Anda di halaman 1dari 6

Sumber-sumber Hukum

Internasional
BY PROF. DR. S.M. NOOR, S.H., M.H. · AUGUST 12, 2012

Menjawab pertanyaan apakah itu


sumber hukum? maka untuk menjawab pertanyaan tersebut diharapkan
untuk menyimak kembali beberapa referensi yang menjadi rujukan seperti
pada buku Pengantar Ilmu Hukum karangan Van Apeldoorn. Dalam hal ini
tentunya sumber hukum yang dimaksud adalah dalam kaitannya dengan
hukum Internasional.
Perkataan sumber hukum dapat dipergunakan dalam beberapa arti.
Secara material sumber hukum dapat diartikan sebagai sumber isi hukum
atau dasar berlakunya hukum dan atau tempat di mana kaidah-kaidah
hukum itu diciptakan. Juga dapat pula diartikan sebagai sumber hukum
yang mempersoalkan sebab apakah hukum itu mengikat? dan juga berarti
sebagai sumber hukum yang menyelidiki masalah apakah yang menjadi
dasar mengikatnya hukum itu?

Sedangkan secara formal, sumber hukum dapat diartikan sebagai sumber


yang memuat tentang ketentuan-ketentuan hukum secara formal yang
dapat diterapkan sebagai kaidah dalam suatu persoalan yang konkrit. Juga
dapat berarti sebagai sumber yang merupakan tempat di mana ketentuan-
ketentuan atau kaidah-kaidah hukum dapat ditemukan dan sumber yang
memberikan jawaban atas pertanyaan dimanakah kita dapat menemukan
atau mendapatkan ketentuan-ketentuan hukum yang dapat diterapkan
sebagai kaidah di dalam suatu persoalan yang aktual dan konkrit.
Sementara dalam arti lain, sumber hukum dapat diartikan sebagai
kekuatan-kekuatan atau faktor-faktor (politic, sociologic, ekonomis, teknis,
dan psikologis), yang membantu dalam pembentukan hukum sebagai
suatu bentuk perwujudan atau fenomena sosial dalam kehidupan
kemasyarakatan manusia. Dapat juga diartikan sebagai sumber hukum
yang meneliti faktor-faktor kausal atau penyebab yang turut membantu di
dalam pembentukan suatu kaidah.

Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa sumber hukum dalam arti material
dan sumber hukum dalam arti lain merupakan masalah yang terletak di luar
bidang ilmu hukum (ekstra-yuridis), yang pada hakikatnya merupakan
persoalan-persoalan yang terletak di dalam bidang filsafat. Sedangkan
sumber hukum dalam arti formal, adalah merupakan persoalan yang
terletak dalam bidang ilmu hukum (intra-yuridis).

Berdasar pada deskripsi di atas, manakah di antara ketiga arti sumber


hukum tersebut yang terpenting? Bagi seorang yang ingin memperdalam
pengetahuannya dalam bidang filsafat atau sejarah hukum, maka baginya
sumber hukum yang terpenting ialah sumber hukum dalam arti material
dan dalam arti yang lain. Sedangkan bagi seseorang yang belajar hukum
positif seperti mahasiswa fakultas hukum, pengacara atau pejabat
diplomat, maka baginya sumber hukum yang terpenting adalah sumber
hukum dalam arti formal.

Di dalam perpustakaan hukum internasional Inggris, sumber hukum dalam


arti material (material sources) sebagaimana yang dikemukakan oleh J.G.
Starke  justru dalam arti yang sebaliknya yaitu sumber hukum dalam arti
1

formal. Oleh karena itu, terlepas dari perbedaan pengertian dan lingkup
sumber hukum sebagaimana yang diungkapkan oleh Starke, yang
terpenting bagi kita di dalam mempelajari sumber-sumber hukum
internasional adalah bagaimana memahami sumber hukum dalam arti
formal, tanpa harus mengabaikan sumber hukum dalam arti material.
Dalam literatur tertulis terdapat dua tempat rujukan yang menempatkan
sumber hukum dari sumber-sumber hukum internasional. Pertama, Pasal 7
Konvensi ke-12 Den Haag tanggal 18 Oktober 1907, yang mendirikan
Mahkamah Internasional Perampasan Kapal di Laut (International
Prize Court). Sumber hukum ini tidak pernah terjadi atau terbentuk dalam
kenyataannya karena tidak mencapai jumlah ratifikasi yang diperlukan
(tidak memenuhi persyaratan). Kedua, Pasal 38 Statuta Mahkamah Inter-
nasional, tertanggal 16 Desember 1920, yang tercantum dalam Piagam
PBB tertanggal 26 Juni 1945. Dengan demikian maka sumber hukum
internasional merujuk pada Pasal 38 ayat 1 Statuta Mahkamah
Internasional.
2

