Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Osteoporosis adalah suatu penyakit degeneratif pada tulang yang ditandai dengan
menurunnya massa tulang. Di negara maju seperti Amerika Serikat, kira-kira 10 juta
orang usia diatas 50 tahun menderita osteoporosis dan hampir 34 juta dengan
penurunan massa tulang yang selanjutnya berkembang menjadi osteoporosis. Empat dari
5 orang penderita osteoporosis adalah wanita. Di Indonesia sendiri didapatkan bahwa
kejadian osteoporosis meningkat seiring usia, serta prevalensi terbanyak terdapat pada
perempuan dibanding laki-laki.
Hingga saat ini deteksi osteoporosis merupakan hal yang sangat sulit dilakukan.
Diagnosis penyakit osteoporosis kadang - kadang baru diketahui setelah terjadinya patah
tulang punggung, tulang pinggul, tulang pergelangan tangan atau patah tulang lainnya
pada orang tua, baik pria atau wanita. Biasanya massa tulang yang sudah berkurang 30
40% baru dapat dideteksi dengan pemeriksaan X-ray konvensional. Gambaran radiologi
pada osteoporosis memiliki tujuan untuk mengukur berkurangnya kepadatan tulang dan
untuk diagnosis. Untuk menentukan tingkatan dan diagnosis dapat dilakukan
menggunakan gambaran radiologi sederhana. Gambaran radiologis yang khas pada
osteoporosis adalah penipisan korteks dan daerah trabekular yang lebih lusen. Karena
kurangnya sensitivitas terhadap diagnosis osteoporosis, maka saat ini pemeriksaan
dengan radiologi konvensional tidak dianjurkan lagi.
Densitometeri tulang merupakan pemeriksaan yang akurat dan presisi untuk menilai
densitas massa tulang. Beberapa metode yang dapat digunakan untuk menilai densitas
massa tulang adalah SPA (single photon absorptiometry), DPA (dual photon
absorptiometry), DEXA (Dual Energy X-Ray Absorptimetry). Dual Energy X-Ray
Absorptimetry (DEXA) merupakan metode yang paling sering digunakan dalam
diagnosis osteoporosis karena mempunyai tingkat akurasi dan presisi yang tinggi.

1
1.2 Tujuan Penulisan
1.2.1 Tujuan Umum
Tujuan umum makalah ini adalah untuk mengetahui pemeriksaan radiologis
pada oteoporosis.
1.2.2 Tujuan Khusus

1. Mengetahui anatomi tulang


2. Mengetahui definisi, epidemiologi, klasifikasi, etiopatofisiologi dan diagnosis
osteoporosis
3. Mengetahui pemeriksaan radiologis pada osteoporosis.

1.2.3 Manfaat Penulisan

1. Meningkatkan kemampuan penulisan dibidang radiologi


2. Menambah ilmu pengetahuan mengenai osteoporosis dan pemeriksaan
radiologis pada oteoporosis.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Tulang


Tulang terdiri atas dua bentuk, tulang kompakta dan tulang spongiosa. Tulang
kompakta tampak sebagai massa yang padat; tulang spongiosa terdiri atas anyaman
trabekula (Gambar 2.1). Tulang dapat diklasifikasikan secara regional atau berdasarkan
bentuk umumnya. Klasifikasi regional diringkas dalam Tabel 2.1. Anatomi tulang secara
umum dapat dilihat pada gambar 2.2. Tulang dapat dikelompokkan berdasarkan bentuk
umumnya: (a) tulang panjang, (b) tulang pendek, (c) tulang pipih, (d) tulang iregular, dan
(e) tulang sesamoid.1

Gambar 2.1 Penampang berbagai Jenis Tulang1

3
Tabel 2.1 Klasifikasi Tulang Menurut Regio1

Gambar 2.2 Rangka 1: a) Dilihat dari anterior, b) dilihat dari lateral1


4
Tulang adalah jaringan ikat khusus yang terdiri atas materi antarsel berkapur, yaitu
matriks tulang, dan 3 jenis sel : osteosit, yang terdapat di rongga-rongga (lakuna) di
dalam matriks; osteoblas, yang menyintesis unsur organik matriks; dan osteoklas, yang
merupakan sel raksasa multinulear yang terlibat dalam resorpsi dan remodelling jaringan
tulang. Permukaan bagian luar dan dalam semua tulang dilapisi lapisan-lapisan jaringan
yang mengandung sel-sel osteogenikendosteum pada permukaan dalam dan periosteum
pada permukaan luar.2

