Anda di halaman 1dari 9

RSUD Embung Fatimah Bantah Telantarkan Zansen: "Kita Masukkan Formalin ke

Tubuh Jenazah 2,5 Liter"

Jumat, 11 Desember 2015 14:46

BATAM.TRIBUNNEWS.COM, BATAM -Humas Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD)


Embung Fatimah, Batuaji, Batam, Nuraini, membantah pasien Zansen Napitupulu (59)
ditelantarkan.

Menurutnya, penanganan pasien saat masuk ke IGD RSUD Embung Fatimah sudah sesuai
dengan prosedur penanganan pasien.

"Kita sudah memberikan klarifikasi kepada pihak keluarga, dimana penanganan pasien
Zansen Napitupulu (59) yang meninggal tanggal 2 Desember 2015 yang lalu sudah sesuai
dengan prosedur penanganan pasien,"jelasnya saat dikonfirmasi, Jumat (11/12/2015).

Dia menjelaskan, pasien sampai di rumah sakit, sekitar pukul 17.20 diantar taksi, saat pasien
sampai, langsung dibantu oleh pihak sekuriti menggunakan, kursi roda ke ruang IGD.

"Kondisi pasien saat itu tidak sadarkan diri,"katanya.

Setelah sampai di IGD, perawat dan dokter Eka yang bertugas saat itu langsung menangani
pasien dengan mengecek pembuluh darah pasien secara manual.

"Saat itu pembuluh darah pasien tidak dapat dirabah secara manual, akhirnya dilakukan
pengecekan dengan menggunakan pemeriksaan EKG (Elektrokardiogram_red). Saat itu hasil
jantungnya sempat normal,"katanya.

Namun beberapa menit kemudian, grafik jantung pasien sudah lurus dan tidak berfungsi.

Akhirnya perawat dan dokter yang menangani melakukan Resusitasi Jantung Paru (RJP)
untuk melakukan kejut jantung.

"Tetapi tidak ada gerakan lagi,"kata Nuraini.

Dilanjutkan Nuarini, sekitar pukul 18.15 WIB, pihak dokter mendatangi keluarga untuk
memberitahukan bahwa pasien sudah meninggal.

"Ini juga perlu kami beritahukan bahwa saat penanganan pasien, tim perawat dan dokter
fokus menangani pasien. Makanya tidak sempat memberitahukan perkembangan keadaan
pasien terhadap keluarga. Memang hal tersebut wajar karena perawat dan dokter fokus
menangani pasien,"terang Nuraini.

Sementara mengenai formalin yang dimasukkan ke dalam tubuh jenazah, sudah sesuai
dengan prosedur RSUD Embung Fatimah.

"Saat itu kita masukkan formalin ke tubuh jenazah sebanyak 2,5 liter. Dengan ukuran
sebanyak itu maka jenazah sudah bisa bertahan sampai satu minggu,"kata Nuraini.
Dia juga menagatakan, saat pihak keluarga mengatakan bahwa dua hari setelah jenazah di
bawa ke rumah duka, jenazah mengeluarkan bau busuk dan terdapat ulat. hal tersebut tidak
ditemukan oleh pihak rumah sakit.

"Saat pihak rumah sakit datang ke rumah duka jenazah sudah dimasukkan ke dalam peti
jenazah, jadi tidak bisa dipengang lagi. Jadi mengenai ada ulat di tubuh jenazah, kami kurang
tahu pasti karena pihak rumah sakit tidak diperbolehkan memeriksa jenazah karena sudah di
dalam peti,"katanya.

Dia juga mengatakan, pihak RSUD Embung Fatima siap memberikan keterangan yang
sebenar-benarnya kepada pihak keluarga apabila masih membutuhkan penjelasn dari pihak
rumah sakit.

