan salah satu jenis uji yang mendeteksi reaksi serologi yang terjadi 1,3

d. ICT
Uji Immunochromatographic tuberculosis (ICT tuberculosis) adalah uji serologik untuk
mendeteksi antibodi M.tuberculosis dalam serum. Uji ICT tuberculosis merupakan uji
diagnostik TB yang menggunakan 5 antigen spesifik yang berasal dari membran sitoplasma
M.tuberculosis, diantaranya antigen M.tb 38 kDa. Ke 5 antigen tersebut diendapkan dalam
bentuk 4 garis melintang pada membran immunokromatografik (2 antigen diantaranya

digabung dalam 1 garis) dismaping garis kontrol. Serum yang akan diperiksa sebanyak 30 l

diteteskan ke bantalan warna biru, kemudian serum akan berdifusi melewati garis antigen.
Apabila serum mengandung antibodi IgG terhadap M.tuberculosis, maka antibodi akan
berikatan dengan antigen dan membentuk garis warna merah muda. Uji dinyatakan positif
bila setelah 15 menit terbentuk garis kontrol dan minimal satu dari empat garis antigen pada
membran. Dalam menginterpretasi hasil pemeriksaan serologi yang diperoleh, para klinisi
harus hati hati karena banyak variabel yang mempengaruhi kadar antibodi yang terdeteksi.
Saat ini pemeriksaan serologi belum bisa dipakai sebagai pegangan untuk diagnosis 1,3

3) Pemeriksaan BACTEC
Dasar teknik pemeriksaan biakan dengan BACTEC ini adalah metode radiometrik. M
tuberculosis memetabolisme asam lemak yang kemudian menghasilkan CO2 yang

19
akan dideteksi growth indexnya oleh mesin ini. Sistem ini dapat menjadi salah satu
alternatif pemeriksaan biakan secara cepat untuk membantu menegakkan diagnosis. 1,3
4) Pemeriksaan Cairan Pleura
Pemeriksaan analisis cairan pleura & uji Rivalta cairan pleura perlu dilakukan pada
penderita efusi pleura untuk membantu menegakkan diagnosis. Interpretasi hasil
analisis yang mendukung diagnosis tuberkulosis adalah uji Rivalta positif dan kesan
cairan eksudat, serta pada analisis cairan pleura terdapat sel limfosit dominan dan
glukosa rendah 1,3
5) Pemeriksaan histopatologi jaringan
Bahan histopatologi jaringan dapat diperoleh melalui biopsi paru dengan trans
bronchial lung biopsy (TBLB), trans thoracal biopsy (TTB), biopsi paru terbuka,
biopsi pleura, biopsi kelenjar getah bening dan biopsi organ lain diluar paru. Dapat
pula dilakukan biopsi aspirasi dengan jarum halus (BJH =biopsi jarum halus).
Pemeriksaan biopsi dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis, terutama pada
tuberkulosis ekstra paru Diagnosis pasti infeksi TB didapatkan bila pemeriksaan
histopatologi pada jaringan paru atau jaringan diluar paru memberikan hasil berupa
granuloma dengan perkejuan 1,3
6) Pemeriksaan darah
Hasil pemeriksaan darah rutin kurang menunjukkan indikator yang spesifik untuk
tuberkulosis. Laju endap darah ( LED) jam pertama dan kedua sangat dibutuhkan.
Data ini sangat penting sebagai indikator tingkat kestabilan keadaan nilai
keseimbangan biologik penderita, sehingga dapat digunakan untuk salah satu respon
terhadap pengobatan penderita serta kemungkinan sebagai predeteksi tingkat
penyembuhan penderita. Demikian pula kadar limfosit bisa menggambarkan biologik/
daya tahan tubuh penderida , yaitu dalam keadaan supresi / tidak. LED sering
meningkat pada proses aktif, tetapi laju endap darah yang normal tidak
menyingkirkan tuberkulosis. Limfositpun kurang spesifik. 1,3
7) Uji tuberkulin
Pemeriksaan ini sangat berarti dalam usaha mendeteksi infeksi TB di daerah dengan
prevalensi tuberkulosis rendah. Di Indonesia dengan prevalensi tuberkulosis yang
tinggi, pemeriksaan uji tuberkulin sebagai alat bantu diagnostik kurang berarti,
apalagi pada orang dewasa. Uji ini akan mempunyai makna bila didapatkan konversi
dari uji yang dilakukan satu bulan sebelumnya atau apabila kepositifan dari uji yang
didapat besar sekali atau bula. Pada pleuritis tuberkulosa uji tuberkulin kadang

20
negatif, terutama pada malnutrisi dan infeksi HIV. Jika awalnya negatif mungkin
dapat menjadi positif jika diulang 1 bulan kemudian. Sebenarnya secara tidak
langsung reaksi yang ditimbulkan hanya menunjukkan gambaran reaksi tubuh yang
analog dengan ; a) reaksi peradangan dari lesi yang berada pada target organ yang
terkena infeksi atau b) status respon imun individu yang tersedia bila menghadapi
agent dari basil tahan asam yang bersangkutan (M.tuberculosis). 1,3

Gambar 3. Skema Alur Diagnosis dan Tindak Lanjut TB pada Orang Dewasa 3

21
1.6 Penatalaksanaan TB paru
1. Tujuan pengobatan TB adalah: 1,4
a) Menyembuhkan pasien dan memperbaiki produktivitas serta kualitas hidup
b) Mencehag terjadinya kematian oleh karena TB atau dampak buruk
selanjutnya
c) Mencegah terjadinya kekambuhan TB
d) Menurunkan penularan TB
e) Mencegah terjadinya dan penularan TB resistan obat
2. Prinsip pengobatan TB: 1,4

22
Obat Anti Tuberkulosis (OAT) adalah komponen terpenting dalam pengobatan TB.
Pengobatan TB adalah merupakan salah satu upaya paling efisien untuk mencegah
penyebaran lebih lanjut dari kuman TB. Pengobatan yang adekuat harus memenuhi
prinsip : 1,5
Pengobatan diberikan dalam bentuk paduan OAT yang tepat mengandung
minimal 4 macam obat untuk mencegah terjadinya resistensi
Diberikan dalam dosis yang tepat
Ditelan secara teratur dan diawasi secara langsung oleh PMO (pengawas
menelan obat) sampai selesai pengobatan.
Pengobatan diberikan dalam jangka waktu yang cukup terbagi dalam tahap
awal serta tahap lanjutan untuk mencegah kekambuhan.

3. Tahapan pengobatan TB
Pengobatan TB harus selalu meliputi pengobatan tahap awal dan tahap lanjutan
dengan maksud: 1,5
Tahap Awal : pengobatan dibeikan setiap hari . Paduan pengobatan pada
tahap ini adalah dimaksudkan untuk secara efektif menurunkan jumlah kuman
yang ada dalam tubuh pasien dan meminimalisirkan pengaruh dari sebagian
kecil kuman yang mungkin sudah resisten sejak sebelum pasien mendapatkan
pengobatan. Pengobatan tahap awal pada semua pasien baru, harus diberikan
selama 2 bulan. Pada umumnya dengan pengobatan secara teratur dan tanpa
adanya penyulit, daya penularan sudah sangat menurun setelah pengobatan
selama 2 minggu.
Tahap Lanjutan : pengobatan tahap lanjutan merupakan tahap yang penting
untuk membunuh sisa-sisa kuman yang masih ada dalam tubuh khususnya
kuman persisten sehingga pasien dapat sembuh dan mencegah terjadinya
kekambuhan
4. Obat Anti Tuberkulosis (OAT) 1,5

