Anda di halaman 1dari 18

BAB 3

Sumber-sumber Hukum Internasional

Pembahasan dalam bab ini akan ditujukan pada sumber-sumber hukum internasional.
Sumber hukum menempati kedudukan yang sangat Penting dan merupakan faktor yang
menentukan dalam penyelesaian sengketa dalarn masyarakat internasional. Untuk menemukan
sumber-sumber hukum dalarn hukum internasional tidak' semudah sebagaimana halnya sumber-
sumber hukum nasional. Hukum internasional memiliki keunikan tersendiri, terutama ketiadaan
pernyataan secara eksplisit yang menyebutkan apa sumber-sumber hukum internasional itu
sendiri. Apalagi hukum internasional tidak memiliki organ-organ yang pada umumnya hadir di
tingkat kekuasaan nasional, seperti lembaga legislatif, eksekutif, judikatif.' Hal ini yang
kemudian menjadika~ hukum internasional dikenal sebagai sistem hukum yang terdesentralisir.

Adapun Pasal 38 (1) dari Statuta the International Court of Justice (ICJ)2 ti yang
sebelumnya merupakan tuntunan bagi the Permanent Court of Interna, tional Justice (PCIJ)-
tidak lebih hanya sebagai 'titik awal' bagi penyebutan 'sumber-sumber' hukum internasional.
Sementara itu sumber hukuri internasional menurut ketentuan ICJ yaitu: (i) perjanjian
internasional (interna, tional conventions); (ii) kebiasaan internasional (international custom);
(iii)

Sumber-sumber Hukum Internasional

Pembahasan dalam bab ini akan ditujukan pada sumber-sumber hukum internasional.
Sumber hukum menempati kedudukan yang sangat Penting dan merupakan faktor yang
menentukan dalam penyelesaian sengketa dalarn masyarakat internasional. Untuk menemukan
sumber-sumber hukum dalarn hukum internasional tidak' semudah sebagaimana halnya sumber-
sumber hukum nasional. Hukum internasional memiliki keunikan tersendiri, terutama ketiadaan
pernyataan secara eksplisit yang menyebutkan apa sumber-sumber hukum internasional itu
sendiri. Apalagi hukum internasional tidak memiliki organ-organ yang pada umumnya hadir di
tingkat kekuasaan nasional, seperti lembaga legislatif, eksekutif, judikatif.' Hal ini yang
kemudian menjadika~ hukum internasional dikenal sebagai sistem hukum yang terdesentralisir.

Adapun Pasal 38 (1) dari Statuta the International Court of Justice (ICJ)2 ti yang
sebelumnya merupakan tuntunan bagi the Permanent Court of Interna, tional Justice (PCIJ)-
tidak lebih hanya sebagai 'titik awal' bagi penyebutan 'sumber-sumber' hukum internasional.
Sementara itu sumber hukuri internasional menurut ketentuan ICJ yaitu: (i) perjanjian
internasional (interna, tional conventions); (ii) kebiasaan internasional (international custom);
(iii) prinsip-prinsip hukum umum (general principles of law); dan (iv) putusanputusan
Pengadilan Internasional (judicial decissions) dan ajaran-ajaran ahli hukum dari berbagai negara
yang memiliki reputasi internasional (the teachings of the most highly qualified publicists of the
various nations), yang dinyatakan sebagai sumber pelengkap. Mengingat dinamika yang dialami
oleh hukum internasional cukup tinggi maka muncul usulan dari para penulis untuk
menggantikan konsep sumber hukum secara keseluruhan, misal dengan penggunaan istilah
'recognized manifestations of international law'. Usulan yang lebih moderat adalah munculnya
keinginan untuk diakuinya sumbersumber tambahan. Akan tetapi, dalam prakteknya ICJ masih
berpegang pada konstruksi Pasal 38 ini.

Dalam proses pembuatannya para perancang tidak memiliki keinginan lain kecuali untuk
mencantumkan sumber-sumber yang telah diakui.4 Oleh karena itu, apabila timbul pertanyaan
apakah sumber-sumber dalam 38 (1) bersifat exhaustive maka, jawabannya sudah pasti tidak.s
Pada saat ini telah terdapat upaya dari ICJ sendiri untuk mengakui sumber tambahan lain selain
yang tercantum dalam 38 (1). Sehingga, Pasal 38 (1) tidak lebih hanya sebagai starting point bagi
pengidentifikasian sumber-sumber hukum internasional.

Persoalan lain yang tercakup dalam bab ini adalah mengenai 'relative normativity' yang
berkaitan dengan sifat dan struktur hukum internasional itu sendiri, yang kemudian melibatkan
persoalan-persoalan seperti hirarki antar sumber-sumber dan aturan mengenai hukum (the rule of
recognition) yang memiliki kekuatan yang mengikat.' Dengan kata lain, sifat relativitas
mengikatnya norms hukum internasional sangat tergantung pasta tantangan hirarkisnya dalam
pengakuan masyarakat internasional.

A. Pembedaan Sumber-sumber Hukum Internasional

Pada umumnya para penulis hukum internasional sudah baku untuk nlembedakan antara
sumber hukum formal dan sumber hukum material.8 Pembedaan lain selain yang di atas adalah
memberikan pembedaan antara sumber-sumber kongkrit dengan sumber-sumber yang abstrak
(intangible).' Pembahasan di sini hanya ditujukan kepada distingsi antara sumber hukum formal
dan material. Sumber yang pertama atau formal adalah prosedur hukum dan metode bagi
pembentukan mengenai aturan untuk pengenaan secara umum mengikat secara hukum kepada
pihak-pihak yang dituju. Sedang surer hukum dalam arti material adalah sumber hukum dalam
pengertian asal mula atau asal-usul hukum itu sebenarnya, yaitu materi-materi atau bahan-bahan
yang membentuk atau melahirkan kaidah atau/dan norma tersebut, sarnpai dinamakan hukum
yang mempunyai kekuatan mengikat.

Sumber-sumber material secara sederhana merupakan aturan-aturan dari hukum


internasional misal: traktat, resolusi Majelis Umum, putusan hukum, proposal dari the
International Law Commission, sebuah 'restatement' yang dinyatakan oleh sekelompok orang
terpelajar, dan lain-lain. Sedangkan surhber formal adalah sumber yang menentukan sebuah
aturan sebagai rule of law, mengikat terhadap negara-negara, yang ditentukan oleh sumber-
sumberformal yang telah diidentifikasi oleh Pasal 38 Statuta ICJ." Sebagaimana dikemukakan
Harris, bahwa sebuah aturan akan mengikat bilamana telah memequhi ketentuan bagi sebuah
kebiasaan (custom), yang merupakan sumber formal.
Sedangkan sebagai sumber material adalah substansi yang terlihat pada praktek yang
dilakukan oleh negara-negara.12 Pembedaan sumber-sumber hukum material dan formal oleh
Brownlie13 dan Shaw 14 dianggap tidak relevan dalam hukum internasional, sebab sifat dan
karakter dari hukum internasional itu sendiri yang sama sekali berbeda dengan hukum nasional.

Dengan meminjam tekhnik pengklasifikasian terhadap aturan-aturan hukum dari Profesor


H.L.A. Hart,15 Hugh Thirlway membedakan antara aturanaturan utama (primary rules) dan
aturan-aturan sekunder (secondary rules) .16 Meskipun pembedaan ini berasal dari pembedaan
yang ditujukan oleh Hart untuk sistem hukum nasional, namun pembedaan ini cukup menolong
untuk memahami sifat sumber-sumber hukum internasional.