"Kalau keluarga masih kurang puas dengan penjelasan kami, kapanpun kami tetap siap
memberikan keterangan kepada pihak kelauarga apabila di perlukan," tutup Nuraini.

http://batam.tribunnews.com/2015/12/11/rsud-embung-fatimah-bantah-telantarkan-zansen-
kita-masukkan-formalin-ke-tubuh-jenazah-25-liter
Dampak Hukum Malpraktek Kedokteran
Posted on Desember 2, 2013 by The Doctor Indonesia Meninggalkan komentar

Dampak Hukum Malpraktek Kedokteran

Tindakan malpraktik medik adalah salah satu cabang kesalahan di dalam bidang
professional. Tindakan malpraktik medik yang melibatkan para dokter dan tenaga
kesehatan lainnya banyak terdapat jenis dan bentuknya, misalnya kesilapan
melakukan diagnosa, salah melakukan tindakan perawatan yang sesuai dengan pasien
atau gagal melaksanakan perawatan terhadap pasien dengan teliti dan cermat.Di
beberapa negara maju seperti United Kingdom, Australia dan Amerika Serikat, kasus
malpraktik medik juga banyak terjadi bahkan setiap tahun jumlahnya meningkat.
Misalnya, di negara Amerika Serikat pada tahun 1970-an jumlah kasus malpraktik
medik meningkat tiga kali lipat dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya dan
keadaan ini terus meningkat hingga pada tahun 1990-an. Keadaan di atas tidak jauh
berbeda dengan negara Indonesia, dalam beberapa tahun terakhir ini kasus
penuntutan terhadap dokter atas dugaan adanya malpraktik medik meningkat
dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Sejak 2006 hingga 2012, tercatat ada
183 kasus kelalaian medik atau bahasa awamnya malpraktek yang terbukti
dilakukan dokter di seluruh Indonesia. Malpraktek ini terbukti dilakukan dokter
setelah melalui sidang yang dilakukan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran
Indonesia (MKDKI). Akibat dari malpraktek yang terjadi selama ini, sudah ada 29
dokter yang izin prakteknya dicabut sementara. Ada yang tiga bulan, ada yang enam
bulan.

Hingga Januari 2013 jumlah pengaduan dugaan malpraktik ke konsil kedokteran Indonesia
atau KKI tercatat mencapai 183 kasus. Jumlah tersebut meningkat tajam dibanding tahun
2009 yang hanya 40 kasus dugaan malpraktik. Bahkan kasus-kasus ini pun tidak
mendapatkan penanganan yang tepat dan hanya berakhir di tengah jalan, tanpa adanya sanksi
atau hukuman kepada petugas kesehatan terkait. Dari 183 kasus malpraktek di seluruh
Indonesia itu, sebanyak 60 kasus dilakukan dokter umum, 49 kasus dilakukan dokter bedah,
33 kasus dilakukan dokter kandungan, dan 16 kasus dilakukan dokter spesialis anak. Siasanya
di bawah 10 macam-macam kasus yang dilaporkan. Selain itu, ada enam dokter yang
diharuskan mengenyam pendidikan ulang. Artinya, pengetahuan dokter kurang sehingga
menyebabkan terjadinya kasus malpraktek. Mereka kurang dalam pendidikannya sehingga
ilmu yang didapatkan itu kurang dipraktekn atau terjadi penyimpangan dari standar
pelayanan atau penyimpangan dari ilmu yang diberikan. Maka, dia wajib sekolah lagi dalam
bidang tertentu. Di samping kasus malpraktek, beberapa kasus lain yang juga ikut menjerat
dokter ke ranah pidana hingga pencabutan izin praktek di antaranya soal komunikasi dengan
pasien, ingkar janji, penelantaran pasien, serta masalah kompetensi dokter.

Ada berbagai faktor yang melatarbelakangi munculnya gugatan-gugatan malpraktik tersebut


dan semuanya berangkat dari kerugian psikis dan fisik korban. Mulai dari kesalahan
diagnosis dan pada gilirannya mengimbas pada kesalahan terapi hingga pada kelalaian dokter
pasca operasi pembedahan pada pasien (alat bedah tertinggal didalam bagian tubuh), dan
faktor-faktor lainnya.