23
TABEL 1. OAT LINI PERTAMA 5

JENIS SIFAT EFEK SAMPING


Isoniazid (H) Bakterisidal Neuropati perifer, psikosis toksik, gangguan hati,
kejang
Rifampisin (R) Bakterisida Flu syndrom, gangguan GIT, urine berwarna
merah, gangguan fungsi hati, trombositopeni,
demam, skin rash, sesak nafas, anemia hemolitik
Pirazinamid (Z) Bakterisidal Gangguan GIT, gangguan fungsi hati, gout artitis
Streptomisin (S) Bakterisidal Nyeri ditempat suntikan, gangguan keseimbangan
dan pendengaran, renjatan anafilaktif, anemia,
agranulositosis, trombositopeni
Etambutol (E) bakteriostatik Gangguan penglihatan, buta warna, neuritis
perifer

TABEL2. DOSIS OAT LINI PERTAMA 5


OAT DOSIS
HARIAN 3X/MINGGU
Kisaran Maksimum Kisaran dosis Maksimum/hari
dosis (mg) (mg/kgBB) (mg)
(mg/kgBB)
Isoniazid 5(4-6) 300 10(8-12) 900
Rifampisin 10(8-12) 600 10(8-12) 600
Pirazinamid 25(20-30) - 35(30-40) -
Etambutol 15(15-20) - 30(25-35) -
Streptomisin 15(12-18) - 15(12-18) 1000

*CATATAN : pemberian streptomisin untuk pasien yang berumur >60 tahun atau
pasien dengan berat badan <50kg mungkin tidak dapat mentoleransi dosis
>500mg/hari . beberapa buku rujukan menganjurkan penurunan dosis menjadi
10mgkg/BB/hari

24
5. Paduan OAT yang digunakan di Indonesia ( sesuai rekomendasi WHO dan ISTC)
Paduan OAT yang digunakan oleh program Nasional Pengendalian Tuberkulosis di
Indonesia adalah : 1,5
Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3
Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3
Kategori Anak : 2(HRZ)/4(HR) atau 2HRZA(S)/4-10HR
Obat yang digunakan dalam tatalaksana pasien TB resistan obat di Indonesia
terdiri dari OAT lini ke 2 yaitu kanamisin, kapreomisin, levofloksasin,
Etionamide, Sikloserin, Moksifloksasin dan PAS, serta OAT lini-1, yaitu
pirazinamid dan etambutol

Paduan OAT Kategori-1 dan Kategori-2 disediakan dalam bentuk paket obat kombinasi
dosis tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat
dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas
dalam satu paket untuk satu pasien.1,5

Paket Kombipak. Adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid, Rifampisin,
Pirazinamid dan Etambutol yang dikemas dalam bentuk blister. Paduan OAT ini disediakan
program untuk digunakan dalam pengobatan pasien yang terbukti mengalami efek samping
pada pengobatan dengan OAT KDT sebelumnya.1,5

Paduan OAT Kategori Anak disediakan dalam bentuk paket obat kombinasi dosis tetap
(OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 3 jenis obat dalam satu tablet.
Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk
satu pasien. Paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) disediakan dalam bentuk paket, dengan
tujuan untuk memudahkan pemberian obat dan menjamin kelangsungan (kontinuitas)
pengobatan sampai selesai. Satu (1) paket untuk satu (1) pasien dalam satu (1) masa
pengobatan. Obat Anti Tuberkulosis (OAT) disediakan dalam bentuk paket KDT mempunyai
beberapa keuntungan dalam pengobatan TB, yaitu: 1,5
a) Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga menjamin efektifitas obat
dan mengurangi efek samping.
b) Mencegah penggunaan obat tunggal sehinga menurunkan resiko terjadinya resistensi
obat ganda dan mengurangi kesalahan penulisan resep

25
c) Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian obat menjadi
sederhana dan meningkatkan kepatuhan pasien

6. Paduan OAT KDT Lini Pertama dan Peruntukannya.


a. Kategori-1 : 2(HRZE) / 4(HR)3
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru: 1,5
Pasien TB paru terkonfirmasi bakteriologis.
Pasien TB paru terdiagnos
Pasien TB paru terdiagnosis klinis
Pasien TB ekstra paru

TABEL 3. OAT KDT Lini Pertama Kategori-1 : 2(HRZE) / 4(HR)3. 5

Berat Badan Tahap Intensif tiap hari Tahap Lanjutan 3 kali


selama 56 hari seminggu selama 16
RHZE(150/75/400/275) minggu RH (150/150)
30-37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT
38-54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 2 KDT
55-70 kg 4 tablet 4 KDT 4 tablet 2 KDT
>71kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 2 KDT

TABEL 4. Dosis Paduan OAT Kombipak Kategori 1: 2HRZE/4H3R3. 5

Dosis per hari/kali Jumlah


Tahap pengobatan Tablet Kaplet Tablet Tablet hari/kali
Lama pengobatan Isoniazid Rifampisin Pirazinamid Etambutol menelan
300mg 450mg 500 mgg 250 mg obat
2 bulan 1 1 3 3 56
4 bulan 2 1 - - 48

b. Kategori -2: 2(HRZE)S / (HRZE) / 5(HR)3E3)


Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang pernah diobati sebelumnya

26
(pengobatan ulang): 1,5
Pasien kambuh
Pasien gagal pada pengobatan dengan paduan OAT kategori 1 sebelumnya
Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow-up)

TABEL 5 . Dosis Paduan OAT KDT Kategori 2: 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3. 5

Tahap Lanjutan 3 kali


Tahap intesif tiap hari RHZE seminggu RH
Berat badan (150/75/400/275)+S (150/150)+(400)
Selama 56 hari Selama 28 hari Selama 20 minggu
30-37 kg 2 tab 4KDT +500mg 2 tab 4KDT 2 tab 2KDT+ 2 tab
Streptomisin inj Etambutol
38-54 kg 3 tab 4KDT + 750 mg 3 tab 4KDT 3 tab 2KDT+3 tab Etambutol
Streptomisin inj
55-70 kg 4 tab 4KDT+ 1000 mg 4tab 4KDT 4 tab 2KDT+ 4tab Etambutol
Streptomisin inj
>71 kg 5 tab 4KDT + 1000mg 5tab 4KDT (>do 5 tab 2KDT + 5 tab
Streptomisin inj maks Etambutol

27
TABEL6 . Dosis Paduan OAT Kombipak Kategori 2: 2HRZES/HRZE/ 5H3R3E3. 5

Jumlsh
Tablet Etambutol Streptomisin hari/kali
pengobatan Lama Tablet Kaplet Tablet Tablet Tablet injeksi menelan
pengobatan Isoniazid Rimpasin Pirazimid 250mg 400mg obat
300mg 400mg 500 mg
Tahap 2 bulan 1 1 3 3 - 0,75gr 56
awal 1 bulan 1 1 3 3 - 28
(dosis
harian)
Tahap 5 bulan 2 1 - 1 2 - 60
lanjutan
(dosis 3x
seminggu)

Catatan:
Untuk perempuan hamil lihat pengobatan TB pada keadaan khusus.
Cara melarutkan streptomisin vial 1 gram yaitu dengan menambahkan aquabidest
sebanyak 3,7ml sehingga menjadi 4ml. (1ml = 250mg).
Berat badan pasien ditimbang setiap bulan dan dosis pengobatan harus disesuaikan
apabila terjadi perubahan berat badan.
Penggunaan OAT lini kedua misalnya golongan aminoglikosida (misalnya kanamisin)
dan golongan kuinolon tidak dianjurkan diberikan kepada pasien baru tanpa
indikasi yang jelas karena potensi obat tersebut jauh lebih rendah daripada OAT lini
pertama. Disamping itu dapat juga meningkatkan risiko terjadinya resistensi pada
OAT lini kedua.
OAT lini kedua disediakan di Fasyankes yang telah ditunjuk guna memberikan
pelayanan pengobatan bagi pasien TB yang resistan obat.

