Anda di halaman 1dari 66

BAB I

MANUSIA SEBAGAI INDIVIDU DAN MAKHLUK SOSIAL

A. Hakikat Manusia sebagai Individu dan Makhluk Sosial


Manusia adalah makhluk yang paling sempurna di antara makhluk ciptaan
Tuhan (Hartomo dan Arnicun Aziz, 2008:60). Kesempurnaannya tersebut ditandai
dengan akal yang dimilikinya. Dengan akalnya manusia dapat menamai,
mendefenisikan, maupun mengklasifikasikan sesuatu, benda-benda, dan mahkluk-
makhluk yang ada di alam semesta. Dengan kata lain, manusia dapat membuat
konsep berkenaan dengan sesuatu yang dipikirkan, dirasakan, maupun yang
dilihatnya. Dengan akalnya, manusia memiliki kemampuan berpikir. Berpikir
merupakan perbuatan operasional dari akal yang mendorong untuk aktif berbuat
untuk pemenuhan kepentingan manusia di dalam kehidupannya.
Di dalam diri manusia terdapat dua kepentingan, yakni kepentingan
individu dan kepentingan bersama (Tumanggor dkk, 2012:53). Dijelaskan bahwa
kepentingan individu didasarkan manusia sebagai makhluk individu, karena
pribadi manusia yang ingin memenuhi kebutuhan pribadinya. Sedangkan
kepentingan bersama didasarkan pada manusia sebagai makhluk sosial yang igin
memenuhi kebutuhan bersama dengan manusia lainnya.
Secara umum, ada dua kebutuhan manusia di dalam kehidupannya
(Herimanto dan Winarno, 2010:19). Dua kebutuhan tersebut yakni: 1) kebutuhan
yang bersifat kebendaan (sarana-prasarana), atau badan/ragawi, atau
jasmani/biologis misalnya makan, minum, bernafas, rumah untuk tempat istirahat
dan lainnya; 2) Kebutuhan yang bersifat rohani, atau mental, atau psikologi
misalnya kasih sayang, pujian, rasa aman, kebebasan, dan sebagainya. Abraham
Maslow, seorang ahli psikologi, berpendapat bahwa kebutuhan manusia dalam
hidup dibagi 5 (lima) tingkatan yakni:
1. Kebutuhan Fisiologi. Kebutuhan ini merupakan kebutuhan primer, dasar, dan
vital yang menyangkut fungsi-fungsi biologis dasar dari organisme manusia
seperti; makanan, pakaian, tempat tinggal, seks, dan lain-lain.

Ermansyah/2015 1
2. Kebutuhan rasa aman, dan perlindungan. Kebutuhan ini menyangkut perasaan
seperti; bebas dari rasa takut, terlindungi dari bahaya dan ancaman penyakit,
perlakuan tidak adil, dan lain-lain.
3. Kebutuhan sosial yang meliputi kebutuhan akan dicintai, diperhitungkan
sebagai pribadi, diakui sebagai anggota kelompok, rasa setiakawan, kerjasama,
persahabatan, dan lain-lain.
4. Kebutuhan akan penghargaan yag meliputi kebutuhan dihargainya kemampuan,
kedudukan, jabatan, status pangkat, dan lain-lain.
5. Kebutuhan akan aktualisasi diri yang meliputi kebutuhan untuk
memaksimalkan penggunaan potensi, kemampuan, bakat, kreativitas, ekspresi
diri, prestasi, dan lain-lain.
Dijelaskan Maslow bahwa kebutuhan manusia pertama-tama diawali kebutuhan
fisiologis, yang merupakan kebutuhan yang utama. Kemudian secara bertahap
beralih ke kebutuhan di atasnya sampai tingkatan tertinggi. Secara hirarkhi,
kebutuhan manusia tersebut dapat digambarkan dalam bentuk piramid
sebagaimana gambar di bawah ini. Kebutuhan yang paling awal atau utama diberi
nomor 1. Kemudian kebutuhan berikutnya diberi nomor 2, 3, 4, dan nomor 5.

5
4
3
2
1

Piramid kebutuhan yang dijelaskan oleh Maslow tersebut sekaligus


menjelaskan kebutuhan manusia sebagai individu, dan sebagai makhluk sosial.
Sebagai makhluk individu dan makhluk sosial merupakan salah satu dari unsur-
unsur hakikat manusia. Sebagaimana dijelaskan Herimanto dan Winarno
(2010:40) bahwa unsur-unsur hakikat manusia terdiri dari hal-hal berikut yakni: 1)
susunan kodrat manusia terdiri atas raga dan jiwa, 2) Sifat kodrat terdiri atas

Ermansyah/2015 2
makhluk individu dan sosial, dan 3) Kedudukan kodrat terdiri atas makhluk
berdiri sendiri dan makhluk Tuhan.
Lebih dijelaskan Herimanto dan Winarno bahwa manusia lahir sebagai
makhluk individual yang bermakna tidak terbagi atau tidak terpisahkan antara
jiwa dan raga. Kata individu itu sendiri berasal dari bahasa Latin, dari kata
individuum yang artinya tak terbagi. Kata individu merupakan sebutan yang
digunakan untuk menyatakan satu kesatuan yang paling kecil dan terbatas.
Kesatuan yang terbatas ini disebut juga sebagai perseorangan manusia.
Secara biologis, manusia lahir dengan kelengkapan fisik dan juga memiliki
jiwa. Jiwa manusia merupakan satu kesatuan dengan raganya yang untuk
selanjutnya melakukan aktivitas atau kegiatan. Kegiatan manusia digerakkan oleh
aspek jasmani dan rohaninya. Dengan kata lain, manusia mengerahkan seluruh
jiwa raganya untuk berkegiatan di dalam hidupnya.
Dalam perkembangannya, manusia sebagai makhluk individu tidak hanya
bermakna sebagai kesatuan jiwa dan raga, tetapi akan menjadi pribadi yang khas
dengan corak kepribadiannya, termasuk kemampuan kecakapannya. Dengan
demikian, sebagai individu manusia berbeda dengan manusia lainnya. Sebagai
individu, manusia memiliki sifat sendiri yang memiliki ciri khas tertentu yang
berupaya merealisasikan potensi dirinya.
Sebagaimana dijelaskan Setiadi dkk (2012:64) setiap manusia sebagai
makhluk individu adalah unik. Setiap orang pasti berbeda, bahkan yang lahir
kembar sekalipun. Artinya tidak ada dua individu yang sama, baik secara fisik dan
psikis. Walaupun secara umum fisik manusia tersebut terlihat sama, namun secara
detail akan tampak berbeda baik dari bentuk, ukuran, sifat, dan lain-lain.
Lebih lanjut dijelaskan Herimanto dan Winarno (2010:42) bahwa
pertumbuhan dan perkembangan individu menjadi pribadi yang khas tidak terjadi
dalam waktu sekejap, melainkan secara berkesinambungan tumbuh dan
berkembang sejak masa janin, bayi, anak, ramaja, dewasa, dan sampai tua. Istilah
pertumbuhan lebih tertuju pada segi fisik atau biologis individu, sedangkan
perkembangan tertuju pada segi mental psikologis individu. Pertumbuhan dan

Ermansyah/2015 3
perkembangan individu dipengaruhi beberapa faktor. Ada 3 (tiga) pandangan
mengenai hal tersebut yakni:
1. Pandangan nativistik yang menyatakan bahwa pertumbuhan individu semata-
mata ditentukan atas dasar faktor dari dalam individu itu sendiri seperti bakat
dan potensi, termasuk pula hubungan atau kemiripan dengan orang tuanya.
Misalnya, jika ayahnya pandai melukis maka anaknya juga akan seperti
ayahnya.
2. Pandangan empiristik yang menyatakan bahwa pertumbuhan individu semata-
mata didasarkan atas faktor lingkungan. Lingkungan menentukan pertumbuhan
seseorang. Pandangan ini bertolak belakang dengan pandangan nativistik.
Contoh, lingkungan yang banyak preman akan menjadikan seorang anak
sebagai preman.
3. Pandangan konvergensi yang menyatakan bahwa pertumbuhan individu
dipengaruhi oleh faktor diri individu dan lingkungan. Bakat anak yang
terkandung di dalam dirinya merupakan potensi yang harus dikembangkan
yang juga ditentukan oleh lingkungannya. Sebagai contoh, jika seorang
berbakat melukis tetapi hidup di lingkungan perbengkelan, maka bakatnya
tidak akan punya arti dan tidak aka berkembang. Potensi anak tersebut harus
disesuaikan dengan diciptakannya lingkungan yang mendukung, sehingga bias
tumbuh secara optimal. Pandangan konvergensi merupakan gabungan nativistik
dan empiristik.
Manusia sebagai makhluk sosial artinya manusia sebagai warga
masyarakat, bersama-sama dengan manusia lainnya. Dalam kehidupannya sehari-
hari, sebagai individu manusia tidak mampu hidup sendiri. Ia akan selalu
tergantung dan bekerja sama dengan manusia lainnya. Seperti halnya dalam
pemenuhan kebutuhannya. Meskipun ia mempunyai kedudukan dan kekayaan,
seorang individu akan selalu membutuhkan bantuan individu lainnya di dalam
masyarakat. Untuk itu ia akan bergabung dengan manusia lainnya membentuk
kelompok atau masyarakat dalam rangka pemenuhan kebutuhan dan tujuan
hidupnya tersebut. Dalam hal ini, manusia akan memasuki kehidupan bersama
dengan manusia individual lainnya.

Ermansyah/2015 4
Keberadaan sebagai makhluk sosial telah terwujud sejak manusia tersebut
lahir ke dunia. Bahkan, sejak ia manusia dalam kandungan pun ia membutuhkan
ibu dalam memperoleh makanan dan minuman. Pada masa bayi, seorang manusia
telah berhubungan dengan ibunya dalam hal kebutuhan akan makanan, minuman,
dan rasa nyaman dengan belaian. Demikian juga halnya hubungannya dengan
sang ayah. Pada masa usia sekolah hingga dewasa, dan akhir hayatnya manusia
membutuhan dan berhubungan dengan orang lain.
Kenyataan tersebut menjelaskan bahwa manusia memiliki keterbatasan.
Dengan keterbatasannya tersebut, manusia membutuhkan orang lain. Kelompok
masyarakat pertama tempat seorang manusia berhubungan dalam rangka
pemenuhan kebutuhan dasarnya adalah keluarga. Keluarga merupakan lingkungan
manusia yang pertama dan utama. Dalam keluarga tersebut, manusia memenuhi
kodratnya sebagai makhluk sosial.
Ditegaskan oleh Herimanto dan Winarno (2010:45), ada 3 (tiga) dorongan
kesatuan biologis yang terdapat dalam naluri manusia, sehingga menjadikannya
selalu hidup bermasyarakat. Ketiga dorongan kesatuan biologis tersebut yakni:
a. Hasrat untuk memenuhi keperluan makan dan minum
b. Hasrat untuk membela diri
c. Hasrat untuk mengadakan keturunan.
Lebih dijelaskan bahwa selain dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya,
keberadaan manusia sebagai makhluk sosial sebagai warga masyarakat- tidak
terlepas dari kebutuhan manusia itu untuk berhubungan atau berinteraksi dengan
orang lain di dalam masyarakat tersebut. Ia tidak dapat merealisasikan potensi
yang dimilikinya hanya dengan diri sendiri. Ia juga butuh diakui keberadaaannya.
Manusia akan membutuhkan manusia lainnya untuk hal tersebut.
Di samping itu, manusia juga tidak terlepas dari pengaruh masyarakat itu
sendiri. Setiap orang tidak bisa seenaknya berpakaian menurut kehendak sendiri,
jika bepergian ke suatu tempat. Setiap orang harus tampil menurut yang dianggap
pantas, serta sesuai dengan nilai dan norma yang hidup dalam masyarakat dimana
ia berada.

Ermansyah/2015 5
Sebagaimana juga ditegaskan Setiadi dkk (2013:67) bahwa perilaku
manusia dipengaruhi orang lain. Ia melakukan sesuatu dipengaruhi faktor dari luar
dirinya seperti tunduk pada aturan, dan norma, Ia juga berperilaku untuk
mendapatkan respon positif dari orang lain, seperti pujian dan pengakuan orang
lain atas keberadaannya.

B. Peranan Manusia sebagai Individu dan Makhluk Sosial


Menurut Herimanto dan Winarno (2010:47), setiap manusia -sebagai
individu- memiliki harkat dan martabat yang mulia. Siapa pun, ras dan agama apa
pun, atau perbedaan-perbedaan yang tersebut tidak meniadakan persamaan harkat
dan martabatnya sebagai manusia. Oleh karena itu, pengakuan dan penghargaan
manusia sebagai manusia mutlak diperlukan yang diwujudkan akan jaminan atas
hak-hak asasi manusia. Manusia memiliki hak-hak dasar yang sama yang tidak
boleh dihalangi oleh manusia lainnya. Penindasan terhadap hak-hak dasar
manusia pada dasarnya merendahkan derajat kemanusiaan itu sendiri.
Lebih dijelaskan bahwa manusia sebagai individu berupaya merealisasikan
segenap potensi dirinya, baik potensi jasmani maupun potensi rohani. Jasmani
atau raga adalah badan atau tubuh manusia yang bersifat kebendaan, dapat diraba,
dan bersifat ril. Rohani atau jiwa merupakan unsur manusia yang tidak berwujud,
tidak bisa diraba atau ditangkap inderawi, yang bersifat kerohanian. Unsur jiwa
terdiri dari atas akal, rasa, dan kehendak.
Sebagai individu, manusia berusaha memenuhi kepentingan atau mengejar
kebahagiaannya sendiri. Motif tindakannya adalah memenuhi kebutuhan hidup
meliputi jasmani dan rohani. Setiap individu memiliki hak untuk memenuhi
kebutuhan dasar hidupnya dan untuk dipuji. Melalui hal tersebut, seseorang akan
memperoleh kebahagiaan.
Ditegaskan bahwa manusia sebagai individu akan berusaha:
a. Menjaga dan mempertahankan harkat dan martabatnya
b. Mengupayakan terpenuhi hak-hak dasarnya sebagai manusia
c. Merealisasikan segenap potensi diri baik sisi jasmani maupun rohani
d. Memenuhi kebutuhan dan kepentingan diri demi kesejahteraan hidupnya

Ermansyah/2015 6
Sebagai makhluk sosial menunjukkan bahwa manusia tidak bisa hidup
berdiri sendiri (Tumanggor dkk, 2012:58). Sejak lahir sampai liang kubur,
manusia selalu membutuhkan kehadiran orang lain selain dirinya. Kebutuhan akan
orang lain tersebut membentuk kehidupan berkelompok. Berbagai tipe kelompok
muncul seiring kebutuhan manusia untuk saling berinteraksi.
Jika sebagai individu manusia memiliki hak-hak dasar, maka sebagai
makhluk sosial terdapat kewajiban dasar manusia (Herimanto dan Winarno, 2010:
51). Dijelaskan bahwa kewajiban dasar manusia adalah menghargai hak dasar
orang lain, serta menaati norma-norma yang berlaku di masyarakat. Berdasarkan
hal-hal tersebut, maka manusia sebagai makhluk sosial memiliki implikasi-
implikasi sebagai berikut:
a. Kesadaran akan ketidakberdayaan manusia jika seorang diri
b. Kesadaran untuk senantiasa dan harus berinteraksi dengan orang lain
c. Penghargaan akan hak-hak orang lain
d. Ketaatan terhadap norma-norma yang berlaku.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa keberadaannya sebagai makhluk sosial
menjadikan manusia melakukan peran-peran sebagai berikut:
a. Melakukan interaksi degan manusia lain atau kelompok
b. Membentuk kelompok-kelompok sosial
c. Menciptakan norma-norma sosial sebagai pengatur tertib kehidupan kelompok
atau masyarakat.

C. Dilema Antara Kepentingan Individu dan Sosial


Sebagaimana telah dijelaskan bahwa selain sebagai individu, manusia juga
sebagai makhluk sosial. Sebagai individu, manusia terlepas dari manusia lainnya
(Herimanto dan Winarno, 2010:55). Dijelaskan bahwa setipa manusia individu
bebas melakukan apa yang diinginkannya. Ia memiliki hak-hak yang tidak bisa
dihalangi oleh siapa pun. Ia akan merasa bahagia, jika hak-haknya terpenuhi.
Sebaliknya sebagai makhluk sosial, manusia tidak terlepas dari manusia
lainnya. Ia tergantung dengan manusia lainnya dalam pemenuhan kebutuhan
hidupnya. Ia juga butuh berinteraksi dengan manusia lainnya dan mewujudkan

Ermansyah/2015 7
hidup berkelompok atau bermasyarakat. Selain itu, ia juga dipengaruhi oleh
manusia lainnya, sehingga perilaku yang diwujudkannya disesuaikan dengan
keinginan masyarakat. Masyarakat yang paling utama dan menentukan dalam
hidupnya.
Namun dalam kehidupannya, manusia mengalami dilema antara
memenuhi kepentingannya sebagai individu atau sebagai makhluk sosial.
Kepentingan mana yang harus didahulukan? Mengenai kepentingan mana yang
harus didahulukan berkaitan dengan 2 (dua) pandangan yang saling bertolak
belakang,yakni pandangan individualisme dan sosialisme (Herimanto dan
Winarno, 2010:55).
Pandangan individualisme didasarkan pada konsep bahwa manusia pada
dasarnya adalah makhluk individu yang bebas, terlepas dari manusia lainnya.
Masyarakat hanyalah kumpulan dari individu-individu. Jika setiap individu
hidupnya bahagia dan sejahtera, maka masyarakat pun akan sejahtera. Oleh
karena itu, kepentingan individu harus diutamakan. Kesejahteraan individu
merupakan nilai kebaikan yang tertinggi yang harus diperjuangkan melalui
persamaan dan kebebasan. Kebebasan seorang individu untuk merealisasikan
dirinya merupakan issu sentral dari individualisme. Paham individualism
menghasilkan ideologi liberalisme, atau yang bisa juga disebut ideologi
individualisme liberal.
Lebih dijelaskan Herimanto dan Winarno (2010:56) bahwa beberapa
prinsip yang dikembangkan ideologi liberalisme adalah sebagai berikut:
1. Penjaminan hak milik perorangan. Bagi paham ini, kepemilikan sepenuhnya
berada pada pribadi, dan tidak berlaku hak miliki berfungsi sosial.
2. Mementingkan kepentingan individu. Prinsip ini mengandung pengertian
membiarkan setiap orang beraktivitas untuk kepentingan sendiri. Pemenuhan
kepentigan sendiri-sendiri secara individual diyakini akan membawa
kemakmuran bersama.
3. Pemberian kebebasan penuh kepada individu. Individu adalah primer, sedangka
masyarakat adalah sekunder. Bila individu mendapatkan kebebasan dan
kepuasan, maka masyarakat pun akan mendapatkan kemakmuran.

