Anda di halaman 1dari 26

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Menyatukan dua orang dengan perbedaan karakter, sikap dan sifat bukanlah

hal yang mudah, namun bukan berarti itu tidak dapat dilakukan. Pernikahan bagi

setiap pasangan merupakan proses belajar setiap hari untuk mengenal bagaimana

pasangan yang sesungguhnya. Tidak dapat dipungkiri bahwa sebuah pernikahan

menuntut kedewasaan pasangan suami istri agar dapat menjalani kehidupan

pernikahannya dengan baik. Toleransi serta pengertian terhadap hal-hal yang terjadi

dalam kehidupan berumah tangga sangat menentukan keadaan rumah tangga

selanjutnya. Saling terbuka, menahan ego dan berusaha lebih mengerti keinginan

pasangan serta perasaanya.

Namun dari semua dan masalah yang muncul dalam kehidupan pernikahan

tak banyak orang yang mampu menyelesaikannya dengan baik, sehingga

mengganggu keharmonisan rumah tangga yang menimbulkan rasa tidak nyaman satu

sama lain dan jika dibiarkan berlarut-larut maka susah ditanggulangi dan berakibat

fatal yang berujung dengan sebuah perceraian.

Setiap pasangan yang menikah menginginkan untuk menjaga rumah

tangganya namun tidak sedikit pernikahan yang gagal diperjuangkan untuk tetap

rukun dan harmonis. Hingga akhirnya perceraian dianggap sebagai jalan keluar

terbaik yang dipilih keduanya. Begitu banyak alasan percerian itu dilakukan oleh

1
2

pasangan suami istri seperti konflik yang berkepanjangan, masalah ekonomi,

kurangnya kasih sayang, salah satu pihak tidak bertanggung jawab, masalah orang

ketiga atau bahkan masalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang diatur

dalam Undang-undang RI No. 23 Tahun 2004 pasal 1.

Terjadinya suatu perceraian bukan hanya karena masalah di atas. Ada juga

perceraian terjadi akibat salah satu dari pasangan meninggal dunia terlebih dahulu

atau sering disebut dengan cerai mati. Tidak mudah menjalani hidup sesudah

perceraian, baik cerai hidup atau bercerai karena kematian terlebih terhadap

perempuan yang memiliki anak (single parent).

Setiap anggota keluarga dibutuhkan dan saling membutuhkan satu sama lain,

supaya mereka dapat hidup lebih senang dan tenang. Hasil kerja mereka harus

dinikmati bersama. Masing-masing anggota keluarga mempunyai peranan yang

penting dalam roda kehidupan serta dibutuhkan oleh anggota lainnya (Gunarsa,

2009).

Menurut Ahsyari (2015) keluarga merupakan kelompok orang paling dekat

dalam kehidupan sehari-hari, sehingga keluarga memiliki ikatan psikologis maupun

fisik. Keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan anak disebut dengan keluarga inti.

Namun, pada kenyataannya di masyarakat terdapat keluarga yang salah satu orang tua

tidak ada baik karena perceraian, perpisahan atau meninggal dunia. Sehingga susunan

dalam keluarga tersebut menjadi tidak lengkap seperti hanya memiliki ayah atau ibu

saja disebut sebagai sebutan orangtua tunggal (single parent).


3

Dilihat dari segi naluri, dorongan paling kuat bagi wanita untuk kawin adalah

cinta dan mendapatkan keturunan dari orang yang dicintainya, walaupun hal ini

menuntut banyak penderitaan lahir dan batin pada diri wanita tersebut. Walaupun

wanita mengalami banyak penderitaan, setiap wanita normal pada umumnya

menginginkan hidup berkeluarga (Kartono, 2007).

Undang-undang RI No.1 Tahun 1974 yang mengatur tentang perkawinan,

menjelaskan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan

wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang

bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Aisah, 2010).

Peristiwa perkawinan merupakan suatu bentuk proklamasi tentang sepasang

pria dan wanita yang mengumumkan bahwa mereka saling memiliki dan keduanya

menjadi dwitunggal (Bahiyatun, 2010).

Menurut Harahap (2003) kesehatan reproduksi adalah kesejahteraan fisik,

mental dan sosial dan bukan hanya tidak adanya penyakit atau kelemahan, dalam

segala hal yang berhubungan dengan sistim reproduksi dan fungsi-fungsinya serta

prosesnya. Agar dapat melaksanakan fungsi reproduksi secara sehat, dalam

penegertian fisik, mental maupun sosial diperlukan beberapa prasyarat salah satunya

adalah perempuan memerlukan landasan psikis yang memedai. Masalah kesehatan

reproduksi mencakup area yang jauh lebih luas, dimana salah satunya adalah masalah

gender dan seksualitas dalam masalah ini salah satunya yang dibahas mengenai

pengendalian sosio-budaya terhadap masalah seksualitas, bagaimana norma-norma

sosial yang berlaku tentang prilaku seks, homoseks, poligami, dan perceraian.
4

Perceraian adalah penghapusan perkawinan dengan putusan hakim atau

tuntutan salah satu pihak dalam perkawinannya. Putusannya perkawinan karena

perceraian dapat dikarenakan dua hal yaitu talak dan gugatan perceraian (Salim, 2001).

