Anda di halaman 1dari 81

PENGEMBANGAN METODE PENGUKURAN NONDESTRUKTIF

UNTUK MENENTUKAN MUTU DAN FERMENTASI BIJI


KAKAO UTUH MENGGUNAKAN NIR SPECTROSCOPY

ZULFAHRIZAL

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Pengembangan


Metode Pengukuran Nondestruktif untuk Menentukan Mutu dan Fermentasi Biji
Kakao Utuh Menggunakan NIR Spectroscopy adalah benar karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2014

Zulfahrizal
NIM F16410021
RINGKASAN

ZULFAHRIZAL. Pengembangan Metode Pengukuran Nondestruktif untuk


Menentukan Mutu dan Fermentasi Biji Kakao Utuh Menggunakan NIR
Spectroscopy. Dibimbing oleh SUTRISNO, I WAYAN BUDIASTRA dan
KUDANG BORO SEMINAR.

Biji kakao sebagai bahan baku pembuatan coklat merupakan salah satu
komoditi ekspor perkebunan yang strategis yang menghasilkan devisa besar untuk
Indonesia. Akan tetapi produk biji kakao Indonesia pada umumnya tidak
difermentasi sehingga harganya rendah di pasaran. Pengawasan mutu kakao
seperti kadar air dan kadar lemak belum dilakukan secara intensif. Penjaminan
mutu biji kakao melalui pengembangan metode pendugaan mutu yang cepat dan
akurat menjadi kata kunci peningkatan daya saing ekspor biji kakao Indonesia
ditingkat dunia.
Pendugaan mutu kakao dan produk turunannya sudah mulai dikembangkan
dalam berbagai penelitian menggunakan teknologi Near Infrared Reflectance
Spectroscopy (NIRS). NIRS telah menjadi salah satu metode non-destruktif yang
paling menjanjikan dan dapat digunakan untuk analisis dalam bidang pertanian.
Keuntungan yang dapat diraih adalah persiapan sederhana untuk sampel, proses
deteksi cepat, dan ramah lingkungan karena tidak ada bahan kimia yang
digunakan. NIRS memiliki kemampuan potensial untuk menentukan beberapa
parameter mutu secara bersamaan. Melalui pengembangan ilmu komputer dan
chemometric, kemampuan aplikasi teknik NIRS menjadi lebih populer. Aplikasi
NIRS untuk kakao dan produk turunannya sudah banyak dilakukan dalam bentuk
bubuk (destruktif) namun ternyata belum dilakukan pada biji kakao utuh. Padahal
masalah pemutuan kakao di Indonesia adalah pada biji kakao utuh. Data
menunjukkan bahwa 82% ekspor kakao Indonesia adalah dalam bentuk biji utuh
(non destruktif).
Secara umum, tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah
mengembangkan metode penentuan tingkat fermentasi dan kandungan mutu pada
biji kakao utuh dengan menggunakan NIRS. Adapun secara khusus, penelitian ini
bertujuan untuk (1) menguji perbedaan spektrum biji kakao tumpukan dengan biji
individu menggunakan Principal Component Analysis (PCA), (2) menentukan
kelompok fermentasi biji kakao utuh secara non-destruktif menggunakan PCA,
(3) memprediksi kadar air dan kadar lemak biji kakao utuh secara non-destruktif
dengan NIR dan Partial Least Squares (PLS), (4) menguji dan membandingkan
antar pretreatment spektrum untuk mendapatkan yang terbaik dalam semua
aktivitas pengujian di atas. Penelitian ini menggunakan sampel biji dari buah
kakao matang varietas Lindak dari Pusat Penelitian Kopi dan Kakao (Puslitkoka)
Indonesia yang mana buah tersebut diperoleh dari kebun yang sama. Pengeringan
dilakukan menggunakan pengering mekanis sampai diperoleh biji kakao kering
layak simpan. Pengambilan spektrum dan uji kimia biji dilakukan di Abteilung
Qualitt Tierischer Erzeugnisse dan Abteilung Qualitt Pflanzlicher Erzeugnisse,
Georg August University of Gttingen, Jerman. Analisis awal untuk
pengembangan teknik akuisisi spektrum biji kakao menggunakan PCA dengan
dibantu pretreatment Savitzky-Golay smoothing (SGs), derivative pertama (D1),
derivative kedua (D2), Multiplicative Scatter Correction (MSC), Standard
Normal Variate (SNV) dan kombinasi diantara kelimanya. Selanjutnya klasifikasi
data untuk penentuan tingkat fermentasi menggunakan PCA dengan pretreatment
MSC dan SNV. Terakhir adalah menentukan kadar air dan kadar lemak
menggunakan PLS sebagai pendekatan regresi data ditambah Multiplicative
Scatter Correction (MSC), Standard Normal Variate (SNV), Mean Normalization
(MN), Orthogonal Signal Correlation (OSC) dan De-Trending (DT).
Penelitian ini mendapatkan tiga hasil utama. Pertama, spektrum NIRS biji
kakao yang didapat setelah diolah oleh PCA dengan bantuan MSC dan SNV,
terlihat bahwa biji individu dan biji tumpukan berada dalam daerah yang hampir
sama. Oleh karena itu, bisa disimpulkan bahwa teknik akuisisi spektrum NIRS
untuk biji kakao utuh secara tumpukan dapat menggantikan teknik akuisisi
spektrum biji utuh individu. Teknik ini dipilih karena lebih cepat dan efesien.
Penelitian juga menghasilkan selang panjang gelombang yang menentukan mutu
biji kakao utuh. Selang panjang gelombang yang berperan memberi informasi
kadar air adalah 1400-1480 nm dan 1900-2000 nm. Untuk kadar lemak, selang
panjang gelombang yang berperan adalah 1160-1220 nm, 1650-1760 nm, 2300-
2400 nm. Terakhir untuk fermentasi panjang gelombang yang berperan adalah
1400-1480 nm, 1900-2000 nm dan 2060-2160 nm.
Kedua, sepektrum NIRS biji kakao yang diolah memakai PCA dengan
bantuan MSC dan SNV terlihat cenderung ter-cluster sesuai dengan kelompok
fermentasi semisal F0 (nonfermentasi), F5 (fermentasi penuh) dan F7 (fermentasi
berlebih). Oleh karena itu, bisa disimpulkan bahwa NIRS dapat digunakan untuk
membedakan kelompok fermentasi biji kakao utuh menggunakan metode PCA
dengan dibantu oleh MSC dan SNV sebagai pretreatment.
Ketiga, hasil pendugaan PLS yang didukung pretreatment pada biji kakao
utuh adalah lebih baik dibandingkan dengan PLS tanpa pretreatment. Hal ini
berlaku untuk pendugaan kadar air maupun kadar lemak. Pada pendugaan kadar
air, PLS yang didukung pretreatment telah menghasilkan prediksi yang tergolong
good model performance. Pretreatment yang dianggap sangat nyata meningkatkan
kinerja PLS adalah MSC, SNV dan OSC. Dimana ketiga pretreatment itu
menghasilkan nilai r masing-masing 0.92, 0.93 dan 0.93 selanjutnya nilai RMSEP
masing-masing 0.54%, 0.54% dan 0.52% serta nilai RPD yang cukup besar, yakni
masing-masing 2.21, 2.21 dan 2.26. Selain itu, pretreatment OSC bisa dikatakan
sebagai pretreatment yang paling efesien yang mampu memangkas jumlah latent
variable paling banyak yakni dari 10 menjadi 3. Pada pendugaan kadar lemak,
PLS yang didukung pretreatment telah menghasilkan prediksi yang tergolong
sufficient performance. Pretreatment yang dianggap paling baik kinerjanya adalah
MSC dan SNV. Keduanya menghasilkan nilai r, RMSEP dan RPD yang sama
yakni masing-masing 0.91, 1.11% dan 1.95. Selanjutnya pretreatment MSC, SNV
dan OSC bersama-sama dapat dikatakan paling efesiensi dilihat dari pengurangan
jumlah latent variable yang sangat signifikan dari 10 menjadi 4. Oleh karena itu,
bisa disimpulkan bahwa PLS dengan bantuan MSC dan SNV konsisten mampu
memprediksi kadar air dan kadar lemak pada biji kakao utuh dengan hasil yang
baik sedangkan OSC konsisten mampu menjadi pretreatment paling efesien.

Kata kunci : Biji kakao utuh, kadar air, kadar lemak, fermentasi, NIRS
SUMMARY

ZULFAHRIZAL. The Development of Non-destructive Measurement


Method to Determine the Quality and Fermentation of Intact Cacao Beans Using
NIR Spectroscopy. Supervised by SUTRISNO, I WAYAN BUDIASTRA and
KUDANG BORO SEMINAR.
Cacao bean as the raw material for chocolate is a strategic estate
commodity which generates high foreign exchanges. However, the Indonesian
cacao beans products are commonly unfermented that result lower price. Quality
control such as moisture content and fat content is not intensively performed. A
quality assurance through the development of quick and accurate method to
predict the quality of cacao is the key to improve the Indonesian competitiveness
in global market.
The quality prediction of cacao and its derivatives has been conducted by
applying near infrared reflectance spectroscopy (NIRS) technology. It has been
revealed that NIRS has became the most promising technology for agricultural
analysis. Some of the advantages are simpler sample preparation, quick detection
process and environmentally friendly because no chemicals are used. NIRS also
able to determine several quality parameters simultaneously. The engineering
application of NIRS has became more popular since the development of computer
science and chemometric. However, the application of NIRS is widely conducted
for cacao and its derivatives in powder form (destructive) not in intact cacao
beans. Unfortunately, the majority of Indonesias cacao export as accounted by
82% of the total export is raw beans.
Generally, the objective of this research was to develop a method in
determining fermentation level and quality of intact cacao beans using NIRS.
Specifically, the objectives of this research were (1) to test the spectrum
differences generated from stacked cacao beans and individual beans using
principal component analysis (PCA), (2) to determine the fermentation level of
intact cacao beans through non-destructive method using PCA, (3) to predict
water content and fat content of intact cacao beans through non-destructive
method using NIR and partial least squares (PLS), (4) to test and compare
between the pretreatment spectrum to get the best in all the activities of the above
test. Material used in this research was mature cacao Lindak cultivar from
Indonesian Coffee and Cocoa Research Institute (ICCRI) which produced in the
same field. Drying was conducted using mechanical dryer to obtain cacao beans
secure for storage. The spectrum acquisition and chemical test of cacao beans
were conducted in Abteilung Qualitt Tierischer Erzeugnisse and Abteilung
Qualitt Pflanzlicher Erzeugnisse, Georg August University of Gttingen,
Germany. Preliminary analysis in the development of cacao spectrum acquisition
method was conducted using PCA assisted with pretreatment methods including
Savitzky-Golay smoothing (SGs), first derivative (D1), second derivative (D1),
multiplicative scatter correction (MSC), standard normal variate (SNV) and their
combination. Data classification to determine the fermentation level was
conducted using PCA supported MSC and SNV as pretreatment methods. The last
was to determine the water content and fat content using PLS as the regression
approach which supported with multiplicative scatter correction (MSC), standard
normal variate (SNV), mean normalization (MN), orthogonal signal correlation
(OSC) dan de-trending (DT).
This research found three main results. First, the spectrum of individual
bean and stacked beans generated from PCA analysis followed with MSC and
SNV method were in a similar area. Therefore, it can be concluded that NIRS
spectrum acquisition technique in stacked cacao beans could replace the spectra
acquisition of individual cacao bean. This technique was more rapid and more
efficient. This research also generated spectra ranges that could be used to
determine the quality of intact cacao beans. The spectrum ranges for moisture
content was 1400-1480 nm and 1900-2000 nm, fat content was 1160-1220 nm,
1650-1760 nm, 2300-2400 nm, and fermentation was 1400-1480 nm, 1900-2000
nm and 2060-2160 nm.
Second, NIRS spectrum processed with PCA supported with MSC and SNV
could give clear separation among fermentation group i.e, F0 (unfermented), F5
(full-fermented) and F7 (over-fermented). Thus, it could be concluded that NIRS
with PCA supported with MSC and SNV was able to differentiate the
fermentation group of intact cacao beans.
Third, PLS supported with pretreatment gave better prediction result of
moisture content and fat content compared to PLS without pretreatment.
Specifically, moisture content prediction resulted from PLS and pretreatment was
categorized as good model performance. Pretreatment methods that could
significantly improve the performance of PLS were MSC, SNV and OSC. The r
value of each methods was 0.92, 0.93 and 0.93, respectively while the RMSEP
value was 0.54%, 0.54% and 0.52%, respectively. This research also found that
the RPD value was 2.21, 2.21 and 2.26, respectively. Meanwhile, fat content
prediction resulted from PLS and pretreatment was categorized as sufficient
performance. The most appropriate performance of pretreatment was MSC and
SNV which resulted r, RMSEP and RPD value were 0.91, 1.11% and 1.95,
respectively. Moreover, MSC, SNV and OSC were the most efficient methods of
spectra correction that could significantly reduce latent variables from 10 to 4.
Thus, it could be concluded that PLS with MSC and SNV were regarded as good
method to predict the water content and fat content of intact cacao beans.
Meanwhile, OSC was regarded as the most efficient method.

Key words: intact cacao beans, moisture content, fat content, fermentation, NIRS
Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PENGEMBANGAN METODE PENGUKURAN NONDESTRUKTIF
UNTUK MENENTUKAN MUTU DAN FERMENTASI BIJI
KAKAO UTUH MENGGUNAKAN NIR SPECTROSCOPY

ZULFAHRIZAL

Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor
pada
Program Studi Ilmu Keteknikan Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
Penguji pada Ujian Tertutup: Dr Ir Y Aris Purwanto M Sc

Prof Dr Ono Suparno STP MT

Penguji pada Ujian Terbuka: Dr Ir Emmy Darmawati M Si

Dr Ir Listyani Wijayanti
Judul Tesis : Pengembangan Metode Pengukuran Nondestruktif untuk
Menentukan Mutu dan Fermentasi Biji Kakao Utuh Menggunakan
NIR Spectroscopy
Nama : Zulfahrizal
NIM : F164100021

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Sutrisno M Agr


Ketua

Dr Ir I Wayan Budiastra M Agr Prof Dr Ir Kudang Boro Seminar M Sc


Anggota Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana


Ilmu Keteknikan Pertanian

Dr Ir Wawan Hermawan MS Dr Ir Dahrul Syah M ScAgr

Tanggal Ujian: 27 Agustus 2014 Tanggal Lulus:


PRAKATA

Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu


wa taala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan.
Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak Februari 2011 ini
ialah penentuan mutu biji kakao utuh, dengan judul Pengembangan Metode
Pengukuran Nondestruktif untuk Menentukan Mutu dan Fermentasi Biji Kakao
Utuh Menggunakan NIR Spectroscopy.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof Dr Ir Sutrisno M Agr,
Bapak Dr Ir I Wayan Budiastra M Agr dan Bapak Prof Dr Ir Kudang Boro
Seminar M Sc selaku pembimbing. Bapak Dr Daniel Morlein sebagai
pembimbing selama di Jerman. Bapak Dr Dr Ing Agus Arip Munawar M Sc
sebagai teman belajar selama di Jerman dan sampai saat ini. Bapak Dr Ir Y Aris
Purwanto M Sc dan Bapak Prof Dr Ono Suparno STP MT selaku penguji Sidang
Tertutup. Ibu Dr Ir Emmy Darmawati M Si dan Dr Ir Listyani Wijayanti sebagai
penguji Sidang Terbuka. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada
Bapak Dr Sukrisno Widyotomo dari Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia.
Ibu Prof Dr Elke Pawelzik, Bapak Dr Andreas Werlis, Bapak Dr Anggoro
Sutikno, Ibu Bettina Egger, Ibu Evelyn Krger dan Ibu Gunda Jansen dari
Abteilung Qualitt Pflanzlicher Erzeugnisse, Georg August University of
Gttingen serta Bapak Sulyaden di Laboratorium TPPHP departemen TMB IPB.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Ketua Mayor S3 Ilmu
Keteknikan Pertanian Bapak Dr Ir Wawan Hermawan MS dan bagian
administrasinya, Ibu Rusmawati dan Bapak Ahmad Mulyatullah. Tidak lupa
terima kasih untuk teman-teman seangkatan di S3 TEP angkatan 2010 atas semua
kebersamaan yang dibangun selama ini. Juga untuk teman-teman di Perwira 6
khususnya Pak drh. Sangkot Nasution M Si yang telah banyak membantu.
Ucapan terima kasih terakhir saya berikan kepada Direktorat Jendral
Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
yang telah membiayai pendidikan S3 saya melalui Program Beasiswa BPPS
maupun membiayai penelitian saya melalui Program Sandwich-Like Luar Negeri
ke Georg August University of Gttingen, Jerman.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2014

Zulfahrizal
DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR TABEL xiii
DAFTAR GAMBAR xiii
DAFTAR LAMPIRAN xiv
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Tujuan Penelitian 2
1.3 Manfaat Penelitian 3
1.4 Ruang Lingkup Penelitian 3
1.5 Novelti Penelitian 3
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tanaman Kakao 4
2.2 Fermentasi Kakao 5
2.3 Standar Mutu Biji Kakao 7
2.4 Teknologi Near Infrared Reflectance Spectroscopy (NIRS) 8
2.5 Aplikasi Chemometric dalam Analisis Pangan 12
2.6 Metode Pretreatment Spektrum 13
2.7 Metode Principal Component Analysis (PCA) 15
2.8 Metode Partial Least Squares (PLS) 17
2.9 Aplikasi NIRS untuk Produk Kakao 19
3 AKUISISI SPEKTRUM NIR PADA BIJI KAKAO UTUH
3.1 Pendahuluan 21
3.2 Bahan Metode 22
3.3 Hasil dan Pembahasan 24
3.4 Kesimpulan 29
4 APLIKASI NIRS UNTUK PREDIKSI TINGKAT FERMENTASI PADA
BIJI KAKAO UTUH
4.1 Pendahuluan 30
4.2 Bahan dan Metode 31
4.3 Hasil dan Pembahasan 32
4.4 Kesimpulan 37
5 PREDIKSI KADAR AIR DAN KADAR LEMAK PADA BIJI KAKAO
UTUH
5.1 Pendahuluan 38
5.2 Bahan dan Metode 39
5.3 Hasil dan Pembahasan 42
5.4 Kesimpulan 48
6 PEMBAHASAN UMUM
6.1 Hasil Penelitian Pendahuluan 49
6.2 Analisis Tingkat Fermentasi dengan Metode PCA 50
6.3 Analisis Kadar Air dan Kadar Lemak dengan Metode PLS 52
6.4 Analisis Penggunaan Metode Pretreatment 53
7 KESIMPULAN DAN SARAN
7.1 Kesimpulan 55
7.2 Saran 55
DAFTAR PUSTAKA 56
LAMPIRAN 60
RIWAYAT HIDUP 65

DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Komposisi kimia biji kakao sebelum dan setelah fermentasi 6
Tabel 2.2 Persyaratan mutu umum biji kakao 8
Tabel 2.3 Persyaratan mutu khusus biji kakao 8
Tabel 4.1 Perhitungan akurasi hasil prediksi untuk penggolongan fermentasi
biji kakao utuh baik pada PCA + SNV maupun pada PCA + MSC 35
Tabel 5.1 Acuan pengukuran dalam set kalibrasi dan set prediksi biji kakao 42
Tabel 5.2 Hasil kalibrasi dan prediksi kadar air biji kakao utuh 43
Tabel 5.3 Hasil kalibrasi dan prediksi kadar air bubuk biji kakao 45
Tabel 5.4 Hasil kalibrasi dan prediksi kadar lemak biji kakao utuh 46
Tabel 5.5 Hasil kalibrasi dan prediksi kadar lemak bubuk biji kakao 47
Tabel 6.1 Hasil PLS untuk raw data 52
Tabel 6.2 Pengaruh pretreatment pada pendugaan biji kakao utuh 53
Tabel 6.3 Pengaruh pretreatment terhadap effesiensi hasil dugaan 54

DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Biji kakao yang diselimuti pulp terangkai pada plasenta 5
Gambar 2.2 Perbedaan warna bagian dalam biji kakao berdasarkan
tingkat fermentasi 7
Gambar 2.3 Bentuk spektrum near infrared untuk beberapa bahan biologik 9
Gambar 2.4 Distribusi ikatan organik utama gelombang elektromagnetik 10
Gambar 2.5 Interaksi sinar NIRS dengan bahan biologik 10
Gambar 2.6 Sketsa intrumen pengukur NIRS 11
Gambar 3.1 Pembentukan lapisan untuk sampel biji tumpukan 22
Gambar 3.2 Akuisisi spektrum biji individu 23
Gambar 3.3 Akuisisi spektrum NIRS (a) Posisi sumber sinar (b) biji tumpukan
dan (c) bubuk biji 23
Gambar 3.4 Pilihan kombinasi metode pretreatment 24
Gambar 3.5 Spektrum hasil pemindaian NIRS untuk (a) biji kakao individu.
(b) biji kakao tumpukan dan (c) bubuk biji kakao 25
Gambar 3.6 Hasil analisis PCA untuk (a) data tanpa pretreatment dan (b) data
dengan penambahan SGs 26
Gambar 3.7 Hasil analisis PCA untuk penambahan (a) MSC dan (b) SNV 26
Gambar 3.8 Hasil analisis PCA untuk (a) SGs+MSC dan (b) SGs+SNV 26
Gambar 3.9 Hasil analisis PCA untuk (a) SGs+D1 dan (b) SGs+D1 27
Gambar 3.10 Hasil analisis PCA untuk pretreatment (a) SGs+MSC+D1,
(b) SGs MSC+D2, (c) SGs+SNV+D1, (d) SGs+SNV+D2 27
Gambar 3.11 Loading plot untuk penambahan (a) MSC dan (b) SNV 28
Gambar 3.12 Loading plot untuk penambahan (a) D1 dan (b) D2 28
Gambar 3.13 Spektrum biji kakao mengandung informasi kandungan zat 29
Gambar 4.1 Rantai kimia procyanidin pada biji kakao 31
Gambar 4.2 Letak procyanidin dan amonia pada spektrum biji kakao utuh 33
Gambar 4.3 Hasil analisis PCA tanpa pretreatment 33
Gambar 4.4 Hasil PCA + SNV untuk data kalibrasi biji kakao utuh 34
Gambar 4.5 Hasil PCA + MSC untuk data kalibrasi biji kakao utuh 34
Gambar 4.6 Hasil PCA + SNV untuk data prediksi biji kakao utuh 35
Gambar 4.7 Hasil PCA + MSC untuk data prediksi biji kakao utuh 35
Gambar 4.8 Hasil olahan PCA + SNV untuk bubuk kakao 36
Gambar 4.9 Hasil olahan PCA + MSC untuk bubuk kakao 36
Gambar 4.10 Loading plot hasil analisis pada biji utuh (a) PCA+MSC,
(b) PCA+SNV 37
Gambar 4.11 Loading plot hasil analisis pada bubuk biji (a) PCA+MSC,
(b) PCA+SNV 37
Gambar 5.1 Sampel biji kakao dalam (a) paket kecil 40-45 gram (b) bentuk
bubuk dalam botol plastik 40
Gambar 5.2 Letak kadar air dan lemak pada spektrum biji kakao utuh 43
Gambar 5.3 Plot data kalibrasi-prediksi kadar air tanpa pretreatment 44
Gambar 5.4 Plot data kalibrasi-prediksi kadar air setelah pretreatment
(a) MSC untuk biji utuh dan (b) SNV untuk biji utuh 44
Gambar 5.5 Plot data kalibrasi-prediksi kadar lemak tanpa pretreatment 47
Gambar 5.6 Plot data kalibrasi-prediksi kadar lemak setelah pretreatment
(a) MSC untuk biji utuh dan (b) SNV untuk biji utuh 47
Gambar 6.1 Perubahan bentuk spektrum biji utuh pada berbagai tingkat
fermentasi 51
Gambar 6.2 Perubahan bentuk spektrum bubuk biji pada berbagai tingkat
fermentasi 51

