2014 Zul
2014 Zul
ZULFAHRIZAL
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Zulfahrizal
NIM F16410021
RINGKASAN
Biji kakao sebagai bahan baku pembuatan coklat merupakan salah satu
komoditi ekspor perkebunan yang strategis yang menghasilkan devisa besar untuk
Indonesia. Akan tetapi produk biji kakao Indonesia pada umumnya tidak
difermentasi sehingga harganya rendah di pasaran. Pengawasan mutu kakao
seperti kadar air dan kadar lemak belum dilakukan secara intensif. Penjaminan
mutu biji kakao melalui pengembangan metode pendugaan mutu yang cepat dan
akurat menjadi kata kunci peningkatan daya saing ekspor biji kakao Indonesia
ditingkat dunia.
Pendugaan mutu kakao dan produk turunannya sudah mulai dikembangkan
dalam berbagai penelitian menggunakan teknologi Near Infrared Reflectance
Spectroscopy (NIRS). NIRS telah menjadi salah satu metode non-destruktif yang
paling menjanjikan dan dapat digunakan untuk analisis dalam bidang pertanian.
Keuntungan yang dapat diraih adalah persiapan sederhana untuk sampel, proses
deteksi cepat, dan ramah lingkungan karena tidak ada bahan kimia yang
digunakan. NIRS memiliki kemampuan potensial untuk menentukan beberapa
parameter mutu secara bersamaan. Melalui pengembangan ilmu komputer dan
chemometric, kemampuan aplikasi teknik NIRS menjadi lebih populer. Aplikasi
NIRS untuk kakao dan produk turunannya sudah banyak dilakukan dalam bentuk
bubuk (destruktif) namun ternyata belum dilakukan pada biji kakao utuh. Padahal
masalah pemutuan kakao di Indonesia adalah pada biji kakao utuh. Data
menunjukkan bahwa 82% ekspor kakao Indonesia adalah dalam bentuk biji utuh
(non destruktif).
Secara umum, tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah
mengembangkan metode penentuan tingkat fermentasi dan kandungan mutu pada
biji kakao utuh dengan menggunakan NIRS. Adapun secara khusus, penelitian ini
bertujuan untuk (1) menguji perbedaan spektrum biji kakao tumpukan dengan biji
individu menggunakan Principal Component Analysis (PCA), (2) menentukan
kelompok fermentasi biji kakao utuh secara non-destruktif menggunakan PCA,
(3) memprediksi kadar air dan kadar lemak biji kakao utuh secara non-destruktif
dengan NIR dan Partial Least Squares (PLS), (4) menguji dan membandingkan
antar pretreatment spektrum untuk mendapatkan yang terbaik dalam semua
aktivitas pengujian di atas. Penelitian ini menggunakan sampel biji dari buah
kakao matang varietas Lindak dari Pusat Penelitian Kopi dan Kakao (Puslitkoka)
Indonesia yang mana buah tersebut diperoleh dari kebun yang sama. Pengeringan
dilakukan menggunakan pengering mekanis sampai diperoleh biji kakao kering
layak simpan. Pengambilan spektrum dan uji kimia biji dilakukan di Abteilung
Qualitt Tierischer Erzeugnisse dan Abteilung Qualitt Pflanzlicher Erzeugnisse,
Georg August University of Gttingen, Jerman. Analisis awal untuk
pengembangan teknik akuisisi spektrum biji kakao menggunakan PCA dengan
dibantu pretreatment Savitzky-Golay smoothing (SGs), derivative pertama (D1),
derivative kedua (D2), Multiplicative Scatter Correction (MSC), Standard
Normal Variate (SNV) dan kombinasi diantara kelimanya. Selanjutnya klasifikasi
data untuk penentuan tingkat fermentasi menggunakan PCA dengan pretreatment
MSC dan SNV. Terakhir adalah menentukan kadar air dan kadar lemak
menggunakan PLS sebagai pendekatan regresi data ditambah Multiplicative
Scatter Correction (MSC), Standard Normal Variate (SNV), Mean Normalization
(MN), Orthogonal Signal Correlation (OSC) dan De-Trending (DT).
Penelitian ini mendapatkan tiga hasil utama. Pertama, spektrum NIRS biji
kakao yang didapat setelah diolah oleh PCA dengan bantuan MSC dan SNV,
terlihat bahwa biji individu dan biji tumpukan berada dalam daerah yang hampir
sama. Oleh karena itu, bisa disimpulkan bahwa teknik akuisisi spektrum NIRS
untuk biji kakao utuh secara tumpukan dapat menggantikan teknik akuisisi
spektrum biji utuh individu. Teknik ini dipilih karena lebih cepat dan efesien.
Penelitian juga menghasilkan selang panjang gelombang yang menentukan mutu
biji kakao utuh. Selang panjang gelombang yang berperan memberi informasi
kadar air adalah 1400-1480 nm dan 1900-2000 nm. Untuk kadar lemak, selang
panjang gelombang yang berperan adalah 1160-1220 nm, 1650-1760 nm, 2300-
2400 nm. Terakhir untuk fermentasi panjang gelombang yang berperan adalah
1400-1480 nm, 1900-2000 nm dan 2060-2160 nm.
Kedua, sepektrum NIRS biji kakao yang diolah memakai PCA dengan
bantuan MSC dan SNV terlihat cenderung ter-cluster sesuai dengan kelompok
fermentasi semisal F0 (nonfermentasi), F5 (fermentasi penuh) dan F7 (fermentasi
berlebih). Oleh karena itu, bisa disimpulkan bahwa NIRS dapat digunakan untuk
membedakan kelompok fermentasi biji kakao utuh menggunakan metode PCA
dengan dibantu oleh MSC dan SNV sebagai pretreatment.
Ketiga, hasil pendugaan PLS yang didukung pretreatment pada biji kakao
utuh adalah lebih baik dibandingkan dengan PLS tanpa pretreatment. Hal ini
berlaku untuk pendugaan kadar air maupun kadar lemak. Pada pendugaan kadar
air, PLS yang didukung pretreatment telah menghasilkan prediksi yang tergolong
good model performance. Pretreatment yang dianggap sangat nyata meningkatkan
kinerja PLS adalah MSC, SNV dan OSC. Dimana ketiga pretreatment itu
menghasilkan nilai r masing-masing 0.92, 0.93 dan 0.93 selanjutnya nilai RMSEP
masing-masing 0.54%, 0.54% dan 0.52% serta nilai RPD yang cukup besar, yakni
masing-masing 2.21, 2.21 dan 2.26. Selain itu, pretreatment OSC bisa dikatakan
sebagai pretreatment yang paling efesien yang mampu memangkas jumlah latent
variable paling banyak yakni dari 10 menjadi 3. Pada pendugaan kadar lemak,
PLS yang didukung pretreatment telah menghasilkan prediksi yang tergolong
sufficient performance. Pretreatment yang dianggap paling baik kinerjanya adalah
MSC dan SNV. Keduanya menghasilkan nilai r, RMSEP dan RPD yang sama
yakni masing-masing 0.91, 1.11% dan 1.95. Selanjutnya pretreatment MSC, SNV
dan OSC bersama-sama dapat dikatakan paling efesiensi dilihat dari pengurangan
jumlah latent variable yang sangat signifikan dari 10 menjadi 4. Oleh karena itu,
bisa disimpulkan bahwa PLS dengan bantuan MSC dan SNV konsisten mampu
memprediksi kadar air dan kadar lemak pada biji kakao utuh dengan hasil yang
baik sedangkan OSC konsisten mampu menjadi pretreatment paling efesien.