7. Pemantauan kemajuan dan hasil pengobatan TB


a. Pemantauan kemajuan pengobatan TB

28
Pemantauan kemajuan dan hasil pengobatan pada orang dewasa dilaksanakan dengan
pemeriksaan ulang dahak secara mikroskopis. Pemeriksaan dahak secara mikroskopis lebih
baik dibandingkan dengan pemeriksaan radiologis dalam memantau kemajuan pengobatan.
Laju Endap Darah (LED) tidak digunakan untuk memantau kemajuan pengobatan karena
tidak spesifik untuk TB. Untuk memantau kemajuan pengobatan dilakukan pemeriksaan dua
contoh uji dahak (sewaktu dan pagi). Hasil pemeriksaan dinyatakan negatif bila ke 2 contoh
uji dahak tersebut negatif. Bila salah satu contoh uji positif atau keduanya positif, hasil
pemeriksaan ulang dahak tersebut dinyatakan positif. Hasil dari pemeriksaan mikroskopis
semua pasien sebelum memulai pengobatan harus dicatat. Pemeriksaan ulang dahak pasien
TB BTA positif merupakan suatu cara terpenting untuk menilai hasil kemajuan pengobatan.
Setelah pengobatan tahap awal, tanpa memperhatikan hasil pemeriksaan ulang dahak apakah
masih tetap BTA positif atau sudah menjadi BTA negatif, pasien harus memulai pengobatan
tahap lanjutan (tanpa pemberian OAT sisipan apabila tidak mengalami konversi). Pada semua
pasien TB BTA positif, pemeriksaan ulang dahak selanjutnya dilakukan pada bulan ke 5.
Apabila hasilnya negatif, pengobatan dilanjutkan hingga seluruh dosis pengobatan selesai dan
dilakukan pemeriksaan ulang dahak kembali pada akhir pengobatan.1,5

Efek Samping OAT :


Sebagian besar penderita TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek samping. Namun
sebagian kecil dapat mengalami efek samping, oleh karena itu pemantauan kemungkinan
terjadinya efek samping sangat penting dilakukan selama pengobatan. Efek samping yang
terjadi dapat ringan atau berat, bila efek samping ringan dan dapat diatasi dengan obat
simtomatik maka pemberian OAT dapat dilanjutkan. 1,5

1. Isoniazid (INH)
Efek samping ringan dapat berupa tanda-tanda keracunan pada syaraf tepi, kesemutan, rasa
terbakar di kaki dan nyeri otot. Efek ini dapat dikurangi dengan pemberian piridoksin dengan
dosis 100 mg perhari atau dengan vitamin B kompleks. Pada keadaan tersebut pengobatan
dapat diteruskan. Kelainan lain ialah menyerupai defisiensi piridoksin (syndrom pellagra)
Efek samping berat dapat berupa hepatitis yang dapat timbul pada kurang lebih 0,5%
penderita. Bila terjadi hepatitis imbas obat atau ikterik, hentikan OAT dan pengobatan sesuai
dengan pedoman TB pada keadaan khusus1,5

2. Rifampisin

29
Efek samping ringan yang dapat terjadi dan hanya memerlukan pengobatan
simtomatik ialah :
- Sindrom flu berupa demam, menggigil dan nyeri tulang
- Sindrom perut berupa sakit perut, mual, tidak nafsu makan, muntah kadang-kadang
diare
- Sindrom kulit seperti gatal-gatal kemerahan 1,5
Efek samping yang berat tapi jarang terjadi ialah :
- Hepatitis imbas obat atau ikterik, bila terjadi hal tersebut OAT harus distop dulu dan
penatalaksanaan sesuai pedoman TB pada keadaan khusus
- Purpura, anemia hemolitik yang akut, syok dan gagal ginjal. Bila salah satu dari
gejala ini terjadi, rifampisin harus segera dihentikan dan jangan diberikan lagi
walaupun gejalanya telah menghilang
- Sindrom respirasi yang ditandai dengan sesak napas Rifampisin dapat menyebabkan
warna merah pada air seni, keringat, air mata, air liur. Warna merah tersebut terjadi
karena proses metabolisme obat dan tidak berbahaya. Hal ini harus diberitahukan
kepada penderita agar dimengerti dan tidak perlu khawatir. 1,5

3. Pirazinamid
Efek samping utama ialah hepatitis imbas obat (penatalaksanaan sesuai pedoman TB pada
keadaan khusus). Nyeri sendi juga dapat terjadi (beri aspirin) dan kadangkadang dapat
menyebabkan serangan arthritis Gout, hal ini kemungkinan disebabkan berkurangnya
ekskresi dan penimbunan asam urat. Kadang-kadang terjadi reaksi demam, mual, kemerahan
dan reaksi kulit yang lain.5

4. Etambutol
Etambutol dapat menyebabkan gangguan penglihatan berupa berkurangnya ketajaman, buta
warna untuk warna merah dan hijau. Meskipun demikian keracunan okuler tersebut
tergantung pada dosis yang dipakai, jarang sekali terjadi bila dosisnya 15-25 mg/kg BB
perhari atau 30 mg/kg BB yang diberikan 3 kali seminggu. Gangguan penglihatan akan
kembali normal dalam beberapa minggu setelah obat dihentikan. Sebaiknya etambutol tidak
diberikan pada anak karena risiko kerusakan okuler sulit untuk dideteksi5

5. Streptomisin

30
Efek samping utama adalah kerusakan syaraf kedelapan yang berkaitan dengan
keseimbangan dan pendengaran. Risiko efek samping tersebut akan meningkat seiring
dengan peningkatan dosis yang digunakan dan umur penderita. Risiko tersebut akan
meningkat pada penderita dengan gangguan fungsi ekskresi ginjal. Gejala efek samping yang
terlihat ialah telinga mendenging (tinitus), pusing dan kehilangan keseimbangan. Keadaan ini
dapat dipulihkan bila obat segera dihentikan atau dosisnya dikurangi 0,25gr. Jika pengobatan
diteruskan maka kerusakan alat keseimbangan makin parah dan menetap (kehilangan
keseimbangan dan tuli). Reaksi hipersensitiviti kadang terjadi berupa demam yang timbul
tiba-tiba disertai sakit kepala, muntah dan eritema pada kulit. Efek samping sementara dan
ringan (jarang terjadi) seperti kesemutan sekitar mulut dan telinga yang mendenging dapat
terjadi segera setelah suntikan. Bila reaksi ini mengganggu maka dosis dapat dikurangi 0,25gr
Streptomisin dapat menembus barrier plasenta sehingga tidak boleh diberikan pada wanita
hamil sebab dapat merusak syaraf pendengaran janin. 5

TABEL 7. Efek samping OAT 5


Jenis Obat Ringan Berat

Isoniazid (H) tanda-tanda keracunan pada Hepatitis, ikhterus


syaraf tepi, kesemutan, nyeri
otot dan gangguan
kesadaran. Kelainan yang
lain menyerupai defisiensi
piridoksin (pellagra) dan
kelainan kulit yang
bervariasi antara lain gatal-
gatal.

Rifampisin (R) gatal-gatal kemerahan kulit, Hepatitis, sindrom respirasi


sindrom flu, sindrom perut. yang ditandai dengan sesak
nafas, kadang disertai
dengan kolaps atau renjatan
(syok), purpura, anemia
hemolitik yang akut, gagal
ginjal

Pirazinamid (Z) Reaksi hipersensitifitas : Hepatitis, nyeri sendi,


demam, mual dan serangan arthritis gout
kemerahan

31
Streptomisin (S) Reaksi hipersensitifitas : Kerusakan saraf VIII yang
demam, sakit kepala, muntah berkaitan dengan
dan eritema pada kulit keseimbangan dan
pendengaran

Etambutol (E) Gangguan penglihatan Buta warna untuk warna


berupa berkurangnya merah dan hijau
ketajaman penglihatan

Penanganan efek samping obat: 1,5


Efek samping yang ringan seperti gangguan lambung yang dapat diatasi secara
simptomatik
Gangguan sendi karena pirazinamid dapat diatasi dengan pemberian salisilat /
allopurinol
Efek samping yang serius adalah hepatits imbas obat. Penanganan seperti tertulis di
atas
Penderita dengan reaksi hipersensitif seperti timbulnya rash pada kulit yang
umumnya disebabkan oleh INH dan rifampisin, dapat dilakukan pemberian dosis
rendah dan desensitsasi dengan pemberian dosis yang ditingkatkan perlahan-lahan
dengan pengawasan yang ketat. Desensitisasi ini tidak bisa dilakukan terhadap obat
lainnya
Kelainan yang harus dihentikan pengobatannya adalah trombositopenia, syok atau
gagal ginjal karena rifampisin, VIll karena streptomisin dan dermatitis exfoliative dan
agranulositosis karena thiacetazon
Bila sesuatu obat harus diganti maka paduan obat harus diubah hingga jangka waktu
pengobatan perlu dipertimbangkan kembali dengan baik.