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Diagram alir penelitian 60


Lampiran 2 Alat NIRS AntarisTM II MDS 61
Lampiran 3 Peralatan pengukuran kadar air 62
Lampiran 4 Peralatan pengukuran kadar lemak 63
Lampiran 5 Sebaran data kalibrasi dan prediksi untuk biji kakao 64
1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia dikenal sebagai negara pengekspor biji kakao dunia dengan nilai
devisa pada tahun 2011 mencapai US$ 1.345 miliar. Biji kakao yang merupakan
komoditi perkebunan yang strategis dipakai sebagai bahan dasar untuk membuat
coklat, diproduksi sekitar 550 ribu ton di Indonesia setiap tahunnya. Pada tahun
2010 dari luas 1 651 539 ha areal kakao, sekitar 1 555 596 ha atau 94% adalah
kakao rakyat. Areal dan produksi kakao Indonesia meningkat pesat pada dekade
terakhir dengan laju 5.99% per tahun. Saat ini areal pengembangan kakao di
Indonesia meliputi Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara,
Sulawesi Tengah, Papua Barat, Jawa Timur, Lampung, Sumatera Barat, Sumatera
Utara dan Aceh. Hal ini mengidentifikasikan peran penting kakao baik sebagai
sumber lapangan kerja maupun pendapatan bagi petani (Widjaya dan Sukirno
2011; Rubiyo dan Siswanto 2012; Ragimun 2013).
Berbanding terbalik dengan semakin luasnya daerah pengembangan kakao
Indonesia, akhir-akhir ini produksi dan produktivitas kakao di Indonesia malah
terus mengalami penurunan yang sangat berarti. Selain tingkat produktivitas yang
lebih kecil dibandingkan dengan potensi klon atau tanaman yang ada, aspek mutu
juga mengalami penurunan. Menurunnya mutu dan daya saing produk
dipengaruhi oleh banyak faktor dan yang menjadi sorotan utama pada penelitian
ini adalah penanganan pascapanen kakao. Hasibuan et al. (2012) mengatakan
hasil analisis CMSA (Constant Market Share Analysis) untuk biji kakao
menunjukkan bahwa ekspor biji kakao Indonesia kurang memiliki daya saing
untuk pasar ASEAN, Amerika Serikat, Uni Eropa dan China. Hal ini terjadi
karena produk biji kakao Indonesia dikenal memiliki mutu rendah sehingga hanya
dijadikan sebagai campuran di negara-negara industri kakao serta memiliki harga
yang lebih rendah dari negara eksporir lainnya. Namun jika dilihat dari initial
specialization, biji kakao Indonesia untuk keempat pasar tujuan ekspor tersebut
berada dalam kategori dapat dikembangkan. Artinya untuk dapat meningkatkan
daya saing ekspor, Indonesia harus meningkatkan mutu produk melalui proses
fermentasi dan penanganan pascapanen lainnya.
Indonesia perlu menstandarkan biji kakao ekspornya sesuai dengan standar
yang dipakai oleh negara-negara industri pengolah kakao. Menurut Mulato et al.
(2009), kalangan industri menilai mutu biji kakao tergantung tiga aspek yaitu (1)
rendemen lemak, (2) kemurnian dan kontaminasi, dan (3) aroma dan citarasa.
Aspek pertama selain ditentukan oleh bahan tanaman juga oleh kondisi
lingkungan kebun (kesuburan dan agroklimat), sedangkan aspek kedua dan ketiga
lebih banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor pengolahan.
Oleh karena itu, penanganan pascapanen menjadi kunci keberhasilan
peningkatan mutu biji kakao Indonesia. Selanjutnya yang harus diperhatikan
adalah kontrol mutu biji kakao mengingat selama ini konsistensi mutu produk
pertanian Indonesia secara umum masih rendah. Metode penentuan mutu secara
cepat dan tepat diperlukan untuk menghasilkan komoditas kakao standar mutu
tinggi yang disyaratkan negara konsumen. SNI menetapkan standar mutu biji
2

kakao dilihat secara fisik seperti dari kadar air, kontaminasi terhadap serangga,
benda asing dan berbagai aroma yang dapat merusak aroma khas kakao (BSN
2008). Secara khusus Mulato et al. (2009) mengatakan bahwa mutu kakao
ditentukan oleh rendemen lemak, aroma dan citarasa, karena komponen-
komponen inilah yang biasanya menentukan sensasi dalam menikmati coklat.
Pendugaan mutu kakao biasanya dilakukan melalui uji laboratorium (secara
destruktif), dimana biji kakao dihancurkan dan diambil sarinya yang kemudian
dianalisis dengan metode standar kimia yang umum di laboratorium. Faktanya,
metode kimia ini menghabiskan waktu yang cukup lama dan mahal, sehingga
tidak cocok diterapkan di industri yang memerlukan metode yang sangat cepat
dan tidak merusak (non-destruktif) untuk menganalisis mutu kakao.
Pendeteksian mutu pangan yang cepat dan efesien dapat diwujudkan melalui
pengembangan teknologi Near Infrared Reflectance Spectroscopy (NIRS). NIRS
telah menjadi salah satu metode non-destruktif yang paling menjanjikan dan dapat
digunakan untuk analisis dalam berbagai bidang, termasuk di bidang pertanian.
Keuntungan yang dapat diraih adalah persiapan sederhana untuk sampel, proses
deteksi cepat, dan ramah lingkungan karena tidak ada bahan kimia yang
digunakan. Lebih penting lagi, NIRS memiliki kemampuan potensial untuk
menentukan beberapa parameter mutu secara bersamaan. Melalui pengembangan
ilmu komputer dan chemometric, kemampuan aplikasi teknik NIRS menjadi lebih
populer dan menarik banyak perhatian para peneliti dalam bidang pangan.
Komponen dengan prosentase konsentrasi 0.1% dapat dideteksi dan dievaluasi
menggunakan NIRS (Cen dan He 2007; Munawar 2014).
Mengingat potensi kakao di Indonesia yang begitu besar dan tingginya
permintaan konsumen industri (terutama luar negeri) terhadap mutu produk, maka
sudah sepantasnya dikembangkan metode untuk pengukuran mutu kakao yang
memenuhi syarat cepat dan akurat. Penelitian yang terkait kakao serta produk
turunannya dengan memakai NIRS cukup banyak dilakukan. Contohnya Nielsen
et al. (2008), Aculey et al. (2010), dan Hue (2014) melakukan penelitian pada biji
kakao yang dibubukkan. Kemudian Kaffka et al. (1982), Permanyer dan Perez
(1989), Vesela et al. (2007) meneliti bubuk kakao. Selanjutnya Whitacre et al.
(2003) menggunakan kakao liquors. Berikutnya Bollinger et al. (1999)
mengambil cocoa butter dan coklat dalam bentuk cairan, sementara Moros et al.
(2007) memilih coklat komersial. Penelitian yang lebih lengkap adalah yang
dilakukan oleh Davies et al. (1991) yang penelitiannya mencangkup bubuk biji
kakao mentah, bubuk biji kakao sangrai, block mass coklat dan blok coklat jadi.
Namun ternyata belum ada yang mencoba meneliti langsung pada biji kakao utuh
sehingga penelitian dengan menggunakan NIRS pada biji kakao utuh menjadi hal
yg menarik untuk dilakukan.

1.2 Tujuan Penelitian

Secara umum, tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah
mengembangkan metode penentuan tingkat fermentasi dan kandungan mutu pada
biji kakao utuh dengan menggunakan NIRS. Adapun secara khusus, penelitian ini
bertujuan untuk:
3

1. Menguji perbedaan spektrum biji kakao tumpukan dengan biji individu


menggunakan Principal Component Analysis (PCA).
2. Menentukan kelompok fermentasi biji kakao utuh secara non-destruktif
menggunakan PCA.
3. Memprediksi kadar air dan kadar lemak biji kakao utuh secara non-destruktif
dengan NIRS dan Partial Least Squares (PLS).
4. Menguji dan membandingkan antar pretreatment spektrum untuk
mendapatkan yang terbaik dalam semua aktivitas pengujian di atas.

1.3 Manfaat Penelitian

Merujuk data Ditjenbun 2010 dari 535 236 ton ekspor kakao Indonesia,
sebanyak 439 305 ton atau lebih dari 82% diekspor dalam bentuk biji. Selebihnya
diekspor dalam bentuk kakao buah, pasta, lemak, tepung dan makanan yang
mengandung coklat. Artinya, devisa negara dari kakao terbesar adalah dari ekspor
biji kakao. Sementara diketahui bahwa biji kakao Indonesia dianggap bermutu
rendah karena tidak ada metode praktis untuk menguji keseragaman mutu kakao
seperti antara kakao fermentasi dan tidak fermentasi. Akibat dari itu semua, harga
biji kakao Indonesia sangat rendah di pasar internasional dan terkena diskon
hingga US$ 200/ton atau 10%-15% dari harga pasar (Hasibuan et al. 2012)
Penelitian ini diharapkan mampu menemukan metode praktis, cepat dan
akurat (skala laboratorium) untuk pengujian keseragaman sampel mutu biji kakao
agar dapat meningkatkan daya saing harga kakao Indonesia di pasar internasional.
Selain itu diharapkan penjaminan mutu secara langsung dari biji kakao kering
akan lebih menguntungkan petani kakao agar terhindar dari penipuan harga oleh
para tengkulak.

1.4 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini akan dibatasi pada penelitian biji kakao mentah utuh dan biji
kakao yang dijadikan bubuk sebagai data pembanding. Biji kakao yang digunakan
berasal dari buah kakao varietas Lindak yang ditanam di Pusat Penelitian Kopi
dan Kakao Indonesia di Jember, Jawa Timur. Kemudian untuk pengujian atribut
kakao adalah dibatasi pada atribut utama pemutuan yakni tingkat fermentasi,
kadar air dan kadar lemak, sedangkan pengolahan datanya menggunakan
Principal Component Analysis (PCA) dan Partial Least Squares (PLS). Untuk
pretreatment digunakan Smoothing Savizky-Golay (SGs), First and Second
Derivative (D1 dan D2), Mean Centering (MC), Mean Normalization (MN), De-
trending (DT), Multiplicative Scatter Correction (MSC), Standard Normal
Variate (SNV) dan Orthogonal Signal Correction (OSC).

1.5 Novelti Penelitian

Penelitian terkait penggunaan NIRS untuk kakao sudah cukup banyak


dilakukan. Penelitian-penelitian itu mencangkup biji kakao mentah, biji kakao
sangrai sampai pada produk olahan kakao semisal bubuk kakao, kakao liquor,
4

dark chocolates dan coklat komersial. Sebagai contoh Nielsen et al. (2008),
Aculey et al. (2010) dan Hue et al. (2014) melakukan penelitian pada biji kakao
yang dibubukkan. Kemudian Kaffka et al. (1982), meneliti bubuk kakao begitu
juga dengan Permanyer dan Perez (1989), Vesela et al. (2007), melakukan
penelitian pada bubuk kakao yang dicampur sukrosa, cocoa fiber dan susu.
Selanjutnya Whitacre et al. (2003) menggunakan kakao liquors yakni biji kakao
yang telah digiling halus dan hasilnya seperti bubur halus dari biji coklat yang
bercampur dengan lemak coklat. Berikutnya Bollinger et al. (1999) mengambil
cocoa butter dan coklat dalam bentuk cairan sebagai bahan uji untuk melihat
viskositas dan kandungan kristal, sementara Moros et al. (2007) memilih coklat
komersial untuk diteliti kadar karbohidrat, lemak dan protein. Penelitian yang
lebih lengkap adalah yang dilakukan oleh Davies et al. (1991) yang penelitiannya
mencakup bubuk biji kakao mentah, bubuk biji kakao sangrai, block mass coklat
dan blok coklat jadi untuk melihat kadar air dan kadar lemak.
Mempelajari berbagai penelitian di atas, dapat disusun novelti untuk
penelitian ini adalah :
1. Penelitian ini meneliti langsung pada biji kakao mentah kering utuh yang mana
belum pernah dilakukan oleh peneliti lain baik di dalam maupun di luar negeri.
2. Penelitian ini menerapkan penggunaan pretreatment spektrum yang berbeda
dan membandingkan dampaknya dengan ketahanan dan akurasi hasil kalibrasi
dan prediksi. Melalui penelitian ini diharapkan ditemukan metode pretreatment
yang paling sesuai untuk pengolahan biji kakao utuh.

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tanaman Kakao

Kakao merupakan tanaman tahunan yang memerlukan lingkungan khusus


untuk dapat berproduksi secara baik. Habitat asli tanaman kakao adalah hutan
tropis dengan naungan pohon-pohon yang tinggi, curah hujan tinggi, suhu
sepanjang tahun relatif sama, serta kelembapan tinggi dan relatif tetap. Dalam
habitat seperti itu, tanaman kakao akan tumbuh tinggi tetapi bunga dan buahnya
sedikit. Kakao (Theobroma cacao) merupakan tumbuhan berwujud pohon yang
berasal dari Amerika Selatan, di alam dapat mencapai ketinggian 10 m. Meskipun
demikian, dalam pembudidayaan tingginya dibuat tidak lebih dari 5 m tetapi
dengan tajuk menyamping yang meluas. Hal ini dilakukan untuk memperbanyak
cabang produktif (Puslitkoka 2010).
Menurut Siregar (2010), dikenal tiga varietas kakao di dunia, yaitu varietas
Criollo, Forastero, dan Trinitario. Varietas Criollo memiliki karakteristik : 1)
buah berwarna merah atau kuning jika matang, 2) dinding buah (kulit) relatif tipis
dan mudah dikupas, 3) kotiledon berwarna putih atau ungu pucat, 4) biji
berbentuk bulat dan padat, dan 5) tekstur buah lembut. Varietas Forastero
mempunyai ciri-ciri : 1) buah berwarna kuning ketika matang, 2) dinding buah
relatif tipis tetapi kadangkala terdapat banyak lapisan sehingga sulit dikupas, 3)
bentuk biji rata, 4) kotiledon berwarna ungu tua atau hitam. Karakteristik varietas
Trinitario sangat berbeda dengan Criollo, walaupun keduanya berasal dari
5

kelompok Venezuelan Cacao. Ciri-ciri menonjolnya bila dibandingkan dengan


Criollo ialah tekstur buah lebih keras, produktivitas buah lebih tinggi, dan mutu
rasa yang lebih rendah.
Tanaman kakao Indonesia yang banyak dibudidayakan di perkebunan rakyat
adalah jenis forastero atau kakao lindak. Buah kakao terdiri atas 3 komponen
utama yakni kulit buah (70% berat buah masak), biji (27-29% berat buah masak)
dan plasenta yang merupakan pengikat dari 30-40 biji. Permukaan biji dilapisi
pulpa berwarna putih dan bila matang mempunyai biji yang diselimuti pulpa yang
lunak dan terasa manis (Mulato et al. 2009).
Bunga kakao, sebagaimana anggota Sterculiaceae lainnya, tumbuh langsung
dari batang (cauliflorous). Bunga sempurna berukuran kecil (diameter maksimum
3 cm), tunggal, namun nampak terangkai karena sering sejumlah bunga muncul
dari satu titik tunas. Penyerbukan bunga dilakukan oleh serangga (terutama lalat
kecil (midge) Forcipomyia, semut bersayap, afid, dan beberapa lebah Trigona)
yang biasanya terjadi pada malam hari. Bunga siap diserbuki dalam jangka waktu
beberapa hari (Puslitkoka 2010).
Buah kakao terdiri dari 5 daun buah dan memiliki ruang dan di dalamnya
terdapat biji. Warna buah berubah-ubah menurut umur dimana sewaktu muda
berwarna hijau hingga ungu dan apabila masak kulit luar buah biasanya berwarna
kuning. Biji terangkai pada plasenta yang tumbuh dari pangkal buah, di bagian
dalam. Biji dilindungi oleh selaput biji (aril) lunak berwarna putih yang dalam
istilah pertanian disebut pulp (Gambar 2.1), Endospermia biji mengandung lemak
dengan kadar yang cukup tinggi. Dalam pengolahan pascapanen, pulp
difermentasi sampai 5 hari lalu biji dikeringkan di bawah sinar matahari.

Gambar 2.1 Biji kakao yang diselimuti pulp terangkai


pada plasenta

2.2 Fermentasi Kakao

Biji tumbuhan kakao jika diolah akan menghasilkan produk yang dikenal
sebagai coklat yang merupakan bahan pangan kegemaran masyarakat karena rasa
istimewa dan dipercaya mempunyai khasiat tertentu. Sebelum biji kakao diolah
menjadi produk coklat, biji kakao harus difermentasi terlebih dahulu dengan
tujuan untuk menghancurkan pulp yang membungkus biji coklat dengan bantuan
6

mikroorganisme yang diperoleh dari udara terbuka. Menurut Rohman (2009),


fermentasi biji kakao akan menghasilkan prekursor cita rasa, mencoklat-hitamkan
warna biji, mengurangi rasa-rasa pahit, asam, manis dan aroma bunga,
meningkatkan aroma kakao dan kacang (nutty), dan mengeraskan kulit biji
menjadi seperti tempurung. Biji yang tidak difermentasi tidak akan memiliki
senyawa prekursor tersebut sehingga citarasa dan mutu biji sangat rendah. Produk
fermentasi yang dihasilkan berupa etanol, asam laktat, dan asam asetat yang akan
berdifusi ke dalam biji dan membuat biji tidak berkecambah.

Tabel 2.1 Komposisi kimia biji kakao sebelum dan setelah fermentasi
Komposisi Sebelum Fermentasi (%) Setelah Fermentasi (%)
Kulit biji 9.63 10.71
Lembaga 0.77 0.70
Keping biji 89.60 -
Lemak 53.03 54.68
Air 3.69 2.13
Total abu 2.63 2.74
Nitrogen 5.78 -
Total N 2.28 2.16
Protein 1.50 1.34
Amonia 0.028 0.0024
Amida 0.199 0.336
Theobromin 0.71 1.42
Kafein 0.085 0.0068
Karbohidrat 14.31 -
Glukosa 0.30 0.10
Pati 6.10 6.14
Pectin 2.25 4.11
Serat 2.09 2.13
Sellulosa 1.92 1.90
Pentosa 1.27 1.21
Gum 0.38 1.84
Tannin 7.554 6.15
Asam- asam 0.304 -
Asetat 0.104 0.136
Oksalat 0.29 0.30
Sumber: Raharjo (1987)

Fermentasi dilakukan sampai 5 hari, yang dapat membuat perubahan


struktur/komponen kimia dari keping biji (Tabel 2.1), sehingga fermentasi akan
menghasilkan biji dengan mutu dan aroma yang baik, membuat biji tahan hama
dan jamur serta menghasilkan biji dengan warna yang cerah dan bersih. Proses
fermentasi dapat menurunkan berat sampai 25% dari berat biji sebelum
difermentasi sebagai akibat dari penguapan air. Fermentasi sampai 5 hari mampu
7

mengurangi sampai sekitar 39.5% kandungan total polifenol yang mana total
polifenol dalam biji kakao adalah sekitar 120-180 gram per kg dari berat kering
biji kakao. Tingkat fermentasi bisa diketahui dengan deteksi kandungan total
polifenol khususnya procyanidin yang terdapat sekitar 58% dari kandungan total
polifenol dalam biji kakao kering. Procyanidin digambarkan dengan rantai R-OH.
(Misnawi et al. 2002; Whitacre 2003; Misnawi et al. 2004; Misnawi 2009; Hii et
al. 2009). Selain itu analisis terhadap senyawa volatile dan perubahan kadar NH3
(amonia) juga bisa digunakan untuk menilai tingkat fermentasi (Aculey et al.
2010 dan Hue et al. 2014).
Mulato et al. (2009) mengatakan bahwa derajat fermentasi berdasarkan
warna keping biji dapat diklasifikasikan menjadi beberapa tingkat yaitu :
1. Fermentasi kurang, menghasilkan keping biji berwarna ungu penuh (tanpa
fermentasi), warna ungu seperti batu tulis (fermentasi 1 hari) warna ungu dan
coklat sebagian (fermentasi 2 - 3 hari) serta warna coklat dengan sedikit ungu
(fermentasi 4 hari).
2. Terfermentasi sempurna, menghasilkan keping biji berwarna coklat dominan.
3. Fermentasi berlebihan, menghasilkan warna keping biji coklat gelap dan
berbau tidak enak.
Menurut panduan yang dikeluarkan Badan Standarisasi Nasional (2008),
untuk menentukan tingkat fermentasi pada biji kakao dilakukan dengan cara
memotong secara memanjang bagian tipis biji kakao. Tingkat fermentasi
ditentukan dari warna hasil belahan (Gambar 2.2).

Gambar 2.2 Perbedaan warna bagian dalam biji kakao berdasarkan


tingkat fermentasi (Mulato et al. 2009)

2.3 Standar Mutu Biji Kakao

Standar mutu diperlukan sebagai tolok ukur untuk pengawasan. Pada bisnis
kakao internasional, mutu mempunyai dua pengertian yang mendasar. Pertama,
pengertian umum, dimana mutu adalah suatu parameter yang dikaitkan dengan
sifat fisik, kimiawi, kebersihan, cita rasa dari biji kakao. Sedangkan kedua,
pengertian yang luas, dimana mutu adalah suatu ukuran yang dikaitkan dengan
akseptabilitas dari biji kakao yang diproduksi oleh perusahaan tertentu oleh
pembeli atas dasar standar proses produksi yang diakui internasional (Mulato et
al. 2009)
Penentuan standar mutu untuk mutu biji kakao secara umum dapat
dikelompokkan dalam beberapa bagian seperti karakteristik fisik dan tingkat
8

kontaminasi. Standar mutu terbagi atas dua yaitu syarat mutu umum (Tabel 2.2)
dan syarat khusus (Tabel 2.3).