Kata kunci : Biji kakao utuh, kadar air, kadar lemak, fermentasi, NIRS
SUMMARY
Key words: intact cacao beans, moisture content, fat content, fermentation, NIRS
Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PENGEMBANGAN METODE PENGUKURAN NONDESTRUKTIF
UNTUK MENENTUKAN MUTU DAN FERMENTASI BIJI
KAKAO UTUH MENGGUNAKAN NIR SPECTROSCOPY
ZULFAHRIZAL
Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor
pada
Program Studi Ilmu Keteknikan Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
Penguji pada Ujian Tertutup: Dr Ir Y Aris Purwanto M Sc
Dr Ir Listyani Wijayanti
Judul Tesis : Pengembangan Metode Pengukuran Nondestruktif untuk
Menentukan Mutu dan Fermentasi Biji Kakao Utuh Menggunakan
NIR Spectroscopy
Nama : Zulfahrizal
NIM : F164100021
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Diketahui oleh
Zulfahrizal
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL xiii
DAFTAR GAMBAR xiii
DAFTAR LAMPIRAN xiv
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Tujuan Penelitian 2
1.3 Manfaat Penelitian 3
1.4 Ruang Lingkup Penelitian 3
1.5 Novelti Penelitian 3
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tanaman Kakao 4
2.2 Fermentasi Kakao 5
2.3 Standar Mutu Biji Kakao 7
2.4 Teknologi Near Infrared Reflectance Spectroscopy (NIRS) 8
2.5 Aplikasi Chemometric dalam Analisis Pangan 12
2.6 Metode Pretreatment Spektrum 13
2.7 Metode Principal Component Analysis (PCA) 15
2.8 Metode Partial Least Squares (PLS) 17
2.9 Aplikasi NIRS untuk Produk Kakao 19
3 AKUISISI SPEKTRUM NIR PADA BIJI KAKAO UTUH
3.1 Pendahuluan 21
3.2 Bahan Metode 22
3.3 Hasil dan Pembahasan 24
3.4 Kesimpulan 29
4 APLIKASI NIRS UNTUK PREDIKSI TINGKAT FERMENTASI PADA
BIJI KAKAO UTUH
4.1 Pendahuluan 30
4.2 Bahan dan Metode 31
4.3 Hasil dan Pembahasan 32
4.4 Kesimpulan 37
5 PREDIKSI KADAR AIR DAN KADAR LEMAK PADA BIJI KAKAO
UTUH
5.1 Pendahuluan 38
5.2 Bahan dan Metode 39
5.3 Hasil dan Pembahasan 42
5.4 Kesimpulan 48
6 PEMBAHASAN UMUM
6.1 Hasil Penelitian Pendahuluan 49
6.2 Analisis Tingkat Fermentasi dengan Metode PCA 50
6.3 Analisis Kadar Air dan Kadar Lemak dengan Metode PLS 52
6.4 Analisis Penggunaan Metode Pretreatment 53
7 KESIMPULAN DAN SARAN
7.1 Kesimpulan 55
7.2 Saran 55
DAFTAR PUSTAKA 56
LAMPIRAN 60
RIWAYAT HIDUP 65
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Komposisi kimia biji kakao sebelum dan setelah fermentasi 6
Tabel 2.2 Persyaratan mutu umum biji kakao 8
Tabel 2.3 Persyaratan mutu khusus biji kakao 8
Tabel 4.1 Perhitungan akurasi hasil prediksi untuk penggolongan fermentasi
biji kakao utuh baik pada PCA + SNV maupun pada PCA + MSC 35
Tabel 5.1 Acuan pengukuran dalam set kalibrasi dan set prediksi biji kakao 42
Tabel 5.2 Hasil kalibrasi dan prediksi kadar air biji kakao utuh 43
Tabel 5.3 Hasil kalibrasi dan prediksi kadar air bubuk biji kakao 45
Tabel 5.4 Hasil kalibrasi dan prediksi kadar lemak biji kakao utuh 46
Tabel 5.5 Hasil kalibrasi dan prediksi kadar lemak bubuk biji kakao 47
Tabel 6.1 Hasil PLS untuk raw data 52
Tabel 6.2 Pengaruh pretreatment pada pendugaan biji kakao utuh 53
Tabel 6.3 Pengaruh pretreatment terhadap effesiensi hasil dugaan 54
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Biji kakao yang diselimuti pulp terangkai pada plasenta 5
Gambar 2.2 Perbedaan warna bagian dalam biji kakao berdasarkan
tingkat fermentasi 7
Gambar 2.3 Bentuk spektrum near infrared untuk beberapa bahan biologik 9
Gambar 2.4 Distribusi ikatan organik utama gelombang elektromagnetik 10
Gambar 2.5 Interaksi sinar NIRS dengan bahan biologik 10
Gambar 2.6 Sketsa intrumen pengukur NIRS 11
Gambar 3.1 Pembentukan lapisan untuk sampel biji tumpukan 22
Gambar 3.2 Akuisisi spektrum biji individu 23
Gambar 3.3 Akuisisi spektrum NIRS (a) Posisi sumber sinar (b) biji tumpukan
dan (c) bubuk biji 23
Gambar 3.4 Pilihan kombinasi metode pretreatment 24
Gambar 3.5 Spektrum hasil pemindaian NIRS untuk (a) biji kakao individu.
(b) biji kakao tumpukan dan (c) bubuk biji kakao 25
Gambar 3.6 Hasil analisis PCA untuk (a) data tanpa pretreatment dan (b) data
dengan penambahan SGs 26
Gambar 3.7 Hasil analisis PCA untuk penambahan (a) MSC dan (b) SNV 26
Gambar 3.8 Hasil analisis PCA untuk (a) SGs+MSC dan (b) SGs+SNV 26
Gambar 3.9 Hasil analisis PCA untuk (a) SGs+D1 dan (b) SGs+D1 27
Gambar 3.10 Hasil analisis PCA untuk pretreatment (a) SGs+MSC+D1,
(b) SGs MSC+D2, (c) SGs+SNV+D1, (d) SGs+SNV+D2 27
Gambar 3.11 Loading plot untuk penambahan (a) MSC dan (b) SNV 28
Gambar 3.12 Loading plot untuk penambahan (a) D1 dan (b) D2 28
Gambar 3.13 Spektrum biji kakao mengandung informasi kandungan zat 29
Gambar 4.1 Rantai kimia procyanidin pada biji kakao 31
Gambar 4.2 Letak procyanidin dan amonia pada spektrum biji kakao utuh 33
Gambar 4.3 Hasil analisis PCA tanpa pretreatment 33
Gambar 4.4 Hasil PCA + SNV untuk data kalibrasi biji kakao utuh 34
Gambar 4.5 Hasil PCA + MSC untuk data kalibrasi biji kakao utuh 34
Gambar 4.6 Hasil PCA + SNV untuk data prediksi biji kakao utuh 35
Gambar 4.7 Hasil PCA + MSC untuk data prediksi biji kakao utuh 35
Gambar 4.8 Hasil olahan PCA + SNV untuk bubuk kakao 36
Gambar 4.9 Hasil olahan PCA + MSC untuk bubuk kakao 36
Gambar 4.10 Loading plot hasil analisis pada biji utuh (a) PCA+MSC,
(b) PCA+SNV 37
Gambar 4.11 Loading plot hasil analisis pada bubuk biji (a) PCA+MSC,
(b) PCA+SNV 37
Gambar 5.1 Sampel biji kakao dalam (a) paket kecil 40-45 gram (b) bentuk
bubuk dalam botol plastik 40
Gambar 5.2 Letak kadar air dan lemak pada spektrum biji kakao utuh 43
Gambar 5.3 Plot data kalibrasi-prediksi kadar air tanpa pretreatment 44
Gambar 5.4 Plot data kalibrasi-prediksi kadar air setelah pretreatment
(a) MSC untuk biji utuh dan (b) SNV untuk biji utuh 44
Gambar 5.5 Plot data kalibrasi-prediksi kadar lemak tanpa pretreatment 47
Gambar 5.6 Plot data kalibrasi-prediksi kadar lemak setelah pretreatment
(a) MSC untuk biji utuh dan (b) SNV untuk biji utuh 47
Gambar 6.1 Perubahan bentuk spektrum biji utuh pada berbagai tingkat
fermentasi 51
Gambar 6.2 Perubahan bentuk spektrum bubuk biji pada berbagai tingkat
fermentasi 51
DAFTAR LAMPIRAN
Indonesia dikenal sebagai negara pengekspor biji kakao dunia dengan nilai
devisa pada tahun 2011 mencapai US$ 1.345 miliar. Biji kakao yang merupakan
komoditi perkebunan yang strategis dipakai sebagai bahan dasar untuk membuat
coklat, diproduksi sekitar 550 ribu ton di Indonesia setiap tahunnya. Pada tahun
2010 dari luas 1 651 539 ha areal kakao, sekitar 1 555 596 ha atau 94% adalah
kakao rakyat. Areal dan produksi kakao Indonesia meningkat pesat pada dekade
terakhir dengan laju 5.99% per tahun. Saat ini areal pengembangan kakao di
Indonesia meliputi Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara,
Sulawesi Tengah, Papua Barat, Jawa Timur, Lampung, Sumatera Barat, Sumatera
Utara dan Aceh. Hal ini mengidentifikasikan peran penting kakao baik sebagai
sumber lapangan kerja maupun pendapatan bagi petani (Widjaya dan Sukirno
2011; Rubiyo dan Siswanto 2012; Ragimun 2013).
Berbanding terbalik dengan semakin luasnya daerah pengembangan kakao
Indonesia, akhir-akhir ini produksi dan produktivitas kakao di Indonesia malah
terus mengalami penurunan yang sangat berarti. Selain tingkat produktivitas yang
lebih kecil dibandingkan dengan potensi klon atau tanaman yang ada, aspek mutu
juga mengalami penurunan. Menurunnya mutu dan daya saing produk
dipengaruhi oleh banyak faktor dan yang menjadi sorotan utama pada penelitian
ini adalah penanganan pascapanen kakao. Hasibuan et al. (2012) mengatakan
hasil analisis CMSA (Constant Market Share Analysis) untuk biji kakao
menunjukkan bahwa ekspor biji kakao Indonesia kurang memiliki daya saing
untuk pasar ASEAN, Amerika Serikat, Uni Eropa dan China. Hal ini terjadi
karena produk biji kakao Indonesia dikenal memiliki mutu rendah sehingga hanya
dijadikan sebagai campuran di negara-negara industri kakao serta memiliki harga
yang lebih rendah dari negara eksporir lainnya. Namun jika dilihat dari initial
specialization, biji kakao Indonesia untuk keempat pasar tujuan ekspor tersebut
berada dalam kategori dapat dikembangkan. Artinya untuk dapat meningkatkan
daya saing ekspor, Indonesia harus meningkatkan mutu produk melalui proses
fermentasi dan penanganan pascapanen lainnya.
