Anda di halaman 1dari 3

Pelaku Repo masih bingung dengan POJK Nomor 9/POJK.

04/2015

POJK Nomor 9/POJK.04/2015 merupakan peraturan yang relatif baru baru yang
mengatur mengenai Transaksi Repo di Indonesia. Sebelumnnya, peraturan yang menyangkut
tentang Transasksi Repo sebatas peraturan mengenai Pasar Modal. POJK Nomor
9/POJK.04/2015 tersebut masih mengalami kendala dalam praktek diantaranya: (i) para pelaku
pasar belum mengetahui adanya peraturan tersebut dan (ii) apabila pelaku pasar mengetahui
POJK Nomor 9/POJK.04/2015 tersebut, enggan melaksanakannya.

Permasalahan dalam sistem pembuatan peraturan tidaklah mudah. Membutuhkan waktu,


tenaga dan biaya yang cukup mahal. Proses pembentukan peraturan tersebut meliputi beberapa
tahap: (i) Perencanaan; (ii) Penyusunan; (iii) Pembahasan; (iv) Pengesahan dan (v)
Pengundangan.1 Setelah memahami proses pembuatan peraturan, dibutuhkan naskah akademik,
penyebarluasan, serta sumber bahan dan informasi peraturan perundang-undangan. Tidak kalah
penting dalam penyusunan tersebut salah satunya adalah memperhitungkan efektivitas peraturan
perundang-undangan tersebut dalam masyarakat, baik secara filosofis, sosiologis, maupun
yuridis.

Suatu peraturan yang baru, POJK Nomor 9/POJK.04/2015 tidak terkecuali, tentu sudah
melalui proses tersebut di atas. Menjadi permasalahan adalah mengapa para pelaku pasar enggan
mengikuti peraturan tersebut? Jawaban dari pertanyaan tesebut paling tidak ada beberapa
diantaranya: (i) pelaku tidak mengetahui peraturan tesebut, (ii) pelaku mengetahui tapi tidak
sejalan dengan kebiasaan yang telah ada dalam pasar, (ii) pelaku pasar memilih tidak
melaksanakan peraturan tersebut akan tetapi melakukan transaksi berdasarkan atas manfaat atau
keuntungan.

Fiksi hukum telah secara jelas dan gamblang menyebutkan bahwa orang diangap tahu
akan hukum.2 Dengan demikian POJK Nomor 9/POJK.04/2015 harus dilaksanakan oleh para
pelaku Repo. Apabila suatu peraturan tidak sejalan dengan keinginan masyarakat, dalam hal ini
pelaku Repo, dapat dipastikan terdapat perbedaan kepentingan pelaku Repo. Secara logika dapat
dipahami bahwa suatu peraturan pasti tidaklah mungkin mampu mengakomodir semua stake
holders, akan tetapi paling tidak peraturan tersebut mampu mengakomodasi sebagian besar stake
holders. Dengan demikian suatu peraturan seharusnya berdasarkan atas tuntutan perilaku
masyarakat dan pembuat undang undang seharusnya memahami behavior of law atau perilaku
hukum.

1
http://setkab.go.id/apa-yang-perlu-diketahui-untuk-membuat-peraturan-perundang-undangan/, diakses pada 15 Juni
2017.
2
Dengan kata lain bahwa Fiksi Hukum (presumptio iures de iure) menyatakan semua orang dianggap tahu akan
hukum, dengan demikian para pelaku pasar seharusnya mengetahui karena berhubungan dengan bisnis yang
dijalankan karena ada suatu konsekuensi apabila tidak menerapkan peraturan tersebut.
Hukum adalah perilaku sistem. Sistem yang berusaha membentuk perilaku manusia.3
Mengubah perilaku masyarakat atau pelaku Repo dengan menggunakan suatu aturan tidaklah
mudah. Hal tersebut dikarenakan salah satunya adalah perilaku pelaku Repo. Para pelaku Repo
yang sudah terbiasa melakukan transaksi harus mengubah dengan adanya suatu peraturan. Hal
terpenting adalah mengedukasi pelaku Repo melalui sosialisasi peraturan. Sosialisasi tersebut
dapat dilakukan melalui seminar dan pengumuman di media massa. Dengan demikian masukan
dari pelaku Repo dapat diserap dan dijadikan sebagai bahan utama pembentukan peraturan.