Definisi Malpraktek
Menurut Coughlins Dictionary Of Law , malpraktek bisa diakibatkan karena sikap
kurang keterampilan atau kehati-hatian didalam pelaksanakan kewajiban professional,
tindakan salah yang sengaja atau praktek yang bersifat tidak etis. Kasus malpraktik
merupakan tindak pidana yang sangat sering terjadi di Indonesia. Malpraktik pada
dasarnya adalah tindakan tenaga profesional yang bertentangan dengan SOP, kode
etik, dan undang-undang yang berlaku, baik disengaja maupun akibat kelalaian yang
mengakibatkan kerugian atau kematian pada orang lain. Biasanya malpraktik
dilakukan oleh kebanyakan dokter di karenakan salah diagnosa terhadap pasien yang
akhirnya dokter salah memberikan obat. Sudah banyak contoh kasus yang malpraktik
yang terjadi di beberapa rumah sakit, kasus yang paling sering di bicarakan di media-
media diantaranya adalah kasus prita mulyasari. Ia mengaku adalah korban
malpraktik di rumah sakit Omni internasional. Tidak hanya kasus Prita saja, masih
banyak lagi kasus-kasus lain. Pihak rumah sakit berlindung pada nama besarnya.
Sesungguhnya Prita hanya berbicara tentang kebenaran dan hak sebagai seseorang
yang dirugikan. Dalam pengakuannya Prita pernah berobat di rumah sakit Omni
Internasional tersebut. Tapi ia tidak menyangka bahwa ia akan mendapat perlakuan
medis yang tidak layak. Ia mengungkapkan hal ini pada teman-temannya melalui
media internet dan tanpa disangka hal ini membuat Prita terlilit kasus pencemaran
nama baik.
Blacks Law Dictionary mendefinisikan malpraktik sebagai professional misconduct
or unreasonable lack of skill atau failure of one rendering professional services to
exercise that degree of skill and learning commonly applied under all the
circumstances in the community by the average prudent reputable member of the
profession with the result of injury, loss or damage to the recipient of those services
or to those entitled to rely upon them.
Pengertian malpraktik di atas bukanlah monopoli bagi profesi medis, melainkan juga
berlaku bagi profesi hukum (misalnya mafia peradilan), akuntan, perbankan (misalnya
kasus BLBI), dan lain-lain. Pengertian malpraktik medis menurut World Medical
Association (1992) adalah: medical malpractice involves the physicians failure to
conform to the standard of care for treatment of the patients condition, or lack of
skill, or negligence in providing care to the patient, which is the direct cause of an
injury to the patient.

3 Penyebab Terjadinya Malpraktik Kedokteran

Beberapa hal yang dapat menyebabkan seorang tenaga kesehatan melakukan tindakan
malpraktik medik, yaitu apabila tidak melakukan tindakan medisi sesuai dengan :

Standar Profesi Kedokteran Dalam profesi kedokteran, ada tiga hal yang harus ada
dalam standar profesinya, yaitu kewenangan, kemampuan rata-rata dan ketelitian
umum.
Standar Prosedur Operasional (SOP) SOP adalah suatu perangkat instruksi/
langkah-langkah yang dibakukan untuk menyelesaikan suatu proses kerja rutin
tertentu.
Informed Consent Substansi informed consent adalah memberikan informasi tentang
metode dan jenis rawatan yang dilakukan terhadap pasien, termasuk peluang
kesembuhan dan resiko yang akan dialami oleh pasien.