Indonesia perlu menstandarkan biji kakao ekspornya sesuai dengan standar
yang dipakai oleh negara-negara industri pengolah kakao. Menurut Mulato et al.
(2009), kalangan industri menilai mutu biji kakao tergantung tiga aspek yaitu (1)
rendemen lemak, (2) kemurnian dan kontaminasi, dan (3) aroma dan citarasa.
Aspek pertama selain ditentukan oleh bahan tanaman juga oleh kondisi
lingkungan kebun (kesuburan dan agroklimat), sedangkan aspek kedua dan ketiga
lebih banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor pengolahan.
Oleh karena itu, penanganan pascapanen menjadi kunci keberhasilan
peningkatan mutu biji kakao Indonesia. Selanjutnya yang harus diperhatikan
adalah kontrol mutu biji kakao mengingat selama ini konsistensi mutu produk
pertanian Indonesia secara umum masih rendah. Metode penentuan mutu secara
cepat dan tepat diperlukan untuk menghasilkan komoditas kakao standar mutu
tinggi yang disyaratkan negara konsumen. SNI menetapkan standar mutu biji
2
kakao dilihat secara fisik seperti dari kadar air, kontaminasi terhadap serangga,
benda asing dan berbagai aroma yang dapat merusak aroma khas kakao (BSN
2008). Secara khusus Mulato et al. (2009) mengatakan bahwa mutu kakao
ditentukan oleh rendemen lemak, aroma dan citarasa, karena komponen-
komponen inilah yang biasanya menentukan sensasi dalam menikmati coklat.
Pendugaan mutu kakao biasanya dilakukan melalui uji laboratorium (secara
destruktif), dimana biji kakao dihancurkan dan diambil sarinya yang kemudian
dianalisis dengan metode standar kimia yang umum di laboratorium. Faktanya,
metode kimia ini menghabiskan waktu yang cukup lama dan mahal, sehingga
tidak cocok diterapkan di industri yang memerlukan metode yang sangat cepat
dan tidak merusak (non-destruktif) untuk menganalisis mutu kakao.
Pendeteksian mutu pangan yang cepat dan efesien dapat diwujudkan melalui
pengembangan teknologi Near Infrared Reflectance Spectroscopy (NIRS). NIRS
telah menjadi salah satu metode non-destruktif yang paling menjanjikan dan dapat
digunakan untuk analisis dalam berbagai bidang, termasuk di bidang pertanian.
Keuntungan yang dapat diraih adalah persiapan sederhana untuk sampel, proses
deteksi cepat, dan ramah lingkungan karena tidak ada bahan kimia yang
digunakan. Lebih penting lagi, NIRS memiliki kemampuan potensial untuk
menentukan beberapa parameter mutu secara bersamaan. Melalui pengembangan
ilmu komputer dan chemometric, kemampuan aplikasi teknik NIRS menjadi lebih
populer dan menarik banyak perhatian para peneliti dalam bidang pangan.
Komponen dengan prosentase konsentrasi 0.1% dapat dideteksi dan dievaluasi
menggunakan NIRS (Cen dan He 2007; Munawar 2014).
Mengingat potensi kakao di Indonesia yang begitu besar dan tingginya
permintaan konsumen industri (terutama luar negeri) terhadap mutu produk, maka
sudah sepantasnya dikembangkan metode untuk pengukuran mutu kakao yang
memenuhi syarat cepat dan akurat. Penelitian yang terkait kakao serta produk
turunannya dengan memakai NIRS cukup banyak dilakukan. Contohnya Nielsen
et al. (2008), Aculey et al. (2010), dan Hue (2014) melakukan penelitian pada biji
kakao yang dibubukkan. Kemudian Kaffka et al. (1982), Permanyer dan Perez
(1989), Vesela et al. (2007) meneliti bubuk kakao. Selanjutnya Whitacre et al.
(2003) menggunakan kakao liquors. Berikutnya Bollinger et al. (1999)
mengambil cocoa butter dan coklat dalam bentuk cairan, sementara Moros et al.
(2007) memilih coklat komersial. Penelitian yang lebih lengkap adalah yang
dilakukan oleh Davies et al. (1991) yang penelitiannya mencangkup bubuk biji
kakao mentah, bubuk biji kakao sangrai, block mass coklat dan blok coklat jadi.
Namun ternyata belum ada yang mencoba meneliti langsung pada biji kakao utuh
sehingga penelitian dengan menggunakan NIRS pada biji kakao utuh menjadi hal
yg menarik untuk dilakukan.
Secara umum, tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah
mengembangkan metode penentuan tingkat fermentasi dan kandungan mutu pada
biji kakao utuh dengan menggunakan NIRS. Adapun secara khusus, penelitian ini
bertujuan untuk:
3
Merujuk data Ditjenbun 2010 dari 535 236 ton ekspor kakao Indonesia,
sebanyak 439 305 ton atau lebih dari 82% diekspor dalam bentuk biji. Selebihnya
diekspor dalam bentuk kakao buah, pasta, lemak, tepung dan makanan yang
mengandung coklat. Artinya, devisa negara dari kakao terbesar adalah dari ekspor
biji kakao. Sementara diketahui bahwa biji kakao Indonesia dianggap bermutu
rendah karena tidak ada metode praktis untuk menguji keseragaman mutu kakao
seperti antara kakao fermentasi dan tidak fermentasi. Akibat dari itu semua, harga
biji kakao Indonesia sangat rendah di pasar internasional dan terkena diskon
hingga US$ 200/ton atau 10%-15% dari harga pasar (Hasibuan et al. 2012)
Penelitian ini diharapkan mampu menemukan metode praktis, cepat dan
akurat (skala laboratorium) untuk pengujian keseragaman sampel mutu biji kakao
agar dapat meningkatkan daya saing harga kakao Indonesia di pasar internasional.
Selain itu diharapkan penjaminan mutu secara langsung dari biji kakao kering
akan lebih menguntungkan petani kakao agar terhindar dari penipuan harga oleh
para tengkulak.
Penelitian ini akan dibatasi pada penelitian biji kakao mentah utuh dan biji
kakao yang dijadikan bubuk sebagai data pembanding. Biji kakao yang digunakan
berasal dari buah kakao varietas Lindak yang ditanam di Pusat Penelitian Kopi
dan Kakao Indonesia di Jember, Jawa Timur. Kemudian untuk pengujian atribut
kakao adalah dibatasi pada atribut utama pemutuan yakni tingkat fermentasi,
kadar air dan kadar lemak, sedangkan pengolahan datanya menggunakan
Principal Component Analysis (PCA) dan Partial Least Squares (PLS). Untuk
pretreatment digunakan Smoothing Savizky-Golay (SGs), First and Second
Derivative (D1 dan D2), Mean Centering (MC), Mean Normalization (MN), De-
trending (DT), Multiplicative Scatter Correction (MSC), Standard Normal
Variate (SNV) dan Orthogonal Signal Correction (OSC).
dark chocolates dan coklat komersial. Sebagai contoh Nielsen et al. (2008),
Aculey et al. (2010) dan Hue et al. (2014) melakukan penelitian pada biji kakao
yang dibubukkan. Kemudian Kaffka et al. (1982), meneliti bubuk kakao begitu
juga dengan Permanyer dan Perez (1989), Vesela et al. (2007), melakukan
penelitian pada bubuk kakao yang dicampur sukrosa, cocoa fiber dan susu.
Selanjutnya Whitacre et al. (2003) menggunakan kakao liquors yakni biji kakao
yang telah digiling halus dan hasilnya seperti bubur halus dari biji coklat yang
bercampur dengan lemak coklat. Berikutnya Bollinger et al. (1999) mengambil
cocoa butter dan coklat dalam bentuk cairan sebagai bahan uji untuk melihat
viskositas dan kandungan kristal, sementara Moros et al. (2007) memilih coklat
komersial untuk diteliti kadar karbohidrat, lemak dan protein. Penelitian yang
lebih lengkap adalah yang dilakukan oleh Davies et al. (1991) yang penelitiannya
mencakup bubuk biji kakao mentah, bubuk biji kakao sangrai, block mass coklat
dan blok coklat jadi untuk melihat kadar air dan kadar lemak.
Mempelajari berbagai penelitian di atas, dapat disusun novelti untuk
penelitian ini adalah :
1. Penelitian ini meneliti langsung pada biji kakao mentah kering utuh yang mana
belum pernah dilakukan oleh peneliti lain baik di dalam maupun di luar negeri.