Risiko dari peraturan yang tidak efektif adalah bertambahnya permasalahan yang muncul
yang justru dari adanya peraturan tersebut. Dalam konteks Transasksi Repo masih banyaknya
pelaku yang tidak mengikuti aturan POJK Nomor 9/POJK.04/2015. Melalui peraturan tersebut,
pemerintah sebenarnya telah berusaha menjadikan suatu payung hukum bagi pelaku dan
melindungi pelaku Repo. Hanya saja perlindungan tersebut dianggap masih kurang. Sebagai
contoh adanya pajak yang terlalu besar atau malah pajak ganda. Masalah pajak tersebut justru
menjadi pemicu pelaku Repo tidak bersedia mengikuti POJK Nomor 9/POJK.04/2015 karena
secara cost akan bertambah. Dampak dari bertambahnya suatu cost adalah tidak efisien.

Permasalahan selanjutnya adalah dalam Transaksi Repo belum adanya kesepakatan


pelaku pasar menggunakan GMRA yang telah diatur oleh pemerintah. Tujuannya adalah agar
semua Transaksi Repo menjadi standart. Standarisasi tersebut penting karena untuk
memudahkan penyelesaian sengketa para pelaku Repo.

Pemerintah melalui OJK sudah menyediakan lembaga penyelesaian sengketa khusus


pasar modal yaitu arbitrase. Ketidak efektifan dari lembaga penyelesaian sengketa tesebut
diantaranya memakan waktu yang lama dan biaya yang tidak murah guna membayar arbitrator.
Secara logika pelaku lebih memilih melalui mediasi yang lebih efisien. Salah satu cara agar
lembaga arbitrase tersebut efektif dan terpercaya adalah biaya yang murah serta arbitrator yang
mumpuni dibidangnya masing masing. Durasi waktu penyelesaian menjadi vital sehingga para
pelaku Repo akan tertarik untuk menyelesaikan sengketa di arbitrase karena lebih efisien secara
waktu. Selain efektifitas dan kerahasiaan yang terjamin, output yang dihasilkan juga dapat
dipertanggungjawabkan baik dari segi hukumnya mamupun dari segi ekonomisnya.4

Lembaga arbitrase tersebut masih memiliki kekuarangan diantaranya cost yang harus
dikeluarkan para pihak. Cost tersebut antara lain:5 (i) biaya pendaftaran; (ii) biaya arbiter dan
lain lain. Permasalahan selanjutnya apabila arbitrase telah memutus sengketa, putusan tersebut
perlu didaftarkan di pengadilan guna memiliki kekuatan hukum tetap.6 Dengan demikian
walaupun salah satu pihak yang menang bermaksud melakukan eksekusi putusan arbitrase, perlu

3
Thomas S. Ullen, The Importance of Behavioral Law, dalam The Oxford handbook of behavioral economics and
the law/edited by Eyal Zamir and Doron Teichman, (Oxford, Oxford University Press 2014), Hlm. 93.
4
Bambang Sutiyoso, Hukum Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, (Yogyakarta, Gama Media 2008),
hlm. 40.
5
Lebih lengkap lihat: http://www.bapmi.org/in/biaya_arbitrase.php, diakses pada 15 Juni 2017.
6
Lihat Undang Undang 30/99 tentang Arbitrase dan Alternatif penyelesaian Sengketa.
adanya surat dari pengadilan. Hal tersebut sekiranya menghambat atau paling tidak
mempengaruhi perilaku pelaku Repo menyelesaikan sengketa lewat jalur arbitrase. Padahal
BAPMI sendiri menghimbau apabila terjadi sengketa selalu memasukan klausula arbitrase
sebagai alternatif penyelesaian sengketa.

Secara kontraktual memang tidak dapat dipaksakan penyelesaian kasus perdata di bidang
pasar modal diselesaikan lewat BAPMI. Hal tersebut membuat pelaku pasar memilih
menyelesaiakan sengketa melalui pengadilan maupun mediasi.7

Diantara BEI dan BAPMI tidak terdapat hubungan koordinasi ataupun hubungan lainnya
meskipun keduanya merupakan lembaga di pasar modal. Dengan demikian BEI secara lembaga
tidak memiliki peran di BAPMI.8 Hal tersebut seharusnya menjadi perhatian agar memudahkan
para pelaku pasar modal menyelesaikan sengketanya.

7
Herliana dan Irna Nurhayati, Efektifitas Pembentukan Bada Arbitrase Pasar Modal (BAPMI) Dalam Menunjang
Kegiatan pasar Modal, Mimbar Hukum, Vol 22, No. 3, Oktober 2010, Hlm. 568.
8
Ibid.

Anda mungkin juga menyukai