Hubungan antara dokter dan pasien terjadi suatu kontrak (doktrin social-contract), yang
memberi masyarakat profesi hak untuk melakukan self-regulating (otonomi profesi) dengan
kewajiban memberikan jaminan bahwa profesional yang berpraktek hanyalah profesional
yang kompeten dan yang melaksanakan praktek profesinya sesuai dengan standar. Sikap
profesionalisme adalah sikap yang bertanggungjawab, dalam arti sikap dan perilaku yang
akuntabel kepada masyarakat, baik masyarakat profesi maupun masyarakat luas (termasuk
klien). Beberapa ciri profesionalisme tersebut merupakan ciri profesi itu sendiri, seperti
kompetensi dan kewenangan yang selalu sesuai dengan tempat dan waktu, sikap yang etis
sesuai dengan etika profesinya, bekerja sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh
profesinya, dan khusus untuk profesi kesehatan ditambah dengan sikap altruis (rela
berkorban). Uraian dari ciri-ciri tersebutlah yang kiranya harus dapat dihayati dan diamalkan
agar profesionalisme tersebut dapat terwujud.

Professional misconduct yang merupakan kesengajaan dapat dilakukan dalam bentuk


pelanggaran ketentuan etik, ketentuan disiplin profesi, hukum administratif, serta hukum
pidana dan perdata, seperti melakukan kesengajaan yang merugikan pasien, fraud,
penahanan pasien, pelanggaran wajib simpan rahasia kedokteran, aborsi ilegal, euthanasia,
penyerangan seksual, misrepresentasi atau fraud, keterangan palsu, menggunakan iptekdok
yang belum teruji / diterima, berpraktek tanpa SIP, berpraktek di luar kompetensinya,
dll. Kesengajaan tersebut tidak harus berupa sengaja mengakibatkan hasil buruk bagi pasien,
namun yang penting lebih ke arah deliberate violation (berkaitan dengan motivasi)
ketimbang hanya berupa error (berkaitan dengan informasi).

Kelalaian dapat terjadi dalam 3 bentuk, yaitu malfeasance, misfeasance dan


nonfeasance. Malfeasance berarti melakukan tindakan yang melanggar hukum atau tidak
tepat/layak (unlawful atau improper), misalnya melakukan tindakan medis tanpa indikasi
yang memadai (pilihan tindakan medis tersebut sudah improper). Misfeasance berarti
melakukan pilihan tindakan medis yang tepat tetapi dilaksanakan dengan tidak tepat
(improper performance), yaitu misalnya melakukan tindakan medis dengan menyalahi
prosedur. Nonfeasance adalah tidak melakukan tindakan medis yang merupakan kewajiban
baginya. Bentuk-bentuk kelalaian di atas sejalan dengan bentuk-bentuk error (mistakes, slips
and lapses) yang telah diuraikan sebelumnya, namun pada kelalaian harus memenuhi ke-
empat unsur kelalaian dalam hukum khususnya adanya kerugian, sedangkan error tidak
selalu mengakibatkan kerugian. Demikian pula adanya latent error yang tidak secara
langsung menimbulkan dampak buruk. Kelalaian medik adalah salah satu bentuk dari
malpraktik medis, sekaligus merupakan bentuk malpraktik medis yang paling sering terjadi.
Pada dasarnya kelalaian terjadi apabila seseorang dengan tidak sengaja, melakukan sesuatu
(komisi) yang seharusnya tidak dilakukan atau tidak melakukan sesuatu (omisi) yang
seharusnya dilakukan oleh orang lain yang memiliki kualifikasi yang sama pada suatu
keadaan dan situasi yang sama. Perlu diingat bahwa pada umumnya kelalaian yang dilakukan
orang-per-orang bukanlah merupakan perbuatan yang dapat dihukum, kecuali apabila
dilakukan oleh orang yang seharusnya (berdasarkan sifat profesinya) bertindak hati-hati, dan
telah mengakibatkan kerugian atau cedera bagi orang lain.