Tabel 2.2 Persyaratan mutu umum biji kakao (SNI 2008)


JENIS UJI SATUAN PERSYARATAN
Serangga hidup - Tidak ada
Kadar air % fraksi masss Maks 7.5
Biji berbau asap dan atau hammy dan - Tidak ada
atau berbau asing
Kadar benda asing - Tidak ada
Sumber : BSN 2008

Tabel 2.3 Persyaratan mutu khusus biji kakao (SNI 2008)


JENIS MUTU PERSYARATAN
Kakao Kakao Kadar biji Kadar biji Kadar biji Kadar Kadar biji
Mulia Lindak berjamur staty berserangga kotoran berkecambah
(Fine Cocoa) (Bulk Cocoa) waste
I-F I-B Maks 2 Maks 3 Maks 1 Maks 1.5 Maks 2
II-F II-B Maks 4 Maks 8 Maks 2 Maks 2.0 Maks 3
III-F III-B Maks 4 Maks 20 Maks 2 Maks 3.0 Maks 3
Sumber : BSN 2008

Selain faktor di atas, parameter kimia (seperti kandungan zat tertentu,


kandungan lemak dan asam lemak bebas) juga menentukan mutu kakao. Lemak
merupakan komponen termahal dari biji kakao sehingga nilai ini dipakai oleh
konsumen sebagai salah satu tolok ukur penentuan harga. Kisaran kadar lemak
biji kakao Indonesia adalah antara 49% - 52%. Selain kadar lemak, kadar asam
lemak bebas juga harus diperhatikan. Biji kakao yang baik seharusnya
mengandung kadar asam lemak bebas di bawah 1% dan dianggap sudah
mengalami kerusakan bila kadar asam lemak bebasnya sudah di atas 1.3 %
(Mulato et al. 2009). Menurut panduan yang dikeluarkan Badan Standarisasi
Nasional (2008), untuk menentukan kadar lemak dan asam lemak dilakukan
dengan mengekstrak biji kakao menggunakan pelarut tertentu.
Mulato et al. (2009) mengatakan bahwa beberapa konsumen terutama
industri makanan dan minuman coklat di Eropa, menghendaki beberapa
persyaratan tambahan yaitu uji organoleptik. Biji kakao yang mempunyai cita rasa
dan aroma khas coklat yang menonjol sangat disukai. Untuk itu persyaratan
fermentasi menjadi penting.

2.4 Teknologi Near Infrared Reflectance Spectroscopy (NIRS)

Menurut Strang (2004), NIRS merupakan teknik atau metode yang


menggunakan radiasi sinar near infrared untuk menganalisis komposisi kimia dari
9

bahan organik. Informasi kandungan kimia ini didapatkan berdasarkan interaksi


pantulan spektra dari bahan setelah diberi radiasi sinar near infrared.
Kata spectroscopy seperti didefinisikan oleh Clark (1999) adalah studi
tentang radiasi elektromagnetik sebagai fungsi dari panjang gelombang yang
mana radiasi tersebut dapat berupa pantulan (reflectance), serapan (absorbance)
dan terusan (transmittance) dari suatu bahan padat, cair atau gas. Bentuk spektrum
dari radiasi near infrared ini yang kemudian digunakan untuk menganalisis dan
memprediksi komposisi kimia bahan tersebut.
Metode NIRS bekerja berdasarkan prinsip bahwa setiap obyek biologik
memiliki karakteristik sifat optik dan elektromagnetik tertentu yang dapat
dianalisis menjadi informasi tentang kandungan kimia obyek tersebut. Beberapa
industri menggunakan metode ini untuk memprediksi kandungan protein, lemak
dan karbohidrat pada produk-produk pertanian, serta menganalisis tingkat
kememaran dan kerusakan pada buah. Di Indonesia, penelitian dan penerapan
akan metode ini masih sangat kurang. Hanya beberapa industri saja yang mulai
menerapkan metode ini karena minimnya tingkat kesadaran konsumen lokal akan
pentingnya mutu suatu produk pertanian (Munawar 2008).
Sheperd et al. (2004) menambahkan bahwa setiap bahan biologik memiliki
karakteristik optik dan bentuk spektrum elektromagnetik yang berbeda-beda
seperti terlihat pada Gambar 2.3 yang mana bentuk spektrum ini akan mencirikan
kandungan kimia dari bahan tersebut. Fenomena ini yang mendorong banyak
ilmuwan untuk meneliti kemungkinan penerapan metode ini untuk memprediksi
mutu suatu bahan organik seperti buah-buahan, tepung, dan daun-daun herbal
yang akan dijadikan bahan pembuatan obat (Workman dan Shenk 2004).

Gambar 2.3 Bentuk spektrum near infrared untuk beberapa bahan biologik
(Sheperd et al. 2004)

NIRS berada pada panjang gelombang 780 2500 nm (12.500 4.000 cm-1)
dan mengandung lebih banyak struktur informasi yang komplek karena pola
kombinasi ikatannya. Rekaman wilayah gelombang elektromagnetik NIRS
merupakan respon dari ikatan molekul O-H, C-H, C-O dan N-H (Gambar 2.4).
10

Ikatan ini menyebabkan perubahan energi getaran ketika teradiasi oleh frekuensi
NIRS, yaitu getaran meregang (strecth) dan tertekuk (bent) (Cen dan He 2007).

Gambar 2.4 Distribusi ikatan organik utama gelombang elektromagnetik


(Cen dan He 2007)

Menurut Munawar (2008), ketika sebuah sinar yang berasal dari sebuah
sumber jatuh mengenai obyek, maka akan terjadi interaksi antara obyek dan sinar
tersebut yang mana obyek akan memberi respon berupa pantulan, serapan dan
terusan (Gambar 2.5). Respon pantulan (reflectance) dapat berupa pantulan
langsung (specular reflectance) yang mana sinar sepenuhnya dipantulkan kembali
oleh obyek, pantulan semu (diffuse reflectance) yang mana sinar diserap terlebih
dahulu dan kemudian dipantulkan. Respon serapan (absorbance) merupakan
fenomena di mana seluruh sinar pada panjang gelombang tertentu sepenuhnya
diserap oleh bahan, dan respon terusan (transmittance) merupakan respon di mana
sinar pada panjang gelombang tertentu menembus bahan (Siesler et al. 2002;
Munawar 2008 ).
Menurut Siesler (2002), setiap bentuk atau respon yang terjadi dari radiasi
elektromagnetik ini membawa energi foton yang besarnya berbeda-beda. Foton,
sebagaimana didefinisikan oleh Brown et al. (2000) adalah radiasi energi terendah
yang terdapat pada radiasi elektromagnetik.

Sumber cahaya

Pantulan semu

Pantulan langsung

Serapan Bahan utuh

Transmitan

Gambar 2.5 Interaksi sinar NIRS dengan bahan biologik


(Munawar 2008)
11

Stuth et al. (2003) menambahkan bahwa beberapa foton tersebut


mengakibatkan perpindahan elektron, sementara beberapa lainnya mengakibatkan
getaran molekuler karena bahan-bahan biologik mengandung pita-pita molekul
(molecular bonds) diantara atom-atom. Getaran molekul yang terjadi ini
mengakibatkan pita-pita molekul bergerak ke atas dan ke bawah atau terjadi
tarikan dan regangan pada frekuensi dan panjang gelombang tertentu (Batten
1998). Kejadian ini yang menyebabkan bentuk spektrum yang berbeda-beda untuk
setiap bahan biologik.
Hal penting yang harus diperhatikan dalam memilih set-up pengukuran NIR
adalah penetrasi radiasi NIR yang dapat masuk ke dalam jaringan bahan. Penetrasi
ini biasanya akan semakin berkurang dengan bertambahnya kedalaman bahan
yang akan ditembus. Lammertyn et al. (2000) menemukan kedalaman penetrasi
buah apel yaitu dapat menembus sampai 4 mm pada panjang gelombang 900
1900 nm. Kedalaman penetrasi akan berbeda secara signifikan berdasarkan
ketebalan bahan.
Variasi pada ukuran dan suhu partikel sampel mempengaruhi penyebaran
radiasi NIR pada saat melewati bahan. Partikel berukuran besar tidak dapat
menyebarkan radiasi NIR sebanyak radiasi yang diserap, maka semakin tinggi
nilai absorban dan panjang gelombang yang diserap juga akan lebih besar dan
kuat (Drayden 2003).
Bahan organik hanya akan memantulkan sekitar 4% sinar yang diterimanya
dari sebuah sumber melalui permukaan luar (regular reflection) dan sisanya 96%
akan masuk ke dalam produk yang selanjutnya mengalami penyerapan
(absorption), pemantulan (body reflectant), penyebaran (scattering) dan
penerusan sinar (transmittance) (Mohsenin 1984).

Keterangan :
(1) sumber sinar
(2) sistem splitter beam
(3) reflektor
(4) ruang sampel
(5) detektor refleksi difusi
(6) detektor transmisi
(7) sistem analisa kontrol dan pengolah
data dan
(8) printer

Gambar 2.6 Sketsa instrumen pengukur NIRS (Cen dan He 2007)

Pada prinsipnya, instrumen NIRS terdiri atas sumber sinar, sistem splitter
beam, pendeteksi sampel, pendeteksi sinar dan sistem analisis pengolahan data
(Gambar 2.6). Untuk sumber sinar biasanya digunakan lampu Halogen Tungsten
yang murah atau bisa juga lampu LED yang mahal. Sistem splitter beam berguna
menerjemahkan sinar multi warna menjadi sinar tunggal seperti sinar filter,
interferometer dan grating. Pendeteksi sampel disesuaikan dengan bentuk sampel
seperti cair atau padat. Komputer digunakan untuk akuisisi data, komunikasi
kontrol analisis dan analisis numerik pada sistem spectrometer. Parameter NIR
spectrometer dipertimbangkan untuk memperoleh kinerja optimum instrumen.
12

Pemilihan daerah panjang gelombang, larutan, kecepatan pemindaian, angka,


mode, dan interval pengambilan sampel akan mempengaruhi ketepatan dan
pengulangan pengukuran (Cen dan He 2007).

2.5 Aplikasi Chemometric dalam Analisis Pangan

NIRS sendiri tidak dapat mengungkapkan informasi kimia dalam sebuah


spektrum, sehingga chemometrics diperlukan untuk mengekstrak informasi
tentang atribut mutu pangan melalui proses yang disebut kalibrasi multivariat
yang mana hubungan matematis antara NIRS dan parameter mutu diukur akan
terungkap untuk menentukan atribut mutu yang diinginkan (Munawar 2014).
Kesulitan utama yang terjadi di dalam aplikasi NIRS adalah membangun
model yang handal dan kalibrasi yang stabil. Metode chemometrics yang sudah
ada dan sedang berkembang memberikan keuntungan untuk membangun model
yang kuat. Apa yang sebaiknya dilakukan adalah memilih pendekatan yang tepat
untuk menggali informasi berguna dari sekian banyak data spektra, sehingga
terdapat banyak kajian yang fokus pada chemometrics termasuk mengembangkan
teknik chemometric yang sudah ada untuk analisis NIRS. Chemometric adalah
cabang ilmu yang prinsip kerja pengukurannya berdasarkan sifat kimia yang
dimiliki atau proses membangun sistem menggunakan aplikasi metode
matematika atau statistika. Sebagai teknik analisis data multivariate, metode ini
telah diaplikasikan secara luas pada NIRS. Chemometric pada analisis NIRS
terdiri atas tiga aspek yaitu (Cen dan He 2007) :
(1) Pengolahan awal data spektra. Data yang diperoleh dari NIRS terdiri dari
informasi background dan noise disamping data informasi sampel itu sendiri.
Untuk memperoleh data yang dapat dipercaya, akurat dan model kalibrasi
stabil, sangatlah memungkinkan untuk melakukan pengolahan awal
(pretreatment ) sebelum melakukan pemodelan. Saat ini terdapat banyak
metode pretreatment diantaranya adalah enhancement, smoothing, derivative,
Mean Centering (MC), Multiplicative Scatter Correction (MSC), Standard
Normal Variate (SNV), Mean Normalization (MN), Orthogonal Signal
Correlation (OSC), Detrending (DT), Fourier Transform (FT), Wave
Transform (WF) dan Net Analysis Signal (NAS). Secara umum metode
pretreatment itu terbagi atas tiga macam yakni centering, normalization dan
transformation.
(2) Membangun model kalibrasi untuk analisis kuantitatif dan kualitatif.
Merupakan hal yang sangat penting untuk membangun model kalibrasi yang
handal untuk analisis kuantitatif dan kualitatif di dalam analisis pangan yang
melibatkan prediksi diskriminasi dan properti untuk sampel yang tidak
diketahui. Sekarang ini banyak model kalibrasi yang dikombinasikan dengan
chemometric dibangun untuk mengembangkan aplikasi NIRS. Metode
kalibrasi kuantitatif yang banyak dirujuk diantaranya adalah Step Multiple
Linier Regression (SMLR), Principal Component Regression (PCR), Partial
Least Squares (PLS), Artificial Neural Network (ANN). Saat ini metode
kualitatif juga menjadi bahasan penting terutama untuk pengenalan pola
diantarannya Linier Discrimination Analysis (LDA), Principal Component
Analysis (PCA), K-Nearest Neighbors (KNN), Cluster Analysis (CA), Soft
13

Independent Modeling of Class Analogy (SIMCA), Support Vector Machine


(SVM) dan Discriminant Partial Least Squares (DPLS).
(3) Transfer model. Beberapa metode transfer untuk model kalibrasi telah
disajikan dan didiskusikan di banyak literatur fokus pada ikhtisar metode-
metode untuk transfer kalibrasi dan pendekatan pada validitas dan
aplikasinya. Transfer model pada analisis NIRS dapat dikelompokkan
menjadi metode terstandarisasi dan tidak terstandarisasi. Metode
terstandarisasi termasuk pemetaan spektra, univariate standardization, direct
standardization (DS) dan piecewise direct standardization (PDS), positive
matrix factorization (PMF) dan maximum likelihood principal component
analysis (MLPCA). Ketika standar transfer tidak tersedia, metode pre-
processing harus digunakan di dalam metode tidak terstandarisasi. Seperti
penggunaan derivative, MSC dan OSC.

2.6 Metode Pretreatment Spektrum

Pretreatment spektrum dilakukan untuk mengurangi pengaruh interferensi


gelombang dan noises pada data spektrum yang didapat agar diperoleh model
robust yang lebih akurat dan stabil. Sebelum dilakukan pengembangan model
analisis, data spektrum akan mendapat perlakukan pretreatment baik data
kalibrasi maupun prediksi. Berikut ini enam metode pretreatment yang dapat
dipergunakan untuk memperbaiki spektrum yang didapat (Cen and He 2007;
CAMO 2012; Munawar 2014) :
a. Smoothing Savizky-Golay (SGs)
Merupakan metode yang sering digunakan untuk mengeleminasi noise.
Smoothing juga digunakan di dalam optimasi signal-to-noise rate. Pada
umumnya, dikombinasikan dengan motode pengolah awal data lain untuk
melakukan penghilangan noise.
b. First and Second Derivative (D1 dan D2)
Digunakan untuk menghilangkan background dan meningkatkan resolusi
spektra. Derivative mampu memperjelas puncak dan lembah spektra absorban
data NIRS.
c. Mean Centering (MC)
Mean Centering (MC) sering dipergunakan sebagai pretreatment karena
berfokus pada perbedaan antara observasi daripada nilai-nilai mutlak data. MC
memastikan bahwa data atau model yang dihasilkan dapat ditafsirkan dalam
variasi sekitar mean data.
d. Mean Normalization (MN)
Tujuan dari pretreatment ini adalah untuk menskala sampel dalam
rangka untuk mendapatkan semua data pada sekitar skala yang sama
berdasarkan daerah, mean, selang, maksimum, puncak dan vektor satuan.
Semua data spektrum juga dinormalisasi sebagai mean normalization.
e. De-trending (DT)
Metode ini cenderung untuk menghapus trend nonlinear dalam data
spektroskopi. De-Trending (DT) menghitung baseline function sebagai least
squares fit of a polynomial untuk sampel data spektra. DT diterapkan pada
spektrum individual. Sebagai polynomial order DT meningkat, baseline effects
14

tambahan dihapus. Zero-order: offset; orde pertama: offset dan kemiringan,


kedua-order: offset, kemiringan dan kelengkungan.
f. Multiplicative Scatter Correction (MSC)
Metode MSC merupakan salah satu pendekatan untuk mengurangi
amplification (multiplicative, scattering) dan offset (additive, chemical) efek di
NIR spektrum. MSC memutari setiap spektrum sehingga menemukan
kecocokan semirip mungkin dengan spektrum standar yang mungkin sering
menjadi mean spektrum. Setiap spektrum kemudian dikoreksi dengan
menggunakan persamaan linear:

r = a + brm + v (1)

dimana a dan b adalah koefisien koreksi dihitung dari regresi dari


masing-masing individu spektrum ke mean spektrum. Koefisien a adalah
intersep dari garis regresi yang menunjukkan konstanta linier absorbsi efek
aditif, koefisien b adalah slope yang menunjukkan pengaruh absorbsi efek
multiplicative dan v adalah vektor residual yang memberikan perbedaan antara
spektrum asli (r) dan mean spektrum. Vektor residual ini diasumsikan
mengandung varians kimia dalam r. Koreksi terbaru spektrum NIR (r1)
diperoleh dengan cara expression:

(2)

(3)

MSC diaplikasikan untuk semua spektrum dengan opsi MSC penuh


(amplifikasi umum dan penghapusan offset ) sebelum prosedur kalibrasi dan
prediksi.
g. Standard Normal Variate (SNV)
Metode SNV adalah transformasi yang menghilangkan scatter effects
dari spektrum dengan memusatkan dan men-skala spektrum individual. Seperti
MSC, hasil praktis dari SNV adalah menghilangkan gangguan multiplicative
interferences dari scatter effects pada data spektral. Efek dari SNV adalah pada
skala vertikal, masing-masing spektrum berpusat pada nol dan bervariasi kira-
kira dari -2 ke 2. Terlepas dari skala yang berbeda, hasilnya lebih-kurang mirip
dengan MSC. Perbedaan praktis adalah bahwa SNV menstandarisasi setiap
spektrum hanya menggunakan data dari spektrum itu, tidak menggunakan
spektrum rata-rata dari setiap set.
h. Orthogonal Signal Correction (OSC)
OSC adalah metode pra-pengolahan yang relatif baru diterapkan pada
spektrum NIR. Metode OSC berusaha untuk memperbaiki data X matriks,
spektrum data NIR dengan menghapus informasi dari spektrum yang ortogonal
berkorelasi dengan data matriks Y yang merupakan standar mutu atribut data.
Hal ini dilakukan untuk menghindari penghapusan informasi penting yang
berguna untuk pemodelan, dan menghapus hanya variasi yang tidak relevan
yang menciptakan masalah bagi model regresi. Pretreatment ini diterapkan
bersama-sama untuk semua spektrum di set kalibrasi. Kemudian, koreksi pada
15

matriks X dapat diterapkan pada set prediksi eksternal untuk mengevaluasi


kemampuan prediksi model kalibrasi yang dibangun dengan data yang sudah
diperbaiki. Algoritma yang digunakan mirip dengan algoritma Non-Iterative
Partial Least Square (NIPALS), yang biasa digunakan dalam PCA dan PLS.
Dalam setiap langkah dari algoritma, vektor bobot (w) dimodifikasi.
memaksakan kondisi bahwa t = X w ortogonal terhadap matriks Y, dan di
mana t adalah vektor nilai yang sesuai. Dalam PLS, kondisi bobot akan
dihitung untuk memaksimalkan kovarians antara X dan Y yang dikenakan. tapi
di OSC justru sebaliknya dicoba untuk meminimalkan kovarians ini. membuat
t sedekat mungkin untuk orthogonality dengan Y. Hasil dari perhitungan
adalah score dan loadings matrices yang berisi informasi yang tidak
berhubungan dengan konsentrasi. Setiap variabel laten internal menghapus
bagian dari varian matriks X.

2.7 Metode Principal Component Analysis (PCA)

Metode ini digunakan untuk menghindari kasus multikoleniaritas. Dalam


analisis multivariabel. PCA dapat dijadikan dasar untuk melakukan analisis faktor
sehingga dapat digunakan untuk mendapatkan variabel baru dalam jumlah yang
lebih sedikit (Iriawan dan Astuti 2006). Dalam analisis spektra, PCA digunakan
untuk mengurangi jumlah data spektra yang bertujuan menghindari overfitting dan
keragaman spektra yang disebabkan oleh perbedaan ukuran partikel dan kadar air
(Osborne et al. 1993).
Prinsip dasar PCA adalah mendeskripsikan variasi suatu set data menjadi
sebuah set data baru yang terdiri atas variabel-variabel baru yang tidak berkolerasi
satu sama lain. Variabel-variabel tersebut merupakan kombinasi linier dari
variabel asal yang diturunkan dalam arah menurun sehingga beberapa komponen
pertama mengandung sebanyak mungkin variasi data asal. Dengan demikian,
beberapa komponen utama dapat digunakan untuk mempresentasikan data asal
tanpa kehilangan informasi yang sangat berguna. Misalkan sebuah ruang vektor
data berdimensi n ditulis dengan matriks Xp xn :

(4)

Dimana p adalah contoh ke-p dan n adalah parameter ke-n yang diukur. Analisis
PCA bertujuan untuk mendapatkan sebuah ruang vektor berdimensi m, dimana
m<n, sehingga ruang vektor berdimensi m mencakup hampir seluruh variasi data.
Untuk mendapatkannya, ruang vektor berdimensi n diproyeksikan ke ruang vektor
berdimensi m dengan memilih setiap arah variasi maksimum tetapi setiap arah
variasi data tersebut saling tegak lurus (ortogonal). Variasi-variasi data inilah yang
disebut komponen utama. Algoritma PCA sebagai berikut (Paterson 1993) :
1. Komponen utama pertama dipilih dalam arah variasi maksimum dengan
persamaan :

y1 = Xw1 (5)
16

Nilai y1 dan w1 adalah vektor kolom. Nilai ini harus dibatasi karena
variasi data dapat dibuat semakin besar dengan cara menaikkan nilai w1. Hal
tersebut dapat dibatasi dengan normalisasi menggunakan persamaan :

(6)

Nilai w1 adalah vektor transpose w1

2. Jumlah kuadrat y1 dimaksimumkan

y1y1 = w1XXw1 (7)

Selanjutnya persamaan 7 dimaksimumkan dengan persamaan


Lagrange. Fungsi komposit L pada Persaman 8 dibentuk menggunakan
Persamaan 6 dan Persamaan 7 :

L = w1XXw1 1 (w1w1 1) (8)

Nilai 1 adalah pengali Lagrange. Nilai maksimum L diperoleh dengan


mengambil turunan parsial terhadap w1 dan yang bernilai 0 menggunakan
Persamaan 9. Hasilnya adalah Persamaan 10.

