NPM : 2112011302
Soal
Jawab
1
Martti Koskenniemi, From Apology to Utopia: The Structure of International Legal Argument,
Cambridge University Press, Cambridge, 2005, him, 304.
2
Anthony Clark Arend, "A Methodology for Determining an international Legal Rule" in Charlotte
Ku and Paul F. Diehl (Eds.), International Law: Classic and Contemporary Readings, Lynne Rienner
Publishers, Colorado, 2003, him, 25.
3
Koskenniemi, loc.cit, Merujuk kepada pendapat sebagian ahli hukum internasional yang
mengamini ajaran positivisme hukum, Koskenniemi mengatakan sebagai berikut: "They point out
that anything can count as law as long as it emerges from consent and nothing which is not
consensually supported can count as such". Lihat Juga J.H.W. Verzijl, international Low in
Historical Perspective, Vol 1, Sijthoff, Leiden, 1968, hlm. 1-3.
4
Quincy Wright, "Custom as Basis for International Law in the Post-War Period," Indian Journal of
International Low, Vol. 7, Issue, 1967, him. 5.
Wujud formal hukum internasional yang senantiasa dijadikan rujukan
adalah yang tercantum dalam Pasal 38 Statuta ICJ, yaitu perjanjian
internasional, kebiasaan internasional, prinsip-prinsip hukum umum,
putusan pengadilan, dan ajaran para ahli hukum. 5 Namun, sumber hukum
ini seringkali dianggap ketinggalan zaman, karena diadaptasi dari Statuta
Mahkamah Internasional Permanen (Permanent Court of International
Justice) tahun 1920 dan substansinya dianggap sudah tidak lagi mampu
merespon dengan baik perkembangan masyarakat internasional saat ini.
Banyak bentuk dan instrumen hukum internasional yang tidak dikenal atau
belum ada ketika Pasal 38 ini dirancang tetapi memiliki peran dan posisi
yang cukup penting sebagai sumber hukum internasional saat ini,
misalnya Resolusi Majelis Umum PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa).
Berbagai upaya telah dilakukan untuk merevisi ketentuan mengenai
sumber hukum ini, namun sejauh ini belum membuahkan hasil. 6 Salah
satu alasannya adalah karena telah terbentuk semacam pembenaran
secara faktual bahwa sumber hukum internasional yang paling jelas wujud
dan argumentasinya adalah perjanjian internasional, kebiasaan
internasional, dan prinsip-prinsip hukum umum. Oleh karena itu, sumber
hukum lain harus didasarkan atas salah satu dari ketiga sumber hukum
tersebut.7 Akhirnya, meskipun kelemahannya relatif tak terbantahkan,
namun tetap diakui bahwa bentuk-bentuk sumber hukum internasional
sebagaimana tercantum dalam Pasal 38 tersebut dapat memberikan
jawaban konkret di mana hukum internasional itu ditemukan. Oleh karena
itu dapat dipahami apabila para pakar hukum internasional tetap merujuk
kepada Pasal 38 Statuta ICJ ketika membahas mengenai sumber hukum
internasional.
10
Trindade, loc.cit.
11
Rebecca and Ortega, op.cit., hlm. 8.
12
ICJ Rep. (1949), hlm. 4.
13
Susunan Majelis Hakimnya adalah sebagai berikut: Guerrero (El Salvador), Basdevant (Perancis,
President), Alvarez (Chile), Fabela (Meksiko), Hackworth (USA), Winiarski (Polandia), Zorcic
(Yugoslavia), de Visscher (Belgia), McNair (Inggris), Klaestad (Norwegia), Badawi Pasha (Mesir),
Krylov (Rusia), Read (Kanada), Hsu Mo (China), Azevedo (Brazil), dan Ecer (Czechoslovakia).
14
Lihat juga Akiho Shibata, "The Court's decision in silentium on the sources of international law:
Its enduring significance" in Karine Bannelier, Theodore Christakis and Sarah Haethcote (Eds.),
The ICJ and the Evolution of International Law: The enduring impact of the Corfu Channel case,
Routledge, USA, 2012, hlm. 2011-2013.
15
Lihat juga Allan Pellet, "Article 38" in A.Zimmermann, C.Tomushat and K.Oellers-Frahmn (Eds.),
The Statute of the International Court of Justice, Oxford University Press, Oxford, 2006, hlm. 764-
773.
alternatif terakhir agar Mahkamah dapat terhindar dari putusan non liquet.
16
Sikap Mahkamah yang tidak konsisten merujuk kepada Pasal 38
sebagai sumber hukum internasional boleh jadi hanya bersifat kasuistis,
namun hal ini merupakan indikasi kuat bahwa Pasal 38 memang belum
sepenuhnya mampu memberi jawaban mengenai hakikat dari sumber
hukum internasional tersebut.
16
Non-liquet adalah frase dalam bahasa Latin yang berarti "tidak jelas". Dalam istilah hukum
dipahami sebagai situasi ketika tidak ada hukum yang dapat diterapkan untuk memutus suatu
kasus tertentu.