PENGOBATAN SUPORTIF / SIMPTOMATIK


Pengobatan yang diberikan kepada penderita TB perlu diperhatikan keadaan klinisnya. Bila
keadaan klinis baik dan tidak ada indikasi rawat, dapat rawat jalan. Selain OAT kadang perlu
pengobatan tambahan atau suportif/simtomatik untuk meningkatkan daya tahan tubuh atau
mengatasi gejala/keluhan. 5
1. Penderita rawat jalan

32
a) Makan makanan yang bergizi, bila dianggap perlu dapat diberikan vitamin tambahan
(pada prinsipnya tidak ada larangan makanan untuk penderita tuberkulosis, kecuali
untuk penyakit komorbidnya)
b) Bila demam dapat diberikan obat penurun panas/demam
c) Bila perlu dapat diberikan obat untuk mengatasi gejala batuk, sesak napas atau
keluhan lain.

2. Penderita rawat inap


a) Indikasi rawat inap :
TB paru disertai keadaan/komplikasi sbb :
- Batuk darah (profus)
- Keadaan umum buruk
- Pneumotoraks
- Empiema
- Efusi pleura masif / bilateral
- Sesak napas berat (bukan karena efusi pleura)
TB di luar paru yang mengancam jiwa :
- TB paru milier
- Meningitis TB
b) Pengobatan suportif / simtomatik yang diberikan sesuai dengan keadaan klinis dan
indikasi rawat

TERAPI PEMBEDAHAN
lndikasi operasi
1. Indikasi mutlak 5
a) Semua penderita yang telah mendapat OAT adekuat tetapi dahak tetap positif
b) Penderita batuk darah yang masif tidak dapat diatasi dengan cara konservatif
c) Penderita dengan fistula bronkopleura dan empiema yang tidak dapat diatasi secara
konservatif

2. lndikasi relatif 5
a) Penderita dengan dahak negatif dengan batuk darah berulang
b) Kerusakan satu paru atau lobus dengan keluhan
c) Sisa kaviti yang menetap. Tindakan Invasif (Selain Pembedahan)

33
Bronkoskopi

Punksi pleura

Pemasangan WSD (Water Sealed Drainage)

Kriteria Sembuh 5

BTA mikroskopik negatif dua kali (pada akhir fase intensif dan akhir pengobatan)

dan telah mendapatkan pengobatan yang adekuat

Pada foto toraks, gambaran radiologik serial tetap sama/perbaikan

Bila ada fasiliti biakan, maka kriteria ditambah biakan negatif

EVALUASI PENGOBATAN
Evaluasi penderita meliputi evaluasi klinik, bakteriologik, radiologik, dan efek samping obat,
serta evaluasi keteraturan berobat. 5
Evaluasi klinik

Penderita dievaluasi setiap 2 minggu pada 1 bulan pertama pengobatan selanjutnya

setiap 1 bulan

Evaluasi : respons pengobatan dan ada tidaknya efek samping obat serta ada

tidaknya komplikasi penyakit

Evaluasi klinik meliputi keluhan , berat badan, pemeriksaan fisik.

Evaluasi bakteriologik (0 - 2 - 6 /9) 5

Tujuan untuk mendeteksi ada tidaknya konversi dahak

Pemeriksaan & evaluasi pemeriksaan mikroskopik

- Sebelum pengobatan dimulai


- Setelah 2 bulan pengobatan (setelah fase intensif)
- Pada akhir pengobatan

Bila ada fasiliti biakan : pemeriksaan biakan (0 - 2 6/9)

34
Evaluasi radiologik (0 - 2 6/9)
Pemeriksaan dan evaluasi foto toraks dilakukan pada: 5

Sebelum pengobatan

Setelah 2 bulan pengobatan

Pada akhir pengobatan

Evaluasi efek samping secara klinik

Bila mungkin sebaiknya dari awal diperiksa fungsi hati,fungsi ginjal dan darah

lengkap

Fungsi hati; SGOT,SGPT, bilirubin, fungsi ginjal : ureum, kreatinin, dan gula darah

, asam urat untuk data dasar penyakit penyerta atau efek samping pengobatan

Asam urat diperiksa bila menggunakan pirazinamid

Pemeriksaan visus dan uji buta warna bila menggunakan etambutol

Penderita yang mendapat streptomisin harus diperiksa uji keseimbangan dan

audiometri

Pada anak dan dewasa muda umumnya tidak diperlukan pemeriksaan awal tersebut.

Yang paling penting adalah evaluasi klinik kemungkinan terjadi efek samping obat. Bila pada
evaluasi klinik dicurigai terdapat efek samping, maka dilakukan pemeriksaan laboratorium
untuk memastikannya dan penanganan efek samping obat sesuai pedoman. 5

Evalusi keteraturan berobat 5

Yang tidak kalah pentingnya selain dari paduan obat yang digunakan adalah

keteraturan berobat. Diminum / tidaknya obat tersebut. Dalam hal ini maka sangat
penting penyuluhan atau pendidikan mengenai penyakit dan keteraturan berobat
yang diberikan kepada penderita, keluarga dan lingkungan

Ketidakteraturan berobat akan menyebabkan timbulnya masalah resistensi.

Evaluasi penderita yang telah sembuh

35
Penderita TB yang telah dinyatakan sembuh tetap dievaluasi minimal dalam 2 tahun pertama
setelah sembuh untuk mengetahui terjadinya kekambuhan. Yang dievaluasi adalah
mikroskopik BTA dahak dan foto toraks. Mikroskopik BTA dahak 3,6,12 dan 24 bulan
setelah dinyatakan sembuh. Evaluasi foto toraks 6, 12, 24 bulan setelah dinyatakan sembuh. 5

1.7 komplikasi TB paru


Komplikasi paru : atelektasis, hemoptosis, fibrosis, bronkiektasis, pneumotoraks,
gagal nafas
TB ekstra paru : pleuritis, efusi pleura, perikarditis, peritonitis, TB kelenjar limfe
Kor pulmonal 5

1.8 Pencegahan TB paru


Menelan OAT secara lengkap dan teratur sampai sembuh. Pasien TB harus menutup
mulutnya dengan saputangan atau tisu atau tangan pada waktu bersin dan batuk dan
mencuci tangan 6
Tidak membuang dahak disembarang tempat, tetapi dibuang pada tempat khusus dan
tertutup. Misalnya: dengan menggunakan wadah/ kaleng bertutup yang sudah diberi
air sabun. Buanglah dahak ke lubang WC atau timbun ke dalam tanah ditempat yang
jauhh dari keramaian 6
Perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) 7
a. Menjemur alat tidur
b. Membuka pintu dan jendela setiap pagi agar udara dan sinar matahari
masuk. Sinar matahari masuk langsung dapat mematikan kuman TB.
c. Makan makanan bergizi
d. Tidak merokok dan minum minuman keras
e. Olahraga secara teratur
f. Mencuci pakaian hingga bersih
g. Buang air besar dijamban/wc
h. Mencuci tangan hinngga bersih di air yang mengalir setelah selesai
buang air besar, sebelum dan sesudah makan.
i. Beristirahat cukup
j. Jangan tukar menukar peralatan mandi

