Anda di halaman 1dari 37

KATA PENGANTAR

Puja puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT, karena dengan hanya dengan

pertolongan dan Hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan proposal

ini, tepat waktunya sebagai salah satu syarat akademik untuk memperoleh gelar

Sarjan Hukum (S.H) pada Fakultas Hukum UNTAD. Adapun judul proposal

penulis mengenai Tinjauan Yuridis Perjanjian Yang Memuat Klausula

Arbitrase Dalam Sengketa Kepailitan .

Proposal yang penulis buat didedikasikan kepada kedua orang tua saya

tercinta,teristimewa kepada bapakku Khairul Bahri dan ibuku tersayang Yelvita

Gustri dan saudara saudariku, yang telah mendoakan dan perhatian serta

dukungan kepada saya. Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan buat teman-

teman saya yang telah membantu dan mendukung saya dalam pembuatan proposal

ini yaitu: Moh. Akbar SH, Moh. Akbar Utomo, Wahid Hidayat, dan Fahmi

Al-Hadad, yang telah mendukung saya dalam penyusunan proposal ini. Serta

dosen pembimbing saya yang telah mengarahkan dan membimbing saya dalam

pembuatan dan penyusunan prosposal.


DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

HALAMAN PENGESAHAN . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

KATA PENGANTAR . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

DAFTAR ISI . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

B. Rumusan Masalah .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

C. Tujuan dan Kegunaan Penulisan . . . . . . . . . . . . . . . .

D. Manfaat Penilitian . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

E. Kerangka Teori . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

F. Metode Penilitan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang.

Pengaruh gejolak moneter yang terjadi di beberapa negara Asia

khususnya di Indonesia, telah terjadi sejak pertengahan tahun 1997 menimbulkan

kesulitan perekonomian nasional yang sangat besar, terutama terhadap

kemampuan dunia usaha dalam usahanya atau untuk mempertahankan

kelangsungan kegiatan usahanya. Lebih jauh lagi, gejolak tersebut juga telah

memberi pengaruh besar terhadap kemampuan dunia usaha untuk memenuhi

kewajiban kepada kreditur.1 Keadaan ini pada gilirannya telah melahirkan akibat

berantai, yang lebih luas lagi. Tidak hanya dalam kelangsungan usaha dan segi-

segi ekonomi pada umumnya, tetapi juga pada aspek-aspek sosial lainnya. Dunia

bisnis merupakan dunia yang sulit untuk diprediksi, suatu perusahaan tidak selalu

berjalan dengan baik, dan sering kali menghadapi kendala keuangannya sudah

sedemikian rupa sehingga pelaku-pelaku usaha tersebut tidak dapat lagi

memenuhi kewajibannya kepada kreditur. Manusia maupun perusahaan yang

keberadaannya ditengah-tengah masyarakat selalu ingin mempertahankan

hidupnya atau usahanya. Semua ini perlu diselesaikan secara adil, dalam arti

memperhatikan kepentingan-kepentingan perusahaan sebagai debitor (orang

berhutang) dan kepentingan kreditor (orang berpiutang) secara seimbang.

Utang piutang sebagai sebuah perjanjian, menimbulkan hak dan kewajiban

kepada kreditur dan debitur yang bertimbal balik. Inti dari perjanjian utang
1
Rachmadi Usman. S.H.,2004. Dimensi Hukum Kepailitan di Indonesia. Hlm 4
piutang adalah kreditur memberikan pinjaman baik berupa benda, jasa ataupun

dalam bentuk uang kepada debitur yang wajib dikembalikan dalam waktu yang

telah ditentukan.2 Pengembalian utang wajib dibayar oleh debitur sebagaimana

yang telah diperjanjikan dan disepakati para pihak tersebut. Adanya sengketa

utang piutang karena debitur tidak dapat mengembalikan utangnya merupakan

masalah bagi kreditur tentang bagaimana agar debitur bersedia memenuhi

kewajibannya. Kreditur tidak dapat memaksa debitur untuk segera membayar

utangnya dengan mengambil barang-barang atau harta kekayaan debitur dengan

maksud sebagai pelunasan utang, dapat berakibat kreditur sendiri menghadapi

persoalan baru yaitu perkara pidana.3

Dalam kehidupan ini hampir sebagian besar orang pernah berkaitan

dengan utang (baik perorangan maupun badan hukum). Menurut pasal 1 UU No

37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

(PKPU) mendifinisikan utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat

dinyatakan dalam jumlah uang baik mata uang Indonesia maupun mata uang

asing, baik secara langsung ataupun yang akan timbul dikemudian hari, yang

timbul karena perjanjian maupun karena undang-undang dan wajib dipenuhi oleh

debitur dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditur untuk mendapat

pemenuhannya dari harta debitur. Pasal 2 ayat 1 UU Kepailitan menjelaskan

bahwa pailit adalah :

2
Gatot Supramo, S.H., M.Hum. 2011. Perjanjian Utang Piutang. Hlm 147
3
Ibid. Hlm 148
Debitur mepunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar sedikitnya
satu utang dan tidak membayar satu utang yang telah jatuh waktu dan dan dapat
ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan baik atas permohonan
sendiri maupun permohonan satu atau lebih krediturnya.

Dalam pasal tersebut menjelaskan pihak kreditur dapat menuntut atau

meminta haknya kepada debitur, dan telah melewati batas waktu yang telah

ditentukan antara kreditor dan debitor. Pengembalian utang dapat berupa

pengembalian sebagian kecil atau pengembalian sebagian besar. Utang yang baru

sebagaian dibayar atau hanya sebagian kecil yang dibayar, selebihnya atau sisa

utangnya sulit untuk diharapkan, menjadi masalah bagi kreditur.

Penyelesaian sengketa melalui peradilan (litigasi) ataupun diluar peradilan

umum (non litigasi), berdasarkan perjanjian yang dibuat secara tertulis (kontrak)

dan disepakati para pihak yaitu debitur dan kreditur, untuk memberikan keamanan

dan menjamin terlaksananya kepentingan kreditor dan debitor. Pasal 1313 KUH

Perdata menjelaskan perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu pihak

atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih , sedangkan

menurut teori baru yang dikemukakan Van Dunne yang akan melengkapkan

definisi perjanjian adalah suatu hubungan hukum antara para pihak atau lebih

berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.4 dari penjelasan

pasal dan teori tersebut, maka jelaslah jika terjadinya sengketa khususnya

sengketa kepailitan, maka proses penyelesaian sengketanya sesuai dengan

perjanjian yang dibuat secara tertulis dan disepakati antara debitur dan kreditur,

4
Salim HS, S.H., M.S.,2001. Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW)., Hlm 161
baik melalui pengadilan ataupun diluar pengadilan umum khususnya jika

mencantumkan proses penyelesaiaan sengketa melalui lembaga arbitrase.