Ermansyah/2015 8
4. Persaingan bebas untuk mencapai kepentingan masing-masing individu.
Paham liberalisme ini diwujudkan dalam berbagai bidang yakni: bidang
ekonomi, politik, dan sosial budaya. Dalam bidang ekonomi, liberalisme
menghasilkan kapitalisme dan pasar bebas. Kebebasan dalam rangka pemenuhan
kebutuhan diri pribadi dapat menimbulkan persaingan, dan dinamika kebebasan
antarindividu yang bisa diatur melalui penerapan hokum. Liberalisme dalam
bidang politik menghasilkan kebebasan berbicara, berpendapat, berserikat,
demokrasi politik, dan perlunya jaminan hak asasi manusia. Sedangkan
liberalisme dalam bidang sosial budaya menghasilkan kebebasan individu untuk
mengekspresikan sikap, perilaku, seni, dan budayanya.
Bertolak belakang dengan individualisme atau liberalisme adalah
sosialisme. Paham sosialisme berpandangan bahwa kepentingan masyarakatlah
yang diutamakan (Herimanto dan Winarno, 2010:57). Dijelaskan bahwa
masyarakat tidak sekedar kumpulan dari individu, tetapi sebagai entitas yang
besar dan berdiri sendiri dimana individu-individu itu berada. Kedudukan individu
hanyalah objek dari masyarakat. Menurut pandangan sosialis, hak-hak individu
sebagai hak dasar hilang. Hak-hak individu timbul karena keanggotaannya dalam
suatu komunitas atau kelompok, sehingga individu terikat pada komitmen suatu
komunitas atau kelompok. Sosialisme adalah paham yang mengharapkan
terbentuknya masyarakat yang adil, selaras, bebas, dan sejahtera bebas dari
penguasaan individu atas hak milik dan alat-alat produksi.
Lebih dijelaskan bahwa dalam pandangan sosialis kebebasan individu
yang diyakini dapat memaksimalkan pemenuhan kesejahteraan ternyata banyak
menimbulkan ketidakadilan antarindividu itu sendiri. Individu yang memiliki
kemampuan akan semakin sejahtera, sedangkan yang tidak memiliki kemampuan
akan semakin miskin. Hal ini akan menimbulkan kesenjangan dan ketidakadilan
di dalam masyarakat. Paham individualism liberal dalam pelaksanaannya justru
mengingkari asas persamaan. Liberalisme mungkin dapat bermanfaat bagi
kehidupan politik, namun tidak dalam bidang ekonomi dan sosial.
Sebaliknya sosialisme dalam bentuk yang ekstrim, seperti marxisme atau
komunisme, tidak menghargai manusia sebagai pribadi, sehingga merendahkan

Ermansyah/2015 9
sisi kemanusiaan. Kemakmuran masyarakat mungkin dapat terwujud, tetapi
kepuasan rohani manusia secara pribadi belum tentu terjamin. Paham sosialis-
komunis dapat memasung hak-hak dasar manusia secara pribadi.
Menyimak kelemahan dari masing-masing paham tersebut, maka
kepentingan mana yang diutamakan tergantung kepada pilihan dari kedua ideologi
tersebut. Sebagaimana negara Indonesia yang berfalsafahkan Pancasila, hakekat
manusia dipandang sebagai pribadi sekaligus makhluk sosial secara seimbang.
Hal ini tidak sekedar penggabungan pandangan individualisme dan sosialisme,
tetapi secara hakikat memandang kedudukan manusia sebagai makhluk individu
sekaligus makhluk sosial. Mengutip pandangan Frans Magnis Suseno, Herimanto
dan Winarno (2010:59) menjelaskan bahwa manusia adalah individu yang secara
hakiki bersifat sosial, dan sebagai individu manusia bermasyarakat.

Ermansyah/2015 10
BAB II
MANUSIA DAN KEBUDAYAAN

Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang memiliki akal. Dengan


akalnya tersebut, manusia mampu menciptakan, memperbaiki, mengembangkan,
dan meningkatkan sesuatu yang ada untuk kepentingan hidupnya. Dengan kata
lain manusia mampu menciptakan kebudayaan. Kebudayaan yang merupakan
sebagai hasil dari kemampuan akal manusia. Dengan akal yang dimilikinya,
manusia mewujudkan gagasan-gagasan, praktek-praktek, dan benda-benda dalam
kaitannya dengan pemenuhan kebutuhannya. Hal ini tersebut sesungguhnya
menjelaskan bahwa hakikatnya manusia juga sebagai makhluk budaya.

A. Asal Kata dan Defenisi Kebudayaan.


Setiap masyarakat memiliki apa yang disebut dengan kebudayaan. Namun,
konsep kebudayaan hanya sering didengar di dunia ilmiah atau di kalangan
akademisi maupun yang berkenaan dengan hal tersebut. Bagi orang awam,
mereka hanya lebih mengenal istilah adat. Walaupun berbeda pengertiannya,
namun istilah kebudayaan dan adat bagi orang awam tersebut sesungguhnya
menunjuk kepada pemahaman yang sama. Istilah kebudayaan yang dikenal di
kalangan akademis menunjuk kepada pemahaman tentang adat di masyarakat.
Secara harafiah, jika dilihat dari asal kata, istilah kebudayaan berasal dari
bahasa Sansekerta yakni dari kata buddhayah (Koentjaraningrat, 2002:181). Lebih
lanjut dijelaskan Kontjaraningrat bahwa kata buddhayah tersebut merupakan
bentuk jamak dari kata buddhi yang berarti akal. Berdasarkan hal tersebut maka
ke-budaya-an dapat diartikan sebagai hal-hal yang bersangkutan dengan akal.
Sarjana lain menjelaskan bahwa kata budaya sebagai perkembangan dari kata
budi dan daya atau budi-daya yang berarti daya dari budi. Budi diartikan
sebagai akal, sedangkan daya diartikan sebagai kemampuan. Dengan demikian,
istilah ke-budaya-an juga berarti segala kemampuan akal manusia. Oleh karena
itu, mereka membedakan budaya dengan kebudayaan. Budaya dipahami
sebagai daya dari budi yang berupa cipta, karsa, dan karsa, sedangkan

Ermansyah/2015 11
kebudayaan adalah hasil dari cipta, karsa, dan rasa tersebut. Namun dalam
antropologi, khususnya antropologi budaya, perbedaan tersebut ditiadakan. Kata
budaya dipakai sebagai singkatan dari kata kebudayaan dengan arti yang
sama. Adapun kata kultur atau culture yang bersumber dari bahasa Inggris yang
sama artinya dengan kebudayaan berasal dari kata Latin yakni colere yang berarti
mengolah atau mengerjakan, terutama mengolah tanah atau bertani. Dari arti ini
berkembang arti culture sebagai segala daya upaya serta tindakan manusia untuk
mengolah tanah dan merubah alam
Menurut E.B. Tylor (seorang tokoh klasik antropologi), sebagaimana yang
dikutip oleh Lawang (1984), kebudayaan adalah keseluruhan kompleks yang
meliputi pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, tata cara dan
kemampuan-kemampuan apa saja lainnya, kebiasaan yang diperoleh manusia
sebagai anggota masyarakat. Defenisi ini menjelaskan bahwa kebudayaan
menunjuk kepada segala sesuatu yang dimiliki seorang individu dari dan sebagai
anggota masyarakat.
Defenisi tersebut masih sangat luas artinya, dan seolah-olah individu
sebagai anggota masyarakat hanya menerima begitu saja apa yang dimiliki
masyarakat. Individu dalam hal ini memperoleh sesuatu apa yang sudah ada di
dalam masyarakat. Semua elemen yang disebutkan Tylor dalam defenisinya
tentang kebudayaan merupakan sesuatu yang sudah ada, sudah jadi, dan individu
sebagai anggota masyarakat tinggal menerima saja semuanya. Dalam hal ini
manusia sebagai makhluk yang pasif dan ditentukan oleh masyarakatnya atau
kebudayaan yang dimiliki masyarakat tersebut. Sebagai contoh: sistem
kepercayaan masyarakat atau suku bangsa Jawa yang mengharuskan untuk
melaksanakan upacara adat pada saat seorang istri hamil tujuh bulan.
Mengutip Selo Soemarjan dan Soelaeman, Soekanto (2003:173)
menegaskan bahwa kebudayaan merupakan semua hasil karya, rasa, dan cipta
masyarakat. Lebih lanjut dijelaskan bahwa karya masyarakat menghasilkan
teknologi dan kebudayaan kebendaan atau kebudayaan jasmaniah (budaya
material) yang diperlukan manusia untuk menguasai alam sekitarnya, agar
kekuatan serta hasilnya dapat diabdikan untuk keperluan masyarakat. Sebagai

Ermansyah/2015 12
contoh: suku bangsa di Papua yang membuat panah (busur dan anak panahnya)
untuk keperluan berburu binatang untuk memenuhi kebutuhanakan makanan;
masyarakat petani yang membuat cangkul dan alat-alat pertanian lainnya untuk
mengolah lahan pertanian dalam rangka mata pencahariannya.
Rasa yang meliputi jiwa manusia, mewujudkan segala kaidah-kaidah dan
nilai-nilai sosial yang perlu untuk mengatur masalah-masalah kemasyarakatan
dalam arti luas. Termasuknya di dalamnya agama, ideologi, kesenian, dan semua
unsur yang merupakan hasil ekspresi jiwa manusia yang hidup sebagai anggota
masyarakat. Sebagai contoh pada suku bangsa Asmat di Papua dan suku bangsa
Batak Toba yang mewujudkan ekspresi jiwa mereka dalam bentuk seni lukis, seni
ukir dan seni lainnya sesuai dengan lingkungan alam dan sistem kepercayaannya
terhadap alam tersebut.
Sedangkan cipta merupakan kemampuan mental, kemampuan berpikir
orang-orang yang hidup bermasyarakat dan yang antara lain menghasilkan
filsafat, serta ilmu pengetahuan (Badrujaman, 2010:19). Cipta dapat berwujud
teori murni, maupun yang telah disusun untuk langsung diamalkan dalam
kehidupan masyarakat. Sebagai contoh filsafat hidup suku bangsa Jawa yang
mengharuskan untuk hidup tenteram maupun rukun dalam kehidupannya
bermasyarakat.
Leslie White mendefenisikan kebudayaan sebagai suatu kumpulan gejala-
gejala yang terorganisasi yang terdiri dari tindakan-tindakan (pola-pola perilaku),
benda-benda (alat-alat atau benda-benda yang dibuat dengan ala-alat), ide-ide
(kepercayaan dan pengetahuan), dan perasaan-perasaan (sikap-sikap, nilai-nilai)
yang semuanya itu tergantung pada penggunaan simbol-simbol (Lawang, 1984).
Lebih lanjut dijelaskan Lawang bahwa dari defenisi tersebut dapat dipahami
kebudayaan tidak hanya mencerminkan kenyataan yang bersifat objektif,
kenyataan yang berada di luar individu dan memaksa individu untuk
mengikutinya sebagaimana dipahami dari defenisi kebudayaan yang diuraikan
oleh E.B. Tylor. Kebudayaan juga mencerminkan kenyataan yang bersifat
subjektif yang dapat dilihat dari penggunaan simbol-simbol. Simbol adalah khas
manusia yang mencerminkan usaha manusia untuk mengerti kenyataan sosial

Ermansyah/2015 13
yang dihadapinya, dan membuatnya berarti untuk dia sendiri. Sebagai contoh
seorang laki-laki dalam menyatakan cintanya kepada seorang wanita akan
memberikan seikat kembang mawar. Kembang mawar ini adalah simbol yang
digunakan sepasang muda-mudi dalam mengekpresikan perasaan cinta.
Pengertian kebudayaan yang berkenaan dengan simbol-simbol juga dianut oleh
beberapa ahli antropologi lainnya.
Seorang ahli dan pendiri antropologi di Indonesia, (alm) Koentjaraningrat,
mendefenisikan kebudayaan sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan
hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri
manusia dengan belajar (Koentjaraningrat, 1990; 2002:180). Menurut Lawang
(1984) walaupun defenisi ini tidak menekankan penggunaan simbol, namun inti
dari defenisinya sama dengan White yakni kebudayaan adalah produk manusia
yang menjadi sesuatu yang ada di luar individu, dan yang harus dipelajarinya.
Mempelajari kebudayaan sama dengan memasukkan atau mengendapkan
kebudayaan (menginternalisasi) yang bersifat objektif itu ke dalam diri manusia
(bersifat subjektif).
Defenisi Koentjaraningrat tersebut menegaskan bahwa kebudayaan
merupakan sesuatu kenyataan yang bersifat objektif dan juga subjektif. Dalam hal
ini, seorang individu tidak semata-mata makhluk yang pasif, tetapi juga makhluk
yang aktif. Seorang individu sebagai anggota masyarakat tidak semata-mata
menerima kebudayaan yang telah ada begitu saja, namun ia menginternalisasikan
kebudayaan tersebut di dalam diri dan menjadi miliknya, serta dengan anggota
masyarakat lainnya ia juga dapat mengkonstruksi kebudayaan atau
merekonstruksi kebudayaannya.
Dari berbagai paparan di atas maka diketahui ada empat defenisi
kebudayaan yang berlainan yang dapat dipergunakan untuk mengerti kebudayaan,
walaupun masih banyak lagi defenisi kebudayaan yang dibuat oleh para ahli
bidang ilmu humaniora maupun ilmu sosial. Perbedaan defenisi dimungkinkan
oleh perbedaan sudut pandang, pemfokusan, dan cara mendefenisikan yang
dilakukan para ahli tersebut. Walaupun demikian, dari perbedaaan tersebut dapat
diketahui bahwa suatu kebudayaan dapat dipahami sebagai kebudayaan material

Ermansyah/2015 14
dan kebudayaan imaterial (non material). Kebudayaan material merupakan hal
yang konkret, dapat diobservasi dapat diraba.dapat difoto atau didokumentasi
Sebagai contoh: panah, alat-alat memancing, alat-alat yang dipergunakan dalam
pertanian, aktivitas-aktivitas manusia dalam rangka kehidupan bermasyarakat atau
pemenuhan kebutuhan hidup, dan lain-lain. Kebudayaan imaterial merupakan hal
yang abstrak, tidak dapat diobservasi, tidak dapat diraba, tidak dapat difoto atau
didokumentasi. Sebagai contoh: ide-ide, gagasan-gagasan, nilai, norma, peraturan,
dan lain-lain.

B. Sifat Hakekat Kebudayaan


Suatu kebudayaan mempunyai sifat hakekat yang berlaku umum, dan
sekaligus menjadi ciri setiap kebudayaan. Bagi Soekanto (2003:182) sifat hakekat
kebudayaan tersebut yakni:
1. Kebudayaan terwujud dan tersalurkan lewat perilaku. Sebagai misalnya
perilaku masyarakat yang selalu menyapa orang tua dan menyalamnya jika
bertemu. Perilaku tersebut menjelaskan adanya nilai budaya untuk hormat pada
orang tua yang dijalankan oleh suatu masyarakat.
2. Kebudayaan telah ada terlebih dahulu mendahului lahirnya suatu generasi
tertentu, dan tidak akan mati dengan habisnya usia generasi yang bersangkutan.
Hal ini menjelaskan bahwa kebudayaan suatu masyarakat saat ini telah ada
sebelum generasi saat ini lahir, dan tidak akan hilang jika masyarakat generasi
saat ini punah. Kebudayaan tersebut akan tetap ada dan diwarisi dari generasi
ke generasi berikutnya.
3. Kebudayaan diperlukan oleh manusia dan diwujudkan tingkah lakunya. Hal ini
menjelaskan bahwa kebudayaan yang dimiliki dan dikonsruksikan (diciptakan)
suatu masyarakat sesungguhnya memenuhi keperluan hidup masyarakat.
Seperti halnya perilaku untuk menyapa dan menyalam orang tua jika bertemu,
merupakan suatu tata krama yang memang diinginkan masyarakat dan mereka
ciptakan menjadi kebudayaannya dalam bentuk nilai, norma-norma, dan
tingkah laku.

Ermansyah/2015 15
4. Kebudayaan mencakup aturan-aturan yang berisikan kewajiban-kewajiban,
tindakan-tindakan yang diterima dan ditolak, tindakan-tindakan yang dilarang
dan diizinkan. Hal ini menjelaskan bahwa di dalam kebudayaan tercakup pola-
pola perilaku atau hal-hal yang mengatur tingkah laku masyarakatnya. Sebagai
contoh: adanya kewajiban untuk menyerahkan puluhan ekor babi sebagai
syarat yang harus dipenuhi pihak laki-laki dalam perkawinan adat Nias; tidak
diizinkannya atau dilarangnya untuk kawin bagi pasangan yang satu marga
bagi beberapa suku bangsa di Indonesia, jika tidak dipatuhi maka akan
dikeluarkan dari kelompok marganya.
Bagi Badrujaman (2010:22), sifat hakekat kebudayaan merupakan inti
kekuatan yang mengikat dan mengatur tindakan manusia dalam usaha pencapaian
kehendak dan cita-citanya sesuai dengan kaidah-kaidah yang hidup dan diterima
masyarakat secara umum. Walaupun sifat hakekat kebudayaan berlaku umum atau
dimiliki oleh setiap kebudayaan yang ada di dunia, namun perwujudannya di
masing-masing masyarakat tentunya sesuai dengan situasi maupun lingkungan
masyarakat tersebut berada. Oleh karena apabila seseorang dari masyarakat atau
kebudayaan tertentu masuk atau hidup di dalam masyarakat atau kebudayaan yang
berbeda, maka belum tentu ia akan dapat menggunakan praktek-praktek tingkah
laku atau atribut-atribut yang ada dalam kebudayaannya. Ia harus bertingkah laku
sesuai dengan praktek-praktek dan atribut-atribut yang ada dalam kebudayaan
dimana ia berada.

C. Tiga Wujud Kebudayaan


Penjelasan tentang wujud-wujud kebudayaan di bawah ini didasarkan atas
defenisi kebudayaan dari Koentjaraningrat. Serupa dengan J.J. Honigmann yang
membedakan adanya tiga gejala kebudayaan yaitu ideas, activities, dan artefacts,
Koentjaraningrat juga berpendirian bahwa kebudayaan dapat dibagi ke dalam 3
(tiga) wujud (Koentjaraningrat, 2002:186). Ketiga wujud tersebut yakni:
1. Wujud kebudayaan sebagai kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-
norma, peraturan dan sebagainya. Wujud pertama ini disebut sebagai wujud
idiil kebudayaan yang sifatnya abstrak, tidak dapat diraba, tidak dapat difoto

Ermansyah/2015 16
atau didokumentasi. Wujud idiil ini ada di dalam kepala atau alam pikiran
warga masyarakat dimana kebudayaan yang bersangkutan hidup. Jika warga
masyarakat tersebut menyatakan gagasan atau ide-idenya dalam tulisan, maka
lokasi dari kebudayaan idiil itu ada dalam karangan atau buku-buku hasil karya
para penulis warga yang bersangkutan, bahkan juga dapat tersimpan dalam
disk, arsip, pita computer, dan lain-lain yang berupa alat penyimpan data.
Dalam bahasa Indonesia, wujud idiil kebudayaan juga disebut dengan istilah
adat atau adat istiadat untuk bentuk jamaknya. Para ahli antropologi dan
sosiologi menyebut wujud idiil kebudayaan yang saling berkaitan satu sama
lain dalam suatu sistem sebagai sistem budaya.
2. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola
dari manusia dalam masyarakat. Wujud kedua ini disebut sebagai sistem sosial
yang berkenaan dengan tindakan berpola manusia. Sistem sosial ini bersifat
konkret, bisa diobservasi, bisa difoto dan didokumentasi, dan terjadi dalam
kehidupan sehari-hari yang terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia-manusia
yang berinteraksi, berhubungan, serta bergaul satu dengan lain dari detik ke
detik, dari hari ke hari, dari tahun ke tahun menurut pola-pola tertentu yang
berdasarkan adat tata kelakuan. Seperti halnya aktivitas masyarakat dalam
melaksanakan pesta perkawinan mengikuti budaya suku bangsa maupun
budaya nasional.
3. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. Wujud ketiga ini
disebut kebudayaan fisik atau artefak berupa seluruh total dari hasil fisik dari
aktivitas, perbuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat. Oleh karena
itu, sifatnya paling konkret, dapat diraba, difoto atau didokumentasi. Seperti
halnya panah, alat-alat memancing, alat-alat yang dipergunakan dalam
pertanian, computer, candi, kain batik, dan sebagainya.
Lebih lanjut dijelaskan Koentjaraningrat bahwa ketiga wujud dari
kebudayaan yang telah diuraikan di atas, dalam kenyataan kehidupan sehari-hari
tidak terpisahkan satu dengan yang lain. Wujud idiil kebudayaan mengatur dan
memberi arah kepada tindakan dan karya manusia. Ide-ide, tindakan, dan karya
manusia menghasilkan kebudayaan fisik. Sebaliknya, kebudayaan fisik

Ermansyah/2015 17
membentuk suatu lingkungan hidup tertentu yang makin lama menjauhkan
manusia dari lingkungan alamiahnya, sehingga mempengaruhi pola-pola
berikutnya, bahkan cara berpikirnya.
Walaupun ketiga wujud kebudayaan tersebut saling berkaitan, namun
untuk keperluan analisis dapat dipisahkan. Seseorang dapat saja mengkhususkan
perhatiannya pada sistem budaya untuk keperluan analisisnya. Ia dapat juga
memfokuskan pada wujud sistem sosial, atau hanya pada aspek-aspek kebendaan
dari kebudayaan. Ketiga wujud kebudayaan dari bentuknya yang abstrak hingga
makin konkret dapat digambarkan ke dalam lingkaran kerangka kebudayaan yang
masing-masingnya juga dapat dibagi ke dalam tujuh unsur kebudayaan secara
universal sebagaimana bagan 1 di dalam uraian tentang unsur-unsur kebudayaan
universal tersebut.