Pada tahun 2012, jumlah perceraian yang diputus Pengadilan Agama Medan

sebanyak 1.528 perkara. Jumlah itu melonjak pada Tahun 2013 yang mencapai 1.975

perkara. Kemudian pada Tahun 2014, angka perceraian di Medan kembali

menunjukkan peningkatan, yaitu mencapai 2.025 kasus. Pada Tahun 2015 sampai

priode Oktober, kasus perceraian yang diputus Pengadilan Agama Medan mencapai

2.103 perkara (Sindo, 05 November 2015).

Di Tahun 2013 BKKBN menyatakan tingkat perceraian di Indonesia sudah

menempati urutan tertinggi se-Asia Pasifik, ternyata di tahun-tahun berikutnya

jumlah percerain tetap semakin meningkat. Penyebab utama perceraian tertinggi

adalah oleh karena faktor ekonomi (Kompasiana, 17 Juni 2015).

Pusat Penelitian dan Pengembengan (Puslitbang) Kehidupan Keagamaan

Kementrian Agama (Kemenag) menyebutkan, angka perceraian di Indonesia pada

Tahun 2010-2014, dari sekitar 2 juta pasangan menikah, 15 persen diantaranya

bercerai. Angka perceraian yang diputus pengadilan tinggi agama seluruh Indonesia

Tahun 2014 mencapai 382.231, naik sekitar 100.000 kasus dibandingkan dengan

Tahun2010 sebnyak 251.208 kasus (Kompas, 30 Juni 2015).


5

Menurut informasi penelusuran perkara Pengadilan Negeri Kabanjahe Tahun

2015 dari 517 perkara yang ditangani terdapat 24 perkara kasus perceraian. Dan

Tahun 2016 dari 526 perkara yang ditangani terdapat 28 perkara kasus percerainan.

Dari data tersebut dapat kita lihat bahwa angka perceraian di Tanah Karo semakin

meningkat.

Menurut Ahsyari (2015), berperan sebagai orangtua tunggal tidaklah mudah,

karena menjalankan kehidupan sehari-hari seorang diri tanpa kehadiran pasangan

hidup. Bagi wanita yang menjadi orang tua tunggal, kesendirian itu berat. Namun,

kadang-kadang wanita tidak mau mengakui. Disaat mereka seharusnya saling berbagi

beban dengan pasangan, namun sekarang harus menghadapinya sendiri.

Menurut Akmalia (2013), stresor utama pada ibu single parent adalah masalah

terkait pada anak, masalah terkait ekonomi seperti biaya hidup yang semakin mahal,

masalah psikologis, masalah terkait sosial dan masalah terkait pada fisik. Hal ini

berkaitan pula dengan tugas-tugas perkembangan pada masa dewasa usia 20 40

tahun yang berpusat pada harapan-harapan masyarakat dan mencakup hal-hal seperti

mendapatkan suatu pekerjaan, memilih seorang teman hidup, belajar hidup bersama

dengan seorang suami atau istri membentuk suatu keluarga, membesarkan anak-anak,

mengelola rumah tangga, menerima tanggung jawab sebagai warga negara dan

bergabung dalam suatu kelompok sosial yang menyenangkan (Hurlock, 1999).

Ibu yang bercerai ataupun wanita yang memutuskan untuk menjadi ibu

tunggal seringkali terlalu dibebani dengan masalah ekonomi. Mereka cenderung tidak

memiliki uang untuk menikmati hidup, dan tak bisa memikirkan dirinya sendiri
6

karena terlalu banyak pikiran yang tercurah untuk anak-anaknya. Adapun dampak

terhadap reproduksinya yaitu kebutuhan seksual orang tua tunggal tidak terpenuhi,

sehingga terkadang mereka berfikir untuk mencari pendamping hidup ataupun

sekedar pelarian, namun adapula sebagian wanita merasa terauma dengan lelaki

sehingga mereka cenderung menyukai sesama jenisnya (Yandiyulio, 2012).

Penelitian yang dilakuakan oleh Ahsyari (2015), menunjukkan bahwa wanita

single parent akan menghadapi kelelahan emosional, mudah sedih dan menangis,

mudah marah dan cemas dengan masa depan anak-anaknya. Sedang masalah

kelelahan mental seperti merasa tidak berharga, menjadi lebih sensitif, sering

mengalami kebingungan, merasa tidak bahagia dan kehilangan percaya diri. Tuntutan

multiperan bisa menyulitkan dan membuat stres. Ibu yang bekerja sering

mengeluhkan tentang kurangnya waktu dan kurang tidur.