Arbitrase sebagaimana dimaksud dalam UU No. 30 Tahun 1999 adalah

cara penyelesaian suatu sengketa perdata diluar peradilan umum yang didasarkan

pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis dan disepakati para pihak

yang bersengketa.5 Suatu perjanjian arbitrase harus menetapkan jangka waktu,

yaitu berapa lama perselisihan atau sengketa yang diajukan kepada arbitrase harus

ditetapkan. Apabila para pihak tidak menetapkan jangka waktu tertentu, lamanya

waktu penyelesaian akan ditentukan oleh majelis arbitrase berdasarkan aturan-

aturan arbitrase yang dipilih. Pasal 31 ayat 3 UU Arbitrase menyebutkan:

Dalam hal para pihak telah memilih acara arbitrase, harus ada
kesepakatan mengenai ketentuan jangka waktu dan tempat diselenggarakan
arbitrase dan apabila jangka waktu dan tempat arbitrase tidak ditentukan, arbiter
atau majelis arbitrase yang akan menentukan.6

Keabsahan mengikat diri dalam perjanjian arbitrase, harus didasarkan atas


kesepakatan bersama (mutual constent). Berdasarkan hal tersebut, keabsahan dan
mengikatnya setiap perjanjian arbitrase, harus memenuhi ketentuan pasal 1320
KUH Perdata yaitu : (1) adanya kata sepakat (2) kecakapan untuk melakukan
perbuatan hukum (3) adanya obyek dan (4) adanya kausa yang halal. Mengenai
pilihan hukum, para pihak bebas menentukan pilihan hukum yang akan berlaku
terhadap penyelesaian sengketa yang akan atau telah timbul antara debitur dan
kreditur.

5
Dr. Frans Hendra Winarta, S.H., M.H. 2001. Hukum Penyelesaian Sengeketa. Hlm 37
6
Undang-Undang Nomor. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternative Penyelesaian
Sengketa
B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang di atas, dan untuk memperkecil perluasan makna dari

latar belakang maka penulis merumuskan masalah :

Bagaimanakah kekuatan hukum klausula arbitrase dalam perjanjian antara

kreditor dan debitor apabila terjadi sengketa kepailitan ?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan utama penelitian adalah sebagai berikut :

Untuk mengetahui secara normatif, apakah klausula arbitrase dalam

perjanjian yang dibuat secara tertulis dan disepakati antara debitur dan

kreditur dalam penyelesaian sengketa kepailitan mempunyai kekuatan

hukum yang tetap (inkracht van gewisjde).

D. Kegunaan Penelitian

Dari hasil penilitian diharapkan dapat berguna sebagai bahan teoritis dan

informasi bagi kalangan akedemik, masyarakat dan pelaku-pelaku usaha

untuk lebih mengetahui kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde)

terhadap perjanjian yang dibuat secara tertulis dan disepakati antara

debitur dan kreditur memuat kluasula arbitrase dalam sengketa kepailitan.


F. Kerangka Teori

Menurut Poerwadarminta,pailit artinya bangkrut; dan bangkrut

artinya menderita kerugian besar hingga jatuh (perusahaan, toko, dan

sebagiannya).7 Pada prinsipnya, pengaturan masalah kepailitan merupakan suatu

perwujudan atau pengejawatan dari pasal 1131 KUH Perdata dan pasal 1132

KUH Perdata.8 Adapun pengertian yang terkandung dalam kedua pasal tersebut

adalah :

1. Apabila si debitur tidak membayar utangnya dengan sukarela atau

tidak membayarnya, walaupun telah ada keputusan pengadilan yang

menghukumnya supaya melunasi utangnya, atau karena tidak mampu

untuk membayar seluruh utangnya, maka semua harta bendanya disita

untuk dijual, dan hasil penjualan itu dibagi-bagikan antara semua

krediturnya secara ponds-pond gewisdje, artinya menurut

pertimbangan, yaitu menurut besar kecilnya piutang masing-masing

kreditor, kecuali apabila diantara para kreditor itu ada alasanalasan

yang sah untuk didahulukannya;

2. Semua kreditor mempunyai hak yang sama;

7
Jono, S.H., 2010 Hukum Kepalitan Hlm. 1
8
Lihat Pasal 1131 KUH Perdata yang berbunyi ; segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak
maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada dikemudian
menjadi tanggungan untuk segalaperikatan perseorangan. Sedangkan pasal 1132 KUH Perdata
kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang mengutangkan
padanya; pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu
menurut besar-kecilnya piutang masing-masing kecuali apabila diantara para berpiutang itu ada
alasan-alasan yang sah untuk didahulukan
3. Tidak ada nomor urut dari para kreditor yang didasarkan atas saat

timbulnya piutang-piutang mereka.9

Dalam pasal 1131 KUH Perdata mengandung asas schuld dan haftung

yaitu: bahwa setiap orang bertanggung jawab terhadap utangnya, dengan

menyediakan seluruh kekayaannya, jika perlu dijual untuk melunasi utangnya,

dan ketentuan Pasal 1132 KUH Perdata mengandung asas paritas creditorum,

bahwa setiap kreditor memiliki kedudukan yang sama terhadap kreditor lainnya

kecuali ditentukan undang-undang karena memiliki alasan yang sah untuk

didahulukan daripada kreditor-kreditornya. Dalam permasalahan utang pada

sengketa kepailitan, perlu diperhatikan bahwa letak dari pertanggungjawaban

debitor kepada kreditor pada hakekatnya terletak pada perjanjian para pihak yang

dibuat secara tertulis dan disepakati, serta sumber dari muncul kewajiban utang

tersebut.

Perjanjian merupakan terjemahan dari toestemming yang ditafsirkan

sebagai wilsovereenstemming (persesuaian kehendak/kata sepakat). Perjanjian

merupakan sumber perikatan, menurut Yustinianus perikatan adalah ; suatu

perikatan hukum atau obligatio adalah suatu kewajiban dari seorang untuk

mengadakan prestasi kepada pihak lain. Menurut Von Savigny perikatan adalah :

hak dari seorang (kreditur) terhadap seorang lain (debitur).10 sedangkan

perikatan menurut pasal 1233 KUH Perdata adalah suatu perbuatan hukum antara

para pihak untuk meberikan sesuatu, untuk melakukan sesuatu atau tidak berbuat

9
ibid hlm, 3 Jono, S.H, Thn 2007
10
Komariah, S.H., M.Si., Hukum Perdata. 2001. Hlm 139
sesuatu. Perjanjian yang disepakati, menjadi suatu perikatan dan mengikat para

pihak tersebut. Dari penjelasan pasal dan teori tersebut, maka jelaslah bahwa jika

terjadi suatu perjanjian yang disepakati para pihak maka menimbulkan suatu

perikatan atau suatu kewajiban dari debitor kepada kreditor.