D. Unsur-unsur Kebudayaan Secara Universal


Kebudayaan yang didefenisikan sebagai keseluruhan gagasan, tindakan,
dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik
diri manusia dengan belajar, masih merupakan pengertian yang amat luas. Konsep
kebudayaan masih dapat dipecah lagi ke dalam unsur-unsurnya. Unsur-unsur
kebudayaan sebagai pecahan tahap pertama disebut sebagai unsur-unsur
kebudayaan yang universal atau cultural universal. Istilah universal menunjukkan
bahwa unsur-unsur tersebut dapat ditemukan di dalam semua kebudayaan dari
semua bangsa, suku bangsa, masyarakat perkotaan yang besar dan komplek, serta
juga masyarakat pedesaan yang kecil dan terpencil sekalipun di dunia ini. Unsur-
unsur universal tersebut dapat dipecah lagi ke dalam unsur-unsur yang lebih kecil
sampai beberapa kali, dan semuanya dikatakan sebagai isi dari kebudayaan
(Koentjaraningrat, 1990:2).
Lebih lanjut dijelaskan Koentjaraningrat bahwa ada tujuh unsur-unsur
kebudayaan secara universal tersebut yakni:
1. Sistem religi dan upacara keagamaan
2. Sistem dan organisasi kemasyarakatan
3. Sistem pengetahuan

Ermansyah/2015 18
4. Bahasa
5. Kesenian
6. Sistem mata pencaharian hidup
7. Sistem teknologi dan peralatan.
Dijelaskan oleh Sudarma (2009:29), sistem religi dan upacara keagamaan
merupakan aspek kepercayaan dan keyakinan manusia kepada sang pencipta atau
sesuatu yang suci maupun makhluk gaib yang dianggap menguasai kehidupan,
serta berbagai upacara yang ditujukan kepada mereka. Sistem dan organisasi
kemasyarakat berkenaan dengan kelembagaan sosial di masyarakat, baik bersifat
primer atau alamiah maupun sekunder atau dibentuk. Sistem pengetahuan yaitu
aspek fungsi dari akal pikiran manusia. Bahasa sebagai alat atau media
komunikasi, baik yang diwujudkan dalam bentuk bahasa lisan, tulisan, maupun
simbolik. Kesenian sebagai ekspresi seni masyarakat yang dalam konteks
kesehatan dapat berupa penggunaan musik dalam terapi kesehatan, dan tata ruang
kamar rumah sakit yang indah termasuk di dalamnya. Sistem mata pencaharian
diwujudkan dalam berbagai bidang, baik pertanian, kesehatan, jasa dan lainnya,
dalam rangka memenuhi kebutuhan. Terakhir, sistem teknologi dan peralatan yaitu
perangkat bantu dalam memperlancar aktivitas manusia dalam memenuhi
kebutuhan hidupnya. Lebih lanjut dijelaskan Sudarma bahwa unsur-unsur
universal kebudayaan dapat juga diterjemahkan ke dalam bidang kesehatan,
sebagaimana yang tertuang dalam tabel 1 di halaman sebelah.
Urutan dari ketujuh unsur-unsur universal didasarkan atas tingkat kesulitan
unsur-unsur tersebut untuk berubah. Dengan demikian, unsur sistem religi
merupakan unsur yang paling sulit berubah dari keseluruhan unsur-unsur
universal tersebut. Unsur sistem dan organisasi kemasyarakatan paling sulit
berubah dibandingkan unsur nomor tiga yakni unsur sistem pengetahuan. Begitu
seterusnya hingga unsur yang ketujuh yakni sistem teknologi dan peralatan.
Sistem teknologi dan peralatan merupakan unsur yang paling mudah berubah.
Sebagai contoh, hingga saat ini masih banyak orang yang berpendidikan
dalam suku bangsa Batak Toba yang masih menjalankan upacara adat kematian

Ermansyah/2015 19
dengan berbagai acara yang tercakup di dalamnya untuk beberapa hari lamanya,
walaupun ketakutan-ketakutan dari tidak dijalankan upacara adat tersebut belum
Tabel 1
Penerjemahan Unsur-unsur Universal Kebudayaan dalam Bidang Kesehatan

No Unsur Universal Kebudayaan Contoh Respon Budaya


.
1 Sistem religi dan upacara keagamaan Upacara yang dilakukan untuk
mengusir roh jahat yang
menyebabkan penyakit
2 Sistem dan organisasi Rumah sakit, posyandu,
kemasyarakatan puskesmas
3 Sistem pengetahuan Ilmu kedokteran, ramuan, jamu
4 Bahasa Bahasa khusus/istilah kedokteran
yakni: alergi, virus, intervensi,
antibiotic
5 Kesenian Olahraga, senam, aerobic
6 Sistem mata pencaharian hidup Tabib, dukun, perawat, dokter,
bidan, farmakolog
7 Sistem teknologi dan peralatan Pengasapan, operasi, pijat
refleksi, jarum suntik, infus, alat
tensi

dapat dibuktikan. Sebaliknya juga tidak dapat dilihat secara jelas manfaat dari
dijalankannya upacara adat tersebut. Meskipun demikian, di dalam upacara adat
kematian tersebut ada hal yang sudah berubah dari sebagaimana dahulunya, yakni
peralatan yang digunakan dalam upacara. Jika dahulunya alat musik yang
digunakan dalam upacara tersebut adalah alat musik tradisional berupa gondang,
suling dan lain sebagainya, maka saat ini alat musik yang digunakan sudah alat
musik modern yakni gitar elektrik maupun drum. Hal tersebut menjelaskan bahwa
unsur teknologi dan peralatan adalah unsur yang paling mudah berubah, walaupun
posisinya ada di dalam unsur universal sistem religi dan upacara keagamaan.
Selanjutnya, posisi dan keterkaitan wujud-wujud kebudayaan dengan
unsur-unsur universalnya dapat diilustrasikan seperti sebuah lingkaran
sebagaimana bagan 1 di halaman sebelah ini. Bagan 1 tersebut terdiri dari 3 (tiga)
lingkaran. Pertama, lingkaran kecil yangterletak di tengah dan posisinya paling
dalam di lingkaran besar dan ditulis dengan warna hitam sebagai wujud idiil

Ermansyah/2015 20
menunjukkan suatu wujud kebudayaan yang paling abstrak yang juga sebagai inti
kebudayaan yang tidak dapat diraba, dilihat, difoto atau didokumentasi. Kedua,
lingkaran agak lebih besar yang terletak sebelah luar yang ditulis dengan warna
7
Wujud Artefak 1

Wujud Aktivitas
6 2

5 3

4
Bagan 1: Lingkaran Kerangka Kebudayaan

biru sedang sebagai wujud aktivitas merupakan wujud kebudayaan yang sudah
agak konkret yang ditata oleh wujud idiil, dan yang dapat dilihat, difoto atau
didokumentasi. Sedangkan ketiga, lingkaran paling besar yang terletak paling luar
yang ditulis dengan warna biru paling muda sebagai wujud artefak merupakan
wujud kebudayaan yang paling konkret yang ditata oleh wujud idiil dan
terwujudkan melalui wujud aktivitas yang menghasilkan benda-benda kebudayaan
yang dapat diraba, dilihat, difoto atau didokumentasi. Kemudian, dari bagan 1
juga terlihat bahwa ketiga lingkaran kebudayaan tersebut dibagi atas tujuh unsur
sebagai unsur-unsur kebudayaan universal. Dengan kata lain, di dalam masing-
masing unsur juga terdapat wujud ideel, aktivitas, dan wujud artefak atau benda.
Ralp Linton (dalam Soekanto, 2003:176) menjelaskan bahwa unsur-unsur
universal kebudayaan dapat dipecah lagi ke dalam unsur yang lebih kecil yang
disebutnya kegiatan-kegiatan kebudayaan atau cultural activity. Kemudian
cultural activity masih dapat dipecah lagi ke dalam unsure yang disebutnya traits
complex. Selanjutnya traits complex dapat dipecah lagi menjadi unsur
yangdisebutnya traits, dan menjadi unsur yang lebih kecil lagi yang disebutnya
dengan items.

Ermansyah/2015 21
Sebagaimana dicontohkan Badrujaman (2010:21) yakni unsur universal
sistem mata pencaharian hidup sebagai perawat dapat dipecah menjadi cultural
activity seperti kegiatan-kegiatan kesehatan yang dilakukan perawat. Kegiatan
kesehatan dapat dipecah menjadi unsursistem keperawatan, sistem pengobatan
dan lainnya yang merupakan traits complex. Sistem keperawatan dapat dipecah ke
dalam unsur metode merawat pasien sebagai traits. Akhirnya, unsur metode
merawat pasien dapat dipecah lagi ke dalam unsur yang lebih kecil yakni pispot,
pakaian perawat dan lain-lain yang disebut sebagai items. Lihat bagan 2 di bawah
ini.

Cultural Universal Sistem Mata Pencaharian Hidup

Cultural Activity Kesehatan dll

Traits Complex Sistem Keperawatan dll

Traits Metode Merawat Pasien

Items Pispot, Pakaian Perawat, dll

Bagan 2. Contoh Pemecahan Unsur Universal Kebudayaan

E. Tipe-tipe Kebudayaan Khusus


Suatu kebudayaan dikonstruksi atau dibentuk oleh masyarakat. Walaupun
demikian, suatu kebudayaan juga memiliki pengaruh yang besar terhadap perilaku
seorang individudi dalam masyarakat, termasuk kepribadian yang terdapat dibalik
perilaku tersebut (Soekanto, 2003:188). Hal ini dapat dilihat dari perilaku
seseorang di dalam masyarakatnya yang bisa jadi tidak diterima bagi masyarakat
lain. Perilaku-perilaku yang di satu masyarakat tidak dilarang, di lain masyarakat
bisa jadi tidak dibenarkan. Sebagai contoh, mengeluarkan bunyi mendesis di
kalangan orang Jepang sebagai tanda menghargai orang yang berasal dari derajat
sosial yang lebih tinggi, dianggap sebagai perbuatan yang menghina bagi orang

Ermansyah/2015 22
Inggris. Kenyataan tersebut menjelaskan bahwa perilaku seorang individu di
dalam masyarakat ditentukan atau dipengaruhi oleh kebudayaan masyarakatnya.
Lebih lanjut dijelaskan Soekanto bahwa dalam menelaah pengaruh
kebudayaan terhadap kepribadian sebaiknya dibatasi pada bagian kebudayaan
yang secara langsung mempengaruhi kepribadian, dan bagian kebudayaan itu
disebut dengan istilah kebudayaan khusus atau sub-culture. Ada 5 (lima) tipe
kebudayaan khusus yang nyata mempengaruhi bentuk kepribadian yakni:
1. Kebudayaan-kebudayaan khusus atas dasar faktor kedaerahan. Faktor
kedaerahan ini dapat dipersamakan dengan faktor suku bangsa yang memiliki
kebudayaan. Dalam hal ini dijumpai kepribadian yang saling berbeda antara
individu-individu yang merupakan anggota suatu masyarakat tertentu, karena
masing-masing tinggal di daerah yang tidak sama atau menjadi bagian warga
suku bangsa yang berbeda, dan dengan kebudayaan-kebudayaan khusus yang
tidak sama pula. Sebagai contoh, jiwa berdagang yang menjadi ciri-ciri nyata
pada orang Minangkabau, yang mungkin tidak dimiliki oleh orang Jawa.
2. Kebudayaan khusus atas dasar cara hidup di kota dan di desa (urban and rural
ways of life). Cara hidup di kota dan di desa akan mempengaruhi kepribadian
masyarakat yang hidup di dua wilayah yang berbeda tersebut. Hal ini dapat
dilihat melalui perbedaan antara seorang anak yang dibesarkan di kota dengan
seorang anak yang dibesarkan di desa. Anak kota lebih individualistis,
dibandingkan anak desa. Kebudayaan kota menciptakan suatu pergaulan hidup
dimana kepada individu diserahkan mengurus nasibnya sendiri-sendiri. Hal ini
dimungkinkan karena adanya berbagai macam pekerjaan yang mempunyai
sifat-sifat tertentu di kota. Sedangkan di desa, orang-orang hidup lebih rukun.
Pada umumnya, mereka bekerja sebagai petani yang memerlukan sikap gotong
royong.
3. Kebudayaan khusus atas dasar kelas sosial. Di dalam setiap masyarakat akan
dijumpai lapisan-lapisan sosial yang berbeda yang masing-masingnya
menempati kelas sosial tertentu yakni kelas sosial atas, menengah, dan kelas
sosial bawah. Masing-masing kelas sosial memiliki kebudayaan yang
menghasilkan kepribadian tersendiri pada setiap diri anggota-anggota. Sebagai

Ermansyah/2015 23
contoh, warga kelas sosial atas tentu memiliki cara berpakaian, cara mengisi
waktu senggang, etiket dalam pergaulan, bahasa dan lain sebagainya.
4. Kebudayaan khusus atas dasar agama. Agama mempunyai pengaruh besar
dalam membetuk kepribadian seorang individu. Adanya berbagai mazhab di
dalam satu agama pun melahirkan pula kepribadian yang berbeda-beda di
kalangan umatnya. Ada perilaku seorang penganut mazhab tertentu yang tidak
mau bersalaman dengan orang lain jika berlawanan jenis, dan ada pula perilaku
seseorang dari mazhab lainnya yang mau bersalaman dengan lawan jenisnya
atau tidak mempersoalkan hal tersebut.
5. Kebudayaan khusus atas dasar profesi. Pekerjaan atau keahlian juga memberi
pengaruh besar terhadap kepribadian seseorang. Kepribadian seorang
pengacara tentunya akan berbeda dengan kepribadian seorang dokter. Cara
bicara seorang pengacara akan tegas dan langsung ke persoalan, sedangkan
seorang dokter tentunya akan bicara dengan lembut dan lebih hati-hati dalam
menyampaikan sesuatu.
Dari uraian kelima tipe kebudayaan khusus di atas dapatlah dinyatakan
besarnya pengaruh kebudayaan terhadap pembentukan kepribadian seseorang
yang wujud konkretnya terlihat melalui perilaku. Namun, kebudayaan tidaklah
semata-mata memainkan peranan yang utama dalam perkembangan pembentukan
keperibadian tersebut. Faktor biologis, lingkungan alam dan lingkungan sosialnya
juga ikut berperan di dalamnya.

Ermansyah/2015 24
BAB III
PROSES BELAJAR KEBUDAYAAN

Defenisi kebudayaan dari Koentjaraningrat yang telah dijelaskan pada bab


satu menjelaskan bahwa suatu kebudayaan dimiliki para individu sebagai warga
masyarakat melalui proses belajar. Belajar dimaksudkan suatu proses yang
terwujud melalui pengalaman-pengalaman manusia dalam interaksinya dengan
manusia lainnya di sepanjang hidup manusia tersebut, yang tentunya juga sebagai
warga suatu masyarakat. Proses belajar suatu kebudayaan sendiri oleh warga yang
bersangkutan melalui 3 (tiga) proses yakni: internalisasi, sosialisasi, dan
enkulturasi.
Proses internalisasi adalah suatu proses panjang sejak seorang individu
dilahirkan, sampai ia hampir meninggal, dimana ia belajar menanamkan dalam
kepribadiannya segala perasaan, hasrat, nafsu, serta emosi yang diperlukannya
sepanjang hidupnya (Koentjaraningrat, 2002:228). Dijelaskan Koentjaraningrat
bahwa perasaan, hasrat, nafsu, serta emosi adalah unsur-unsur yang adi dalam diri
manusia sebagai pribadi. Namun, wujud dan pengaktifan dari berbagai isi
kepribadian tersebut sangat dipengaruhi oleh berbagai macam rangsangan yang
ada di sekitar alam, lingkungan sosial, dan budaya. Dijelaskan bahwa bahwa
perasaan pertama yang diaktifkan dalam kepribadian seorang bayi adalah perasaan
puas dan tidak puas. Seorang anak jika puas maka ia akan diam dihadapan ibunya.
Sebaliknya, ia ia tidak merasa puas maka ia akan menangis. Jika ada kondisi yang
sama berlaku maka ia akan terus menangis. Begitu juga seterusnya, semakin
bertambah pengalaman mengenai perasaan-perasaan baru seperti: kebahagian,
cinta, keamanan, malu, harga diri, dan lainnya.
Sebagai contoh, setiap individu memiliki emosi di dalam dirinya. Namun,
pengaktifan emosi bagi individu sebagai warga dari masyarakat Jawa tentu
berbeda dengan pengaktifan emosi dari individu yang berasal dari masyarakat
Batak. Seorang Jawa, bagaimanapun emosinya akan tetap berusaha untuk bersikap
tenang. Tidak demikian halnya masyarakat Batak yang langsung keluar emosinya
dalam bentuk amarah, jika memang ia merasa tersinggung oleh orang lain.