2. Penelitian ini menerapkan penggunaan pretreatment spektrum yang berbeda
dan membandingkan dampaknya dengan ketahanan dan akurasi hasil kalibrasi
dan prediksi. Melalui penelitian ini diharapkan ditemukan metode pretreatment
yang paling sesuai untuk pengolahan biji kakao utuh.
2 TINJAUAN PUSTAKA
Biji tumbuhan kakao jika diolah akan menghasilkan produk yang dikenal
sebagai coklat yang merupakan bahan pangan kegemaran masyarakat karena rasa
istimewa dan dipercaya mempunyai khasiat tertentu. Sebelum biji kakao diolah
menjadi produk coklat, biji kakao harus difermentasi terlebih dahulu dengan
tujuan untuk menghancurkan pulp yang membungkus biji coklat dengan bantuan
6
Tabel 2.1 Komposisi kimia biji kakao sebelum dan setelah fermentasi
Komposisi Sebelum Fermentasi (%) Setelah Fermentasi (%)
Kulit biji 9.63 10.71
Lembaga 0.77 0.70
Keping biji 89.60 -
Lemak 53.03 54.68
Air 3.69 2.13
Total abu 2.63 2.74
Nitrogen 5.78 -
Total N 2.28 2.16
Protein 1.50 1.34
Amonia 0.028 0.0024
Amida 0.199 0.336
Theobromin 0.71 1.42
Kafein 0.085 0.0068
Karbohidrat 14.31 -
Glukosa 0.30 0.10
Pati 6.10 6.14
Pectin 2.25 4.11
Serat 2.09 2.13
Sellulosa 1.92 1.90
Pentosa 1.27 1.21
Gum 0.38 1.84
Tannin 7.554 6.15
Asam- asam 0.304 -
Asetat 0.104 0.136
Oksalat 0.29 0.30
Sumber: Raharjo (1987)
mengurangi sampai sekitar 39.5% kandungan total polifenol yang mana total
polifenol dalam biji kakao adalah sekitar 120-180 gram per kg dari berat kering
biji kakao. Tingkat fermentasi bisa diketahui dengan deteksi kandungan total
polifenol khususnya procyanidin yang terdapat sekitar 58% dari kandungan total
polifenol dalam biji kakao kering. Procyanidin digambarkan dengan rantai R-OH.
(Misnawi et al. 2002; Whitacre 2003; Misnawi et al. 2004; Misnawi 2009; Hii et
al. 2009). Selain itu analisis terhadap senyawa volatile dan perubahan kadar NH3
(amonia) juga bisa digunakan untuk menilai tingkat fermentasi (Aculey et al.
2010 dan Hue et al. 2014).
Mulato et al. (2009) mengatakan bahwa derajat fermentasi berdasarkan
warna keping biji dapat diklasifikasikan menjadi beberapa tingkat yaitu :
1. Fermentasi kurang, menghasilkan keping biji berwarna ungu penuh (tanpa
fermentasi), warna ungu seperti batu tulis (fermentasi 1 hari) warna ungu dan
coklat sebagian (fermentasi 2 - 3 hari) serta warna coklat dengan sedikit ungu
(fermentasi 4 hari).
2. Terfermentasi sempurna, menghasilkan keping biji berwarna coklat dominan.
3. Fermentasi berlebihan, menghasilkan warna keping biji coklat gelap dan
berbau tidak enak.
Menurut panduan yang dikeluarkan Badan Standarisasi Nasional (2008),
untuk menentukan tingkat fermentasi pada biji kakao dilakukan dengan cara
memotong secara memanjang bagian tipis biji kakao. Tingkat fermentasi
ditentukan dari warna hasil belahan (Gambar 2.2).
Standar mutu diperlukan sebagai tolok ukur untuk pengawasan. Pada bisnis
kakao internasional, mutu mempunyai dua pengertian yang mendasar. Pertama,
pengertian umum, dimana mutu adalah suatu parameter yang dikaitkan dengan
sifat fisik, kimiawi, kebersihan, cita rasa dari biji kakao. Sedangkan kedua,
pengertian yang luas, dimana mutu adalah suatu ukuran yang dikaitkan dengan
akseptabilitas dari biji kakao yang diproduksi oleh perusahaan tertentu oleh
pembeli atas dasar standar proses produksi yang diakui internasional (Mulato et
al. 2009)
Penentuan standar mutu untuk mutu biji kakao secara umum dapat
dikelompokkan dalam beberapa bagian seperti karakteristik fisik dan tingkat
8
kontaminasi. Standar mutu terbagi atas dua yaitu syarat mutu umum (Tabel 2.2)
dan syarat khusus (Tabel 2.3).
Gambar 2.3 Bentuk spektrum near infrared untuk beberapa bahan biologik
(Sheperd et al. 2004)
NIRS berada pada panjang gelombang 780 2500 nm (12.500 4.000 cm-1)
dan mengandung lebih banyak struktur informasi yang komplek karena pola
kombinasi ikatannya. Rekaman wilayah gelombang elektromagnetik NIRS
merupakan respon dari ikatan molekul O-H, C-H, C-O dan N-H (Gambar 2.4).
10
Ikatan ini menyebabkan perubahan energi getaran ketika teradiasi oleh frekuensi
NIRS, yaitu getaran meregang (strecth) dan tertekuk (bent) (Cen dan He 2007).
Menurut Munawar (2008), ketika sebuah sinar yang berasal dari sebuah
sumber jatuh mengenai obyek, maka akan terjadi interaksi antara obyek dan sinar
tersebut yang mana obyek akan memberi respon berupa pantulan, serapan dan
terusan (Gambar 2.5). Respon pantulan (reflectance) dapat berupa pantulan
langsung (specular reflectance) yang mana sinar sepenuhnya dipantulkan kembali
oleh obyek, pantulan semu (diffuse reflectance) yang mana sinar diserap terlebih
dahulu dan kemudian dipantulkan. Respon serapan (absorbance) merupakan
fenomena di mana seluruh sinar pada panjang gelombang tertentu sepenuhnya
diserap oleh bahan, dan respon terusan (transmittance) merupakan respon di mana
sinar pada panjang gelombang tertentu menembus bahan (Siesler et al. 2002;
Munawar 2008 ).
Menurut Siesler (2002), setiap bentuk atau respon yang terjadi dari radiasi
elektromagnetik ini membawa energi foton yang besarnya berbeda-beda. Foton,
sebagaimana didefinisikan oleh Brown et al. (2000) adalah radiasi energi terendah
yang terdapat pada radiasi elektromagnetik.
Sumber cahaya
Pantulan semu
Pantulan langsung
Transmitan
Keterangan :
(1) sumber sinar
(2) sistem splitter beam
(3) reflektor
(4) ruang sampel
(5) detektor refleksi difusi
(6) detektor transmisi
(7) sistem analisa kontrol dan pengolah
data dan
(8) printer
Pada prinsipnya, instrumen NIRS terdiri atas sumber sinar, sistem splitter
beam, pendeteksi sampel, pendeteksi sinar dan sistem analisis pengolahan data
(Gambar 2.6). Untuk sumber sinar biasanya digunakan lampu Halogen Tungsten
yang murah atau bisa juga lampu LED yang mahal. Sistem splitter beam berguna
menerjemahkan sinar multi warna menjadi sinar tunggal seperti sinar filter,
interferometer dan grating. Pendeteksi sampel disesuaikan dengan bentuk sampel
seperti cair atau padat. Komputer digunakan untuk akuisisi data, komunikasi
kontrol analisis dan analisis numerik pada sistem spectrometer. Parameter NIR
spectrometer dipertimbangkan untuk memperoleh kinerja optimum instrumen.
12
r = a + brm + v (1)
(2)
(3)
(4)
Dimana p adalah contoh ke-p dan n adalah parameter ke-n yang diukur. Analisis
PCA bertujuan untuk mendapatkan sebuah ruang vektor berdimensi m, dimana
m<n, sehingga ruang vektor berdimensi m mencakup hampir seluruh variasi data.
Untuk mendapatkannya, ruang vektor berdimensi n diproyeksikan ke ruang vektor
berdimensi m dengan memilih setiap arah variasi maksimum tetapi setiap arah
variasi data tersebut saling tegak lurus (ortogonal). Variasi-variasi data inilah yang
disebut komponen utama. Algoritma PCA sebagai berikut (Paterson 1993) :
1. Komponen utama pertama dipilih dalam arah variasi maksimum dengan
persamaan :
y1 = Xw1 (5)
16
Nilai y1 dan w1 adalah vektor kolom. Nilai ini harus dibatasi karena
variasi data dapat dibuat semakin besar dengan cara menaikkan nilai w1. Hal
tersebut dapat dibatasi dengan normalisasi menggunakan persamaan :
(6)
(9)
(10)
= (11)
(12)
dan (13)
(14)
17
dan (15)
(16)
(17)
(18)
(19)
U = X 1x (20)
v = c 1c (21)
U = vpa + E (22)
(23)
dimana k adalah scaling faktor yang membuat panjang sama dengan satu
dan jika dibutuhkan dapat dimodifikasi (misalnya dengan perlakuan
smoothing) sebelum dinormalisasi.