2.2 Osteoporosis
2.2.1 Definisi

Osteoporosis adalah suatu penyakit degeneratif pada tulang yang ditandai dengan
menurunnya massa tulang, dikarenakan berkurangnya matriks dan mineral yang disertai
dengan kerusakan mikro arsitektur dari jaringan tulang, sehingga terjadi penurunan
kekuatan tulang. World Health Organization (WHO) secara operasional mendefinisikan
osteoporosis berdasarkan Bone Mineral Density (BMD), yaitu jika BMD mengalami
penurunan lebih dari -2,5 SD dari nilai rata-rata BMD pada orang dewasa muda sehat
(Bone Mineral Density T-score < -2,5 SD).3

2.2.2 Epidemiologi
Di negara maju seperti Amerika Serikat, kira-kira 10 juta orang usia diatas 50 tahun
menderita osteoporosis dan hampir 34 juta dengan penurunan massa tulang yang
selanjutnya berkembang menjadi osteoporosis. Empat dari 5 orang penderita osteoporosis
adalah wanita, tapi kira-kira 2 juta pria di Amerika Serikat menderita osteoporosis, 14
juta mengalami penurunan massa tulang yang menjadi risiko untuk osteoporosis. Satu
dari 2 wanita dan satu dari 4 pria diatas usia 50 tahun akan menjadi fraktur yang
berhubungan dengan fraktur selama hidup mereka. Di negara berkembang seperti Cina,
osteoporosis mencapai proporsi epidemik, terjadi peningkatan 300% dalam waktu 30
tahun.13 Pada tahun 2002 angka prevalensi osteoporosis adalah 16,1%. Prevalensi di
antara pria adalah 11,5%, sedangkan wanita sebesar 19,9%.4

5
Data di Asia menunjukkan bahwa insiden fraktur lebih rendah dibanding populasi
Kaukasian. Studi juga mendapatkan bahwa massa tulang orang Asia lebih rendah
dibandingkan massa tulang orang kulit putih Amerika, akan tetapi fraktur pada orang
Asia didapatkan lebih sedikit.5 Ada variasi geografis pada insiden fraktur osteoporosis.
Osteoporosis paling sering terjadi pada populasi Asia dan Kaukasia tetapi jarang di
Afrika dan Amerika populasi kulit hitam.6
Data dari kementrian kesehatan Republik Indonesia mengemukakan bahwa kejadian
osteoporosis di Indonesia meningkat seiring usia, serta prevalensi terbanyak terdapat pada
perempuan dibanding laki-laki (Gambar 2.3).7

Gambar 2.3 Prevalensi osteoporosis di Indonesia Berdasarkan Jenis Kelamin Laki-laki


dan Perempuan tahun 2006.7

2.2.3 Klasifikasi
Menurut pembagiannya, osteoporosis dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1) Osteoporosis primer
Osteoporosis primer adalah osteoporosis yang tidak diketahui penyebabnya.
Pada tahun 1983, Riggs dan Melton membagi osteoporosis primer menjadi 2 tipe,
yaitu Osteoporosis tipe I dan osteoporosis tipe II. Osteoporosis tipe I disebut juga
osteoporosis pasca menopause. Osteoporosis tipe ini disebabkan oleh defisiensi