Dalam setiap sistem hukum terdapat sekumpulan prinsip-prinsip dan aturan-aturan yang
menjabarkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban subjek dari sistem tersebut yang kemudian
dikenal sebagai aturan-aturan utama (primary rules). Sedangkan, tiap-tiap sistem juga memiliki
aturan-aturan yang ditujukan untuk menetapkan apa yang termasuk aturan-aturan utama dan
bagaimana aturan-aturan tersebut dapat mewujud. Bagaimana pula aturanaturan diterapkan dan
merubahnya. Bagian terakhir ini kemudian diistilahkan sebagai aturan-aturan sekunder. Dalam
hukum internasional, aturan sekunder dinyatakan sebagai sumber-sumber hukum internasional,
yang aturan-aturannya memungkinkan bagi penentuan aturan-aturan utama, yang mengatur
tindakan aktual dan procedural dari negara-negara.

Terdapat beberapa pertanyaan'mengapa negara harus mengikuti mematuhi aturan-aturan


utama?' karena aturan ini tersedia dalam suatu'perjanjian dan negara tersebut merupakan
pesertanya (treaty-law)'; Kemudian, mengapa negara harus mematuhi hukum perjanjian. Sebab,
negara terikat dengan 'prinsip pacta sun servanda'. 'Apakah ada prinsip yang lebih tinggi dari
pacta sun servanda?' Pasal 38 (1) Statuta IC) menyatakan dalam memutuskan sengketa
internasional harus mendasarkan pada hukum internasional, yakni menerapkan traktat dan
kebiasaan yang ada; merupakan pengakuan akan traktat sebagai salah satu sumber formal.
Sedangkan Statuta merupakan sumber material dari aturan-aturan sekunder dari treaty make
law."

B. Pasal 38 (1) Statuta ICJ

Pencarytuman sumber hukum internasional yang telah dijadikan rujukan sebagai sumber
otoritatif dapat ditemukan pada Pasal 38 dari the Statute of International Court of Justice (Statuta
Mahkamah Internasional). Pasal tersebut secara implisit memberikan daftar sebagai berikut: (a)
Perjanjian Internasional (international conventions), apakah yang berlaku partikular maupun
umum, yang kemudian menunjukan aturan-aturan yang disetujui oleh negara-negara yang
terkait; (b) Kebiasaan internasional (international custom), sebagaimana yang telah dibuktikan
dan diterima sebagai hukum; (c) prinsip-prinsip hukum umum (the general principles of law
recognized by civilized nations) yang dikenal oleh bangsa-bangsa beradab; dan (d) Putusan-
putusan peradilan dan ajaranajaran para sarjana, the most highly qualified publicists, sebagai
tambahan bagi pengambilan putusan.

Mengingat Pasal 38 ini merupakan adopsi dari Pasal 38 statuta PCI) sebelumnya,19 maka
prinsip-prinsip hukum umum dapat digunakan.20 Kemudian pada paragraf 2 diberikan
pernyataan untuk memberikan kekuasaan bagi Pengadilan untuk memutuskan kasus secara
pantas dan adil (ex aequeo et bono) berdasarkan prinsip-prinsip umum. Kekuasan pengadilan
untuk memutus berdasar pada perti.mbangan hakim atau arbitrator sebagai 'the fairest solution in
the circumstances' tanpa mempertimbangkan aturan yang berlaku.21 Pemutusan kasus secara ex
aequo et bono pernah diusulkan oleh hakim Oda, walau tidak pernah diminta oleh para pihak
yang bersengketa. Namun, dalam kaitan dengan persoalan yang rumit, dasar persetujuan pihak-
pihak yang bersengketa secara diam (tacit consent) memungkinkan putusan dengan dasar ex
aequeo et bono dapat diputuskan.

Dalam perkembangannya, sumber hukum internasional menjadi lebih kompleks yang


kemudian mendorong para sarjana menambah daftar panjang dari sumber hukum yang telah ada.
Kebiasaan Internasional, Perjanjian Internasional atau traktat, keputusan pengadilan, doktrin atau
pendapat para sarjana, keputusan-keputusan atau resolusi-resolusi organisasi Internasional, dan
lain-lain.

Dengan tidak adanya pernyataan secara tegas mengenai sumber-sumber hukum di atas,
semakin menunjukan bahwa hukum internasional bersifat fleksibel atau responsif terhadap
perubahan dan perkembangan baru. Sehingga bilamana dibandingkan dengan suasana dan
keadaan pada waktu dirumuskannya Statuta Mahkamah Internasional. Rumusan dan para sarjana
tersebut berbeda jauh dengan pasal yang tercantum dalam 38 ICJ.

Kritikan lain yang perlu diperhatikan adalah yang diberikan kelompok feminis yang
menganggap hukum internasional masih berlaku pemusatan peran negara (state-centred) dengan
mengabaikan aktor-aktor non-negara. Karena sudah menjadi bukti yang tak terbantahkan, bahwa
aktor-aktor nonnegara (non-state actors) telah menggantikan peran negara-negara secara
signifikan dalam hukum internasional, seperti penegakan HAM dan lingkungan dan sifat non-
diskriminatif terhadap ras.24 Lahirnya organisasi non-pemerintahan di berbagai penjuru dunia
dan ikut terlibat dalam proses pembentukan hukum internasional merupakan petunjuk yang
signifikan.

C. Sumber-sumber Hukum Internasional 1. Traktat yang Berlaku

Traktat, dalam pengertian luasnya, adalah perjanjian antara pihak-pihak peserta atau
negara-negara di tingkat internasional.25 Traktat memiliki pengertian yang mencakup beragam
perjanjian dengan nama yang beragam pula.26 John O'Brien merangkum beberapa prinsip yang
menjadi dasar dari traktat. Pertama, traktat muncul diakibatkan oleh persetujuan. Kedua, negara
yang memberikan persetujuannya terikat untuk memberlakukannya sebagaimana yang
diinginkan oleh traktat terhadap pihak lain. Ketiga, dalam hal traktat tersebut mengkodifikasi
Kebiasaan, maka para negara-peserta terikat oleh traktat yang menurut prinsipprinsip
umum. Keempat, dalam hal bukan negara-peserta, yang dimaksud oleh prinsip ketiga, maka
traktat tetap mengikat berdasar pada alasan kewajibannya muncul sebagai akibat dari kebiasaan.
Terakhir adalah traktat multilateral pada umumnya, dibentuk di bawah the International Law
Commission, dengan tujuan untuk terciptanya pembentukan hukum internasional yang progresif,
yang tentunya melibatkan kodifikasi atas hukum kebiasaan.

Dalam hal pelaksanaannya, sebagaimana dinyatakan Pasal 26 Viena Convention of Law of


Treaties yang mencerminkan maxim pacta sun servanda, tiap traktat mengikat para pesertanya
dan harus dilaksanakan dengan niatan baik.28 Sebagai konsekuensinya, traktat tidak dapat
mengikat pihak-pihak yang tidak ikut serta sebagai negara-peserta. Pengakuan atas prinsip ini
disebut sebagai prinsip perjanjian yang dilakukan oleh pihak lain tidak memberikan keuntungan
ataupun kerugian terhadap pihak luar (res inter alios acta nec nocet nec prodest) dan ditemukan
dalam Pasal 34 the 1969 Vienna Convention on the Law of Treaties (VCLT).