2. Menghitung faktor-faktor regresi (ta) dengan kuadrat terkecil dari nilai
dengan persamaan :
(24)
(c 1c) = Tq + f (25)
dimana T adalah faktor regresi laten, q adalah loading vektor data destruktif
dan f adalah error.
4. Persiapan residual baru dengan persamaan
(26)
(27)
Pada tahap prediksi oleh metode PLS, untuk menentukan model regresi dari
sebuah data spektra NIR xi, ditentukan residual data spektranya dengan
persamaan :
(28)
(29)
(30)
dimana
(31)
kakao khas negara Ghana yang dibubukkan menyimpulkan bahwa NIR memakai
PCA mampu memprediksi waktu fermentasi biji kakao berdasarkan analisis
senyawa volatil dan pembentukan asam asetat. Penelitian lebih luas dilakukan
oleh Hue et al. (2014) yang mengumpulkan biji kakao (dibubukkan) dari beberapa
negara seperti Ekuador, Madagaskar, Republik Dominika, Kamerun, Ghana,
Indonesia dan Trinidad Tobago. Hasilnya ditemukan bahwa korelasi antara
metode Conway dan NIRS memungkinkan pengembangan pendugaan NH3 yang
diproduksi selama fermentasi sehingga bisa dipakai untuk mengurutkan biji kakao
sesuai tingkat fermentasi.
Permanyer dan Perez (1989) melakukan penelitian untuk menentukan kadar
air, lemak dan sukrosa pada bubuk kakao. Hasilnya dapat disimpulkan bahwa
metode NIRS seakurat uji kimia untuk menentukan kadar air, lemak dan sukrosa
pada bubuk kakao. Sementara Kaffka et al. (1982) mencoba untuk menentukan
kadar lemak, kadar protein dan kadar karbohidrat. Hasilnya metode NIRS dapat
memberikan hasil yang memuaskan. Oleh karena itu, teknik NIRS bisa digunakan
dalam pengendalian mutu produk kakao bubuk. Vesela et al. (2007), melakukan
penelitian pada bubuk kakao yang dicampur sukrosa, cocoa fiber dan susu.
Penelitian ini mencoba untuk mendeteksi kandungan lemak, nitrogen dan kadar
air dengan membandingkan NIR dan Fourier Transform Infrared Spectroscopy
(FTIR). Hasilnya NIR baik digunakan untuk menduga kadar air, nitrogen dan
kadar lemak dengan nilai RMSECV masing-masing sebesar 5.2% (R2 = 0.94),
1.7% (R2 = 0.98) dan 7.0% (R2 = 0.96).
Whitacre et al. (2003) menggunakan NIRS untuk analisa tingkat fermentasi
dengan menganalisa kandungan procyanidin. Bahan yang digunakan adalah kakao
liquors yakni biji kakao yang telah digiling halus dan hasilnya seperti bubur halus
dari biji coklat yang bercampur dengan lemak coklat. Hasilnya dapat disimpulkan
bahwa NIRS mampu bekerja dengan baik dengan tingkat akurasi yang tinggi.
Moros et al. (2007) melakukan penelitian pada coklat komersial untuk menguji
kadar karbohidrat, kadar lemak dan kadar protein dengan ANN sebagai metode
regresi. Hasilnya RMSEP nilai yang diperoleh untuk karbohidrat, lemak, nilai
energik dan kakao masing-masing adalah 1.0% (b / b), 1.0% (b / b), 50 kJ (100 g)
-1 dan 1.4%. Error relatif maksimum untuk prediksi dari setiap parameter untuk
sampel baru tidak melebihi 5.2%.
Cambrai et al. (2009) membuat penelitian menarik yakni memprediksi asal
geografis dari produk kakao berupa dark chocolates. Penentuan asal geografis
kakao yang akan digunakan untuk memproduksi coklat berdasarkan analisis dari
senyawa volatile sampel coklat. Analisis kadar volatil dan pengolahan statistiknya
dengan analisis multivariat cenderung untuk membentuk kelompok-kelompok
independen untuk Afrika dan Madagaskar, bahkan jika beberapa sampel coklat
dianalisis muncul pada pencampuran zona bersama dengan sampel dari Amerika.
Analisis ini juga memungkinkan pemisahan yang jelas antara coklat Karibia dan
coklat dari tempat yang lain. Komposisi tinggi (seperti linalool atau (E. E)-2.4-
decadienal) karakteristik coklat yang berbeda asal-usul geografis juga
diidentifikasi. Metode ini menjelaskan bahwa pekerjaan ini (destilasi, analisis GC,
dan perawatan statistik) dapat meningkatkan pengendalian asal geografis coklat
selama proses produksi yang panjang.
Penelitian-penelitian di atas juga menghasilkan identifikasi panjang
gelombang yang berperan dalam menentukan kandungan kadar air, lemak dan
21
tingkat fermentasi. Untuk identifikasi kadar air diketahui pada panjang gelombang
1906 nm, 1939 nm dan 1940 nm. Untuk identifikasi kadar lemak diketahui pada
panjang gelombang 1200 nm, 1730 nm, 1744 nm, 1760 nm, 2250-2300 nm, 2322
nm, 2334 nm, 2340 nm, 2343 nm dan 2360 nm. Dan untuk identifikasi tingkat
fermentasi diketahui pada panjang gelombang 1460 dan 2140 nm.
3.1 Pendahuluan
Ekspor biji kakao Indonesia kurang memiliki daya saing karena produk biji
kakao Indonesia dikenal hanya menjadi bahan campuran di negara-negara industri
kakao padahal 82% ekspor kakao Indonesia adalah dalam bentuk biji. Namun biji
kakao Indonesia sebenarnya masih dapat dikembangkan jika pemutuan biji kakao
dapat ditingkatkan sesuai permintaan negara-negara tujuan ekspor kakao seperti
ASEAN, USA, Uni Eropa dan China (Hasibuan et al. 2012). Oleh karena itu
metode penentuan mutu secara cepat dan tepat diperlukan untuk menghasilkan
komoditas kakao standar mutu tinggi yang disyaratkan negara konsumen.
Salah satu metode yang saat ini sedang berkembang dan digunakan untuk
mendeteksi mutu suatu produk pertanian adalah metode pantulan infra merah
dekat atau Near Infrared Reflectance Spectroscopy (NIRS). Metode ini dapat
menganalisis mutu produk pertanian dengan waktu yang sangat cepat dan
dilakukan secara non-destruktif atau tanpa merusak buah bahkan tanpa menyentuh
produk tersebut.
Penelitian yang terkait dengan penggunaan NIRS pada produk kakao telah
dimulai dari biji yang dibubukkan sampai pada produk olahan kakao. Penelitian
terkait pada bubuk biji kakao dilakukan oleh Nielsen et al. (2008), Aculey et al.
(2010) dan Hue et al. (2014). Berikutnya pada kakao liquors dari biji mentah dan
panggang dilakukan oleh Whitacre (2003). Penelitian pada bubuk kakao
dilakukan oleh Permanyer dan Perez (1989), Kaffka et al. (1982) dan Vesela et al.
(2007). Selanjutnya untuk penelitian pada coklat komersial dilakukan oleh Moros
et al. (2007). Cambrai et al. (2009) membuat penelitian pada dark chocolates.
Yang menarik adalah penelitian Davies et al. (1991) mencoba untuk
membandingkan spektrum mulai dari bubuk biji kakao mentah, bubuk biji
sangrai, mass coklat dan coklat jadi. Penelitian-penelitian di atas juga
menghasilkan identifikasi panjang gelombang yang berperan dalam menentukan
kandungan kadar air, lemak dan tingkat fermentasi. Untuk identifikasi kadar air
diketahui pada panjang gelombang 1906 nm, 1939 nm dan 1940 nm (Permanyer
dan Perez 1989, Davies et al. 1991 dan Vesela et al. 2007). Untuk identifikasi
kadar lemak diketahui pada panjang gelombang 1200 nm, 1730 nm, 1744 nm,
1760 nm, 2250-2300 nm, 2322 nm, 2334 nm, 2340 nm, 2343 nm dan 2360 nm
(Davies et al. 1991, Moros et al. 2007 dan Vesela et al. 2007). Dan untuk
identifikasi tingkat fermentasi diketahui pada panjang gelombang 1460 dan 2140
nm (Whitacre et al. 2003).
Meninjau penelitian-penelitian di atas bisa dikatakan bahwa penelitian
terkait langsung pada biji kakao utuh belum dilakukan dan menjadi menarik
22
mengingat 82% ekspor Indonesia adalah dalam bentuk biji utuh. Pengembangkan
teknik akuisisi spektrum NIRS menjadi kata kunci untuk dipecahkan. Oleh karena
itu, tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah menguji perbedaan
spektrum biji kakao tumpukan dengan biji individu menggunakan Principal
Component Analysis (PCA). Selain itu penelitian ini juga ingin menemukan
selang panjang gelombang yang mengandung informasi mutu biji kakao utuh.
