Anda di halaman 1dari 2

PENDAHULUAN

Setiap tahun lebih dari 500000 wanita meninggal disebabkan oleh hal yang berkaitan
dengan kehamilan dan melahirkan. Perdarahan post partum dianggap menjadi penyebab
terbesar dari mortalitas juga morbiditas seperti anemia berat, transfusi darah, rawat inap dan
risiko infeksi. Program Millenium Development Goal 5 menargetkan untuk menurunkan
mortalitas maternal menjadi 75% pada tahun 2015 yang berarti diperlukan penurunan sebesar
5,5% tiap tahunnya. Sebagian besar morbiditas dan mortalitas terjadi pada pasien yang tidak
memiliki faktor risiko dan tidak bisa diprediksi. Pada penilitian yang dilakukan pada 1620
wanita di India, didapatkan bahwa 9,2% diantaranya mengalami perdarahan post partum.
Tidak ada faktor maternal atau socio-demografi yang berbeda pada wanita dengan perdarahan
post partum dan yang tidak. Walaupun insidensi dari perdarahan post partum dini (yang
muncul pada 24 jam setelah melahirkan) lebih rendah pada pasien dengan operasi sectio
caesarea dibandingkan persalinan pervaginal tetapi sectio caesarea merupakan suatu
tindakan operasi mayor dan berisiko untuk terjadi perdarahan yang banyak. Oleh sebab itu,
penting sekali untuk mencegah terjadinya kehilangan darah secara efektif dan efisien, hal
tersebutlah yang mendasari penelitian ini.

Terlepas dari intervensi kebidanan, bedah dan radiologis, farmakologis juga berperan
penting pada aspek ini. Atonia uteri merupakan penyebab tersering dari perdarahan post
partum. Pilihan pertama sebagai terapeutik pada perdarahan post partum adalah oksitosin.
Pilihan lain seperti ergometrine intravena, carboprost intramuskular dan misoprostol. Obat-
obatan prohemostatik seperti TXA memberikan efek yang baik pada biokimiawi hemostatik
yang berefek baik pada uterotonik, terutama oksitosin. Obat anti fibrinolitik sistemik banyak
dipergunakan pada operasi. Sebuah tinjauan sistematis dilakukan terhadap percobaan
terkontrol acak dari anti fibrinolitik pada 211 pasien bedah elektif. Dari hasil penelitian
tersebut didapatkan hasil bahwa aprotinin menurunkan risiko dilakukannya transfusi darah
sebanyak 34% dan jika dengan TXA sebanyak 39%. TXA adalah analog dari lisin yang
menghambat fibrinolisis dengan mengikat secara kompetitif plasminogen. TXA mencegah
lisisnya bekuan dengan menghambat aktivasi dari plasminogen dan plasmin. Ini sepuluh kali
lebih efektif dibandingkan penggunaan asam amino kaproat. TXA telah terbukti menurunkan
risiko kehilangan darah uterus secara non-bedah. Penelitian yang dilakukan pada wanita
dengan menorrhagia menunjukan bukti signifikan bahwa penggunaan TXA menurunkan
rata-rata volume kehilangan darah tiap menstruasi. Uji coba kontrol acak penggunaan TXA
untuk pengobatan perdarahan post partum menunjukan bahwa dosis tinggi TXA mengurangi
kehilangan darah pada wanita dengan perdarahan post partum. Beberapa RCT telah
menganalisis peran profilaksis TXA dan menunjukan bukti yang signifikan bahwa TXA
efektif untuk mengurangi risiko kehilangan darah. TXA menurukan risiko untuk
dilakukannya histerektomi, menurukan risiko anemia berat dan transfusi darah. Oleh sebab
itu, hal ini dapat berkontribusi besar dalam menurunkan angka mortalitas maternal.
KETERBATASAN:

Terdapat keterbatasan dan kekurangan pada penelitian ini. Pertama adalah metode
gravimetrik dari perkiraan kehilangan darah, volume darah yang diukur hanya sesuai
perkiraan saja karena darah yang terserap di pembalut tidak bisa dihitung. Hal ini terjadi pada
semua peserta di kedua grup. Kedua, efek jangka panjang pada obat yang digunakan tidak
diperhitungkan.

KESIMPULAN:

TXA secara signifikan menurunkan volume kehilangan darah saat operasi section
caesarea segmen bawah (low segment caesarean section/LSCS). Kehamilan merupakan suatu
keadaan hiperkoagulasi, sehingga risiko terjadi trombotik besar. Meski demikian,
penggunaan antifibrinolitik tidak berkaitan dengan efek samping atau komplikasi pada
periode post partum dini. Oleh karena itu, TXA aman digunakan dan efektif pada pasien yang
akan menjalani operasi section caesarea.

Anda mungkin juga menyukai