6
estrogen akibat menopause. Osteoporosis tipe II disebut juga osteoporosis senilis,
disebabkan oleh gangguan absorpsi kalsium di usus sehingga menyebabkan
hiperparatiroidisme sekunder yang mengakibatkan timbulnya osteoporosis.
Namun pada sekitar tahun 1990, Riggs dan Melton memperbaiki hipotesisnya dan
mengemukakan bahwa estrogen menjadi faktor yang sangat berperan pada
osteoporosis primer, baik pasca menopause maupun senilis.8
2) Osteoporosis sekunder
Osteoporosis sekunder adalah osteoporosis yang diketahui penyebabnya,
yaitu terjadi karena adanya penyakit lain yang mendasari, defisiensi atau
konsumsi obat yang dapat menyebabkan osteoporosis.8,9
a. Penyebab genetik (kongenital):
Kistik fibrosis
Ehlers Danlos syndrome
Penyakit penyimpanan glikogen
Penyakit Gaucher
Hemokromatosis
Homosistinuria
Hiperkalsiuria idiopatik
Sindroma marfan
Osteogenesis imperfekta
b. Keadaan hipogonad
Insensitifitas androgen
Anoreksia nervosa / bulimia nervosa
Hiperprolaktinemia
Menopause prematur
c. Gangguan endokrin:
Akromegali
Insufisiensi adrenal
Sindroma Cushing
Diabetes Melitus
7
Hiperparatiroidism
Hipertiroidisme
Hipogonadism
Kehamilan
Prolaktinoma
d. Gangguan yang diinduksi obat
Glukokortikoid
Heparin
Antikonvulsan
Barbiturat
Antipsikotik

2.2.4 Patofisiologi
Penyebab utama osteoporosis adalah gangguan dalam remodeling tulang sehingga
mengakibatkan kerapuhan tulang. Terjadinya osteoporosis secara seluler disebabkan oleh
karena jumlah dan aktivitas sel osteoklas melebihi dari jumlah dan aktivitas sel osteoblas
(sel pembentukan tulang). Keadaan ini mengakibatkan penurunan massa tulang.8,10

Selama pertumbuhan, rangka tubuh meningkat dalam ukuran dengan pertumbuhan


linier dan dengan aposisi dari jaringan tulang baru pada permukaan luar korteks.22
Remodeling tulang mempunyai dua fungsi utama : (1) untuk memperbaiki kerusakan
mikro di dalam tulang rangka untuk mempertahankan kekuatan tulang rangka, dan (2)
untuk mensuplai kalsium dari tulang rangka untuk mempertahankan kalsium serum.
Remodeling dapat diaktifkan oleh kerusakan mikro pada tulang sebagai hasil dari
kelebihan atau akumulasi stress. Kebutuhan akut kalsium melibatkan resorpsi yang
dimediasi-osteoklas sebagaimana juga transpor kalsium oleh osteosit. Kebutuhan kronik
kalsium menyebabkan hiperparatiroidisme sekunder, peningkatan remodeling tulang, dan
kehilangan jaringan tulang secara keseluruhan.11

Remodeling tulang juga diatur oleh beberapa hormon yang bersirkulasi, termasuk
estrogen, androgen, vitamin D, dan hormon paratiroid (PTH), demikian juga faktor

8
pertumbuhan yang diproduksi lokal seperti IGF-I dan IGFII, transforming growth factor
(TGF), parathyroid hormone-related peptide (PTHrP), ILs, prostaglandin, dan anggota
superfamili tumor necrosis factor (TNF). Faktor-faktor ini secara primer memodulasi
kecepatan dimana tempat remodeling baru teraktivasi, suatu proses yang menghasilkan
resorpsi tulang oleh osteoklas, diikuti oleh suatu periode perbaikan selama jaringan tulang
baru disintesis oleh osteoblas.11

Pada dewasa muda tulang yang diresorpsi digantikan oleh jumlah yang seimbang
jaringan tulang baru. Massa tulang rangka tetap konstan setelah massa puncak tulang
sudah tercapai pada masa dewasa. Setelah usia 30 - 45 tahun, proses resorpsi dan formasi
menjadi tidak seimbang, dan resorpsi melebih formasi. Ketidakseimbangan ini dapat
dimulai pada usia yang berbeda dan bervariasi pada lokasi tulang rangka yang berbeda;
ketidakseimbangan ini terlebih-lebih pada wanita setelah menopause. Kehilangan massa
tulang yang berlebih dapat disebabkan peningkatan aktivitas osteoklas dan atau suatu
penurunan aktivitas osteoblas. Peningkatan rekrutmen lokasi remodeling tulang membuat
pengurangan reversibel pada jaringan tulang tetapi dapat juga menghasilkan kehilangan
jaringan tulang dan kekuatan biomekanik tulang panjang.11