Prinsip lain yang penting untuk dinyatakan di sini adalah clausula rebus sic stantibus, suatu
prinsip yang menegaskan bahwa negara peserta dapat mengambil langkah yang ditujukan untuk
mengesampingkan kewajiban yang dikehendaki oleh traktat. Dengan adanya klausula ini maka
Pengadilan atau Petugas Eksekutif dapat menafsirkan kewajiban yang dibebankan oleh traktat
secara lebih liberal.

Traktat lebih mirip dengan kontrak yang dikenal dalam hukum nasional. Oleh karena itu,
traktat hanya mengikat terhadap pihak-pihak yang turut-serta dalam traktat yang dimaksud.
Untuk menyatakan adanya kehendak untuk terikat harus dinyatakan melalui tindakan yang
disebut dengan ratifikasi. Sehingga tidak mengherankan apabila prinsip hukum romawi pacta sun
servanda menempati titik sentral dalam pembahasan terhadap hukum traktat. Perlu diketahui di
sini bahwa prinsip tersebut tidak terlepas dari peran para sarjana hukum sipil yang sangat
mendominasi ilmu hukum pada masa-masa Renaissance sampai abad kesembilanbelas.

Mengingat traktat memiliki natur sebagaimana halnya kontrak, maka persetujuan dari para
pihak memiliki tempat sentral untuk lahirnya kewajibankewajiban dan hak-hak yang dibebankan
oleh traktat. Pertanyaannya sekarang adalah apakah sebuah traktat yang dihasilkan di bawah
paksaan (duress) dapat melahirkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang mengikat. Apabilad
iperhatikan Konvensi Wina 1969 mengenai Traktat pada Pasal 52 maka jelas prinsip yang
tedapat dalam hukum lokal tersebut diadopsi oleh hukum internasional.

Akan tetapi, terdapat pengecualian dalam hal traktat itu sendiri telah menjadi kebiasaan
atau terdapatnya persetujuan antara negara-peserta dan non-peserta setuju untuk meluaskan
jangkauan traktat original kepada negara ketiga.31 Sebagaimana terformu Iasi kan, nantinya
dalam model perjanjian melibatkan banyak negara (multilateral treaty). Dalam kaitannya dengan
hukum nasional, hukum nasional tidak boleh dijadikan dalih bagi kegagalan penunaian
kewajiban dalam traktat (Pasal 27).
Sebuah traktat dalam pembentukannya, pada umumnya, terlebih dahulu melalui
perundingan-perundingan yang alot; hal mana tidak terlepas dari keinginan supaya
terakomodasinya kepentingan semua pihak. Disamping itu, tidak lepas dari sifat traktat yang
mirip dengan kontrak. Setelah semua pihak merasa puas dengan hasil dari perundingan-
perundingan yang telah dilakukan, organ eksekutif menyerahkan kepada lembaga legislatif,
sebagai bagian dan fungsi kontrolnya, untuk diminta persetujuannya. Setelah itu maka traktat
tersebut diundangkannya yang selanjutnya mengikat negara peserta tersebut.

Teknik penafsiran terhadap traktat tidak terlepas dari konteks yang menyertai lahir ataupun
situasi ketika traktat tersebut digunakan. Dalam kaitannya dengan situasi ketika sebuah traktat
tidak dimungkinkan untuk dijalankan secara penuh, maka penafsiran akan dilakukan lebih liberal
sebagai akibat dari penggunaan clausula rebus sic stantibus. Selain itu, para perancang traktat
pun_ pada umumnya telah mengantisipasi keadaan-keadaan yang akan datang. Dalam
merancang aturan-aturan yang tekhnis, seperti mengenai regulasi pengenaan pajak, mereka
cenderung menggunakan kata-kata yang ketat. Sehingga, penafsiran yang dihasilkan bersifat
antisipatif. Dan traktat model ini cenderung tidak ditujukan untuk jangka waktu yang lama.
Sedangkan bagi traktat-traktat yang memiliki tujuan yang lebih umum, kalimat yang digunakan
pun cenderung abstrak. Sebagai contoh adalah traktat mengenai HAM atau bahkan Piagam PBB
sendiri. Dalam traktat mengenai HAM digunakannya istilah keadilan (fairness) dan public ordre
merupakan salah satu bukti.

a) Treaty of Contract

Sebagai sumber hukum, traktat memiliki dua model, pertama Treaty of Contracts
(perjanjian khusus atau perjanjian tertutup) adalah perjanjian yang hanya melahirkan suatu
kaidah hukum atau hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang hanya berlaku antara pihak-pihak
yang bersangkutan saja. Jadi, pihak-pihak hanya meliputi yang memprakasai pembentukan
perjanjian itu, mulai dari pendekatan-pendekatan atau kontrak-kontrak secara tidak resmi,
setengah resmi maupun resmi, melakukan perundingan, menandatangani dan atau meratifikasi
atau mengikatkan diri pada naskah perjanjian yang disepakatinya itu.34 Sebagai contoh adalah
traktat-traktat yang mengatur mengenai persetujuan penyelesaian sengketa antara dua negara
misal mengenai utang-piutang, menentukan perbatasan antara kedua negara, persetujuan untuk
membayar sejumlah uang sebagai akibat tindakan yang merugikan warga negara asing. Oleh
karena itu, makin jelaslah bahwa traktat tidak memiliki kesamaan sebagaimana halnya Undang-
Undang yang terdapat dalam sistem hukum nasional.

Akan tetapi, traktat model itu pun dapat mengikat pihak-pihak lain apabila syarat-syaratnya
terpenuhi dan setelah melalui proses-proses yang ditentukan bagi terbentuknya sebuah
kebiasaan. Dengan kata lain, traktat model ini pun dapat berubah menjadi kebiasaan dalam hal:
(i) terdapat beberapa traktat serupa yang memiliki aturan-aturan yang sama (a series or a
recurrence of treaties laying down similar rule)- (ii) adanya penerimaan secara sukarela oleh
negara-negara non-peserta; dan (iii) traktat tersebut menjadi penting nilainya dengan hadirnya
sebuah proses yang menciptakan peraturan hukum.

b) Perjanjian Multilateral

Model kedua, kelompok traktat yang sifatnya terbuka (multilateral treaty), adalah
perjanjian-perjanjian yang ditinjau dari isi atau kaidah hukum yang dilahirkannya, dapat diikuti
oleh negara-negara lain yang semula tidak ikut serta dalam proses pembuatan perjanjian
tersebut.36 Law making treaty, perjanjian membuat hukum memiliki orientasi ke depan dan
ditujukan untuk ditaati secara berkelanjutan. Perjanjian ini merupakan penjabaran aturan yang
umum yang disertai dengan sifat multilateral dalam hal keanggotaan dan pelaksanaannya tidak
akan bertentangan dengan kewajiban dari traktat lainnya.

Perlu diperhatikan bahwa traktat multilateral merupakan sebuah traktat yang pada
umumnya memuat dua hal. Pertama, tidak lebih hanyalah merupakan pernyataan atas ketentuan
hukum yang telah ada. Kedua adalah sebagai bentuk dari upaya pengembangan hukum
internasional yang progresif oleh Komisi Hukum Internasional ILC.38 Sebagai contoh adalah
Konvensi Wina 1969 mengenai Traktat atau VCLT yang merupakan campuran antara kedua
unsur tersebut.