Kesepakatan setuju dengan perjanjian arbitrase (pactum de comprettendo),

sebagaima diatur dalam pasal 2 UU No. 30 Tahun 1999 menyatakan, bahwa :

Undang-undang ini mengatur penyelesaian sengketa atau beda pendapat


antara para pihak dalam suatu hubungan hukum tertentu yang telah mengadakan
perjanjian arbitrase yang secara tegas menyatakan bahwa semua sengketa atau
beda pendapat yang timbul atau yang mungkin timbul dari hubungan hukum
tersebut akan diselesaikan dengan cara arbitrase atau melalui alternatif
penyelesaian sengketa. 11

Pokok yang penting dalam ketentuan pasal tersebut, kebolehan untuk

membuat persetujuan diantara para pihak yang membuat persetujuan untuk

menyerahkan penyelesaian perselisihan yang akan timbul dikemudian hari kepada

arbitrase. Pasal 1 dan 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang arbitrase

menjelaskan bahwa jika terjadinya sengketa, dan dalam perjanjian yang dibuat

secara tertulis dan disepakati debitor dan kreditor mencantumkan klausula

arbitrase maka proses penyelesaian sengketanya di lembaga arbitrase. Klausula

arbitrase menyangkut permasalahan penyelesaian sengketa yang relevan dengan

pokok perjanjian, klausula arbitrase tidak dapat memuat masalah penyelesaian

sengketa yang tidak tercantum dalam isi perjanjian pokok. Pasal 5 UU No. 30

Tahun 1999 menyatakan bahwa sengketa yang dapat diselasaikan melalui

11
Dr.frans Hendra Winarta., S.H., M.H., 2001 Hukum Penyelesaian Sengketa. Hlm. 37
arbitrase hanya sengketa perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum

dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang

bersengketa.

Pada awalnya, ketentuan yang mengatur tentang arbitrase adalah Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Perdata (Reglement op de bergelirjke

Rechtsvordering = Rv) yang terdapat dalam S. 1847 No. 52 jo. S. 1849 No. 63.12

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata (Rv) ini sebenarnya berlaku pada

golongan Eropa. Sedangkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata yang

berlaku untuk bumiputra adalah HIR (Harziene Indonesisch Reglement), dan

R.Bg (Rechtstreglement Buitngewesten). Namun berdasarkan pasal 377 HIR dan

pasal R.Bg ketentuan tentang arbitrase yang terdapat dalam Rv dinyatakan

berlaku juga untuk bumiputra. Dalam buku ketiga bab pertama diatur ketentuan-

ketentuan tentang arbitrase, mulai dari pasal 615-651 Rv. Sedangkan setelah

berlakunya Undang-Undang Arbitrase Nomor 30 Tahun 1999, maka keseluruhan

ketentuan arbitrase dalam Rv ini dinyatakan tidak berlaku lagi.

Dari pasal tersebut, maka jelaslah ketentuan-ketentuan dalam HIR dan

R.Gb tidaklah berlaku. Hal ini sejalan dengan asas perundang-undang yaitu : lex

specialis derogat lex generalis, dimana suatu peraturan atau undang-undang yang

khusus mengesampingkan peraturan atau undang-undang yang umum.

12
M. Yahya Harahap, S.H., 2004, Arbitrase Hlm. 2
G. Metode Penilitian

Berdasarkan perumusan masalah dan tujuan penelitian, maka metode

yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif, yaitu metode yang mengkaji

bahan-bahan hukum yang terdiri atas :

1. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum ini mengkaji peraturan perundang-undangan dan teori-teori

hukum yang berhubungan dengan permasalahan yang di bahas.

2. Bahan Hukum Skunder

Bahan hukum ini mengkaji literatur-literatur yang terkait dengan tulisan-

tulisan terhadap pokok bahasan yang dimaksud.

3. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier adalah berupa kamus untuk merajuk peristilahan yang

digunakan dalam penulisan ini.

Disamping sumber-sumber penilitian yang berupa bahan-bahan hukum,

peniliti hukum juga menggunakan bahan-bahan non hukum ini dapat berupa

buku-buku ataupun laporan-laporan penilitian non hukum dan jurnal-jurnal

non hukum sepanjang mempunyai relavansi dengan topik penilitian.


BAB II
TINJAUAN UMUM PERJANJIAN ARBITRASE DI PENYELESAIAN
SENGKETA KEPAILITAN

Pengertian kepailitan dan sejarah hukum kepailitan di Indonesia.

Pailit dapat diartikan dalam keadaan berhenti membayar hutang karena

tidak mampu. Kata pailit dapat juga diartikan sebagai bankrupt, kata bankrupt

sendiri mengandung arti banca dan ruta, dimana kata tersebut bermakna

memporak-porandakan kursi-kursi, adapun sejarahnya mengapa dikatakan

demikian adalah karena dahulu suatu peristiwa dimana terdapat seorang debitor

tidak dapat membayar hutangnya kepada kreditor, karena marah kreditor

mengamuk dan menghancurkan seluruh kursi-kursi yang terdapat di tempat

debitor.13 Menurut Peter Mahmud, kata pailit berasal dari bahasa Prancis filite

yang berarti kemacetan pembayaran.14 Dalam bahasa Belanda digunakan istilah

failiet dan dalam hukum Anglo Amerika, undang-undangnya dikenal dengan

Bankcruptcy Act. Sedangkan menurut UU No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan

dan Penundaan kewajiban Pembayaran Utang, pailit adalah sita umum atas semua

kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh

kurator dibawah hakim pengawas.

Dalam Blacks Law Dictionary pailit atau Bankrupt adalah the state

or condition of person (individual, partnership, corporation, municipality) who is

13
http ml. Scrib .com/Pengertian-Kepailitan-Dan-Dasar
14
uneble to pay its debt as they are, or become due. The term inculdes a parson

agints whom an involuntary petion has been filed, or who has filed a voluntary

petion has been filed, or who has filed a voluntary petition, or who has been

adjudged a bankrupt.15

Dari pengertian yang diberikan dalam Blacks Law Dictionary tersebut,

dapat kita lihat bahwa pengertian pailit dihubungkan dengan ketidakmampuan

untuk membayar dari seorang debitor atas utang-utangnya yang telah jatuh tempo.

Ketidakmampuan tersebut harus disertai dengan suatu tindakan nyata untuk

mengajukan, baik yang harus dilakukan secara sukarela oleh debitur sendiri,

maupun atas permintan pihak kedua (kreditor), suatu permohonan pernyataan

pailit kepengadilan (litigasi). Maksud dari pengajuan permohonan tersebut adalah

sebagai suatu bentuk pemenuhan asas pubilitas dari keadaan tidak mampu

membayar seorang debitor. Tanpa adanya permohonan kepada pengadilan, maka

kreditor atau pihak yang berkepentingan dalam sengketa kepailitan tersebut, tidak

akan pernah tahu keadaan tidak mampu membayar debitur. Keadaan ini kemudian

akan diperkuat dengan suatu putusan pernyataan pailit oleh hakim pengadilan,

baik permohonan putusan yang dikabulkan ataupun menolak permohonan yang

diajukan.

Dalam peraturan kepailitan yang lama, yaitu Fv S. 1905 No. 348 yang

dimaksud pailit adalah, setiap berutang (debitor) yang ada dalam keadaan berhenti

membayar, baik atas laporan sendiri maupun ataupun permohonan seseorang atau

lebih berpiutang (kreditor), dengan putusan hakim dinyatakan pailit.


15
Ahmad yani & Gunawan widjaja. 2003. Kepailitan
Ini agak berbeda pengertiannya dengan ketentuan UU No. 4 Tahun 1998 tentang

Kepailitan, yang menyebutkan debitor mempunyai dua atau lebih kreditor yang

tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih,16

dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan yang berwenang sebagaimana

dimaksud dalam pasal 2, baik atas permohonannya sendiri, maupun atas

permintaan seorang atau lebih kreditornya. pernyataan pailit tersebut harus

melalui proses pemeriksaan dipengadilan setelah memenuhi persyaratan di dalam

pengajuan permohonannya.