2.2.5 Diagnosis8
A) Anamnesis
Anamnesis mempunyai peranan penting dalam evaluasi penderita
osteoporosis. Keluhan-keluhan utama yang dapat mengarah kepada diagnosis,
seperti misalnya bowing leg dapat mengarah pada diagnosis riket, kesemutan dan
rasa kebal di sekitar mulut dan ujung jari yang terjadi pada hipokalsemia. Pada
anak-anak, gangguan pertumbuhan atau tubuh pendek, nyeri tulang, dan kelemahan
otot, waddling gait, dan kalsifikasi ekstraskeletal dapat mengarah pada penyakit
tulang metabolik.
Selain dengan anamnesis keluhan utama, pendekatan menuju diagnosis juga
dapat dibantu dengan adanya riwayat fraktur yang terjadi karena trauma minimal,
adanya faktor imobilisasi lama, penurunan tinggi badan pada orang tua, kurangnya
paparan sinar matahari, asupan kalsium, fosfor dan vitamin D, dan faktor-faktor
risiko lainnya.
9
Obat-obatan yang dikonsumsi dalam jangka panjang juga dapat digunakan
untuk menunjang anamnesis, yaitu misalnya konsumsi kortikosteroid, hormon
tiroid, antikonvulsan, heparin. Selain konsumsi obat-obatan, juga konsumsi alkohol
jangka panjang dan merokok. Tidak kalah pentingnya, yaitu adanya riwayat
keluarga yang pernah menderita osteoporosis.
B) Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik yang harus diukur adalah tinggi badan dan berat
badan, demikian juga dengan gaya jalan penderita, deformitas tulang, leg-lenght
inequality , dan nyeri spinal.
Hipokalsemia yang terjadi dapat ditandai oleh adanya iritasi muskuloskeletal,
yaitu berupa tetani. Adduksi jempol tangan juga dapat dijumpai, fleksi sendi
metacarpophalangeal, dan ekstensi sendi interphalang.
Penderita dengan osteoporosis sering menunjukkan kifosis dorsal atau gibbus
(Dowagers hump) dan penurunan tinggi badan. Selain itu juga didapatkan
protuberansia abdomen, spasme otot paravertebral, dan kulit yang tipis (tanda
McConkey).

2.2.5 Tatalaksana
Secara teoritis, osteoporosis dapat diobati dengan cara meghambat kerja osteoklas
(anti resorptif) dan/ atau meningkatkan kerja osteoblas (stimulator tulang). Walaupun
demikian, saat ini obat yang beredar pada umumnya bersifat anti resorptif. Yang
termasuk golongan obat anti resorptif adalah estrogen, anti estrogen, bifosfonat, dan
kalsitonin. Sedangkan yang termasuk stimulator tulang adalah Na-fluoride, PTH dan lain
sebagainya. Kalsium dan vitamin D tidak mempunyai efek anti resorptif maupun
stimulator tulang, tetapi diperlukan untuk optimalisasi mineralisasi osteoid setelah proses
formasi oleh osteoblas. Kekurangan kalsium akan menyebabkan peningkatan produksi
PTH (hiperparatidroidisme sekunder) yang dapat menyebabkan pengobatan osteoporosis
menjadi tidak efektif.8
Terapi osteoporosis telah menjadi subjek penelitian yang mendalam. Suplementasi
estrogen telah dibuktikan dapat menurunkan secara bermakna kecepatan pengurangan
tulang dan kalsium pada perempuan pasca menopause, tetapi terpai ini tmapaknya tidak
10
memulihkan perubahan struktural yang sudah terjadi di tulang. Asupan kalisum dalam
makanan yang adekuat sebelum usia 30 tahun tampaknya menurunkan risiko osteoporosis
pada usia selanjutnya, mungkin dengan meningkatkan densitas tulang maksimum.
Suplementasi kalsium pada tahap kehidupan selanjutnya dapat sedikit memperlambat laju
kehilangan tulang. Terapi lain yang menjanjikan adalah pemberian suatu golongan obat
yang dikenal dengan bifosfonat. Golongan obat yang lebih baru, modulator reseptor
estrogen selektif (selectif estrogen receptor modullator, SERM), tampaknya memberikan
efek bermanfaat bagi massa tulang seperti yang dihasilkan oleh estrogen, tetapi tanpa
disertai efek samping terapi estroge konvensional yang berpotensi bahaya. Pemberian
kalsitonin akhirnya dapat mengurangi fekuensi fraktur vertebrae dan mungkin bermanfaat
bagi pasien yang tidak dapat mentoleransi terapi estrogen.12

