BAB III Komplekso
BAB III Komplekso
PENDAHULUAN
1.1 Tujuan
Menentukan kadar ion Ca2+, Mg2+, dan Ni2+ secara kompleksometri
menggunakan larutan standar garam EDTA.
1.2 Teori
Titrasi kompleksometri yaitu titrasi berdasarkan pembentukan per-
senyawaan kompleks (ion kompleks atau garam yang sukar mengion),
Kompleksometri merupakan jenis titrasi dimana titran dan titrat saling
mengkompleks, membentuk hasil berupa kompleks. Reaksireaksi pembentukan
kompleks atau yang menyangkut kompleks banyak sekali dan penerapannya juga
banyak, tidak hanya dalam titrasi. Karena itu perlu pengertian yang cukup luas
tentang kompleks, sekalipun disini pertama-tama akan diterapkan pada titrasi.
Contoh reaksi titrasi kompleksometri (Khopkar, 2002), yaitu:
Salah satu tipe reaksi kimia yang berlaku sebagai dasar penentuan titrimetrik
melibatkan pembentukan (formasi) kompleks atau ion kompleks yang larut namun
sedikit terdisosiasi. Kompleks yang dimaksud di sini adalah kompleks yang
dibentuk melalui reaksi ion logam, sebuah kation, dengan sebuah anion atau
molekul netral (Basset, 1994).
Kompleks-kompleks yang akan dibahas dibentuk oleh reaksi suatu ion
logam suatu kation, dengan suatu anion atau molekul netral. Ion logam dalam
kompleks itu disebut atom pusat, dan gugus yang terikat pada atom pusat disebut
ligan. Banyaknya ikatan yang dibentuk oleh atom pusat disebut bilangan
koordinasi logam itu (Underwood, 1986).
Ligan dapat berupa sebuah molekul netral atau sbuah ion bermuatan, dengan
penggantian molekul-molekul air berturut-turut, sampai tebrntuk kompleks MLn. n
adalah bilangan koordinasi dari ion logam, dan menyatakan jumlah maksimum
ligan monodentat yang dapat terikat padanya. Ligan dapat dengan baik
diklasifikasikan asat dasar banyaknya titik lekat kepada ion logam. Begitulah,
ligan-ligan sederhana seperti ion-ion halide atau molekul-molekul H2O atau
NH3 adalah monodentat, yaitu ligan itu terikat pada ion logam hanya pada 1 titik
oleh penyumbangan satu pasangan-pasangan elektron menyendiri kepada logam.
Bila molekul atau iom ligan itu mempunyai dua atom, yang masing-masing
mempunyai pasangan satu pasangan elektron menyendiri,maka molekul itu
mempunyai dua atom penyumbanga, dan memungkinkan untuk membentuk dua
ikatan koordinasi dengan ion logam yang sama, ligan seperti ini disebut ligan
bidentat. Ligan multidentat mengandung lebih dari dua atom koordinasi per
molekul. Sebelum ini, telah kita anggap bahwa sepsis-spesisi yang kompleks itu
tidak mengandung lebih dari stu ion logam, tetapi pada kondisi-kondisi yang
sesuai, suatu kompleks binuklir, yaitu kompleks yang mengandung dua ion
logam, atau bahkan satu komplek polinuklir yang mengandung lebih dari dua ion
logam, dapat terbentuk (J. Basset, 1994).
EDTA ialah suatu ligan yang heksadentat (mempunyai enam buah atom
donor pasagan elektron), yaitu melalui kedua atom N dan keempat atom O (dari
OH). Dalam pembentukan kelat, keenam donor (tetapi kadang-kadang
hanya lima) bersama-sama mengikat satu atom satu ion inti dengan
membentuk lima lingkaran kelat. Molekul EDTA dilipat mengelilingi ion logam
itu sedemikian rupa sehingga keenam atom donor terletak pada puncak-puncak
sebuah oktaeder (bidang delapan) dan inti terdapat di pusat oktaeder (W. Harjadi,
1986).
Kestabilan suatu kompleks jelas akan berhubungan dengan kemampuan
mengkompleks dari ion logam yang terlibat, dan pentingnya untuk memeriksa
faktor-faktor mengenai ciri khas dari ligand .