Yang disebut dengan harta paiit adalah harta milik debitor yang

dinyatakan pailit berdasarkan keputusan pengadilan. Menurut UU No. 4 Tahun

1998 tentang Kepailitan pasal 19 menjelaskan bahwa kepailitan adalah kepailitan

meliputi seluruh kekayaan debitor yang ada pada saat pernyataan pailit itu

dijatuhkan oleh pengadilan, dan meliputi jga seluruh harta kekayaan yang

diperoleh selama kepailitan berlangsung 17.

Menurut UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU, bahwa

yang dimaksud kepailitan adalah sita umum atas semua harta kekayaan debitor

pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator dibawah

pengawasan Hakim Pengawas. Untuk syarat dinyatakan pailit pada prinsipnya

masih sama dengan UU Kepailitan Nomor 4 Tahun 1998, hanya pengaturan

pasalnya saja yang berubah yaitu diatur dalam Pasal 2 ayat 1 UU No. 37 Tahun

16
http
17
Undang-undang nomor 4 tahun 1998 tentang penetapan pemerintah pengganti undang-
undang nomor 1 tahun 2008 tentang perubahan atas undang-undang tentang kepailitan menjadi
undang-undang
2004. Dilihat dari beberapa arti kata atau pengertian kepailitan dari kedua UU

tersebut, maka esensi kepailitan secara singkat dapat dikatakan sebagai sita umum

atas harta kekayaan debitor untuk kepentingan semua kreditornya yang pada

waktu kreditor dinyatakan pailit mempunyai utang.

Hukum tentang kepailitan itu sendiri sudah ada sejak zaman Romawi

(Baird, Douglas G, 1985 : 21).18 Bagi negara-negara tradisi hukum Common Law,

dimana hukumnya berasal dari negara Inggris raya, maka tahun 1952 merupakan

tonggak sejarah, karena dalam tahun 1952 tersebut, hukum pailit dari tradisi

hukum Romawi diadopsi ke negeri Inggris dengan diundangkannya oleh parlemen

di masa kekaisaran Raja Henry VII sebuah undang-undang yang disebut dengan

Act Againts Such Persons As Do Make Bankrupt.19 Undang-undang ini

menempatkan kebangkrutan sebagai hukuman bagi debitur nakal yang tidak

membayar utang-utangnya sambil menyembunyikan asetnya, dan juga undang-

undang ini memberikanhak-hak kepada kreditur yang tidak dimiliki oleh krditur

secara individual.

Peraturan di masa-masa awal dikenal hukum pailit hukum pailit Inggris

banyak yang mengatur tentang larangan pengalihan properti tidak dengan itikad

baik (fradulent convenyance statute). Di samping itu , dalam undang-undang lama

Inggris tersebut juga diatur antara lain tentang hal-hal sebagai berikut :

1. Usaha menjangkau bagian harta debitur yang tidak diketahui (to parts

unknown).

18
Munir fuady.1999. Hukum pailit.Hlm. 3
19
Ibid. Hlm.5
2. Usaha menjangkau debitur nakal yang mengurung diri di rumah

(keeping house) karean dalam hukum Inggris lama, seseorang sulit

dijangkau oleh hukum jika dia berada dalam rumahnya berdasarkan

asas mans home is castle.

3. Usaha untuk menjangkau debitur nakal yang berusaha untuk tinggal di

tempat-tempat tertentu yang kebal hukum, tempat mana sering disebut

istilah sanctuary. Mirip dengan kekebalan hukum bagi wilayah

kedutaan asing dalam hukum modern.

4. Usaha untuk menjangkau debitur nakal yang berusaha untuk

menjalankan sendiri secara sukarela terhadap putusan atau hukuman

tertentu, yang diajukan oleh temannya sendiri. Biasanya untuk maksud

ini terlebih dahulu dilakukan rekayasa tagihan dari temannya untuk

mencegah para krediturnya mengambil aset-aset tersebut.20

Sedangkan sejarah perundang-undangan kepailitan di Indonesia telah

dimulai hampir 100 tahun yang lalu yakni sejak 1906, sejak berlakunya

Verordening op het Faillissement en Surceance van Betaling voor de European

in Indonesia, sebagaimana dimuat dalam Staatblads 1905 No. 217 jo. Staatblads

1906 No. 348 Faillissementsverordening. Dalam tahun 1960-an, 1970-an secara

relatif masih banyak perkara kepailitan yang diajukan kepada Pengadilan Negeri

di seluruh Indonesia, namun sejak 1980-an hampir tidak ada perkara kepailitan

yang diajukan ke Pengadilan negeri. Tahun 1997 krisis moneter melanda

Indonesia, banyak utang tidak dibayar lunas meski sudah ditagih, sehingga timbul

20
Ibid. Hlm. 7
pikiran untuk membangunkan proses kepailitan dengan cara memperbaiki

perundang-undangan di bidang kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran

utang atau biasanya disingkat PKPU.21

Pada tanggal 20 April 1998 pemerintah telah menetapkan Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 tahun 1998 tentang perubahan atas

Undang-Undang tentang Kepailitan yang kemudian telah disetujui oleh Dewan

Perwakilan Rakyat menjadi Undang-Undang, yaitu Undang-Undang No. 4 tahun

1998 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 1998 tentang

perubahan atas Undang-Undang tentang Kepailitan tanggal 9 september 1998

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 nomor 135). UU No. 4 tahun

1998 tersebut bukanlah mengganti peraturan kepailitan yang berlaku, yaitu

Faillissements Verordening Staatsblad tahun 1905 No. 217 juncto Staatblads

tahun 1906 No. 308, tetapi sekedar mengubah dan menambah.

Dengan diundangkannya Perpu No. 1 tahun 1998 tersebut, yang kemudian

disahkan oleh DPR dengan mengundangkan Undang-Undang No. 4 tahun 1998

tersebut, maka tiba-tiba Peraturan Kepailitan (Faillissements Verordening S. 1905

No. 217 jo S. 1906 No. 348) yang praktis sejak lama sudah tidak beroperasi lagi,

menjadi hidup kembali. Sejak itu, pengajuan permohonan-permohonan

pernyataan pailit mulai mengalir ke Pengadilan Niaga dan bermunculanlah

berbagai putusan pengadilan mengenai perkara kepailitan.22

21
http/ sahikul.blogspot.com/2013/01/pengertian kepailitan dan penjelasan kepailitan
22
http/
Pengertian arbitrase dan sejarah arbitrase.