Ermansyah/2015 25
Proses sosialisasi berkenaan dengan proses belajar kebudayaan dalam
hubungan dengan sistem sosial. Untuk itu perlu diketahui defenisi konsep
sosialisasi. Bagi Soekanto (2003:186), sosialisasi adalah suatu proses di mana
seorang anggota masyarakat yang baru akan mempelajari norma-norma dan
kebudayaan masyarakat di mana ia menjadi anggotanya. Sedangkan Lawang
(1984) mendefenisikan sosialisasi sebagai proses mempelajari norma, nilai, peran,
dan semua persyaratan lainnya yang diperlukan untuk memungkinkan partisipasi
yang efektif dalam kehidupan sosial. Sosialisasi sebagai proses belajar bagi
seseorang atau sekelompok orang selama hidupnya untuk mengenali pola-pola
sosial, nilai-nilai, dan norma sosial agar ia dapat berkembang menjadi pribadi
yang bisa diterima oleh kelompoknya (Setiadi dan Usman Kolip, 2011:155).
Dari ketiga defenisi di atas maka dapat dikatakan bahwa sosialisasi
merupakan suatu proses belajar bertingkah laku bagi individu dalam hubungannya
dengan orang lain di dalam kehidupan bermasyarakat, terkait dengan nilai dan
norma-norma yang ada di dalamnya. Dalam proses ini, seorang individu dari masa
anak-anak hingga masa tuanya belajar pola-pola tindakan dalam interaksinya
dengan segala macam individu sekelilingnya yang menduduki beraneka macam
peranan sosial yang mungkin ada dalam kehidupan sehari-hari (Koentjaraningrat,
2002:229). Melalui proses sosialisasi, seorang individu dari suatu masyarakat
diajarkan bagaimana seharusnya bertingkah laku jika berhadapan dengan orang
tua, saudara dan kerabat lainnya, teman maupun orang lain yang menempati
posisi-posisi tertentu di dalam masyarakat.
Sosialisasi terbagi ke dalam 2 (dua) jenis yakni: sosialisasi primer dan
sosialiasi sekunder. Sosialisasi primer merupakan proses sosialisasi yang pertama
sekali dijalani seorang individu di dalam kehidupannya. Proses sosialisasiini
berlangsung di dalam keluarga. Di dalam keluarga, seorang anak belajar
mengenali diri sendiri, dan bagaimana bersikap terhadap orang tua, saudara
kandung, om, tante dan kerabat lainnya. Sedangkan sosialiasi sekunder
merupakan proses sosialisasi yang dijalani seorang individu sebagai warga
masyarakat di luar lingkungan keluarganya, seperti di sekolah maupun di
lingkungan tetangga. Melalui sosialisasi sekunder, seorang individu sebagai warga

Ermansyah/2015 26
masyarakat diajarkan bagaimana harus bertingkah laku jika berhadapan dengan
guru, teman sekolah sebagai sesama jenis dan berlawanan jenis, maupun dengan
orang lain yang memiliki status atau posisi tertentu. Dalam sosialisasi primer,
dominasi peran keluarga sangat kuat, sedangkan dalam sosialisasi sekunder proses
pengenalan akan tata kelakukan adalah lingkungan sosial.
Sedangkan enkulturasi adalah suatu proses di mana seorang individu
mempelajari dan menyesuaikan alam pikiran serta sikapnya dengan adat istiadat,
sistem norma, dan peraturan-peraturan yang hidup dalam kebudayaannya
(Koentjaraningrat, 2002:233). Havilan (1988:338) menjelaskan bahwa enkulturasi
merupakan suatu proses penerusan kebudayaan dari generasi yang satu ke
generasi yang lain. Menyimak dua defenisi tersebut maka proses enkulturasi
sesungguhnya adalah suatu proses pembudayaan.
Dijelaskan Koentjaraningrat bahwa sejak kecil proses enkulturasi itu sudah
dimulai dalam alam pikiran warga masyarakat. Seorang anak mempelajari,
menghayati nilai-nilai yang hidup dalam masyarakatnya seperti nilai tentang
orang tua yang harus dihormati, kebersamaan dan saling mengasihi sebagai satu
keluarga. Berkaitan dengan itu ia juga mempelajari dan menghayati norma-norma
dan menjadikan norma-norma tersebut sebagai pedoman baginya dalam
bertingkah laku terhadap hubungannya dengan orang tua yang harus dihormati,
terhadap nilai-nilai kebersamaan dan kasih sayang sebagai satu keluarga.
Norma-norma yang dipelajari sudah tentu tidak hanya yang ada dalam
lingkungan keluarga, namun juga yang ada di luar keluarga. Seperti halnya nilai
dan norma dalam hidup bergotong royong dengan sesama warga lainnya di luar
rumah. Demikian juga tentang aturan adat sopan santun yang menganjurkan bagi
orang yang bepergian untuk membawa oleh-oleh deengan memberikan. Semuanya
dipelajari, dihayati, dan diwujudkan dalam tingkah laku bagi warga masyarakat
dalam satu kebudayaan.

Ermansyah/2015 27
BAB IV
MASYARAKAT, INTERAKSI SOSIAL, DAN KEBUDAYAAN

A. Masyarakat dan Unsur-unsurnya


Konsep ini bukanlah hal yang asing ditelinga orang. Setiap orang sering
mendengar konsep ini. Ada masyarakat kota, masyarakat desa masyarakat
kampus, masyarakat Minangkabau, masyarakat Flores, masyarakat Medan, dan
lain-lainnya. Konsep masyarakat dapat dihubungkan dengan sesuatu atau
menunjuk sesuatu yang terlihat konkret, seperti masyarakat Medan. Namun,
konsep masyarakat merupakan konsep abstrak, sulit ditangkap (Lawang, 1984).
Istilah masyarakat berasal dari akar kata bahasa Arab, yakni syaraka, yang berarti
ikut serta, berpartispasi (Koentjaraningrat, 2002:144)
Pemahaman tentang konsep masyarakat dimulai dari pemahaman yang
diberikan tokoh-tokoh sosiologi, baru kemudian dari tokoh antropologi. Hal ini
dikarena konsep masyarakat, mencakup hubungan-hubungan yang tercipta di
dalamnya, merupakan fokus utama dari kajian sosiologi. Mengutip pandangan
Peter L. Berger, Lawang menjelaskan bahwa masyarakat meupakan suatu
keseluruhan kompleks hubungan manusia yang luas sifatnya. Keseluruhan
kompleks dalam defenisi tersebut berarti terdiri dari bagian-bagian yang
membentuk suatu kesatuan. Seperti halnya tubuh manusia manusia yang terdiri
dari jantung, hati, perut, tangan, syaraf, otak, dan lain-lain, yang semuanya
membentuk suatu sistem, yakni sistem organisma manusia.
Demikian pula halnya dengan masyarakat yang juga mempunyai bagian-
bagian. Bagian-bagian tersebut adalah hubungan sosial, seperti hubungan antara
oang tua dengan anak, hubungan suami dan istri, hubunngan laki-laki dan
perempaun, hubungan atasan dan bawahan, hubungan guru dan murid, dan lain-
lain. Dalam hubungan-hubungan tersebut ada keteraturan, seperti halnya anak
menghormati orang tua, istri tunduk pada suami, bawahan tunduk pada atasan.
Semua hubungan yang terartur tersebut berjalan sebagai suatu sistem.
Keseluruhan dari hubungan-hubungan yang teratur sebagai suatu sistem itulah
yang disebut masyarakat. Atas dasar hal tersebut, masyarakat menunjuk pada

Ermansyah/2015 28
suatu sistem interaksi. Interaksi yang dimaksudkan dalam pemahaman konsep
masyarakat dapat dimengerti sebagai tindakan atau aksi yang terjadi paling kurang
antara dua orang yang saling mempengaruhi perilakunya.
Sebagaimana yang dicontohkan Lawang (1984) bahwa Adam dan Hawa
dpat dikatakan sebagai masyarakat. Keduanya merupakan suatu kesatuan;
menjalin hubungan yang langgeng; hidup dan berinteraksi satu sama lain;
membentuk keluarga; dan memiliki sistem interaksi, keduanya membentuk bahasa
dan menggunakannya dalam komunikasi; keduanya membentuk kebiasaan yanng
dipakai sebagai dasar untuk bertindak; keduanya menciptakan peraturan yang
harus dipatuhi dalam interaksi.
Demikian juga halnya dengan keluarga yang dapat dikatakan sebagai
masyarakat. Di dalamnya ada sistem interaksi yang mengatur hubungan antara
suami dan istri. Ada pembagian kerja antara suami dan istri yang biasanya
disesuaikan dengan adat istiadat setempat.
Namun, tidak demikian halnya dengan orang-orang yang lagi berada
dalam angkutan yang juga saling berbicara. Mereka tidak dapat dikatakan sebagai
masyarakat. Mereka hanya bertemu secara kebetulan, dan nantinya akan berpisah
lagi. Innteraksi di antara mereka hanya sementara. Tidak ada ikatan sosial yang
mempersatukan mereka.
Dari kedua contoh di atas jelaslah bahwa dimana ada sistem interaksi
maka ada masyarakat. Sistem interaksi tersebut dapat terlihat dalam bentuk
peraturan, kebiasaan, adat-istiadat. Suatu sistem interaksi yang diciptakan manusia
yang berinteraksi tersebut dan yang mempengaruhi perilaku mereka.
Koentjaraningrat (2002:144-147) lebih memperjelas pemahaman tentang
konsep masyarakat. Baginya, masyarakat sebagai kesatuan hidup manusia yang
mempunyai prasarana melalui apa warganya dapat saling berinteraksi, memiliki
potensi untuk berinteraksi (seperti bahasa), pola tingkah laku yang khas, dan rasa
identitas di antara warganya. Pola tingkah laku yang khas mengenai semua sektor
kehidupan dalam batas kesatuan itu harus bersifat mantap dan kontiniu. Dengan
kata lain, pola yang khas itu harus sudah menjadi adat-istiadat yang khas.
Sedangkan rasa identitas di antara warga masyarakat menunjukkan bahwa

Ermansyah/2015 29
masyarakat memang sebagai suatu kesatuan khusus yang berbeda dari kesatuan-
kesatuan khusus manusia lainnya.
Dengan semuanya itu, akhirnya Koentjaraningrat mendefenisikan
masyarakat sebagai kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu
sistem adat-istiadat tertentu yang bersifat kontiniu, dan yang terikat oleh suatu
rasa identitas bersama. Sebagai contoh ialah adanya masyarakat Indonesia,
masyarakat Minangkabau, dan masyarakat Medan. Konsep masyarakat juga dapat
dipahami dalam arti luas dan dalam arti sempit. Pemahaman dalam arti luas dan
sempit dapat dilihat dari cakupan orang-orang yang saling berinteraksi dan
wilayah interaksinya. Seperti halnya masyarakat Indonesia, dimana adanya
interaksi yang terus menerus berlangsung di antara orang-orang dan yang berada
di seluruh wilayah Indonesia. Demikian juga halnya masyarakat Minangkabau,
yang seluruh warganya yang berketurunan Minangkabau ada dimana-dimana yang
memiliki sistem interaksi, berinteraksi secara kontiniu, dan memiliki identitas.
Kedua contoh tersebut dapat dikatakan sebagai masyarakat dalam arti luas.
Sedangkan masyarakat Medan dapat dikatakan sebagai masyarakat dalam arti
sempit.
Kata Minangkabau dalam konsep masyarakat Minangkabau menunjukkan
adanya kesatuan adat istiadat di antara warga masyarakatnya. Sedangkan kata
Indonesia dan Medan, dalam konsep masyarakat Indonesia dan masyarakat
Medan, juga menjelaskan adanya ikatan lokasi atau wilayah yang didiami warga
masyarakat, yang warganya tentu juga memiliki loyalitas dan identitas bersama
dalam ikatan wilayah tersebut. Dari adanya ikatan dan identitas wilayah, maka
kesatuan hidup manusia di dalamnya disebut sebagai komunitas, yang juga dapat
disebut sebagai masyarakat. Bagi Koentjaraningrat, komunitas adalah kesatuan
hidup manusia, yang menempati suatu wilayah yang nyata, dan yang berinteraksi
menurut suatu sistem adat-istiadat tertentu, serta terikat oleh suatu rasa identitas
komunitas. Komunitas merupakan salah satu unsur masyarakat.
Selain komunitas, yang juga dapat disebut masyarakat, terdapat kesatuan-
kesatuan hidup lainnya yang menjadi unsur-unsur masyarakat. Unsur-unsur
tersebut yakni; kategori sosial, golongan sosial, kelompok, dan perkumpulan.

Ermansyah/2015 30
Kategori sosial adalah kesatuan hidup manusia yang terwujudkan karena adanya
suatu ciri atau suatu kompleks ciri-ciri yang objektif yang dapat dikenakan kepada
manusia-manusia itu (Koentjaraningrat, 2002:149). Ciri-ciri objektif tersebut
biasanya dikenakan oleh pihak dari luar kategori sosial itu sendiri tanpa disadari
oleh yang bersangkutan dengan tujuan praktis tertentu. Misalnya ada suatu pihak
yang membuat kategori manusia atas dasar ciri-ciri objektif yakni umur untuk
kepentingan tertentu, seperti pihak kepolisian yang mengizinkan warga
masyarakat untuk membawa kenderaan dengan batasan umur minimal 17 tahun.
Contoh lainnya, kategori yang dibuat petugas pajak terhadap warga masyarakat
yang memiliki dua mobil harus membayar pajak tambahan sebesar 10 % untuk
mobil kedua.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa suatu kesatuan hidup manusia yang juga
memiliki ciri-ciri tertentu yang dikenakan kepada mereka oleh pihak luar adalah
golongan sosial. Perbedaannya dengan kategori sosial adalah adanya ikatan
identitas sosial yang menjadi ciri tambahan golongan sosial. Kesadaran akan
identitas sosial itu tumbuh sebagai reaksi terhadap cara pandang pihak luar
terhadap mereka, atau karena memang terikat oleh sistem nilai tertentu. Seperti
halnya golongan pemuda yang dikenakan dengan ciri sifat muda dan
digambarkan sebagai kesatuan manusia dengan penuh idealisme, serta berani
berkorban untuk masyarakat. Suatu golongan sosial dapat juga muncul karena
pandangan negatif dari orang-orang lain terhadap mereka. Misalnya golongan
Negro dalam masyarakat Amerika Serikat, yang dipandang negatif dalam
kaitannya sebagai keturunan dari orang-orang sebelumnya yang menjadi budak,
sehingga masih terus direndahkan oleh warga kulit putih. Kategori sosial dan
golongan sosial ini tidak dapat disebut sebagai masyarakat.
Unsur masyarakat yang disebut kelompok dapat disebut juga sebagai
masyarakat. Hal ini dikarenakan memiliki syarat-syarat sebagai sebagai
masyarakat dengan adanya sistem interaksi antara para anggota, adanya sistem
norma yang mengatur interaksi, adanya kontinuitas, serta adanya rasa identitas
yang mempersatukan semua anggota. Walaupun demikian, kelompok memiliki
ciri tambahan yakni organisasi dan sistem pimpinan. Dasar organisasi dari

Ermansyah/2015 31
kelompok adalah adat, serta sistem pimpinannya berdasarkan kewibawaan dan
kharisma. Sebagai contoh yakni kelompok marga Tampubolon, yang dapat
dikatakan sebagai masyarakat marga Tampubolon.
Unsur lain dari masyarakat adalah perkumpulan. Perkumpulan
sesungguhnya juga disebut sebagai kelompok. Namun, Koentjaraningrat memberi
istilah yang berbeda karena memang juga berbeda dalam bentuk dasar organisasi
dan sistem pimpinannya, yakni sebagai perkumpulan atau asosiasi. Dasar
organisasi perkumpulan adalah buatan. Sedangkan sistem pimpinannya
berdasarkan wewenang dan hukum. Perkumpulan adalah organisasi yang sengaja
dibentuk untuk kepentingan tertentu, misalnya kepentingan menyalurkan hobi
sepakbola. Perkumpulan tidak disebut sebagai masyarakat, walaupun memiliki
syarat-syarat sebagai masyarakat (Koentjaraningrat, 2002:158). Hampir tidak
pernah orang menyebut masyarakat PSMS.

B. Masyarakat dan Interaksi Sosial.


Sebagaimana telah dijelaskan bahwa dalam kehidupan masyarakat ada
suatu sistem interaksi. Bahkan, interaksi sosial merupakan salah satu syarat dari
terwujudnya masyarakat. Oleh karena itu, perlu kiranya memahami apa yang
dimaksud dengan interaksi sosial. Menurut Soekanto (2003:61), interaksi sosial
merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan
antara orang perorangan, antara kelompok-kelompok manusia, maupun antara
orang perorangan dengan kelompok.
Suatu interaksi sosial tidak akan mungkin terjadi tanpa memenuhi 2 (dua)
syarat yakni: kontak sosial dan komunikasi (Soekanto, 2003:64; Koentjaraningrat,
2002:162). Kontak sosial dapat bersifat primer dan sekunder (Soekanto, 2003;66).
Kontak sosial yang bersifat primer terjadi apabila ada hubungan langsung bertemu
atau berhadapan muka antara dua pihak. Misalnya, seorang perawat yang bertemu
dengan pasiennya, saling menyapa, dan melakukan perawatan terhadap pasiennya
tersebut. Kontak sosial yang bersifat sekunder adalah suatu hubungan yang
terwujud melalui perantara. Misalnya, si A mengatakan kepada si B bahwa si C
mengagumi permainan gitarnya dalam suatu penampilan konser musik. Kontak

Ermansyah/2015 32
sosial sekunder ini dapat dilakukan melalui alat-alat kebudayaan seperti telepon,
buku, surat kabar, radio, televisi, dan lain-lain (Koentjaraningrat, 2002:162).
Dijelaskannya bahwa berbagai alat-alat kebudayaan tersebut memungkin
individu-individu melakukan kontak dengan jarak yang sangat jauh. Seperti
halnya bila seseorang menjawab telepon dari orang lain yang berada jauh darinya.
Demikian juga bila seseorang membaca buku atau tulisan seorang penulis, maka
antara pembaca dan penulis tersebut telah terjadi suatu kontak.
Komunikasi terwujud setelah adanya kontak sosial. Di dalam proses itu,
tindakan dari pihak pertama (dapat berupa gerak, ucapan, ekspresi muka, atau
lainnya) mengeluarkan makna yang ditangkap pihak kedua, sehingga
penangkapan makna ini menjadi dasar munculnya reaksi dari pihak kedua. Oleh
karena itu, komunikasi dapat dipahami sebagai saling menafsirkan atas tindakan
masing-masing dari pihak-pihak yang melakukan kontak sosial.
Suatu kontak tidak dapat dipisahkan dengan komunikasi dalam
mewujudkan interaksi sosial, ataupun sebaliknya (Soekanto, 2003:67). Dijelaskan
bahwa suatu kontak tanpa komunikasi tidaklah memunculkan adanya interaksi.
Seperti halnya seorang ibu yang melakukan kontak dengan penjual sayur yang
hanya bersungut-sungut mendengar tawaran penjual sayur, tanpa terjadinya jual
beli. Kontak tanpa komunikasi tidak berarti apa-apa. Oleh karena itu, Setiadi dkk
(2013: 95) menegaskan bahwa interaksi sosial adalah suatu proses dimana orang-
orang berkomunikasi saling mempengaruhi dalam pikiran dan tindakan.
Secara umum, interaksi sosial dapat bersifat interaksi asosiatif dan
diasosiatif. Interaksi asosiatif dapat dikatakan sebagai interaksi sosial yang
sifatnya positif, sebagai interaksi yang mengarah pada kerjasama antar individu
atau antar kelompok. Sedangkan interaksi sosial disasosiatif merupakan interaksi
sosial yang sifatnya negatif, sebagai interaksi yang mengarah pada bentuk-bentuk
pertikaian atau konflik.
Setiadi dan Usman Kolip (2011:77) lebih memperjelas interaksi sosial
yang asosiatif dan disasosiatif. Interaksi sosial yang asosiatif dapat berbentuk
kerjasama, akomodasi, dan asimilasi. Sedangkan interaksi sosial yang disasosiatif
dapat berbentuk persaingan, kontravensi, dan pertentangan atau konflik.

Ermansyah/2015 33
Kerjasama timbul jika orang menyadari bahwa mereka mempunyai kepentingan
yang sama dan pada saat yang bersamaan mempunyai cukup pengetahuan dan
pengendalian terhadap diri sendiri untuk memenuhi kepentingannya melalui kerja
sama. Kerja sama dapat dibedakan atas tiga jenis yakni: bargaining process atau
proses tawar menawar; co-optation atau kooptasi yakni proses penerimaan unsur-
unsur baru dalam kepemimpinan dalam suatu organisasi, sehingga terhindarnya
kegoncangan dalam stabilitas organisasi yang bersangkutan; coalition atau koalisi
kombinasi atau bergabungnya dua organisasi atau lebih yang mempunyai tujuan
yang sama.
Akomodasi merupakan upaya untuk mencapai suatu penyelesaian dari
suatu pertikaian atau konflik oleh pihak-pihak yang bertingkai yang mengarah
pada kondisi atau keadaan selesainya suatu konflik tersebut. Akomodasi dapat
dipahami dalam berbagai bentuk yakni: coercion atau paksaan, kompromi,
arbitrasi, mediasi, konsiliasi, dan toleransi. Sedangkan asimilasi merupakan suatu
proses sosial yang ditandai oleh adanya upaya-upaya mengurangi perbedaan-
perbedaan yang terdapat antara orang perorangan, atau antarkelompok sosial yang
diikuti pula usaha-usaha untuk mencapai kesatuan tindakan, sikap, dan proses-
proses mental dengan memerhatikan kepentingan bersama.
Interaksi sosial yang berbetuk persaingan atau kompetisi merupakan
proses sosial dimana orang perorangan atau kelompok manusia yang terlibat
dalam proses tersebut saling berebut untuk mencari keuntungan melalui bidang-
bidang kehidupan yang pada masa tertentu menjadi pusat perhatian publik dengan
cara menarik perhatian publik atau dengan mempertajam prasangka yang telah
ada, tanpa menggunakan ancaman atau kekerasan. Kontravensi merupakan sikap
mental yang tersembunyi terhadap orang lain atau terhadap unsur-unsur
kebudayaan tertentu yang berubah menjadi kebencian, akan tetapi tidak sampai
pada pertentangan atau pertikaian. Sedangkan konflik merupakan proses sosial
dimana masing-masing pihak yang berinteraksi berusaha untuk saling
menghancurkan, menyingkirkan, mengalahkan karena berbagai alasan seperti rasa

Ermansyah/2015 34
benci atau rasa permusuhan. Antropolog dari Universitas Gadjah Mada, yakni
Irwan Abdullah, menjelaskan bahwa ada beberapa bentuk konflik yakni; konflik
hubungan, konflik data, konflik kepentingan, konflik struktural, dan konflik nilai.

