Anda di halaman 1dari 4

Nama : Ghufron Lutfi Siham

NPM : 2112011302

Soal

Jelaskan secara lengkap dan komprehensif apa yang Anda ketahui


tentang :

a.Ruang lingkup sumber-sumber hukum internasional ! (Berikan contoh


untuk masing-masing sumber hukum internasional yang disebutkan !)

b. Kasus Corfu Channel Case yang diputuskan oleh International Court of


Justice (ICJ) ! Berikan argumen hukum anda dan apakah anda setuju
dengan keputusan akhirnya? Jelaskan !

Jawab

a. Sumber hukum internasional adalah wacana atau bahasan yang


menyang kut identifikasi hukum internasional baik yang bersifat material
maupun formal. Pada umumnya para pakar hukum internasional
cenderung meng identifikasi hukum internasional secara formal atau yang
populer disebut sebagai sumber hukum formal. Dengan perkataan lain
apa yang disebut dengan sumber hukum internasional tidak lain adalah
sumber hukum dalam arti formal. Pandangan ini tidak bisa dilepaskan dari
kuatnya pengaruh ajaran positivisme dalam hukum internasional. 1 Menurut
aliran positivisme, hukum adalah aturan yang dikehendaki dan diciptakan
oleh negara.2 Pandangan ini mendapat tempat yang kondusif dalam
hukum internasional klasik yang menempatkan negara sebagai subjek
utama hukum internasional dan salah satu konsekuensi pentingnya
adalah menjadikan hukum internasional sebagai hukum yang berbasis
kepada kehendak dan perkenan negara (state-based consent). 3 Quincy
Wright menegaskan; "....the consent of states is the ultimate source of
international law”.4

1
Martti Koskenniemi, From Apology to Utopia: The Structure of International Legal Argument,
Cambridge University Press, Cambridge, 2005, him, 304.
2
Anthony Clark Arend, "A Methodology for Determining an international Legal Rule" in Charlotte
Ku and Paul F. Diehl (Eds.), International Law: Classic and Contemporary Readings, Lynne Rienner
Publishers, Colorado, 2003, him, 25.
3
Koskenniemi, loc.cit, Merujuk kepada pendapat sebagian ahli hukum internasional yang
mengamini ajaran positivisme hukum, Koskenniemi mengatakan sebagai berikut: "They point out
that anything can count as law as long as it emerges from consent and nothing which is not
consensually supported can count as such". Lihat Juga J.H.W. Verzijl, international Low in
Historical Perspective, Vol 1, Sijthoff, Leiden, 1968, hlm. 1-3.
4
Quincy Wright, "Custom as Basis for International Law in the Post-War Period," Indian Journal of
International Low, Vol. 7, Issue, 1967, him. 5.
Wujud formal hukum internasional yang senantiasa dijadikan rujukan
adalah yang tercantum dalam Pasal 38 Statuta ICJ, yaitu perjanjian
internasional, kebiasaan internasional, prinsip-prinsip hukum umum,
putusan pengadilan, dan ajaran para ahli hukum. 5 Namun, sumber hukum
ini seringkali dianggap ketinggalan zaman, karena diadaptasi dari Statuta
Mahkamah Internasional Permanen (Permanent Court of International
Justice) tahun 1920 dan substansinya dianggap sudah tidak lagi mampu
merespon dengan baik perkembangan masyarakat internasional saat ini.
Banyak bentuk dan instrumen hukum internasional yang tidak dikenal atau
belum ada ketika Pasal 38 ini dirancang tetapi memiliki peran dan posisi
yang cukup penting sebagai sumber hukum internasional saat ini,
misalnya Resolusi Majelis Umum PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa).
Berbagai upaya telah dilakukan untuk merevisi ketentuan mengenai
sumber hukum ini, namun sejauh ini belum membuahkan hasil. 6 Salah
satu alasannya adalah karena telah terbentuk semacam pembenaran
secara faktual bahwa sumber hukum internasional yang paling jelas wujud
dan argumentasinya adalah perjanjian internasional, kebiasaan
internasional, dan prinsip-prinsip hukum umum. Oleh karena itu, sumber
hukum lain harus didasarkan atas salah satu dari ketiga sumber hukum
tersebut.7 Akhirnya, meskipun kelemahannya relatif tak terbantahkan,
namun tetap diakui bahwa bentuk-bentuk sumber hukum internasional
sebagaimana tercantum dalam Pasal 38 tersebut dapat memberikan
jawaban konkret di mana hukum internasional itu ditemukan. Oleh karena
itu dapat dipahami apabila para pakar hukum internasional tetap merujuk
kepada Pasal 38 Statuta ICJ ketika membahas mengenai sumber hukum
internasional.