Proses atau cara penyelesaian sengketa bisnis yang saat ini sering di

gunakan pelaku usaha adalah melalui lembaga arbitrase, istilah arbitrase berasal

dari kata latin yaitu arbitrater yang berarti berhak menyelesaikan sesuatu

berdasarkan kebijaksanaan. Menurut Subekti Arbitrase adalah penyelesaian

suatu perselisihan (perkara) oleh seorang atau beberapa orang wasit (arbiter) yang

bersama-sama ditunjuk oleh para pihak yang berperkara dengan tidak diselesaikan

lewat pengadilan.23 Sedangkan menurut UU No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase

dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, arbitrase adalah cara penyelesaian suatu

sengketa perdata di luar lembaga peradilan umum yang didasarkan pada

perjanjian arbitrase yang dibuat para pihak secara tertulis dan disepakati para

pihak. . Arbitrase apabila dilihat dari suku katanya berasal dari bahasa latin yaitu

arbitrare, yang mempunyai arti kebijaksanaan. Oleh karena itu R. Subekti dalam

bukunya yang berjudul Arbitrase Perdagangan mengatakan bahwa arbitrase

adalah suatu bentuk penyelesaian sengketa yang proses dibantu oleh seorang

pihak ketiga dengan menggunakan kebijaksanaannya.24

Hal ini dikarenakan pengertian yang demikian akan menimbulkan kesan

seolah-olah seorang arbiter atau suatu majelis arbitrase dalam memeriksa dan

memutus suatu sengketa tidak akan mengindahkan norma-norma hukum lagi dan

hanya menyandarkan pada kebijaksanaannya saja. Akantetapi seorang arbiter atau

majelis arbitrase dalam memeriksa, mengadili dan memutus suatu sengketa terikat

23
24
http
dengan norma-norma hukum perundang-undangan yang ada, dengan kata lain

arbiter dalam memutus suatu sengketa tidak hanya didasarkan pada kebebasan

arbiter semata tapi juga berlandaskan norma-norma hukum yang berlaku.

Di era globalisasi yang melanda seluruh dunia mempangaruhi semua

bidang kehidupan. Namun yang paling tampak dan terasa adalah bidang ekonomi,

khususnya perdagangan. Era ini ditandai dengan lahirnya berbagai macam

perjanjian multilateral dan bilateral maupun pembentukan blok-blok ekonomi

yang menjurus kepada kondisi dalam dunia perdagangan.

Majunya perdagangan dunia ini, di satu sisi memang memberikan dampak

positif, namun di sisi lain dapat menimbulkan perbedaan paham, perselisihan

pendapat maupun pertentangan atau sengketa sebagai akibat adanya salah satu

pihak yang melakukan wanprestasi terhadap kontrak tersebut. Perbedaan paham,

perselisihan pendapat, pertentangan maupun sengketa tersebut tidak dapat

dibiarkan berlarut-larut dan harus diselesaikan secara memuaskan bagi semua

pihak. Meskipun tiap-tiap masyarakat memiliki cara sendiri-sendiri untuk

menyelesaikan perselisihan tersebut, namun demikian perkembangandunia usaha

yang berkembang secara universal dan global mulai mengenal bentuk-bentuk

penyelesaian sengketa homogen, menguntungkan dan menguntungkan rasa

aman dan keadilan bagi para pihak. Salah satu yang cukup populer dan banyak

diminati para pelaku usaha dalam proses penyelesaian sengketa dagang yaitu

melalui lembaga arbitrase.


Kalau kita melihat sejarah, selama ini yang dipakai sebagai dasar

pemeriksaan arbitrase di indonesia adalah pasal 615 sampai pasal 651 Reglemen

Acara Perdata (Reglement op de Rechtsvordering, Staatsblad 1847:52= Rv.) dan

pasal 377 Reglement Indonesia yang diperbaharui (Het Herziene Indonesisch

Reglement, Staatblad 1941:44 = HIR) dan pasal 705 Reglemen Acara untuk

Daerah luar Jawa Madura (Rechtsreglement Buitengewesten, Staatblad 1927:227

= RBg).25

Menurut Gary Goodpaster dalam Tinjauan terhadap Penyelesaian

Sengketa dalam buku Arbitrase di Indonesia,26 setiap masyarakat memiliki

berbagai macam cara untuk memperoleh kesepakatan dalam proses perkara atau

untuk menyelesaikan sengketa dan konflik. Cara yang dipakai pada suatu

sengketa tertentu jelas memiliki konsekuensi, bagi para pihak yang bersengketa

maupun masyarakat seluas-seluasnya. Karena adanya konsekuensi itu, maka

sangat diperlukan untuk menyalurkan sengketa-sengketa tertentu kepada suatu

mekanisme penyelesaian sengketa yang paling tepat bagi para pelaku usaha.

Di dalam tata hukum Indonesia, keberadaan dan perkembangan arbitrase

sebagai hukum positif memiliki sejarah tersendiri yang menunjukan

ketertinggalan arbitrase dan ADR (Alternative Dispute Resulotion) atau APS

(Alternatif Penyelesaian Sengketa) jika dibandingkan dengan perkembangan

arbitrase diluar negeri. Kodifikasi atas kelembagaan arbitrase sudah sangatlah

lama, yaitu dengan dicantumkannya di dalam salah satu bagian satu bagian

25
Gunawan widjaja dan ahmad yani. 2003.hlm
26
Ibid. Hlm.
Reglement op de rechtsvording (Rv) dengan S. 1847 No. 52 jo. S. 1849 No. 60.

Tata hukum indonesia sudah sangat lama mengenal institusi atau lembaga

arbitrase sebaga ADR. Ketentuan dalam Rv tersebut semula hanya berlaku bagi

untuk penduduk golongan Eropa dan Tionghoa sesuai pembagian golongan yang

diatur dalam pasal 131 IS (Indische Staatregeling). Penerapan hukum tampak dari

ketentuan bahwa Rv merupakan hukum acara yang berlaku khusus bagi golongan

Eropa dan Tiong Hoa sebagai hukum acara yang berlaku untuk Raad van yustitue

sebagai pengadilan pertama dan kedua golongan tersebut.

Kesempatan memannfaatkan arbitrase diperluas dengan pasal 377 HIR

(Harziene Indonesisch Reglement) S. 194-44 dan pasal 705 R.Bg

(Rechtsreglement buitengewesten) S. 1927-227. Kedua ketentuan ini menegaskan

bahwa :

1. Golongan Indonesia Bumi Pribumi dan golongan Timur Asing dapat

menyelesaikan sengketa melalui arbitrase.

2. Karena itu golongan tersebut wajib mengikuti ketentuan di dalam

peraturan perundang-undangan Buku III Bab Pertama Rv pasal 615

sampai dengan pasal 651.27

Berdasarkan ketentuan diatas maka lembaga arbitrase diberlakukan untuk

semua golongan penduduk di Indonesia. Melaui ketentuan Aturan Peralihan Pasal

II UUD 1945 yang menegaskan bahwa : segala badan negara dan peraturan yang

27
ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-

Undang Dasar ini . Maka konsekuensinya adalah bahwa :

1. Ketentuan arbitrase yang dibuat di dalam Buku III Bab Pertama

Rechsvording menjadi Undang-Undang Arbitrase nasional di awal

kemerdakaan Indonesia.