Implikasi dari perjanjian multilateral adalah timbulnya kewajiban yang dibebankan kepada
negara-negara, baik sebagai peserta maupun bukan adalah sebagai berikut. Kewajiban yang
dikenakan terhadap negara-negara peserta merupakan kewajiban yang mengikat sebagaimana
yang dimiliki oleh suatu negara peserta terhadap traktat biasa. Sedangkan terhadap negara-negara
non-peserta traktat multi-lateral mengikat selama ketentuan-ketentuan yang ada mencerminkan
hukum kebiasaan. Jadi, kewajiban yang muncul adalah disebabkan karena norma ..atau
kewajiban tersebut berasal dari hukum yang sebelumnya terdapat dalam ;kebiasaan yang
kemudian dimodifikasi dalam traktat multilateral.

2. Hukum Kebiasaan Internasional

Kebiasaan merupakan sumber hukum yang asli bagi hukum internasional. Dan kebiasaan
dipandang sebagai sumber yang paling tua." Akan tetapi, pada saat ini kebiasaan tidak lagi
dominan sebagaimana pada masa sebelumnya. Hal ini disebabkan oleh karena makin tingginya
aktivitas Komisi Hukum Internasional (ILC) dalam pembentukan traktat multilateral. Kebiasaan
merupakan hukum yang mengikat yang berasal dari praktek-praktek yang telah dilakukan oleh
negara-negara.

a) Custom dan Usage

Terhadap kebiasaan ini perlu dibedakan antara maksud dari penggunaan istilah custom
dengan usage. Usage merupakan sebuah praktek yang tidakmengikat atau tidak memiliki
kekuatan hukum. Hubungan antara kebiasaan dan usage adalah sebagai berikut: Usage
merupakan awal bagi terbentuknyasebuah kebiasaan. Jadi, bisa dikatakan ketika usage berakhir
maka kebiasaan' lahir. Perbedaan antara keduanya terdapat pada usage merupakan kebiasaan,
internasional (international habit of action) yang belum bisa dikatakan telahl mengandung
kewajiban hukum yang penuh (received full legal attestation).

Bahkan, usage bisa dikatakan masih memiliki konflik; sementara itu, kebiasaano haruslah
seragam (unified) dan self-consistent.42 Di samping itu terdapatZ perbedaan antara kebiasaan
yang memiliki kekuatan sebagaimana layaknyaf sebuah hukum dan tatakrama internasional
(international comity).43 DengarP demikian, yang dimaksud dengan kebiasaan internasional
adalah perilakU' atau praktek negara-negara yang dilakukan dalam pergaulan internasional,' yang
berlaku secara umum dan telah diakui atau diterima sebagai bagiaril hukum internasional.

Kebiasaan dapat ditemukan dalam berbagai macam bahan, misal, tindakan aktual dari
negara-negara, pemahaman yang masih kasar mengenai tindakantindakan negara yang
dikumpulkan dari terbitan-terbitan, mulai dari pemberitaan media masa, statements yang dibuat
oleh pemerintah ke legislatif, ke Media Masa, dalam pertemuan internasional dan dalam
pertemuan-pertemuan dalam organisasi internasional.4S Bahkan kebiasaan dapat ditemukan
dalam tulisantulisan yang dihasilkan oleh para ahli hukum internasional, dan dalam putusan-
putusan pengadilan nasional maupun internasional.

b) Kebiasaan sebagai Hukum

Bagaimana caranya agar kebiasaan internasional dapat menjadi bagian dari norma hukum
internasional? Pada umumnya pada saat ini para ahli hukum menuntut supaya hadirnya dua
elemen sehingga doktrin ini Iebih dikenal sebagai the two elements theory. Sejak 1920, doktrin
tersebut mendapatkan penguatan. Doktrin tersebut beranggapan timbulnya kebiasaan ada hanya
apabila telah memenuhi dua syarat, yakni:

a. Perilaku itu haruslah merupakan fakta dari praktek atau perilaku yang secara umum
telah dilakukan atau dipraktekkan oleh negara-negara (the evidence of material fact);
b. Perilaku yang telah dipraktekkan secara umum tersebut, oleh negara-negara atau
masyarakat internasional, telah diterima atau ditaati sebagai perilaku yang memiliki
nilai sebagai hukum yang dalam istilah teknisnya dikenal sebagai opinio juris sive
necessitatis atau singkatnya opinio juris.

Poin terakhir diadopsi oleh ICJ: '[n]ot only must the acts concerned amount to a settled
practice, they must also be such, or be carried out in such a way, as to be evidence of a believe
that this practice is rendered obligatory by the existence of a rule of law requiranig it'.48 Walau
teori ini telah mendapat dasar yang cukup kuat, akan tetapi teori ini masih menimbulkan
kontroversi dengan munculnya anggapan bahwa opinio juris malah sebagai penyebab dilema.
Kritikan ini tidak terlepas dari pemahaman opinio juris itu sendiri yang sangat abstrak
Walau bisa dikatakan problematik, PCIJ dalam kasus Lotus rilehekankan apabila opinio
juris merupakan elemen esensial dalam menyatakan sebuah kebiasaan telah menjadi bagian dari
norma hukum kebiasaan. Tidak lama kemudian dinyatakan kembali dalam kasus North Sea
Continental Shelf, yang kemudian tidak lama setelah itu doktrin two element ini resmi menjadi
bagian yang tak terpisahkan. Namun, keadaan tersebut tetap tidak membuhtikan akan adanya
kemudahan untuk melihat terdapatnya sebuah kewajiban h takum dalam sebuah perilaku.
Majoritas hakim dalam kasus North Sea Continental Shelf menyatakan 'frekuensi' dari sebuah
tindakan tidaklah ct)kup Untuk menyatakan tindakan tersebut sebagai sebuah kebiasaan. Sedan
kin hakim yang menyatakan keberatannya melalui dissenting opinion berpemahaman bahwa
opinio juris dapat ditemukan dalam hal terdapatnya praktek yang konsisten kecuali terdapatnya
kehendak yang jelas-jelas tidak r>nehunjukan terdapatnya hal yang sebaliknya. Atau dengan kata
lain, menurut pemahaman kelompok terakhir, dalam hal ketiadaan pernyataan secara jelas yang r
nyatakan apabila tindakan tersebut tidak dibebani oleh kewajiban hukum rnakatingakan tersebut
dianggap memuat opinio juris.so

c) Praktek, Kebiasaan, dan Hukum Kebiasaan

Dalam menentukan apakah suatu praktek telah menjadi kebia5aznbisa juga kita
menerapkan tes empat tingkat yang mana apabila telah d IF nuhinya maka akan meningkatkan
status dari praktek manjadi kebiasaat Pertama, durasi, yang dituntut adalah konsistensi dan
kelaziman dari praktek sangat dibutuhkan, durasi merupakan bagian yang tak terpisahkan. Akan
tetapi, tidak ada tuntutan untuk sebuah waktu yang lama sebagaimarna Yang telah ditunjukan
oleh Pengadilan Internasional. Kedua, kesamaan dari konsitensi praktek, kesamaan secara
keseluruhan tidak dituntut, namun dittu(1tut adanya kesamaan secara substansial. Ketiga, praktek
yang sudah umum, yai<i sebagai aspek yang melengkapi konsistensi, disinipun tidak dituntut
ur'"ersalitas, namun seberapa jauh adanya penolakan dari negara-negara dal ar' kaitannya dengan
praktek negara-negara lain. Keempat, adalah yang dimakyud dengan opinio juris yang mana
disini praktek yang dilakukan tidak han'a ddasarkan oleh motif lain selain adanya keyakinan dan
rasa wajib untWk mematuhi kebiasaan tersebut sebagai bagian dari kewajiban hukum.