Pertimbangan yang cenderung pragmatis dalam menentukan sumber


hukum internasional dalam hal tertentu menyebabkan lahirnya pandangan
dan pemahaman yang kurang komprehensif dan mendalam ter hadap
sumber hukum tersebut. Pandangan ini bersifat reduksionis, karena
cenderung memahami sumber hukum internasional hanya sebagai
sumber hukum formal. Padahal secara substansial hukum internasional
harus mencerminkan kesadaran dan spirit masyarakat internasional. 8
Sehubungan dengan hal ini Trindade 9 mengatakan sebagai berikut: "..
After all, international law is absolutely not all reduced to an instrument at
5
John Dugard, International Law: A South African Perspective, 3" edition, JUTA, Landsdowne,
2005, him. 25.
6
Ibid.
7
Gideon Boas, Public International Law: Contemporary Principles and Perspectives, Edward Elgar
Publishing Limited, UK, 2012, hlm. 48-49.
8
Trindade, International Law for Humankind: Towards a New Jus Gentium, Martinus Nijhoff
Publishers, The Hague, 2010, hlm. 141.
9
Trindade adalah Hakim pada Mahkamah Internasional.
the service of powers, its final addressees are ultimately the human
beings, it being incumbent upon itself to fulfil their needs, among which the
realization of justice":10 Kelemahan yang melekat pada sumber hukum
internasional dalam arti formal mengisyaratkan adanya relevansi dan
urgensi pembahasan sumber hukum internasional dalam arti material.
Dalam konteks ini maka pemahaman yang utuh terhadap hukum
internasional harus diletakkan dalam perspektif baik sumber hukum dalam
arti formal maupun material. Atas dasar ini dapat dimengerti apabila
Rebecca dan Ortega berpendapat bahwa Pasal 38 Statuta ICJ berisi baik
sumber hukum internasional dalam arti formal maupun material. Perjanjian
internasional, kebiasaan internasional, dan prinsip hukum umum
digolongkan sebagai sumber hukum formal, sedangkan putusan
pengadilan dan ajaran para ahli hukum dianggap sebagai sumber hukum
material.11

b. Kasus Corfu Channel Case yang diputuskan oleh International Court of


Justice (ICJ) adalah sebuah kontroversi yang bersifat operasional, yaitu
dalam beberapa kasus Mahkamah Internasional tidak sepenuhnya
mengacu kepada Pasal 38 ketika memutuskan suatu sengketa
internasional. Dalam putusan kasus Corfu Channel (1949) misalnya,
Mahkamah tidak merujuk secara substantif kepada Pasal 38. 12 Hal ini
berbeda dengan putusannya pada kasus Assylum (1950) dengan
komposisi hakim yang sama seperti pada kasus Corfu Channel, 13
Mahkamah merujuk secara substantif kepada Pasal 38 dan bahkan
secara khusus menekankan pentingnya mempertim bangkan dua syarat
dalam hukum kebiasaan internasional yaitu syarat material dan syarat
psikologis (opinio juris) agar suatu praktik dapat diterima sebagai
kebiasaan internasional.14 Mahkamah juga seringkali enggan untuk
menjadikan prinsip hukum umum sebagai sumber hukum seperti yang
dilakukannya dalam kasus Corfu Channel, 15 padahal salah satu alasan
dimasukkannya prinsip hukum umum ke dalam Pasal 38 adalah sebagai

10
Trindade, loc.cit.
11
Rebecca and Ortega, op.cit., hlm. 8.
12
ICJ Rep. (1949), hlm. 4.
13
Susunan Majelis Hakimnya adalah sebagai berikut: Guerrero (El Salvador), Basdevant (Perancis,
President), Alvarez (Chile), Fabela (Meksiko), Hackworth (USA), Winiarski (Polandia), Zorcic
(Yugoslavia), de Visscher (Belgia), McNair (Inggris), Klaestad (Norwegia), Badawi Pasha (Mesir),
Krylov (Rusia), Read (Kanada), Hsu Mo (China), Azevedo (Brazil), dan Ecer (Czechoslovakia).
14
Lihat juga Akiho Shibata, "The Court's decision in silentium on the sources of international law:
Its enduring significance" in Karine Bannelier, Theodore Christakis and Sarah Haethcote (Eds.),
The ICJ and the Evolution of International Law: The enduring impact of the Corfu Channel case,
Routledge, USA, 2012, hlm. 2011-2013.
15
Lihat juga Allan Pellet, "Article 38" in A.Zimmermann, C.Tomushat and K.Oellers-Frahmn (Eds.),
The Statute of the International Court of Justice, Oxford University Press, Oxford, 2006, hlm. 764-
773.
alternatif terakhir agar Mahkamah dapat terhindar dari putusan non liquet.
16
Sikap Mahkamah yang tidak konsisten merujuk kepada Pasal 38
sebagai sumber hukum internasional boleh jadi hanya bersifat kasuistis,
namun hal ini merupakan indikasi kuat bahwa Pasal 38 memang belum
sepenuhnya mampu memberi jawaban mengenai hakikat dari sumber
hukum internasional tersebut.

16
Non-liquet adalah frase dalam bahasa Latin yang berarti "tidak jelas". Dalam istilah hukum
dipahami sebagai situasi ketika tidak ada hukum yang dapat diterapkan untuk memutus suatu
kasus tertentu.

Anda mungkin juga menyukai