Undang-Undang No 29 tahun 2004


Undang-Undang No 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran diundangkan untuk
mengatur praktik kedokteran dengan tujuan agar dapat memberikan perlindungan
kepada pasien, mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan medis dan
memberikan kepastian hukum kepada masyarakat, dokter dan dokter gigi. Pada
bagian awal, Undang-Undang No 29/2004 mengatur tentang persyaratan dokter untuk
dapat berpraktik kedokteran, yang dimulai dengan keharusan memiliki sertifikat
kompetensi kedokteran yang diperoleh dari Kolegium selain ijasah dokter yang telah
dimilikinya, keharusan memperoleh Surat Tanda Registrasi dari Konsil Kedokteran
Indonesia dan kemudian memperoleh Surat ijin Praktik dari Dinas Kesehatan Kota /
Kabupaten. Dokter tersebut juga harus telah mengucapkan sumpah dokter, sehat fisik
dan mental serta menyatakan akan mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika
profesi. Selain mengatur persyaratan praktik kedokteran di atas, Undang-Undang No
29/2004 juga mengatur tentang organisasi Konsil Kedokteran, Standar Pendidikan
Profesi Kedokteran serta Pendidikan dan Pelatihannya, dan proses registrasi tenaga
dokter.
Pada bagian berikutnya, Undang-Undang No 29/2004 mengatur tentang
penyelenggaraan praktik kedokteran. Dalam bagian ini diatur tentang perijinan praktik
kedokteran, yang antara lain mengatur syarat memperoleh SIP (memiliki STR, tempat
praktik dan rekomendasi organisasi profesi), batas maksimal 3 tempat praktik, dan
keharusan memasang papan praktik atau mencantumkan namanya di daftar dokter bila
di rumah sakit. Dalam aturan tentang pelaksanaan praktik diatur agar dokter
memberitahu apabila berhalangan atau memperoleh pengganti yang juga memiliki
SIP, keharusan memenuhi standar pelayanan, memenuhi aturan tentang persetujuan
tindakan medis, memenuhi ketentuan tentang pembuatan rekam medis, menjaga
rahasia kedokteran, serta mengendalikan mutu dan biaya.
Pada bagian ini Undang-Undang juga mengatur tentang hak dan kewajiban dokter dan
pasien. Salah satu hak dokter yang penting adalah memperoleh perlindungan hukum
sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur
operasional, sedangkan hak pasien yang terpenting adalah hak memperoleh penjelasan
tentang penyakit, tindakan medis, manfaat, risiko, komplikasi dan prognosisnya dan
serta hak untuk menyetujui atau menolak tindakan medis.
Pada bagian berikutnya Undang-Undang No 29/2004 mengatur tentang disiplin
profesi. Undang-Undang mendirikan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran
Indonesia yang bertugas menerima pengaduan, memeriksa dan memutuskan kasus
pelanggaran disiplin dokter. Sanksi yang diberikan oleh MKDKI adalah berupa
peringatan tertulis, rekomendasi pencabutan STR dan/atau SIP, dan kewajiban
mengikuti pendidikan dan pelatihan tertentu.
Pada akhirnya Undang-Undang No 29/2004 mengancam pidana bagi mereka yang
berpraktik tanpa STR dan atau SIP, mereka yang bukan dokter tetapi bersikap atau
bertindak seolah-olah dokter, dokter yang berpraktik tanpa membuat rekam medis,
tidak memasang papan praktik atau tidak memenuhi kewajiban dokter. Pidana lebih
berat diancamkan kepada mereka yang mempekerjakan dokter yang tidak memiliki
STR dan/atau SIP