Sampel Kakao
Penelitian ini menggunakan buah kakao matang varietas Lindak yang
merupakan hasil panen bulan Februari-Maret 2012 dari kebun yang sama.
Pengeringan dilakukan dengan menggunakan pengering mekanis sampai
diperoleh biji kakao kering layak simpan. Biji kering disortir lalu dikemas dalam
plastik tertutup rapat disimpan dalam lemari pendingin bersuhu di bawah 200C
sebelum dibawa ke Gttingen, Jerman.
Sesampainya di Gttingen-Jerman sampel disimpan di ruang dengan suhu
kurang dari 200C selama lebih kurang 2 minggu. Selanjutnya sampel biji kakao
dibagi atas 3 macam bentuk untuk diambil spektrumnya yakni :
a) Biji individu, didapat dengan cara memilih biji yang permukaannya datar dan
mempunyai diameter > 1 cm sesuai dengan lubang sinar pada alat NIRS yang
ada. Jumlah sampel yang didapat sebanyak 71 buah.
b) Biji tumpukan, didapat dengan cara menyusun biji dalam petridish sebanyak 4
lapisan (Gambar 3.1). Jumlah sampel yang didapat sebanyak 70 tumpukan.
c) Biji bubuk, didapat dengan menghancurkan biji kakao dan diayak dengan
ayakan berukuran 24 mesh untuk mendapatkan ukuran yang seragam. Jumlah
sampel yang didapat 35 sampel.
23
Spektrum Kakao
Spektrum original kakao dalam bentuk individu, tumpukan dan bubuk
mempunyai tipikal yang sama namun terlihat ada dua perbedaan diantara
spektrum tersebut. Pertama, puncak yang terbentuk pada spektrum sebagai tanda
keberadaan kandungan zat tampak ada sedikit perbedaan, sehingga ada puncak
yang tampak jelas sementara di spektrum yang lain, puncaknya tidak tampak
begitu jelas. Kedua, jarak antar spektrum juga terlihat berbeda, sehingga ada yang
tampak lebih rapat sementara yang lain tampak lebih lebar (Gambar 3.5).
Perbedaan visual puncak yang timbul dalam tiga jenis spektrum (biji kakao
individu, biji kakao tumpukan dan bubuk biji kakao) terjadi karena pengaruh dari
perlakuan yang diterima oleh bahan. Pembubukan biji kakao telah menyebabkan
terjadinya pengurangan kadar air bahan, sehingga keberadaan kandungan zat lain
dalam biji kakao tampak lebih nyata yang ditandai dengan puncak pada spektrum
NIRS.
Kemudian adanya celah udara antar biji dan adanya rongga udara dalam biji
kakao dapat menimbulkan scatter effects dalam pengukuran NIRS. Hal ini dapat
dilihat dari variasi yang muncul antar spektrum yang menyebabkan kumpulan
spektrum biji kakao tumpukan tampak lebih lebar dan kumpulan spektrum bubuk
biji kakao tampak lebih rapat. Semakin kecil scatter effects dalam proses
pemindaian maka jarak antar spektrum hasil akan semakin rapat.
25
Gambar 3.5 Spektrum hasil pemindaian NIRS untuk (a) biji kakao individu,
(b) biji kakao tumpukan, dan (c) bubuk biji kakao
(a) (b)
Gambar 3.6 Hasil analisis PCA untuk (a) data tanpa pretreatment dan
(b) data dengan penambahan SGs
(a) (b)
Gambar 3.7 Hasil analisis PCA untuk penambahan (a) MSC dan (b) SNV
(a) (b)
Gambar 3.8 Hasil analisis PCA untuk (a) SGs+MSC dan (b) SGs+SNV
27
(a) (b)
Gambar 3.9 Hasil analisis PCA untuk (a) SGs+D1 dan (b) SGs+D2
(a) (b)
(c) (d)
Gambar 3.10 Hasil PCA untuk pretreatment (a) SGs+MSC+D1, (b) SGs MSC+D2,
(c) SGs+SNV+D1, (d) SGs+SNV+D2
Selanjutnya jika dilihat dari loading plot untuk hasil pengolahan PCA yang
melibatkan MSC dan SNV (Gambar 3.11) dan yang melibatkan D1 dan D2,
terlihat bahwa penambahan derivative (D1 dan D2) sebagai pretreatment telah
menyebabkan timbulnya lebih banyak puncak-lembah gelombang yang diduga
bercampur dengan noise (Gambar 3.12). Dengan demikian pemberian derivative
sebagai pretreatment kalah baik dibanding MSC dan SNV sehingga untuk
selanjutnya MSC dan SNV yang akan dipakai pada analisis lanjutan.
28
(a) (b)
Gambar 3.11 Loading plot untuk penambahan (a) MSC dan (b) SNV
(a) (b)
3.4 Kesimpulan
Spektrum NIRS untuk biji kakao utuh secara tumpukan dapat menggantikan
spektrum biji individu untuk pendugaan mutu biji kakao, hal ini dibuktikan dari
analisis PCA dengan dibantu pretreatment spektrum MSC dan SNV. Penelitian
ini juga menghasilkan selang panjang gelombang yang menentukan mutu biji
30
kakao utuh. Selang panjang gelombang yang berperan memberi informasi kadar
air adalah 1400-1480 nm dan 1900-2000 nm. Selanjutnya untuk kadar lemak,
selang panjang gelombang yang berperan adalah 1160-1220 nm, 1650-1760 nm,
2300-2400 nm. Dan untuk fermentasi panjang gelombang yang berperan adalah
1400-1480 nm, 1900-2000 nm dan 2060-2160 nm. Pengetahuan mengenai
panjang gelombang yang berperan dalam memberi informasi kandungan zat
dalam biji kakao berfungsi untuk mendukung penelitian selanjutnya sehingga
peneliti bisa fokus pada selang panjang tersebut sewaktu akan menduga
kandungan zat tertentu.
4.1 Pendahuluan
Pasar kakao dunia masih memiliki potensi sangat tinggi yang ditunjukkan
oleh peningkatan konsumsi kakao dunia, sehingga Indonesia diharapkan mampu
meraih peluang pasar yang ada. Laju peningkatan areal produksi tanaman kakao
Indonesia tidak diimbangi dengan keseragaman mutu biji yang dihasilkannya
khususnya biji yang difermentasi, sehingga ekspor biji kakao Indonesia kurang
memiliki daya saing karena produk biji kakao Indonesia dikenal hanya menjadi
bahan campuran di negara-negara industri. Saat ini hanya 15% dari biji kakao
produksi Indonesia yang difermentasi (Disbun Jabar 2010; Hasibuan et al. 2012).
Oleh karena itu, metode penentuan fermentasi secara cepat dan tepat diperlukan
untuk menghasilkan komoditas kakao standar mutu tinggi yang disyaratkan
negara konsumen.
Near Infrared Reflectance Spectroscopy (NIRS) telah menjadi salah satu
metode non-destruktif yang paling menjanjikan dan dapat digunakan untuk
analisis dalam berbagai bidang, termasuk di bidang pertanian. NIRS menjadi lebih
populer dan menarik banyak perhatian para peneliti dalam bidang pangan.
Komponen dengan prosentase konsentrasi 0.1% dapat dideteksi dan dievaluasi
menggunakan NIRS (Cen dan He 2007). Penelitian yang terkait dengan
penggunaan NIRS pada produk kakao untuk deteksi tingkat fermentasi sudah
dilakukan beberapa peneliti, namun kesemuanya dilakukan pada biji kakao yang
telah dibubukkan. Misalnya Aculey et al. (2010) meneliti biji kakao khas negara
Ghana yang dibubukkan untuk menentukan tingkat fermentasi berdasarkan
analisis senyawa volatile dan pembentukan asam asetat (CH3COOH). Penelitian
lebih luas dilakukan oleh Hue et al. (2014) yang mengumpulkan biji kakao yang
telah dibubukkan dari beberapa negara untuk menentukan tingkat fermentasi
kakao berdasarkan kandungan amonia (NH3). Pendugaan tingkat fermentasi bisa
didekati juga dengan deteksi kandungan total polifenol khususnya procyanidin
yang hanya sekitar 58% dari kandungan total polifenol dalam biji kakao kering.
Procyanidin digambarkan dengan rantai R-OH seperti pada Gambar 4.1 (Misnawi
et al. 2002; Whitacre 2003; Misnawi et al. 2004; Misnawi 2009; Hii et al. 2009).