Hal 62

d) Kebiasaan dan Traktat

Hubungan antara kebiasaan dan traktat bisa dinyatakan sebagai berikut. Pada umumnya
kebiasaan dan traktat saling melengkapi. Hal ini tidak terlepas dari fungsi utama Komisi Hukum
Internasional (ILC) yang ditugasi untuk melakukan pembangunan hukum yang progresif dan
melakukan kodifikasi terhadap hukum kebiasaan. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan
apabila pada umumnya traktat multilateral merupakan pernyataan kembali dari norma-norma
yang sebelumnya telah tergolong kedalam norma kebiasaan. Akan tetapi dalam hal terdapat
pertentangan antara kebiasaan dan traktat, keadaan akan menjadi lebih rumit. Singkatnya,
pertentangan antara kedua sumber hukum harus dikaitkan dengan norma superior, ius cogen atau
peremptory norms. Dalam hal sebuah traktat yang memuat ketentuan norma ius cogen, maka
traktat yang bertentangan dengannya akan batal dengan sendirinya dan begitu pula terjadi dalam
hal keadaan sebaliknya.

3. Prinsip-prinsip Umum Tentang Hukum

Prinsip-prinsip hukum umum, seperti disinggung dalam pasal 38 ayat (1) butir c Statuta
Mahkamah Internasional menyebutkan, adalah prinsip-prinsip atau asas-asas yang fundamental
yang diakui oleh bangsa-bangsa beradab. Sebelumnya, ketentuan ini pernah disebutkan dalam
statuta the Permanent Court of International Justice (PCIJ) Liga Bangsa-Bangsa (LBB). Tujuan
dari pengakuan akan prinsip-prinsip hukum umum ini pada dasarnya untuk menghindari keadaan
yang tak terbatas (open-ended) dan samar-samar.53 Kemudian hal ini diperkuat oleh pengalaman
yang didapati oleh the Advisory Committee of jurists, sebagai perancang Statuta itu sendiri,
yakni suatu keadaan dimana tidak terdapatnya jawaban dalam traktat maupun kebiasaan .54
Hadirnya prinsip-prinsip umum ditujukan untuk dimungkinkannya Pengadilan menggunakan
keadilan yang abstrak (absract justice).

Prinsip-prinsip hukum umum adalah sekumpulan peraturan hukum-hukum dari pelbagai


bangsa dan negara, yang secara universal mengandung kesamaan. Namun, tidak berarti tidak
terdapat perbedaan yang khas antara negara-negara tersebut. Sedangkan kelompok kedua
memahaminya sebagai prinsip-prinsip dalam hukum alam, sebagaimana dipahami oleh Verdross,
yakni transformasi dari prinsip-prinsip universal yang ditujukan untuk seluruh umat manusia.
Dalam perkembangannya kelompok pertama merupakan pemahaman yang dominan pada saat
ini.

Menurut Akehurst dalam menginterpretasikan prinsip-prinsip umum terdapat dua


kelompok yang memberikan pemahaman yang berbeda. Menurut kelompok pertama prinsip
umum hukum internasional ditunjuk oleh butir c. Sedangkan kelompok kedua berpemahaman
apabila prinsip umum yang dimaksud adalah prinsip umum yang terdapat dalam hukum
nasional.57 Menurut kelompok pertama yang dibawah label prinsip-prinsip umum hukum
internasional beranggapan apabila butir c tidak menunjukan pada sumbersumber hukum yang
telah ada. Pemahaman kelompok ini mirip dengan keadaan yang terjadi di Inggris dimana Hakim
dibebaskan untuk menemukan hukum tanpa adanya bimbingan dari Undang-Undang. Hal ini
sangat kontras dengan keadaan dinegara-negara yang menganut hukum sipil yang menuntut
Pengadilan untuk menerapkan aturan yang telah ada sebagaimana yang tercantum dalam
Undang-Undang. Sedangkan kelompok kedua berpemahaman bahwa dengan hadirnya butir c
maka Pengadilan dituntut supaya menggunakan prinsipprinsip hukum lokal yang telah dikenal
oleh hampir seluruh bangsa dalam upayanya mengisi kekosongan aturan. Dengan kata lain,
menurut kelompok terakhir Pengadilan tidak memiliki kewenangan seluas yang diberikan oleh
kelompok pertama.
Bagaimanapun, tidak ada kesamaan antara para sarjana dalam memahami sifat dan prinsip-
prinsip yang dapat dimasukan ke dalam kategori ini. SB Pada masa perancangan Statuta, the
Advisory Committee of jurists dalam kaitannya dengan Pasal 38 (1)(c), Lord Phillimore dari
Inggris dan Mr. Root dari AS, merupakan pencetus ketentuan tersebut, yang menyatakan,
'prinsip-prinsip umum tersebut, telah diterima oleh semua negara sebagai hukum domestik,
termasuk asas-asas dalam hukum acaranya, asas itikad baik dan prinsip putusan Pengadilan yang
mengikat (res judicata) dan lain-lain'.S9 Jadi, pengertian prinsipprinsip umum ini bersifat open
ended, atau luas, sesuai dengan parameter yang dianjurkan oleh Akehurst.

4. Keputusan-keputusan Hakim dan Tulisan-tulisan Para Ahli a) Keputusan Pengadilan

Keputusan Pengadilan walau dinyatakan oleh Pasal 38 sebagai alat tambahan, dalam
kenyataannya hanya mengikat para pihak yang telah memberikan persetujuannya. Dalam hukum
internasional tidak ada tempat untuk menerapkan doktrin preseden, akan tetapi putusan
pengadilan telah mendapatkan tempat di para penulis hukum internasional sebagai 'authoritative
decisions'.6 Penerapan doktrin preseden secara implisit dapat kita saksikan, yang di antaranya,
dalam kasus Interpretation of Peace Treaties dan kasus Exchange of Greek and Turkish
Population. Dalam kasus yang terakhir terdapat rujukan pada putusan sebelumnya, yakni kasus
Wimbledon. Dalam keputusan Mahkamah Internasional, ada pula yang berbentuk pengukuhan
atas norma hukum internasional baru. Isi, jiwa dan semangat yang terkandung di dalamnya
kemudian diikuti oleh negara-negara dalam praktek dan ada pula yang diundangkan didalam
peraturan perundang-undangan nasionalnya.

b) Pengaruh Putusan Terhadap Perkembangan Hukum Internasional

Sebagai contoh adalah Keputusan Mahkamah Internasional pada tahun 1951 yang terkenal
dalam kasus Anglo Norwegian Fisheries Case yang mengukuhkan eksistensi cara penarikan garis
pangkal lurus dari ujung ke ujung (straight base line from point to point). Kasus ini terkait
dengan sikap Norwegia yang menerapkan batas bagi taut teritorial sejauh 4 mil dari titik paling
luar dari 'skjaergaard' yang dilakukannya secara konsisten. Kemudian, Inggris menantang
keabsahan model penarikan batas yang dilakukan oleh Norwegia. Hal ini tidak terlepas dari
pandangan Inggris bahwa jarak 4 mil merupakan klaim yang di luar keumuman yang ada. Akan
tetapi, Pengadilan berpemahaman apabila sistem penarikan batas yang dilakukan oleh Norwegia
telah dilakukan secara konsisten dan tidak menghasilkan protes dari negara-negara lain. Dan
Inggris sendiri tidak pernah membuat protes yang bersifat formal dan jelas atas persoalan ini
sampai 1933. Sehingga, secara keseluruhan menurut Pengadilan Norwegia telah bertindak sesuai
dengan hukum internasional.62 Putusan ini kemudian menjadi rujukan utama bagi persoalan
yang terkait dengan persistent objector atau negara yang menentang secara konsisten terhadap
kebiasaan. Dengan demikian, putusan pengadilan dapat berpengaruh besar terhadap
perkembangan hukum internasional.