Kemampuan mengkompleks relatif dari logam-logam digambarkan dengan
baik menurut klasifikasi SCHwarzen-bach, yang dalam garis besarnya didasarkan
atas pembagian logam menjadi asam Lewis (penerima pasangan electron) kelas A
dan kelas B. Logam kelas A dicirikan oleh larutan afinitas (dalam larutan air)
terhadap halogen F->Cl- >Br->I-, dan membentuk kompleks terstabilnya dengan
anggota pertama dari grup Tabel Berkala dari atom penyumbang (yakni, nitrogen,
oksigen, dan fluor). Logam kelas B jauh lebih mudah berkoordinasi dengan I- dari
pada F- dalam larutan air, dan membentuk kompleks terstabilnya dengan atom
penyumabang kedua (atau yang lebih berat) dari masing-masing grup itu (yakni P,
S, Cl).
Di antara ciri-ciri khas ligan yang umum diakui sebagai mempengaruhi
kestabilan kompleks dalam mana ligan itu terlibat adalah:
a. Kekuatan basa dri ligan itu
b. Sifat-sifat penyepitan
c. Efek-efek sterik (ruang)
Istilah efek sepit mengacu pada fakta bahwa suatu kompleks bersepit yaitu
kompleks yang dibentuk oleh suatu ligan bidentat atau multidentat, adalah lebih
stabil banding kompleks padanannya dengan ligan-ligan monodentat. Semakin
banyak titik lekat ligan itu kepada ion logam, semakin besar kestabilan kompleks.
Efek sterik yang paling umum adalah efek yang mengambat pembentukan
kompleks yang disebabkan oleh adanya suatu gugusan besar yang melekat pada
atau berada berdekatan dengan atom penyumbang (J. Basset, 1994).
Suatu klasifikasi penting dari kompleks-kompleks, didasarkan pada laju
dimana kompleks itu mengalami reaksi substitusi, dan menimbulkan dua grup,
yaitu kompleks-kompleks yang labil dan kompleks-kompleks yang inert.
Keinertan atau kelabilan kinetik dipengaruhi oleh banyak faktor, tetapi
pengamatan umum berikut ini merupakan pedoman yang akan perilaku kompleks-
kompleks dari berbagai unsur, (J. Basset, 1994), yaitu:
a. Unsur grup utama, biasanya membentukkomples-kompleks labil
b. Dengan pengecualian Cr(III) dan Co(III), kebanyakan transisi baris
pertama membentuk kompleks-kompleks labil.
c. Unsure transisi baris kedua dan baris ketiga, cenderung membentuk
kompleks-kompleks inert.
Titrasi kompleksometri juga dikenal sebagai reaksi yang meliputi reaksi
pembentukan ion-ion kompleks ataupun pembentukan molekul netral yang
terdisosiasi dalam larutan. Persyaratan mendasar terbentuknya kompleks demikian
adalah tingkat kelarutan tinggi. Selain titrasi komplek biasa seperti di atas, dikenal
pula kompleksometri yang dikenal sebagai titrasi kelatometri, seperti yang
menyangkut penggunaan EDTA. Gugus-yang terikat pada ion pusat, disebut ligan,
dan dalam larutan air, reaksi dapat dinyatakan oleh persamaan (Khopkar, 2002),
yaitu
Asam etilen diamin tetra asetat atau yang lebih dikenal dengan EDTA,
merupakan salah satu jenis asam amina polikarboksilat. EDTA sebenarnya adalah
ligan seksidentat yang dapat berkoordinasi dengan suatu ion logam lewat kedua
nitrogen dan keempat gugus karboksil-nya atau disebut ligan multidentat yang
mengandung lebih dari dua atom koordinasi per molekul, misalnya asam 1,2-
diaminoetanatetraasetat (asametilenadiamina tetraasetat, EDTA) yang mempunyai
dua atom nitrogenpenyumbang dan empat atom oksigen penyumbang dalam
molekul (Rival, 1995).