Sistem Hukum Indonesia Yang mengatur malpraktek

Hukum Perdata, Hukum Pidana dan Hukum Administrasi. Secara yuridis kasus
malpraktek medis di Indonesia dapat diselesaikan dengan bersandar pada beberapa
dasar hukum yaitu: KUHP, KUHPerdata, UU No 23 Tahun 1992, UU No 8 Tahun
1999, UU No 29 Tahun 2004, UU No 36 Tahun 2009, UU Nomor 44 Tahun 2009,
Peraturan Menteri Kesehatan No 585/Menkes/Per/IX/1989, Peraturan Menteri
Kesehatan No 512/Menkes/Per/IV/2007, Peraturan Menteri Kesehatan No
269/Menkes/Per/III/2008.
Undang-Undang yang bersangkutan, antara lain : UU No 23 Tahun 1992, UU No 29
Tahun 2004, UU No 36 Tahun 2009, UU No 44 Tahun 2009. Serta UUPK
memberikan dasar bagi pasien untuk mengajukan upaya hukum.
Peraturan yang tidak masuk dalam hierarki sistem hukum Indonesia tetapi berkaitan
dengan malpraktek medis antara lain: Peraturan Menteri Kesehatan No
269/Menkes/Per/III/2008 tentang Rekam Medis, Peraturan Menteri Kesehatan No
512/Menkes/Per/IV/2007 tentang Izin Praktik dan Pelaksanaan Praktik Kedokteran,
Peraturan Menteri Kesehatan No: 585/Men.Kes/Per/IX/1989 Tentang Persetujuan
Tindakan Medik.
Dari pengaturan tersebut yang sudah tidak berlaku lagi yakni, UU No 23 Tahun 1992
Tentang Kesehatan yang sudah diganti dengan UU No 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan.
Surat Edaran Mahkamah Agung Repiblik Indonesia (SEMA RI) tahun 1982,
dianjurkan agar kasus-kasus yang menyangkut dokter atau tenaga kesehatan lainnya
seyogyanya tidak langsung diproses melalui jalur hukum, tetapi dimintakan pendapat
terlebih dahulu kepada Majelis Kehormatan Etika Kedokteran (MKEK).
Majelis Kehormatan Etika Kedokteran merupakan sebuah badan di dalam struktur
organisasi profesi Ikatan Dokter Indonesia (IDI). MKEK ini akan menentukan kasus
yang terjadi merpuakan pelanggaran etika ataukah pelanggaran hukum. Hal ini juga
diperkuat dengan UU No. 23/1992 tentang kesehatan yang menyebutkan bahwa
penentuan ada atau tidaknya kesalahan atau kelalaian ditentukan oleh Majelis
Disiplin Tenaga Kesehatan (pasal 54 ayat 2) yang dibentuk secara resmi melalui
Keputusan Presiden (pasal 54 ayat 3).
Pada tanggal 10 Agustus 1995 telah ditetapkan Keputusan Presiden No. 56/1995
tentang Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan (MDTK) yang bertugas menentukan ada
atau tidaknya kesalahan atau kelalaian dokter dalam menjalankan tanggung jawab
profesinya. Lembaga ini bersifat otonom, mandiri dan non structural yang
keanggotaannya terdiri dari unsur Sarjana Hukum, Ahli Kesehatan yang mewakili
organisasi profesi dibidang kesehatan, Ahli Agama, Ahli Psikologi, Ahli Sosiologi.
Bila dibandingkan dengan MKEK, ketentuan yang dilakukan oleh MDTK dapat
diharapkan lebih obyektif, karena anggota dari MKEK hanya terdiri dari para dokter
yang terikat kepada sumpah jabatannya sehingga cenderung untuk bertindak sepihak
dan membela teman sejawatnya yang seprofesi. Akibatnya pasien tidak akan merasa
puas karena MKEK dianggap melindungi kepentingan dokter saja dan kurang
memikirkan kepentingan pasien.
- Milis Sehat - http://milissehat.web.id -

Informed Consent

Posted By windhi kresnawati On December 31, 2013 @ 9:09 pm In Tata Laksana |


Comments Disabled

Apa itu informed consent?

Informed consent diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai persetujuan tindakan


kedokteran. Persetujuan tindakan kedokteran adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien
atau keluarga terdekat setelah mendapat penjelasan yang lengkap mengenai tindakan
kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan terhadap pasien.

Bentuk nyata dari informed consent adalah formulir persetujuan yang ditandatangani. Akan
tetapi informed consent bukan hanya masalah ada tidaknya tanda tangan di formulir
persetujuan. Informed consent adalah bentuk partisipasi dan otonomi pasien dalam praktik
kedokteran. Di Indonesia, persetujuan tindakan kedokteran diatur dalam Peraturan Menteri
Kesehatan no 290/MENKES/PER/III/2008.

Kapan diperlukan informed consent?

