Menurutnya, penanganan pasien saat masuk ke IGD RSUD Embung Fatimah sudah sesuai
dengan prosedur penanganan pasien.
"Kita sudah memberikan klarifikasi kepada pihak keluarga, dimana penanganan pasien
Zansen Napitupulu (59) yang meninggal tanggal 2 Desember 2015 yang lalu sudah sesuai
dengan prosedur penanganan pasien,"jelasnya saat dikonfirmasi, Jumat (11/12/2015).
Dia menjelaskan, pasien sampai di rumah sakit, sekitar pukul 17.20 diantar taksi, saat pasien
sampai, langsung dibantu oleh pihak sekuriti menggunakan, kursi roda ke ruang IGD.
Setelah sampai di IGD, perawat dan dokter Eka yang bertugas saat itu langsung menangani
pasien dengan mengecek pembuluh darah pasien secara manual.
"Saat itu pembuluh darah pasien tidak dapat dirabah secara manual, akhirnya dilakukan
pengecekan dengan menggunakan pemeriksaan EKG (Elektrokardiogram_red). Saat itu hasil
jantungnya sempat normal,"katanya.
Namun beberapa menit kemudian, grafik jantung pasien sudah lurus dan tidak berfungsi.
Akhirnya perawat dan dokter yang menangani melakukan Resusitasi Jantung Paru (RJP)
untuk melakukan kejut jantung.
Dilanjutkan Nuarini, sekitar pukul 18.15 WIB, pihak dokter mendatangi keluarga untuk
memberitahukan bahwa pasien sudah meninggal.
"Ini juga perlu kami beritahukan bahwa saat penanganan pasien, tim perawat dan dokter
fokus menangani pasien. Makanya tidak sempat memberitahukan perkembangan keadaan
pasien terhadap keluarga. Memang hal tersebut wajar karena perawat dan dokter fokus
menangani pasien,"terang Nuraini.
Sementara mengenai formalin yang dimasukkan ke dalam tubuh jenazah, sudah sesuai
dengan prosedur RSUD Embung Fatimah.
"Saat itu kita masukkan formalin ke tubuh jenazah sebanyak 2,5 liter. Dengan ukuran
sebanyak itu maka jenazah sudah bisa bertahan sampai satu minggu,"kata Nuraini.
Dia juga menagatakan, saat pihak keluarga mengatakan bahwa dua hari setelah jenazah di
bawa ke rumah duka, jenazah mengeluarkan bau busuk dan terdapat ulat. hal tersebut tidak
ditemukan oleh pihak rumah sakit.
"Saat pihak rumah sakit datang ke rumah duka jenazah sudah dimasukkan ke dalam peti
jenazah, jadi tidak bisa dipengang lagi. Jadi mengenai ada ulat di tubuh jenazah, kami kurang
tahu pasti karena pihak rumah sakit tidak diperbolehkan memeriksa jenazah karena sudah di
dalam peti,"katanya.
Dia juga mengatakan, pihak RSUD Embung Fatima siap memberikan keterangan yang
sebenar-benarnya kepada pihak keluarga apabila masih membutuhkan penjelasn dari pihak
rumah sakit.
"Kalau keluarga masih kurang puas dengan penjelasan kami, kapanpun kami tetap siap
memberikan keterangan kepada pihak kelauarga apabila di perlukan," tutup Nuraini.
http://batam.tribunnews.com/2015/12/11/rsud-embung-fatimah-bantah-telantarkan-zansen-
kita-masukkan-formalin-ke-tubuh-jenazah-25-liter
Dampak Hukum Malpraktek Kedokteran
Posted on Desember 2, 2013 by The Doctor Indonesia Meninggalkan komentar
Tindakan malpraktik medik adalah salah satu cabang kesalahan di dalam bidang
professional. Tindakan malpraktik medik yang melibatkan para dokter dan tenaga
kesehatan lainnya banyak terdapat jenis dan bentuknya, misalnya kesilapan
melakukan diagnosa, salah melakukan tindakan perawatan yang sesuai dengan pasien
atau gagal melaksanakan perawatan terhadap pasien dengan teliti dan cermat.Di
beberapa negara maju seperti United Kingdom, Australia dan Amerika Serikat, kasus
malpraktik medik juga banyak terjadi bahkan setiap tahun jumlahnya meningkat.