Suatu EDTA dapat membentuk senyawa kompleks yang mantap dengan
sejumlah besar ion logam sehingga EDTA merupakan ligan yang tidak selektif.
Dalam larutan yang agak asam, dapat terjadi protonasi parsial EDTA tanpa
pematahan sempurna kompleks logam, yang menghasilkan spesies seperti CuHY-.
Ternyata bila beberapa ion logam yang ada dalam larutan tersebut maka titrasi
dengan EDTA akan menunjukkan jumlah semua ion logam yang ada dalam
larutan tersebut (Harjadi, 1993).
Selektivitas kompleks dapat diatur dengan pengendalian pH, misal Mg,Ca,
Cr, dan Ba dapat dititrasi pada pH = 11 EDTA. Sebagian besar titrasi
kompleksometri mempergunakan indikator yang juga bertindak sebagai
pengompleks dan tentu saja kompleks logamnya mempunyai warna yang berbeda
dengan pengompleksnya sendiri. Indikator demikian disebut indikator
metalokromat. Indikator jenis ini contohnya adalah Eriochrome black T;
pyrocatechol violet; xylenol orange; calmagit; 1-(2-piridil-azonaftol), PAN,
zincon, asam salisilat, metafalein dan calcein blue (Khopkar, 2002).
Satu-satunya ligan yang lazim dipakai pada masa lalu dalam pemeriksaan
kimia adala ion sianida, CN-, karena sifatnya yang dapat membentuk kompleks
yang mantap dengan ion perak dan ion nikel. Dengan ion perak, ion sianida
membentuk senyawa kompleks perak-sianida, sedangkan dengan ion nilkel
membentuk nikel-sianida. Kendala yang membatasi pemakaian-pemakaian ion
sianoida dalam titrimetri adalah bahwa ion ini membentuk reaksi kompleks secara
bertahap dengan ion logam lantaran ion ini merupakan jeni ligan bergigi satu
(Rival, 1995).
Metodologi Percobaan
3.1 Pengamatan
3.3 Hasil
3.4 Diskusi
Dalam praktikum ini pada tahap pertama dilakukan titrasi terhadap EDTA
dengan larutan standar primer ZnSO4.7H2O 0,1 M sehingga didapatlah konsentrasi
EDTA sebesar 0,125 N (N ZnSO4 0,1 N; V ZnSO4 10 ml; V EDTA 8 ml) dengan
menggunakan rumus perhitungan pengenceran. Larutan EDTA disini sebagai
larutan standar sekunder, karena penentuan konsentrasinya menggunakan larutan
standar primer, yang mana larutan ini akan digunakan untuk mengetahui
konsentrasi zat yang lainnya.
Pada tahap kedua dilakukan titrasi terhadap NiSO4 dengan larutan garam
EDTA yang sudah diketahui konsentrasinya. Sehingga dengan menggunakan
rumus pengenceran didapat hasil konseentrasi Ni2+ sebesar 0,10875 N (N EDTA
0,125 N; V EDTA 8,7 ml; V NiSO4 10 ml).
Pada tahap ketiga, cara menghitung kadar CaCl2 sama dengan tahap kedua
dengan menggunakan larutan EDTA sebagai standar sekunder. Sehingga dengan
melakukan titrasi hingga tercapai perubahan warna serta perhitungan dengan
menggunakan rumus pengenceran didapat hasil konsentrasi dari Ca2+ sebesar
0,144375 N (N EDTA 0,125 N; V EDTA 9,15 ml; V CaCl2 10 ml).
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan
4.2 Saran
V2 EDTA = 8,1 ml
Vrata-rata EDTA = 8 ml
V ZnSO4 = 10 ml
Vrata-rata EDTA = 8 ml
N EDTA = 0,125 N
Diketahui V1 EDTA = 11 ml
V2 EDTA = 6,4 ml
V NiSO4 = 10 ml
N NiSO4 = 0,10875 N
A.3 Penentuan Kadar Ca2+ dalam Larutan CaCl2
V2 EDTA = 9,0 ml
V CaCl2 = 10 ml
N NiSO4 = 0,114375 N
LAMPIRAN B
JAWABAN PERTANYAAN