C. Masyarakat sebagai Pembentuk dan Pemilik Kebudayaan


Masyarakat sebagai kesatuan hidup manusia yang saling berinteraksi yang
juga menempati lingkungan alam tertentu tentu juga memiliki kebutuhan-
kebutuhan yang harus dipenuhi. Pada dasarnya manusia memiliki kebutuhan
bersama yang bersifat biologis dan psikologis (Syam, 2007:31. Menurut
Malinowski (1944:91), seorang tokoh teori fungsional dalam antropologi, ketujuh
kebutuhan biologis tersebut yakni: metabolisme, reproduksi, kenyaman tubuh,
keamanan, pergerakan, pertumbuhan atau pendewasaan, dan kesehatan.
Kebutuhan metabolisme berkenaan dengan proses pemasukan makanan,
minuman, pencernaan, penyerapan nutrisi, maupun pembuangan limbah atau
kotoran. Reproduksi berkenaan dengan kebutuhan meneruskan kelangsungan
manusia atau keturunan. Kenyamanan tubuh berkenaan dengan sirkulasi udara,
temperatur, pencuacaan, dan lain-lain. Keamanan berupa penghindaran dari
gangguan luar. Pergerakan sebagai aktivitas penting bagi tubuh manusia.
Pertumbuhan atau perkembangan berupa keadaan-keadaan yang diperlukan dalam
kehidupan. Kesehatan merupakan kebutuhan biologis yang umum yang berkenaan
dengan pemeliharaan organisma atau tubuh manusia dalam kondisi normal.
Menurut Syam (2007:31), ketujuh kebutuhan biologis tersebut berkenaan
dengan kebutuhan pangan dan prokreasi. Upaya pemenuhan biologis ini
melahirkan kebutuhan instrumental berupa kebutuhan pendidikan atau
pengetahuan, dan hukum. Selanjutnya, juga akan melahirkan kebutuhan integratif
berupa kebutuhan agama dan kesenian.
Sebagai manusia yang butuh makan maka ia akan mencari atau menanam
dan mengolah makanannya agar ia dapat hidup. Hal ini akan mewujudkan
pengetahuan, cara-cara membuat makanan, maupun peralatan yang digunakan
untuk mengolah dan juga melakukan aktivitas makan. Dalam mencari, membuat
dan mengolah makanan maka manusia akan saling bekerja sama yang akhirnya

Ermansyah/2015 35
akan mewujudkan nilai tentang hidup bersama sebagai kesatuan hidup manusia
dalam konteks masyarakat, norma, hukum, maupun aturan-aturan khusus yang
dibutuhkan. Dalam berhubungan dengan lingkungan alamnya dan upaya
pemenuhan kebutuhan pangan, maka muncul sistem religi berkenaan dengan
kekuatan-kekuatan yang menguasai alam. Dalam menyalurkan perasaan manusia
terhadap alam dan manusia lainnya maka akan terwujud unsur kesenian
kebudayaan. Demikian seterusnya, dalam pemenuhan kebutuhannya, manusia
mewujudkan kebudayaan.
Akhirnya, kebudayaan salah satunya atau pada tingkat pertama berfungsi
sebagai sarana atau alat pemenuhan kebutuhan manusia (Malinowski, 1944:155;
Marzali, 1997:39). Ditegaskan Marzali bahwa fungsi kebudayaan lainnya
berkenaan dengan fungsi suatu unsur berkaitan dengan unsur kebudayaan lain
secara keseluruhan. Unsur-unsur penting dari kebudayaan suatu masyarakat dapat
berupa sistem politik, sistem ekonomi, sistem kepercayaan, dan sistem
kekerabatan. Kesemuanya tersebut saling berfungsi satu sama lain dan terintegrasi
sebagai suatu sistem.
Kebudayaan yang dibentuk oleh masyarakat pun menjadi milik bersama.
Atas dasar ini, eksistensi kebudayaan berada pada masyarakat. Dengan kata lain,
kebudayaan ada atas nama masyarakat, bukan atas nama individu. Individu
sebagai anggota masyarakat hanya memiliki pengetahuan akan kebudayaan
masyarakatnya. Masyarakat dan kebudayaan merupakan dua hal yang tidak
terpisahkan. Tidak ada masyarakat tanpa kebudayaan, dan sebaliknya tidak ada
kebudayaan tanpa masyarakat sebagai wadah atau pendukungnya (Soekanto,
2003:171). Kebudayaan diwariskan dari suatu generasi ke generasi berikutnya.
Pewarisan ini bersifat sosiologis, bukan biologis. Walaupun diwariskan, bukan
berarti kebudayaan bersifat statis. Kebudayaan bersifat dinamis mengikuti
perubahan-perubahan di dalam diri masyarakat itu sendiri dan juga perubahan
yang ada di luar diri masyarakat, termasuk perubahan lingkungan alam.

Ermansyah/2015 36
BAB V
ETIKA, MORAL DAN HUKUM

A. Hakekat Etika, Moral, dan Hukum dalam Kehidupan Manusia


Pembahasan tentang etika dan moral cenderung dilakukan oleh bidang
ilmu filsafat. Namun, karena pemahaman etika berkenaan dengan nilai dan norma,
atau berkenaan dengan tingkah laku manusia dalam bermasyarakat, atau terkait
dengan hakekat manusia sebagai makhluk budaya, maka konsep etika dan moral
juga harus dijelaskan sebagai materi dalam mata kuliah ilmu sosial budaya dasar.
Melalui uraian ini diharapkan bahwa konsep tentang etika, moral, dan juga hukum
yang terkait dengan tingkah laku manusia dapat dipahami dengan baik.
Kata etika merupakan perkembangan dari kata ethos yang berasal dari
bahasa Yunani (Herimanto dan Winarno, 2010:129). Lebih dijelaskan bahwa
secara etimologis, etika adalah ajaran tetang baik-buruk yang diterima masyarakat
umum tentang sikap, perbuatan, kewajiban dan sebagainya. Dalam bahasa sehari-
hari, etika sering disamakan dengan moral. Keduanya sepintas tidak memiliki
perbedaan signifikan dan sering digunakan secara tumpang tindih. Oleh karena
itu, kedua konsep tersebut penting untuk dijelaskan secara tegas dan tepat.
Menurut Tumanggor dkk (2012:145), secara etimologis konsepsi etika
memang dekat dengan makna moral. Namun, secara terminologis, etika memiliki
makna yang berbeda dengan moral. Etika lahir dari hasil pemikiran manusia atas
tata nilai yang berkembang dalam suatu masyarakat yang dipandang sebagai
sebuah kebenaran bersama. Sedangkan moral adalah tindakan manusia yang
dipandang baik dan sesuai dengan pemikiran yang ada dalam masyarakat.
Menurut Bertens (2001:6), konsep etika memiliki 3 (tiga) jenis makna
yakni:
Pertama, kata etika bisa dipakai dalam arti nilai-nilai dan norma-
norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu
kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Kedua, etika berarti
juga kumpulan asas atau nilai moral, yang dimaksud di sini adalah
kode etik. Ketiga, etika mempunyai arti sebagai ilmu tentang yang
baik dan yang buruk. Etika di sini sama dengan filsafat moral.

Ermansyah/2015 37
Makna pertama dari etika tersebut adalah berupa nilai-nilai dan norma-
norma yang menjadi pedoman hidup dan pegangan bagi seseorang dalam
bertingkah laku. Bagi Koentjaraningrat (2002: 190), nilai dan norma merupakan
bagian dari adat tata kelakuan, selain hukum dan peraturan atau aturan aturan
khusus. Dijelaskannya, nilai atau nilai budaya merupakan konsep-konsep
mengenai apa yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar dari warga
masyarakat mengenai apa yang mereka anggap bernilai, berharga, dan penting
dalam hidup, sehingga dapat berfungsi sebagai pedoman yang memberi arah dan
orientasi kepada kehidupan para warga masyarakat tersebut. Nilai budaya
merupakan tingkat pertama dari adat atau dari sistem budaya atau dari wujud idiil
kebudayaan.
Tingkat pertama dari adat ini merupakan lapisan yang paling abstrak dan
luas ruang lingkupnya. Justru karena sifatnya yang abstrak, luas ruang
lingkupnya, dan berlaku umum, maka nilai-nilai budaya ini berada dalam daerah
emosional dari alam jiwa para warga masyarakat atau para warga kebudayaan
yang bersangkutan. Para individu warga kebudayaan tersebut sejak kecil telah
diresapi dengan nilai-nilai budaya, sehingga konsep-konsep yang dianggap
bernilai, berharga, dan penting bagi mereka sejak lama telah berakar dalam alam
jiwanya. Oleh karena itu, nilai-nilai budaya dalam suatu kebudayaan tidak dapat
diganti dengan nilai-nilai budaya yang lain dalam waktu singkat.
Nilai budaya kadangkala, tidak mesti, tersirat di dalam pepatah dari suatu
masyarakat. Dengan kata lain, pepatah-petitih yang dimiliki suatu masyarakat
sesungguhnya mencerminkan konsepsi-konsepsi yang mereka anggap bernilai,
berharga, dan penting. Sebagai contoh pepatah dari suku bangsa Jawa yang hidup
hingga saat ini yakni mangan ora mangan sing penting ngumpul, yang artinya
makan nggak makan yang penting berkumpul atau selalu bersama. Dari
pepatah ini dapat dipahami bahwa suku bangsa Jawa sangat menghargai dan
memandang penting kebersamaan di dalam kehidupannya.
Konsepsi tentang kebersamaan yang dipandang bernilai, berharga, dan
penting bagi suku bangsa Jawa yang telah diresapi, dan mengakar dalam alam
pikiran mereka terekspresikan dalam kehiduopan sehari-hari. Suku bangsa Jawa

Ermansyah/2015 38
dikenal sebagai suku bangsa yang suka bergotong-royong, baik dalam bidang
pertanian maupun di bidang lainnya dalam kehidupannya. Jika pergi
bertransmigrasi atau merantau mengadu nasib ke luar dari daerah asalnya, maka
mereka lebih cenderung hidup mengelompok di luar daerah asalnya tersebut. Di
luar daerah asal tersebut akhirnya terwujud kampung-kampung Jawa. Segala
praktek-praktek kebudayaan Jawa pun, beserta simbol-simbolnya direproduksi
atau dimunculkan kembali, sehingga kebudayaan Jawa dapat dilestarikan di luar
daerah asalnya.
Contoh lainnya dapat dipahami dari pepatah suku bangsa Minangkabau
yang dalam bahasa Indonesia berbunyi terhimpit hendaknya di atas, terkurung
hendaknya di luar. Coba simak pepatah di atas, terhimpit hendaknya di atas, hal
ini tidak mungkin dan tidak pernah terjadi orang terhimpit di atas., yang ada
hanyalah terhimpit itu di bawah. Lalu, terkurung hendaknya di luar, juga suatu hal
yang tidak mungkin, sebab terkurung itu pasti ada di dalam.
Secara keseluruhan pepatah tersebut menjelaskan bahwa orang
Minangkabau tidak mau terhimpit dan tidak mau terkurung, atau ingin bebas dan
tidak terikat. Dengan kata lain, orang Minangkabau menganggap kebebasan
sebagai sesuatu yang bernilai, berharga, dan penting dalam kehidupannya. Mereka
tidak mau terikat yang akhirnya akan membuatnya bisa diatur oleh orang lain.
Prinsip kebebasan tersebut membuat mereka memilih pekerjaan berdagang
sebagai pekerjaan yang ideal. Dengan berdagang, mereka tidak bisa diatur oleh
orang lain. Berbeda halnya jika bekerja dengan orang lain atau bekerja sebagai
bawahan orang lain yang mudah diatur oleh atasan atau majikannya. Dengan
berdagang, mereka tidak bisa diukur penghasilannya oleh orang lain. Berbeda
halnya jika bekerja sebagai pegawai negeri atau karyawan, sudah tentu dapat
diketahui penghasilannya.
Dalam arti yang lebih khusus, pepatah tersebut juga menjelaskan bahwa
orang Minangkabau tidak mau kalah dari orang lain. Hal ini juga dikuatkan
melalui guyonan orang Minangkabau yang dalam bahasa Indonesia berarti
jangankan kalah, seri aja nggak mau. Pemahaman ini juga dikuatkan melalui
persepsi yang sering diungkapkan mereka sendiri bahwa orang Minangkabau

Ermansyah/2015 39
yang telah memiliki sesuatu (bisa jabatan, kekuasaan dan lainnya) tidak mau
membantu orang lain, walaupun kerabatnya sendiri. Hal ini disebabkan bahwa
jika orang yang dibantu akan lebih sukses dari yang membantu, maka posisi yang
membantu akan berada di bawah dari yang dibantu tersebut. Suatu hal yang tidak
mereka inginkan, terhimpit atau kalah dari orang lain.
Dari kedua contoh yang telah diuraikan dapat dipahami bahwa nilai
mempengaruhi perilaku atau tingkah laku warga masyarakat yang memiliki nilai
tersebut. Bagi orang Jawa yang memiliki nilai kebersamaan, maka mereka
berperilaku untuk saling tolong menolong dalam kehidupan bermasyarakat.
Sedangkan bagi orang Minangkabau yang memiliki nilai kebebasan, tidak mau
terikat atau kalah atau juga tidak mau dipandang rendah oleh orang lain, maka
mereka berperilaku untuk menjaga harga dirinya dengan berusaha dalam
memenuhi kebutuhan ekonomi atas kemampuannya sendiri, tidak akan
mengungkapkan kesusahannya pada orang lain dalam menjalani hidup, dan
memilih pekerjaan sesuai dengan nilai budayanya.
Salah satu contoh kajian yang pernah dilakukan mengenai pengaruh nilai
terhadap perilaku warga masyarakatnya adalah kajian seorang tokoh klasik
sosiologi yakni Max Weber tentang pengaruh etika Protestan terhadap perilaku
ekonomi. Dijelaskan Budiman (1995:21) bahwa dalam ajaran Protestan,
khususnya sekte Kalvinisme, setiap orang sudah ditakdirkan sebelumnya masuk
ke surga atau neraka, tetapi orang yang bersangkutan tidak mengetahuinya,
sehingga mereka menjadi tidak tenang atau cemas atas ketidakjelasan nasibnya
tersebut. Namun, mereka percaya jika berhasil hidup di dunia, maka akan menjadi
pilihan Tuhan dan ditakdirkan untuk masuk surga. Atas dasar hal tersebut, mereka
bekerja keras untuk meraih sukses dengan tanpa pamrih. Kenyataan menunjukkan
bahwa mereka berhasil menjadi orang yang sukses dan kaya dari segi materi.
Etika Protestan menjadi faktor utama munculnya kapitalisme di Eropa, dan
menyebar hingga ke Amerika Serikat.
Masyarakat profesi dokter gigi tentunya memiliki juga apa yang disebut
dengan nilai budaya. Sesuatu yang dianggap bernilai, berharga, dan sangat penting
dalam profesi sebagai dokter gigi yang berkenaan dengan perawatan gigi. Nilai

Ermansyah/2015 40
budaya yang berkaitan dengan kebudayaan khusus yang berdasarkan atas profesi
yang mempengaruhi perilaku seseorang dalam menjalankan profesinya tersebut.
Seperti halnya nilai tentang mengutamakan untuk melayani pasien dengan tuntas
dan juga tanpa kaitannya dengan persyaratan apa pun.
Sebagaimana telah dijelaskan di awal bahwa nilai budaya luas ruang
lingkupnya. Hal ini dimaksudkan banyaknya nilai budaya di dalam kehidupan
manusia yang saling terkait dan terikat dalam satu kesatuan sebagai suatu sistem.
Walaupun demikian dengan memakai pandangan Clyde Kluckhohn,
Koentjaraningrat (1990:27-31) menjelaskan bahwa berbagai nilai budaya yang
ada tersebut berkenaan dengan 5 (lima) masalah pokok dalam kehidupan manusia,
yang masing-masingnya memiliki tiga kecenderungan. Kelima masalah pokok
tersebut yakni:
1. Masalah mengenai hakekat dari hidup manusia (disingkat dengan MH)
2. Masalah mengenai hakekat dari karya manusia (disingkat dengan MK)
3. Masalah mengenai hakekat dari kedudukan manusia dalam ruang waktu
(disingkat dengan MW)
4. Masalah mengenai hakekat dari hubungan manusia dengan alam sekitarnya
(disingkat dengan MA)
5. Masalah mengenai hakekat dari hubungan manusia dengan sesamanya
(disingkat dengan MM)
Dijelaskan Koentjaraningrat, berbagai kebudayaan di dunia mengkonsep-
sikan masalah-masalah universal tersebut dengan cara yang berbeda, yang dapat
dibagi atas 3 (tiga) kecenderungan. Misalnya masalah yang pertama mengenai
hakekat dari hidup manusia, ada kebudayaan yang memandang hidup itu adalah
sesuatu yang buruk dan menyedihkan. Hal ini dapat dilihat pada kebudayaaan-
kebudayaan yang terpengaruh oleh agama Budha. Pola kelakukan manusia yang
terpengaruh ajaran Budha akan mementingkan segala usaha untuk menuju ke arah
tujuan untuk bisa memadamkan hidup itu (seperti halnya konsep Nirvana=meniup
habis), dan meremehkan segala kelakukan yang hanya akan mengekalkan
rangkaian kelahiran kembali. Sebaliknya, ada juga kebudayaan lain yang
memandang hidup itu baik, yang perlu dijalani dan dinikmati sebaik-baiknya

Ermansyah/2015 41
semasa hidup manusia. Namun, ada juga kebudayaan yang memandang hidup itu
buruk, tetapi manusia dapat berusaha untuk mengubahnya menjadi hidup yang
baik dan menggembirakan.
Masalah yang kedua yakni hakekat karya manusia, ada kebudayaan yang
memandang karya manusia hanya untuk memungkinkannya hidup; kebudayaan
lain memandang karya manusia itu hakekatnya untuk memberikan suatu
kedudukan yang penuh kehormatan atau untuk status sosial yang memiliki
prestise di masyarakat, sedangkan kebudayaan lainnya ada yang menganggap
hakekat karya manusia itu sebagai suatu gerak hidup yang harus menghasilkan
lebih banyak karya lagi.
Masalah ketiga yakni hakekat kedududkan manusia dalam ruang waktu.
Ada kebudayaan-kebudayaan yang mementingkan hidup masa lampau. Hal ini
dapat dilihat dari tingkah laku manusia yang selalu mengenang masa lalunya,
menyimpan benda-benda pusaka nenek moyangnya yang disertai berbagai ritual
yang dilakukan untuk benda-benda pusaka tersebut. Ada pula kebudayaan yang
lebih mementingkan hidup masa kini. Mereka tidak memperdulikan hidup masa
lampau, bahkan juga kehidupan di masa depan. Sebaliknya, ada juga kebudayaan
yang lebih memandang penting kehidupan masa depan. Penganut kebudayaan ini
akan selalu hidup hemat dan berusaha mempersiapkan diri untuk masa depan,
selain hidup yang sedang dijalaninya.
Selanjutnya masalah keempat yakni hubungan manusia dengan alam
sekitarnya, ada kebudayaan yang tunduk kepada alam. Alam dianggap sebagai
suatu kekuatan yang menguasai manusia, sehingga manusia hanya pasrah dan
tunduk kepada kekuatan alam tersebut. Sebaliknya, ada kebudayaan yang
memandang alam itu harus dikuasai sepenuhnya dan dimanfaatkan untuk
kehidupan manusia sepuas-puasnya. Hal ini dapat dilihat dari manusia yang
menguras alam sepuas-puasnya tanpa memikirkan pelestariannya. Namun, ada
juga kebudayaan lain yang menganggap manusia itu harus hidup selaras dengan
alam. Penganut kebudayaan ini memanfaat alam untuk kehidupannya dengan
tetap memperhatikan pelestarian alam.