(9)

(10)

Sehingga diperoleh Persamaan 11 :

= (11)

Nilai y1 adalah komponen utama pertama dengan variasi maksimum 1


dimana Nilai 1 juga merupakan eigenvalue XX.
3. Komponen utama kedua (y2) diperoleh dengan prosedur yang sama untuk
mendapatkan y1 dan nilainya juga tegak lurus terhadap y1, sehingga :

(12)

4. Jumlah kuadrat y2 dimaksimumkan dengan 2 fungsi pembatas pada


persamaan :

dan (13)

Fungsi komposit Lagrange untuk memaksimumkan Persamaan 12


dengan fungsi pembatas pada Persamaan 13 adalah :

(14)
17

Dimana 2 dan adalah pengali Lagrange. Turunan parsial terhadap w2 = 0


dilakukan seperti proses sebelumnya sehingga diperoleh :

dan (15)

5. Eigenvalue 1, 2, 3, .... p yang berhubungan dengan matrik tegak lurus W =


[w1, w2, w3, .... wp] dimana p komponen utama diperoleh dari matriks Y =
XW dan matriks:

(16)

Matriks A merupakan matriks diagonal maka komponen-komponen


utama yang diekstrak dari variabel asal saling tegak lurus atau tidak
berkorelasi satu sama lain.
6. Total variasi X dijelaskan dengan persamaan :

(17)

7. Proporsi variasi komponen utama ke-j dari X dihitung dengan persamaan :

(18)

8. Kumulatif variasi X menggunakan komponen utama ke-m didapatkan dengan


menjumlahkan eigenvalue ke-m dibagi dengan total variasi X dengan
persamaan:

(19)

2.8 Metode Partial Least Squares (PLS)

Menurut Pandey (2010), ada beberapa teknik multivariat yang berbeda


untuk menganalisis data spektrum NIR seperti Participal Component Analysis
(PCA), Principal Component Regression (PCR), Partial Least Squares (PLS) dan
Step Multiple Linier Regression (SMLR). Menurut Cen dan He (2007), SMLR,
PCR dan PLS sangat cocok untuk analisis linier.
PLS adalah sebuah metode reduksi dimensi data, sejenis dengan PCA, untuk
mencari faktor-faktor yang paling relevan dalam memprediksi dan
menginterprestasi data. Regresi PLS meningkatkan kemampuan model dari PCA
dengan menggunakan variabel respon secara aktif dalam dekomposisi bilinier
prediktor. PCA terfokus pada keragaman di dalam prediktor, sedangkan PLS
fokus pada kovarians diantara respon dan prediktor-prediktor. Dengan jalan
18

menyeimbangkan informasi antara prediktor dan respon, PLS mereduksi dampak


dari banyaknya prediktor yang tidak relevan dengan keragaman data. Estimasi
kesalahan prediktor ditingkatkan dengan cara validasi silang.
Wiliam dan Norris (1990) memaparkan algoritma PLS sebagai berikut :
Langkah pertama adalah pemusatan data matriks X dan vektor c dengan
persamaan :

U = X 1x (20)

v = c 1c (21)

Untuk masing-masing faktor baru yaitu a = 1, 2, .... A. dimana a merupakan faktor


yang baru terbentuk dan A merupakan faktor ke-n yang terbentuk, dilakukan
melalui langkah 1 sampai 4 yaitu :
1. Residual data destruktif (v) digunakan untuk menghitung loading vektor NIR
(pa) menggunakan kuadrat terkecil dengan persamaan :

U = vpa + E (22)

kemudian hasilnya dinormalisasi dengan persamaan:

(23)

dimana k adalah scaling faktor yang membuat panjang sama dengan satu
dan jika dibutuhkan dapat dimodifikasi (misalnya dengan perlakuan
smoothing) sebelum dinormalisasi.
2. Menghitung faktor-faktor regresi (ta) dengan kuadrat terkecil dari nilai
dengan persamaan :

(24)

atau hasil kuadrat terkecil dapat ditulis menjadi :

3. Menghitung loading vektor data destruktif dengan persamaan :

(c 1c) = Tq + f (25)

dimana T adalah faktor regresi laten, q adalah loading vektor data destruktif
dan f adalah error.
4. Persiapan residual baru dengan persamaan

(26)

(27)

Selanjutnya kembali ke langkah 1 jika nilai a < A


19

Pada tahap prediksi oleh metode PLS, untuk menentukan model regresi dari
sebuah data spektra NIR xi, ditentukan residual data spektranya dengan
persamaan :

(28)

lalu konsentrasi data destruktif ditentukan dari c dan q:

(29)

atau juga dapat ditulis dengan persamaan :

(30)

dimana
(31)

2.9 Aplikasi NIRS untuk Produk Kakao

NIRS diaplikasikan pertama kali di bidang pertanian oleh Norris (1964)


untuk mengukur kandungan kadar air pada biji-bijian. Sejak saat itu
penggunaannya dengan cepat berkembang terutama untuk mengukur kandungan
kadar air, protein dan lemak pada bermacam-macam produk pertanian dan
pangan. Penyebaran radiasi NIRS dalam jaringan buah dan sayuran dipengaruhi
oleh struktur mikro bahannya. Oleh karena itu, NIRS dapat digunakan untuk
mengukur struktur-struktur mikro yang berhubungan dengan bahan seperti
kekerasan, kerusakan di dalam bahan dan bahkan sifat sensori bahan.
Penggunaan metode NIRS memungkinkan analisis mutu buah-buahan dan
produk pertanian lainnya menjadi lebih cepat, efisien dan tidak merusak obyek.
Dalam beberapa tahun terakhir ini metode NIRS telah menjadi metode yang
banyak diterapkan industri-industri pertanian maju untuk memprediksi mutu
produk pertanian (Murray 1998 dan Sheppard 2002).
Penelitian terkait penggunaan NIRS untuk kakao sudah cukup banyak
dilakukan. Penelitian itu dimulai dari biji mentah kakao sampai pada produk
olahan kakao semisal bubuk kakao, kakao liquor, dark chocolates dan coklat
komersial.
Davies et al. (1991) mencoba untuk membandingkan spektrum mulai dari
biji kakao mentah, biji sangrai, mass coklat dan coklat jadi. Biji mentah dan biji
sangrai dibuat dalam bentuk bubuk. Hasilnya didapat bahwa NIRS dapat
digunakan menggantikan analisis sensorik kakao dan produk turunannya. Akan
tetapi belum sampai mengungkap karakteristik atribut sensorik yang penting
karena proyek penelitian terlanjur dihentikan. Nielsen et al. (2008) menggunakan
biji kakao Ghana yang dibubukkan untuk memantau perubahan mikrobiologi
komposisi kimia yang terjadi selama fermentasi. Ditemukan bahwa NIR dengan
pendekatan regresi PLS dapat digunakan untuk mengamati aktivitas itu dengan
korelasi antara spektrum NIR dan spektrum DGGE (Denaturing Gradient Gel
Electrophoresis) di atas 0.8. Aculey et al. (2010) melakukan penelitian pada biji
20

kakao khas negara Ghana yang dibubukkan menyimpulkan bahwa NIR memakai
PCA mampu memprediksi waktu fermentasi biji kakao berdasarkan analisis
senyawa volatil dan pembentukan asam asetat. Penelitian lebih luas dilakukan
oleh Hue et al. (2014) yang mengumpulkan biji kakao (dibubukkan) dari beberapa
negara seperti Ekuador, Madagaskar, Republik Dominika, Kamerun, Ghana,
Indonesia dan Trinidad Tobago. Hasilnya ditemukan bahwa korelasi antara
metode Conway dan NIRS memungkinkan pengembangan pendugaan NH3 yang
diproduksi selama fermentasi sehingga bisa dipakai untuk mengurutkan biji kakao
sesuai tingkat fermentasi.
Permanyer dan Perez (1989) melakukan penelitian untuk menentukan kadar
air, lemak dan sukrosa pada bubuk kakao. Hasilnya dapat disimpulkan bahwa
metode NIRS seakurat uji kimia untuk menentukan kadar air, lemak dan sukrosa
pada bubuk kakao. Sementara Kaffka et al. (1982) mencoba untuk menentukan
kadar lemak, kadar protein dan kadar karbohidrat. Hasilnya metode NIRS dapat
memberikan hasil yang memuaskan. Oleh karena itu, teknik NIRS bisa digunakan
dalam pengendalian mutu produk kakao bubuk. Vesela et al. (2007), melakukan
penelitian pada bubuk kakao yang dicampur sukrosa, cocoa fiber dan susu.
Penelitian ini mencoba untuk mendeteksi kandungan lemak, nitrogen dan kadar
air dengan membandingkan NIR dan Fourier Transform Infrared Spectroscopy
(FTIR). Hasilnya NIR baik digunakan untuk menduga kadar air, nitrogen dan
kadar lemak dengan nilai RMSECV masing-masing sebesar 5.2% (R2 = 0.94),
1.7% (R2 = 0.98) dan 7.0% (R2 = 0.96).
Whitacre et al. (2003) menggunakan NIRS untuk analisa tingkat fermentasi
dengan menganalisa kandungan procyanidin. Bahan yang digunakan adalah kakao
liquors yakni biji kakao yang telah digiling halus dan hasilnya seperti bubur halus
dari biji coklat yang bercampur dengan lemak coklat. Hasilnya dapat disimpulkan
bahwa NIRS mampu bekerja dengan baik dengan tingkat akurasi yang tinggi.
Moros et al. (2007) melakukan penelitian pada coklat komersial untuk menguji
kadar karbohidrat, kadar lemak dan kadar protein dengan ANN sebagai metode
regresi. Hasilnya RMSEP nilai yang diperoleh untuk karbohidrat, lemak, nilai
energik dan kakao masing-masing adalah 1.0% (b / b), 1.0% (b / b), 50 kJ (100 g)
-1 dan 1.4%. Error relatif maksimum untuk prediksi dari setiap parameter untuk
sampel baru tidak melebihi 5.2%.
Cambrai et al. (2009) membuat penelitian menarik yakni memprediksi asal
geografis dari produk kakao berupa dark chocolates. Penentuan asal geografis
kakao yang akan digunakan untuk memproduksi coklat berdasarkan analisis dari
senyawa volatile sampel coklat. Analisis kadar volatil dan pengolahan statistiknya
dengan analisis multivariat cenderung untuk membentuk kelompok-kelompok
independen untuk Afrika dan Madagaskar, bahkan jika beberapa sampel coklat
dianalisis muncul pada pencampuran zona bersama dengan sampel dari Amerika.
Analisis ini juga memungkinkan pemisahan yang jelas antara coklat Karibia dan
coklat dari tempat yang lain. Komposisi tinggi (seperti linalool atau (E. E)-2.4-
decadienal) karakteristik coklat yang berbeda asal-usul geografis juga
diidentifikasi. Metode ini menjelaskan bahwa pekerjaan ini (destilasi, analisis GC,
dan perawatan statistik) dapat meningkatkan pengendalian asal geografis coklat
selama proses produksi yang panjang.
Penelitian-penelitian di atas juga menghasilkan identifikasi panjang
gelombang yang berperan dalam menentukan kandungan kadar air, lemak dan
21

tingkat fermentasi. Untuk identifikasi kadar air diketahui pada panjang gelombang
1906 nm, 1939 nm dan 1940 nm. Untuk identifikasi kadar lemak diketahui pada
panjang gelombang 1200 nm, 1730 nm, 1744 nm, 1760 nm, 2250-2300 nm, 2322
nm, 2334 nm, 2340 nm, 2343 nm dan 2360 nm. Dan untuk identifikasi tingkat
fermentasi diketahui pada panjang gelombang 1460 dan 2140 nm.

3 AKUISISI SPEKTRUM NIR PADA


BIJI KAKAO UTUH

3.1 Pendahuluan
Ekspor biji kakao Indonesia kurang memiliki daya saing karena produk biji
kakao Indonesia dikenal hanya menjadi bahan campuran di negara-negara industri
kakao padahal 82% ekspor kakao Indonesia adalah dalam bentuk biji. Namun biji
kakao Indonesia sebenarnya masih dapat dikembangkan jika pemutuan biji kakao
dapat ditingkatkan sesuai permintaan negara-negara tujuan ekspor kakao seperti
ASEAN, USA, Uni Eropa dan China (Hasibuan et al. 2012). Oleh karena itu
metode penentuan mutu secara cepat dan tepat diperlukan untuk menghasilkan
komoditas kakao standar mutu tinggi yang disyaratkan negara konsumen.
Salah satu metode yang saat ini sedang berkembang dan digunakan untuk
mendeteksi mutu suatu produk pertanian adalah metode pantulan infra merah
dekat atau Near Infrared Reflectance Spectroscopy (NIRS). Metode ini dapat
menganalisis mutu produk pertanian dengan waktu yang sangat cepat dan
dilakukan secara non-destruktif atau tanpa merusak buah bahkan tanpa menyentuh
produk tersebut.
Penelitian yang terkait dengan penggunaan NIRS pada produk kakao telah
dimulai dari biji yang dibubukkan sampai pada produk olahan kakao. Penelitian
terkait pada bubuk biji kakao dilakukan oleh Nielsen et al. (2008), Aculey et al.
(2010) dan Hue et al. (2014). Berikutnya pada kakao liquors dari biji mentah dan
panggang dilakukan oleh Whitacre (2003). Penelitian pada bubuk kakao
dilakukan oleh Permanyer dan Perez (1989), Kaffka et al. (1982) dan Vesela et al.
(2007). Selanjutnya untuk penelitian pada coklat komersial dilakukan oleh Moros
et al. (2007). Cambrai et al. (2009) membuat penelitian pada dark chocolates.
Yang menarik adalah penelitian Davies et al. (1991) mencoba untuk
membandingkan spektrum mulai dari bubuk biji kakao mentah, bubuk biji
sangrai, mass coklat dan coklat jadi. Penelitian-penelitian di atas juga
menghasilkan identifikasi panjang gelombang yang berperan dalam menentukan
kandungan kadar air, lemak dan tingkat fermentasi. Untuk identifikasi kadar air
diketahui pada panjang gelombang 1906 nm, 1939 nm dan 1940 nm (Permanyer
dan Perez 1989, Davies et al. 1991 dan Vesela et al. 2007). Untuk identifikasi
kadar lemak diketahui pada panjang gelombang 1200 nm, 1730 nm, 1744 nm,
1760 nm, 2250-2300 nm, 2322 nm, 2334 nm, 2340 nm, 2343 nm dan 2360 nm
(Davies et al. 1991, Moros et al. 2007 dan Vesela et al. 2007). Dan untuk
identifikasi tingkat fermentasi diketahui pada panjang gelombang 1460 dan 2140
nm (Whitacre et al. 2003).
Meninjau penelitian-penelitian di atas bisa dikatakan bahwa penelitian
terkait langsung pada biji kakao utuh belum dilakukan dan menjadi menarik
22

mengingat 82% ekspor Indonesia adalah dalam bentuk biji utuh. Pengembangkan
teknik akuisisi spektrum NIRS menjadi kata kunci untuk dipecahkan. Oleh karena
itu, tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah menguji perbedaan
spektrum biji kakao tumpukan dengan biji individu menggunakan Principal
Component Analysis (PCA). Selain itu penelitian ini juga ingin menemukan
selang panjang gelombang yang mengandung informasi mutu biji kakao utuh.

3.2 Bahan dan Metode

Waktu dan Tempat


Penelitian dimulai pada bulan Juli 2012 dan berakhir pada bulan Februari
2013. Penelitian ini dilaksanakan di dua tempat yakni untuk pengambilan sampel
dan perlakukan awal sampel dilakukan di Pusat Penelitian Kopi dan Kakao,
Jember. Selanjutnya pengambilan spektrum biji kakao dilakukan di Abteilung
Qualitt Tierischer Erzeugnisse dan Abteilung Qualitt Pflanzlicher Erzeugnisse
yang keduanya di Georg August University of Gttingen, Jerman.

Sampel Kakao
Penelitian ini menggunakan buah kakao matang varietas Lindak yang
merupakan hasil panen bulan Februari-Maret 2012 dari kebun yang sama.
Pengeringan dilakukan dengan menggunakan pengering mekanis sampai
diperoleh biji kakao kering layak simpan. Biji kering disortir lalu dikemas dalam
plastik tertutup rapat disimpan dalam lemari pendingin bersuhu di bawah 200C
sebelum dibawa ke Gttingen, Jerman.
Sesampainya di Gttingen-Jerman sampel disimpan di ruang dengan suhu
kurang dari 200C selama lebih kurang 2 minggu. Selanjutnya sampel biji kakao
dibagi atas 3 macam bentuk untuk diambil spektrumnya yakni :
a) Biji individu, didapat dengan cara memilih biji yang permukaannya datar dan
mempunyai diameter > 1 cm sesuai dengan lubang sinar pada alat NIRS yang
ada. Jumlah sampel yang didapat sebanyak 71 buah.
b) Biji tumpukan, didapat dengan cara menyusun biji dalam petridish sebanyak 4
lapisan (Gambar 3.1). Jumlah sampel yang didapat sebanyak 70 tumpukan.

Lapisan 1 Lapisan 2 Lapisan 3 Lapisan akhir

Gambar 3.1 Pembentukan lapisan untuk sampel biji tumpukan

c) Biji bubuk, didapat dengan menghancurkan biji kakao dan diayak dengan
ayakan berukuran 24 mesh untuk mendapatkan ukuran yang seragam. Jumlah
sampel yang didapat 35 sampel.
23

Pengaturan Alat NIRS


Alat NIRS yang dipakai adalah AntarisTM II Method Development Sampling
(MDS). Kalibrasi background/reference dilakukan tiap jam. Proses bekerjanya
alat menggunakan intregrating sphere. Pengendalian kerja alat untuk pembuatan
workflow dan menjalankan workflow menggunakan software termo intregation
dan untuk running alat dilakukan oleh termo operation. Selang panjang
gelombang yang dipilih adalah antara 1000-2500 nm dengan interval 0.4 nm.
Workflow dibuat untuk mengatur alat agar bekerja untuk mengakuisisi spektrum
absorban, memindai sampel sebanyak 64 kali perproses lalu merata-ratakan
hasilnya, menyimpan hasil pemindaian dalam 3 bentuk file yakni *.SPA. *.JDX
dan *.CSV.

Akuisisi Spektrum Absorban


Akuisisi spektrum biji kakao dilakukan dalam dua bentuk yakni dalam
bentuk biji utuh dan dalam bentuk biji yang dibubukkan. Dalam bentuk biji utuh
akan dilakukan dalam dua cara yakni biji secara individu dan biji secara
tumpukan. Untuk biji kakao individu, pengambilan spektrumnya dengan cara biji
diletakkan langsung pada lubang sinar (diameter 1 cm). Untuk itu perlu dipilih biji
yang sesuai agar hasilnya baik (Gambar 3.2). Untuk biji dalam bentuk bulk
(tumpukan) dan bubuk, pengambilan spektrumnya dengan cara memasukkan biji
atau bubuk ke dalam petridish (diameter 7 cm, tebal 1.9 cm) yang tersedia lalu
diatur berputar 360 derajat selama proses pemindaian sampel (Gambar 3.3).

Gambar 3.2 Akuisisi spektrum biji individu

(a) (b) (c)

Gambar 3.3 Akuisisi spektrum NIRS (a) Posisi sumber sinar


(b) biji tumpukan dan (c) bubuk biji
24

Metode Pengolahan Spektrum

Pengolahan data spektrum menggunakan Unscrambler software X version


10.1. Pretreatment yang dipergunakan adalah Multiplicative Scatter Correction
(MSC) dan Standard Normal Variate (SNV). Savitzky-Golay smoothing (SGs)
dan derivative pertama (D1), derivative kedua (D2) serta mengkombinasikannya
sehingga menjadi 12 kombinasi pilihan (Gambar 3.4). Pengolahan data spektrum
menggunakan Principal Component Analysis (PCA).

Gambar 3.4 Pilihan kombinasi metode pretreatment

3.3 Hasil dan Pembahasan

Spektrum Kakao
Spektrum original kakao dalam bentuk individu, tumpukan dan bubuk
mempunyai tipikal yang sama namun terlihat ada dua perbedaan diantara
spektrum tersebut. Pertama, puncak yang terbentuk pada spektrum sebagai tanda
keberadaan kandungan zat tampak ada sedikit perbedaan, sehingga ada puncak
yang tampak jelas sementara di spektrum yang lain, puncaknya tidak tampak
begitu jelas. Kedua, jarak antar spektrum juga terlihat berbeda, sehingga ada yang
tampak lebih rapat sementara yang lain tampak lebih lebar (Gambar 3.5).
Perbedaan visual puncak yang timbul dalam tiga jenis spektrum (biji kakao
individu, biji kakao tumpukan dan bubuk biji kakao) terjadi karena pengaruh dari
perlakuan yang diterima oleh bahan. Pembubukan biji kakao telah menyebabkan
terjadinya pengurangan kadar air bahan, sehingga keberadaan kandungan zat lain
dalam biji kakao tampak lebih nyata yang ditandai dengan puncak pada spektrum
NIRS.
Kemudian adanya celah udara antar biji dan adanya rongga udara dalam biji
kakao dapat menimbulkan scatter effects dalam pengukuran NIRS. Hal ini dapat
dilihat dari variasi yang muncul antar spektrum yang menyebabkan kumpulan
spektrum biji kakao tumpukan tampak lebih lebar dan kumpulan spektrum bubuk
biji kakao tampak lebih rapat. Semakin kecil scatter effects dalam proses
pemindaian maka jarak antar spektrum hasil akan semakin rapat.
25

Gambar 3.5 Spektrum hasil pemindaian NIRS untuk (a) biji kakao individu,
(b) biji kakao tumpukan, dan (c) bubuk biji kakao

Pemilihan Teknik Akuisisi Spektrum NIRS untuk Biji Kakao


Tiga alternatif teknik akuisisi spektrum biji kakao dianalisa untuk memilih
dan menentukan teknik akuisisi terbaik untuk digunakan pada penelitian
selanjutnya. Pada bagian ini hasil pengolahan data diarahkan untuk analisa
pembandingan hasil akuisisi spektrum NIRS untuk biji individu, biji tumpukan
dan biji yang dibubukkan. Dari 12 kombinasi pretreatment yang ada dianalisis
hasilnya menggunakan PCA.
Gambar 3.6 memperlihatkan hasil analisis PCA pada raw (data asli)
spektrum atau PCA tanpa pretreatment, terlihat bahwa ketiga bentuk biji terpisah,
belum terlihat nyata adanya kesamaan. Hal ini juga terlihat tidak berubah saat
dilakukan penambahan pretreatment SGs pada raw (data asli) spektrum, krn pada
intinya SGs tidak merubah spektrum secara fundamental tapi lebih kepada
menghaluskan spektrum yang dihasilkan.
26

(a) (b)

Gambar 3.6 Hasil analisis PCA untuk (a) data tanpa pretreatment dan
(b) data dengan penambahan SGs

Selanjutnya sewaktu diberi pretreatment MSC, terlihat bahwa biji individu


dan biji tumpukan sudah berada dalam daerah yang hampir sama sehingga bisa
disimpulkan bahwa pengukuran dengan biji tumpukan dapat menggantikan
pengukuran dengan biji individu. Namun biji bubuk tetap terpisah yang bisa
diartikan bahwa pengukuran biji bubuk memang berbeda dengan dua lainnya.
Hasil ini ternyata relatif sama dengan yang didapat untuk penggunaan
pretreatment SNV (Gambar 3.7).