c) Pengaruh Putusan Pengadilan Lain


sedangkan putusan pengadilan lain yang menjadi bagian dari sumber hukum internasional
meliputi pengadilan regional dan nasional. Pengadilan regional yang sangat berpengaruh
terhadap hukum internasional adalah putusan pengadilan HAM Eropa di Strasbourg yang telah
dikenal sebagai salah satu pengadilan regional yang kaya akan jurisprudensinya. Bahkan,
Mahkamah Agung (MA) Zimbabwe dalam kasus Ncube v. the State pun menjadikan putusan
pengadilan HAM Eropa sebagai rujukan.63 Bagi putusan pengadilan nasional yang menjadi
rujukan dalam hukum internasional, antara lain, adalah putusan MA Amerika Serikat (AS) dalam
kasus Paquete Habana yang mendemonstrasikan sebuah upaya untuk menyatakan eksistensi
sebuah norma kebiasaan.64 Dan tidak lupa putusan pengadilan internasional ad hoc pun
memiliki pengaruh luar biasa terhadap perkembangan, khususnya, hukum pidana internasional.
Hal ini ditunjukan secara jelas dalam persoalan tindak penyiksaan yang pada saat ini telah
menjadi bagian dari norma kebiasaan.

d) Putusan Arbitrase

Putusan arbitrase pun dalam penulisan hukum internasional sering dijadikan sebagai
pernyataan atas sebuah hukum atau oleh Brownlie dinyatakan 'as authoritative evidence of the
state of the law'.66 Di samping itu, putusan pengadilan internasional pun sering merujuk pada
putusan-putusan dari arbitrator. Brownlie menyatakan setidaknya Pengadilan internasional telah
empat kali merujuk secara terang-terangan kepada keputusan arbitrator tertentu tapi pada
kesempatan lainnya hanya dilakukan secara implisit67 Putusan-putusan arbitrator yang sampai
sekarang masih dijadikan sebagai 'the state of the law', di antaranya, kasus Tinoco, kasus Finish
Ship owners dan kasus Island of Palmas.

e) Tulisan-tulisan Para AM Termashur

Pada masa berjayanya mazhab hukum alam, pengaruh penulis-penulis sangat luar biasa
mengingat praktek dari negara-negara belum begitu dominan.6$ Pada saat ini karya-karya ahli
hukum itu, posisinya dapat dijadikan sebagai bukti adanya hukum kebiasaan internasional.
Namun, perlu ditekankan di sini bahwa tulisan atau karya tersebut walau tidak memiliki bobot
sebagaimana halnya pejabat yang berwenang di suatu negara, telah memiliki peran penting
ketika kekuasaan yang tinggi di tingkat internasional dan tugas para ahli yang semakin berat.

Walaupun pendapat para sarjana mengenai suatu masalah tertentu, bukan merupakan
hukum positif, seringkali dikutip untuk memperkuat argumentasi tentang adanya atau kebenaran
dari suatu norma hukum. Bahkan pendapat para sarjana tersebut, karena wibawa dan
pengaruhnya yang demikian luas, seringkali berkembang menjadi norma hukum positif. Hal ini
dapat kita lihat dari pengaruh tulisan Gidel yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan
hukum laut. Keadaan makin jelas ketika kita dihadapkan kepada kenyataan yang dihadapi oleh
pengadilan nasional.

Pengadilan nasional pada umumnya tidak memahami hukum internasional beserta


kompleksitas yang menyertainya, maka pengadilan nasional lebih cenderung mengambil
pandangan-pandangan para sarjana.70 Lain halnya dengan pengadilan internasional yang pada
umumnya merupakan Orang-orang yang memiliki pemahaman cukup luas terhadap hukum
internasional, mereka menghindari penggunaan pengutipan secara berlebihan untuk menghindari
tuduhan bersikap selektif terhadap keragaman pandangan yang berkembang.

Sumber-sumber lain yang bisa dijadikan sebagai analogi terhadap pandangan para sarjana.
Sebagai contoh, pernyataan American Law Institute (ALI) -yang merupakan asosiasi para
teoritisi dan sarjana hukum AS yang tidak berafiliasi dengan pemerintahannya, tetapi sangat
berpengaruh dalam penentuan status suatu norma.71 Sama halnya dengan resolusi-resolusi dan
laporan yang dihasilkan oleh the Institute of International Law dan organisasi-oraganisasi ahli
lainnya.

perlu juga dikemukakan adalah Harvard Research Draft yang merupakan hasil studi ilmiah
yang dilakukan di bawah institusi sekolah hukum Harvard terhadap sebuah subjek dalam hukum
internasional memiliki bobot yang berpengaruh bagi pernyataan sebuah keadaan hukum. Hal ini
misal ditunjukan dalam bidang hukum pertanggungjawaban negara terhadap orang asing72 dan
mengenai hukum .konsuler 73. Natur dan dokumen ini adalah bersifat pembangunan progresif
terhadap hukum internasional.74 Hal mana lama-kelamaan pendapat ini dapat berkembang dan
memiliki kesamaan pandangan para sarjana maupun anggota masyarakat luas tentang masalah
tersebut.

5. Sumber-sumber Hukum Lainnya

a) Putusan Organ Organisasi Internasional

Putusan-putusan organisasi internasional dapat menjadi sumber hukum internasional.


Organisasi internasional sebagai suatu lembaga, memiliki or, gan-organ yang terstruktur menurut
kebutuhan organisasi itu sendiri dalam rangka mencapai tujuannya.76 Supaya semua organ
tersebut dapat melaksanakan tugasnya dengan baik dan demi terjalinnya hubungan antar organ-
organnya itu, dibutuhkan adanya peraiuran yang berfungsi sebagai aturan permainan (rule of
procedure) yang berlaku intern bagi organisasi internasional itu sendiri, Di samping itu ada pula
yang berupa kesepakatan-kesepakatan yang mengikat sebagai norma hukum terhadap negara-
negara anggotanya. Dan dalam hal tidak memiliki kekuatan mengikat pun resolusi Majelis
Umum memiliki nilai, nilai normatif. Pun dapat dijadikan sebagai awal bagi lahirnya sebuah
aturan baru dalam hukum internasional.

b) Equity

Sumber-sumber hukum lainnya yang merupakan perluasan dari sumber yang ada adalah
prinsip equity yang termasuk bagian dari kategori prinsip hukum umum. Namun, penggunaan
equity bersifat terbatas hanya dalam hal keadaan mendesak yakni dalam hal penggunaan hukum
umum untuk mendapaikeadilan. Secara teoritik fungsi equity bisa dibagi menjadi tiga. Pertama,
equity dapat digunakan untuk mengadaptasikan ketentuan hukum terhadap fakta-fakta yang
terdapat dalam kasus-kasus individual (equity infra legem). Kedua, ditujukan untuk mengisi
kekosongan dalam hukum (equity praeter legem). Ketiga, digunakan sebagai dalih untuk tidak
diterapkannya sebuah hukum yang tidak adil (equity contra legem). Akehurst menyatakan
apabila equity bukanlah sumber hukum formal. Penggunaan equity oleh Oscar Schachter bisa
dibagi menjadi lima:

a. Equity sebagai basis bagi individualisasi keadilan yang dimaksudkan untuk mencairkan
hukum yang kaku;
b. Equity sebagai dasar bagi penggunaan prinsip fairness, reasonableness dan kepercayaan
atau good faith;
c. Equity sebagai basis bagi prinsip-prinsip tertentu yang terdapat dalam
legal reasoning yang terhubung dengan fainess dan reasonableness;
d. Standar adil bagi alokasi dan pembagian sumber daya dan keuntungankeuntungan;
e. Equity sebagai sinonim secara luas bagi konsepsi keadilan distributif yang digunakan
untuk menjustisifikasi atas permintaan pengaturanpengaturan ekonomi dan sosial dan
peredistribusian mengenai kekayaan.