2. 3 Pemeriksaan Radiologis pada Osteoporosis


Hingga saat ini deteksi osteoporosis merupakan hal yang sangat sulit dilakukan.
Diagnosis penyakit osteoporosis kadang - kadang baru diketahui setelah terjadinya patah
tulang punggung, tulang pinggul, tulang pergelangan tangan atau patah tulang lainnya
pada orang tua, baik pria atau wanita. Biasanya dari waktu ke waktu massa tulangnya
terus berkurang, dan terjadi secara luas dan tidak dapat diubah kembali. Biasanya massa
tulang yang sudah berkurang 30 40% baru dapat dideteksi dengan pemeriksaan X-ray
konvensional. Karena kurangnya sensitivitas terhadap diagnosis osteoporosis, maka saat
ini pemeriksaan dengan radiologi konvensional tidak dianjurkan lagi.13
Gambaran radiologis yang khas pada osteoporosis adalah penipisan korteks dan
daerah trabekular yang lebih lusen. Hal ini akan tampak pada tulang-tulang vertebrae
yang memberika gambaran picture frame vertebrae. Gambaran osteoporosis pada foto
polos akan menjadi lebih radiolusen tetapi baru terdeteksi setelah terjadi penurunan
massa tulang sekitar 30%. Variabilitas faktor teknis dalam pengambilan foto polos, dan
variasi jenis serta ketebalan jaringan lunak yang tumpang tindih dengan vertebrae akan
mempengaruhi gambaran radiologisnya dalam menilai densitas tulang. Selain itu adanya
kompresi vertebrae akan meningkatkan densitas tulang karena terjadi perpadatan
trabekula dan pembentukan kalus. Tetapi ada pendapat lain yang menyatakan bahwa
angka 30% itu karena berdasarkan misinterpretasi pada penelitian in vitiro yang telah
11
dilakukan 40 tahun yang lalu. Lachman dan Whelan menunjukkan bahwa hal tersebut
benar untuk daerah kortikal sedangkan pada tulang-tulang yang mempunyai kadar
trbakelua tinggi osteoporosis dapat dilihat secara radiogram bila terjadi defisit mineral
tulang sebesar 8-14%.8
Terdapat 6 kriteria yang dianjurkan dalam menentukan osteoporosis vertebrae:8
1. Peningkatan daya tembus sinar pada korpus vertebrae atau penurunan densitas
tulang.
2. Hilangnya trabekula horizontal disertai semakin jelasnya trabekula vertikal.
3. Pengurangan ketebalan korteks bagian anterior korpus vertebrae.
4. Perubahan end plates baik secara absolut maupun relatif dengan
membandingkan antara korpus vertebra dengan end plates.
5. Abnormalitas bentuk vertebrae dapat berupa bentuk baji, bikonkaf, fraktur
kompresi (bila tinggi kedua tepi vertebra berkurang).
6. Metode terakhir dalam diagnosis osteoporosis dengan menemukan fraktur
spontan atau setelah trauma ringan pada foto vertebra.
Pada seseorang yang mengalami fraktur, diagnosis pasti ditegakkan bedasarkan
gejala, pemeriksaan fisik, dan rontgen tulang. Pemeriksaan lebih lanjut mungkin
diperlukan untuk menyingkirkan keadaan lain yang dapat menyebabkan osteoporosis.
Beberapa pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan massa tulang secara
radiologis berupa DEXA (Dual Energy X-ray), Pemeriksaan laboratorium berupa
parameter biokimiawi untuk bone turnover, radioisotop, serta MRI (magnetic Resonance
imaging).13,14
Gambaran radiologi pada osteoporosis memiliki tujuan untuk mengukur
berkurangnya kepadatan tulang dan untuk diagnosis. Untuk menentukan tingkatan dan
diagnosis dapat dilakukan menggunakan gambaran radiologi sederhana. Gambaran
radiologi konvensional yang khas pada osteoporosis adalah adanya penipisan korteks dan
trabecular yang lebih lusen.15
A) Densitometeri
Densitometeri tulang merupakan pemeriksaan yang akurat dan presisi untuk
menilai densitas massa tulang. Beberapa metode yang dapat digunakan untuk