36
2. GAGAL GINJAL
2.1 Definisi Gagal Ginjal
Gagal ginjal merupakan penurunan fungsi ginjal yang terjadi secara akut (kekambuhan)
maupun secara kronis (menahun). Gagal ginjal akut bila penurunan fungsi ginjal berlangsung
secara tiba-tiba, tetapi kemudian dapat kembali normal setelah penyebabnya segera dapat
diatasi. Gagal ginjal kronik gejala yang muncul secara bertahap, biasanya tidak menimbulkan
gejala awal yang jelas, sehingga penurunan fungsi ginjal tersebut sering dirasakan, tahu-tahu
sudah pada tahap parah dan sulit diobati. Gagal ginjal kronik atau penyakit tahap akhir adalah
penyimpangan progresif, ginjal yang tidak dapat pulih dimana kemampuan tubuh untuk
mempertahankan keseimbangan metabolik, cairan dan elektrolit mengalami kegagalan, yang
mengakibatkan uremia.7 Penyakit ginjal kronik merupakan penyakit tahap akhir yang sangat
progresif dan irreversibel dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan
metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit sehingga terjadi uremia.8

2.2 Epidemiologi Gagal ginjal


Menurut World Health Organization (WHO), secara global lebih dari 500 juta orang
mengalami penyakit gagal ginjal kronik.9 Berdasarkan data dari Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) tahun 2013 prevelensi gagal ginjal kronik di Indonesia sekitar 0,2%. Prevalensi
kelompok umur _ 75 tahun dengan 0,6% lebih tinggi dari kelompok umur lainnya.9

2.3 Patogenesis Gagal ginjal


Dua penyebab utama penyakit gagal ginjal kronis adalah diabetes melitus tipe
1 dan tipe 2 (44%) dan hipertensi (27%). Diabetes melitus adalah suatu keadaan
dimana terjadi peningkatan kadar glukosa dalam darah sehingga menyebabkan
kerusakan pada organ-organ vital tubuh seperti ginjal dan jantung serta pembuluh
darah, saraf dan mata. Sedangkan hipertensi merupakan keadaan dimana terjadi
peningkatan tekanan darah yang jika tidak terkontrol akan menyebabkan serangan
jantung, stroke, dan penyakit ginjal kronik. Gagal ginjal kronik juga dapat
menyebabkan hipertensi. Kondisi lain yang dapat menyebabkan gangguan pada
ginjal antara lain :10
- Penyakit peradangan seperti glomerulonefritis (10%), dapat menyebabkan
inflamasi dan kerusakan pada unit filtrasi ginjal. Merupakan penyakit ketiga
tersering penyebab gagal ginjal kronik

37
- Penyakit keturunan seperti penyakit ginjal polikistik (3%) menyebabkan
pembesaran kista di ginjal dan merusak jaringan sekitar, dan asidosis tubulus.
- Malformasi yang didapatkan oleh bayi pada saat berada di dalam rahim si ibu.
Contohnya, penyempitan aliran urin normal sehingga terjadi aliran balik urin
ke ginjal. Hal ini menyebabkan infeksi dan kerusakan pada ginjal.
- Lupus dan penyakit lain yang memiliki efek pada sistem imun (2%)
- Penyakit ginjal obstruktif seperti batu saluran kemih, tumor, pembesaran
glandula prostat pada pria danrefluks ureter.
- Infeksi traktus urinarius berulang kali seperti pielonefritis kronik.
Penggunaan analgesik seperti acetaminophen (Tylenol) dan ibuprofen (Motrin,
Advil) untuk waktu yang lama dapat menyebabkan neuropati analgesik sehingga
berakibat pada kerusakan ginjal.
- Penyakit vaskuler hipertensif misalnya nefrosklerosis dan stenosis arteri
renalis.
- Penyebab lainnya adalah infeksi HIV, penyakit sickle cell, penyalahgunaan
heroin, amyloidosis, gout, hiperparatiroidisme dan kanker.
FAKTOR RESIKO
Faktor resiko gagal ginjal kronik diantara lain : pasien dengan diabetes melitus
atau hipertensi, obesitas atau perokok, berusia lebih dari 50 tahun, individu dengan
riwayat diabetes melitus, hipertensi dan penyakit ginjal dalam keluarga serta
kumpulan populasi yang memiliki angka tinggi diabetes atau hipertensi seperti
African Americans, Hispanic Americans, Asian, Pacific Islanders, dan American
Indians. 11
PATOFISIOLOGI
Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit
yang mendasari, tetapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang
lebih sama. Pada gagal ginjal kronik terjadi pengurangan massa ginjal mengakibatkan
hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa. Hal ini mengakibatkan
terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah
glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh proses
maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti
dengan penurunan fungsi nefron yang progresif. Perubahan fungsi neuron yang tersisa
setelah kerusakan ginjal menyebabkan pembentukan jaringan ikat, sedangkan nefron

38
yang masih utuh akan mengalami peningkatan beban eksresi sehingga terjadi
lingkaran setan hiperfiltrasi dan peningkatan aliran darah glomerulus. Demikian
seterusnya, keadaan ini berlanjut menyerupai suatu siklus yang berakhir dengan Gagal
Ginjal Terminal (GGT) atau End Stage Renal Disease (ESRD). Adanya peningkatan
aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron intrarenal, hipertensi sistemik, nefrotoksin
dan hipoperfusi ginjal, proteinuria, hiperlipidemia ikut memberikan kontribusi
terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis, dan progresifitas tersebut. 11
Dengan adanya penurunan LFG maka akan terjadi : 11
- Anemia
Gangguan pembentukan eritropoietin di ginjal menyebabkan penurunan
produksi eritropoietin sehingga tidak terjadi proses pembentukan eritrosit
menimbulkan anemia ditandai dengan penurunan jumlah eritrosit, penurunan
kadar Hb dan diikuti dengan penurunan kadar hematokrit darah. Selain itu
GGK dapat menyebabkan gangguan mukosa lambung (gastripati uremikum)
yang sering menyebabkan perdarahan saluran cerna. Adanya toksik uremik
pada GGK akan mempengaruhi masa paruh dari sel darah merah menjadi
pendek, pada keadaan normal 120 hari menjadi 70 80 hari dan toksik uremik
ini dapat mempunya efek inhibisi eritropoiesis 11
- Sesak nafas
Menurut saya disebabkan karena ada kerusakan pada unit filtrasi ginjal
sehingga menyebabkan penurunan perfusi ginjal akhirnya menjadi iskemik
ginjal. Hal tersebut menyebabkan terjadinya pelepasan renin yang terdapat di
aparatus juxtaglomerulus sehingga mengubah angiotensinogen menjadi
angitensin I. Lalu oleh converting enzyme, angiotensin I diubah menjadi
angiotensin II. Angiotensin II merangsang pelepasan aldosteron dan ADH
ssehingga menyebabkan retensi NaCl dan air volume ekstrasel meningkat
(hipervolemia) volume cairan berlebihan ventrikel kiri gagal memompa
darah ke perifer LVH peningkatan tekanan atrium kiri peningkatan
tekanan vena pulmonalis peningkatan tekanan di kapiler paru edema
paru sesak nafas 11
- Asidosis
Pada gagal ginjal kronik, asidosis metabolik dapat terjadi akibat penurunan
kemampuan ginjal untuk mengeksresikan ion H+ disertai dengan penurunan
kadar bikarbonat (HCO3) dan pH plasma. Patogenesis asidosis metabolik pada
39
gagal ginjal kronik meliputi penurunan eksresi amonia karena kehilangan
sejumlah nefron, penurunan eksresi fosfat, kehilangan sejumlah bikarbonat
melalui urin. Derajat asidosis ditentukan oleh penurunan pH darah. Apabila
penurunan pH darah kurang dari 7,35 dapat dikatakan asidosis metabolik.
Asidosis metabolik dpaat menyebabkan gejala saluran cerna seperti mual,
muntah, anoreksia dan lelah. Salah satu gejala khas akibat asidosis metabolik
adalah pernapasan kussmaul yang timbul karena kebutuhan untuk
meningkatkan eksresi karbon dioksida untuk mengurangi keparahan asidosis 11
- Hipertensi
Disebabkan karena ada kerusakan pada unit filtrasi ginjal sehingga
menyebabkan penurunan perfusi ginjal akhirnya menjadi iskemik ginjal. Hal
tersebut menyebabkan terjadinya pelepasan renin yang terdapat di aparatus
juxtaglomerulus sehingga mengubah angiotensinogen menjadi angitensin I.
Lalu oleh converting enzyme, angiotensin I diubah menjadi angiotensin II.
Angiotensin II memiliki efek vasokonstriksi kuat sehingga meningkatkan
11
tekanan darah.
- Hiperlipidemia
Penurunan GFR menyebabkan penurunan pemecahan asam lemak bebas oleh
ginjal sehingga menyebabkan hiperlipidemia. 11
- Hiperurikemia
Terjadi gangguan eksresi ginjal sehingga asam urat terakumulasi di dalam
darah (hiperurikemia). Kadar asam urat yang tinggi akan menyebabkan
pengendapan kristal urat dalam sendi, sehingga sendi akan terlihat
membengkak, meradang dan nyeri 11
- Hiponatremia
Peningkatan eksresi natrium dapat disebabkan oleh pengeluaran hormon
peptida natriuretik yang dapat menghambat reabsorpsi natrium pada tubulus
ginjal. Bila fungsi ginjal terus memburuk disertai dengan penurunan jumlah
nefron, natriuresis akan meningkat. Hiponatremia yang disertai dengan retensi
air yang berlebihan akan menyebabkan dilusi natrium di cairan ekstraseluler.
Keadaan hiponetremia ditandai dengan gangguan saluran pencernaan berupa
kram, diare dan muntah. 11
- Hiperfosfatemia