Pada prinsipnya semua tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien
memerlukan persetujuan dari pasien. Pasien yang akan menjalani tindakan kedokteran
berisiko tinggi harus memberikan persetujuan secara tertulis di formulir khusus. Di luar
tindakan kedokteran yang berisiko tinggi, informed consent cukup diberikan pasien secara
lisan (ucapan setuju) atau bahasa tubuh (gerakan menganggukkan kepala). Dalam keadaan
gawat darurat untuk menyelamatkan jiwa pasien dan/atau mencegah kecacatan, tidak
diperlukan persetujuan tindakan kedokteran. Segera setelah dokter melakukan tindakan
dalam rangka penyelamatan jiwa pasien, dokter tersebut harus memberikan penjelasan
kepada pasien atau keluarga pasien.

Apa syarat informed consent yang valid?

Ada tiga komponen, yaitu:

1. Disclosure: dokter harus memberikan penjelasan (informasi) terlebih dahulu sebelum


dilakukan tindakan kedokteran sehingga pasien dapat memahami tindakan apa yang akan
dilakukan beserta risikonya dan pada akhirnya pasien dapat memutuskan untuk menjalani
suatu prosedur atau menolaknya. Dalam hal ini dokter harus memberikan penjelasan yang
dapat dimengerti oleh pasien. Apabila pasien tidak sadar atau masih anak-anak, maka
penjelasan diberikan kepada keluarga terdekat atau yang mengantar. Penjelasan tentang
tindakan kedokteran mencakup: diagnosis dan tata cara tindakan; tujuan tindakan; alternatif
tindakan lain dan risikonya; risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; prognosis; perkiraan
pembiayaan. Penjelasan yang sudah diberikan dicatat dan didokumentasikan dalam berkas
rekam medis (tanggal, jam, nama, tanda tangan pemberi penjelasan dan penerima
penjelasan).
2. Capacity: kemampuan pasien untuk memahami penjelasan dokter dan membuat keputusan.
Persetujuan hanya diberikan oleh pasien yang kompeten. Pasien yang kompeten menurut
peraturan di Indonesia adalah pasien dewasa atau bukan anak menurut peraturan
perundang-undangan atau telah/pernah menikah, tidak terganggu kesadaran fisiknya,
mampu berkomunikasi secara wajar, tidak mengalami kemunduran perkembangan
(retardasi) mental dan tidak mengalami penyakit mental sehingga mampu membuat
keputusan secara bebas. Apabila pasien tidak kompeten, maka persetujuan diberikan oleh
keluarga terdekat dengan urutan sebagai berikut: 1) suami atau istri; 2) ayah atau ibu; 3)
anak kandung; 4) saudara kandung; 5) wali/penjamin. Mereka yang menggantikan pasien
dalam memberi persetujuan tentunya harus sudah mendapat penjelasan (disclosure) dari
dokter.
3. Voluntariness: pasien memberikan persetujuan secara sukarela, bebas, tanpa
paksaan/manipulasi/pengaruh dari luar.

Apa yang terjadi kalau pasien menolak memberikan informed consent atau
membatalkan informed consent?

Penolakan tindakan kedokteran dapat dilakukan pasien dan/atau keluarga terdekat setelah
mendapatkan penjelasan. Pernyataan penolakan tersebut harus berupa bukti tertulis dan
akibat penolakan tindakan kedokteran menjadi tanggung jawab pasien. Penolakan informed
consent tidak memutuskan hubungan dokter pasien. Apabila pasien atau keluarga ragu-ragu,
dokter dapat meminta persetujuan ulang.

Persetujuan tindakan kedokteran dapat dibatalkan atau ditarik kembali oleh yang memberi
persetujuan sebelum dimulai tindakan. Pemberian persetujuan tindakan kedokteran tidak
menghapuskan tanggung gugat hukum jika terbukti adanya kelalaian dalam melakukan
tindakan kedokteran yang mengakibatkan kerugian pada pasien.

Anda mungkin juga menyukai