12
menilai densitas massa tulang adalah SPA (single photon absorptiometry), DPA
(dual photon absorptiometry), DEXA (Dual Energy X-Ray Absorptimetry).8
Dual Energy X-Ray Absorptimetry (DEXA) merupakan metode yang paling
sering digunakan dalam diagnosis osteoporosis karena mempunyai tingkat
akurasi dan presisi yang tinggi. Hasil pengukurannya berupa densitas mineral
tulang, kandungan mineral, perbandingan hasil densitas mineral tulang pada titik
tulang yang spesifik yaitu tulang belakang, caput femoris dan pergelangan
tangan.16 WHO membagi klasifikasi diagnostic menggunakan DEXA T-score.
DEXA T-score menggolongkan osteoporosis dan osteopenia dan dibandingkan
nilai rata-rata kepadatan tulang dewasa muda dan perbedaan dinyatakan dengan
standard deviation (SD).15
Tabel 2.2 DEXA T-score menurut WHO16
Definisi WHO Normal Osteopenia Osteoporosis Osteopororis Berat

T-score > -1 > -2,5 dan -1 -2,5 -2,5 disertai fraktur

Keuntugan dari penggunaan DEXA adalah pemeriksaan ini tidak bersifat


invasif dan memerlukan waktu yang cukup singkat. Selain itu, DEXA memiliki
paparan radiasi yang lebih rendah. Walaupun pemeriksaan ini merupakan
pemeriksaan yang rutin digunakan namun pemeriksaan ini memiliki beberapa
kekurangan. Pada pemeriksaan tulang belakang, vertebra dengan ukuran yang
lebih besar memiliki perbandigan densitas tulang yang lebih tinggi, dan hasilnya
dapat pula salah dan meningkat karena terdapat kalsifikasi aorta dan jaringan
lunak sekitar. Selain itu, terkadang terdapat beberapa kekurangan yang harus
dipertimbangkan sewaktu menginterpretasikan DEXA, khususnya kesalahan
dalam mengidentifikasi vertebra, dan kesalahan letak disk space markers.16

SPA digunakan unsur radioisotope I yang mempunyai energy photon rendah


dan tidak dapat menembus jarignan lunak yang tebal, sehingga pemeriksaan ini
tidak dapat dilakukan pada daerah vertebralis, dan panggul. Pemeriksaan ini
digunakan hanya pada bagian tulang yang mempunyai jaringan lunak yang tidak
tebal seperti distal radius dan kalkaneus. 13
13
B) MRI
Metode ini mempunyai kelebihan berupa tidak menggunakan radiasi, dan
digunakan untuk menilai densitas serta kualitas jaringan trabekula tulang dan
untuk menilai arsitektur trabekula. MRI dan pemeriksaan densitas mineral tulang
memiliki korelasi yang erat. Pemeriksaan ini sangat potensial untuk menilai dan
membedakan antara vertebra normal dan vertebra osteoporotik. 17

14
BAB III
KESIMPULAN

1. Tulang terdiri atas dua bentuk, tulang kompakta dan tulang spongiosa. Tulang adalah
jaringan ikat khusus yang terdiri atas materi antarsel berkapur, yaitu matriks tulang,
dan 3 jenis sel: osteosit, osteoblas, osteoklas.
2. Osteoporosis adalah suatu penyakit degeneratif pada tulang yang ditandai dengan
menurunnya massa tulang, dikarenakan berkurangnya matriks dan mineral yang
disertai dengan kerusakan mikro arsitektur dari jaringan tulang, sehingga terjadi
penurunan kekuatan tulang.
3. Osteoporosis di Indonesia lebih banyak terjadi pada perempuan diabndingkan
laki-laki, dan meningkta kejadiannya seiring bertambhanya usia.
4. Osteoporosis di bedakan menjadi primer, yang tidak diketahui penyebabnya, terdiri
dari tipe 1 dan 2, serta sekunder yang diketahui penyebabnya.
5. Diagnosis osteoporosis dapat ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang.
6. Pemeriksaan radiologis pada osteoporosis dapat dilakukan dari foto konvensional,
densitometeri dengan metode DEXA, SPA, dll, MRI.
7. Tatalaksana osteoporosis dengan cara meghambat kerja osteoklas (anti resorptif) dan/
atau meningkatkan kerja osteoblas (stimulator tulang).