Ermansyah/2015 42
Terakhir masalah yang kelima yakni hakekat hubungan manusia dengan
sesamanya. Ada kebudayaan yang mementingkan hubungan vertikal antara
sesama manusia. Penganut kebudayaan ini akan selalu mempedomani toko-tokoh
pemimpin, senior, maupun orang-orang atasan. Kebudayan lain ada yang
mementingkan hubungan horizontal antara sesama manusia. Penganut
kebudayaan ini selalu tergantung dengan orang lain. Mereka mengangggap
penting menjaga hubungan baik dengan tetangganya. Namun, ada kebudayaan
lainnya yang tidak membenarkan anggapan bahwa manusia harus tergantung pada
orang lain dalam hidupnya. Penganut kebudayaan ini sedapat mungkin tidak mau
tergantung pada orang lain. Mereka lebih mengandalkan kemampuan sendiri
dalam hidupnya. Kebudayaan-kebudayaan seperti ini lebih mementingkan
individualisme.
Sebagai norma, etika menunjuk pada patokan atau acuan bertingkah laku
bagi manusia. Norma sesungguhnya adalah perwujudan dari nilai, atau
konkretisasi dari nilai. Sebagai contoh, konsepsi tentang pentingnya tolong
menolong adalah suatu nilai. Membantu orang jika terjatuh di jalan raya atau jika
dalam kesusahan adalah norma.
Norma merupakan tingkat atau lapisan kedua dari adat tata kelakuan, dan
sudah lebih konkret dibandingkan nilai budaya. Bagi Koentjaraningrat (1990:12),
norma adalah nilai-nilai budaya yang telah terkait dengan peranan-peranan
tertentu manusia dalam masyarakat. Peranan manusia dalam kehidupannya sangat
banyak. Manusia sering berubah peranan dari saat ke saat, dan dari hari ke hari.
Dengan kata lain, suatu saat seseorang berperan sebagai guru, lalu saat yang lain
sebagai ibu, dan suatu hari berperan sebagai pimpinan partai politik. Setiap
peranan melibatkan sejumlah norma, dan menjadi pedoman bagi tingkah laku atau
kelakuan yang memainkan suatu peranan tertentu.
Berbicara tentang peranan tentunya berkaitan erat dengan status atau
kedudukan. Dalam hal ini status tidak dibedakan dengan status sosial atau
kedudukan sosial. Kedua istilah ini digunakan dalam arti yang sama. Status atau
status sosial adalah kedudukan yang ditempati seseorang dalam hubungannya
dengan orang lain dalam kehidupan bermasyarakat.

Ermansyah/2015 43
Status sosial terdiri atas status sosial ascribe dan status sosial achieved.
Status sosial ascribe merupakan kedudukan yang dimiliki seseorang sebagai
sesuatu yang given, yang telah ada sejak seseorang dilahirkan, dan tanpa
memperhatikan perbedaan kemampuan. Status sosial ini dapat diperoleh melalui
kelahiran atau tidak. Status sosial ascribe yang diperoleh melalui kelahiran
misalnya dapat dilihat pada status sosial seseorang sebagai anak laki-laki dan anak
perempuan, sebagai bangsawan karena orangtuanya juga bangsawan. Sedangkan
status sosial ascribe yang diperoleh bukan karena kelahiran yakni status seseorang
sebagai ayah maupun ibu.
Status sosial achieved adalah kedudukan seseorang di dalam masyarakat
yang diperolehnya melalui prestasi atau kemampuan. Status sosial ini bersifat
terbuka bagi siapa pun, tergantung dari kemampuannya masing-masing dalam
mengejar, dan mencapai tujuan-tujuannya. Seperti halnya dapat dilihat pada status
sosial seseorang sebagai mahasiswa, guru, walikota, hakim, dan lain sebagainya.
Setiap orang dapat menjadi apa pun asalkan memiliki kemampuan dan memenuhi
persyaratan-persyaratan tertentu.
Bagi Lawang (1984), status memiliki dua pengertian. Pertama, status yang
bersifat objektif. Status ini berkenaan dengan tatanan hak dan kewajiban secara
hirarki dalam struktur formal suatu organisasi. Misalnya, si A memiliki status
sebagai Rektor di salah satu universitas. Sebagai Rektor tentunya si A memiliki
hak dan kewajiban sebagaimana statusnya tersebut. Jika dalam periode jabatan
berikutnya si A diganti dengan si B, maka si B yang menjalankan hak dan
kewajiban sebagai rektor tersebut. Hal ini menjelaskan bahwa status Rektor
sesungguhnya terlepas atau tidak tergantung dengan individu. Status Rektor dapat
dijabat oleh siapa pun, sepanjang persyaratannya dipenuhi dan memang terpilih.
Hal ini yang dimaksud status bersifat objektif. Kedua, status yang bersifat
subjektif. Artinya, status sosial yang dimiliki seseorang merupakan hasil dari
penilaian orang lain terhadap diri seseorang dengan siapa ia berhubungan. Tinggi
atau rendahnya status si A tergantung dari penilaian orang lain dengan siapa ia
berhubungan.

Ermansyah/2015 44
Mengutip Talcott Parsons, Lawang(1984) menjelaskan bahwa ada lima
kriteria yang dipergunakan untuk menentukan tinggi rendahnya status seseorang
secara subjektif. Pertama, faktor kelahiran. Seseorang yang lahir dari keluarga
bangsawan akan dipandang tinggi statusnya dibandingkan yang lahir dari keluarga
jelata. Seorang yang lahir dari keluarga Negro akan dipandang rendah statusnya di
Amerika Serikat. Kedua, faktor mutu atau kualitas pribadi. Seseorang yang
bijaksana, berkelakuan baik, memiliki usia yang lebih tua, pandai akan dipandang
tinggi statusnya dibandingkan sebaliknya. Saat ini untuk melamar kerja juga
dibutuhkan surat berkelakukan baik. Ketiga, faktor prestasi. Seseorang yang
memiliki prestasi akan naik statusnya di masyarakat. Berbagai perusahaan juga
telah menetapkan prestasi sebagai salah satu kriteria yang penting untuk naik
pangkat. Keempat, faktor kepemilikan. Orang yang memiliki sesuatu, terlebih lagi
ia sering memberi, selalu dipuji oleh orang yang menerima sesuatu tersebut.
Dengan kata lain, di hadapan orang yang menerima sesuatu tersebut ia memiliki
status sosial yang tinggi. Kelima, faktor otoritas atau wewenang. Otoritas adalah
kekuasaan yang sah atau yang diabsahkan, sehingga orang lain harus
mengikutinya tanpa perlawanan. Sebagai contoh, seorang Walikota memiliki
status subjektif yang tinggi di masyarakat, sehingga orang menghormatinya.
Sebaliknya, saat ia tidak lagi sebagai Walikota status subjektifnya akan menjadi
rendah kembali di masyarakat.
Setelah dapat dipahami apa yang dimaksud dengan status atau status
sosial, maka dapat diketahui pengertian peranan atau role. Peranan adalah tingkah
laku atau tindakan yang diharapkan kepada seseorang sesuai dengan status sosial
yang dimilikinya. Kalau seseorang memiliki status sebagai guru, makan guru
tersebut harus berperan sebagaimana peran guru. Misalnya peran guru yakni
mengajar dengan sungguh-sungguh dalam mendidik siswanya, bukan malah
menjahilinya atau melecehkan siswa perempuannya. Jika seseorang guru telah
berperilaku demikian, maka ia telah benar-benar menjadi seorang guru atau
berperan sebagaimana seorang guru.
Dalam kehidupannya sehari-hari, seseorang dapat memiliki banyak status
sosial dan banyak peranan. Bahkan, orang tersebut dapat juga mengalami konflik

Ermansyah/2015 45
atau pertentangan status dan konflik peran. Misalnya saat di dalam keluarganya,
seseorang adalah seorang ayah, tetapi di lingkungan sekolahnya ia adalah guru
dari anaknya yang bersekolah di tempat ia mengajar. Sebagai seorang guru, ia
harus menghukum anaknya yang telah melanggar tata tertib sekolah.
Kembali lagi ke pembahasan tentang norma yang berkaitan dengan
peranan. Jika seseorang berperilaku sebagaimana yang diharapkan sesuai dengan
status sosial dan peranannya, maka sesungguhnya perilakunya tersebut sesuai
dengan batasan-batasan tertentu yang harus dijalankannya. Misalnya perilaku
seorang guru sebagaimana perannya yang harus mendidik dengan sungguh-
sungguh, tidak melecehkan, bersikap objektif, dan mengayomi, merupakan
perilaku yang sesuai dengan batas-batasan perilaku seorang guru.
Dengan demikian, norma dapat dikatakan sebagai patokan perilaku bagi
seseorang dalam kehidupannya bermasyarakat. Bisa juga dikatakan sebagai
batasan-batasan perilaku bagi seseorang dalam hubungannya dengan orang lain
sesuai dengan status sosialnya. Bagi Lawang (1984), norma memungkinkan
seseorang untuk menentukan terlebih dahulu bagaimana perilakunya tersebut akan
dinilai oleh orang lain, dan sebagai kriteria bagi orang lain untuk mendukung atau
menolak perilaku seseorang. Norma memaksa seseorang untuk berperilaku sesuai
dengan apa yang tercantum dalam norma tersebut.
Profesi perawat misalnya tentunya juga berkenaan dengan norma. Adanya
batasan-batasan perilaku yang harus diikuti dan dijalankan oleh seorang perawat
dalam menjalankan profesinya. Perilaku yang juga terkait dengan nilai budaya
sebagai pedoman yang memberi arah dan orientasi kepada kehidupan para
perawat. Misalnya, seorang perawat akan meminta izin terlebih dahulu kepada
pasiennya jika hendak menyuntik, atau jika ingin mengganti pakaian yang
dikenakan oleh pasien.
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa norma adalah konkretisasi dari nilai.
Suatu nilai belum dapat berfungsi secara praktis sebagai penentu prilaku manusia
itu sendiri (Herimanto dan Winarno, 2010:130). Sebagai contoh, manusia
menganggap penting menghormati orangtua atau orang yang lebih tua dari kita,
tetapi apa yang harus dilakukan untuk menghormati orangtua tersebut? Nilai

Ermansyah/2015 46
tersebut belum dapat berfungsi praktis bagi manusia. Nilai tersebut harus
diwujudkan dalam bentuk norma sebagai tuntunan prilaku untuk menghormati
orangtua yakni menegurnya, menyalami, dan mencium tangannya, jika bertemu
dengan mereka.
Dijelaskan bahwa norma yang berlaku di masyarakat ada 4 (empat)
macam (Herimanto dan Winarno, 2010:130). Pertama, norma agama, yaitu
kaidah hidup yang berasal dari Tuhan. Pelanggaran terhadap norma ini akan
mendapat sanksi di dunia dan akhirat. Norma agama dipatuhi tanpa ada
pengawasan oleh para penegak hukum. Sebagai contoh norma agama yakni
jangan membunuh. Bagi yang melanggarnya akan mendapat sanksi pada
kehidupan akhirat, meskipun sanksi tersebut telah dirasakan di dunia berupa
keguncangan jiwa.
Kedua, norma moral/kesusilaan, sebagai kaidah hidup yang bersumber
dari hati nurani dan merupakan nilai-nilai moral yang mengikat manusia. Norma
ini mengajak manusia pada kebaikan dan menjauhi keburukan. Norma
moral/kesusilaan dipatuhi oleh seseorang agar terbentuk akhlak pribadi yang
mulia. Orang yang berkelakukan baik adalah orang yang bermoral, sebaliknya
yang berkelakuan buruk dianggap tidak bermoral. Pelanggaran terhadap norma ini
mendapat sanksi yang bersumber dari dalam diri pribadi, misalnya merasa
menyesal atau merasa bersalah. Misalnya, seorang anak yang tidak pernah
membantu orangtua baik dari segi ekonomi maupu tenaga akan menyesal di saat
orangtua tersebut telah tiada. Di samping itu, juga akan mendapat celaan
masyarakat.
Ketiga, norma kesopanan, yaitu kaidah yang bersumber dari pergaulan
hidup antarmanusia. Norma ini juga disebut sebagai norma adat, karena sesuai
dengan adat yang berlaku dalam suatu daerah tertentu, walaupun ada juga yang
membedakannya. Apa yang dianggap sopan di suatu daerah belum tentu dianggap
sopan di daerah yang lain. Misalnya, para lelaki harus memberi tempat duduk
kepada perempuan jika di dalam bis. Pelanggaran terhadap norma kesopanan ini
mendapat sanksi dari masyarakat berupa celaan atau pengucilan.

Ermansyah/2015 47
Keempat, norma hukum, yaitu kaidah yang diciptakan oleh kekuasaan
resmi atau negara yang sifatnya mengikat dan memaksa. Norma hukum diadakan
untuk mengatur kepentingan manusia dalam masyarakat agar memperoleh
kehidupan yang tertib. Jika norma ini dilanggar akan mendapat sanksi berupa
hukuman. Norma hukum tertuang dalam peraturan perundang-undangan.
Keempat norma tersebut dapat dikelompokkan atas norma yang berkaitan
dengan aspek kehidupan pribadi, dan norma yang berkaitan dengan aspek
kehidupan antarpribadi. Norma yang berkaitan dengan aspek kehidupan pribadi
yakni: norma agama dan norma norma moral/kesusilaan. Sedangkan norma yang
terkait dengan aspek kehidupan antarpribadi adalah norma adat/kesopanan dan
norma hukum.
Dengan demikian jelaslah bahwa hukum merupakan bagian dari norma
yang sering disebut dengan istilah norma hukum. Norma hukum berbeda dengan
ketiga norma lainnya yang dapat dicermati dari 3 (tiga) hal yakni:
1. Norma hukum berasal dari kekuasaan/lembaga yang resmi dan berwenang.
2. Norma hukum memiliki sanksi pidana atau pemaksa secara fisik. Norma
lainnya tidak dilekati sanksi pidana secara fisik.
3. Sanksi pidana atau sanksi pemaksa itu dilaksanakan oleh aparat negara
(Herimanto dan Winarno, 2010:134).
Ditegaskan pula oleh Tumanggor dkk (2012:148) bahwa norma hukum
terlembaga atau dibakukan oleh lembaga yang legal, seperti negara. Perbedaan
hukum dengan norma-norma lainnya dapat dilihat dari sifat dari hukum yang
tertulis dan disusun dalam bentuk kitab undang-undang. Sementara norma hukum
lainnya tersebut berbentuk kebiasaan yang tidak tertulis, tetapi dipatuhi kuat atau
diyakini. Keberadaan hukum yang bersifat tertulis tersebut lebih mengikat dan
memiliki kepastian tata aturan. Norma yang tidak tertulis seringkali bersifat
subjektif dan meminta penjelasan berkepanjangan tentang etis tidaknya sebuah
ketentuan norma yang berlaku. Oleh karena itu, norma tersebut lebih banyak
bersifat perasaan atau permasalahan batn apakah seseorang melanggar atau
tidak mematuhi tata nilai yang berlaku di masyarakat. Dengan itu, sanksi yang
diberikan kepada yang melanggar atau tidak taat terhadap norma kadang

Ermansyah/2015 48
dipaksakan. Demikian juga, patuh atau tidaknya terhadap sanksi bergantung dari
kesadaran atau perasaan batn yang bersangkutan, atau kehendak masyarakat
setempat. Tidak demikian halnya dengan hukum. Pada hukum, sanksinya berlaku
tetap, mengikat, dan menjadi kehendak umum atau masyarakat secara luas.
Norma yang bukan norma hukum pun dapat berkembang dan menjadi
norma hukum. Seperti halnya memukul anak atau memegangi bagian tubuh lawan
jenis. Secara moral maupun adat/kesopanan, kedua tindakan tersebut tidak dapat
diperkenankan. Namun sanksi yang diberikan terhadapnya dahulu tidak tegas dan
tidak formil. Saat ini, kedua hal tersebut telah menjadi ketentuan hukum dengan
adanya undang-undang kekerasan terhadap anak dan pelecehan seksual.
Pelanggaran terhadapnya dikenakan sanksi yang tegas dan 32merupakan tindak
pidana.
Di dalam kehidupan masyarakat, ada perilaku manusia yang tidak sesuai
dengan norma. Perilaku yang tidak sesuai dengan norma-norma dalam suatu
sistem sosial dan menimbulkan usaha dari mereka yang berwenang dalam sistem
itu untuk memperbaiki perilaku menyimpang atau perilaku abnormal itu disebut
penyimpangan atau deviance (Lawang, 1984). Setiadi dan Usman Kolip
(2011:190) menjelaskan bahwa perilaku seperti itu dikatakan sebagai perilaku
yang bersifat deviasi (penyimpangan terhadap norma-norma atau nilai-nilai
masyarakat). Orang yang berperilaku menyimpang disebut sebagai devian
(deviant).
Bagi Lawang (1984), ada 4 (empat) jenis penyimpangan. Pertama,
perilaku menyimpang yang dianggap sebagai kriminal atau kejahatan. Kejahatan
yang termasuk tipe pertama penyimpangan ini adalah kejahatan yang ditujukan
kepada manusia (misalnya pemukulan, pemerkosaan, pembunuhan, dll), dan
kejahatan yang dilakukan terhadap negara (pelanggaran Undang-undang Dasar,
dan lainnya). Kedua, penyimpangan seksual yang berarti perilaku seksual yang
lain dari biasanya seperti perjinahan, homoseksualitas, pelacuran, pedopilia, dan
lainnya. Ketiga, penyimpangan yang berkenaan dengan bentuk-bentuk konsumsi
yang sangat berlebihan seperti alkoholisme, candu, dan sebagainya. Keempat,