40
Penurunan fungsi ginjal mengakibatkan penurunan eksresi fosfat sehingga
fosfat banyak yang berada dalam sirkulasi darah. Jika kelarutannya
terlampaui, fosfat akan bergabung deng Ca2+ untuk membentuk kalsium
fosfat yang sukar larut. Kalsium fosfat yang terpresipitasi akan mengendap di
sendi dan kulit ( berturut-turut menyebabkan nyeri sendi dan pruritus) 11
- Hipokalsemia
Disebabkan karena Ca2+ membentuk kompleks dengan fosfat. Keadaan
hipokalsemia merangsang pelepasan PTH dari kelenjar paratiroid sehingga
memobilisasi kalsium fosfat dari tulang. Akibatnya terjadi demineralisasi
tulang (osteomalasia). Biasanya PTH mampu membuat konsentrasi fosfat di
dalam plasma tetap rendah dengan menghambat reabsorbsinya diginjal. Jadi
meskipun terjadi mobilisasi kalsium fosfat dari tulang, produksinya di plasma
tidak berlebihan dan konsentrasi Ca2+ dapat meningkat. Namun pada
insufisiensi ginjal, eksresinya melalui ginjal tidak dapat ditingkatkan sehingga
konsentrasi fosfat di plasma meningkat. Selanjutnya konsentrasi CaHPO4
terpresipitasi dan konsentrasi Ca2+ di plasma tetap rendah. Oleh karena itu,
rangsangan untuk pelepasan PTH tetap berlangsung. Dalam keadaan
perangsangan yang terus-menerus ini, kelenjar paratiroid mengalami hipertrofi
bahkan semakin melepaskan lebih banyak PTH. Kelaina yang berkaitan
dengan hipokalsemia adalah hiperfosfatemia, osteodistrofi renal dan
hiperparatiroidisme sekunder. Karena reseptor PTH selain terdapat di ginjal
dan tulang, juga terdapat di banyak organ lain ( sistem saraf, lambung, sel
darah dan gonad), diduga PTH berperan dalam terjadinya berbagai kelainan di
organ tersebut. 11
Pembentukan kalsitriol berkurang pada gahal ginjal juga berperan
dalam menyebabkan gangguan metabolisme mineral. Biasanya hormon ini
merangsang absorpsi kalsium dan fosfat di usus. Namun karena terjadi
penurunan kalsitriol, maka menyebabkan menurunnya absorpsi fosfat di usus,
hal ini memperberat keadaan hipokalsemia11
- Hiperkalemia
Pada keadaan asidosis metabolik dimana konsentrasi ion H+ plasma
meningkat, maka ion hidrogen tersebut akan berdifusi ke dalam sel sel ginjal
sehingga mengakibatkan kebocoran ion K+ ke dalam plasma. Peningkatan
konsentrasi ion H+ dalam sel ginjal akan menyebabkan peningkatan sekresi
41
hidrogen, sedangkan sekresi kalium di ginjal akan berkurang sehingga
menyebabkan hiperkalemia. Gambaran klinis dari kelainan kalium ini
berkaitan dengan sistem saraf dan otot jantung, rangka dan polos sehingga
dapat menyebabkan kelemahan otot dan hilangnya refleks tendon dalam,
gangguan motilitas saluran cerna dan kelainan mental. 11
- Proteinuria
Proteinuria merupakan penanda untuk mengetahui penyebab dari kerusakan
ginjal pada GGK seperti DM, glomerulonefritis dan hipertensi. Proteinuria
glomerular berkaitan dengan sejumlah penyakit ginjal yang melibatkan
glomerulus. Beberapa mekanisme menyebabkan kenaikan permeabilitas
glomerulus dan memicu terjadinya glomerulosklerosis. Sehingga molekul
protein berukuran besar seperti albumin dan immunoglobulin akan bebas
melewati membran filtrasi. Pada keadaan proteinuria berat akan terjadi
pengeluaran 3,5 g protein atau lebih yang disebu dengan sindrom nefrotik. 11
- Uremia
Kadar urea yang tinggi dalam darah disebut uremia. Penyebab dari uremia
pada GGK adalah akibat gangguan fungsi filtrasi pada ginjal sehingga dapat
terjadi akumulasi ureum dalam darah. Urea dalam urin dapat berdifusi ke
aliran darah dan menyebabkan toksisitas yang mempengaruhi glomerulus dan
mikrovaskularisasi ginjal atau tubulus ginjal. Bila filtrasi glomerulus kurang
dari 10% dari normal, maka gejala klinis uremia mulai terlihat. Pasien akan
menunjukkan gejala iritasi traktus gastrointestinal, gangguan neurologis, nafas
seperti amonia (fetor uremikum), perikarditis uremia dan pneumonitis uremik.
Gangguan pada serebral adapat terjadi pada keadaan ureum yang sangat tinggi
dan menyebabkan koma uremikum. 11

2.4 Klasifikasi Gagal ginjal


KRITERIA 12
Kriteria Penyakit Ginjal Kronik
1. Kerusakan ginjal yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan struktural atau
fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG), dengan
manifestasi:
- Kelainan patologis

42
- Terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi darah atau
urin, atau kelainan dalam tes pencitraan (imaging tests)
2. Laju filtrasi glomerulus kurang dari 60 ml/menit/1,73m2 selama 3 bulan, dengan
atau tanpa kerusakan ginjal.