Misalnya, di negara Amerika Serikat pada tahun 1970-an jumlah kasus malpraktik
medik meningkat tiga kali lipat dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya dan
keadaan ini terus meningkat hingga pada tahun 1990-an. Keadaan di atas tidak jauh
berbeda dengan negara Indonesia, dalam beberapa tahun terakhir ini kasus
penuntutan terhadap dokter atas dugaan adanya malpraktik medik meningkat
dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Sejak 2006 hingga 2012, tercatat ada
183 kasus kelalaian medik atau bahasa awamnya malpraktek yang terbukti
dilakukan dokter di seluruh Indonesia. Malpraktek ini terbukti dilakukan dokter
setelah melalui sidang yang dilakukan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran
Indonesia (MKDKI). Akibat dari malpraktek yang terjadi selama ini, sudah ada 29
dokter yang izin prakteknya dicabut sementara. Ada yang tiga bulan, ada yang enam
bulan.
Hingga Januari 2013 jumlah pengaduan dugaan malpraktik ke konsil kedokteran Indonesia
atau KKI tercatat mencapai 183 kasus. Jumlah tersebut meningkat tajam dibanding tahun
2009 yang hanya 40 kasus dugaan malpraktik. Bahkan kasus-kasus ini pun tidak
mendapatkan penanganan yang tepat dan hanya berakhir di tengah jalan, tanpa adanya sanksi
atau hukuman kepada petugas kesehatan terkait. Dari 183 kasus malpraktek di seluruh
Indonesia itu, sebanyak 60 kasus dilakukan dokter umum, 49 kasus dilakukan dokter bedah,
33 kasus dilakukan dokter kandungan, dan 16 kasus dilakukan dokter spesialis anak. Siasanya
di bawah 10 macam-macam kasus yang dilaporkan. Selain itu, ada enam dokter yang
diharuskan mengenyam pendidikan ulang. Artinya, pengetahuan dokter kurang sehingga
menyebabkan terjadinya kasus malpraktek. Mereka kurang dalam pendidikannya sehingga
ilmu yang didapatkan itu kurang dipraktekn atau terjadi penyimpangan dari standar
pelayanan atau penyimpangan dari ilmu yang diberikan. Maka, dia wajib sekolah lagi dalam
bidang tertentu. Di samping kasus malpraktek, beberapa kasus lain yang juga ikut menjerat
dokter ke ranah pidana hingga pencabutan izin praktek di antaranya soal komunikasi dengan
pasien, ingkar janji, penelantaran pasien, serta masalah kompetensi dokter.
Definisi Malpraktek
Menurut Coughlins Dictionary Of Law , malpraktek bisa diakibatkan karena sikap
kurang keterampilan atau kehati-hatian didalam pelaksanakan kewajiban professional,
tindakan salah yang sengaja atau praktek yang bersifat tidak etis. Kasus malpraktik
merupakan tindak pidana yang sangat sering terjadi di Indonesia. Malpraktik pada
dasarnya adalah tindakan tenaga profesional yang bertentangan dengan SOP, kode
etik, dan undang-undang yang berlaku, baik disengaja maupun akibat kelalaian yang
mengakibatkan kerugian atau kematian pada orang lain. Biasanya malpraktik
dilakukan oleh kebanyakan dokter di karenakan salah diagnosa terhadap pasien yang
akhirnya dokter salah memberikan obat. Sudah banyak contoh kasus yang malpraktik
yang terjadi di beberapa rumah sakit, kasus yang paling sering di bicarakan di media-
media diantaranya adalah kasus prita mulyasari. Ia mengaku adalah korban
malpraktik di rumah sakit Omni internasional. Tidak hanya kasus Prita saja, masih
banyak lagi kasus-kasus lain. Pihak rumah sakit berlindung pada nama besarnya.
Sesungguhnya Prita hanya berbicara tentang kebenaran dan hak sebagai seseorang
yang dirugikan. Dalam pengakuannya Prita pernah berobat di rumah sakit Omni
Internasional tersebut. Tapi ia tidak menyangka bahwa ia akan mendapat perlakuan
medis yang tidak layak. Ia mengungkapkan hal ini pada teman-temannya melalui
media internet dan tanpa disangka hal ini membuat Prita terlilit kasus pencemaran
nama baik.