31
Sampel Kakao
Penelitian ini menggunakan buah kakao matang varietas Lindak yang
merupakan hasil panen dari kebun yang sama. Biji kakao diberi 3 (tiga) macam
perlakuan fermentasi yakni non fermentasi 0-3 hari), fermentasi penuh (4-5 hari)
dan fermentasi berlebih (7 hari). Proses fermentasi dilakukan dalam peti kayu
dangkal ukuran 40 cm x 40 cm x 50 cm. Contoh biji untuk tiap fermentasi diambil
dari proses fermentasi yang dimulai pada hari yang sama dalam wadah yang
berbeda untuk tiap perlakuan fermentasi. Pengeringan dilakukan dengan
menggunakan pengering mekanis sampai diperoleh biji kakao kering layak
simpan. Biji kering disortir lalu dikemas dalam plastik tertutup rapat disimpan
dalam pendingan bersuhu di bawah 200C sebelum dibawa ke Gttingen, Jerman.
32
Gambar 4.2 Letak procyanidin dan amonia pada spektrum biji kakao utuh
Prediksi Fermentasi
Fermentasi merupakan hal penting dalam proses pengolahan biji kakao.
Kemampuan NIRS dalam membedakan fermentasi menjadi masalah penting yang
membutuhkan solusi. Metode pretreatment yang dipakai untuk membantu kinerja
PCA adalah MSC dan SNV karena merujuk pada hasil penelitian pertama yang
menunjukkan kedua pretreatment mempunyai kinerja yang baik untuk biji kakao.
Hasil pemindaian untuk biji kakao utuh mendapatkan spektrum asli (raw)
yang diplot ke dalam PCA menunjukkan bahwa sebaran data tidak ter-cluster
dengan baik (Gambar 4.3). Selanjutnya spektrum dikoreksi dengan menggunakan
MSC dan SNV. Hasilnya dapat dilihat bahwa PCA ditambah SNV mampu
membuat data cenderung ter-cluster sesuai dengan perlakuan fermentasi (Gambar
4.4). Hasil yang sama juga bisa dilihat untuk PCA ditambah dengan MSC
(Gambar 4.5).
Gambar 4.4 Hasil PCA + SNV untuk data kalibrasi biji kakao utuh
Gambar 4.5 Hasil PCA + MSC untuk data kalibrasi biji kakao utuh
Gambar 4.6 Hasil PCA + SNV untuk data prediksi biji kakao utuh
Gambar 4.7 Hasil PCA + MSC untuk data prediksi biji kakao utuh
Tabel 4.1 Perhitungan akurasi hasil prediksi untuk penggolongan fermentasi biji
kakao utuh baik pada PCA + SNV maupun pada PCA + MSC
Jumlah data (justifikasi PCA)
F0 F5 F7 Total Data
F0 22 0 0 22
(visual)
Jumlah
Data
F5 1 8 0 9
F7 0 0 7 7
Total data 23 8 7 38
Keterangan : F0 = Nonfermentasi, F5 = Fermentasi penuh, F7 = Fermentasi berlebih
Berikutnya sebagai pembanding, bubuk biji kakao juga diplot dalam PCA
dengan menggunakan pretreatment SNV dan MSC. Ternyata hasil yang didapat
36
berbeda dengan biji kakao utuh. Bubuk biji kakao tidak ter-cluster sempurna, baik
untuk penggunaan pretreatment SNV (Gambar 4.8) maupun MSC (Gambar 4.9).
Penelaahan dengan mencoba melihat loading plot dari hasil PCA + MSC
dan PCA + SNV baik untuk biji kakao utuh maupun bubuk biji. Jika diteliti, akan
kelihatan bahwa untuk biji kakao utuh, panjang gelombang dominan adalah
sekitar 1400-1450 nm, 1900-2000 nm, dan 2100-2200 nm (Gambar 4.10). Getaran
yang terjadi antara panjang gelombang 1400-1470 nm dan 1900-2000
menunjukkan ikatan ROH dan H2O, 2100-2200 menunjukkan ikatan ROH dan
NHx. Ikatan organik ROH (penanda keberadaan procyanidin) dan NHx, keduanya
merupakan zat penentu tingkat fermentasi (Whitacre et al. 2003; Cen dan He
2007; Hue et al. 2014).
37
1900-2000 nm 1900-2000 nm
(a) (b)
1400-1450 nm
1400-1450 nm
2100-
2200 nm 2100-
2200 nm
2300-2400 nm 2300-2400 nm
(a) (b)
1400- 1400-
1450 nm 1450 nm
2100-2200 nm 2100-2200 nm
4.4 Kesimpulan
5.1 Pendahuluan
Indonesia dikenal sebagai negara pengekspor biji kakao ketiga dunia, namun
ekspor biji kakao Indonesia dikenal hanya menjadi bahan campuran di negara-
negara industri kakao padahal 82% ekspor kakao Indonesia adalah dalam bentuk
biji. Biji kakao Indonesia sebenarnya masih dapat dikembangkan jika mutu
pemutuan biji kakao dapat ditingkatkan sesuai permintaan negara-negara tujuan
ekspor (Disbun Jabar 2010; Rubiyo dan Siswanto 2012; Hasibuan et al. 2012;
Ragimun 2013). Kadar air dan kadar lemak merupakan dua hal penting penentu
mutu biji kakao ekspor. Kadar air berpengaruh terhadap rendeman hasil lemaknya
dan daya tahan biji kakao terhadap kerusakan terutama saat penggundangan dan
pengangkutan, sementara lemak merupakan komponen termahal dari bji kakao
sehingga nilai kadar lemak dipakai oleh konsumen sebagai tolok ukur harga
(Mulato et al. 2009). Oleh karena itu, metode penentuan kadar air dan kadar
lemak secara cepat dan tepat diperlukan untuk menghasilkan komoditas biji kakao
mutu tinggi yang disyaratkan negara konsumen.
Near Infrared Reflectance Spectroscopy (NIRS) telah menjadi salah satu
metode non-destruktif yang paling menjanjikan dan digunakan analisis dalam
berbagai bidang, termasuk di bidang pertanian karena keuntungannya seperti
persiapan sampel sederhana, cepat, dan ramah lingkungan karena tidak ada bahan
kimia yang digunakan. Lebih penting lagi, ia memiliki kemampuan potensial
untuk menentukan beberapa parameter mutu secara bersamaan (Munawar 2014).
Penelitian yang terkait dengan penggunaan NIRS pada produk kakao telah banyak
dilakukan. Misalnya penelitian pada biji kakao mentah yang telah dibubukan
seperti Nielsen et al. (2008), Aculey et al. (2010) dan Hue (2014). Kemudian
penelitian yang dilakukan Kaffka et al. (1982), Permanyer dan Perez (1989) dan
Vesela et al. (2007), pada bubuk kakao. Whitacre (2003) melakukan penelitian
pada kakao liquors mentah dan liquors panggang. Bollinger et al. (1999)
mengambil cocoa butter dan coklat dalam bentuk cairan sebagai bahan
penelitiannya. Selanjutnya Moros et al. (2007) melakukan penelitian pada coklat
komersial. Cambrai et al. (2009) membuat penelitian pada dark chocolates.
Sementara Davies et al. (1991) mencoba untuk membandingkan spektrum mulai
dari biji kakao mentah, biji sangrai, mass coklat dan coklat jadi. Biji mentah dan
biji sangrai dibuat dalam bentuk bubuk. Semua penelitian di atas dilakukan pada
produk olahan kakao atau minimal biji kakao yang telah dibubukkan, sehingga
penelitian NIRS untuk biji kakao utuh belum ada padahal masalah di Indonesia
justru pada pemutuan biji kakao utuh untuk industri coklat atau diekspor.
Pada pembangunan model kalibrasi yang handal dalam analisis pangan. PLS
merupakan salah satu metode analisa kuantitatif yang banyak disarankan. PLS
mengarah pada pengurangan jumlah latent variable yang mana konvergensi
sistem untuk kesalahan residual minimum sering dicapai dalam latent variable
yang lebih sedikit. Sementara untuk memperoleh model yang dapat dipercaya,
akurat dan stabil banyak penelitian yang terkait penggunaan NIRS memakai
pretreatment. Karakteristik biji kakao yang tidak seragam dan kemampuan kerja
39
Sampel Kakao
Penelitian ini menggunakan buah kakao matang dari Pusat Penelitian Kopi
dan Kakao Indonesia dimana berasal dari varietas Lindak. Pengeringan dilakukan
dengan menggunakan pengering mekanis sampai diperoleh biji kakao kering
layak simpan. Biji kering disortir lalu dikemas dalam plastik tertutup rapat
disimpan dalam lemari pendingin bersuhu di bawah 200C sebelum dibawa ke
Gttingen, Jerman.
Sesampai di Gttingen-Jerman sampel biji kakao utuh dibagi menjadi 110
kelompok dengan berat masing-masing sekitar 40-45 gram untuk tiap sampel.
Selanjutnya sampel dimasukkan ke dalam plastik tertutup rapat dan disimpan di
ruang dengan suhu kurang dari 200C selama lebih kurang 2 minggu (Gambar 5.1).
Bubuk kakao didapat dengan menghancurkan biji kakao dan diayak dengan
ayakan berukuran 24 mesh untuk mendapatkan ukuran yang seragam lalu
disimpan dalam botol plastik tertutup yang telah diberi label penanda.