KLASIFIKASI 12
TABEL 8. Klasifikasi penyakit gagal ginjal kronik atau dasar derajat penyakit 12
Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik atas Dasar Derajat Penyakit
Derajat Penjelasan LFG (ml/mn/1,73m2)
1 Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau 90
2 Kerusakan ginjal dengan LFG ringan 60 89
3 Kerusakan ginjal dengan LFG sedang 30 59
4 Kerusakan ginjal dengan LFG berat 15 29
5 Gagal ginjal < 15 atau dialisis
Klasifikasi atas dasar penyakit, dibuat atas dasar LFG, yang dihitung dengan
mempergunakan rumus Kockcroft Gault sebagai berikut :

LFG (ml/mnt/1,73m2) = (140 umur) X berat badan *)


72 X kreatinin plasma (mg/dl)
*) pada perempuan dikalikan 0,85
TABEL 9. Klasifikasi penyakit gagal ginjal kronik atau dasar derajat penyaki 12
Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik atas Dasar Diagnosis Etiologi
Penyakit Tipe mayor ( contoh )
Penyakit ginjal diabetes Diabetes tipe 1 dan 2
Penyakit ginjal non Penyakit glomerular (penyakit autoimun, infeksi sistemik,
diabetes obat, neoplasma)
Penyakit vaskular ( penyakit pembuluh darah besar,
hipertensi, mikroangiopathi)
Penyakit tubulointerstitial (pielonefritis kronik, batu,

43
obstruksi, keracunan obat)
Penyakit kistik (ginjal polikistik)
Penyakit pada Rejeksi kronik
transplantasi Keracunan obat (siklosporin / takrolimus)
Penyakit recurrent (glomerular)
Transplant glomerulopathy

2.5 Diagnosis Gagal ginjal


ANAMNESIS 12,13
Riwayat hipertensi, DM, ISK, batu saluran kemih, hipertensi ,hiperurisemia, lupus
Riwayat hipertensi dalam kehamilan (pre-eklampsi, abortus spontan)
Riwayat konsumsi obat NSAID, penisilamin, antimikroba, kemoterapi, antiretroviral,
proton pump inhibitors, paparan zat kontras
Evaluasi sindrom uremia : lemah, nafsu makan menurun, berat badan menurun, mual,
muntah, nokturia, sendawa, edema perifer, neuropati perifer, pruritus, kram otot,
kejang sampai koma
Riwayat penyakit ginjal pada keluarga, juga evaluasi manifestasi sistem organ seperti
auditorik, visual, kulit dan lainnya untuk menilai apa ada PGK yang diturunkan (
sindrom alport atau fabry, sistunuria) atau paparan nefrotoksin dari lingkungan
(logam berat)

PEMERIKSAAN FISIK12,13
Difokuskan kepada peningkatan tekanan darah dan kerusakan target organ:
funduskopi, pemeriksaan pre-kordial
Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit : edema, polineuropati
Gangguan endokrin-metabolik: amenorrhea, malnutrisi, gangguan pertumbuhan dan
perkembangan, infertilitas dan disfungsi seksual
Gangguan saluran cerna : anoreksia, mual, muntah, nafas bau urin, disgeusia (metalic
taste), konstipasi
Gangguan neuromuskular : letargi, sendawa, asteriksis, mioklonus, fasikulasi otot,
restles leg syndrome, miopati, kejang sampai koma

44
Gangguan dermatologis: palor, hiperpigmentasi, pruritus, ekimosis, uremic frost,
nephrogenic fibrosing dermopathy

PEMERIKSAAN PENUNJANG 12
Laboratorium : darah perifer lengkap, penurunnan LFG dengan rumus kokcroft gault,
penurunan serum ureum dan kreatini, tes klirens kreatinin (TTK) ukur, asam urat,
elektrolit, gula darah, profil lipid, analisa gas darah, serologis, hepatitis, SI, TIBC,
feritin serum, hormon PTH, albumin, globulin, pemeriksaan imunologi, hemostasis
lengkap, urinalisis
Radiologi : foto polos abdomen, BNO IVP, USG, CT scan, ekokardiografi
Biopsi ginjal

2.6 Penatalaksanaan Gagal ginjal


Penatalaksanaan penyakit ginjal kronik meliputi : 12,13
1) Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya
Waktu yang tepat untuk terapi penyakit dasarnya adalah sebelum terjadinya
penurunan LFG. Bila LFG sudah menurun sampai 20-30% dari normal, terapi
terhadap penyakit dasar sudah tidak banyak bermanfaat.
2) Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid
Penting sekali untuk mengikuti dan mencatat kecepatan penurunan LFG untuk
mngetahui kondisi komorbid yang dapat memperburuk keadaan pasien.
3) Memperlambat perburukan fungsi ginjal
Faktor utama penyebab perburukan fungsi ginjal adalah terjadinya hiperfiltrasi
glomerulus. Cara untuk mengurangi hiperfiltrasi glomerulus adalah :
o Pembatasan asupan protein
Karena kelebihan protein tidak dapat disimpan didalam tubuh tetapi di
pecah menjadi urea dan substansi nitrogen lain, yang terutama
dieksresikan melalui ginjal selain itu makanan tinggi protein yang
mengandung ion hydrogen, posfat, sulfat, dan ion anorganik lainnya
juga dieksresikan melalui ginjal. Oleh karena itu, pemberian diet tinggi
protein pada penderita gagal ginjal kronik akan mengakibatkan
penimbunan substansi nitrogen dan ion anorganik lainnya dan

45
mengakibatkan sindrom uremia. Pembatasan asupan protein juga
berkaitan dengan pembatasan asupan fosfat, karena protein dan fosfat
selalu berasal dari sumber yang sama dan untuk mencegah terjadinya
hiperfosfatemia

TABEL 10. Pembatasan asupan protein dan fosfat penyakit gagal


ginjal 12
Pembatasan Asupan Protein dan Fosfat pada Penyakit Ginjal Kronik
LGF ml/menit Asupan protein g/kg/hari Fosfat g/kg/hari
>60 Tidak dianjurkan Tidak dibatasi
25 60 0,6 0,8/kg/hari, termasuk < 10 g
> 0,35 gr/kg/hr nilai
biologi tinggi
5 -25 0,6 0,8/kg/hari, termasuk < 10 g
> 0,35 gr/kg/hr protein
nilai biologi tinggi atau
tambahan 0,3 g asam
amino esensial atau asam
keton
<60(sind.nefrotik) 0,8/kg/hari (+1 gr protein/ < 9 g
g proteinuria atau 0,3 g/kg
tambahan asam amino
esensial atau asam keton

o Terapi farmakologi
Untuk mengurangi hipertensi intraglomerulus. Pemakaian obat
antihipertensi (ACE inhibitor) disamping bermanfaat untuk
memperkecil resiko kardiovaskular juga sangat penting untuk
memperlambat perburukan kerusakan nefron dengan mengurangi
hipertensi intraglomerular dan hipertrofi glomerulus 12
4) Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular

46
Dengan cara pengendalian DM, pengendalian hipertensi, pengedalian
dislipidemia, pengedalian anemia, pengedalian hiperfosfatemia dan terapi
terhadap kelebihan cairan dan gangguan keseimbangan elektrolit. 12,
5) Pencegahan dan terapi terhadap penyakit komplikasi 12,3
- Anemia
Evaluasi terhadap anemia dimulai saaat kadar hemoglobin < 10 g%
atau hematokrit < 30% meliputi evaluasi terhadap status besi ( kadar
besi serum/serum iron, kapasitas ikat besi total/ total iron binding
capacity, feritin serum), mencari sumber perdarahan morfologi
eritrosit, kemungkinan adanya hemolisis,dll. Pemberian eritropoitin
(EPO) merupakan hal yang dianjurkan. Sasaran hemoglobin adalah 11
12 g/dl.
- Osteodistrofi renal
Penatalaksaan osteodistrofi renal dapat dilakukan melalui :
i. Mengatasi hiperfosfatemia
Pembatasan asupan fosfat 600 800 mg/hari
Pemberian pengikat fosfat, seperti garam, kalsium, alluminium
hidroksida, garam magnesium. Diberikan secara oral untuk
menghambat absorpsi fosfat yang berasal dari makanan. Garam
kalsium yang banyak dipakai adalah kalsium karbonat
(CaCO3) dan calcium acetate
Pemberian bahan kalsium memetik, yang dapat menghambta
reseptor Ca pada kelenjar paratiroid, dengan nama sevelamer
hidrokhlorida.
ii. Pemberian kalsitriol
Pemakaian dibatasi pada pasien dengan kadar fosfat darah
normal dan kadar hormon paratiroid (PTH) > 2,5 kali normal
karena dapat meningkatkan absorpsi fosfat dan kaliun di
saluran cerna sehingga mengakibatkan penumpukan garam
calcium carbonate di jaringan yang disebut kalsifikasi
metastatik, disamping itu juga dapat mengakibatkan penekanan
yang berlebihan terhadap kelenjar paratiroid.
iii. Pembatasan cairan dan elektrolit