Sebelum menguraikan sumber hukum internasional yang didasarkan pada


Pasal 38 ayat 1 Statuta Mahkamah Internasional, terlebih dahulu
dikemukan beberapa pendapat para sarjana mengenai sumber-sumber
Hukum Internasional. Menurut J.G.Starke  bahwa sumber-sumber hukum
3

material (maksudnya sumber-sumber hukum formal) adalah “Bahan-bahan


aktual yang dipergunakan oleh sarjana-sarjana hukum internasional untuk
menetapkan hukum yang berlaku bagi hal-hal tertentu.” Dalam kaitannya
dengan hal tersebut, Starke mengemukakan sumber-sumber hukum
material (maksudnya formal) sebagai berikut:
1. Kebiasaan;
2. Traktat;
3. Keputusan Pengadilan atau Badan Arbitrasi; dan
4. Karya-karya Yuridis.
Sedangkan menurut Mochtar Kusumaatmadja  mengemukakan bahwa
4

sumber-sumber Hukum Internasional sebagai berikut:


1. Perjanjian-perjanjian Internasional;
2. Kebiasaan-kebiasaan Internasional;
3. Prinsip-prinsip Hukum Umum; dan
4. Keputusan-keputusan pengadilan dan ajaran-ajaran sarjana-sarjana
yang paling terkemuka dari berbagai negara.
Menurut Pasal 38 (1) Status Mahkamah Internasional yang selanjutnya
sebagaimana tercantum dalam Piagam PBB, tanggal 26 Juni 1945 pada
pokoknya mengatakan bahwa: Dalam mengadili perkara-perkara yang
diajukan, Mahkamah Internasional akan mempergunakan:

1. Perjanjian-perjanjian Internasional, baik yang bersifat umum maupun


khusus yang mengandung ketentuanketentuan hukum yang diakui
secara tegas oleh negaranegara yang bersengketa;
2. Kebiasaan-kebiasaan Internasional sebagai bukti dari pada sesuatu
kebiasaan umum yang telah diterima sebagai hukum;
3. Prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh bangsa-bangsa yang
beradab; dan
4. Keputusan pengadilan dan ajaran-ajaran sarjana-sarjana yang paling
terkemuka dari berbagai negara-negara, sebagai sumber tambahan
bagi menetapkan kaidah-kaidah hukum.
Akan tetapi, uraian Pasal 38 (1) Statuta Mahkamah Internasional akan
dimulai dengan menganalisis kelemahan-kelemahan (weaknesses) dan
kelebihan-kelebihan (Strengthens). Kelemahan Pasal 38 (1) Statuta
Mahkamah Internasional yaitu: dikaitkan dengan perkembangan subyek-
subyek hukum internasional dan praktek masyarakat internasional maka
sumber-sumber hukum internasional sebagaimana tercantum dalam Pasal
38 (1) Statuta Mahkamah Internasional tersebut masih harus ditambah lagi
dengan sumber-sumber lain. Karena ternyata bahwa pasal tersebut di atas,
tidak menyebutkan Mahkamah-mahkamah atau peradilan arbitrasi dan
keputusan-keputusan badan-badan atau lembaga-lembaga internasional
yang dewasa ini merupakan sumber-sumber hukum yang makin
bertambah urgensinya. Baik urutan maupun isi sumber-sumber hukum
internasional menurut Pasal 38 (1) Statuta Mahkamah Internasional
tersebut di atas, belum menggambarkan suatu pendapat yang diterima
secara umum.
Adapun kelebihan atau Keistimewaan Pasal 38 (1) Statuta Mahkamah
Internasional yakni “dengan dicantumkannya” prinsip-prinsip atau asas-
asas hukum umum, sebagai salah satu sumber formal dari hukum
internasional dalam Pasal 38 (1) Status Mahkamah Internasional,
mengandung suatu keluwesan atau fleksibilitas yang bertujuan untuk
memberikan dasar kepada Mahkamah Internasional untuk membentuk
kaidah-kaidah hukum baru, dalam hal ini Mahkamah Internasional tidak
berhasil menemukan ketentuan-ketentuan hukum positif yang dapat
diterapkan kepada masalah yang diajukan kepadanya berdasarkan
sumber-sumber hukum primer lainnya seperti perjanjian kebiasaan
internasional dan sebagainya. Memberikan dasar hukum atau tempat
berpijak bagi kemungkinan timbul atau terbentuknya sumber-sumber
hukum baru sebagai akibat perkembangan di kemudian hari.