2. Ketentuan tersebut berlaku samapai diganti yang baru.28

Meurut Rv, arbitrase merupakan suatu bentuk peradilan yang diselenggarakan

oleh dan berdasarkan kehendak serta itikad baik dari pihak-pihak yang berselisih

agar perselisihan mereka tersebut diselesaikan oleh hakim yang mereka tunjuk

dan angkat sendiri, dengan pengertian bahwa putusan yang diambil oleh hakim

tersebut merupakan putusan yang bersifat final dan yang mengikat kedua belah

pihak untuk melaksanakan putusan hakim tersebut. Hakim-hakim dikenal juga

dengan nama wasit (menurut Rv), atau arbiter. Dari pengertian tersebut arbitrase

tidak lain merupakan suatu badan peradilan, yaang putusannya memiliki sifat final

dan mengikat para pihak yang menginginkan penyelesaian perselisihan mereka

dilakukan lewat pranata arbitrase. Dalam hal para pihak berhak dan berwenang

untuk menentukan mengangkat sendiri para arbiter yang akan menyelesaikan

sengketa mereka, yang berarti pula adanya kewenangan dari para pihak untuk

menentukan sendiri cara atau proses penyelesaian sengketa antara para pihak

sendiri.

Pasal 615 ayat 1 Rv. menguraikan :

28
Adalah diperkenankan kepada siapa saja, yang terlibat dalam suatu
sengketa yang mengenai hak-hak yang berada dalam kekuasannya untuk
melepaskannya, untuk menyerahkan pemutusan sengketa tersebut kepada seorang
atau beberapa orang wasit .

Selanjutnya dalam ayat 3 pasal 615 Rv. ditentukan :

Bahkan adalah diperkenankan mengikatkan diri satu sama lain, untuk


menyerahkan sengketa-sengketa yang mungkin timbul di kemudian hari, kepada
pemutusan seorang atau beberapa orang wasit.29

Dari ketentuan diatas maka jelaslah jika terjadi sengketa antara para pihak berhak

menyerahkan proses penyelesaian sengketa mereka kepada seorang arbiter, yang

akan memutuskan sengketa mereka tersebut menurut asas-asas dan ketentuan-

ketentuan yang dikehendaki oleh para pihak yang bersengketa tersebut.

Deskipsi tentang penyelesaian sengketa dagang.

Dalam menjalankan suatu kegiatan bisnis atau usaha, kemungkinan akan

terjadinya sengketa yang sangat sulit untuk dihindari. Setiap masyarakat atau

pelaku usaha memiliki berbagai macam cara untuk memperoleh kesepakatan

dalam proses penyelasaian sengketanya. Penyelesaian sengketa yang muncul

dalam pelaksanaan suatu perjanjian, pada dasarnya dapat diselesaikan dengan

berbagai pilihan. Seperti melalui proses gugatan di pengadilan umum, dan

lembaga arbitrase. Pilihan tersebut tergantung kepada para pihak yang

bersengketa, baik sebelum timbulnya sengketa ataupun sesudah timbulnya

sengketa.

29
Secara konvensional atau tepatnya kebiasaan yang berlaku dalam beberapa

dekade, jika terjadi sengketa bisnis, pada umumnya para pebisnis tersebut

membawa kasusnya ke lembaga peradilan ditempuh, baik lewat prosedur gugatan

perdata maupun secara pidana. Jika pilihannya penyelesaian sengketa dilakukan

melalui lembaga peradilan, para pihak memperhatikan asas yang berlaku dalam

gugat-menggugat melalui pengadilan. Satu asas yang cukup penting adalah siapa

yang mendalilkan, wajib membuktikan kebenaran dalilnya. Asas ini dijabarkan

dalam pasal 1865 KUH Perdata yang mengemukakan bahwa: Setiap orang yang

mendalilkan bahwa ia mempunyai sesuatu hak atau guna meneguhkan haknya

sendiri maupun membantah suatu hak orang lain, menunjuk suatu peristiwa,

diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut.30

Dalam kontrak-kontrak dagang, para pihak jarang yang mencantumkan

syarat bahwa jika terjadi perselisihan dalam pelaksanaan kontrak akan

diselesaikan melalui pengadilan umum.31 Pilihan penyelesaian sengketa melalui

pengadilan biasanya waktu dan proses untuk penyelesaiannya banyak memakan

waktu, dan biaya. Sehingga prosedur penyelesaian sengketa dagang melalui

pengadilan kurang diminati para pelaku-pelaku usaha, para pelaku-pelaku usaha

sesuai prinsip umum yang sering dianut yaitu menyelesaikan sengketa yang

terjadi dengan cepat dan aman. Pengertian aman disini adalah dalam penyelesaian

sengketa dagang tidak mempunyai akhir muncul lagi sengketa yang lain. Maka

kecenderungan untuk menyelesaikan segala sengketa yang timbul melaui prosedur

diluar pengadilan lebih banyak daripada di pengadilan.


30
http;//www.
31
Djoko imbawati atmadjaja. Hukum dagang Indonesia. 2012. Hlm 124
Urgensi APS (Altenatif Penyelesaian Sengketa) dalam penyelesaian

sengketa dagang khususnya di Indonesia di dasari pertimbangan-pertimbangan :

1. Kepentingan meningkatnya arus investasi, baik domestik maupu asing

harus disertai dengan mekanisme penyelesaian sengketa yang tidak

saja adil dan menjamin kepastian hukum, tetapi juga diterima oleh para

pihak yang bersengketa, proses-proses penyelesaian yang bersifat

adjukatif, yang tidak melibatkan para pihak dalam sebagai pengambil

keputusan (kesepakatan) acap kali menimbulkan ketidakpuasan kepada

salah satu pihak atau para pihak.

2. Penyelesaian sengketa, cepat, murah, sederhana dan konfendensial

sangat dibutuhkan dalam sengketa-sengketa yang menyangkut

persoalan atau permalahan privat (perdata), termasuk bisnis dan

perdagangan. Konfidensialitas penyelesaian dibutuhkan karena dalam

hubungan-hubungan perdata, bisnis dan dagang, sengketa yang tidak

selalu berakhirnya dengan hubungan diantara mereka dan karena itu

perlu dihindari penilaian yang muncul di masyarakat akibat

terpublikasi diantara mereka.32

Urgensi APS telah meruntuhkan paradigma proses penyelasaian sengketa

melalui pengailan (litigasi) yang dianggap tidak mampu lagi memenuhi tuntutan

penyelesaian sengketa yang lebih koorporatif. Prosedur penyelesaian melalui

pengadilan lebih mendominankan kepada menang atau kalah, dan juga proses

serta putusannya selalu terbuka atau untuk umum. Sedangkan proses di luar
32
pengadilan (non litigasi) prosedur penyelesaiannya mengutamakan kepada

menang-menang atau yang dimaksud adalah itikad perdamaian bagi para pihak

yang bersengketa, terkecuali proses penyelesaian sengketanya melalui lembaga

arbitase, dikarnakan lembaga arbitrase sifatnya memutus perkara.

Dikalangan masyarakat bisnis, pilihan penyelesaian sengketa diselesaikan

melaui lembaga-lembaga diluar peradilan umum yaitu dengan cara negosiasi,

mediasi, konsiliasi, dan melalui lembaga arbitrase. Kontrak dagang yang dibuat

para pihak pada umumnya bercirikan hubungan yang berkesinambungan

(continuing relationoship) atau perjanjian jangka panjang (long term contract)

atau terkandung unsur terus menerus (on going element).33 Pilihan ini diambil

karena penyelesaian sengketa di luar perdilan umum yaitu khususnya melalui

lembaga arbitrase dikarenakan prosesnya mudah, murah, cepat dan putusannya

juga bersifat final juga bersifat rahasia.