Ermansyah/2015 49
penyimpangan yang berkenaan dengan gaya hidup yang lain dari yang lain seperti
mafianisme, penjudi-penjudi profesional, dan sebagainya.
Makna kedua dari etika berarti juga kumpulan asas atau nilai moral, yang
dimaksud di sini adalah kode etik. Sebagai kode etik atau nilai moral, etika
berkenaan dengan ukuran tingkah laku manusia. Dalam hubungannya dengan
nilai, moral adalah bagian dari nilai, yaitu sebagai nilai moral (Herimanto dan
Winarno, 2010:129). Lebih dijelaskan bahwa tidak semua nilai adalah nilai
moral. Moral yang menjadi bagian nilai berkaitan dengan tingkah laku manusia
tentang hal yang baik buruk. Jadi jika suatu perbuatan atau tingkah laku
seseorang, seperti menolong orang lain yag dalam kesusahan dianggap baik, maka
perbuatan tersebut merupakan nilai moral.
Kata moral itu sendiri berasal dari bahasa Latin, dari kata mores yang
berarti adat kebiasaan. Bagi Koentjaraningrat (alm), antropolog Indonesia, mores
adalah jenis norma yang jika dilanggar akan memiliki sanksi yang keras atau
berat. Misalnya, jika seseorang kawin dengan orang satu marga dengannya maka
ia akan diusir dan tidak akan diakui lagi sebagai warga marga tersebut. Moral
dalam bahasa Arab menunjuk pada konsep akhlak atau kesusilaan yang
mengandung makna tata tertib batn atau tata tertib hati nurani yang menjadi
pembimbing tingkah laku bathin dalam hidup (Herimanto dan Winarno,
2010:129).
Selain berkenaan dengan nilai, noma, dan moral, manusia juga tidak
terlepas dengan hukum. Dijelaskan Setiadi dkk (2013:145) bahwa disepakati
manusia juga sebagai makhluk sosial, yaitu makhluk yang selalu berinteraksi dan
membutuhkan bantuan dengan sesamanya. Dalam konteks hubungan dengan
sesama seperti itulah perlu adanya keteraturan, sehingga setiap individu dapat
berhubungan secara harmonis dengan individu lain. Untuk terciptanya keteraturan
tersebut maka diperlukan aturan yang disebut dengan hukum. Hukum dalam
masyarakat merupakan tuntutan, mengingat bahwa tidak mungkin
menggambarkan hidupnya manusia tanpa atau di luar masyarakat. Oleh karena
itu, manusia atau masyarakat dan hukum merupakan pengertian yang tidak dapat

Ermansyah/2015 50
dipisahkan, sehingga pemeo yang menyatakan dimana ada masyarakat di sana ada
hukum adalah tepat.
Hukum diciptakan dengan tujuan yang berbeda-beda. Ada yang
menyatakan bahwa tujuan hukum adalah keadilan. Ada juga yang menyatakan
bahwa tujuan hukum adalah memberi faedah sebanyak-banyak kepada
masyarakat, atau menunjuk pada kegunaan. Ada yang menyatakan untuk
kepastian hukum dalam masyarakat. Namun dalam kaitan dengan masyarakat,
tujuan hukum yang utama adalah untuk ketertiban. Mengutip pengertian yang
diberikan Mochtar Kusumaatmadja, Setiadi dkk (2013:146) menjelaskan bahwa
ketertiban adalah tujuan pokok dan pertama dari segala hukum. Lebih detail
dikatakan bahwa kebutuhan akan ketertiban ini merupakan syarat pokok bagi
adanya suatu masyarakat manusia yang teratur. Ketertiban sebagai tujuan utama
hukum merupakan fakta objektif yang berlaku bagi segala masyarakat manusia
dalam segala bentuknya.
Dikatakan bahwa untuk mencapai ketertiban dalam masyarakat, maka
diperlukan adanya kepastian dalam pergaulan antarmanusia dalam masyarakat.
Kepastian ini bukan saja agar kehidupan masyarakat menjadi teratur, akan tetapi
akan mempertegas lembaga-lembaga hukum mana yang melaksanakannya.
Banyak kaidah yang berkembang dan dipatuhi masyarakat. Kaidah hukum sebagai
salah satu kaidah sosial tidak berarti meniadakan kaidah-kaidah lain tersebut.
Bahkan antara kaidah hukum dengan kaidah lain saling berhubungan yang satu
memperkuat yang lain, meskipun adakalanya kaidah hukum tidak sesuai atau
tidak serasi dengan kaidah-kaidah tersebut.
Dalam pandangan Koentjaraningrat (1990:12), hukum merupakan tingkat
ketiga dari empat tingkatan dari adat tata kelakuan. Sistem hukum (baik hukum
adat maupun hukum tertulis) wujudnya lebih konkret lagi dibandingkan norma,
dan berkenaan dengan bermacam-macam sektor hidup yang sudah terang batas-
batas ruang lingkupnya. Seperti halnya hukum tertulis, jumlah undang-undang
dalam suatu masyarakat sudah lebih banyak daripada jumlah norma yang menjadi
pedomannya. Ada undang-undang yang berkenaan dengan bidang ekonomi,
kehidupan pemerintahan, agama, kemasyarakatan, dan lain sebagainya.

Ermansyah/2015 51
Hukum dapat diartikan sebagai batasan-batasan perilaku bagi seseorang
untuk mencapai kepentingannya dalam sektor-sektor kehidupan yang lebih
khusus, dan berkenaan dengan sanksi hukum atas pelanggaran terhadapnya. Para
warga masyarakat memiliki kepentingan akan pendidikan, maka perilaku
masyarakat tersebut diatur oleh undang-undang pendidikan. Setiap warga
masyarakat yang memiliki kepentingan yang berkenaan dengan ekonomi, seperti
halnya memproduksi maupun distribusi barang, maka perilaku mereka diatur oleh
undang-undang produksi, undang-undang eksport-import dan lainnya.
Kepentingan masyarakat yang berkenaan dengan pengelolaan kesehatan diatur
oleh undang-undang kesehatan baik, baik dalam hal pengobatan yang dilakukan
oleh para dokter, pengadaan obat-obatan, dan lain sebagainya. Demikian juga
halnya dengan hukum adat, setiap warga masyarakat yang tidak berperilaku
sebagaimana yang diatur oleh hukum adat tersebut maka akan dikenakan sanksi,
seperti halnya tidak diakui sebagai warga masyarakat tersebut.

B. Problematika Pembinaan Nilai Moral


1. Pengaruh Kehidupan Keluarga dalam Pembinaan Nilai Moral
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang menghasilkan kehidupan
modern memang menghasilkan berbagai perubahan, pilihan dan kesempatan.
Namun, kehidupan modern tersebut juga mengandung berbagai resiko akibat
kompleksitas kehidupan yang ditimbulkannya. Salah satu resiko yang dapat
terjadi adalah berubahnya nilai-nilai moral bagi generasi berikutnya. Dengan kata
lain, nilai-nilai modern yang baru tersebut membingungkan anak (individu) dan
tidak jelas sebagai penuntunya dalam menjalani kehidupan.
Dijelaskan bahwa walaupun keluarga sebagai bagian dari masyarakat
terpengaruh oleh tuntutan kemajuan yang terjadi, namun masih banyak orang
yang meyakini bahwa nilai moral itu hidup dan dibangun dalam lingkungan
keluarga (Setiadi dkk, 2013:133). Saat ini keluarga sebagai lembaga penanaman
nilai moral juga telah mengalami perubahan-perubahan yang dramatis, meskipun
tidak sampai masuk kategori menakutkan. Kenyataan memperlihatkan bahwa
banyak keluarga saat ini yang mengalami broken home karena berbagai hal.

Ermansyah/2015 52
Seringkali pada keluarga yang broken home atau keluarga yang kedua
orangtuanya bekerja berakibat pada penurunan intensitas hubungan antara anak
dengan orang tuanya. Dalam lingkungan yang kurang baik tersebut, seorang anak
sangat sulit untuk membangun nilai-nilainya secara jelas.
Dijelaskan bahwa karakter pekerjaan orangtua dan hubungan dengan
keluarga telah berubah dengan dasyat. Fakta menunjukkan bahwa banyak anak
yang tidak mengetahui hal-hal yang dikerjakan orangtua di luar rumah dalam
mencari penghasilan. Orangtua dan anak tidak melakukan diskusi yang cukup
bermakna, atau bahkan tidak pernah, dalam menjelaskan apa yang mereka
lakukan. Hal ini menunjukkan bahwa persoalan utama bagi kehidupan orangtua
yang bekerja terletak pada tingkat komunikasi dengan anak-anaknya.
Seperti halnya kehidupan keluarga di kota besar seperti Jakarta. Orangtua
pergi bekerja, bahkan sebelum anaknya bangun di pagi hari dan pulang tengah
malam saat anak sudah tidur. Mereka pulang ke rumah hingga larut malam, tidak
hanya kembali dari pekerjaannya melainkan juga dari perjalanan yang
melelahkan. Hilang kesempatan membahas makna-makna aktivitas keseharian
antara orangtua dengan anak, tentang apa yang mereka lakukan atau yang mereka
alami, rasakan dalam kesehariannya tersebut.
Merosotnya intensitas interaksi dalam keluarga, serta terputusnya
komunikasi yang harmonis antara orangtua dengan anaknya, mengakibatkan
merosotnya fungsi keluarga dalam pembinaan nilai moral (Setiadi dkk, 2013:135).
Padahal, keluarga adalah tempat berlangsungnya proses sosialisasi primer.
Keluarga bisa jadi tidak lagi menjadi tempat untuk memperjelas nilai yang harus
dipegang. Sebaliknya, keluarga bahkan menjadi lembaga yang menambah
kebingungan nilai bagi anak.

2. Pengaruh Teman terhadap Pembinaan Nilai Moral


Sebagai makhluk sosial, seorang anak tentunya memiliki teman dalam
lingkungan pergaulannya. Dijelaskan Setiadi dkk (2013:136) bahwa pergaulan
dengan teman tersebut tentu akan berakibat pada bertambahnya perbendaharaan
informasi yang akhirnya akan memengaruhi berbagai jenis kepercayaan yang

Ermansyah/2015 53
dimilikinya. Kumpulan kepercayaan yang dimiliki anak akan membentuk sikap
yang dapat mendorong untuk memilih atau menolak sesuatu. Sikap-sikap yang
mengkristal pada diri anak akan menjadi nilai, dan nilai tersebut akan berpengaruh
pada prilakunya.
Pertemanan yang paling berpengaruh timbul dari teman sebaya.
Pertemanan dengan yang sebaya relatif lebih terbuka, dan relatif sering intensitas
pergaulannya, baik di sekolah atau di kampus, maupun dalam lingkungan
masyarakat. Pengaruh pertemanan akan berdampak positif manakala sikap dan
prilaku yang ditampilkan teman tersebut positif pula. Sebaliknya akan berdampak
negatif jika sikap dan prilaku teman tersebut negatif pula.
Dari hasil pergaulan pertemanan, seorang anak dapat saja berprilaku yang
tidak sesuai seperti yang diharapkan orangtua. Bahkan, seorang anak dapat saja
menolak nasehat-nasehat orangtua karena bertentangan dengan aturan yang
disampaikan teman sepergaulannya. Harus dipahami bahwa dalam pergaulan
pertemanan terdapat aturan-aturan tertentu. Seorang anak yang masuk dalam
pergaulan pertemanan akan menyesuaikan diri dengan aturan main tersebut,
dengan harapan akan diterima oleh lingkungan pergaulannya.
Perbedaan sudut pandang antara orangtua atau keluarga dengan kelompok
pertemanan anak akan menjadi masalah tersendiri dalam penanaman nilai moral
bagi anak. Seorang anak akan dihadapkan pada keharusan untuk mematuhi aturan
keluarga dan resiko dikeluarkannya dari pertemanan. Situasi ini menjadi dilematis
bagi anak. Persoalan nilai mana yang akan menjadi keyakinan bagi anak
(individu) tentu diperlukan adanya upaya pendidikan untuk membimbing mereka
keluar dari kebingungan nilai, serta menemukan nilai hakiki yang harus menjadi
pegangannya.
Lebih dijelaskan Setiadi dkk (2013:137), sebagai figur yang memiliki
otoritas, orangtua juga kadang-kadang menambah kebingungan bagi anak.
Orangtua mempunyai pemikiran bahwa fungsi utama dalam menjalin hubungan
dengan anak-anak adalah memberitahu sesuatu kepada mereka; memberitahu apa
yang harus mereka lakukan, kapan waktu yang tepat untuk melakukannya, dimana
harus dilakukan, seberapa sering harus melakukan dan juga kapan harus

Ermansyah/2015 54
mengakhirinya. Hal ini menunjukkan bahwa orangtua yang paling serba tahu, dan
anak harus patuh padanya. Jika ia menolak maka anak tersebut dikatakan sebagai
pembangkang, melawan orangtua, atau kurang ajar terhadap orangtua.
Dengan kata lain, orangtua belum meyakini bahwa anak-anak telah
menjadi manusia. Anak-anak telah memiliki dunianya sendiri. Mereka ingin
dihargai, diakui, dan dipahami pilihan nilai dan prilakunya. Sebagai anak yang
ingin diakui, mereka juga akan mau mendengarkan apa pilihan nilai yang akan
membawa mereka pada kehidupan yang lebih baik. Mereka ingin diajak,
dibimbing dalam mengambil keputusan sebagaimana jati diriya yang telah
dewasa. Untuk itu, sebagai orangtua atau orang dewasa yang memiliki otoritas,
kita tidak lagi harus memaksakan atau menyatakan pada anak bahwa orangtua
adalah yang paling benar. Jangan ada lagi anggapan bahwa keyakinan orang
dewasa tetap harus dipertahankan. Jika masih demikian maka orang dewasa
sesungguhnya tidak berupaya mengurangi kebingungan nilai pada anak.
Sebaliknya, malah menambah jumlah pilihan nilai yanag menimbulkan tingginya
tingkat kebingungan dan ketidakjelasan nilai bagi anak.

3. Pengaruh Media Komunikasi terhadap Perkembangan Nilai Moral


Sebagai suatu realitas yang sama-sama dapat diamati, alat-alat informasi
dan komunikasi yang potensial telah diperkenalkan ke dalam ritual kehidupan
keluarga. Handpone atau alat-alat gadget dan televisi digital sudah menjadi alkat
informasi dan komunikasi yang harus ada dalam kehidupan keluarga. Semua itu
tidak lagi menjadi barang mewah. Mereka yang menangani pemrograman mulai
mengembangkan sesuatu yang dianggap dapat menarik dan menyenangkan anak-
anak.
Media-media informasi dan komunikasi yang telah semakin canggih
tersebut telah menyuguhkan berbagai pandangan hidup yang sangat variatif pada
anak. Melalui radio, film, televisi, VCD, majalah dan media lainnya, anak-anak
telah terbiasa melihat dan menyimak pandangan hidup yang bervariasi. Bahkan,
banyak di antara pandangan dan nilai-nilai kehidupan tersebut dalam kehidupan
keluarga tidak mereka temui. Saat ini, persoalan pornografi, seksualitas, dan

Ermansyah/2015 55
kekerasan disuguhkan secara terbuka. Bahkan, adegan-adegan yang dipandang
tidak bermoral yang dilakukan oleh orang-orang yang tampaknya berpendidikan
tinggi dapat dilihat banyak orang. Para pelakunya pun masih tetap tampil di
hadapan publik dan menjadi idola.
Berbagai media informasi dan komunikasi mutakhir haruslah memberikan
kontribusi yang positif dalam mengembangkan suatu pandangan hidup yag
terfokus, sehingga memberikan stabilitas nilai pada anak. Jika nilai memang
memberi arahan kehidupan, serta membuat perubahan dalam hidup, maka setiap
orang tentu berharap pentingnya memerhatikan perkembangan nilai moral anak.
Berbagai media informasi dan komunikasi mutakhir tersebut janganlah semata-
mata hanya memikirkan keuntungan yang diperoleh. Mereka janganlah
membiaskan pemahaman yang tengah tumbuh pada anak-anak, seputar mana yang
betul dan mana yag salah, mana yang benar dan mana yang tidak benar, mana
yang bagus dan mana yang jelek, serta mana yang bermoral dan mana yang tidak
bermoral.
Dengan demikian, tidaklah bermaksud menyatakan bahwa alternatif-
alternatif yang ditawarkan harus dihapuskan, atau menyebutkan anak-anak tidak
dapat mengambil pelajaran dari semua kejadian tersebut (Setiadi dkk, 2013:140).
Di sini ingin diungkapkan bahwa jika hanya dengan dirinya sendiri, maka anak
tidak akan mampu mengambil manfaat besar dari jutaan pilihan yang tersedia.
Oleh karena itu, keluarga harus dapat membahasnya secara masuk akal dari setiap
hal yang disajikan, mungkin setiap anak akan dapat mengambil pelajaran tentang
makna dari pandangan-pandangan baru dalam kehidupan ini.

C. Hubungan Hukum dan Moral


Seperti dinyatakan Setiadi dkk (2013:147), antara hukum dan moral
terhadap hubungan yang erat. Ada pepatah Roma yang menyatakan quid leges
sine moribus?. Apa artinya undang-undang kalau tidak disertai moralitas?
Dengan demikian, hukum tidak akan berarti tanpa dijiwai moralitas, hukum akan
kosong tanpa moralitas.

Ermansyah/2015 56
Dijelaskan bahwa kualitas hukum harus selalu diukur dengan norma
moral, perundang-undangan yang immoral harus diganti. Di sisi lain, moral juga
membutuhkan hukum, sebab moral tanpa hukum hanya angan-angan saja. Kalau
tidak diundangkan atau dilembagakan dalam masyarakat. Dengan demikian,
hukum bisa meningkatkan dampak sosial dari moralitas. Meskipun tidak semua
harus diwujudkan dalam bentuk hukum, karena hal itu mustahil. Hukum hanya
membatasi diri dengan mengatur hubungan antarmanusia yang relevan.
Lebih dijelaskan bahwa meskipun hubungan hukum dan moral begitu erat,
namun hukum dan moral tetap berbeda. Dalam kenyataannya, mungkin ada
hukum yang bertentangan dengan moral atau ada undang-undang immoral, yang
berarti terdapat ketidakcocokan antara hukum dan moral. Untuk itu, dalam
konteks ketatanegaraan Indonesia saat ini, apalagi dalam konteks pengambilan
keputusan, hukum membutuhkan moral, sebagaimana moral membutuhkan
hukum. Apa artinya hukum jika tidak disertai moralitas. Hukum dapat memiliki
kekuatan jika dijiwai moralitas.
Namun demikian, perbedaan hukum dengan moral tetap jelas, setidaknya
seperti diungkapkan Bertens yang menyatakan bahwa selain itu ada empat
perbedaan antara hukum dan moral. Pertama, hukum lebih dikodifikasikan
daripada moralitas, artinya dibukukan secara sistematis dalam kitab perundang-
undangan. Oleh karena itu, norma hukum lebih memiliki kepastian dan objektif
dibandingkan dengan norma moral, sedangkan norma moral bersifat lebih
subjektif dan akibatnya lebih banyak diganggu oleh diskusi-diskusi yang mencari
kejelasan tentang yang harus dianggap etis dan tidak etis.
Kedua, meski hukum dan moral mengatur tingkah laku manusia, namun
hukum membatasi diri pada tingkah laku lahiriah saja, sedangkan moral
menyangkut juga sikap batn seseorang.
Ketiga, sanksi yang berkaitan dengan hukum berbeda dengan sanksi yang
berkaitan dengan moralitas. Hukum untuk sebagian terbesar dapat dipaksakan,
pelanggar akan terkena hukumannya. Norma etis tdiak bisa dipaksakan sebab
paksaan hanya menyentuh bagian luar bagian luar, sedangkan perbuatan etis justru

Ermansyah/2015 57
berasal dari dalam. Satu-satunya sanksi di bidang moralitas adalah hati nurani
yang tidak tenang.
Keempat, hukum didasarkan atas kehendak masyarakat dan akhirnya atas
kehendak negara. Meskipun hukum tidak langsung berasal dari negara seperti
hukum adat, namun hukum itu harus diakui oleh negara supaya berlaku sebagai
hukum. Moralitas didasarkan pada norma-norma moral yang melebihi para
individu dan masyarakat. Dengan cara demokratis atau dengan cara lain
masyarakat dapat mengubah hukum, tetapi tidak pernah masyarakat dapat
mengubah atau membatalkan suatu norma moral. Moral menilai hukum, dan
bukan sebaliknya.