Jika individu berada pada posisi stres, manusia akan menggunakan berbagai

cara untuk mengatasinya. Memiliki strategi coping sangat penting untuk melanjutkan

hidup. Strategi coping dapat digunakan individu untuk memecahkan masalah, coping

efektif akan membantu individu bebas dari stres yang berkepanjangn (Rasmun,

2004).

Menurut Holmes dan Rahe, perceraian merupakan penyebab stres kedua

paling tinggi (Tasmin, 2002). Buku-buku kedokteran menyatakan bahwa 50-70%

penyakit fisik sebenarnya disebabkan oleh stres. Andil stres berbeda untuk tiap tiap

penyakit, mulai dari yang paling rawan seperti penyakit-penyakit gastroinstestinal

(perut), sakit kepala, kelelahan yang kronis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
7

faktor pencetus terjadinya kanker juga sering disebabkan oleh stres yang

berkepanjangan (Siswanto, 2007). Timbulnya kanker tersebut oleh karena sel radikal

bebas yang sebelumnya tidak berkembang menjadi berkembang biak dengan cepat

oleh karena stres (Mumpumi, 2010).

Orang Suku Karo mengatur kehidupan sehari-harinya dengan berpegang pada

keselarasan hidup dalam adat istiadatnya. Masyarakat Karo sangat mempercayai

bahwa kematian bukanlah suatu perceraian yang sah. Perceraian yang sah menurut

masyarakat Karo harus berdasarkan hasil putusan musyawarah keluarga.

Studi pendahuluan telah dilakukan dengan cara komunikasi interpersonal

terhadap seorang perempuan yang bercerai (ditinggal mati suami) berinisial (IS). IS

kehilangan suami tercinta empat tahun yang lalu. Pada saat itu usia IS masih 35

tahun. Kematian suami tercinta adalah kehilangan yang sangat besar bagi IS, beliau

harus menghidupi 3 orang anak. IS merasa kehilangan pegangan hidupnya, Dia

merasa kalau hidupnya sudah berakhir saat itu. Tidak ada lagi yang bisa dia perbuat

untuk menjalani hidup kedepannya. IS mulai menarik diri dari lingkungan sosial.

Segala aktifitas baik itu ibadah atau undangan acara adat IS tidak pernah lagi

menghadirinya, padahal sebelumnya IS sangat aktif di setiap kegiatan keagamaan.

Namun lama-kelamaan IS merasa kalau semua yang dia lakukan bukan penyelesaian

masalahnya. Perlahan-lahan IS mulai lagi aktif kegiatan keagamaan. IS mengakui

terkadang kebutuhan akan seks mau muncul tapi dengan aktif menggunakan facebook

IS dapat mengabaikan perasaan itu, IS mulai bisa menerima apa yang terjadi

(Komunikasi interpersonal RS, tanggal 6 Maret 2017).


8

Dengan melihat uraian diatas, penelitian ini akan mempelajari secara

mendalam strategi coping pada perempuan single parent serta mendapatkan informasi

secara detail dan jelas tentang bermacam upaya untuk menanggulangi permasalahan

yang timbul dalam kehidupannya.Peneliti juga ingin melihat bagaimana seorang

single parent pada perempuan suku karo menjalani kehidupannya setelah suaminya

meninggal dunia.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah penelitian ini

adalah Bagaimanakah Strategi Coping pada perempuan Single Parent Suku Karo

yang terbelenggu oleh aturan adat istiadat seperti larangan menikah dan jika menikah

aset (harta benda) dan anak diambil alih oleh pihak keluarga laki-laki (suami)

1.3 Tujuan Penelitian

Untuk mengidentifikasi konsep tentang strategi coping pada perempuan

Single Parent Suku Karo. Melahirkan wacana tentang masalah reproduksi pada

wanita single parent dalam kehidupan Suku Karo.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Bagi Perkembangan Ilmu Pengetahuan

Hasil penelitian diharapkan dapat menambah kepustakaan khususnya yang

berkaitan dengan teori dan konsep mengenai strategi coping pada perempuan Single

Parent Suku Karo.


9

1.4.2 Bagi Perempuan Single Parent

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi dan masukan

yang berharga bagi ibu yang tidak mempunyai pasangan dalam melihat dan belajar

melalui pengalaman serupa dalam menjalani dan mengatasi masalah yang ada serta

mendapat gambaran untuk menggunakan strategi coping dan mampu beradaptasi

dengan kesendiriannya.

1.4.3 Bagi Masyarakat

Memberikan informasi kepada masyarakat mengenai penyesuaian diri

perempuan sebagai single parent bahwa tidaklah mudah, namun perlu didukung

secara mental dan spiritual.


BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Dampak Single Parent

a. Dampak negatif

1) Perubahan prilaku anak

Bagi seorang anak yang tidak siap ditinggalkan orangtua nya bisa

menjadi mengakibatkan perubahan tingkah laku. Menjadi pemarah,

berkata kasar, suka melamun, agresif, suka memukul, menendang,

menyakiti temannya. Anak juga tidak berkesempatan untuk belajar

berprilaku yang baik sebagaimana prilaku keluarga yang harmonis.