Penyelesaian sengketa bisnis atau perdagangan melalui lembaga arbitrase

bukanlah sesuatu hal yang baru dalam praktek hukum di indonesia. Disebut

demikian karena pada zaman Hindia Belanda pun sudah dikenal. Hanya saja, pada

waktu itu berlaku untuk golongan tertentu saja sehingga pengaturan lembaga ini

pun diatur tersendiri yakni dalam hukum acara perdata yang berlaku bagi

golongan Eropa yang termuat dalam reglement op de rechtelijke rechtsvordering

(RV). Dalam Pasal 615 Rv ditegaskan adalah diperkenankan kepada siapa saja

yang terlibat dalam suatu sengketa mengenai hak-hak yang berada dalam

33
Ibid. Hlm. 125
kekuasaannya untuk menyelesaikan sengketa tersebut kepada seseorang atau

beberapa orang wasit (arbiter).34

Penyelesaian sengketa melalui perdilan wasit adalah bentuk penyelesaian

yang sengaja dipilih oleh para pihak. Sebagai pilihan, maka kemauan para pihak

tersebut harus dapat dibuktikan, jika tidak maka penyelesaian sengketa hanya

dapat dilakukan melalui badan peradilan yang disediakan oleh pemerintah atau

melaui pengadilan negeri. Pranata penyelesaian sengketa alternatif pada dasarnya

merupakan suatu bentuk penyelesaian sengketa di luar pengadilan khususnya

melalui lembaga arbitrase, yang didasarkan pada kesepakatan para pihak yang

bersengketa tersebut, alternatif penyelesaian sengketa bersifat sukarela dan

karenanya tidak dapakasakan para pihak oleh salah satu pihak kepada pihak

lainnya yang bersengketa. Kesepakatan para pihak untuk membuat perjanjian

untuk menyelesaikan sengketa di luar pengadilan harus ditaati para pihak. Pada

umumnya proses penyelesaian sengketa dipilih para pihak yang bersengketa,

khususnya jika mencantumkan klausula arbitrase dalam proses penyelesaiannya.

Klausula arbitrase adalah kesepakatan antara para pihak dengan mencamtukan

perjanjian yang dibuat secara tertulis sebelum timbulnya sengketa atau

sesudahnya timbulnya sengketa.

34
http//www.
BAB III

ANALISIS TERHADAP KEKUATAN HUKUM PERJANJIAN

ARBITRASE DALAM SENGKETA KEPAILITAN

Kekuatan hukum (inkracht van gewisjde) perjanjian arbitrase dalam

penyelesaian sengketa kepailitan.

Dalam suatu perjanjian perdata (dagang) antara para pihak atau hubungan

bisnis, selalu ada kemungkinan timbulnya sengketa. Sedangkan sengketa yang

terjadi seringkali terkait mengenai bagaimana cara menaati klausul-klasul yang di

buat para pihak dalam proses penyelesaian sengketa dagang melalui lembaga

arbitrase, khususnya jika terjadi sengketa kepailitan. Kepailitan sebagaimana

dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 dalam pasal 1 ayat 1

tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang bahwa

kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang atas

penguasaan dan pemberesan dilakukan oleh kurator dibawah pengawasan hakim

pengawas.35 Akantetapi jika sebelum diajukan dipengadilan atau jika terjadi

sengketa kepailitan, para pihak membuat suatu perjanjian, sebelum timbulnya

sengketa yang dibuat secara tertulis mencantumkan klausula arbtirase, maka

proses penyelesaian sengketanya melaui lembaga arbitrase.

Perjanjian yang mencantumkan klasula arbitase sebelum timbulnya

sengketa (pactum de compromittendo), yaitu merupakan suatu klausula dalam

perjanjian yang dibuat secara tetulis mencantumkan lembaga arbitrase, yang isi
35
perjanjiannya menentukan bahwa para pihak sepakat untuk mengajukan

perselisihannya kepada seorang arbiter atau majelis arbitrase. Hal ini berarti

bahwa ada kesepahaman pikir antara para pihak yang bersengketa, yakni dengan

melaksanakan penyelesaian sengketa melalui mekanisme arbitrase.

Dalam kasus kepailitan PT Environmental Network Indonesia (Enindo)

dan Kawan Melawan PT Putra Putri Fortuna Windu (PPFW) Dan Kawan, yang

mana para pihak membuat suatu perjanjian menejemen (turnkey), dalam isi

perjanjian tersebut, khusunya pada poin 18.2 dan 18.3 :

18.2 : if the parties cannot reserve a dispute by amicable settlement, either party

may refer the dispute for arbitration in Singapure in accordance with the rules of

the Singapore International Arbitration Center

(jika pihak-pihak yang bersangkutan tidak dapat menyelesaikan suatu perselisihan

dengan jalan/ cara damai, maka masing-masing pihak dapat membawa

perselisihan itu kehadapan Mahkamah Arbitrase di Singapura sesuai dengan

aturan-aturan dari pusat Arbitrase Internasional Singapure).

18.3 : The Decision of the Arbitration (including on who must be car on the costs

of the Arbitration) is final and binding on the parties. Except to enforce the

Decision of the Arbitration, neither party may bring any action in any court

relating to a dispute under this agrement.

(Keputusan Arbitrase (termasuk mengenai siapa yang harus menanggung biaya

Arbitrase itu) akan bersifat final dan mengikat terhadap para pihak-pihak yang
bersangkutan. Kecuali untuk tujuan memberlakukan keputusan arbitrase, maka

pihak-pihak dalam perjanjian ini tidak diperbolehkan mengajukan tuntutan

kepengadilan sehubungan dengan perselisihan yang timbul dari perjanjian ini).36

Dan dalam keputusan Majelis Hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat pada

tanggal 2 Maret tahun 1999 menyebutkan :

Menyatakan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat tidak berwenang untuk

memeriksa dan memutus perkara permohonan ini.

Menolak permohonan pernyataan pailit yang diajukan oleh pemohon,

yaitu PT Enindo.

Membebankan biaya perkara permohonan kepada Pemohonan sebesar Rp

5.000.000,(lima juta rupiah).37

Berdasarkan kasus PT Environmental Network Indonesia (Enindo) dan

Kawan Melawan PT Putra Putri Fortuna Windu (PPFW), dan hasil keputusan

Majelis Hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat pada tanggal 2 Maret tahun 1999

diatas, maka jika terjadi sengketa dagang khususnya sengketa kepailitan dan para

pihak mencantumkan kluasula arbitrase, maka proses penyelesaian sengketanya

melalui lembaga arbitrase, hal ini sejalan dengan asas yang dikenal dalam KUH

Perdata yaitu asas pacta sunt servanda, bahwa dimana para pihak membuat

suatu perjanjian, dan sepakati maka berlaku sebagai undang-undang.