Blacks Law Dictionary mendefinisikan malpraktik sebagai professional misconduct
or unreasonable lack of skill atau failure of one rendering professional services to
exercise that degree of skill and learning commonly applied under all the
circumstances in the community by the average prudent reputable member of the
profession with the result of injury, loss or damage to the recipient of those services
or to those entitled to rely upon them.
Pengertian malpraktik di atas bukanlah monopoli bagi profesi medis, melainkan juga
berlaku bagi profesi hukum (misalnya mafia peradilan), akuntan, perbankan (misalnya
kasus BLBI), dan lain-lain. Pengertian malpraktik medis menurut World Medical
Association (1992) adalah: medical malpractice involves the physicians failure to
conform to the standard of care for treatment of the patients condition, or lack of
skill, or negligence in providing care to the patient, which is the direct cause of an
injury to the patient.
Beberapa hal yang dapat menyebabkan seorang tenaga kesehatan melakukan tindakan
malpraktik medik, yaitu apabila tidak melakukan tindakan medisi sesuai dengan :
Standar Profesi Kedokteran Dalam profesi kedokteran, ada tiga hal yang harus ada
dalam standar profesinya, yaitu kewenangan, kemampuan rata-rata dan ketelitian
umum.
Standar Prosedur Operasional (SOP) SOP adalah suatu perangkat instruksi/
langkah-langkah yang dibakukan untuk menyelesaikan suatu proses kerja rutin
tertentu.
Informed Consent Substansi informed consent adalah memberikan informasi tentang
metode dan jenis rawatan yang dilakukan terhadap pasien, termasuk peluang
kesembuhan dan resiko yang akan dialami oleh pasien.
Hubungan antara dokter dan pasien terjadi suatu kontrak (doktrin social-contract), yang
memberi masyarakat profesi hak untuk melakukan self-regulating (otonomi profesi) dengan
kewajiban memberikan jaminan bahwa profesional yang berpraktek hanyalah profesional
yang kompeten dan yang melaksanakan praktek profesinya sesuai dengan standar. Sikap
profesionalisme adalah sikap yang bertanggungjawab, dalam arti sikap dan perilaku yang
akuntabel kepada masyarakat, baik masyarakat profesi maupun masyarakat luas (termasuk
klien). Beberapa ciri profesionalisme tersebut merupakan ciri profesi itu sendiri, seperti
kompetensi dan kewenangan yang selalu sesuai dengan tempat dan waktu, sikap yang etis
sesuai dengan etika profesinya, bekerja sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh
profesinya, dan khusus untuk profesi kesehatan ditambah dengan sikap altruis (rela
berkorban). Uraian dari ciri-ciri tersebutlah yang kiranya harus dapat dihayati dan diamalkan
agar profesionalisme tersebut dapat terwujud.
Hukum Perdata, Hukum Pidana dan Hukum Administrasi. Secara yuridis kasus
malpraktek medis di Indonesia dapat diselesaikan dengan bersandar pada beberapa
dasar hukum yaitu: KUHP, KUHPerdata, UU No 23 Tahun 1992, UU No 8 Tahun
1999, UU No 29 Tahun 2004, UU No 36 Tahun 2009, UU Nomor 44 Tahun 2009,
Peraturan Menteri Kesehatan No 585/Menkes/Per/IX/1989, Peraturan Menteri
Kesehatan No 512/Menkes/Per/IV/2007, Peraturan Menteri Kesehatan No
269/Menkes/Per/III/2008.
Undang-Undang yang bersangkutan, antara lain : UU No 23 Tahun 1992, UU No 29
Tahun 2004, UU No 36 Tahun 2009, UU No 44 Tahun 2009. Serta UUPK
memberikan dasar bagi pasien untuk mengajukan upaya hukum.
Peraturan yang tidak masuk dalam hierarki sistem hukum Indonesia tetapi berkaitan
dengan malpraktek medis antara lain: Peraturan Menteri Kesehatan No
269/Menkes/Per/III/2008 tentang Rekam Medis, Peraturan Menteri Kesehatan No
512/Menkes/Per/IV/2007 tentang Izin Praktik dan Pelaksanaan Praktik Kedokteran,
Peraturan Menteri Kesehatan No: 585/Men.Kes/Per/IX/1989 Tentang Persetujuan
Tindakan Medik.
Dari pengaturan tersebut yang sudah tidak berlaku lagi yakni, UU No 23 Tahun 1992
Tentang Kesehatan yang sudah diganti dengan UU No 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan.