(a) (b)

Gambar 3.7 Hasil analisis PCA untuk penambahan (a) MSC dan (b) SNV

Penggabungan pretreatment SGs dengan MSC dan SNV ternyata tidak


memberikan perubahan pada hasil PCA (Gambar 3.8). Secara teoritis, karena SGs
bekerja dengan mengkoreksi baseline spektrum, sehingga untuk data yang
berbentuk biji dengan gangguan celah udara antar biji yang sangat besar
berkontribusi untuk menghasilkan scatter effects, SGs kurang disarankan.

(a) (b)

Gambar 3.8 Hasil analisis PCA untuk (a) SGs+MSC dan (b) SGs+SNV
27

Hal menarik disaat pretreatment SGs ditambah dengan derivative baik D1


dan D2, terlihat data biji individu dan biji tumpukan membentuk satu kelompok
sedangkan biji bubuk tetap terpisah (Gambar 3.9). Disaat ditambahkan MSC dan
SNV, sebaran data masih tetap menunjukkan bahwa biji individu dan biji
tumpukan terletak dalam kelompok yang sama dan biji bubuk di kelompok yang
lain (Gambar 3.10), sehingga bisa dikatakan derivative (D1 dan D2) mampu
membantu pengelompokan data.

(a) (b)

Gambar 3.9 Hasil analisis PCA untuk (a) SGs+D1 dan (b) SGs+D2

(a) (b)

(c) (d)

Gambar 3.10 Hasil PCA untuk pretreatment (a) SGs+MSC+D1, (b) SGs MSC+D2,
(c) SGs+SNV+D1, (d) SGs+SNV+D2

Selanjutnya jika dilihat dari loading plot untuk hasil pengolahan PCA yang
melibatkan MSC dan SNV (Gambar 3.11) dan yang melibatkan D1 dan D2,
terlihat bahwa penambahan derivative (D1 dan D2) sebagai pretreatment telah
menyebabkan timbulnya lebih banyak puncak-lembah gelombang yang diduga
bercampur dengan noise (Gambar 3.12). Dengan demikian pemberian derivative
sebagai pretreatment kalah baik dibanding MSC dan SNV sehingga untuk
selanjutnya MSC dan SNV yang akan dipakai pada analisis lanjutan.
28

(a) (b)

Gambar 3.11 Loading plot untuk penambahan (a) MSC dan (b) SNV

(a) (b)

Gambar 3.12 Loading plot untuk penambahan (a) D1 dan (b) D2

Penentuan Selang Panjang Gelombang NIRS untuk Deteksi Kandungan Zat


Spektrum biji kakao utuh menampilkan adanya puncak-puncak gelombang
yang mewakili keberadaan ikatan kimia tertentu. Puncak-puncak itu muncul
akibat vibrasi yang terjadi ketika ikatan kimia itu berinteraksi dengan sinar NIRS.
Untuk mempermudah analisis akan ditampilkan spektrum tunggal dari spektrum
biji kakao utuh. Analisis dimulai dari menganalisa informasi puncak spektrum
berdasarkan keterangan Cen dan He (2007) yang ditampilkan dalam bentuk grafik
distribusi ikatan seperti dalam Gambar 2.4 dalam Bab Pendahuluan.
Informasi yang ada dipergunakan untuk menganalisis informasi ikatan
kimia yang terkandung dari spektrum biji kakao. Puncak 1 mempunyai kisaran
panjang gelombang antara 1160-1220 nm disinyalir memberikan informasi
adanya kemungkinan ikatan CHx. Puncak 2 mempunyai kisaran panjang
gelombang antara 1400-1480 nm disinyalir memberikan informasi adanya
kemungkinan ikatan H2O dan ROH. Puncak 3 mempunyai kisaran panjang
gelombang antara 1650-1760 nm disinyalir memberikan informasi adanya
kemungkinan ikatan CHx. Puncak 4 mempunyai kisaran panjang gelombang
antara 1900-2000 nm disinyalir memberikan informasi adanya kemungkinan
ikatan H2O dan ROH. Puncak 5 mempunyai kisaran panjang gelombang antara
2060-2160 nm disinyalir memberikan informasi adanya kemungkinan ikatan ROH
dan NHx. Puncak 6 mempunyai kisaran panjang gelombang antara 2300-2400 nm
disinyalir memberikan informasi adanya kemungkinan ikatan CHx (Gambar 3.13).
29

Gambar 3.13 Spektrum biji kakao mengandung informasi kandungan zat

Selanjutnya informasi yang didapat disesuaikan dengan rumus kimia dari


air, lemak, polifenol (procyanidin) dan amonia untuk fermentasi maka dapat
disimpulkan bahwa puncak 1 adalah lemak, puncak 2 adalah procyanidin dan air,
puncak 3 adalah lemak, puncak 4 adalah air dan polifenol (procyanidin), puncak 5
adalah amonia dan procyanidin dan terakhir puncak 6 adalah lemak. Kesimpulan
ini ternyata memiliki kemiripan dengan penelitian yang terkait bubuk kakao dan
olahannya.
Penelitian pertama yang telah dilakukan oleh Davies et al. (1991)
menunjukkan bahwa lemak terdapat pada bubuk biji kakao mentah, bubuk biji
kakao panggang, bubuk coklat dan coklat komersial untuk panjang gelombang
spektrum 1200 nm, 1730 nm, 1760 nm dan 2250-2300 nm. Sementara kadar air
terdapat pada panjang gelombang spektrum 1940 nm. Permanyer dan Perez
(1989) menyimpulkan bahwa kadar air terdapat pada bubuk kakao untuk panjang
gelombang spektrum 1939 nm. Selanjutnya Whitacre et al. (2003) menyimpulkan
bahwa procyanidin terdapat pada kakao liquors untuk panjang gelombang
spektrum 1460 nm dan 2140 nm. Hasil penelitian Moros et al. (2007)
menunjukkan bahwa kadar lemak terdapat pada coklat komersial untuk panjang
gelombang spektrum 2340 nm dan 2343 nm. Vasela et al. (2007) menyimpulkan
bahwa kadar lemak terdapat pada bubuk kakao untuk panjang gelombang
spektrum 1744 nm, 2322 nm, 2334 nm dan 2360 nm dan kadar air pada 1906 nm.
Hal menarik yang dapat dilihat adalah pola puncak 1, 3, dan 6 tidak begitu
nyata terlihat pada spektrum biji kakao sementara untuk pola puncak 2, 4, dan 5
dapat dilihat dengan mudah. Hal ini dapat diduga bahwa kadar lemak agak sulit
dideteksi dengan NIRS dibanding dengan kadar air dan fermentasi.

3.4 Kesimpulan

Spektrum NIRS untuk biji kakao utuh secara tumpukan dapat menggantikan
spektrum biji individu untuk pendugaan mutu biji kakao, hal ini dibuktikan dari
analisis PCA dengan dibantu pretreatment spektrum MSC dan SNV. Penelitian
ini juga menghasilkan selang panjang gelombang yang menentukan mutu biji
30

kakao utuh. Selang panjang gelombang yang berperan memberi informasi kadar
air adalah 1400-1480 nm dan 1900-2000 nm. Selanjutnya untuk kadar lemak,
selang panjang gelombang yang berperan adalah 1160-1220 nm, 1650-1760 nm,
2300-2400 nm. Dan untuk fermentasi panjang gelombang yang berperan adalah
1400-1480 nm, 1900-2000 nm dan 2060-2160 nm. Pengetahuan mengenai
panjang gelombang yang berperan dalam memberi informasi kandungan zat
dalam biji kakao berfungsi untuk mendukung penelitian selanjutnya sehingga
peneliti bisa fokus pada selang panjang tersebut sewaktu akan menduga
kandungan zat tertentu.

4 APLIKASI NIRS UNTUK PREDIKSI TINGKAT


FERMENTASI PADA BIJI KAKAO UTUH

4.1 Pendahuluan

Pasar kakao dunia masih memiliki potensi sangat tinggi yang ditunjukkan
oleh peningkatan konsumsi kakao dunia, sehingga Indonesia diharapkan mampu
meraih peluang pasar yang ada. Laju peningkatan areal produksi tanaman kakao
Indonesia tidak diimbangi dengan keseragaman mutu biji yang dihasilkannya
khususnya biji yang difermentasi, sehingga ekspor biji kakao Indonesia kurang
memiliki daya saing karena produk biji kakao Indonesia dikenal hanya menjadi
bahan campuran di negara-negara industri. Saat ini hanya 15% dari biji kakao
produksi Indonesia yang difermentasi (Disbun Jabar 2010; Hasibuan et al. 2012).
Oleh karena itu, metode penentuan fermentasi secara cepat dan tepat diperlukan
untuk menghasilkan komoditas kakao standar mutu tinggi yang disyaratkan
negara konsumen.
Near Infrared Reflectance Spectroscopy (NIRS) telah menjadi salah satu
metode non-destruktif yang paling menjanjikan dan dapat digunakan untuk
analisis dalam berbagai bidang, termasuk di bidang pertanian. NIRS menjadi lebih
populer dan menarik banyak perhatian para peneliti dalam bidang pangan.
Komponen dengan prosentase konsentrasi 0.1% dapat dideteksi dan dievaluasi
menggunakan NIRS (Cen dan He 2007). Penelitian yang terkait dengan
penggunaan NIRS pada produk kakao untuk deteksi tingkat fermentasi sudah
dilakukan beberapa peneliti, namun kesemuanya dilakukan pada biji kakao yang
telah dibubukkan. Misalnya Aculey et al. (2010) meneliti biji kakao khas negara
Ghana yang dibubukkan untuk menentukan tingkat fermentasi berdasarkan
analisis senyawa volatile dan pembentukan asam asetat (CH3COOH). Penelitian
lebih luas dilakukan oleh Hue et al. (2014) yang mengumpulkan biji kakao yang
telah dibubukkan dari beberapa negara untuk menentukan tingkat fermentasi
kakao berdasarkan kandungan amonia (NH3). Pendugaan tingkat fermentasi bisa
didekati juga dengan deteksi kandungan total polifenol khususnya procyanidin
yang hanya sekitar 58% dari kandungan total polifenol dalam biji kakao kering.
Procyanidin digambarkan dengan rantai R-OH seperti pada Gambar 4.1 (Misnawi
et al. 2002; Whitacre 2003; Misnawi et al. 2004; Misnawi 2009; Hii et al. 2009).
31

Gambar 4.1 Rantai kimia procyanidin pada biji kakao


(Whiteacre et al. 2003 dan Misnawi 2009)

Pada metode chemometrics, analisis kualitatif juga menjadi bahasan


penting di dalam analisis NIRS pada ilmu pangan terutama teknik pengenalan
pola salah satunya Principal Component Analysis (PCA). PCA dapat digunakan
untuk mengurangi dimensional data yang bertujuan mencari kombinasi linier
variabel awal yang menyebabkan sampel berbeda satu sama lain. Sementara untuk
memperoleh hasil yang dapat dipercaya, akurat dan stabil banyak penelitian yang
terkait penggunaan NIRS memakai pretreatment. Karakteristik biji kakao yang
tidak seragam dan kemampuan kerja pretreatment menjadi alasan pemilihan.
Pretreatment Multiplicative Scatter Correction (MSC) dan Standard Normal
Variate (SNV) digunakan untuk menghilangkan multiplicative interference pada
sebaran, ukuran partikel dan perubahan jarak sinar. Metode ini mampu
memperbaiki efek multiplicative dan additive scatter (Cen dan He 2007 dan
CAMO 2012).
Secara umum, tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah
menentukan kelompok fermentasi biji kakao utuh secara non-destruktif
menggunakan PCA. Pada penelitian ini juga digunakan biji kakao yang
dibubukkan sebagai pembanding hasil yang didapat.

4.2 Bahan dan Metode

Sampel Kakao
Penelitian ini menggunakan buah kakao matang varietas Lindak yang
merupakan hasil panen dari kebun yang sama. Biji kakao diberi 3 (tiga) macam
perlakuan fermentasi yakni non fermentasi 0-3 hari), fermentasi penuh (4-5 hari)
dan fermentasi berlebih (7 hari). Proses fermentasi dilakukan dalam peti kayu
dangkal ukuran 40 cm x 40 cm x 50 cm. Contoh biji untuk tiap fermentasi diambil
dari proses fermentasi yang dimulai pada hari yang sama dalam wadah yang
berbeda untuk tiap perlakuan fermentasi. Pengeringan dilakukan dengan
menggunakan pengering mekanis sampai diperoleh biji kakao kering layak
simpan. Biji kering disortir lalu dikemas dalam plastik tertutup rapat disimpan
dalam pendingan bersuhu di bawah 200C sebelum dibawa ke Gttingen, Jerman.
32

Sesampai di Gttingen-Jerman sampel biji kakao ditimbang masing-masing


sekitar 40-45 gram untuk tiap sampel, sehingga didapat kelompok kecil dan
dimasukkan ke dalam plastik tertutup rapat dan diberi label nama. Total didapat
72 kelompok sampel biji utuh. Sampel disimpan di ruang dengan suhu kurang dari
200C selama lebih kurang 2 minggu. Bubuk kakao didapat dengan
menghancurkan biji kakao dan diayak dengan ayakan berukuran 24 mesh untuk
mendapatkan ukuran yang seragam lalu disimpan dalam botol plastik tertutup
yang telah diberi label penanda.
Sampel biji utuh dan bubuk biji masing-masing berjumlah 110 dibagi
menjadi 2 bagian. Yang pertama disebut sampel set kalibrasi yang akan digunakan
untuk melakukan kalibrasi dan yang kedua disebut sampel set prediksi yang akan
digunakan untuk menguji hasil pendugaan. Prediksi dilakukan dengan
memasukkan sampel independen ke dalam hasil kalibrasi sehingga diperoleh
informasi nilai akurasi hasil pengelompokan fermentasi. Sampel dibagi sesuai
dengan pembagian 65% kalibrasi dan 35% untuk prediksi, sehingga didapat 72
sampel untuk kalibrasi dan 38 sampel independen untuk prediksi.

Akuisisi Spektrum NIRS


Alat NIRS yang dipakai adalah AntarisTM II Method Development Sampling
(MDS). Kalibrasi background/reference dilakukan tiap jam. Proses bekerjanya
alat menggunakan intregrating sphere. Pengendalian kerja alat untuk pembuatan
workflow dan menjalankan workflow menggunakan software termo intregation
dan untuk running alat dilakukan oleh termo operation. Selang panjang
gelombang yang dipakai adalah 1000-2500 nm dengan interval 0.4 nm. Workflow
dibuat untuk mengatur alat agar bekerja untuk mengakuisisi spektrum absorban.
memindai sampel sebanyak 64 kali lalu merata-ratakan hasilnya, menyimpan hasil
pemindaian dalam 3 bentuk file yakni *.SPA. *.JDX dan *.CSV. Spektrum
sampel diambil dalam 2 bentuk yakni biji kakao utuh dan biji kakao dibubukkan.
Pengambilan spektrum biji kakao utuh dilakukan dengan memasukkan biji kakao
dalam petridish dengan cara biji kakao diatur sedemikian rupa sehingga tersusun
rapat, berlapis-lapis dan menggunung dengan sedikit mungkin terdapat celah.
Selanjutnya petridish di-setting berputar 360 derajat selama proses pemindaian.
Sementara untuk kakao dalam bentuk bubuk dilakukan dengan memasukkan
bubuk dalam petridish sampai penuh lalu petridish di-setting berputar 360 derajat
selama proses pemindaian. Biji kakao utuh dan bubuk kakao untuk sampel yang
sama dipindai di hari yang sama.

4.3 Hasil dan Pembahasan

Spektrum Biji Kakao


Spektrum original biji kakao utuh mampu menunjukkan keberadaan
procyanidin dan amonia yang merupakan zat penanda tingkat fermentasi (Gambar
4.2). Puncak yang terbentuk pada spektrum yang menandakan keberadaan
procyanidin dan amonia tampak secara jelas. Pada penelitian terdahulu diketahui
bahwa selang panjang gelombang yang diduga berperan memberi informasi untuk
keberadaan procyanidin adalah 1400-1480 nm, 1900-2000 nm dan 2060-2160 nm.
33

Gambar 4.2 Letak procyanidin dan amonia pada spektrum biji kakao utuh

Prediksi Fermentasi
Fermentasi merupakan hal penting dalam proses pengolahan biji kakao.
Kemampuan NIRS dalam membedakan fermentasi menjadi masalah penting yang
membutuhkan solusi. Metode pretreatment yang dipakai untuk membantu kinerja
PCA adalah MSC dan SNV karena merujuk pada hasil penelitian pertama yang
menunjukkan kedua pretreatment mempunyai kinerja yang baik untuk biji kakao.
Hasil pemindaian untuk biji kakao utuh mendapatkan spektrum asli (raw)
yang diplot ke dalam PCA menunjukkan bahwa sebaran data tidak ter-cluster
dengan baik (Gambar 4.3). Selanjutnya spektrum dikoreksi dengan menggunakan
MSC dan SNV. Hasilnya dapat dilihat bahwa PCA ditambah SNV mampu
membuat data cenderung ter-cluster sesuai dengan perlakuan fermentasi (Gambar
4.4). Hasil yang sama juga bisa dilihat untuk PCA ditambah dengan MSC
(Gambar 4.5).

Gambar 4.3 Hasil analisis PCA tanpa pretreatment


34

Gambar 4.4 Hasil PCA + SNV untuk data kalibrasi biji kakao utuh

Gambar 4.5 Hasil PCA + MSC untuk data kalibrasi biji kakao utuh

Selanjutnya dilakukan prediksi dengan memasukkan data independen


sebanyak 38 buah dan diolah dengan PCA. Prediksi untuk PCA+SNV
menunjukkan hasil yang memuaskan (Gambar 4.6). Dari 38 data independen,
hanya satu data yang meleset yakni satu data fermentasi penuh (F5) masuk ke
dalam wilayah untuk data nonfermentasi (F0). Hasil yang memuaskan juga
didapat untuk PCA+MSC, yakni hanya satu data yang tidak masuk ke wilayah
yang tepat (Gambar 4.7). Jika diperbandingkan antara kalibrasi dan prediksi, maka
akan didapat tingkat akurasi prediksi sebesar 97.37% yang artinya dari 38 data
independen, hasil prediksi yang tepat adalah sebanyak 37 (Tabel 4.1) data.
35

Gambar 4.6 Hasil PCA + SNV untuk data prediksi biji kakao utuh

Gambar 4.7 Hasil PCA + MSC untuk data prediksi biji kakao utuh

Tabel 4.1 Perhitungan akurasi hasil prediksi untuk penggolongan fermentasi biji
kakao utuh baik pada PCA + SNV maupun pada PCA + MSC
Jumlah data (justifikasi PCA)
F0 F5 F7 Total Data
F0 22 0 0 22
(visual)
Jumlah
Data

F5 1 8 0 9
F7 0 0 7 7
Total data 23 8 7 38
Keterangan : F0 = Nonfermentasi, F5 = Fermentasi penuh, F7 = Fermentasi berlebih

Berikutnya sebagai pembanding, bubuk biji kakao juga diplot dalam PCA
dengan menggunakan pretreatment SNV dan MSC. Ternyata hasil yang didapat
36

berbeda dengan biji kakao utuh. Bubuk biji kakao tidak ter-cluster sempurna, baik
untuk penggunaan pretreatment SNV (Gambar 4.8) maupun MSC (Gambar 4.9).

Gambar 4.8 Hasil olahan PCA + SNV untuk bubuk kakao

Gambar 4.9 Hasil olahan PCA + MSC untuk bubuk kakao

Penelaahan dengan mencoba melihat loading plot dari hasil PCA + MSC
dan PCA + SNV baik untuk biji kakao utuh maupun bubuk biji. Jika diteliti, akan
kelihatan bahwa untuk biji kakao utuh, panjang gelombang dominan adalah
sekitar 1400-1450 nm, 1900-2000 nm, dan 2100-2200 nm (Gambar 4.10). Getaran
yang terjadi antara panjang gelombang 1400-1470 nm dan 1900-2000
menunjukkan ikatan ROH dan H2O, 2100-2200 menunjukkan ikatan ROH dan
NHx. Ikatan organik ROH (penanda keberadaan procyanidin) dan NHx, keduanya
merupakan zat penentu tingkat fermentasi (Whitacre et al. 2003; Cen dan He
2007; Hue et al. 2014).
37

1900-2000 nm 1900-2000 nm
(a) (b)
1400-1450 nm
1400-1450 nm

2100-
2200 nm 2100-
2200 nm

Gambar 4.10 Loading plot hasil analisis pada biji utuh


(a) PCA+MSC, (b) PCA+SNV

Selanjutnya untuk bubuk biji, panjang gelombang dominan adalah sekitar


1400-1470 nm, 1900-1930 nm, 2300-2450 nm (Gambar 4.11). Getaran yang
terjadi antara 1400-1470 nm dan 1900-2000 nm menunjukkan ikatan H2O dan
ROH sedangkan pada 2300-2400 nm menunjukkan ikatan CHx (lemak). Oleh
karena itu, wajar jika PCA kurang mampu mengelompokkan bubuk biji kakao
berdasarkan tingkat fermentasi karena tidak dominannya pengaruh ikatan ROH
dan NHx.