Jadi, penggunaan equity adalah demi tercapainya keadilan bagi kedua belah pihak.
Dikenalnya equity dalam hukum internasional dinyatakan oleh Hakim Hudson dalam kasus [the]
Diversion of the Water from the Meuse sebagai berikut,'that under art. 38 of the Statute, if not
independently of that article, the Court has some freedom to consider principles of equity as part
of international law which it must apply'.79 Sedangkan yang dimaksud dengan equity 'adalah
mekanisme untuk menyelesaikan persoalan yang seharusnya diisyaratkan oleh hokum.

c) Kode Etik dan Moral

Prinsip-prinsip etika dan pertimbangan atas dasar-dasar nilai-nilai kemanusiaan


,sebenarnya merupakan warisan dari ajaran hukum alam. Nilai atau prinsip ,etika dan moral
universal ini telah berhasil ditanamkan di kalangan masyarakat. Nilai etika dan moral universal
ini di samping mengandung universalitas dan kemuliaan, juga bersifat luwes dan abadi. Dia
merupakan nilai yang mendasar dan fundamental. Oleh karena itulah dia berumur relatif lama
atau abadi sepanjang zaman. Karena nilai-nilai tersebut luhur dan mulia dan agung, maka
sifatnya menjadi sangat abstrak dan umum sekali. Nilai-nilai luhur, dan agung inilah yang
memancar dan fungsinya adalah menjiwai norma-norma hukum maupun norma-norma lainya,
yang secara riil dan nyata berlaku dan mengikat masyarakat internasional.

D. Hukum Lunak (Soft Law)

Penggunaan istilah soft law pada dasarnya ditujukan untuk memberikan pembedaan
pengertian antara instrumen hukum keras (hard law) yang dibuat dan ditujukan untuk
mendapatkan kepatuhan secara paksa terhadap para negara-pesertanya. Sedangkan hukum lunak
atau soft law adalah instrumen .hukum yang mengandung norma-norma yang diharapkan suatu
saat nanti dapat menjadi bimbingan bagi aktor-aktor internasional tanpa memiliki kekuatan
hukum yang memaksa.82 Beberapa contoh hukum lunak adalah deklarasideklarasi yang
dihasilkan suatu organisasi internasional atau regional. Dalam gilirannya hukum lunak pun dapat
menjadi keras, keadaan ini tercermin pada kedudukan yang dimiliki oleh Deklarasi Universal
HAM yang pada saat ini sudah bukan lagi sekedar 'deklarasi.

E. Kesatuan Traktat dan Kebiasaan

Traktat dan kebiasaan memiliki hubungan yang bisa dikatakan sating melengkapi,
sebagaimana pembuatan traktat merupakan kodifikasi dalam bidang hukum internasional.84 Di
sini bisa dikatakan bahwa traktat berfungsi untuk memperkuat kedudukan dari kebiasaan itu
sendiri. Sebaliknya, multilateral traktat, law making treaty, bisa mencerminkan akan traktat
tersebut sebagai /ex feranda sebelum menuju /ex lata. Terakhir adalah dalam hal konvensi yang
telah berlaku dianggap oleh negara non-peserta sebagai convenient maka negara non-peserta
tersebut secara sukarela menundukan dirinya terhadap traktat tersebut. Dalam hubungan yang
berimbal-balik, maka sikap ini dapat mendorong terciptanya kebiasaan baru.

F. Hirarki Sumber-sumber Hukum

Pertanyaan lain muncul yang diakibatkan oleh cara pencantuman yang bertingkat, apakah
cara pencantuman sumber seperti itu menunjukan keinginan dari para perancang
untuk'menciptakan hirarkie. Menurut Brownlie para perancang berkehendak supaya Pengadilan
(ICJ) mengikuti urutan yang ada.BS Akan tetapi anggapan ini tidak menunjukan persoalan telah
terpecahkan, karena di waktu lain adakalanya Traktat bertentangan dengan Kebiasaan atau
terhadap prinsip-prinsip umum yang telah menjadi jus cogens akan menjadi batal (void atau
voidable).8b Sedangkan Pengadilan dalam prakteknya melalui kasus Nicaragua v. USA
sebagaimana dikemukakan oleh Dixon tidak memberikan prioritas tapi menerapkan kesemua
sumber secara simultan.

G. Relative Normativity

Seiring dengan makin meningkatnya interaksi umat manusia, akibat terciptanya the
borderless world makin meluas juga wilayah dari hukum internasional. Sebagai akibatnya,
perasaan sebagai warga dunia mulai muncul yang kemudian menjadikan nasionalisme tidak lebih
sebagai anakronisme. Kesemua itu dapat diringkas sebagai 'internasionalisme'. Adanya
keterikatan antar umat manusia menjadikan beberapa persoalan, antara lain, lingkungan dan
HAM, menjadikan keprihatinan bersama. Timbulnya keyakinan akan keterikatan antar manusia
nenimbulkan keinginan bagi negara-negara untuk memberikan komitmennya terhadap persoalan
bersama tersebut, yang tidak jarang justru mengorbankan kepentingan-kepentingan dari negara
tersebut. Dalam hal hukum lingkungan bagi negara-negara yang mematuhi hukum internasional
akan mendapatkan ibeban dalam hal keharusan untuk menciptakan standar emisi yang cukup
ketat, dan dapat menjadi beban tersendiri. Di sisi lain, negara-negara freeriders memanfaatkan
kondisi ini untuk meningkatkan daya saingnya. Persoalan +inilah yang akan menjadi perhatian
dari bagian ini. Keadaan ini menjadi : fokus pembahasan pada sub-bab ini.
H. Hukum Internasional sebagai Hukum Terdesentralisir

Hukum internasional sebagaimana telah ditulis sebelumnya merupakan hukum ,yang


sangat berbeda dengan hukum nasional. Dalam hal ini, hukum nasional dapat diperlihatkan
sebagai hukum yang superior dalam upaya untuk menjustifikasi suatu nilai yang lebih'Iuhur'.
Sedangkan dalam hukum internasional sebagai hukum yang terdesentralisir, dalam artian tiap
negara memiliki kedudukan yang sama kuat, persoalan penegakan dan pembentukan merupakan
hal yang kompleks. Implikasi yang mucul di antaranya adalah walau negaranegara telah
bersetuju mengenai mekanisme penyelesaian konflik tapi, dalam hal hirarki norma tidak
demikian.