Surat Edaran Mahkamah Agung Repiblik Indonesia (SEMA RI) tahun 1982,
dianjurkan agar kasus-kasus yang menyangkut dokter atau tenaga kesehatan lainnya
seyogyanya tidak langsung diproses melalui jalur hukum, tetapi dimintakan pendapat
terlebih dahulu kepada Majelis Kehormatan Etika Kedokteran (MKEK).
Majelis Kehormatan Etika Kedokteran merupakan sebuah badan di dalam struktur
organisasi profesi Ikatan Dokter Indonesia (IDI). MKEK ini akan menentukan kasus
yang terjadi merpuakan pelanggaran etika ataukah pelanggaran hukum. Hal ini juga
diperkuat dengan UU No. 23/1992 tentang kesehatan yang menyebutkan bahwa
penentuan ada atau tidaknya kesalahan atau kelalaian ditentukan oleh Majelis
Disiplin Tenaga Kesehatan (pasal 54 ayat 2) yang dibentuk secara resmi melalui
Keputusan Presiden (pasal 54 ayat 3).
Pada tanggal 10 Agustus 1995 telah ditetapkan Keputusan Presiden No. 56/1995
tentang Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan (MDTK) yang bertugas menentukan ada
atau tidaknya kesalahan atau kelalaian dokter dalam menjalankan tanggung jawab
profesinya. Lembaga ini bersifat otonom, mandiri dan non structural yang
keanggotaannya terdiri dari unsur Sarjana Hukum, Ahli Kesehatan yang mewakili
organisasi profesi dibidang kesehatan, Ahli Agama, Ahli Psikologi, Ahli Sosiologi.
Bila dibandingkan dengan MKEK, ketentuan yang dilakukan oleh MDTK dapat
diharapkan lebih obyektif, karena anggota dari MKEK hanya terdiri dari para dokter
yang terikat kepada sumpah jabatannya sehingga cenderung untuk bertindak sepihak
dan membela teman sejawatnya yang seprofesi. Akibatnya pasien tidak akan merasa
puas karena MKEK dianggap melindungi kepentingan dokter saja dan kurang
memikirkan kepentingan pasien.
- Milis Sehat - http://milissehat.web.id -
Informed Consent
Bentuk nyata dari informed consent adalah formulir persetujuan yang ditandatangani. Akan
tetapi informed consent bukan hanya masalah ada tidaknya tanda tangan di formulir
persetujuan. Informed consent adalah bentuk partisipasi dan otonomi pasien dalam praktik
kedokteran. Di Indonesia, persetujuan tindakan kedokteran diatur dalam Peraturan Menteri
Kesehatan no 290/MENKES/PER/III/2008.
Pada prinsipnya semua tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien
memerlukan persetujuan dari pasien. Pasien yang akan menjalani tindakan kedokteran
berisiko tinggi harus memberikan persetujuan secara tertulis di formulir khusus. Di luar
tindakan kedokteran yang berisiko tinggi, informed consent cukup diberikan pasien secara
lisan (ucapan setuju) atau bahasa tubuh (gerakan menganggukkan kepala). Dalam keadaan
gawat darurat untuk menyelamatkan jiwa pasien dan/atau mencegah kecacatan, tidak
diperlukan persetujuan tindakan kedokteran. Segera setelah dokter melakukan tindakan
dalam rangka penyelamatan jiwa pasien, dokter tersebut harus memberikan penjelasan
kepada pasien atau keluarga pasien.
Apa yang terjadi kalau pasien menolak memberikan informed consent atau
membatalkan informed consent?
Penolakan tindakan kedokteran dapat dilakukan pasien dan/atau keluarga terdekat setelah
mendapatkan penjelasan. Pernyataan penolakan tersebut harus berupa bukti tertulis dan
akibat penolakan tindakan kedokteran menjadi tanggung jawab pasien. Penolakan informed
consent tidak memutuskan hubungan dokter pasien. Apabila pasien atau keluarga ragu-ragu,
dokter dapat meminta persetujuan ulang.
Persetujuan tindakan kedokteran dapat dibatalkan atau ditarik kembali oleh yang memberi
persetujuan sebelum dimulai tindakan. Pemberian persetujuan tindakan kedokteran tidak
menghapuskan tanggung gugat hukum jika terbukti adanya kelalaian dalam melakukan
tindakan kedokteran yang mengakibatkan kerugian pada pasien.