Dampak yang paling berbahaya jika anak mencari pelarian di luar

rumah, seperti menjadi anak jalanan, terpengaruh penggunaan narkoba

untuk melenyapkan segala kegelisahan dalam hatinya, terutama anak

yang kurang kasih sayang, kurang perhatian orangtuanya.

2) Perempuan merasa terkucil.

Terlebih lagi pada perempuan yang sebagi janda atau yang tidak

dinikahi, di masyarakat terkadang mendapatkan cemooh atau ejekan.

3) Psikologi anak terganggu

Anak sering mendapat ejekan dari teman sepermainan sehingga anak

menjadi murung, sedih. Hal ini dapat mengakibatkan anak menjadi

kurang kreatif.

10
11

b. Dampak positif

1) Anak terhindar dari komunikasi yang kontradiktif dari orangtua, tidak

akan terjadi komunikasi yang berlawanan dari orangtua, misalnya

ibunya yang mengizinkan tapi ayahnya melarangnya. Nilai yang

diajarkan ibu atau ayah diterima penuh karena tidak terjadi

pertentangan.

2) Ibu berperan penuh dalam pengambil keputusan.

3) Anak lebih mandiri dan berkepribadian kuat, karena terbiasa selalu hal

didampingi, terbiasa menyelesaikan berbagai masalah kehidupan

(Widyastuti dkk, 2009).

2.2 Coping

2.2.1 Pengertian Coping

Coping adalah proses yang dilalui oleh individu dalam menyelesaikan situasi

stresfull. Coping tersebut adalah merupakan respon individu terhadap situasi yeng

mengancam dirinya baik fisik maupun psikologis. Coping diartikan sebagai usaha

perubahan kognitif dan perilaku secara konstan untuk menyelesaikan stres yang

dihadapi. Coping yang efektif menghasilkan adaptasi yang menetap yang merupakan

kebiasaan baru dan perbaikan dari situasi yang lama, sedangkan coping yang tidak

efektif berakhir dengan mala-adaftif yaitu perilaku yang menyimpang dari keinginan

normatif dan dapat merugikan diri sendiri maupun orang lain atau lingkungan. Setiap

individu dalam melakukan coping tidak sendiri dan tidak hanya melakukan satu
12

strategi tapi dapat melakukannya bervariasi, hal ini tergantung dari kemampuan dan

kondisi individu.

Coping itu sendiri dimaknai sebagai apa yang dilakukan oleh individu untuk

menguasai situasi yang dinilai sebagai suatu tantangan/luka/kehilangan/ancaman. Jadi

coping lebih mengarah pada yang orang lakukan untuk mengatasi tuntutan-tuntutan

yang penuh tekanan atau yang membangkitkan emosi (Siswanto, 2007).

2.2.2 Macam-macam Coping

a. Coping psikologis

Pada umumnya gejala yang ditimbulkan akibat stres psikologis tergantung

dua faktor yaitu :

1) Bagaimana persepsi atau penerimaan indiidu terhadap stressor, artinya

seberapa berat yang dirasakan oleh individu tersebut terhadap stressor

yang diterimanya.

2) Keefektifan Strategi coping yang digunakan oleh individu, artinya

dalam menghadapi stressor, jika strategi yang digunakan efektif maka

menghasilkan adaptasi yang baik dan menjadi pola baru dalam

kehidupan, tetapi jika sebaliknya dapat mengakibatkan gangguan

kesehatan fisik maupun psikis.

b. Coping psiko-sosial

Adalah reaksi psiko-sosial terhadap adanya stimulus stres yang diterima

atau dihadapi oleh klien.


13

Sundeen (dalam Rasmun 2004) mengemukakan bahwa terdapat 2

kategori coping yang bisa dilakukan untuk mengatasi stress dan kecemasan,

yaitu:

a. Reaksi yang berorientasi pada tugas (task-oriented reaction)

Cara ini digunakan untuk menyelesakan masalah, menyelesaikan konflik

dan memenuhi kebutuhan dasar. Terdapat 3 macam reaksi yang

berorientasi pada tugas yaitu ; perilaku menyerang, prilaku menarik diri,

kompromi.

b. Reaksi yang berorientasi pada ego

Reaksi ini sering digunakan individu dalam menghadapi stres, atau

kecemasan, jika individu melakukannya dalam waktu sesaat maka akan

dapat mengurangi kecemasan, tetapi jika digunakan dalam waktu yang

lama akan dapat mengakibatkan gangguan orientasi realita, menimbulkan

gangguan orientasi realita, memburuknya hubungan interpersonal dan

menurunnya produtifitas kerja. Coping ini bekerja tidak sadar sehingga

menyelesaikannya sering sulit dan tidak realistis.

2.2.3 Metode Coping

Ada dua metode coping yang digunakan individu yaitu dalam mengatasi

masalah psikologis dua metode tersebut antara lain adalah :

a. Metode coping jangka panjang

Cara ini adalah konstruktif dan merupakan cara yang efektif dan realistis dalam

menangani masalah psikolois untuk kurun waktu yang lama contohnya adalah :
14

1) Berbicara dengan orang lain curhat (curah pendapat dari hati ke hati)

dengan teman, keluarga atau profesi tentang masalah yang sedang dihadapi.

2) Mencoba mencari informasi lebih banyak tentang masalah yang sedang

dihadapi.

3) Menghubungkan situasi atau masalah yang dihadapi dengan kekuatan supra

natural.

4) Melakukan latihan fisik untuk mengurangi ketegangan/masalah

5) Membuat berbagai alternatif tindakan untuk mengurangi situasi.

6) Mengambil pelajaran dari peristiwa atau pengelaman masa lalu.

b. Metode coping jangka pendek

Cara ini digunakan untuk mengurangi stres/ketegangan psikologis dan cukup

efektif untuk waktu sementara, tetapi tidak efektif jika digunakan dalam jangka

panjang contohnya :

1) menggunakan alkohol atau abat-obatan

2) melamun dan fantasi

3) mencoba melihat aspek humor dari situasi yang tidak menyenangkan

4) tidak ragu dan merasa yakin bahwa semua akan kembali stabil

5) banyak tidur

6) banyak merokok

7) menangis

8) beralih pada aktifitas lain agar dapat melupakan masalah

(Rasmun, 2001).
15

Pada tingkat keluarga coping yang dilakukan dalam menghadapi masalah/

ketegangan seperti :

a. Mencari dukungan seperti minta bantuan keluarga, tetangga, teman, atau keluarga

jauh.

b. Reframing yaitu mengkaji ulang kejadian masa lalu agar lebih dapat

menanganinya dan menerimanya.

c. Mencari dukungan spiritual, berdoa, menemui pemuka agama atau aktif pada

pertemuan ibadah.

d. Menggerakkan keluarga untuk mencari dan menerima bantuan

e. Penilaian secara pasif terhadap peristiwa yang didalam dengan cara menonto tv,

atau diam saja.

(Rasmun, 2001)

2.2.4 Strategi Coping

Secara alamiah baik di sadari maupun tidak, individu sesungguhnya telah

menggunakan strategi coping dalam megatasi stres. Strategi coping adalah cara yang

dilakikan untuk merubah lingkungan atau situasi atau menyelesaikan masalah yang

sedang dirasakan/dihadapi (Rasmun, 2004).

Menurut Calson (2007), strategi coping adalah rencana yang mudah dari suatu

perbuatan yang dapat kita ikuti, semua rencana ini dapat digunakan sebagai antisipasi

ketika menjumpai situasi yang menimbulkan stres atau sebagai respon terhadap stres

yang sedang terjadi, dan efektif dalam mengurangi level stres yang kita alami

(Calson, 2007).
16

Lazarus & Folkman (1984), mengklasifikasikan strategi coping yang

digunakan menjadi dua yaitu:

a. Problem Focused Coping (PFC)

Merupakan strategi coping untuk menghadapi masalah secara langsung melalui

tindakan yang ditujukan untuk menghilangkan atau mengubah sumber-sumber

stres.

Bentuk-bentuk strategi coping ini adalah :

1) Countiousness (kehati-hatian) yaitu individu berpikir dan mampu

mempertimbangkan beberapa pemecahan masalah serta mengevaluasi

strategi-strategi yang pernah dilakukan sebelumnya atau meminta pandapat

orang lain.

2) Instrumental action yaitu usaha-usaha langsung individu dalam menentukan

solusi permasalahan serta menyusun langkah-langkah yang akan dilakukan.

3) Negosiasi merupakan salah satu taktik dalam PFC yang diarahkan langsung

pada orang lain atau mengubah pikiran oarang lain demi mendapatkan hal

yang positif dari situasi yang problematik tersebut.

b. Emotion Focused Coping (EFC)

Merupakan strategi untuk meredakan emosi individu yang ditimbulkan oleh

stressor (sumber stres), tanpa berusaha untuk mengubah suatu situasi yang

menjadi sumber stres secara langsung.

Bentuk strategi coping ini adalah :


17

1) Pelarian diri adalah individu berusaha untuk menghindarkan diri dari

pemecahan masalah yang sedang dihadapi.

2) Penyalahan diri adalah individu selalu menyalahkan dirinya sendiri dan

menghukum diri sendiri serta menyesali yang telah terjadi.

3) Minimalisasi adalah individu menolak masalah yang ada dengan cara

menganggap seolah-olah tidak ada masalah, bersikap pasarah, dan acuh tak

acuh terhadap lingkungan.

4) Pencarian makna adalah individu menghadapai masalah yang mengandung

stress dengan mencari arti kegagalan bagi dirinya serta melihat segi-segi yang

penting dalam kehidupan.

2.2.5 Strategi Coping pada Perempuan Single Parent

Penelitian yang dilakukan oleh Ahsyari (2015), menunjukkan bahwa wanita

single parent akan menghadapi kelelahan emosional ketiga subjek hampir sama

dimana ketiga subjek sangat mudah sedih dan menangis, mudah marah dan cemas

dengan masa depan anak-anaknya. Sedangkan masalah kelelahan mental seperti

merasa tidak berharga, menjadi lebih sensitif, sering mengalami kebingungan, merasa

tidak bahagia dan kehilangan percaya diri. Strategi coping yang dilakukan subjek

adalah Problem Focused Coping (PFC) yaitu dengan melakukan kegiatan positif,

bekerja keras, tidak menemui mantan suami, menunjukkan pada mantan suami bahwa

kehidupannya lebih baik dan bahagia tanpa suami, lebih mandiri dan

memprioritaskan kehidupan anak-anak sedangkan strategis coping berupa Emotion

Focused Coping (EFC) dengan memperluas pergaulan, menyesali keputusan yang

diambil terburu-buru pada saat menikah dan keputusan untuk bercerai, menutup diri
18

jika ditanya tentang perceraian, bersikap sabar dan ikhlas dengan ujian Tuhan,

mengambil hikmah dari setiap permasalahan, lebih mendekatkan diri pada Tuhan.

Jika individu berada pada posisi stres manusia akan menggunakan berbagai

cara untuk mengatasinya, individu dapat menggunakan satu atau lebih sumber koping

yang tersedia. Seseorang yang mengalami masalah serius dan dianggap sebagai

penyakit akan menunjukkan kesadaran yang tinggi terhadap kepercayaannya yang

tampak pada perilakunya sehari-hari. Individu memerlukan segala usaha untuk

mengatasi stress akibat kondisi yang dialaminya.

Memiliki strategi coping sangat penting untuk melanjutkan hidup tanpa

suami. Strategi coping tergantung pada sumber daya internal seperti kekuatan batin,

rasa percaya diri, dan penerimaan yang benar tentang nasib mereka, mampu

bergantung pada struktur dukungan atau mencoba untuk melanjutkan dengan

berfokus pada masa depan.

Strategi coping adalah cara yang dilakukan untuk merubah lingkungan atau

situasi atau menyelesaikan masalah yang sedang dirasakan/dihadapi. (Rasmun, 2004)

Penelitian yang dilakukan oleh Faradina dan Fajrianthi (2012) coping yang dilakukan

untuk mengatasi konflik pekerjaan-keluarga yang dirasakan single mother ada 3

yaitu, diret action, help-seeking, dan avoidance/resignation. Direct action coping

berupa perilaku yang dilakukan untuk menyelesaikan konflik yang dirasakan dan

dilakukan tanpa ada bantuan dari orang lain. Help-seeking coping dilakukan ketika

dari diri sendiri tidak bisa menyelesaikan konflik yang dialami lalu ketika bercerita

kepada orang lain merasa lebih lega dan menemukan solusi untuk menyelesaikan
19

konflik. Avoidance/resignation coping dilakukan mengabaikan stresor sementara

setelah merasa segar baru menghadapinya kembali. Pemilihan coping tidak

tergantung dimensi konflik pekerjaan-keluarga yang dirasakan, tetapi tergantung

individu yaitu nilai, pemikiran, perasaan, dan tindakan.

2.3 Kerangka Pikir

Strategi
Coping

Perempuan Single
Stres Dampak
Parent

Gambar 2.3 Kerangka Pikir

Perempuan single parent (stresor) sumber stres atau kejadian yang

menyebabkan stres, stres yang timbul pada perempuan single parent akan berdampak

pada kehidupan single parent yang dapat mengancam dirinya baik fisik maupun

psikologisnya.

Oleh karena hal tersebut maka perempuan single parent akan melakukan

usaha untuk menguasai situasi yang dinilai sebagai suatau tantangan/luka/ancaman

agar dampak yang sudah terjadi akibat stresor dapat diminimalkan dan jika belum

terjadi dapat di hindari.


BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian

Pemilihan metode kualitatif menjadi metode dalam penelitian ini dilakukan

untuk mengeksplorasi suatu proses yang muncul dari perempuan yang mengalami

perceraian sehingga dapat mengembangkan suatu teori atau konsep yang dapat

menjadi dasar dari strategi coping pada perempuan yang menikah dan mengalami

perceraian berdasarkan pengalaman subjektif mereka.

Karakteristik strategi coping yang unik dan berbeda antara satu individu

dengan individu yang lain juga merupakan alasan peneliti memilih metode penelitian

kualitatif, hal ini sesuai dengan fungsi dan pemanfaatan kualitatif yaitu dapat melihat

sesuatu secara mendalam, memahami isu-isu yang sensitif, dan isu-isu yang rumit dan

meneliti sesuatu dari segi prosesnya.

Penelitian kualitatif adalah pengumpulan data pada suatu latar alamiah,

dengan menggunakan metode alamiah, dan dilakukan oleh orang atau peneliti yang

tertarik secara alamiah (Moleong, 2005).

Metode pendekatan dan cara yang akan digunakan dalam memperoleh data

atau fenomena yang ingin diungkap dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan

pendekatan studi kasus.Pendekatan studi kasus adalah kegiatan yang mengeksplorasi

suatu masalah dengan batasan terperinci, memiliki pengambilan data yang mendalam,

dan menyertakan berbagai informasi (Sumantri, 2011).

20
21

3.2 Subjek

3.2.1 Karakteristik Subjek

Subjek penelitian menjadi informan akan memberikan berbagai informasi

yang diperlukan selama proses penelitian. Informan penelitian ini meliputi tiga

macam yaitu (1) informasi kunci (key informan), yaitu mereka yang mengetahui dan

memiliki informasi pokok yang diperlukan dalam penelitian, (2) informan biasa, yaitu

mereka yang terlibat secara langsung dalam interaksi sosial yang diteliti, (3) informan

tambahan, yaitu mereka yang dapat memberikan informasi walaupun tidak langsung

terlibat dalam interaksi sosial yang sedang diteliti (Hendarso dalam Suyanto, 2005).

Dari penjelasan yang sudah diterngkan diatas maka karakteristik informan

yang digunakan dalam penelitian ini telah disesuaikan dengan tujuan penelitian yang

menjadi informan kunci dalam penelitian ini yaitu perempuan yang sudah pernah

menikah dan mengalami perceraian dalam pernikahannya, menyatakan bersedia

untuk ikut dalam penelitian ini dan mampu menceritakan pengalamannya dengan

baik dan informan tambahan yaitu tokoh adat atau tokoh agama.

3.2.2 Jumlah Informan

Menurut Moleong 2002, penelitian kualitatif memiliki sifat yang luwes, oleh

sebab itu tidak ada aturan yang pasti mengenai jumlah informan yang harus diambil

dalam penelitian kualitatif. Jumlah informan yang diteliti pada penelitian ini tidak

ditentukan, teknik yang digunakan dalam pengambilan informan adalah Snowball

Sampling (berkembang mengikuti informasi atau data yang diperlukan)


22

Jumlah informan dalam penelitian ini belum ditentukan, sangat tergantung

pada apa yang dianggap bermanfaat dan dapat dilakukan dengan waktu dan sumber

daya tersedia, pengambilan informan sumber data, yang pada awalnya jumlahnya

sedikit, lama-lama menjadi besar. Hal ini dilakukan karena dari jumlah sumber data

yang sedikit itu tersebut belum mampu memberikan data yang memuaskan, maka

mencari orang lain lagi yang dapat digunakan sebagai sumber data.

3.2.3 Sumber Data

Sumber data utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata, tindakan,

selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain. Sumber data utama

dicatat melalui catatan tertulis atau melalui perekaman vidio/audio tapes,

pengambilan foto atau film (Moleong, 2005).

Yang menjadi sumber data dalam penelitian ini adalah kata-kata yang dicatat

melalui catatan tertulis atau melalui alat perekam.

3.2.4 Lokasi Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan di Kabanjahe, karena terdapat kemudahan bagi

peneliti dalam menemukan kasus, dengan pertimbagan peneliti sudah bisa

berinteraksi dan mengenal informan. Hal ini memberi manfaat dan kemudahan dalam

membina hubungan saling percaya dengan informan di Kabanjahe dan belum pernah

dilakukan penelitian serupa.


23

3.3 Metode Pengumpulan Data

Pencatatan sumber data utama dapat dilakukan dengan wawancara dan

observasi yang merupakan hasil gabungan dari kegiatan melihat, mendengar dan

bertanya.

Sesuai dengan pendekatan penelitian, maka instrument yang digunakan untuk

mengumpulkan data adalah peneliti sendiri. Peneliti sebagai key instrument atau alat

penelitian yang utama (Moeloeng, 2005). Menurut Lincoln, keberadaan peneliti

sebagai key instrument memberikan keuntungan, karena sifat peneliti yang responsif

dan adaptable. Sebagai key instrument, kehadiran dan keterlibatan peneliti di

lapangan lebih memungkinkan untuk menemukan makna dan tafsiran dari subyek

penelitian dibandingkan dengan penggunaan alat non human (seperti instrument

angket) sebab dengan demikian peneliti dapat mengkonfirmasi dan mengadakan

pengecekan pada subyek apabila informasinya kurang atau tidak sesuai dengan

tafsiran peneliti melalui pengecekan anggota/membercheks.

Peneliti hadir tanpa berperan serta dan tidak melakukan intervensi apapun

terhadap peristiwa yang akan diungkap. Wawancara dilakukan dalam situasi informal.