Ermansyah/2015 58
BAB VI
MANUSIA DAN PERADABAN

A. Hakekat Peradaban Manusia


Kata peradaban dalam bahasa Inggris diistilahkan dengan civilization.
Bagi Koentjaraningrat (2002:182), istilah civilization biasanya dipakai untuk
menyebut bagian-bagian atau unsur-unsur kebudayaan yang dianggap halus, maju,
dan indah, seperti misalnya: kesenian, ilmu pengetahuan, adat sopan santun
pergaulan, kepandaian menulis, organisasi kenegaraan, dan sebagainya. Istilah
peradaban juga dapat dipakai untuk menyebut suatu kebudayaan yang mempunyai
sistem teknologi, ilmu pengetahuan, seni bangunan, seni rupa, dan sistem
kenegaraan dan masyarakat kota yang maju dan kompleks. Sebagai contoh:
adanya istilah peradaban Romawi dan Yunani yang di dalamnya menunjuk aspek
organisasi kenegaraan dan ilmu pengetahuan.
Sesungguhnya, kata peradaban itu sendiri berasal dari kata dasar adab
yang sehari-hari dapat diartikan sopan. Menurut Herimanto dan Winarno
(2010:65), adab dapat diartikan sopan, berbudi pekerti, mulia berakhlak, yang
semuanya menunjuk pada sifat yang tinggi dan mulia. Peradaban tidak lain adalah
perkembangan kebudayaan yang telah mencapai tingkat tertentu yang diperoleh
manusia pendukungnya. Taraf kebudayaan yang telah mencapai tingkat tertentu
tercermin pada pendukungnya yang dikatakan sebagai beradab atau mencapai
peradaban yang tinggi. Setiap masyarakat pasti memiliki kebudayaan, tetapi tidak
semuanya telah memiliki peradaban. Peradaban merupakan tahap tertentu dari
kebudayaan masyarakat tertentu pula yang telah mencapai kemajuan tertentu yang
dicirikan oleh tingkat ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni yang telah maju.
Tinggi rendahnya peradaban suatu masyarakat atau bangsa sangat
dipengaruhi oleh faktor ilmu pengetahuan, kemajuan teknologi, dan seni, yang
semuanya mencerminkan tingkat pendidikan mereka. Suatu bangsa yang memiliki
kebudayaan tinggi atau peradaban tentu memiliki kemajuan dalam pendidikan.
Pendidikan yang maju tersebut mencerminkan kemajuan bangsa dalam ilmu
pengetahuan, teknologi, dan seni.Oleh karena ilmu pengetahuan, teknologi, dan

Ermansyah/2015 59
seni yang dimiliki suatu masyarakat senantiasa berkembang -sejalan dengan
berkembangnya tingkat pendidikan- maka peradaban masyarakat juga akan
berkembang sesuai zamannya. Peradaban bangsa dalam suatu kurun waktu
tertentu dinilai tinggi di zamannya, namun penilaian tersebut tidak bisa
dibandingkan dengan peradaban manusia pada masa sekarang.
Selain mengacu pada; kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni;
suatu kurun waktu; peradaban juga mengacu pada tempat tertentu pula. Sebagai
contoh, peradaban Lembah Sungai Nil (Herimanto dan Winarno, 2010:67).
Kehidupan di Lembah Sungai Nil pada masa itu disebut sebagai peradaban
Lembah Sungai Nil, bukan kebudayaan Lembah Sungai Nil. Hal ini disebabkan
masyarakat Lembah Sungai Nil saat itu telah memiliki kemajuan dalam aspek
ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni. Peradaban Lembah Sungai Nil meliputi
sistem kekuasaan raja-raja Mesir, bangunan piramid, maupun budaya Mesir
lainnya. Salah satu peninggalan budaya Mesir adalah rintisan ilmu astronomi dan
sistem kalender yang diciptakan sebagai hasil pengamatan cemerlang bahwa surya
memiliki keteraturan, sehingga ada siang dan malam.
Menurut Tumanggor dkk (2012:78), sekurang-kurangnya terdapat 3 (tiga)
inbti peradaban, yaitu: (1) nilai, (2) kelompok tertentu, dan (3) tantangan zaman.
Dikaitkan dengan ketiga tersebut, memungkinkan respon suatu kelompok orang
akan berbeda dengan kelompok lainnya. Tantangan zaman yang berbeda maka
nilai yang dipakai juga berbeda pula. Dengan demikian, penegakan satu
peradaban tergantung pada kelompok dengan nilai yang dianutnya, serta
tantangan zamannya.
Masyarakat saat ini tetap memberi penghargaan dan apresiasi yang tinggi
untuk suatu peradaban (Herimanto dan Winarno, 2010:67). Tertbukti dari
pengakuan masyarakat dunia akan adanya keajaiban dunia, yang pada hakekatnya
berasal dari masa lalu. Keajaiban dunia yag dikenal hingga saat ini antara lain:
a. Piramid di Mesir yang berfungsi sebagai makam raja-raja Mesir Kuno
b. Tembok raksasa dengan panjang 6.500 km di RRC, yang dibangun untuk
membentengi kerajaan pada masa itu dari serangan musuh
c. Taj Mahal di India, yang juga sebagai makam.

Ermansyah/2015 60
d. Candi Borobudur di Indonesia, sebagai tempat ibadah umat Budha
e. Kabah di Mekah Saudi Arabia
Lebih dijelaskan Herimanto dan Winarno (2010:68) bahwa salah satu ciri
penting dari defenisi peradaban adalah berbudaya, yang dalam bahasa Inggris
disebut cultured. Orang yang cultured adalah juga yang lettered, artinya melek
huruf. Pengertian lettered dalam hal ini tidak sekedar bisa membaca dan menulis
yang sederhana. Sekedar bisa membaca karangan yang sederhana dan memahami
kesenian yang tidak kompleks dianggap unlettered. Oleh karena itu, pembaca
sastra dan peminat seni picisan dianggap uncultured. Orang yang cultured adalah
yang mampu menghayati dan memahami hasil kebudayaan adiluhung, yang hanya
bisa didapatkan dengan pendidikan yang tarafnya tinggi. Dengan demikian,
bangsa yang beradab adalah bangsa yang terdidik.
Dijelaskan Tumanggor dkk (2012:78) bahwa suatu peradaban dapat
mengalami pasang surut. Suatu peradaban terkadang mampu berkembang sangat
pesat, beradaptasi, dan mempengaruhi kehidupan manusia. Namun, banyak juga
peradaban yang hilang, tidak lagi relevan dengan kehidupan manusia. Peradaban
yang mampu bertahan antara lain: Peradaban Tionghoa, Peradaban Jepang,
Peradaban Hindu, Peradaban Barat, maupun Peradaban Islam.

B. Manusia sebagai Makhluk yang Beradab dan Masyarakat Adab


Menurut Herimanto dan Winarno (2010:69), kata adab artinya sopan.
Manusia sebagai makhluk yang beradab dimaksudkan pribadi manusia itu
memiliki potensi untuk berlaku sopan, berakhlak, dan berbudi pekerti luhur.
Berlaku sopan, berakhlak, dan berbudi pekerti yang luhur menunjuk pada perilaku
manusia. Orang yang beradab adalah orang yang berkesopanan, berakhlak, dan
berbudi pekerti luhur dalam perilaku, termasuk pula dalam gagasan-gagasannya.
Lebih dijelaskan bahwa pada hakekatnya manusia adalah makhluk yang
beradab. Manusia dianugerahi harkat, martabat, serta potensi kemanusiaan yang
tinggi. Namun, dalam perkembangannya manusia bisa jatuh dalam perilaku yang
biadab. Perilaku biadab merupakan perilaku yang tidak mampu menyeimbangkan
atau mengendalikan cipta, rasa, dan karsa yang dimilikinya. Manusia seperti itu

Ermansyah/2015 61
dianggap melanggar hakekat kemanusiaannya sendiri. Sebagai contoh, suatu
senjata sebagai hasil kemampuan cipta manusia digunakan untuk saling
membunuh.
Manusia yang beradab akan mewujudkan masyarakat yang beradab. Hal
tersebut disebabkan sifat kodrat manusia sebagai makhluk sosial, yang
membentuk persekutuan-persekutuan hidup yaitu masyarakat, sehingga
terbentuklah masyarakat beradab atau berkeadaban. Masyarakat adab memiliki
padanan istilah yang disebut sebagai masyarakat sipil atau civil society dan
masyarakat madani. Kata civil memiliki kata dasar yang sama dengan civic atau
kewarganegaraan, dan city atau kota dari kata dasar berbahasa Latin yag disebut
civis. Akhirnya kata civil tumbuh menjadi bermakna atau dalam persesuaian
dengan teratur, beradab. Sedangkan kata madani merujuk pada kata Madinah, kota
tempat kelahiran Nabi Muhammad SAW. Madinah berasal dari kata madaniyah
yang berarti peradaban. Dengan demikian, masyarakat madani juga berarti
masyarakat yang berperadaban.
Pada dasarnya, masyarakat adab merupakan keinginan yang tulus dari
manusia sebagai makhluk yang beradab (Herimanto dan Winarno, 2010:72).
Namun cita-cita tersebut harus senantiasa diperjuangkan, dipertahankan, dan
dipelihara sebaik-baiknya. Sebagaimana halnya individu, masyarakat dalam suatu
kurun waktu tertentu dapat saling bertengkar, bertikai, bahkan saling membunuh.
Seperti halnya perang yang hingga saat ini masih terjadi di berbagai belahan
dunia.

C. Dinamika Peradaban Global dan Problematikanya dalam Kehidupan


Manusia
Kata globalisasi diambil dari kata global yang maknanya adalah universal
(Herimanto dan Winarno, 2010:84). Dijelaskan bahwa ada yang memandang
globalisasi sebagai suatu proses sosial, atau proses sejarah, atau proses alamiah
yang akan membawa seluruh bangsa dan negara di dunia makin terikat satu sama
lain yang mewujudkan satu tatanan kehidupan baru atau kesatuan koeksistensi
dengan menyingkirkan batas-batas geografi, ekonomi, dan budaya masyarakat.

Ermansyah/2015 62
Sebagai sebuah konsep, globalisasi akan mengacu pada intensifikasi kesadaran
sebuah dunia secara keseluruhan (Tumanggor dkk, 2012:101). Dengan demikian
globalisasi merupakan dunia terbuka yang benar-benar telah meleburkan sekat-
sekat yang membatasi pergerakan manusia dari dan ke berbagai negara. Hal
tersebut akan menghilangkan ruang, waktu yang menjadi identifikasi identitas
sebuah bangsa. Mengutip Robertson, Martono (2011:96) menjelaskan bahwa
globalisasi menghasilkan dunia tunggal, masyarakat di seluruh dunia menjadi
saling tergatung di semua aspek kehidupan, politik, ekonomi, dan budaya.
Ditegaskan Martono, globalisasi sebagai penyebaran kebiasaan yang mendunia,
ekspansi hubungan yang melintas benua, organisasi kehidupan sosial pada skala
global, dan pertumbuhan sebuah kesadaran global bersama.
Sebagai sebuah proses, globalisasi digerakkan oleh kemajuan yang pesat
dalam teknologi, baik teknologi transportasi dan teknologi informasi.
Perkembangan teknologi transportasi dengan berbagai wujud dan kemudahan yag
ada semakin mendorog mobilitas manusia ke berbagai tempat dengan berbagai
tujuan yang dimilikinya. Sebagaimana ditegaskan Tumanggor dkk (2012:100)
bahwa mobilitas manusia menjadi salah satu ciri kuat perkembangan masyarakat
global. Mobilitas yang dilakukan atas alasan apa pun telah menjadi fenomena
penting yang menandai terbukanya isolasi-isolasi rutinitas kehidupan di pelbagai
belahan dunia. Seseorang dengan mudahnya dapat pergi ke berbagai tempat dan
berinteraksi dengan orang yang berbeda budaya dengannya, sehingga akhirnya
akan terwujud penyebaran budaya maupun proses akulturasi. Terlihat saat ini
makanan khas Amerika Serikat juga telah hadir, dapat dinikmati, da telah menjadi
bagian dari kehidupan atau budaya populer masyarakat Indonesia.
Perkembangan teknologi informasi pun tidak kalah pentingnya dalam
mendorong proses globalisasi. Dengan perkembangan teknologi informasi dalam
berbagai bentuk juga memudahkan manusia untuk berkomunikasi dan
mendapatkan informasi yang ada di berbagaibelahan dunia dengan peradaban
yang berbeda. Eksistensi budaya atau pun peradaban bangsa tidak lagi menjadi
tersekat-sekat sebagai milik pribadi. Berbagai wujud budaya atau pun peradaban
bangsa telah menyebar ke berbagai tempat dengan masyarakat atau bangsa yang

Ermansyah/2015 63
berbeda melalui berbagai media sebagai hasil dari perkembangan teknologi
informasi tersebut. Sebagai contoh, untuk mengetahui perkembangan model
pakaian di Perancis sudah dapat dilihat melalui saluran internet, tidak lagi harus
pergi ke negara tersebut.
Fenomena globalisasi telah semakin berkembang di dunia. Hal ini dapat
dilihat dari beberapa ciri-ciri seperti:
a. Hilir mudiknya alat transportasi antarnegara baik untuk manusia maupun
pengangkut barang yang menunjukkan keterkaitan antarmanusia di seluruh
dunia. Pergerakan massa seperti turisme memungkinkan kita merasakan banyak
hal dari budaya yang berbeda.
b. Perkembangan barang-barang seperti televisi satelit, telepon genggam, dan
internet menunjukkan bahwa komunikasi global terjadi demikian cepatnya. Hal
ini juga akan mendorong berkembangnya turisme.
c. Peningkatan interaksi budaya melalui perkembangan media massa seperti
televisi, film, musik, serta trasmisi berita dan olahraga. Saat ini kita dapat
mengkonsumsi dan mengalami gagasan, dan pengalaman baru mengenai hal-
hal yang melintasi beraneka ragam budaya, misalnya dalam bidang makanan,
fashion, dan literatur. Semua orang di berbagai belahan dunia dapat memiliki
perhatian yang sama, bersorak maupun menangis dalam menonton
pertandingan piala dunia, yang disatukan oleh produk global televisi
d. Pasar dan produksi ekonomi di negara-negara yang berbeda menjadi saling
tergantung sebagai akibat dari pertumbuhan perdagangan internasional,
peningkatan pengaruh perusahaan multinasional, dan dominasi organisasi
semacam Word Trade Organization atau WTO.
e. Meningkatnya masalah bersama, misalnya pada bidang lingkungan hidup,
krisis multinasional, inflasi regional, dan lain-lain (Herimanto dan Winarno,
2010:85)
Ditegaskan oleh Tumanggor dkk (2012:102) bahwa kekuatan ekonomi
yang dimotori oleh kekuatan kapitalisme menumbuhkembangkan globalisasi
produksi dan konsumsi. Pengaruh produksi internasional yang berkembang
menciptakan pula tingkah laku konsumtif di berbagai belahan bumi. Bahkan,

Ermansyah/2015 64
negara-negara berkembang atau negara-negara yang tergantung dengan negara
adikuasa atau yang disebut negara pheri-pheri- justru menjadi ladang subur bagi
pertumbuhan tingkah laku konsumtif, yang sering tampil sebagai gaya hidup.
Semua manusia di berbagai belahan bumi mengenal, juga memiliki, telepon
genggam merek Samsung. Bahkan ada yang memiliki lebih dari satu, walaupun
fungsinya sama. Mereka juga memakai pakaian merek Eksekutif, Levis atau yang
merek global lainnya. Mereka semuaya tampil dengan gaya hidup moderen.
Fenomena globalisasi tentu tidaklah berjalan tanpa ada masalah yang
dimunculkannya. Globalisasi dapat menjadi suatu problema bagi kehidupan
manusia, bagi semua bangsa dan masyarakat internasional. Dengan perkembangan
teknologi manusia mudah berhubungan dengan manusia lainnya di dunia. Bahkan
semua orang dapat mengandalkan teknologi informasi untuk berbagai keperluan.
Berbagai barang dan informasi dan informasi dengan berbagai tingkatan kuakitas
tersedia untuk dikonsumsi (Herimanto dan Winarno, 2010:87). Namun, semua itu
juga memiliki implikasi yang tidak diharapkan yang dapat mengubah pola pikir,
sikap, dan tingkah laku manusia, yang kemudian dapat mengubah hubungan
kekeluargaan, kemasyarakatan. Dengan adanya telepon genggam, seorang anak
tidak lagi mudik di saat lebaran, ia hanya cukup berbicara dan minta maaf melalui
telepon tersebut. Dengan adanya televisi dengan berbagai acara global, suatu
keluarga tidak lagi memiliki sholat berjamaah maupun makan bersama, karena
sudah sibuk dengan tontonan masing-masing. Secara umum, globalisasi dapat
berpengaruh pada sistem budaya masyarakat atau bangsa.
Dijelaskan Herimanto dan Winarno, globalisasi juga berpengaruh terhadap
aspek atau bidang ekonomi, seperti menguatnya kapitalisme dan pasar bebas. Hal
tersebut ditunjukkan dengan semakin tumbuhnya berbagai perusahaan
transnasional yang beroperasi tanpa terikat batas-batas negara. Menguatnya
kapitalisme dan pasar bebas juga akan semakin mendorong ketatnya persaingan
dalam menghasilkan barang dan jasa dalam pasar bebas. Kehadiran produk-
produk global dengan tingkah laku konsumtif sebagai contoh dampak dalam
aspek atau bidang ekonomi. Anak bangsa yang kurang berpendidikan dan kurang

Ermansyah/2015 65
terampil akan hanya sebagai penonton dari kehadiran perusahaan transnasional di
negaranya.
Demikian juga terhadap ideologi dan politik. Globalisasi semakin
menguatkan pengaruh ideologi liberal dalam perpolitikan negara-negara
berkembang. Hal ini ditandai dengan menyebarnya ide kebebasan dan nilai-nilai
demokrasi, termasuk di dalamnya masalah hak asasi manusia. Bagi negara
Indonesia ideologi liberal akan bersinggungan dengan ideologi Pancasila, yang
jelas-jelas bertentangan dengan liberalisme. Ideologi liberalisme akan memberi
dampak pada sekulerisme, nilai-nilai agama tidak lagi berarti sebagai pedoman
hidup manusia.
Selain itu, globalisasi juga akan berimplikasi kepada aspek kesehatan
maupun eksploitasi sumber daya alam. Mobilitas manusia yang tinggi
antarnegara, melalui turisme, dapat menjadi tambahan besar bagi pendapatan
negara. Namun di sisi lain akan menjadi ancaman bagi kesehatan dengan
masuknya virus SARS maupun Ebola. Meningkatnya kebutuhan masyarakat
dunia memberi keuntungan ekonomi bagi suatu bangsa. Namun, juga akan
memberi dampak negatif dengan adanya eksploitasi besar-besar terhadap sumber
daya alam.
Dengan demikian, globalisasi dapat dilihat dari 2 (dua) sisi, sebagai
peluang dan ancaman (Herimanto dan Winarno, 2010:90). Sebagai peluang,
globalisasi memberi pengaruh positif bagi bangsa Indonesia. Budaya disiplin,
kebersihan, tanggung jawab, kerja keras, menghargai orang lain, optimis, dan
mandiri sebagai peradaban luar berkontribusi positif bagi kemajuan bangsa
Indonesia. Kesemua nilai-nilai tersebut semakin penting dan berkembang ketika
pengaruh globalisasi mulai muncul.
Sebagai ancaman, globalisasi lebih banyak berdampak negatif bagi bangsa
Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari merebaknya budaya materialisme,
konsumerisme, hedonisme, sekulerisme, pergaulan bebas, pornografi maupun
pornoaksi, mengagung-agungkan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan lain
sebagainya. Nilai-nilai yang dibawa peradaban global tersebut, terutama budaya
Barat, memberi dampak buruk bagi sikap dan perilaku masyarakat Indonesia.

Ermansyah/2015 66

Anda mungkin juga menyukai