36
Hj. Rahayu hartini. Penyelesaian sengketa kepailitan Indonesia, dualisme kewenangan
pengadilan niaga dan lembaga arbitrase. Hlm. 161
37
Ibid. Hlm. 165
Asas pacta sunt servanda juga disebut sebagai asas kepastian hukum,

dimana para pihak harus menaati isi perjanjian yang dibuat secara tertulis

khususnya jika dalam isi perjanjian tersebut mencantumkan klausula arbitrase

sebagai proses penyelesaian sengketa. Asas pacta sunt servanda secara positif

telah dituangkan dalam pasal 1338 KUH Perdata menjelaskan bahwa, perjanjian

yang dibuat para pihak dan disepakati berlaku sebagai undang-undang dan

mengikat kedua belah pihak, sedangkan dalam pasal 1339 KUH Perdata memberi

penguatan prinsip perjanjian, bahwa suatu perjanjian tidak hanya mengikat

dengan hal-hal yang dengan tegas didalamnya, tetapi juga yang menurut sifat

perjanjian, diharuskan kepatutan, kebiasaan atau undang-undang.38

Menurut Grotius, asas pacta sunt servanda ini timbul dari kontrak secara

alamiah dan sudah menjadi sifatnya mengikat berdasarkan dua alasan yaitu:

1. Sifat kesederhanaan bahwa seseorang harus berkejasama dan berinteraksi

dengan orang lain, yang berarti orang ini harus saling mempercayai yang

pada gilirannya memberikan kejujuran dan kesetiaan

2. Bahwa setiap individu memiliki hak, dimana yang paling mendasar adalah

hak milik yang bisa dialihkan. Apabila seseorang individu memilik hak

untuk melepaskan hak miliknya, maka tidak ada alasan untuk mencegah

dia melepaskan haknya yang kurang penting khususnya melalui kontrak.39

38
kuhperdata
39
Sedangkan menurut David Allan, sejak 450 tahun sebelum Masehi sampai

sekarang, telah terjadi empat tahap perkembangan pemikiran mengenai

mengikatnya kontrak,40 khususnya pada tahap ketiga (contract litteris atau

obligationes litteris), dan tahap keempat (contracts consensus atau obligationes

consensus), untuk menguatkan kekuatan mengikatnya suatu kotrak yaitu :

Pada tahap ketiga (contract litteris atau obligationes litteris) yaitu :

1. Expensilio, yaitu suatu bentuk pemberitahuan yang dicatat dalam buku

krditor, yang atas dasar catatan itu debitur terikat untuk membayar.

2. Synographae atau chiographae, yaitu kewajiban yang ditulis secara

khusus yang dipinjam dari kebiasaan bangsa Yunani dan tidak terdapat

dalam kebiasaan masyarakat Roma.41

Tahap kekempat (contracts consensus atau obligationes consensus) yaitu :

1. Empito Venditio, yaitu kontrak jual beli.

2. Locatio Conduction, yaitu kontrak yang membolehkan pengunaan atau

penyewaan barang atau jasa.

3. Societas, yaitu kontrak kerja sama (partnership)

4. Mandatum, yaitu suatu mandat pelayanan yang dilakukan untuk orang

lain.42

40
41
Ibid hlm, 126
42
Ibid, hlm 127
Dari penjelasan pasal dan teori tersebut, memberikan penjelasan bahwa

jika terjadi suatu perjanjian yang dibuat secara tertulis dan mencantumkan

klausula arbitrase dalam proses penyelesaian sengketa khususnya sengketa

kepailitan maka proses penyelesaian sengketanya melalui lembaga arbitrase.

Mengenai kekuatan berlakunya perjanjian yang memuat klausula arbitrase,

ada dua aliran dalam teori hukum yang harus dipahami untuk menguatkan para

pihak dalam pelaksanaan proses penyelesaian sengketa melalui lembaga arbitrase

yaitu :

1. Aliran yang menyatakan bahwa klausula/perjanjian arbitrase bukan

public policy.

Disini ditegaskan sungguhpun ada klausula arbitrase, tetapi

pengadilan tetap berwenang mengadili sejauh tidak ada eksepsi dari

pihak lawan, karena klausula arbitrase bukanlah openbare orde.43

2. Aliran yang menekankan asas pacta sunt servanda pada kekuatan

kluasula/perjanjian arbitrase.

Aliran ini mengajarkan bahwa klausula/perjanjian arbitrase mengikat

para pihak dan dapat dikesampingkan hanya dengan kesepakatan

bersama para pihak yang tegas untuk itu. Dalam hal ini penarikan

secara diam-diam atau praduga telah di weive tidak berlaku dan

perjanjian/klausula arbitrase dianggap menimbulkan kompetensi

absolut.44

43
Arbitrase nasional. Munir Fuady. Hlm. 121
44
Ibid. Hlm 122
Aliran yang terkesan kaku ini cukup banyak dianut oleh pengadilan-

pengadilan

Berdasarkan pasal 11 ayat 2 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999

menjelaskan bahwa pengadilan wajib menolak dan tidak akan campur tangan

dalam penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase, kecuali

dalam hal-hal tertentu diatur dalam undang-undang ini . Sutan Remy Sjahdeini

pernah berpendapat bahwa sengketa kepailitan merupakan sengketa yang

seyogyanya dapat diselesaikan melalui jalur arbitrase. 45Dengan kata lain, lembaga

arbitrase seharusnya berwenang untuk menyelesaikan sengketa kepailitan,

disamping pengadilan niaga.

Namun berdasarkan KeputusanMahkamah Agung, Putusan

No.20/PK/N/1999, ditentukan bahwa perkara kepailitan tidak dapat diajukan

penyelesaianya kepada arbitrase, karena telah diatur secara khusus dalam Undang-

Undang Nomor 4 Tahun 1998 Tentang Kepailitan, pasal 280 ayat (1), yang

berwenang memeriksa dan memutus perkara kepailitan adalah Pengadilan Niaga

.46

45
46
http
DAFTAR PUSTAKA

Buku-Buku Hukum

Dr. Frans Hendra Winarta, S.H., M.H. 2001. Hukum Penyelesaian Sengeketa.

Gatot Supramono, S.H., M.Hum.,2011. Perjanjian Utang Piutang.

Jono, S.H., 2010 Hukum Kepailitan.

Komariah, S.H., 2001 Hukum Perdata.

M. Yahya Harahap, S.H. 2004. Arbitrase.

Rachmadi Usman, S.H.,2004. Dimensi Hukum Kepailitan di Indonesia.

Salim Hs, S.H., M.S., 2001 Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW).

Soedharyo Soimin, S.H., Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternative


Penyelesaian Sengketa.

Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan


Kewajiban Pembayaran Utang.

Sumber-Sumber Lain

Ni Made Asri Alvionita I Nyoman Bagiastra., 2014. Kewenangan Penyelesaian


Sengketa Kepailitan Yang Dalam Perjanjiannya Mencantumkan Klausula
Arbitrase. Jurnal Fakultas Hukum Udayana. Denpasar Bali.
Sularto., Perlindungan Hukum Kreditur Separatis Dalam Kepailitan. Jurnal
Fakultas Hukum Universitas Gadja Mada, Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai