Anda di halaman 1dari 32

REFERAT

KERATITIS

Pembimbing :

dr. Etika Widhiastuti, Sp. M

Disusun Oleh :

Shabila Shamsa

030.12.253

KEPANITERAAN ILMU PENYAKIT MATA

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOTA BEKASI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI

PERIODE 28 AGUSTUS 2017 30 SEPTEMBER 2017

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala kemudahan dan berkat-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas referat dalam Kepaniteraan Ilmu Penyakit Mata di
RSUD Kota Bekasi dengan judul Keratitis.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada dr. Etika
Widhiastuti, Sp. M selaku pembimbing atas pengarahannya selama penulis belajar dalam
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Mata.

Semoga makalah ini dapat bermanfaat terutama bagi penulis sendiri dan para pembaca.
Penulis menyadari bahwa karya tulis ini masih banyak kekurangan dan masih perlu banyak
perbaikan, oleh karena itu kritik dan saran diharapkan dari pembaca.

Bekasi, 12 September 2017

Shabila Shamsa

030.12.0253

2
LEMBAR PENGESAHAN

REFERAT DENGAN JUDUL

KERATITIS

Telah diterima dan disetujui oleh pembimbing, sebagai syarat untuk menyelesaikan Kepaniteraan
Klinik Ilmu Penyakit Mata

di RSUD Kota Bekasi

Periode 28 Agustus 2017 30 September 2017

Bekasi, 11 Juli 2017

dr. Etika Widhiastuti, Sp. M

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kornea merupakan bagian anterior dari mata yang harus dilalui cahaya, dalam perjalanan
pembentukan bayangan di retina. Karena itu kornea harus tetap jernih dan permukaannya
rata agar tidak menghalangi proses pembiasan sinar. Kelainan yang bisa merusak bentuk dan
kejernihan kornea dapat menimbulkan gangguan penglihatan.1

Kornea memiliki mekanisme protektif terhadap lingkungan maupun paparan patogen


(virus, amoeba, bakteri dan jamur). Ketika patogen berhasil masuk dan membuat defek
epitelial di kornea, maka jaringan braditropik kornea akan merespon patogen spesifik dengan
peradangan pada kornea (keratitis).

Keratitis merupakan suatu proses peradangan kornea yang dapat bersifat akut maupun
kronis yang disebabkan oleh berbagai faktor antara lain bakteri, jamur, virus atau karena
alergi. keratitis dapat dibagi menjadi beberapa golongan berdasarkan kedalaman lesi pada
kornea (tempatnya), penyebab dan bentuk klinisnya.3
Gejala umum keratitis adalah visus turun perlahan, mata merah, rasa silau, dan merasa ada
benda asing di matanya. Gejala khususnya tergantung dari jenis-jenis keratitis yang diderita
oleh pasien. Gambaran klinik masing-masing keratitis pun berbeda-beda tergantung dari
jenis penyebab dan tingkat kedalaman yang terjadi di kornea, jika keratitis tidak ditangani
dengan benar maka penyakit ini akan berkembang menjadi suatu ulkus yang dapat merusak
kornea secara permanen sehingga akan menyebabkan gangguan penglihatan bahkan dapat
sampai menyebabkan kebutaan sehingga pengobatan keratitis haruslah cepat dan tepat agar
tidak menimbulkan komplikasi yang merugikan di masa yang akan datang terutama pada
pasien yang masih muda.1,2

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Kornea

Kornea adalah jaringan transparan tembus cahaya, menutupi bola mata bagian depan. Kornea
menempati 1/6 dari jaringan fibrosa bagian depan dari bola mata. Bagian anterior dari kornea
berbentuk elips dengan diameter horizontal 11,7 mm dan diameter vertikal 11 mm. Bagian
posterior berbentuk sirkular dengan diameter rata-rata 11,5 mm. Kornea dewasa rata-rata
mempunyai tebal 0,52 mm di bagian tengah dan 0,65 mm di bagian perifer. Dari anterior ke
posterior, kornea mempunyai lima lapisan yang berbeda-beda : lapisan epitel, lapisan Bowman,
stroma, membran Descment dan lapisan endotel.3

Lapisan kornea

1. Epitel
- Tebalnya 50 m, terdiri atas 5 lapis sel epitel tidak bertanduk yang saling tumpang tindih
yang terdiri dari satu lapis sel basal, sel poligonal dan sel gepeng.
- Pada sel basal sering terlihat mitosis sel, dan sel muda ini terdorong ke depan menjadi
lapis sel sayap dan semakin maju ke depan menjadi sel gepeng, sel basal berkaitan erat
dengan sel basal di sampingnya dan sel poligonal di depannya melalui desmosom dan

5
makula okluden.Ikatan ini menghambat pengaliran air, elektrolit, dan glukosa yang
merupakan barrier.
- Sel basal menghasilkan membran basal yang melekat erat kepadanya. Bila terjadi
gangguan akan mengakibatkan erosi rekuren.
- Epitel berasal dari ektoderm permukaan.

2. Membran Bowman
- Terletak di bawah membran basal epitel kornea yang merupakan kolagen yang tersusun
tidak teratur seperti stroma dan berasal dari bagian depan stroma.
- Lapisan ini tidak mempunyai daya regenerasi.

3. Stroma
- Terdiri atas lamel yang merupakan susunan kolagen yang sejajar satu dengan lainnya,
pada permukaan terlihat anyaman yang teratur, sedangkan di bagian perifer serat kolagen
ini bercabang; terbentuknya serat kolagen memakan waktu lama yang kadang-kadang
sampai 15 bulan. Keratosit merupakan sel stroma kornea yang merupakan fibroblas
terletak di antara serat kolagen stroma. Diduga keratosit membentuk bahan dasar dan serat
kolagen dalam perkembangan embrio atau sesudah trauma.

4. Membran Descement
- Merupakan membran aselular dan merupakan batas belakang stroma kornea dihasilkan
sel endotel dan merupakan membran basalnya.
- Bersifat sangat elastik dan berkembang terus seumur hidup, mempunyai tebal 40 m.

5. Endotel
- Berasal dari mesotelium, berlapis satu, berbentuk heksagonal, besar 20-40 m. Endotel
melekat pada membran descement melalui hemidesmosom dan zonula okluden.

Kornea dipersarafi oleh banyak saraf sensoris terutama berasal dari saraf siliar longus, saraf
nasosiliar, saraf ke V saraf siliar longus berjalan suprakoroid, masuk ke dalam stroma kornea,
menembus membran Bowman melepaskan selubung Schwannya. Seluruh lapis epitel dipersarafi
6
sampai pada kedua lapis terdepan tanpa ada akhir saraf. Bulbus Krause untuk sensasi dingin
ditemukan di daerah limbus. Daya regenerasi saraf sesudah dipotong di daerah limbus terjadi
dalam waktu 3 bulan. Trauma atau penyakit yang merusak endotel akan mengakibatkan sistem
pompa endotel terganggu sehingga dekompensasi endotel dan terjadi edema kornea. Endotel tidak
mempunyai daya regenerasi. Pembiasan sinar terkuat dilakukan oleh kornea, dimana 40 dioptri
dari 50 dioptri pembiasan sinar masuk dilakukan oleh kornea.2.3

2.2 FISIOLOGI KORNEA

Kornea mempunyai dua fungsi utama yaitu sebagai medium refraksi dan untuk memproteksi
lensa intraokular. Kornea menjalankan dua fungsi utama ini dengan cara mempertahankan sifat
transparansi kornea dan pergantian dari jaringannya. Transparansi kornea dimungkinkan oleh
sifatnya yang avaskuler, memiliki struktur yang uniform yang sifat deturgescence nya.
Transparansi stroma dibentuk oleh pengaturan fisis special dari komponen komponen fibril.
Walaupun indeks refraksi dari masing masing fibril kolagen berbeda dari substansi infibrilar,
diameter yang kecil (300 A) dari fibril dan jarak yang kecil diantara mereka (300 A)
mengakibatkan pemisahan dan regularitas yang menyebabkan sedikit pembiasan cahaya
dibandingkan dengan inhomogenitas optikalnya. Sifat deturgescence di jaga dengan pompa
bikarbonat aktif dari endotel dan fungsi barrier dari epitel dan endotel. Kornea di jaga agar tetap
berada pada keadaan basah dengan kadar air sebanyak 78%.
7
Peran kornea dalam proses refraksi cahaya bagi penglihatan seseorang sangatlah penting.
Pembiasan sinar terkuat dilakukan oleh kornea, dimana 43,25 dioptri dari total 58,6 kekuatan
dioptri mata normal manusia, atau sekitar 74% dari seluruh kekuatan dioptri mata normal. Hal ini
mengakibatkan gangguan pada kornea dapat memberikan pengaruh yang cukup signifikan dalam
fungsi visus seseorang. Kornea merupakan struktur vital dari mata dan oleh karenanya kornea
sangat sensitif. Saraf saraf kornea masuk dari stroma kornea melalui membran bowman dan
berakhir secara bebas diantara sel sel epithelial serta tidak memiliki selebung myelin lagi sekitar
2 3 mm dari limbus ke sentral kornea, sehingga menyebabkan sensitifitas yang tinggi pada
kornea.

Kornea menerima suplai sensoris dari bagian oftalmik nervus trigeminus. Sensasi taktil yang
terkecil pun dapat menyebabkan refleks penutupan mata. Setiap kerusakan pada kornea (erosi,
penetrasi benda asing atau keratokonjungtivitis ultraviolet) mengekspose ujung saraf sensorik dan
menyebabkan nyeri yang intens disertai dengan refleks lakrimasi dan penutupan bola mata
involunter. Trias yang terdiri atas penutupan mata involunter (blepharospasme), refleks lakrimasi
(epiphora) dan nyeri selalu mengarahkan kepada kemungkinan adanya cedera kornea.

Seperti halnya lensa, sklera dan badan vitreous, kornea merupakan struktur jaringan yang
braditrofik, metabolismenya lambat dimana ini berarti penyembuhannya juga lambat.
Metabolisme kornea (asam amino dan glukosa) diperoleh dari 3 sumber, yaitu :

Difusi dari kapiler kapiler disekitarnya


Difusi dari humor aquous
Difusi dari film air mata
Tiga lapisan film air mata prekornea memastikan bahwa kornea tetap lembut dan membantu nutrisi
kornea. Tanpa film air mata, permukaan epitel akan kasar dan pasien akan melihat gambaran yang
kabur. Enzim lisosom yang terdapat pada film air mata juga melindungi mata dari infeksi.4,5

8
2.3 Definisi

Keratitis adalah infeksi pada kornea yang biasanya diklasifikasikan menurut lapisan
kornea yang terkena yaitu keratitis superfisialis apabila mengenal lapisan epitel atau bowman
dan keratitis profunda atau interstisialis (atau disebut juga keratitis parenkimatosa) yang
mengenai lapisan stroma.1,6

2.4 Epidemiologi

Frekuensi keratitis di Amerika Serikat sebesar 5% di antara seluruh kasus kelainan


mata. Di negara-negara berkembang insidensi keratitis berkisar antara 5,9-20,7 per 100.000
orang tiap tahun. Insidensi keratitis pada tahun 1993 adalah 5,3 per 100.000 penduduk di
Indonesia, perbandingan laki-laki dan perempuan tidak begitu bermakna pada angka
kejadian keratitis. Sedangkan predisposisi terjadinya keratitis antara lain terjadi karena
trauma, pemakaian lensa kontak dan perawatan lensa kontak yang buruk, penggunaan lensa
kontak yang berlebihan, Herpes genital atau infeksi virus lain, kekebalan tubuh yang
menurun karena penyakit lain, serta higienis dan nutrisi yang tidak baik, dan kadang-kadang
tidak diketahui penyebabnya.5,6

2.5 Etiologi dan Klasifikasi

Terdapat bermacam-macam pembagian dari keratitis yaitu:


1. Berdasarkan lapisan yang terkena
1. Keratitis Pungtata (Keratitis Pungtata Superfisial dan Keratitis Pungtata Subepitel)
2. Keratitis Marginal
3. Keratitis Interstisial
9
2. Berdasarkan penyebabnya

1. Keratitis Bakteri
2. Keratitis Jamur
3. Keratitis Virus
4. Keratitis Herpetik
a. Keratitis Infeksi Herpes Zoster
b. Keratitis Infeksi Herpes Simplek :
Keratitis Dendritik dan Keratitis Disiformis
5. Keratitis Alergi
a. Keratokonjungtivitis
b. Keratokonjungtivitis epidemi
c. Tukak atau ulkus fliktenular
d. Keratitis fasikularis
e. Keratokonjungtivitis vernal
3. Berdasarkan bentuk klinisnya

1. Keratitis Flikten
2. Keratitis Sika
3. Keratitis Neuroparalitik
4. Keratitis Numuralis

Klasifikasi keratitis berdasarkan lapisan kornea yang terkena, yaitu:

A. Keratitis Pungtata5
Keratitis yang terkumpul di daerah Bowman, dengan infiltrat berbentuk bercak-bercak
halus. Keratitis pungtata superfisial memberikan gambaran seperti infiltrat halus bertitik-
titik pada permukaan kornea. Merupakan cacat halus kornea superfisial dan hijau bila
diwarnai fluoresein. Sedangkan keratitis pungtata subepitel adalah keratitis yang terkumpul
di daerah membran Bowman. Merupakan suatu peradangan akut yang mengenai satu atau

10
kedua mata, dapat dimulai dari konjungtivitis kataral, disertai infeksi dari traktus
respiratorius.
Penyebabnya belum diketahui dengan jelas, diduga diakibatkan infeksi virus, bakteri,
parasit, neurotropik, dan nutrisional. 2,3,5

Gambar 2 . Keratitis pungtata5

B. Keratitis Marginal6
Merupakan infiltrat yang tertimbun pada tepi kornea sejajar dengan limbus. Penyakit infeksi
lokal konjungtiva dapat menyebabkan keratitis kataral atau keratitis marginal ini. Keratitis
marginal kataral biasanya terdapat pada pasien setengah umur dengan adanya
blefarokonjungtivitis.

Gambar 3. Keratitis Marginal6

11
C. Keratitis Interstitial3
Keratitis interstitial adalah kondisi serius dimana masuknya pembuluh darah ke dalam kornea
dan dapat menyebabkan hilangnya transparansi kornea. Keratitis interstitial dapat berlanjut
menjadi kebutaan. Sifilis adalah penyebab paling sering dari keratitis interstitial.

.Gambar 4. Keratitis Interstitial6

2. Menurut penyebabnya :6,7

a. Keratitis bakterial
Bakteri-bakteri yang biasa menyebabkan keratitis bakterialis, yaitu :

Streptokokus pneumonia
Pseudomonas aeroginosa
Streptokokus hemolitikus
Moraxella liquefaciens
Klebsiella pneumoniae
Pasien keratitis biasanya mengeluh mata merah, berair, nyeri pada mata yang terinfeksi,
penglihatan silau, adanya sekret dan penglihatan menjadi kabur. Pada pemeriksaan bola
mata eksternal ditemukan hiperemis perikornea, blefarospasme, edema kornea, infiltrasi
kornea

12
1. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan kultur bakteri dilakukan dengan menggores ulkus kornea dan bagian tepinya
dengan menggunakan spatula steril kemudian ditanam di media cokelat, darah dan agar
Sabouraud, kemudian dilakukan pengecatan dengan Gram.
Biopsy kornea dilakukan jika kultur negatif dan tidak ada perbaikan secara klinis dengan
menggunakan blade kornea bila
ditemukan infiltrat dalam di stroma

2. Terapi

b. Keratitis viral

Virus lain yang dapat menyebabkan keratitis, yaitu :


13
Herpes simpleks
Herpes zoster
Variola (jarang)
Vacinia (jarang)
Manifestasi Klinis
Pasien dengan HSV keratitis mengeluh nyeri, fotofobia, penglihatan kabur, mata berair, mata
merah, tajam penglihatan turun terutama jika bagian pusat yang terkena.

Infeksi primer herpes simpleks pada mata biasanya berupa konjungtivitis folikularis akut disertai
blefaritis vesikuler yang ulseratif, serta pembengkakan kelenjar limfe regional. Kebanyakan
penderita juga disertai keratitis epitelial dan dapat mengenai stroma tetapi jarang. Pada dasarnya
infeksi primer ini dapat sembuh sendiri, akan tetapi pada keadaan tertentu di mana daya tahan
tubuh sangat lemah akan menjadi parah dan menyerang stroma.

Gambar: keratitis virus herpes simpleks


1. Pemeriksaan Penunjang
Usapan epitel dengan Giemsa multinuklear noda dapat menunjukkan sel-sel raksasa, yang
dihasilkan dari perpaduan dari sel-sel epitel kornea yang terinfeksi dan virus intranuclear
inklusi.

2. Terapi
Debridement
Cara efektif mengobati keratitis dendritik adalah debridement epithelial, karena virus
berlokasi didalam epithelial. Debridement juga mengurangi beban antigenic virus pada
stroma kornea. Epitel sehat melekat erat pada kornea namun epitel yang terinfeksi mudah
dilepaskan. Debridement dilakukan dengan aplikator berujung kapas khusus. Obat
14
siklopegik seperti atropine 1% atau homatropin 5% diteteskan kedalam sakus konjungtiva,
dan ditutup dengan sedikit tekanan. Pasien harus diperiksa setiap hari dan diganti penutupnya
sampai defek korneanya sembuh umumnya dalam 72 jam.
Terapi Obat
IDU (Idoxuridine) analog pirimidin (terdapat dalam larutan 1% dan diberikan setiap jam,
salep 0,5% diberikan setiap 4 jam)
Vibrabin: sama dengan IDU tetapi hanya terdapat dalam bentuk salep
Trifluorotimetidin (TFT): sama dengan IDU, diberikan 1% setiap 4 jam
Asiklovir (salep 3%), diberikan setiap 4 jam.
Asiklovir oral dapat bermanfaat untuk herpes mata berat, khususnya pada orang atopi yang
rentan terhadap penyakit herpes mata dan kulit agresif.
Terapi Bedah
Keratoplasti penetrans mungkin diindikasikan untuk rehabilitasi penglihatan pasien yang
mempunyai parut kornea yang berat, namun hendaknya dilakukan beberapa bulan setelah
penyakit herpes non aktif.

c. Keratitis jamur
Jamur - jamur yang biasa ditemukan pada keratitis, diantaranya :

Candida
Aspergilin
Nocardia
Cephalosporum

15
1. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan yang dapat dilakukan yaitu pemeriksaan kerokan kornea (sebaiknya dengan
spatula Kimura) yaitu dari dasar dan tepi ulkus dengan biomikroskop. Dapat dilakukan
pewarnaan KOH, Gram, Giemsa atau KOH + Tinta India.
Biopsi jaringan kornea dan diwamai dengan Periodic Acid Schiff atau Methenamine Silver.

2. Terapi
Obat-obat anti jamur yang dapat diberikan meliputi:
Polyenes termasuk natamycin, nistatin, dan amfoterisin B.
Azoles (imidazoles dan triazoles) termasuk ketoconazole, Miconazole, flukonazol,
itraconazole, econazole, dan clotrimazole
D. Keratitis herpetika
Merupakan keratitis yang disebabkan oleh infeksi herpes simplek dan herpes zoster.
Keratitis herpetika yang disebabkan oleh herpes simplek dibagi dalam 2 bentuk yaitu epitelial
dan stromal. Perbedaan ini perlu akibat mekanisme kerusakannya yang berbeda. 2
Pada yang epitelial kerusakan terjadi akibat pembelahan virus di dalam sel epitel, yang
akan mengakibatkan kerusakan sel dan membentuk ulkus kornea superfisial. Sedang pada
yang stromal diakibatkan reaksi imunologik tubuh pasien sendiri terhadap virus yang
menyerang. 2,5

Gambar 8. Keratitis herpes Simpleks


Keratitis herpes simplek adalah penyebab ulkus kornea paling sering dan penyebab kebutaan
kornea paling umum di Amerika. Bentuk epitelnya adalah padanan dari herpes labialis, yang
memiliki ciri-ciri immunologi dan patologi sama, juga perjalanan penyakitnya. Perbedaan
satu-satunya adalah bahwa perjalanan klinik keratitis dapat berjalan lebih lama karena stroma
16
kornea kurang vaskuler, sehingga menghambat migrasi limfosit dan makrofag ke tempat lesi.
Infeksi okuler HSV pada hospes imunokompeten biasanya sembuh sendiri, namun pada
hospes yang secara imunologi tidak kompeten, termasuk pasien yang diobati dengan
kortikosteroid topikal, perjalanannya mungkin dapat menahun dan dapat merusak. Penyakit
endotel dan stroma tadinya diduga hanyalah respon imunologik terhadap partikel virus atau
perubahan seluler akibat virus, namun sekarang makin banyak bukti yang menunjukkan
bahwa infeksi virus aktif dapat timbul di dalam stroma dan mungkin juga sel-sel endotel,
selain di jaringan lain dalam segmen anterior, seperti iris dan endotel trebekel. Hal ini
mengharuskan penilaian kemungkinan peran relatif replikasi virus dan respon imun hospes
sebelum dan selama pengobatan terhadap penyakit herpes. Kortikosteroid topikal dapat
mengendalikan respon peradangan yang merusak namun memberikan peluang terjadinya
replikasi virus. Jadi setiap kali menggunakan kortikosteroid topikal, harus ditambahkan obat
anti virus. Setiap pasien yang menggunakan kortikosteroid topikal selama pengobatan
penyakit mata akibat herpes harus dalam pengawasan ophtalmolog.
Studi serologik menunjukkan bahwa hampir setiap orang dewasa pernah terpajan virus
ini, namun tidak sampai menunjukkan gejala klinik penyakit. Sesudah infeksi primer, virus
ini menetap secara laten di ganglion trigeminum. Faktor-faktor yang mempengaruhi
kambuhnya penyakit ini, termasuk lokasinya, masih perlu diungkapkan. Makin banyak bukti
menunjukkan bahwa beratnya penyakit, sekurang-kurangnya untuk sebagian, tergantung
pada jenis virusnya. Kebanyakan infeksi HSV pada kornea disebabkan HSV tipe I (penyebab
herpes labialis), namun pada beberapa kasus pada bayi dan dewasa dilaporkan disebabkan
oleh HSV tipe II (penyebab herpes genitalis). Lesi kornea kedua jenis ini tidak dapat
dibedakan.
Gejalanya dapat menyerupai infeksi bakteri ringan. Mata agak nyeri, berair, merah, dan
sentif terhadap cahaya. Kadang infeksi dapat memburuk dan kornea membengkak, membuat
penglihatan menjadi berkabut. Seringkali infeksi awal hanya menimbulkan perubahan ringan
pada kornea dan hilang tanpa pengobatan. Bagaimanapun juga, kadang infeksi dapat kembali
terjadi dan gejalanya memburuk. Jika terjadi reinfeksi, kerusakan permukaan kornea dapat
terjadi selanjutnya. Beberapa kekambuhan dapat menyebabkan ulkus yang dalam, jaringan
parut permanent, dan hilangnya rasa saat mata disentuh. Virus herpes simplek juga dapat

17
menyebabkan terjadinya neovaskularisasi di kornea dan membuat gangguan visual yang
signifikan.
Lesi-lesi paling khas adalah ulkus dendritik. Ini terjadi pada epitel kornea, memiliki pola
percabangan khas dengan tepian kabur, memiliki bulbus-bulbus terminalis pada ujungnya.
Pewarnaan flouresen memudahkan melihat dendrit, namun sayangnya keratitis herpes dapat
juga menyerupai banyak infeksi kornea lain dan harus dimasukkan dalam diagnosis
differensial pada banyak lesi kornea. Ulserasi geografik adalah sebentuk penyakit dendritik
menahun yang bentuk lesinya lebih lebar. Tepian ulkus tidak kabur, sensasi kornea seperti
halnya penyakit kornea lain juga menurun. Lesi epitelial kornea lain yang dapat ditimbulkan
HSV adalah keratitis epitelial 'blotchy, deratitis epitelial stellata, dan keratitis filamentosa.
Namun semua ini umumnya bersifat sementara dan sering menjadi dendritik khas pada satu
dua hari. Kekeruhan subepitelial dapat disebabkan infeksi HSV. Bayangan mirip hantu, yang
bentuknya sesuai dengan defek epitelial asli namun sedikit lebih besar, terlihat di daerah
tepat di bawah lesi epitel. Bayangan tersebut tetap superficial namun sering bertambah nyata
akibat pemakaian obat anti virus, khususnya Idoxuridine. Biasanya lesi subepitelial ini tidak
menetap lebih dari satu tahun.
Terapi keratitis HSV sebaiknya bertujuan menghentikan replikasi virus di dalam kornea,
sambil memperkecil efek merusak respon radang.
1. Debridement
Cara efektif mengobati keratitis dendritik adalah debridement epitelial, karena virus
berlokasi didalam epitel. Debridement juga mengurangi beban antigenik virus pada stroma
kornea. Epitel sehat melekat erat pada kornea, namun epitel terinfeksi mudah dilepaskan.
Debridement dilakukan dengan menggunakan aplikator berujung kapas khusus. Yodium atau
eter topikal tidak banyak bermanfaat dan dapat menimbulkan keratitis kimiawi. Obat
siklopegik seperti atropin 1 % atau homatropin 5 % diteteskan ke dalam sakus konjunctiva
dan ditutupkan dengan sedikit tekanan. Pasien harus diperiksa setiap hari dan diganti
penutupnya sampai defek kornea sembuh umumnya dalam 72 jam. Pengobatan tambahan
dengan antivirus topikal mempercepat pemulihan epitel. Terapi obat topikal tanpa
debridement epitel pada keratitis epitel memberikan keuntungan karena tidak perlu ditutup,
namun kemungkinan pasien menghadapi barbagai keracunan obat.

18
2. Terapi Obat
Pengobatan kadang-kadang tidak diperlukan karena dapat sembuh sendiri. Agen
antivirus topikal yang dipakai pada keratitis herpes adalah idoxuridine, trifluridine,
vidarabine, dan acyclovir.
Trifluridine dan acyclovir jauh lebih efektif pada penyakit stroma daripada yang lain.
Idoxuridine dan trifluridine seringkali menimbulkan efek toksik. Acyclovir oral ada
manfaatnya untuk pengobatan herpes mata yang berat, khususnya pada orang atopik yang
rentan terhadap penyakit herpes mata dan kulit agresif (eczema herpetikum). Studi multicenter
terhadap efektifitas acyclovir pada keratouveitis herpes simplek dan pencegahan penyakit
rekurens saat ini sedang dilakukan (Herpes Eye Disease Study).
Replikasi virus pada pasien imunokompeten, khususnya bila terbatas pada epitel kornea,
umumnya sembuh sendiri dan pembentukan parut minimal. Dalam hal ini, penggunaan
kortikosteroid topikal tidak diperlukan bahkan berpotensi sangat merusak. Sayangnya
klinikus kadang-kadang menekan kekebalan pasien dengan kortikosteroid untuk mengurangi
radang lokal. Ini didasarkan anggapan yang keliru bahwa mengurangi peradangan akan
mengurangi penyakitnya. Sekalipun respon peradangan itu diduga timbul semata-mata
karena respon imunologi, seperti pada keratitis deskiformis, penggunaan kortikosteroid
topikal sebaiknya tetap dihindarkan jika kemungkinan besar akan dapat sembuh sendiri.
Sekali dipakai kortikosteroid topikal, umumnya pasien terpaksa harus memakai obat itu
untuk menghindari episode keratitis berikutnya, dengan kemungkinan terjadi replikasi virus
yang tidak terkendali dan efek samping lain yang berhubungan dengan steroid, seperti
superinfeksi bakteri dan fungi, glaukoma, dan katarak. Kortikosteroid topikal dapat pula
mempermudah perlunakan kornea, yang meningkatkan resiko perforasi kornea. Jika memang
perlu memakai kortikosteroid topikal, penting sekali ditambahkan pemakaian obat antivirus
secukupnya uantuk mengendalikan replikasi virus.

Pemeriksaan penunjang:
1. Tes Schimmer. Apabila resapan air pada kertas Schimmer kurang dari 10 mm dalam 5 menit
dianggap abnormal Keratoplasti penetrans mungkin diindikasikan untuk rehabilitasi penglihatan
pasien yang mempunyai parut kornea berat, namun hendaknya dilakukan beberapa bulan sesudah

19
penyakit herpes nonaktif. Pasca bedah, penyakit herpes rekurens dapat timbul karena trauma
bedah dan korikosteroid topikal yang diperlukan untuk mencegah penolakan transplantasi kornea.
Juga sulit dibedakan penolakan transplantasi kornea dari penyakit stroma rekurens.
Perforasi kornea akibat penyakit herpes stroma atau superinfeksi bakteri atau fungi mungkin
memerlukan keratoplasti penetrans darurat. Perlekatan jaringan sianokrilat dapat dipakai secara
efektif untuk menutup perforasi kecil, dan graft 'petak' lameral berhasil pada kasus tertentu.
Keratoplasti lameral mempunyai keuntungan dibanding keratoplasti penetrans karena lebih kecil
kemungkinan terjadi penolakan transplant. Lensa kontak lunak untuk terapi atau tarsorafi mungkin
diperlukan untuk pemulihan defek epitel yang terdapat pada keratitis herpes simpleks.
Virus herpes zooster dapat memberikan infeksi pada ganglion Gaseri nervus trigeminus. Bila
yang terkena ganglion cabang oftalmik maka akan terlihat gejala-gejala herpes zoster pada mata.
Gejala ini tidak akan melampaui garis median kepala. Biasanya herpes zoster akan mengenai orang
dengan usia lanjut.
Keratitis vesikuler dapat terjadi akibat herpes zoster. Gejala yang terlihat pada mata ialah rasa
sakit pada daerah yang terkena dan badan terasa hangat. Penglihatan berkurang dan mata merah.
Pada kelopak akan terlihat adanya vesikel dan infiltrat pada kornea. Vesikel tersebar sesuai dengan
dermatom yang dipersarafi nervus trigeminus yang dapat progresif dengan terbentuknya jaringan
parut.
Pengobatan biasanya spesifik dan simtomatik. Pengobatan dapat dengan pemberian asiklovir
dan pada usia lanjut dapat diberi kortikosteroid. Penyulit yang dapat terjadi pada herpes zoster
oftalmik ialah uveitis, parese otot penggerak mata, glaukoma dan neuritis optik.

E. Keratitis Alergi2,3,4
1. Etiologi
Reaksi hipersensitivitas tipe I yang mengenai kedua mata, biasanya penderita sering
menunjukkan gejala alergi terhadap tepung sari rumput-rumputan.
2. Manifestasi Klinis
Bentuk palpebra: cobble stone (pertumbuhan papil yang besar), diliputi sekret mukoid.
Bentuk limbus: tantras dot (penonjolan berwarna abu-abu, seperti lilin)
Gatal

20
Fotofobia
Sensasi benda asing
Mata berair dan blefarospasme
3. Terapi
Biasanya sembuh sendiri tanpa diobati
Steroid topikal dan sistemik
Kompres dingin
Obat vasokonstriktor
Cromolyn sodium topikal
Koagulasi cryo CO2.
Pembedahan kecil (eksisi).
Antihistamin umumnya tidak efektif
Kontraindikasi untuk pemasangan lensa kontak

3. Klasifikasi keratitis berdasarkan bentuk klinisnya, yaitu:

A. Keratitis Flikten/Skrofulosa/Eksemtosa3
Flikten merupakan benjolan berdiameter 1-3 mm berwarna abu-abu pada lapisan
superfisial kornea. Epitel diatasnya mudah pecah dan membentuk ulkus. Ulkus ini dapat
sembuh atau tanpa meninggalkan sikatrik. Adapula ulkus yang menjalar dari pinggir ke tengah,
dengan pinggir meninggalkan sikatrik sedangkan bagian tengah nya masih aktif, yang disebut
wander phlyctaen. Keadaan ini merupakan proses yang mudah sembuh, tetapi kemudian
kambuh lagi di tempat lain bila penyebabnya masih ada dan dapat menyebabkan kelainan
kornea berbentuk bercak-bercak sikatrik, menyerupai pulau-pulau yang disertai geographic
pattern.

B. Keratitis Sika6
Suatu keadaan keringnya permukaan kornea dan konjungtiva. Kelainan ini terjadi
pada penyakit yang mengakibatkan:

a. Defisiensi komponen lemak air mata, misalnya blefaritis menahun


21
b. Defisiensi kelenjar air mata, misalnya sindrom Sjorgen, alakrimal kongenital, obat
diuretik, atropin, dan usia tua.
c. Defisiensi komponen musin: defisiensi vitamin A, trauma kimia, sindrom Stevens
Johnson.
d. Penguapan yang berlebihan, misalnya pada keratitis neuroparalitik, hidup di padang
gurun, keratitis lagoftalmus.
e. Karena parut pada kornea.
Pengobatan dari keratitis sika tergantung dari penyebab penyakitnya:
1. Pemberian air mata tiruan apabila yang berkurang adalah komponen air.
2. Pemberian lensa kontak apabila komponen mukus yang berkurang.
3. Penutupan punctum lacrima bila terjadi penguapan yang berlebihan. Penyulit
keratitis sika adalah ulkus kornea, kornea tipis, infeksi sekunder oleh bakteri, serta
kekeruhan dan neovaskularisasi kornea

C. Keratitis Numularis6
Diduga dari virus. Pada klinis, tanda-tanda radang tidak jelas, terdapat infiltrat bulat-bulat
subepitelial di kornea, dimana tengahnya lebih jernih, disebut halo (diduga terjadi karena
resorpsi dari infiltrat yang dimulai di tengah). Tes fluoresen (-). Keratitis ini kalau sembuh
meninggalkan sikatrik yang ringan.

Gambar: keratitis numularis

22
D. Keratitis Neuroparalitik
Merupakan keratitis akibat kelainan nervus trigeminus, sehingga terdapat kekeruhan
kornea yang tidak sensitif disertai kekeringan kornea. Penyakit ini dapat terjadi akibat herpes
zoster, tumor fossa posterior, dan keadaan lain sehingga kornea menjadi anestetis. 2,5
Penderita mengeluh ketajaman penglihatannya menurun, lakrimasi, silau tetapi tak ada
rasa sakit. Uji fluoresin (+).

2.6 Patofisiologi 1,6,7

Terdapat beberapa kondisi yang dapat menjadi faktor predisposisi terjadinya inflamasi
pada kornea seperti blefaritis, perubahan pada barrier epitel kornea (dry eyes), penggunaan lensa
kontak, lagopthalmos, gangguan paralitik, trauma dan penggunaan preparat imunosupresif topical
maupun sistemik. Kornea mendapatkan pemaparan konstan dari mikroba dan pengaruh
lingkungan, oleh sebab itu untuk melindunginya kornea memiliki beberapa mekanisme
pertahanan. Mekanisme pertahanan tersebut termasuk refleks berkedip, fungsi antimikroba film
air mata (lisosim), epitel hidrofobik yang membentuk barrier terhadap difusi serta kemampuan
epitel untuk beregenerasi secara cepat dan lengkap.

Epitel merupakan barrier yang efisien terhadap masuknya mikroorganisme ke dalam kornea.
Pada saat epitel mengalami trauma, struma yang avaskuler dan lapisan bowman menjadi mudah
untuk mengalami infeksi dengan organisme yang bervariasi, termasuk bakteri, amoeba dan jamur.
Streptokokus pneumonia merupakan pathogen kornea bakterial, patogen-patogen yang lain
membutuhkan inokulasi yang berat atau pada host yang immunocompromised untuk dapat
menghasilkan sebuah infeksi di kornea.Ketika patogen telah menginvasi jaringan kornea melalui
lesi kornea superfisial, beberapa rantai kejadian tipikal akan terjadi, yaitu:

Lesi pada kornea


Patogen akan menginvasi dan mengkolonisasi struma kornea
Antibodi akan menginfiltrasi lokasi invasi patogen
Hasilnya akan tampak gambaran opasitas pada kornea dan titik invasi pathogen akan
membuka lebih luas dan memberikan gambaran infiltrasi kornea
23
Iritasi dari bilik mata depan dengan hipopion (umumnya berupa pus yang akan
berakumulasi pada lantai dari bilik mata depan)
Patogen akan menginvasi seluruh kornea.
Hasilnya stroma akan mengalami atropi dan melekat pada membarana descement yang
relatif kuat dan akan menghasilkan descematocele dimana hanya membaran descement
yang intak.
Ketika penyakit semakin progresif, perforasi dari membrane descement terjadi dan humor
aquos akan keluar. Hal ini disebut ulkus kornea perforata dan merupakan indikasi bagi
intervensi bedah secepatnya. Pasien akan menunjukkan gejala penurunan visus progresif
dan bola mata akan menjadi lunak.

2.7 Gejala Klinis

Pasien dengan keratitis biasanya datang dengan keluhan iritasi ringan, adanya sensasi
benda asing, mata merah, mata berair, penglihatan yang sedikit kabur, dan silau (fotofobia) serta
sulit membuka mata (blepharospasme). Penderita akan mengeluh sakit pada mata karena kornea
memiliki banyak serabut nyeri, sehingga amat sensitif. Kebanyakan lesi kornea superfisialis
maupun yang sudah dalam menimbulkan rasa sakit dan fotofobia. Rasa sakit diperberat oleh
kuman kornea bergesekan dengan palpebra. Karena kornea berfungsi sebagai media
untuk refraksi sinar dan merupakan media pembiasan terhadap sinar yang masuk ke mata maka
lesi pada kornea umumnya akan mengaburkan penglihatan terutama apabila lesi terletak sentral
pada kornea. Fotofobia yang terjadi biasanya terutama disebabkan oleh kontraksi iris
yang meradang. Dilatasi pembuluh darah iris adalah fenomena refleks yang disebabkan iritasi pada
ujung serabut saraf pada kornea. Pasien biasanya juga berair mata namun tidak disertai dengan
pembentukan kotoran mata yang banyak kecuali pada ulkus kornea yang purulen.1,7

2.8 Diagnosis 1,6,7

Diagnosis ditegakkan berdasarkan hasil anamnesis, gejala klinik dan hasil pemeriksaan
mata. Dari hasil anamnesis sering diungkapkan riwayat trauma, adnya riwayat penyakit kornea,
misalnya pada keratitis herpetic akibat infeksi herpes simpleks sering kambuh, namun erosi yang
24
kambuh sangat sakit dan keratitis herpetic tidak, penyakit-penyakit ini dapat dibedakan dari
gejalanya. Anamnesis mengenai pemakaian obat lokal oleh pasien, karena mungkin telah memakai
kortikosteroid, yang dapat merupakan predisposisi bagi penyakit bakteri, fungi, atau virus terutama
keratitis herpes simpleks. Juga mungkin terjadi imunosupresi akibat penyakit-penyakit sistemik,
seperti diabetes, AIDS, dan penyakit ganas, selain oleh terapi imunosupresi khusus.
Dalam mengevaluasi peradangan kornea penting untuk membedakan apakah tanda
yang kita temukan merupakan proses yang masih aktif atau merupakan kerusakan dari struktur
kornea hasil dari proses di waktu yang lampau. Sejumlah tanda dan pemeriksaan sangat membantu
dalam mendiagnosis dan menentukan penyebab dari suatu peradangan kornea seperti: pemeriksaan
sensasi kornea, lokasi dan morfologi kelainan, pewarnaan dengan fluoresin, neovaskularisasi,
derajat defek pada epithel, lokasi dari infiltrat pada kornea, edema kornea, keratik presipitat, dan
keadaan di bilik mata depan. Tanda-tanda yang ditemukan ini juga berguna dalam mengawasi
perkembangan penyakit dan respon terhadap pengobatan.
Sangat penting untuk melaksanakan penegakan diagnosis morfologis pada pasien yang
dicurigai dengan lesi kornea. Letak lesi di kornea dapat diperkirakan dengan melihat tanda tanda
yang terdapat pada kornea. Pada keratitis epithelial, perubahan epitel bervariasi secara luas mulai
dari edema ringan dan vakuolasi hingga erosi, pembentukan filament maupun keratinisasi partial.
Pada keratitis stromal, respon struma kornea dapat berupa infiltrasi sel radang, edema yang
bermanifestasi kepada edema kornea yang awalnya bermula dari stroma lalu ke epitel kornea.
Pemeriksaan fisik pada keluhan yang mengarahkan kecurigaan kepada keratitis dilakukan melalui
inspeksi dengan pencahayaan adekuat. Larutan flouresent dapat menggambarkan lesi epitel
superfisial yang mungkin tidak dapat terlihat dengan inspeksi biasa. Pemeriksaan biomikroskop
(slit lamp) esensial dalam pemeriksaan kornea, apabila tidak terdapat alat tersebut dapat digunakan
sebuah loup dan iluminasi yang terang. Pemeriksaan harus melihat jalannya refleksi cahaya
sementara memindahkan cahaya dengan hati hati ke seluruh kornea. Dengan cara ini area yang
kasar sebagai indikasi dari defek kornea dapat terlihat. Berikut ini merupakan jenis keratitis dan
bentuknya:

No. Jenis keratitis Bentuk keratitis

25
1. Keratitis stafilokok Erosi kecil-kecil terputus fluorescin; terutama
sepertiga bawah kornea
2. Keratitis herpetik Khas dendritik (kadang-kadang bulat atau
lonjong) dengan edema dan degenerasi
3. Keratitis varicella- Lebih difus dari lesi HSK; kadang-kadang
zoster linear (pseudosendrit)
4. Keratitis adenovirus Erosi kecil-kecil terpulas fluorecein; difus
namun paling mencolok di daerah pupil
5. Keratitis sindrom Epitel rusak dan erosi kecil-kecil, pleomorfik,
Sjorgen terpulas fluorescein; filament epithelial dan
mukosa khas; terutama belahan bawah kornea
6. Keratitis terpapar Erosi kecil-kecil tidak teratur, terpulas
akibat lagoftalmus atau fluorescein; terutama di belahan bawah kornea
eksoftalmus
7. Keratokonjungtuvitis Lesi mirip-sinsisium, yang keruh dan
vernal berbercak-bercak kelabu, paling mencolok di
daerah pupil atas. Kadang-kadang membentuk
bercak epithelium opak
8. Keratitis trofik-sekuele Edema epitel berbercak-bercak; difus namun
HS, HZ dan destruksi terutama di fissure palpebrae, pukul 9-3
ganglion gaseri
9. Keratitis karena obat- Erosi kecil-kecil terpulas fluorescein dengan
terutama antibiotika edema seluler berbintik-bintik; lingkaran epitel
spectrum luas
10. Keratitis superficial Focus sel-sel epithelial sembab, bulat atau
punctata (SPK) lonjong; menimbul bila penyakit aktif
11. Keratokonjungtivitis Erosi kecil-kecil terpulas fluorescein di
limbic superior sepertiga atas kornea; filament selama
eksaserbasi; hiperemi bulbar, limbus
berkeratin menebal, mikropanus
26
12. Keratitis rubeola, Lesi tipe virus seperti pada SPK; di daerah
rubella dan parotitis pupil
epidemika
13. Trachoma Erosi epitel kecil-kecil terpulas fluorescein
pada sepertiga atas kornea
14. Keratitis defisiensi Kekeruhan berbintik kelabu sel-sel epitel
vitamin A akibat keratinisasi partial; berhubungan
dengan bintik-bintik bitot

2.9 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium dengan melakukan kultur dari flora kornea dilakukan selama
terjadi inflamasi aktif dapat membantu dalam penelitian selanjutnya akan tetapi hal tersebut tidak
begitu signifikan dalam penegakan diagnosis dan penatalaksana penyakit keratitis pungtata
superfisial. Pemeriksaan pencitraan dengan menggunakan fotografi slit lamp untuk
mendokumentasikan inflamasi aktif dan periode inaktivitas dapat dilakukan tapi hal tersebut juga
tidak begitu penting dalam penegakan diagnosis maupun penanganan penyakit.7,8

2.10 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan pada ketratitis pada prinsipnya adalah diberikan sesuai dengan etiologi.
Untuk virus dapat diberikan idoxuridine, trifluridin atau acyclovir. Untuk bakteri gram positif
pilihan pertama adalah cafazolin, penisilin G atau vancomisin dan bakteri gram negatif dapat
diberikan tobramisin, gentamisin atau polimixin B. Pemberian antibiotik juga diindikasikan jika
terdapat secret mukopurulen, menunjukkan adanya infeksi campuran dengan bakteri. Untuk jamur
pilihan terapi yaitu: natamisin, amfoterisin atau fluconazol. Selain itu obat yang dapat membantu
epitelisasi dapat diberikan. Namun selain terapi berdasarkan etiologi, pada keratitis ini sebaiknya
juga diberikan terapi simptomatisnya agar dapat memberikan rasa nyaman dan mengatasi keluhan-
keluhan pasien. Pasien dapat diberi air mata buatan, sikloplegik dan kortikosteroid. Pemberian air
mata buatan yang mengandung metilselulosa dan gelatin yang dipakai sebagai pelumas oftalmik,
meningkatkan viskositas, dan memperpanjang waktu kontak kornea dengan lingkungan luar.
27
Pemberian tetes kortikosteroid pada KPS ini bertujuan untuk mempercepat penyembuhan dan
mencegah terbentuknya jaringan parut pada kornea, dan juga menghilangkan keluhan subjektif
seperti fotobia namun pada umumnya pada pemberian steroid dapat menyebabkan kekambuhan
karena steroid juga dapat memperpanjang infeksi dari virus jika memang etiologi dari keratitis
tersebut adalah virus.
Lensa kontak sebagai terapi telah dipakai untuk mengendalikan gejala, supaya dapat
melindungi lapisan kornea pada waktu kornea bergesekan dengan palpebra, khususnya pada kasus
yang mengganggu. Pemberian siklopegik mengakibatkan lumpuhnya otot sfingter iris sehingga
terjadi dilatasi pupil dan mengakibatkan paralisis otot siliar sehingga melemahkan akomodasi.
Terdapat beberapa obat sikloplegia yaitu atropin, homatropin, dan tropikamida.
Namun atropin (0,5%-2%) merupakan sikloplegik yang sangat kuat dan juga bersifat midriatik
sehingga biasanya tidak dijadikan pilihan terapi pada keratitis tertentu misalnya KPS. Efek
maksimal atropin dicapai setelah 30-40 menit dan bila telah terjadi kelumpuhan otot akomodasi
maka akan normal kembali dalam 2 minggu setelah obat dihentikan. Atropin juga memberikan
efek samping nadi cepat, demam, merah, dan mulut kering. Homatropin (2%-5%) efeknya hilang
lebih cepat dibanding dengan atropin, efek maksimal dicapai dalam 20-90 menit dan akomodasi
normal kembali setelah 24 jam hingga 3 hari. Sedangkan trokamida (0,5%-1%) memberikan efek
setelah 15-20 menit, dengan efek maksimal dicapai setelah 20-30 menit dan hilang setelah 3-6
jam. Obat ini sering dipakai untuk melebarkan pupil pada pemeriksaan fundus okuli.
Pada keratitis yang telah mengalami penipisan stroma dapat ditambahkan lem
cyanoacrylate untuk menghentikan luluhnya stroma. Bila tindakan tersebut gagal, harus dilakukan
flap konjungtiva; bahkan bila perlu dilakukan keratoplasti. Flap konjungtiva hanya dianjurkan bila
masih ada sisa stroma kornea, bila sudah terjadi descemetocele flap konjungtiva tidak perlu; tetapi
dianjurkan dengan keratoplastik lamellar.
Selain terapi medikamentosa sebaiknya diberikan pula edukasi pada pasien keratitis.
Pasien diberikan pengertian bahwa penyakit ini dapat berlangsung kronik dan juga dapat terjadi
kekambuhan. Pasien juga sebaiknya dianjurkan agar tidak terlalu sering terpapar sinar matahari
ataupun debu karena keratitis ini dapat juga terjadi pada konjungtivitis vernal yang biasanya
tercetus karena paparan sinar matahari, udara panas, dan debu, terutama jika pasien tersebut
memang telah memiliki riwayat atopi sebelumnya. Pasien pun harus dilarang mengucek matanya

28
karena dapat memperberat lesi yang telah ada.Pada keratitis dengan etiologi bakteri, virus, maupun
jamur sebaiknya kita menyarankan pasien untuk mencegah transmisi penyakitnya dengan menjaga
kebersihan diri dengan mencuci tangan, membersihkan lap atau handuk, sapu tangan, dan
tissue.6,7,8

2.10 Komplikasi dan Prognosis


Bila peradangan hanya di permukaan saja, dengan pengobatan yang baik dapat sembuh
tanpa jaringan parut, Bila peradangan dalam, penyembuhan berakhir dengan pembentukan
jaringan parut yang dapat berupa nebula, makula, leukoma, leukoma adherens dan stafiloma
kornea.

Nebula : bentuk parut kornea berupa kekeruhan yang sangat tipis dan hanya dapat dilihat dengan
menggunakan kaca pembesar atau menggunakan slit lamp.

Makula : parut yang lebih tebal berupa kekeruhan padat yang dapat dilihat tanpa menggunakan
kaca pembesar.

Leukoma : kekeruhan seluruh ketebalan kornea yang mudah sekali terlihat dari jarak yang agak
jauh sekalipun.

Leukoma adherens : keadaan dimana selain adanya kekeruhan seluruh ketebalan kornea, terdapat
penempelan iris pada bagian belakang kornea (sinekia anterior).

Stafiloma kornea : bila seluruh permukaan kornea mengalami ulkus disertai perforasi, maka pada
penyembuhan akan terjadi penonjolan keluar parut kornea yang disertai dengan
sinekia anterior.

Bila ulkusnya lebih dalam dapat terjadi perforasi. Adanya perforasi dapat membahayakan mata,
karena
oleh timbulnya hubungan langsung dari bagian dalam mata dengan dunia luar, sehingga
kuman dapat masuk ke dalam mata dan menyebabkan endoftalmitis atau panoftalmitis. Dengan
adanya perforasi, iris dapat menonjol keluar melalui perforasi dan terjadi prolaps iris. Saat terjadi
perforasi, tekanan intraokular menurun.8,9

29
BAB III

KESIMPULAN

Keratitis adalah peradangan pada kornea yang ditandai dengan adanya infiltrat di lapisan
kornea. Keratitis dapat diklasifikasikan berdasarkan lokasinya, yaitu superfisial, interstisial dan
profunda. Keratitis superfisial adalah radang kornea yang mengenai lapisan epitel dan membran
bowman. Keratitis dapat terjadi pada anak-anak maupun dewasa. Keratitis dapat memberikan
gejala mata merah, rasa silau, epifora, nyeri, kelilipan, dan penglihatan menjadi sedikit kabur.
Setiap etiologi menunjukan gejala yang berbeda beda tergantung dari jenis pathogen dan
lapisan kornea yang terkena. Diagnosis keratitis dapat ditegakkan melalui pemeriksaan lampu
celah. Dengan pemeriksaan lampu celah, penatalaksanaan keratitis dapat dilakukan dengan tepat
dan sesuai dengan etiologi penyebabnya.
Prognosis pada setiap kasus tergantung pada beberapa faktor, termasuk luasnya dan
kedalaman lapisan kornea yang terlibat, ada atau tidak nya perluasan ke jaringan orbita lain, status
kesehatan pasien (contohnya immunocompromised), virulensi patogen, ada atau tidaknya
vaskularisasi dan deposit kolagen pada jaringan tersebut, waktu penegakkan diagnosis klinis yang
dapat dikonfirmasi dengan pemeriksaan penunjang lainnya seperti kultur pathogen, dan diagnosis
serta pengobatan yang diberikan.

30
BAB IV

DAFTAR PUSTAKA

1. Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata. Edisi Ketiga. Balai Penerbit FKUI Jakarta.2005. hal 147-
158
2. Paul R.E, John P.W. Cornea.Vaughan & Asburys General Ophthalmology Sixteenth
Edition. United States Of America. 2004. hal 129-153

3. Bruce J, Chris C, Anthony B. Lectures Notes Oftalmologi Edisi Kesembilan. Blackwell


Science. 2003.

4. Khurana A.K. Comphrehensive Ophtalmology Fourth Edition. New Delhi. 2007. hal 89
100.

5. Sherwood L. Eye:Vision.Human Physiology.Sixth Edition. Hal 190-208. Thomson Higher


Education. United States od America.2007

6. Fernando H. Bacterial Keratitis. Diunduh pada 25 April 2013. Tersedia dari :


http://emedicine.medscape.com/article/1194028-overview
7. American Academy of Ophthalmology. External Eye Disease and Cornea. San Fransisco
2008-2009. p. 179-90
8. Roderick B. Kornea. In: Vaughan & Asbury. Oftalmologi Umum Edisi 17. Jakarta : EGC.
2009. p. 125-49.
9. Thygeson P. "Superficial Punctate Keratitis". Journal of the American Medical
Association.1997. 144:1544-1549. Available at : http://webeye. ophth.uiowa.edu/
dept/service/cornea/cornea.htm (accessed: Juli 2011)

31
32

Anda mungkin juga menyukai