2300-2400 nm 2300-2400 nm
(a) (b)

1400- 1400-
1450 nm 1450 nm
2100-2200 nm 2100-2200 nm

Gambar 4.11 Loading plot hasil analisis pada bubuk biji


(a) PCA+MSC, (b) PCA+SNV

4.4 Kesimpulan

NIRS dapat digunakan untuk membedakan fermentasi biji kakao utuh


dengan menggunakan metode PCA dibantu oleh pretreatment MSC dan SNV.
Hasil ini menjadi penting mengingat mayoritas ekspor kakao Indonesia adalah
dalam bentuk biji utuh yakni sekitar 82% dari total ekspor nasional. Kemampuan
membedakan kelompok fermentasi untuk biji kakao utuh menjadi nilai tambah
yang besar dalam mendukung upaya menghasilkan biji kakao bermutu tinggi
untuk industri coklat dalam negeri dan ekspor.
38

5 PREDIKSI KADAR AIR DAN KADAR LEMAK


PADA BIJI KAKAO UTUH

5.1 Pendahuluan

Indonesia dikenal sebagai negara pengekspor biji kakao ketiga dunia, namun
ekspor biji kakao Indonesia dikenal hanya menjadi bahan campuran di negara-
negara industri kakao padahal 82% ekspor kakao Indonesia adalah dalam bentuk
biji. Biji kakao Indonesia sebenarnya masih dapat dikembangkan jika mutu
pemutuan biji kakao dapat ditingkatkan sesuai permintaan negara-negara tujuan
ekspor (Disbun Jabar 2010; Rubiyo dan Siswanto 2012; Hasibuan et al. 2012;
Ragimun 2013). Kadar air dan kadar lemak merupakan dua hal penting penentu
mutu biji kakao ekspor. Kadar air berpengaruh terhadap rendeman hasil lemaknya
dan daya tahan biji kakao terhadap kerusakan terutama saat penggundangan dan
pengangkutan, sementara lemak merupakan komponen termahal dari bji kakao
sehingga nilai kadar lemak dipakai oleh konsumen sebagai tolok ukur harga
(Mulato et al. 2009). Oleh karena itu, metode penentuan kadar air dan kadar
lemak secara cepat dan tepat diperlukan untuk menghasilkan komoditas biji kakao
mutu tinggi yang disyaratkan negara konsumen.
Near Infrared Reflectance Spectroscopy (NIRS) telah menjadi salah satu
metode non-destruktif yang paling menjanjikan dan digunakan analisis dalam
berbagai bidang, termasuk di bidang pertanian karena keuntungannya seperti
persiapan sampel sederhana, cepat, dan ramah lingkungan karena tidak ada bahan
kimia yang digunakan. Lebih penting lagi, ia memiliki kemampuan potensial
untuk menentukan beberapa parameter mutu secara bersamaan (Munawar 2014).
Penelitian yang terkait dengan penggunaan NIRS pada produk kakao telah banyak
dilakukan. Misalnya penelitian pada biji kakao mentah yang telah dibubukan
seperti Nielsen et al. (2008), Aculey et al. (2010) dan Hue (2014). Kemudian
penelitian yang dilakukan Kaffka et al. (1982), Permanyer dan Perez (1989) dan
Vesela et al. (2007), pada bubuk kakao. Whitacre (2003) melakukan penelitian
pada kakao liquors mentah dan liquors panggang. Bollinger et al. (1999)
mengambil cocoa butter dan coklat dalam bentuk cairan sebagai bahan
penelitiannya. Selanjutnya Moros et al. (2007) melakukan penelitian pada coklat
komersial. Cambrai et al. (2009) membuat penelitian pada dark chocolates.
Sementara Davies et al. (1991) mencoba untuk membandingkan spektrum mulai
dari biji kakao mentah, biji sangrai, mass coklat dan coklat jadi. Biji mentah dan
biji sangrai dibuat dalam bentuk bubuk. Semua penelitian di atas dilakukan pada
produk olahan kakao atau minimal biji kakao yang telah dibubukkan, sehingga
penelitian NIRS untuk biji kakao utuh belum ada padahal masalah di Indonesia
justru pada pemutuan biji kakao utuh untuk industri coklat atau diekspor.
Pada pembangunan model kalibrasi yang handal dalam analisis pangan. PLS
merupakan salah satu metode analisa kuantitatif yang banyak disarankan. PLS
mengarah pada pengurangan jumlah latent variable yang mana konvergensi
sistem untuk kesalahan residual minimum sering dicapai dalam latent variable
yang lebih sedikit. Sementara untuk memperoleh model yang dapat dipercaya,
akurat dan stabil banyak penelitian yang terkait penggunaan NIRS memakai
pretreatment. Karakteristik biji kakao yang tidak seragam dan kemampuan kerja
39

pretreatment menjadi alasan pemilihan. Pretreatment MSC (Multiplicative Scatter


Correction) dan SNV (Standard Normal Variate) digunakan untuk
menghilangkan multiplicative interference pada sebaran, ukuran partikel dan
perubahan jarak sinar. Metode ini mampu memperbaiki efek multiplicative dan
additive scatter. Mean Centering (MC) sering dipergunakan sebagai pretreatment
karena berfokus pada perbedaan antara observasi daripada nilai-nilai mutlak data.
MC memastikan bahwa data atau model yang dihasilkan dapat ditafsirkan dalam
variasi sekitar mean data. Mean Normalization (MN) digunakan untuk menskala
sampel dalam rangka untuk mendapatkan semua data pada sekitar skala yang
sama berdasarkan daerah mean, selang, maksimum, puncak dan vektor satuan.
Orthogonal Signal Correction (OSC) digunakan untuk perbaikan penyimpangan
instrumen, bias dan sebaran spekra NIR. De-Trending (DT) digunakan untuk
menghapus trend nonlinear dalam data spektroskopi. DT menghitung baseline
function sebagai least squares fit of a polynomial untuk sampel data spektra. DT
diterapkan pada spektrum individual (Cen dan He 2007; CAMO 2012; Munawar
2014).
Pada penelitian sebelumnya, telah diperoleh spektrum biji kakao utuh dalam
bentuk tunggal adalah sama dengan biji kakao utuh dalam bentuk tumpukan,
sehingga pada penelitian ini dilakukan studi lanjut untuk menduga kadar air dan
kandungan lemak pada biji kakao utuh yang mana studi seperti ini belum pernah
dilakukan sebelumnya. Tujuan yang ingin dicapai adalah menguji dan
menganalisis penggunaan metode NIRS untuk pendugaan mutu biji kakao utuh
khususnya mendeteksi kadar air dan kadar lemak dengan biji kakao dibubukkan
sebagai pembanding. Metode pendekatan regresi data yang dipergunakan adalah
PLS, Selain itu penelitian ini juga akan mengkaji pengaruh 6 macam pretreatment
yakni MSC, SNV, MC, MN, OSC dan DT dalam meningkatkan kinerja metode
PLS yang digunakan.

5.2 Bahan dan Metode

Sampel Kakao
Penelitian ini menggunakan buah kakao matang dari Pusat Penelitian Kopi
dan Kakao Indonesia dimana berasal dari varietas Lindak. Pengeringan dilakukan
dengan menggunakan pengering mekanis sampai diperoleh biji kakao kering
layak simpan. Biji kering disortir lalu dikemas dalam plastik tertutup rapat
disimpan dalam lemari pendingin bersuhu di bawah 200C sebelum dibawa ke
Gttingen, Jerman.
Sesampai di Gttingen-Jerman sampel biji kakao utuh dibagi menjadi 110
kelompok dengan berat masing-masing sekitar 40-45 gram untuk tiap sampel.
Selanjutnya sampel dimasukkan ke dalam plastik tertutup rapat dan disimpan di
ruang dengan suhu kurang dari 200C selama lebih kurang 2 minggu (Gambar 5.1).
Bubuk kakao didapat dengan menghancurkan biji kakao dan diayak dengan
ayakan berukuran 24 mesh untuk mendapatkan ukuran yang seragam lalu
disimpan dalam botol plastik tertutup yang telah diberi label penanda.
40

(a) (b)
Gambar 5.1 Sampel biji kakao dalam (a) paket kecil 40-45 gram
(b) bentuk bubuk dalam botol plastik

Akuisisi Spektrum NIRS


Akuisisi spektrum NIRS menggunakan alat dengan merk dagang AntarisTM
II Method Development Sampling (MDS) yang bekerja menggunakan intregrating
sphere. Dalam kerjanya, alat ini menggunakan workflow yang dirancang sendiri
oleh peneliti dengan bantuan software termo intregation, sedangkan untuk
running alat dilakukan oleh termo operation. Pada penelitian ini dipilih selang
panjang gelombang 1000-2500 nm dengan interval 0.4 nm. Dalam mengakuisisi
spektrum, alat memindai sampel sebanyak 64 kali tiap proses lalu merata-ratakan
hasilnya, menyimpan hasil pemindaian dalam 3 bentuk file yakni *.SPA. *.JDX
dan *.CSV. Akuisisi sampel dalam bentuk biji utuh dan bubuk biji memakai
petridish sebagai wadah yang selanjutnya akan berputar 360 derajat selama proses
pemindaian. Biji kakao utuh dan bubuk biji kakao untuk sampel yang sama
dipindai di hari yang sama hal ini dilakukan untuk menghindari perubahan
komposisi kimia bahan oleh pengaruh waktu.

Pengukuran Kadar Air


Pengujian kadar air menggunakan adalah metode thermogravimetri.
Prosedur pengukuran adalah cawan keramik kosong dikeringkan dalam oven
dengan suhu 1050C selama 15 menit dan didinginkan dalam exicator selama 10
menit, kemudian ditimbang. Sampel yang sudah diambil data spektranya
ditimbang 2-3 gram kemudian dimasukkan ke dalam cawan. Cawan beserta isinya
kemudian dimasukkan ke dalam oven dengan suhu 1050C selama 6 jam.
Selanjutnya cawan dikeluarkan dari oven dan didinginkan kembali dalam exicator
dan ditimbang kembali. Perhitungan kadar air (KA) menggunakan persamaan :

(1)

Standar Pengukuran Kadar Lemak


Pengukuran kadar lemak mengunakan Metode Soxhlet (Vesela et. al 2007).
Prosedur pengukuran dimulai dengan mengeringkan labu takar bersama beberapa
batu api selama 1 jam pada suhu 1050C. Lalu didinginkan dalam exicator.
Kemudian ditimbang, hasilnya dicatat sebagai nilai L. Sampel sebanyak 10 gram
dimasukkan dalam extration thimble kemudian ditutup dengan kapas dan
extration thimble ditempatkan dalam perangkat soxhlet. Selanjutnya
41

menambahkan 100 150 ml n-hexana ke dalam labu takar. Maka proses ekstraksi
dapat dimulai. Ekstraksi dilakukan selama 6 jam pada suhu 950C sampai n-hexana
bersih. Selanjutnya n-hexana diuapkan dengan rotary evaporator sampai yang
tertinggal adalah cairan lemak. Lalu dikeringkan labu takar yang mengandung
lemak dalam oven pada suhu 1050C selama 30 menit. Terakhir, labu takar
didinginkan di dalam exicator. Setelah dingin, labu takar ditimbang kembali dan
dicatat sebagai nilai LA. Perhitungan jumlah kadar lemak (KL) mengikuti
persamaan :

(2)

Metode Pengolahan Spektrum


Pengolahan data spektrum menggunakan Unscrambler software X version
10.1. Spektrum dikoreksi dengan 6 macam pretreatment mewakili 3 kelompok
besar pretreatment yakni kelompok centering yang diwakili oleh Mean Centering
(MC) kemudian kelompok normalisasi yang diwakili oleh Multiplicative Scatter
Correction (MSC), Standard Normal Variate (SNV), dan Mean Normalization
(MN). Terakhir kelompok transformasi yang diwakili oleh Orthogonal Signal
Correlation (OSC) dan De-Trending (DT).
Pengolahan data spektrum menggunakan Partial Least Squares (PLS) yang
akan dibandingkan dengan hasil uji laboratorium. PLS merupakan salah satu
metode yang paling populer untuk kalibrasi multivariat data spektra NIR. PLS
mengambil (data spektra NIR) X dan Y (atribut mutu yang diinginkan) matriks
mempertimbangkan ketika mengembangkan model untuk menemukan latent
variable di X yang terbaik akan memprediksi latent variable di Y. PLS
memaksimalkan kovarians antara X dan Y. Dalam hal ini, konvergensi sistem
untuk kesalahan residual minimum sering dicapai dalam faktor-faktor yang lebih
sedikit. PLS juga mengarah pada pengurangan jumlah latent variable (Felizardo et
al. 2007 dan CAMO 2012).

Kalibrasi dan Validasi


Keseluruhan sampel yang berjumlah 110 dibagi menjadi 2 bagian yakni
pertama, sampel set kalibrasi yang akan digunakan untuk melakukan kalibrasi
silang. Kedua, sampel set prediksi yang akan digunakan untuk menguji kinerja
model. Prediksi dilakukan dengan memasukkan sampel data yang berbeda ke
dalam persamaan kalibrasi, sehingga diperoleh informasi nilai akurasi dan
ketangguhan model yang telah didapatkan (Chen et al. 2012). Untuk mencapai
model yang kuat, caranya adalah dengan mem-plot semua data dengan PCA
sesuai nilai y (nilai referensi pengukuran), kemudian sampel dibagi sesuai dengan
pembagian 65% kalibrasi dan 35% untuk prediksi spektrum. Jadi, didapat set
kalibrasi berisi 72 sampel dan prediksi set berisi 38 sampel. Ketentuan yang harus
dipenuhi dalam membagi sampel agar didapat set kalibrasi dan prediksi yang baik
adalah sebaran sampel untuk prediksi harus berada dalam selang sampel kalibrasi
dan sampel prediksi harus menyebar merata.
Mutu persamaan kalibrasi akan diuji keandalannya dengan melihat indikator
koefisien korelasi (r) dan Root Mean Square Error Calibration (RMSEC). Model
persamaan kalibrasi data serapan dibandingkan dan dilihat nilai r serta RMSEC-
42

nya. Model yang bagus akan memiliki nilai r yang tinggi dan RMSEC yang
rendah. Selanjutnya dari data spektrum terpilih, akan dilakukan langkah validasi
silang (cross validation) dengan metode K-fold Leave One Out Cross Validation
(K-fold LOOCV). Metode ini membagi sampel menjadi K grup. Dimana pada
penelitian ini sampel dibagi dalam 10 segmen masing-masing dengan random
sampel rata-rata 7 buah. Validasi silang diuji keandalannya dengan melihat
indikator nilai r dan Root Mean Square Error Cross Validation (RMSECV) (Jha
et al. 2006; Flores et al. 2009).
Setelah validasi silang selesai, maka PLS akan diuji dengan menggunakan
38 sampel kakao independen. Keabsahan model akan dilihat dari parameter
statistik yakni antara lain nilai r, Root Mean Square Error Prediction (RMSEP)
dan rasio antara standard deviasi dengan RMSEP (RPD). Model yang baik adalah
apabila mempunyai nilai r tinggi, nilai RMSEP yang lebih kecil dari standar
deviasi (SD) data dan nilai RPD yang tinggi (Naes et al. 2004; Sinelli et al. 2008).

n
1
RMSEC, RMSECV , RMSEP ( y i yi ) 2
n i 1 (3)

SDP
RPD (4)
RMSEP

dimana : i = parameter nilai dari dugaaan awal model sampel ke-i.


yi = parameter nilai hasil pengukuran laboratorium untuk sampel ke-i.
n = jumlah sampel dalam kalibrasi, validasi atau prediksi.
SDp = standar deviasi untuk data prediksi.

5.3 Hasil dan Pembahasan

Data Set untuk Kalibrasi dan Validasi


Set kalibrasi berisi 72 sampel dan 38 sampel untuk set prediksi yang
diperoleh sesuai ketentuan pembagian. Selanjutnya dibuat acuan pengukuran
untuk sampel kalibrasi dan prediksi seperti selang antar sampel, rataannya dan
standar deviasi sampel baik untuk kadar air maupun kadar lemak (Tabel 5.1). Dari
selang sampel terlihat bahwa untuk sampel kalibrasi lebih panjang dari sampel
prediksi dan selang sampel prediksi berada dalam selang sampel kalibrasi
sehingga bisa dikatakan penyusunan data sudah baik.

Tabel 5.1 Acuan pengukuran dalam set kalibrasi dan set prediksi biji kakao
Kadar Air Kadar Lemak
Jumlah
Bagian Selang Selang
Data Rataan SD Rataan SD
(%) (%)
Kalibrasi 72 6.7-12.1 9.1 1.30 35.3-44.3 40.7 2.19
Prediksi 38 7.4-11.6 9.0 1.19 36.5-45.8 40.6 2.16
SD = Standar Deviasi
43

Spektrum Biji Kakao


Secara umum bisa dikatakan bahwa spektrum original biji kakao utuh
mampu menunjukkan keberadaan kadar air dan kadar lemak yang merupakan
penanda mutu biji kakao (Gambar 5.2). Puncak yang terbentuk pada spektrum
yang menandakan keberadaan kadar air tampak secara jelas namun untuk puncak
yang menunjukkan kadar lemak tidak tampak begitu nyata. Pada penelitian
terdahulu diketahui bahwa selang panjang gelombang yang diduga berperan
memberi informasi untuk keberadaan kadar air adalah 1400-1480 nm dan 1900-
2000 nm. Untuk kadar lemak didapat pada panjang gelombang 1160-1220 nm,
1650-1760 nm, 2060-2160 nm dan 2300-2400 nm.

Gambar 5.2 Letak kadar air dan lemak pada spektrum biji kakao utuh

Prediksi dan Kalibrasi Kadar Air


Biji kakao yang digunakan pada penelitian ini memiliki selang kadar air
antara 6.7% - 12.1%. Hasil analisis PLS untuk uji kadar air dengan menggunakan
NIRS dengan beragam perlakukan pretreatment dapat dilihat pada Tabel 5.2.

Tabel 5.2 Hasil kalibrasi dan prediksi kadar air biji kakao utuh
Kalibrasi Prediksi
Latent
Perlakuan RMSEC RMSECV RMSEP
variable r RPD
(%) (%) (%)
Non Pretreatment 10 0.89 0.59 0.83 0.56 2.12
MSC 5 0.92 0.49 0.84 0.54 2.21
SNV 5 0.93 0.48 0.87 0.54 2.21
MC 9 0.88 0.62 0.82 0.53 2.24
MN 10 0.91 0.54 0.78 0.60 1.99
OSC 3 0.93 0.46 0.78 0.52 2.26
DT 10 0.90 0.57 0.84 0.61 1.96
44

Hasil pendugaan PLS tanpa pretreatment menghasilkan nilai r yang cukup


besar yakni 0.89. Sementara nilai error (RMSEC, RMSECV dan RMSEP) yang
kecil, jauh di bawah nilai SD data. Selanjutnya jika dilihat dari nilai RPD, ternyata
masih di atas dua (Gambar 5.3). Menurut Nicolai et al. (2007) nilai RPD yang
berada dalam selang 2 3 menandakan bahwa model itu termasuk good model
performance.

Gambar 5.3 Plot data kalibrasi - prediksi kadar air


tanpa pretreatment

Pemakaian pretreatment memberi pengaruh nyata untuk meningkatkan


kinerja PLS hasil pendugaan (Gambar 5.4). Hal ini bisa dilihat dari nilai r yang
semakin meningkat, nilai error (RMSEC, RMSECV dan RMSEP) yang cenderung
mengecil dan nilai RPD yang cenderung meningkat. Pretreatment yang dianggap
sangat nyata meningkatkan kinerja PLS hasil pendugaan adalah MSC, SNV dan
OSC. Dimana ketiga pretreatment itu menghasilkan nilai r masing-masing 0.92,
0.93 dan 0.93 selanjutnya nilai RMSEP masing-masing 0.54%, 0.54% dan 0.52%
serta nilai RPD yang cukup besar yakni masing-masing 2.21, 2.21 dan 2.26.

(a) (b)

Gambar 5.4 Plot data kalibrasi dan prediksi kadar air setelah pretreatment
(a) MSC untuk biji utuh dan (b) SNV untuk biji utuh
45

Selain masalah kinerja, pretreatment juga berpengaruh signifikan terhadap


efesiensi hasil. OSC mampu memangkas jumlah latent variable jauh lebih banyak
dibanding pretreatment lainnya yakni dari 10 menjadi 3. Semakin sedikit latent
variable maka dikatakan hasil pendugaan makin effesien. Oleh karena itu, OSC
bisa dikatakan sebagai pretreatment yang paling besar pengaruhnya untuk
meningkatkan efesiensi hasil pendugaan PLS untuk biji kakao utuh.
Selanjutnya biji kakao utuh dibubukkan dan diambil spektrumnya untuk
dijadikan pembanding. Kemudian spektrum bubuk diolah dengan PLS sama
seperti biji utuh. Hasil pendugaan PLS untuk bubuk biji kakao dapat dilihat pada
Tabel 5.3.

Tabel 5.3 Hasil kalibrasi dan prediksi kadar air bubuk biji kakao
Kalibrasi Prediksi
Latent
Perlakuan RMSEC RMSECV RMSEP
variable r RPD
(%) (%) (%)
Non Pretreatment 8 0.94 0.43 0.55 0.57 2.07
MSC 6 0.93 0.49 0.60 0.56 2.14
SNV 6 0.93 0.49 0.59 0.55 2.14
MC 8 0.94 0.43 0.57 0.57 2.07
MN 6 0.92 0.51 0.60 0.58 2.04
OSC 5 0.94 0.43 0.52 0.56 2.13
DT 7 0.95 0.41 0.50 0.65 1.81

Hasil pendugaan PLS tanpa pretreatment untuk bubuk biji kakao tidak jauh
berbeda dengan biji utuh. Walaupun biji bubuk memiliki nilai r lebih baik namun
keduanya sama-sama tergolong good model performance dengan RPD yang di
atas dua, sehingga bisa dikatakan hasil pendugaan biji utuh cukup bisa diandalkan
untuk menggantikan bubuk biji kakao.
Selanjutnya pemberian pretreatment ternyata tidak begitu banyak membantu
PLS untuk menghasilkan dugaan kadar air yang baik dan effesien pada bubuk biji
kakao sementara untuk biji kakao utuh, pemberian pretreatment sangat membantu
meningkatkan kinerja dan efesiensi PLS untuk pendugaan kadar air. Hal ini terjadi
karena pembubukan telah membuat partikel kakao menjadi seragam sehingga
gangguan dalam pemindaian sudah cukup teratasi. Hanya saja proses pembubukan
termasuk tindakan destruktif yang merusak bahan. Oleh karena itu, bisa dikatakan
bahwa menambah pretreatment (khususnya MSC, SNV dan OSC) dalam
pengolahan spektrum biji kakao utuh sudah cukup membantu PLS untuk
menghasilkan pendugaan kadar air yang baik dan effesien daripada harus
menjadikan biji kakao sebagai bubuk kakao. Hal ini menjadi temuan menarik
mengingat fakta yang ditemui bahwa jual beli kakao di lapangan adalah dalam
bentuk biji utuh bukannya dalam bentuk bubuk biji kakao.

Prediksi dan Kalibrasi Kadar Lemak


Biji kakao yang digunakan pada penelitian ini memiliki selang kadar lemak
antara 35.3% 45.8%. Hasil analisis PLS untuk uji kadar lemak menggunakan
46

NIRS dengan beragam perlakuan pretreatment pada biji kakao utuh dapat dilihat
pada Tabel 5.4.