Hal lain yang cukup mendesak untuk dijadikan pertimbangan mengenai pentingnya
pemahaman tentang'relative normativity', setidaknya, terdapat tiga ,hal yang terkait dengan
keadaan hukum internasional saat ini dan patut menjadi perhatian. Pertama, adanya
perkembangan seperti dalam 'soft law' sebagai instrumen yang tidak memiliki kekuatan hukum
mengikat. Akan tetapi, sebenarnya hal ini merupakan strategi dari komunitas internasional untuk
mendapatkan pengakuan terlebih dahulu yang kemudian pada gilirannya akan menjadi suatu
'bimbingan' baru bagi tingkah laku negara-negara di masa mendatang.88 Soft Law adalah
peraturan internasional yang berada dalam proses sosialisasi awal.

Kedua, pertumbuhan instrumen hukum internasional yang sangat cepat dan juga dengan
cakupan luas. Hal ini tercermin dalam kelaziman bagi suatu masalah yang diatur dalam traktat
multi-lateral yang dapat mengikat negaranegara termasuk yang tidak menandatanganinya. Hal
lain yang tidak kalah pentingnya adalah meningkatnya peran aktor-aktor non-negara.
Kemunculan dari code of conduct atau soft law merupakan cerminan dari relativitas norma
hukum internasional.89 Terakhir adalah kemunculan hukum pidana internasional yang
memberikan warna baru bagi eksistensi hukum internasional. Hukum pidana internasional,
memiliki kelebihan dengan memperkenalkannya prinsip kewajiban erga omnes Iebih luas.
Kewajiban erga omnes, sebagaimana dinyatakan dalam kasus Barcelona Traction, merupakan
kewajiban yang dimiliki oleh suatu pihak terhadap komunitas internasional secara keseluruhan.

Dengan demikian, sumber hukum internasional tidak selalu dapat dengan serta merta dapat
mengikat dan membimbing perilaku negara-negara. Namun, sifat relativitasnya norma hukum
tersebut memeeukan kondisi yang kondusif agar di kemudian hari, norma tersebut dipatuhi oleh
negara-negara.

I. Jus Cogen

Prinsip jus cogen adalah anggapan akan adanya sebuah norma yang memiliki keutamaan
dibanding dengan norma-norma lainnya. Dalam hal suatu norma telah memiliki status sebagai
jus cogen tidak dimungkinkan untuk mengalami pembatalan atau modifikasi oleh tindakan
apapun. Konsep ini dinyatakan oleh Pasal 53 dari the Vienna Convention on the Law of Treaties,
yang berbunyi sebagai berikut:
a treaty is void if, at the time of its inclusion, it conflicts with a peremptory norm of
general international law ... a peremptory norm of general international law is a norm accepted
and recognized by the international community of states as a whole as a norm from which no
derogation is permitted and which can be modified only by a subsequent norm of general
international law having ther same character.

Dengan kata lain, Jus Cogen sebagai sumber hukum tertinggi tidak dapat dibatalkan oleh
suatu kekuatan politik apapun.

Persoalan mengenai bagaimana suatu norma dapat mencapai status jus cogen masih
bersifat kontroversial. Akan tetapi, beberapa norma telah menjadi jus cogen seperti genosida,
diskriminasi rasial, agresi, penyiksaan, dan perbudakan. Kembali pada persoalan pertama
bagaimana untuk mencapai status jus cogen para penulis berbeda pendapat ada yang
mengkaitkannya dengan kebiasaan bahkan ketentuan dalam traktat itu sendiri. Ada pula yang
mendasarkan pada prinsip-prinsip hukum umum. Sedangkan IC) dalam kasus the North Sea
Continental Shelf 91 dan kasus Barcelona Traction92 membedakan antara kewajiban yang
dimiliki oleh suatu negara terhadap negara lainnya dan dengan kewajiban terhadap komunitas
internasional (erga omnes).

Dalam putusan tie Arrest Warrant-nya ICJ 14 Februari 2002 menunjukan bahwa jus cogen
masih digunakan secara terbatas. Pada mulanya Belgia mengeluarkan surat penangkapan
terhadap menteri luar negeri Kongo atas tuduhan pelanggaran Konvensi Jenewa tahun 1949 dan
kejahatan terhadap kemanusiaan. Sanggahan Kongo atas ini adalah Belgia telah melanggar
hukum kebiasaan internasional mengenai kewenangan absolut dan imunitas dari tuntutan pidana
bagi menteri luar negeri yang masih berkuasa, tanpa kecuali bahkan atas kejahatan internasional.
Sementara Belgia memberikan alasannya dengan mendasarkan pada imunitas tidak dapat
dikenakan dalam hal kejahatan internasional, mengutip traktat, legislasi internasional dan
nasional, bahkan putusan pengadilan internasional maupun nasional. Pengadilan tetap mene-
ruskan proses ini dengan anggapan akan adanya kewenangan dari Belgia atas dasar hukum
internasional untuk melakukan hal-hal di atas. Kemudian Pengadilan menyatakan bahwa tidak
ada hukum kebiasaan internasional yang membatasi imunitas diplomatik ketika tertuduh diduga
melakukan kejahatan perang ataupun kejahatan terhadap kemanusiaan. ICJ mendapatkan
kesimpulan ini tidak dengan memperhitungkan norma jus cogen terhadap kedaulatan.

Akan tetapi, pada saat ini sudah jelas ditunjukan oleh praktek hukum internasional akan
keberadaan norma yang memiliki status sebagai jus cogen. The International Criminal Tribunal
for the Former Yugoslavia (ICTY) mendukung pernyataan ini. ICTY dalam kaitannya dengan
penyiksaan menyatakan sebagai berikut:

Because of the importance of the values it protects, the [prohibition against torture] has
evolved into a peremptory norm or jus cogens, that is, a norm that enjoys a higher rank in the
international hierarchy than treaty law and even 'ordinary' customary rules. The most
conspicuous consequence of this higher rank is that the principle at issue cannot be derogated
from by states through international treaties or local or special customs or even general the
notion that the prohibition has now become one of the most fundamental standards of the
international community.

Konsekuensinya, /us Cogen tidak dapat dibatalkan oleh karena adanya perjanjian
internasional.

Ataupun pernyataan dari the Inter-American Commission on Human Rights yang terkait
dengan hak hidup, yang dinyatakannya sebagai berikut:

Derived from higher order of norms established in ancient times and which cannot be
contravened by the law of man or nations. The norms of jus cogens have been described by
public law which encompassed public international order ... accepted ... as necessary to
protecty the public interest of the society of nations or to maintain levels of public morality
recognized by them.

Ditambah dengan pengakuan oleh VCLT, yang telah dikutip di atas, menjadikan konsepsi
norma jus cogens bukan hanya isapan jempol belaka. Pernyataan dari the International Law
Commission memperkuat fakta akan jus cogen:

... although some jurists deny the existence of any rule of jus cogens in international law,
since in their view even the most general rules still fall short of being universal. The
Commission pointed out that the law of the Charter concerning the prohibition of the use of
force in itself constitutes a conspicuous example of a rule in international law having the
character of jus cogens. Moreover if some governments in their comments have expressed
doubts as to the advisability of this article unless it is accompanied by provision for
indpendent adjudication, only one questioned the exist ence the existence of rules of jus
cogens in the international law today.

Oleh karena itu, jelaslah apabila pada saat ini negara-negara, utamanya, harus memikirkan
secara sungguh-sungguh mengenai norma-norma yang telah menjadi bagian dari norma-norma
jus cogen.

Anda mungkin juga menyukai