Menurut Pasal 38 (1) Piagam Mahkamah Internasional sumber hukum


internasional dapat diklasifikasikan atas dua golongan sebagai berikut:
Sumber-sumber utama atau sumber-sumber primer, yang terdiri atas
perjanjian-perjanjian Internasional, kebiasaan-kebiasaan internasional, dan
prinsip-prinsip Hukum Umum. Sumber-sumber tambahan, atau sumber-
sumber subsider, terdiri atas Keputusan-keputusan pengadilan dan ajaran-
ajaran sarjana-sarjana yang paling terkemuka dari berbagai Negara.

Urutan sumber hukum internasional di atas, tidak otomatis menempatkan


yang satu lebih superior dari yang lainnya. Oleh karena itu, jika persoalan
yang timbul adalah manakah di antara ketiga sumber hukum internasional
yang primer, menurut Pasal 38 (1) Piagam Mahkamah Internasional
tersebut yang paling utama atau yang terpenting? maka pertanyaan ini sulit
dijawab, dalam arti tidak dapat dijawab begitu saja. Karena ketiga sumber
primer tersebut, mempunyai hubungan yang sangat erat bahkan saling
mengisi satu sama lainnya.  Karenanya terhadap prinsip sumber-sumber
5

hukum internasional primer tersebut, Pasal 18 (1) Statuta Mahkamah


Internasional, sama sekali tidak mengaturnya. Bahkan urutan yang ada
sama sekali tidak menggambarkan urutan penting/utama dari masing-
masing sumber tersebut.
Hal ini mengandung pengertian antara lain bahwa: ketiga sumber tersebut
sama penting/sama utama. Tidak ada satu pun dari ketiga sumber primer
tersebut yang mempunyai kedudukan yang lebih penting atau lebih utama
daripada yang lainnya. Pengutamaan masing-masing sumber primer
tersebut adalah tergantung pada pangkal tolak atau sudut pandang, di
mana kita memandang/meninjaunya.

Jika ditinjau dari sudut pandang sejarah, maka kebiasaan-kebiasaan


Internasional, merupakan sumber yang terpenting/terutama. Karena
Kebiasaan-kebiasaan Internasional merupakan sumber hukum yang tertua
dalam sejarah. Dilihat dari segi empiris maka, dapat dikatakan bahwa
perjanjian-perjanjian Internasional merupakan sumber hukum yang paling
utama atau yang paling penting, dari kedua sumber lainnya; karena
kenyataan dewasa ini menunjukkan makin bertambah banyaknya
persoalan-persoalan yang diatur dengan perjanjian-perjanjian internasional
antara negara-negara, termasuk pula masalah-masalah yang tadinya diatur
oleh hukum kebiasaan. Apabila kita memandang dari sudut fungsinya,
maka dapat dikatakan bahwa prinsip-prinsip/ asas-asas hukum umum,
merupakan sumber hukum yang terutama atau yang terpenting. Karena,
sumber hukum inilah yang bersifat luwes/fleksibel, yakni memberikan
kesempatan dan kelonggaran kepada Mahkamah Internasional untuk
menemukan atau membentuk kaidah-kaidah hukum baru, yang dapat
mengembangkan hukum internasional, atau membuka kemungkinan bagi
adanya sumber-sumber hukum internasional yang baru, berdasarkan
prinsip-prinsip hukum umum tadi.

Tanpa harus terjebak dalam perdebatan siapa yang terpenting maka uraian
dalam bahasan ini mengikuti urutan menurut Pasal 38 (1) Statuta
mahkamah Internasional.

Anda mungkin juga menyukai