Tabel 5.4 Hasil kalibrasi dan prediksi kadar lemak biji kakao utuh
Kalibrasi Prediksi
Latent
Perlakuan RMSEC RMSECV RMSEP
variable r RPD
(%) (%) (%)
Non Pretreatment 10 0.85 1.15 1.58 1.31 1.65
MSC 4 0.91 0.93 1.50 1.11 1.95
SNV 4 0.91 0.91 1.38 1.11 1.95
MC 10 0.85 1.15 1.68 1.19 1.82
MN 9 0.86 1.10 1.59 1.19 1.82
OSC 4 0.90 0.93 1.56 1.15 1.88
DT 9 0.87 1.07 1.57 1.23 1.76

Hasil pendugaan PLS tanpa pretreatment untuk kadar lemak biji kakao utuh
memperlihatkan bahwa nilai r yang didapat cukup besar yakni 0.85. Untuk nilai
error (RMSEC, RMSECV dan RMSEP) yang didapat masih dikatakan baik
karena masih di bawah nilai SD data. Selanjutnya jika dilihat dari nilai RPD,
ternyata didapat nilai 1.65 (Gambar 5.5). Menurut Nicolai et al. (2007) nilai RPD
yang berada dalam selang 1.5 2 menandakan bahwa model itu termasuk
sufficient performance yang dapat dikatakan prediksi kuantitatif kasar yang
dianggap mungkin.
Pemakaian pretreatment untuk biji utuh memberi pengaruh nyata untuk
meningkatkan kinerja hasil pendugaan. Hal ini bisa dilihat dari nilai r yang
meningkat. Kemudian nilai error (RMSEC, RMSECV dan RMSEP) yang tampak
semakin kecil dan nilai RPD yang meningkat cukup tajam mendekati angka dua.
Pretreatment yang dianggap paling baik kinerjanya adalah MSC dan SNV yang
menghasilkan nilai yang sama (Gambar 5.6). Keduanya menghasilkan nilai r
paling besar yakni 0.91, nilai RMSEP yang paling kecil yakni 1.11% dan nilai
RPD paling besar yakni 1.95.
Selanjutnya jika ditinjau dari segi efesiensi, bisa dilihat bahwa beberapa
pretreatment memberi pengaruh signifikan pada peningkatan nilai efesiensi.
MSC, SNV dan OSC bersama-sama dapat dikatakan paling baik untuk
meningkatkan efesiensi dilihat dari pengurangan jumlah latent variable yang
sangat signifikan dari 10 menjadi 4.
47

Gambar 5.5 Plot data kalibrasi - prediksi kadar lemak


tanpa pretreatment

(a) (b)

Gambar 5.6 Plot data kalibrasi - prediksi kadar lemak setelah pretreatment
(a) MSC untuk biji utuh dan (b) SNV untuk biji utuh

Langkah selanjutnya untuk pembandingan, biji kakao utuh dibubukkan dan


diambil spektrumnya. Kemudian spektrum bubuk diolah dengan PLS, sama
seperti biji utuh. Hasil pendugaan PLS untuk bubuk biji kakao dapat dilihat pada
Tabel 5.5.

Tabel 5.5 Hasil kalibrasi dan prediksi kadar lemak bubuk biji kakao
Kalibrasi Prediksi
Latent
Perlakuan RMSE RMSECV RMSEP
variable r RPD
(%) (%) (%)
Non Pretreatment 8 0.89 0.99 1.28 1.07 2.02
MSC 7 0.90 0.94 1.21 1.06 2.05
SNV 7 0.90 0.94 1.17 1.06 2.05
MC 9 0.90 0.95 1.20 1.12 1.93
MN 8 0.89 0.98 1.21 1.11 1.95
OSC 6 0.90 0.95 1.17 1.09 1.98
DT 9 0.91 0.89 1.18 1.20 1.80
48

Performa PLS dalam menghasilkan dugaan kadar lemak untuk bubuk biji
kakao terlihat lebih baik dibandingkan dengan biji kakao utuh. Hasil dugaan PLS
untuk biji bubuk kakao tergolong good model performmance (RPD > 2) dibanding
dengan biji kakao utuh yang tergolong sufficient performance (1.5 < RPD < 2).
Pemberian pretreatment ternyata tidak begitu banyak membantu PLS untuk
menghasilkan dugaan kadar lemak yang baik dan effesien pada bubuk biji kakao
sementara untuk biji kakao utuh, pemberian pretreatment cukup membantu
meningkatkan kinerja dan efesiensi PLS walau belum mampu mengangkat status
dari sufficient performance menjadi good model performance akan tetapi nilai
RPD-nya sudah hampir mendekati dua. Dapat dikatakan bahwa menambah
pretreatment (khususnya MSC, SNV dan OSC) dalam pengolahan spektrum biji
kakao utuh sudah cukup membantu PLS untuk menghasilkan pendugaan kadar
lemak yang layak dan effesien daripada harus menjadikan biji kakao sebagai
bubuk kakao. Diharapkan ke depan akan ditemukan pretreatment yang mampu
mengangkat nilai RPD sampai mencapai dua. Hal ini menjadi penting agar biji
kakao tidak perlu dibubukkan untuk menduga kadar lemaknya.
Secara umum baik untuk uji kadar air maupun kadar lemak, pretreatment
MSC dan SNV terbukti paling konsisten memberi pengaruh positif dalam
meningkatkan kinerja hasil pendugaan PLS. Pretreatment MSC dan SNV
diketahui mampu menghilangkan multiplicative interference pada sebaran, ukuran
partikel dan perubahan jarak sinar. Keduanya juga diketahui mampu memperbaiki
efek multiplicative dan additive scatter. Semua kemampuan ini ternyata sangat
bermanfaat untuk membantu mengurangi pengaruh celah udara antar biji dan
rongga udara yang terdapat di dalam biji. Hal inilah yang diduga telah menjadikan
MSC dan SNV pada penelitian ini menjadi pretreatment yang paling baik
sehingga mampu meningkatkan kinerja hasil pendugaan PLS untuk biji kakao
utuh baik bagi pada pengujian kadar air maupun kadar lemak.

5.4 Kesimpulan

Penerapan metode PLS yang didukung pretreatment pada biji kakao utuh
telah menghasilkan prediksi yang lebih baik dibanding dengan PLS tanpa
pretreatment baik pada pendugaan kadar air maupun pada kadar lemak. Pada
pendugaan kadar air. PLS yang didukung pretreatment telah menghasilkan
prediksi yang tergolong good model performmance. Pretreatment yang dianggap
sangat nyata meningkatkan kinerja PLS adalah MSC, SNV dan OSC. Dimana
ketiga pretreatment itu menghasilkan nilai r masing-masing 0.92, 0.93 dan 0.93
selanjutnya nilai RMSEP masing-masing 0.54%, 0.54% dan 0.52% serta nilai
RPD yang cukup besar yakni masing-masing 2.21, 2.21 dan 2.26. Selain itu
pretreatment OSC bisa dikatakan sebagai pretreatment yang paling efesien yang
mampu memangkas jumlah latent variable paling banyak yakni dari 10 menjadi 3
latent variable. Pada pendugaan kadar lemak, PLS yang didukung pretreatment
telah menghasilkan prediksi yang tergolong sufficient performance. Pretreatment
yang dianggap paling baik kinerjanya adalah MSC dan SNV. Keduanya
menghasilkan nilai r yang sama yakni 0.91, nilai RMSEP yang juga sama yakni
1.11% dan nilai RPD yang sama yakni 1.95. Selanjutnya MSC, SNV dan OSC
49

bersama-sama dapat dikatakan paling efesiensi dilihat dari pengurangan jumlah


latent variable yang sangat signifikan dari 10 menjadi 4.

6 PEMBAHASAN UMUM

Biji kakao didapat dari buah kakao matang yang telah dikupas, dipisahkan
dari pulpanya dan dikeringkan. Secara fisik biji kakao berbentuk bulat pipih
dengan berat 1.0 1.2 gram untuk bisa memenuhi syarat ekspor. Pemerintah
menetapkan standar mutu biji kakao melalui SNI. Standar itu adalah dilihat secara
fisik seperti dari ukuran biji, kadar air, kontaminasi terhadap serangga, benda
asing dan berbagai aroma yang dapat merusak aroma khas kakao. Namun secara
khusus mutu kakao ditentukan oleh rendemen lemak, aroma dan citarasa, karena
komponen-komponen inilah yang biasanya menentukan sensasi dalam menikmati
coklat. Dari informasi itu dapat disimpulkan ada tiga hal penting yang
menentukan mutu biji kakao yakni kadar air, kadar lemak dan aroma-citarasa
yang didapat dari proses fermentasi.
Badan Standarisasi Nasional dan Pusat Penelitian Kopi dan Kakao
Indonesia sudah memberikan cara standar untuk menguji tiga hal di atas. Uji
kadar air digunakan uji lab kadar air dengan pengeringan dalam oven pada suhu
103 2 0C. Pengujian ini dapat memakan waktu sampai 6 jam. Uji kadar lemak
digunakan uji laboratorium kadar lemak dengan mengekstrak biji kakao
menggunakan pelarut organik non polar. Pengujian dapat memakan waktu 14 jam.
Tingkat fermentasi digunakan uji belah biji kakao dengan melihat warna bagian
dalam biji. Kesemua cara di atas adalah bersifat destruktif dan memakan waktu
cukup lama padahal yang dibutuhkan adalah penelitian yang mampu menjawab
masalah pengujian yang bersifat nondestruktif, praktis, cepat dan tepat. Penelitian
ini telah mampu memetakan kandungan kadar air, kadar lemak dan zat penentu
fermentasi melalui analisis spektrum biji kakao utuh dengan biji yang dibubukkan
sebagai pembanding. Selain itu penelitian ini juga telah menghasilkan pendugaan
yang cukup baik untuk memprediksi ketiga komponen mutu biji kakao utuh. Pada
bab ini akan dibahas secara umum hasil-hasil penting yang didapat dalam
penelitian yang terbagi atas tiga tahap.

6.1 Hasil Penelitian Pendahuluan

Permasalahan dalam mendeteksi mutu biji kakao adalah belum


ditemukannya cara praktis untuk menerapkan metode NIRS secara langsung pada
biji kakao utuh. Oleh karena itu, penelitian dimulai dengan melakukan 3 macam
bentuk pengukuran untuk diambil spektrumnya yakni bentuk biji individu, biji
tumpukan dan biji yang dibubukkan. Hal ini dilakukan karena secara hipotesis,
tiga bentuk itulah yang paling mungkin dikembangkan untuk menguji atribut
mutu biji kakao sebelum diekspor. Total sampel yang dipakai untuk ketiga bentuk
tersebut adalah sebanyak 176 sampel. Pada tahap awal ini juga dicoba
menggunakan 5 macam pretreatment dan membuat 12 kombinasinya, sementara
PCA digunakan sebagai metode pendekatan regresi.
50

Hasil yang didapat adalah ditemukannya fakta bahwa tidak ada perbedaan
antara data spektrum kakao dalam bentuk biji individu dengan kakao dalam
bentuk biji tumpukan sehingga akuisisi spektrum NIRS biji kakao dalam bentuk
tumpukan dapat menggantikan akuisisi spektrum NIRS biji kakao dalam bentuk
biji individu. Untuk kakao dalam bentuk bubuk berbeda nyata dari kedua bentuk
sebelumnya, sehingga biji kakao dalam bentuk bubuk tetap akan dipergunakan
sebagai data pembanding. Hasil ini selanjutnya dipergunakan sebagai dasar
membangun prosedur untuk pengukuran spektrum dalam penelitian selanjutnya,
sehingga untuk pengukuran spektrum akan dibagi atas dua macam yakni
pengukuran kakao dalam bentuk biji tumpukan dan dalam bentuk bubuk.
Selain itu hal menarik lainnya yang didapat dari penelitian awal ini adalah
mendapatkan peta sebaran kandungan zat kimia dalam spektrum biji kakao utuh.
Kadar lemak ternyata kurang terlihat nyata, sementara kadar air dan tingkat
fermentasi cukup tergambar jelas pada spektrum melalui terbentuknya puncak
gelombang sebagai efek dari vibrasi yang terjadi antar ikatan kimia dengan sinar
NIRS.

6.2 Analisis Fermentasi dengan Metode PCA

Sebelum diolah menjadi produk coklat, biji kakao harus difermentasi


terlebih dahulu, dimana perlakuan ini akan menghasilkan prekursor cita rasa,
mencoklat-hitamkan warna biji, mengurangi rasa-rasa pahit, asam, manis dan
aroma bunga, meningkatkan aroma kakao (coklat) dan kacang (nutty), dan
mengeraskan kulit biji menjadi seperti tempurung. Biji yang tidak difermentasi
tidak akan memiliki senyawa prekursor tersebut sehingga citarasa dan mutu biji
sangat rendah. Fermentasi membuat perubahan struktur/komponen kimia dari
keping biji. Penelitian ini mencoba mengamati perubahan komponen kimia
(procyanidin dan NHx) sebagai standar untuk mengukur tingkat fermentasi kakao.
Komponen procyanidin adalah komponen yang memberikan rasa sepat pada
kakao yang mana komponen ini berkurang selama proses fermentasi, sementara
NHx diduga diproduksi selama fermentasi.
Analisis untuk pendugaan fermentasi menggunakan metode PCA untuk
pendekatan regresi data dengan dibantu oleh MSC dan SNV sebagai pretreatment.
PCA dipilih karena data yang didapat merupakan data kategori bukan numerik,
sementara MSC dan SNV dipilih karena mengambil hasil sebelumnya bahwa
kedua metode pretreatment itu adalah yang terbaik dibanding 10 kombinasi
metode lainnya dari 12 kombinasi metode yang telah dibuat sebelumnya pada
penelitian pendahuluan. Penelitian untuk analisis fermentasi menggunakan 72
sampel biji utuh yang selanjutnya dibubukkan yang dijadikan data pembanding.
Sampel-sampel itu mewakili 3 kelompok yakni non fermentasi, fermentasi penuh
dan fermentasi berlebih.
Hasil yang didapat bahwa PCA yang dikombinasikan dengan MSC dan
SNV dapat mengelompokkan biji kakao utuh berdasarkan kelompok fermentasi.
Penemuan ini dianggap menguatkan penelitian yang dilakukan Aculey et al.
(2010) dan Hue et al. (2014) yang mengatakan bahwa tingkat fermentasi biji
kakao (dalam bentuk bubuk) dapat dilihat dengan mengolah spektrum NIRS
memakai PCA. Namun yang menarik, dalam penelitian ini ditemukan bahwa
51

pengelompokan biji kakao berdasarkan kelompok fermentasi justru lebih bagus


hasilnya untuk biji utuh dibanding dengan biji dalam bentuk bubuk. Hal ini
diduga karena selama proses pembubukan terjadi pengurangan kadar air dan
pemecahan simpul-simpul lemak pada biji kakao sehingga kandungan lemak
mengurangi dominasi kandungan procyanidin dan NHx pada bubuk kakao. Hal
yang berbeda dibanding biji utuh dimana kandungan lemak tidak begitu kelihatan
pada spektrum yang dihasilkan NIRS. Kenyataan itu tergambar dari analisis
loading plot pada biji kakao utuh dan bubuk biji kakao yang diteliti.
Perubahan selama fermentasi ternyata tertangkap dalam spektrum yang
dihasilkan. Untuk kakao dalam bentuk biji, terlihat adanya sedikit perbedaan
bentuk spektrum pada panjang gelombang antara 2000-2200 nm yang mana
spektrum untuk biji utuh nonfermentasi terlihat membentuk puncak, sementara
spektrum untuk biji utuh fermentasi penuh terlihat lebih rendah puncaknya dan
semakin landai untuk spektrum biji utuh fermentasi berlebih (Gambar 6.1).
Selanjutnya untuk biji kakao dalam bentuk bubuk, spektrum yang terbentuk
terlihat hampir sama untuk tiap kelompok fermentasi yakni sama-sama
membentuk puncak yang relatif seragam (Gambar 6.2).

Gambar 6.1 Perubahan bentuk spektrum biji utuh pada berbagai


kelompok fermentasi

Gambar 6.2 Perubahan bentuk spektrum bubuk biji pada berbagai


kelompok fermentasi
52

Kemampuan NIRS dengan metode PCA mampu membedakan fermentasi


pada biji kakao utuh sangat besar manfaatnya. Mengingat mayoritas ekspor kakao
Indonesia adalah dalam bentuk biji utuh, sekitar 82% dari total ekspor nasional
(Hasibuan et al. 2012), sehingga hasil ini akan menjadi nilai tambah yang besar
dalam mendukung upaya peningkatan mutu biji kakao ditingkat petani.

6.3 Analisis Kadar Air dan Kadar Lemak dengan Metode PLS

Kadar air dan kadar lemak merupakan dua kompomen penting yang
menentukan mutu biji kakao. Kadar air berpengaruh terhadap rendeman hasil
lemaknya dan daya tahan biji kakao terhadap kerusakan terutama saat
penggudangan dan pengangkutan. Kadar air standar untuk biji kakao mutu ekspor
adalah sekitar 6%-7%. Biji kakao yang digunakan pada penelitian ini memiliki
selang kadar air antara 6.7% - 12.1%. Lemak merupakan komponen termahal dari
biji kakao sehingga nilai kadar lemak dipakai oleh konsumen sebagai tolok ukur
harga. Kadar lemak biji kakao Indonesia bisa sampai 52%. Untuk penelitian ini
selang kadar lemak antara 35.3% 45.8%.
Analisis untuk pendugaan kadar air dan kadar lemak menggunakan PLS
sebagai metode pendekatan regresi dengan dibantu oleh 6 metode pretreatment
yaitu Mean Centering (MC), Multiplicative Scatter Correction (MSC), Standard
Normal Variate (SNV), Mean Normalization (MN), Orthogonal Signal
Correlation (OSC) dan De-Trending (DT). PLS dipakai karena data yang didapat
adalah data numerik. PLS merupakan salah satu metode analisis kuantitatif yang
banyak direferensikan untuk evaluasi mutu pangan. PLS mampu mereduksi
dimensi data untuk mencari faktor-faktor yang paling relevan dalam memprediksi
dan menginterpretasi data. PLS sangat cocok untuk analisis linear. Sementara
pemilihan 6 metode spektrum yang mewakili tiga kelompok besar cara kerja
pretreatment yakni centering, normalization dan tranformation bertujuan untuk
membandingkan kinerjanya dalam mendukung kinerja PLS.
Pada penelitian ini dapat dilihat bahwa metode PLS mampu menghasilkan
dugaan yang baik. Tabel 6.1 memperlihatkan bahwa nilai koefesien korelasi untuk
dugaan kadar air dan kadar lemak adalah cukup besar yakni 0.89 dan 0.85.
Kemudian nilai RMSEP juga cukup kecil di bawah nilai standar deviasi data hasil
pendugaan. RPD untuk kadar air biji utuh tergolong good model performmance,
sedangkan hasil dugaan untuk kadar lemak biji utuh tergolong sufficient
performance. Oleh karena itu, bisa dikatakan bahwa hasil pendugaan dengan
menggunakan PLS dari raw data untuk kadar air dan kadar lemak pada biji kakao
utuh adalah cukup baik.

Tabel 6.1 Hasil PLS untuk raw data


Latent RMSEC RMSEP
Model r RPD Hasil
variable (%) (%)
Kadar Air Biji Utuh 10 0.89 0.59 0.56 2.12 Good
Kadar Lemak Biji Utuh 10 0.85 1.15 1.31 1.65 Sufficient
53

6.4 Analisis Penggunaan Metode Pretreatment

Pretreatment dilakukan untuk mengurangi pengaruh interferensi gelombang


dan noises pada data spektrum yang didapat agar diperoleh dugaan robust yang
lebih akurat dan stabil. Pada penelitian ini ada dua tahap penggunaan pretreatment
yakni penggunaan untuk tahap pendugaan fermentasi dan tahap pengukuran kadar
air dan kadar lemak.
Pada tahap pendugaan fermentasi, sebelum dipilih metode pretreatment
yang akan dipergunakan terlebih dahulu dibuat 12 alternatif kombinasi metode
yang diramu dari 5 pilihan metode yakni Multiplicative Scatter Correction (MSC)
dan Standard Normal Variate (SNV), Savitzky-Golay smoothing (SGs), first
derivative (D1), dan second derivative (D2). Dari 12 metode itu didapat 2 metode
terbaik yakni MSC dan SNV yang selanjutnya digunakan sebagai metode
pretreatment untuk pendugaan kelompok fermentasi.
Hasil yang didapat pada pendugaan kelompok fermentasi menunjukkan
metode pretreatment mampu merubah posisi sebaran data menjadi lebih baik dari
sebelumnya. Data biji kakao utuh ter-cluster sesuai dengan kelompok fermentasi.
Selanjutnya pada tahap pengukuran kadar air dan kadar lemak, digunakan 6
macam metode pretreatment yakni Mean Centering (MC), Multiplicative Scatter
Correction (MSC), Standard Normal Variate (SNV), Mean Normalization (MN),
Orthogonal Signal Correlation (OSC) dan De-Trending (DT). Keenam metode itu
dianggap mampu mewakili tiga kelompok besar metode pretreatment yakni
kelompok centering, normalization and transformation.
Hasil yang didapat membuktikan bahwa penggunaan pretreatment secara
umum terbukti mampu memperkuat hasil pendugaan kadar air dan kadar lemak
pada biji kakao utuh. Tiga pretreatment yang sangat nyata berperan untuk itu
adalah MSC, SNV dan OSC. Ketiga pretreatment ini mampu meningkatkan nilai
koefesien kolerasi (r), memperkecil nilai error (RMSEC dan RMSEP), sehingga
tetap di bawah nilai standar deviasi, baik untuk kalibrasi maupun prediksi dan
meningkatkan nilai RPD hasil dugaan (Tabel 6.2).

Tabel 6.2 Pengaruh pretreatment pada pendugaan biji kakao utuh


RMSEC RMSEP
Model r SDc SDp RPD Status hasil
(%) (%)
Kadar Air
Raw 0.89 0.59 1.30 0.83 1.19 2.12 Good
MSC 0.92 0.49 1.30 0.54 1.19 2.21 Good
SNV 0.93 0.48 1.30 0.54 1.19 2.21 Good
OSC 0.93 0.46 1.30 0.52 1.19 2.26 Good
Kadar Lemak
Raw 0.85 1.15 2.19 1.31 2.16 1.65 Sufficient
MSC 0.91 0.93 2.19 1.11 2.16 1.95 Sufficient
SNV 0.91 0.91 2.19 1.11 2.16 1.95 Sufficient
OSC 0.90 0.93 2.19 1.15 2.16 1.88 Sufficient
54

Penggunaan pretreatment ternyata juga terbukti mampu menghasilkan


dugaan yang lebih efesien dilihat dari kemampuannya mengurangi jumlah latent
variable yang terlibat dalam hasil dugaan. Hampir semua pretreatment mampu
mengurangi jumlah latent variable pada semua hasil dugaan, namun pretreatment
yang terlihat sangat nyata dan konsisten mengurangi jumlah latent variable dalam
jumlah paling besar dari hasil pendugaan adalah OSC (Tabel 6.3).