47
Pembatasan asupan cairan untuk mencegah terjadinya edema
dan kompikasi kardiovaskular sangat perlu dilakukan. Maka air
yang masuk dianjurkan 500 800 ml ditambah jumlah urin.
Elektrolit yang harus diawasi asuapannya adalah kalium dan
natrium. Pembatasan kalium dilakukan karena hiperkalemia
dapat mengakibatkan aritmia jantung yang fatal. Oleh karena
itu, pemberian obat obat yang mengandung kalium dan
makanan yang tinggi kalium (seperti buah dan sayuran) harus
dibatasi. Kadar kalium darah dianjurkan 3,5 5,5 mEq/lt.
Pembatasan natrium dimaksudkan untuk mengendalikan
hipertensi dan edema. Jumlah garam natrium yang diberikan,
disesuaikan dengan tingginya tekanan darah dan derajat edema
yang terjadi.
6) Terapi pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal
Dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu pada LFG < 15
ml/mnt. Berupa hemodialisis, peritoneal dialisis atau transplantasi ginjal. 12,13
2.7 Komplikasi Gagal ginjal
Kardiovaskular
Gangguan keseimbangan cairan, natrium, kalium, kalsium, fosfat
Asidosis metabolik
Osteodistrofi renal
Anemia 12,13

3. Penatalaksanaan TB dalam keadaan khusus


1. TB Paru dan Gagal Ginjal
Paduan OAT yang dianjurkan adalah pada pasien TB dengan gagal ginjal atau
gangguan fungsi ginjal yang berat: 2 HRZE/4 HR. H dan R diekskresi melalui empedu
sehingga tidak perlu dilakukan perubahan dosis. Dosis Z dan E harus disesuaikan karena
diekskresi melalui ginjal. Dosis pemberian 3 x /minggu bagi Z : 25 mg/kg BB dan E : 15
mg/kg BB. Pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal atau gagal ginjal, perlu diberikan
tambahan Piridoksin (vit. B6) untuk mencegah terjadinya neuropati perifer. Hindari
penggunaan Streptomisin dan apabila harus diberikan, dosis yang digunakan: 15 mg/kgBB, 2
atau 3 x /minggu dengan maksimum dosis 1 gr untuk setiap kali pemberian dan kadar dalam

48
darah harus selalu dipantau. Pasien dengan penyakit ginjal sangat berisiko untuk terkena TB
khususnya pada pasien dengan penyakit ginjal kronis. Secara umum, risiko untuk mengalami
efek samping obat pada pengobatan pasien TB dengan gagal kronis lebih besar dibanding
pada pasien TB dengan fungsi ginjal yang masih normal. Kerjasama dengan dokter yang ahli
dalam penatalaksanaan pasien dengan gangguan fungsi ginjal sangat diperlukan. Sebagai
acuan, tingkat kegagalan fungsi ginjal pada penyakit ginjal kronis dapat dilihat pada tabel
dibawah ini: 14

Tabel 11. Acuan penilaian tingkat kegagalan fungsi ginjal pada


penyakit ginjal kronis. 13

Tingkatt Hasil pemeriksaan klirens kreatinin (KK)


1 KK ( normal) dan fungsi ginjal normal namun terdapat kelainan saluran kencing,
misalnya ginjal polikistik, kelainan struktur
2 KK (60-90 ml/menit)
3 KK (30-60 ml?menit)
4 KK 15-30 ml/menit)
5 KK (<15 ml/menit) dengan atau tanpa dialisis

Tabel 12. Dosis yang dianjurkan pada pengobatan pasien TB dengan


penyakit ginjal kronis.13
OAT Stadium 1-3 Stadium 4-5
Isoniazid 300mg/hari Diberikan 3x/minggu dosis
300 mg/setiap pemberian
Rifampisin <50kg;450mg/hari <50kg;450mg/hari
>50kg;600mg/hari >50kg;600mg/hari
Pirazinamid <50kg; 1,5g/hari 25-30mg/kgBB/hari,
>50kg; 2g/hari diberikan 3x/minggu
Etambutol 15 mg/kgBB/hari 15-25 mg/kgBB/hari,
diberikan 3x/minggu

49
BAB 3
KESIMPULAN

Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium


tuberculosis complex. Sebagian besar kuman Mycobacterium tuberculosis menyerang paru,
tetapi dapat juga menyerang organ tubuh lainnya. Orang dengan Tb paru diobati dengan Obat
Anti Tuberkulosis (OAT) yaitu, (Rifampisin, Pirazinamid, Isoniazid, Etambutol) yang mana
untuk Kategori 1 diberikan 2(HRZE) / 4(HR)3, Kategori 2 diberikan
2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3. Kecuali pada pasien TB dengan gagal ginjal yang mana
termasuk dalam pengobatan khusus terapi yang diberikan adalah : 2 HRZE/4 HR. H dan R
diekskresi melalui empedu sehingga tidak perlu dilakukan perubahan dosis. Dosis Z dan E
harus disesuaikan karena diekskresi melalui ginjal. Selain itu juga pasien TB dengan gagal
ginjal juga diberikan piridoksin (vit B6) untuk mencegah nuropati perifer dan tidak boleh
diberikan streptomisin. Pasien Tb dengan gagal ginjal sebaiknya dirujuk ke ahli paru.

50
DAFTAR PUSTAKA

1. PAPDI. Pedoman Penatalaksananaan TB (Konsensus TB). 2006.


(hal : 3-29)
2. Smeltzer. S. C & Bare. B. G. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner
dan Suddarth, vol 1. Jakarta: EGC.
(hal : 18)
3. Departemen Kesehatan Republik Indonesia.2006. Pedoman Nasional Penanggulangan
Tuberkulosis Edisi 2 Cetakan Pertama. Jakarta.
(hal : 19-20)
4. World Health Organization.2010. Indonesia TB Country Profile. (Online),
http://whqlibdoc.who.int/publications/2010 /9789241547833_eng.pdf. diakses tanggal
19 Juli 2017).
(hal : 21)
5. Kemenkes RI. 2014. "Pedoman nasional pengendalian tuberkulosis." Direktorat
Jendral Pengendalian Penyakit Dan Penyehatan Lingkungan, Jakarta, Indonesia, ISBN
(hal:22-35)
6. Alam S & Hadibroto I. (2007). Gagal Ginjal. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

51
(hal: 35)
7. http://www.tbindonesia.or.id/opendir/Buku/buku-saku-tb-revfinal.pdf (diakses 22 juli
2017)
(hal:35)
8. Brunner & Suddart. (2002). Buku AjarKeperawatan Medikal Bedah, edisi 8. Jakarta :
EGC
(hal: 36)
9. Riset Kesehatan Dasar. (2013). Laporan Nasional Riskesdas 2013.
http://litbag.depkes.go.id. (Diakses 21 Juli 2017).
(hal: 36)
10. Ratnawati, Widyastuti. (2014). Korelasi lama menjalani hemodialisis dengan indeks
massa tubuh pasien gagal ginjal kronik di RSUD ARIFIN ACHAMAD PROVINSI
RIAU ( Diakses 21 Juli 2017).
(hal: 36)
11. Silbernagl, S dan Lang, F. Gagal Ginjal kronis. Teks & Atlas Berwarna Patofisiologi.
Cetakan I. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC ; 2007. p. 110 115.
(hal: 37-41)
12. Alwi I, salim S, dkk.(2015). Penatalaksanaan dibidang Ilmu Penyakit Dalam Panduan
Praktik Klinis.Interna Publishing. Jakarta.
(hal: 41-47)
13. Sudoyo, A. W dkk. Penyakit Ginjal Kronik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II.
Edisi V. Jakarta : Pusat Penerbitan IPD FK UI ; 2009. p. 1035 1040.
(hal41-47)
14. Kemenkes RI. 2014. "Pedoman nasional pengendalian tuberkulosis." Direktorat
Jendral Pengendalian Penyakit Dan Penyehatan Lingkungan, Jakarta, Indonesia, ISBN
(hal:22-35)

52

Anda mungkin juga menyukai