Dengan demikian fenomena yang terjadi adalah asli (natural). Dalam pengumpulan

data lebih banyak bergantung pada diri peneliti sendiri sebagai alat pengumpul data.

Yang berarti bahwa penelitian harus dapat mengungkapkan makna, berinteraksi

dengan nilai-nilai lokal dimana hal ini tidak bisa dilakukan dengan kuesioner, angket,

atau yang lainnya. Oleh karena itu, kehadiran peneliti di lokasi penelitian mutlak
24

diperlukan sesuai dengan prinsip-prinsip penelitian kualitatif yaitu peneliti harus

dapat menciptakan hubungan yang baik dengan subyek penelitian.

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah: (1) instrumen utama

adalah peneliti. Hal ini dikarenakan kedudukan peneliti dalam penelitian kualitatif

adalah sebagai perencana, pelaksana pengumpulan data, analisis, penafsir data dan

pada akhirnya ia menjadi pelapor hasil penelitiannya, (2) perekam digital, dan (3)

beberapa alat tulis.

3.3.1 Wawancara

Wawancara lebih efisien daripada pengamatan. Sebagaimana dikatakan Dezin

(dalam Mulyana, 2002). Cara ini merupakan tahapan yang dilalui peneliti untuk

mendapatkan data primer dari informan sesuai dengan kajian atau fokus penelitian.

Peneliti berpedoman pada batasan-batasan dari rumusan masalah. Adapun acuan yang

dijadikan peneliti untuk melakukan wawancara, terdapat pada lampiran laporan

penelitian. Wawancara sendiri dilakukan secara mendalam (in depth-interview).

Untuk dapat melakukan wawancara secara mendalam, peneliti melakukannya dengan

beberapa tahapan, yaitu wawancara yang dilakukan beberapa kali terhadap satu

subyek. Dari hasil wawancara pertama nantinya menjadi pedoman wawancara kedua

dan akan begitu seterusnya, sampai data yang diperoleh cukup relevan dengan tujuan

penelitian. wawancara secara berkala tersebut selain untuk memperjelas dan

menambah informasi data, juga sebagai metode untuk memperoleh keabsahan data

atau tidak lain sebagai teknik triangulasi itu sendiri (Sutrisno, 2008).
25

Dalam proses wawancara terdapat dua pihak kedudukan yang berbeda. Pihak

pertama berfungsi sebagai penanya, disebut juga sebagai interviewer, sedang pihak

kedua berfungsi sebagai pemberi informasi (informan supplyer). Interviewer

mengajukan pertanyaan-pertanyaan, meminta keterangan atau penjelasan, sambil

menilai jawaban-jawabannya. Sekaligus ia mengadakan paraphase (menyatakn

kembali isi jawaban interviewee dengan kata-kata lain) (Gunawan, 2013).

Disamping itu, dia juga menggali keterangan-keterngan lebih lanjut dan

berusaha melakukan probing inilah yang disebut mengali informasi lebih dalam

sehingga memperoleh jawaban yang lebih kusus dan tepat (Singarimbun, 1989).

Dalam metode wawancara, alat yang terpenting adalah peneliti sendiri.

Namun untuk memudahkan pengumpulan data, peneliti membutuhkan alat bantu.

Alat bantu yang akan digunakan dalam penelitian ini berupa pedoman wawancara dan

alat perekam.

Pedoman umum wawancara memuat isu-isu yang berkaitan dengan tema

penelitian ini. Pertanyaan akan disesuaikan dengan situasi dan kondisi saat

wawancara berlangsung tanpa melupakan aspek-aspek yang harus ditanyakan.

Pedoman ini digunakan untuk mengingatkan sekaligus sebagai daftar pengecek

bahwa semua aspek yang relevan telah dibahas atau ditanyakan.

Tape recorder akan digunakan untuk merekam wawancara yang dilakukan

sehingga semua data penting yang diungkapkan subjek tidak ada yang terlupakan.

Rekaman wawancara berguna untuk membuat verbatim sehingga mempermudah

dalam melakukan pengkodean dan analisis data. Penggunaan tape recorder ini akan

dilakukan dengan seizin informan penelitian.


26

3.4 Metode Analisis Data

Data akan dianalisis menurut prosedur penelitian kualitatif, dengan

mengumpulkan verbatim (kata demi kata) wawancara dan mengolah data dengan

metode kualitatif.

Menurut Sumantri, (2011) langkah-langkah analisis data adalah sebagai

berikut :

1. Mengorganisir informasi.

2. Membaca keseluruhan informasi dan memberi kode.

3. Membuat suatu uraian terperinci mengenai kasus dan konteksnya.

4. Peneliti menetapkan pola dan mencari hubungan antara beberapa kategori.

5. Selanjutnya peneliti melakukan interpretasi dan mengembangkan generalisasi

natural dari kasus untuk peneliti maupun penerapannya pada kasus yang lain.

6. Menyajikan secara naratif.

Anda mungkin juga menyukai