Tabel 6.3 Pengaruh pretreatment terhadap efesiensi hasil dugaan


Latent Variable
Model
Raw MSC SNV MC MN OSC DT
Kadar Air Biji Utuh 10 5 5 9 10 3 10
Kadar Lemak Biji Utuh 10 4 4 10 9 4 9

Jika dianalisis, dari semua pretreatment yang dipergunakan secara umum


dapat dikatakan bahwa kelompok normalisasi adalah paling baik dibanding
kelompok lainnya. Ini bisa dilihat dari kinerja model yang dihasilkan dari
pretreatment MSC dan SNV. Kesimpulan ini sesuai dengan hasil penelitian Chen
et al. (2012) bahwa pretreatment kelompok normalisasi adalah lebih baik dari
kelompok lainnya. Secara teoritis, pretreatment MSC dan SNV diketahui mampu
menghilangkan multiplicative interference pada sebaran, ukuran partikel dan
perubahan jarak sinar. Keduanya juga diketahui mampu memperbaiki efek
multiplicative dan additive scatter. Semua kemampuan ini ternyata sangat
bermanfaat untuk membantu mengurangi pengaruh celah udara antar biji dan
rongga udara yang terdapat di dalam biji. Hal inilah yang diduga telah menjadikan
MSC dan SNV pada penelitian ini menjadi pretreatment yang paling baik
sehingga mampu meningkatkan kinerja hasil pendugaan PLS untuk biji kakao
utuh baik pada pengujian kadar air maupun kadar lemak.
OSC (yang berasal dari kelompok transformasi) ternyata juga mampu
menunjukkan kinerja yang baik, terutama untuk menghasilkan dugaan yang paling
efesien. Dengan kemampuan menghasilkan pendugaan yang baik ditambah
tingginya efesiensi model yang dihasilkan, OSC layak dikatakan sebagai metode
pretreatment yang paling cocok digandengkan dengan PLS dalam pengolahan
data. Kenyataan ini memperkuat pendapat Cen dan He (2007) dan CAMO (2012)
yang mengatakan OSC adalah metode pretreatment yang paling cocok
digandengkan dengan PLS dalam pengolahan data. Secara teoritis, OSC diketahui
bekerja dengan berusaha untuk memperbaiki data X matriks spektrum data NIR
dengan menghapus informasi dari spektrum yang ortogonal berkorelasi dengan
data matriks Y yang merupakan standar kualitas atribut data. Hal ini dilakukan
untuk menghindari penghapusan informasi yang berguna yang penting untuk
pemodelan, dan menghapus hanya variasi yang tidak relevan yang menciptakan
masalah bagi model regresi. Pretreatment OSC diterapkan bersama-sama untuk
semua spektrum di set kalibrasi. Kemudian, koreksi pada matriks X dapat
diterapkan pada set prediksi eksternal untuk mengevaluasi kemampuan prediksi
model kalibrasi yang dibangun dengan data yang sudah diperbaiki. Algoritma
yang digunakan mirip dengan algoritma Non-Iterative Partial Least Square
(NIPALS), yang biasa digunakan dalam PLS. Oleh karena itu, OSC dikatakan
paling cocok digandengkan dengan PLS.
55

7 KESIMPULAN DAN SARAN

7.1 Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat ditarik dari penelitian ini adalah :


1. Teknik akuisisi spektrum NIRS untuk biji kakao utuh secara tumpukan dapat
menggantikan teknik akuisisi spektrum biji utuh individu. Hal ini didasarkan
atas hasil PCA dengan bantuan pretreatment SNV dan MSC, terlihat bahwa
biji individu dan biji tumpukan berada dalam daerah yang hampir sama
sehingga dapat saling menggantikan.
2. Metode NIRS menggunakan PCA dan pretreatment MSC dan SNV dapat
digunakan untuk membedakan fermentasi biji kakao utuh tumpukan dalam
jumlah 40-45 gram dengan kelompok fermentasi terdiri atas non fermentasi,
fermentasi penuh dan fermentasi berlebih.
3. Metode NIRS menggunakan PLS dan pretreatment MSC, SNV dan OSC dapat
digunakan untuk menduga kadar air biji kakao utuh tumpukan dalam jumlah
40-45 gram dengan selang kadar air 6.7% 12.1%.
4. Metode NIRS menggunakan PLS dan pretreatment MSC dan SNV dapat
digunakan untuk menduga kadar lemak biji kakao utuh tumpukan dalam
jumlah 40-45 gram dengan selang kadar lemak 36.5% 45.8%.
5. Penggunaan pretreatment terbukti mampu memperkuat hasil pendugaan dan
meningkatkan efesiensi hasil dugaan. Penelitian ini menemukan bahwa
pretreatment MSC dan SNV (kelompok normalisasi) adalah yang paling
disarankan untuk dipergunakan bagi meningkatkan kekuatan dan ketangguhan
hasil dugaan.
6. Pretreatment OSC adalah yang paling disarankan membantu metode PLS
untuk menghasilkan dugaan yang paling efesien.

7.2 Saran

1. Pendugaan kelompok fermentasi dalam penelitian ini masih mungkin


dikembangkan menggunakan metode klasifikasi dengan algoritma yang lebih
komplit. Selain itu, pengukuran secara langsung untuk kandungan kimia
tertentu dalam biji kakao utuh yang menentukan fermentasi bisa menjadi
aktivitas penelitian selanjutnya, sehingga akan didapat temuan yang lebih
akurat dan bersifat kuantitatif.
2. Pendugaan kadar air dan kadar lemak masih bisa dikembangkan dengan
memakai metode pendekatan regresi data yang bersifat nonlinier, sehingga
nantinya akan bisa diperbandingkan hasil yang didapat.
3. Secara umum penelitian NIRS akan sangat berdaya guna jika cakupan selang
data semakin luas, sehingga peningkatan jumlah data yang mencangkup selang
lebih panjang dan ragam data lebih besar menjadi kebutuhan untuk
menghasilkan pendugaan yang lebih besar cakupannya.
56

DAFTAR PUSTAKA

Aculey PC, Snitkjaer P, Owusu M, Bassompiere M, Takrama J, Norgaard L,


Petersen MA, Nielsen DS. 2010. Ghanaian Cocoa Bean Fermentation
Characterized by Spectroscopic and Chromatographic Methods and
Chemometrics. J Food Science 75(6): 300-3007.
Agustina R. 2011. Sistem pendukung keputusan teknologi penanganan dan
kelayakan investasi pascapanen kakao [Tesis]. Yogyakarta (ID):
Universitas Gajah Mada.
Badan Standardisasi Nasional. 2010. Dilema Notifikasi Wajib Biji Kakao.
[internet]. [diacu 2011 Mei 4]. Tersedia dari: http://
www.bsn.go.id/news_detail.php?news_id=1627.
[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2008. Parameter Mutu dan Pengukuran
Standarisasi Kakao dan Kopi.
Batten GD. 1998. Plant Analysis Using Near Infrared Reflectance Spectroscopy:
The Potential and Limitations. Australian J Experimental Agriculture. 38:
697-706.
Bolliger S, Zeng Y, Windhab EJ. 1999. In-line Measurement of Tempered Cocoa
Butter and Chocolate by Means of Near-Infrared Spectroscopy. J Am. Oil
Chem Soc. 76: 659667.
Brown TL, Lemay EH, Bursten BE. 2000. Chemistry The Central Science. New
Jersey (USA): Prentice Hall Inc.
Cambrai A, Marcic C, Morville S, Houer PS, Bindler F, Marchioni E. 2009.
Differentiation of Chocolates According to The Cocoas Geographical
Origin Using Chemometrics. J Agric Food Chem 30.
CAMO. 2012. Method Reference The Unscrambler X 10.2.
Clark RN. 1999. Spectroscopy of Rocks and Minerals and Principles of
Spectroscopy. In: ed. Rencz. AN. Manual of Remote Sensing. Volume 3:
Remote Sensing for the Earth Sciences. ch.1. New York (USA): John
Wiley and Sons. p 3-58
Cen H, He Y. 2007. Theory and Application of Near Infrared Reflectance
Spectroscopy in Determination of Food Quality. J. Trends in Food Sci &
Technol 18: 72-83.
Chen Q, Guo Z, Zhao J, Ouyang Q. 2012. Comparisons of different regressions
tools in measurement of antioxidant activity in green tea using near infrared
spectroscopy. J. Pharmaceutical and Biomedical Analysis 60: 92 97.
Davies AMC, Franklin JG, Grant A, Griffiths NM, Shepherd R, Fenwick GR.
1991. Prediction of Chocolate Quality from Near-Infrared Spectroscopic
Measurements of The Raw Cocoa Beans. J. Vibritional Spectroscopy 2:
161-172
[Disbun] Dinas Perkebunan Jabar. 2010. Pengolahan Kakao. [internet]. [diacu
2014 April 4]. Tersedia dari: http://www.disbun. jabarprov.go.id/.
Dryden GM. 2003. Near Infrared Reflectance Spectroscopy : Applications in Deer
Nutrition. Australia: The University of Queensland.
57

Felizardo P, Baptista P, Menezes JC, Correia MJN. 2007. Multivariate Near


Infrared Spectroscopy Models for Predicting Methanol and Water Content
in Biodiesel. Analytica Chimica Acta. 595: 107-113.
Flores K, Sanchez MT, Perez-Marin D, Guerrero JE, Garrido-Varo A. 2009.
Feasibility in NIRS Instruments for Predicting Internal Quality in Intact
Tomato. J. Food Engineering. 91: 311-318.
Hasibuan AM, Nurmalina R, Wahyudi A. 2012. Analisis Kinerja dan Daya Saing
Perdagangan Biji Kakao dan Produk Kakao Olahan Indonesia Di Pasar
Internasional. Bul RISTRI 3 (1): 57-70.
Hii CL, Law CL, Suzannah S, Misnawi, Cloke M. 2009. Polyphenol in Cocoa.
As. J Ag-Ind. 2(4): 702-722.
Hue C, Gunata Z, Bergounhou A, Assemat S, Boulanger R, Sauvage SX,
Davrieux F. 2014. Near Infrared Spectroscopy as a New Tool Determine
Cocoa Fermentation Levels Through Ammonia Nitrogen Quantification. J
Food Chemistry : 240-245.
Iriawan N, Astuti SP. 2006. Mengolah Data Statistik dengan Mudah
Menggunakan Minitab 14. Yogyakarta (ID): Andi.
Jha SN, Kingsly ARP, Chopra S. 2006. Non-Destructive Determination of
Firmness and Yellowness of Mango During Growth and Storage Using
Visual Spectroscopy. Biosystems Engineering. 94: 397-402.
Kaffka KJ, Norris KH, Kulcsr F, Draskovits I. 1982. Attempts to Determine Fat.
Protein and Carbohydrate Content in Cocoa Powder by The NIR
Technique. Acta Alimentaria 11 (3): 271-288.
Lammertyn J, Peirs A, De Baerdemaeker J, Nicolai BM. 2000. Light Penetration
Properties of NIR Radiation in Fruit with Respect to Non-Destructive
Quality Assesment. Postharvest Biol. Technol. 18: 121-132.
Misnawi, Jinap S, Jamilah B, Nazamid S. 2002. Oxidation of Polyphenols in
Unfermented and Partly Fermented Cocoa Beans by Cocoa Polyphenol
Oxidase and Tyrosinase. J. Sci. Food Agric. 82: 559-566.
Misnawi, Jinap S, Jamilah B, Nazamid S. 2004. Sensory Properties of Cocoa
Liquor as Affected by Polyphenol Concentration and Duration of
Roasting. J. Food Quality and Preference. 15: 404-409.
Misnawi. 2009. Change in Procyanidins and Tanin Concentration as Affected by
Cocoa Liqour Roasting. Pelita Perkebunan. 25(2): 126-140.
Mohsenin NN. 1984. Electromagnetic Radiation Properties of Foods and
Agricultural Products. New York (USA): Gordon and Breach Sciens
Publisher.
Moros J, Inon FA, Garrigues S, de la Guardia M. 2006. Near-Infrared Diffuse
Reflectance Spectroscopy and Neural Networks for Measuring Nutritional
Parameters in Chocolate Samples. J Analytica Chimica Acta 584 : 215
222. www.elsevier.com/locate/aca.
Mulato S, Widyotomo S, Miswani, Suharyanto E. 2009. Pengolahan Produk
Primer dan Sekunder Kakao. Jember (ID): Pusat Penelitian Kopi dan
Kakao Indonesia.
Munawar AA. 2008. Non-destructive Inner Quality Prediction in Intact Mangos
with NIRS Method [Thesis]. Goettingen: Georg-August University.
Munawar AA. 2014. Multivariate Analysis and Artificial Neural Network
Approaches of Near Infrared Spectroscopic Data for Non-Destructive
58

Quality Attributes Prediction of Mango [Disertasi]. Goettingen: Georg-


August University.
Murray I. 1998. Application of NIRS in Agriculture. In: Iwamoto. M..Kawano. S.
(Eds.). Proceedings of the Second International Near Infrared
Spectroscopy Conference. Tokyo (Japan): Korin Publishing Co. Ltd. P 11-
20.
Naes T, Isaksson T, Fearn T, Davies T. 2004. A User-Friendly Guide to
Multivariate Calibration and Classification. Chichester (UK): NIR
publications.
Nielsen DS, Snitkjaer P, Berg Fv. 2008. Investigating the Fermentation of Cocoa
by Correlating Denaturing Gradient Gel Electrophoresis Profiles and
Near Infrared Spectra. J Food Microbiology 125(2): 133140.
Nicolai BM, Beullens K, Bobelyn E, Peirs A, Saeys W, Theron KI, Lamertyn J.
2007. Nondestructive Measurement of Fruit and Vegetable Quality by
Means of NIR Spectroscopy : a Review. Postharvest Biology and
Technology. 46: 99-118.
Osborne BG, Fearn T, Hindle PH. 1993. Practical NIR Spectroscopy. UK:
Longman Scientific and Technical.
Pandey MM. (editor). 2010. Non-destructive Evaluation of Food Quality : Theory
and Practice. New York (USA): Springer Heidelberg Dordrecht.
Permanyer JJ, Perez ML. 1989. Compositional Analysis of Powdered Cocoa
Products by Near Infrared Reflectance Spectroscopy. J Food Sci 54: 768-
769.
Peterson DW. 1993. Artificial Neural Network. Theory and Application.
Singapore: Simon and Schuster (Asia) Ptd. Ltd.
[Puslitkoka] Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia. 2010. Buku Pintar
Budidaya Kakao. Yogyakarta (ID): Universitas Atma Jaya Agromedia
[Puslitkoka] Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia. 2012. Profil ICCRI.
[internet]. [diacu 2014 Januari 27]. Tersedia dari: http:// www.iccri.net/.
Ragimun. 2013. Analisis Daya Saing Komoditas Kakao Indonesia. [internet].
[diacu 2014 Maret 24]. Tersedia dari:
http://www.kemenkeu.go.id/Kajian/analisis-daya-saing-komoditas-kakao-
indonesia.
Raharjo. 1987. Penelitian Kemungkinan Penggunaan Ragi Untuk Fermentasi
Cokelat di Sulawesi Selatan. Balai Penelitian dan Pengembangan
Industeri. Ujung Pandang. [internet]. [diacu 2014 Agustus 08]. Tersedia
dari: http://elib.pdii.lipi.go.id/katalog/index.php/searchkatalog/byld/21850
Rohman S. 2009. Teknik Fermentasi dalam Pengolahan Biji Kakao. [internet].
[diacu 2014 Februari 13]. Tersedia dari: http:// majarimagazine.com/.
Rubiyo, Siswanto. 2012. Peningkatan Produksi dan Pengembangan Kakao Di
Indonesia. Bul RISTRI. 3 (1): 33-47.
Sheppard N. 2002. The Historical Development of Experimental Techniques in
Vibrational Spectroscopy. In Handbook of Vibrational Spectroscopy.
Chalmers JM and PR Griffiths (Eds.). Vol 1. Chichester (UK): John Wiley
& Sons. p 1-43.
Shepherd KD, Palm CA, Gachengo CN, Vanlauwe B. 2004. Rapid
Characterisation of Organic Resource Quality for Soil and Livestock
59

Management in Tropical Agroecosystems Using Near Infrared


Spectroscopy. Agronomy Journal 95 (5): 1314-1322.
Siesler HW, Ozaki Y, Kawata S, Heise HM. 2002. Near Infrared Reflectance
Spectroscopy : Principles. Instrument and Application. Weinheim: Wiley
VHC Verlag. GmbH.
Sinelli N, Spinardi A, Di Egidio V, Mignani I, Casiraghi E. 2008. Evaluation of
Quality and Nutraceutical Content of Blueberries (Vaccinium corymbosum
L.) by Near and Mid-Infrared Spectroscopy. Postharvest Biology and
Technology. 50: 31-36.
Siregar HST. 2010. Budidaya Coklat. Jakarta (ID): Penebar Swadaya.
Strang GC. 2004. Near Infrared Reflectance Spectroscopy and its Specific
Applications in Livestock Agriculture. School of Bioresources Engineering
and Environmental Hydrology. Pietermaritzburg: University of Kwazulu-
Natal.
Stuth J, Jama A, Tolleson D. 2003. Direct and Indirect Means of Predicting
Forage Quality Through Near-Infrared Reflectance Spectroscopy. Field
Crops Research 84 (2003): 45-56. Elsevier B.V.
Vesela A, Barros AS, Synytsya A, Delgadillo I, Copikova J, Coimbra MA. 2007.
Infrared Spectroscopy and Outer Product Analysis for Quantification of
Fat. Nitrogen. and Moisture of Cocoa Powder. J Analytica Chimica Acta
601: 7786. www.elsevier.com/locate/aca
Whitacre E, Oliver J, van Den Broek R, van Engelen P, Kremers B, van Der Horst
B, Stewart M, Jansenbeuvink A. 2003. Predictive Analysis of Cocoa
Procyanidins Using Near-Infrared Spectroscopy Techniques. J Food Sci
68: 2618 2622.
Widjaya I, Sukirno. 2011. Ironi Industri Kakao. [internet]. [diacu 2012 Januari
27]. Tersedia dari: http://bisnis.vivanews.com/.
Wiliam P, Norris K. 1990. Near Infrared Technology in the Agricultural and
Food Industries. Ed ke-2. Minnesota (USA): American Association of
Cereal Chemists Inc.
Workman J, J Shenk. 2004. Direct and Indirect Using the Near Infrared Spectrum
as an Analytical Method. In : Near Infrared Spectroscopy in Agriculture.
Roberts CA, Workman J and Reeves JB. Ed ke-3. Madison-Wisconsin
(USA): ASA, CSSA and SSSA publication. p 3-10.
60

Lampiran 1. Diagram alir penelitian


61

Lampiran 2. Alat NIRS AntarisTM II MDS


62

Lampiran 3. Peralatan pengukuran kadar air

Penghancur dan pengayak

Cawan keramik

Timbangan

Oven

Exicator
63

Lampiran 4. Peralatan pengukuran kadar lemak

Extraction thimble dan labu


takar

Oven dan exicator

Perlengkapan soxhlet

Rotary evaporator
64

Lampiran 5. Sebaran data kalibrasi dan prediksi untuk biji kakao

Untuk biji kakao utuh :

Untuk bubuk biji kakao :

kalibrasi prediksi
65

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kota Tanjungpinang,


Bumi Segantang Lada Propinsi Kepulauan Riau pada
tanggal 16 Juli 1976 sebagai anak ke-6 dari 7 bersaudara
dari pasangan (Alm) Bapak Zakaria Simatupang dan Ibu
Salmah. Pendidikan sarjana ditempuh pada Jurusan
Teknik Pertanian di Fakultas Teknologi Pertanian
(FATETA), Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur
USMI, lulus tahun 2000. Pada tahun 2002 penulis
melanjutkan kuliah Magister pada Program Studi Ilmu
Keteknikan Pertanian, FATETA IPB dan lulus tahun
2005. Selanjutnya pada tahun 2010 penulis melanjutkan
kuliah Doktor pada Program Studi Ilmu Keteknikan Pertanian, FATETA IPB
dengan beasiswa BPPS DIKTI dan Beasiswa Sandwich-Like luar negeri untuk
pelaksanaan penelitian di Georg August University of Gttingen, Jerman.
Penulis bekerja sebagai dosen pada Jurusan Teknik Pertanian di Fakultas
Pertanian, Universitas Syiah Kuala (UNSYIAH) sejak tahun 2006. Selama
menjadi dosen, penulis aktif dalam mengembangkan Teknologi Tepat Guna
(TTG) bekerjasama dengan Pemerintah Aceh melalui Badan Pemberdayaan
Masyarakat Propinsi Aceh. Mayoritas teknologi yang penulis kembangkan adalah
terkait pengolahan bahan pangan. Selama tiga tahun berturut-turut (2008, 2009
dan 2010) penulis menjadi peserta utusan Propinsi Aceh untuk lomba TTG
Nasional dan puncaknya menjadi Juara Pertama (secara tim) Tingkat Nasional
untuk Lomba TTG di Yogyakarta tahun 2010. Salah satu hasil kerjasama yang
pernah dilakukan adalah mengkontruksi mesin-mesin untuk pembangunan pabrik
pengolahan biji kakao menjadi coklat komersial di Kabupaten Pidie Jaya dengan
merk dagang Socolatte pada tahun 2009. Setelah pabrik bisa mandiri beroperasi,
pada tahun 2010 penulis melanjutkan studi di Sekolah Pascasarjana IPB. Selama
studi S3 penulis telah ikut berkontribusi dalam menerbitkan buku berjudul
Pangan Rakyat : Soal Hidup atau Mati 60 Tahun Kemudian yang diterbitkan
oleh Departemen Agribisnis, FEM IPB dan Perhimpunan Ekonomi Pertanian
Indonesia (PERHEPI). Hasil karya ilmiah yang merupakan bagian dari penelitian
S3 telah dipublikasikan pada Bulletin of Research on Spice and Industrial Crops
Vol 2 (1): 1-10, ISSN: 2085-1685, pada Maret 2013 dengan judul Near Infrared
Reflectance Spectra Acquisition of Cocoa Beans. Selanjutnya publikasi pada
Jurnal Advances in Crop Science and Technology Vol 2 (4): 2-5, ISSN: 2329-
8863, pada 23 Juli 2014 dengan judul Prediction of Fat Content in Intact Cocoa
Beans Using Near Infrared Reflectance Spectroscopy.

Anda mungkin juga menyukai