15
DAFTAR PUSTAKA

1. Snell S. Richard. 2006. Anatomi Klinik. Ed-6. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC.
2. Janqueira, LC. 2007. Histologi Dasar Teks dan Atlas. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
3. Lindsay R CFOIFA, Braunwald e, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL.
Osteoporosis. In: Fauci AS Be, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL, et
al., editor. Harrisons principle of internal medicine 17 ed: Mc Grow-Hill USA;
2008. p. 2397-408.
4. Journal CM. Prevalence rate of osteoporosis in the mid- aged and elderly in selected
parts of China. 2002; 115: 773-5.
5. H M. Osteoporosis pada usia lanjut tinjauan dari segi geriatri. Rachmatullah P GM,
Hirlan, Soemanto, Hadi S, Tobing ML, editor. Semarang (Indonesia): Badan Penerbit
Universitas Diponegoro; 2007. p. 126.
6. Juliet C. Disease of Skeleton: Osteoporosis. Oxford Text Book of Medicine; 2003. P.
36-41.
7. Pusat data dan komunikasi kementrian kesehatan RI. Data dan kondisi penyakit
osteoporosis di Indonesia. 2015.
8. Setiyohadi B. Osteoporosis. In: Aru W. Sudoyo BS, Idrus Alwi, Marcellinus
Simadibrata, Siti Setiati, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 5 ed. Jakarta:
Interna Publishing; 2010. p. 2650-76.
9. American Association of Clinical Endocrinologist Medical Guidelines for Clinical
Practice for the Prevention and Treatment of Post Menopausal Osteoporosis: 2001
Editio, with selected updates for 2003. Endocr Pract .Nov-Des 2003;9(6):544-64
10. Sherwood, L. Kontrol Endokrin terhadap pertumbuhan. In: BI S, editor. Fisiologi
manusia dari sel ke sistem. 2 ed. Jakarta: EGC; 2001. p. 632-88.
11. Macdonald HM NS, Golden MH, Campbell MK, Reid DM. Nutritional associations
with bone loss during the menopausal transition: evidence of a beneficial effect of

16
calcium, alcohol, and fruit and vegetable nutrients and of a detrimental effect of fatty
acids. 2004:15565.
12. Burns, Dk., Kumar, V. Sistem Muskuloskeletal. In: Kumar, V., Cotran, RS.,
Robbins, SL, editor. Buku Ajar Patologi Robbins, Ed 7, Vol. 2. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC. 2012. P. 843-79.
13. Kawiyana IKS. Osteoporosis Patogenesis Diagnosis dan Penanganan Terkini. Jurnal
Penyakit Dalam. 2009;10(2):158-70
14. Syam Y., Noersasongko D., Sunaryo H. Fraktur Akibat Osteoporosis. Jurnal e-CliniC
(eCl). 2014;2(2).
15. Getha CN. Profil Pasien Oseoporosis di RSUP Fatmawati Jakarta Periode Januari
2011 Juli 2014. Laporan Penelitian. Fakultas Kedokteran Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah, Jakarta. 2014
16. Vilela P., Nunes T. Osteoporosis. Advanced Courses of the ENSR Meeting 2011.
Neuroradiology. 2011;53(1):185-9
17. Koyama H., Yoshihara H., Kotera M., Tamura T., Sugimura K. The Quantitative
Diagnostic Capability of Routine MR Imaging and Diffusion-Weighted Imaging in
Osteoporosis Patients. Journal of Clinical Imaging. Elvesier. 2013;37:925-9.

17

Anda mungkin juga menyukai