40
(a) (b)
Gambar 5.1 Sampel biji kakao dalam (a) paket kecil 40-45 gram
(b) bentuk bubuk dalam botol plastik
(1)
menambahkan 100 150 ml n-hexana ke dalam labu takar. Maka proses ekstraksi
dapat dimulai. Ekstraksi dilakukan selama 6 jam pada suhu 950C sampai n-hexana
bersih. Selanjutnya n-hexana diuapkan dengan rotary evaporator sampai yang
tertinggal adalah cairan lemak. Lalu dikeringkan labu takar yang mengandung
lemak dalam oven pada suhu 1050C selama 30 menit. Terakhir, labu takar
didinginkan di dalam exicator. Setelah dingin, labu takar ditimbang kembali dan
dicatat sebagai nilai LA. Perhitungan jumlah kadar lemak (KL) mengikuti
persamaan :
(2)
nya. Model yang bagus akan memiliki nilai r yang tinggi dan RMSEC yang
rendah. Selanjutnya dari data spektrum terpilih, akan dilakukan langkah validasi
silang (cross validation) dengan metode K-fold Leave One Out Cross Validation
(K-fold LOOCV). Metode ini membagi sampel menjadi K grup. Dimana pada
penelitian ini sampel dibagi dalam 10 segmen masing-masing dengan random
sampel rata-rata 7 buah. Validasi silang diuji keandalannya dengan melihat
indikator nilai r dan Root Mean Square Error Cross Validation (RMSECV) (Jha
et al. 2006; Flores et al. 2009).
Setelah validasi silang selesai, maka PLS akan diuji dengan menggunakan
38 sampel kakao independen. Keabsahan model akan dilihat dari parameter
statistik yakni antara lain nilai r, Root Mean Square Error Prediction (RMSEP)
dan rasio antara standard deviasi dengan RMSEP (RPD). Model yang baik adalah
apabila mempunyai nilai r tinggi, nilai RMSEP yang lebih kecil dari standar
deviasi (SD) data dan nilai RPD yang tinggi (Naes et al. 2004; Sinelli et al. 2008).
n
1
RMSEC, RMSECV , RMSEP ( y i yi ) 2
n i 1 (3)
SDP
RPD (4)
RMSEP
Tabel 5.1 Acuan pengukuran dalam set kalibrasi dan set prediksi biji kakao
Kadar Air Kadar Lemak
Jumlah
Bagian Selang Selang
Data Rataan SD Rataan SD
(%) (%)
Kalibrasi 72 6.7-12.1 9.1 1.30 35.3-44.3 40.7 2.19
Prediksi 38 7.4-11.6 9.0 1.19 36.5-45.8 40.6 2.16
SD = Standar Deviasi
43
Gambar 5.2 Letak kadar air dan lemak pada spektrum biji kakao utuh
Tabel 5.2 Hasil kalibrasi dan prediksi kadar air biji kakao utuh
Kalibrasi Prediksi
Latent
Perlakuan RMSEC RMSECV RMSEP
variable r RPD
(%) (%) (%)
Non Pretreatment 10 0.89 0.59 0.83 0.56 2.12
MSC 5 0.92 0.49 0.84 0.54 2.21
SNV 5 0.93 0.48 0.87 0.54 2.21
MC 9 0.88 0.62 0.82 0.53 2.24
MN 10 0.91 0.54 0.78 0.60 1.99
OSC 3 0.93 0.46 0.78 0.52 2.26
DT 10 0.90 0.57 0.84 0.61 1.96
44
(a) (b)
Gambar 5.4 Plot data kalibrasi dan prediksi kadar air setelah pretreatment
(a) MSC untuk biji utuh dan (b) SNV untuk biji utuh
45
Tabel 5.3 Hasil kalibrasi dan prediksi kadar air bubuk biji kakao
Kalibrasi Prediksi
Latent
Perlakuan RMSEC RMSECV RMSEP
variable r RPD
(%) (%) (%)
Non Pretreatment 8 0.94 0.43 0.55 0.57 2.07
MSC 6 0.93 0.49 0.60 0.56 2.14
SNV 6 0.93 0.49 0.59 0.55 2.14
MC 8 0.94 0.43 0.57 0.57 2.07
MN 6 0.92 0.51 0.60 0.58 2.04
OSC 5 0.94 0.43 0.52 0.56 2.13
DT 7 0.95 0.41 0.50 0.65 1.81
Hasil pendugaan PLS tanpa pretreatment untuk bubuk biji kakao tidak jauh
berbeda dengan biji utuh. Walaupun biji bubuk memiliki nilai r lebih baik namun
keduanya sama-sama tergolong good model performance dengan RPD yang di
atas dua, sehingga bisa dikatakan hasil pendugaan biji utuh cukup bisa diandalkan
untuk menggantikan bubuk biji kakao.
Selanjutnya pemberian pretreatment ternyata tidak begitu banyak membantu
PLS untuk menghasilkan dugaan kadar air yang baik dan effesien pada bubuk biji
kakao sementara untuk biji kakao utuh, pemberian pretreatment sangat membantu
meningkatkan kinerja dan efesiensi PLS untuk pendugaan kadar air. Hal ini terjadi
karena pembubukan telah membuat partikel kakao menjadi seragam sehingga
gangguan dalam pemindaian sudah cukup teratasi. Hanya saja proses pembubukan
termasuk tindakan destruktif yang merusak bahan. Oleh karena itu, bisa dikatakan
bahwa menambah pretreatment (khususnya MSC, SNV dan OSC) dalam
pengolahan spektrum biji kakao utuh sudah cukup membantu PLS untuk
menghasilkan pendugaan kadar air yang baik dan effesien daripada harus
menjadikan biji kakao sebagai bubuk kakao. Hal ini menjadi temuan menarik
mengingat fakta yang ditemui bahwa jual beli kakao di lapangan adalah dalam
bentuk biji utuh bukannya dalam bentuk bubuk biji kakao.
NIRS dengan beragam perlakuan pretreatment pada biji kakao utuh dapat dilihat
pada Tabel 5.4.
Tabel 5.4 Hasil kalibrasi dan prediksi kadar lemak biji kakao utuh
Kalibrasi Prediksi
Latent
Perlakuan RMSEC RMSECV RMSEP
variable r RPD
(%) (%) (%)
Non Pretreatment 10 0.85 1.15 1.58 1.31 1.65
MSC 4 0.91 0.93 1.50 1.11 1.95
SNV 4 0.91 0.91 1.38 1.11 1.95
MC 10 0.85 1.15 1.68 1.19 1.82
MN 9 0.86 1.10 1.59 1.19 1.82
OSC 4 0.90 0.93 1.56 1.15 1.88
DT 9 0.87 1.07 1.57 1.23 1.76
Hasil pendugaan PLS tanpa pretreatment untuk kadar lemak biji kakao utuh
memperlihatkan bahwa nilai r yang didapat cukup besar yakni 0.85. Untuk nilai
error (RMSEC, RMSECV dan RMSEP) yang didapat masih dikatakan baik
karena masih di bawah nilai SD data. Selanjutnya jika dilihat dari nilai RPD,
ternyata didapat nilai 1.65 (Gambar 5.5). Menurut Nicolai et al. (2007) nilai RPD
yang berada dalam selang 1.5 2 menandakan bahwa model itu termasuk
sufficient performance yang dapat dikatakan prediksi kuantitatif kasar yang
dianggap mungkin.
Pemakaian pretreatment untuk biji utuh memberi pengaruh nyata untuk
meningkatkan kinerja hasil pendugaan. Hal ini bisa dilihat dari nilai r yang
meningkat. Kemudian nilai error (RMSEC, RMSECV dan RMSEP) yang tampak
semakin kecil dan nilai RPD yang meningkat cukup tajam mendekati angka dua.
Pretreatment yang dianggap paling baik kinerjanya adalah MSC dan SNV yang
menghasilkan nilai yang sama (Gambar 5.6). Keduanya menghasilkan nilai r
paling besar yakni 0.91, nilai RMSEP yang paling kecil yakni 1.11% dan nilai
RPD paling besar yakni 1.95.
Selanjutnya jika ditinjau dari segi efesiensi, bisa dilihat bahwa beberapa
pretreatment memberi pengaruh signifikan pada peningkatan nilai efesiensi.
MSC, SNV dan OSC bersama-sama dapat dikatakan paling baik untuk
meningkatkan efesiensi dilihat dari pengurangan jumlah latent variable yang
sangat signifikan dari 10 menjadi 4.
47
(a) (b)
Gambar 5.6 Plot data kalibrasi - prediksi kadar lemak setelah pretreatment
(a) MSC untuk biji utuh dan (b) SNV untuk biji utuh
Tabel 5.5 Hasil kalibrasi dan prediksi kadar lemak bubuk biji kakao
Kalibrasi Prediksi
Latent
Perlakuan RMSE RMSECV RMSEP
variable r RPD
(%) (%) (%)
Non Pretreatment 8 0.89 0.99 1.28 1.07 2.02
MSC 7 0.90 0.94 1.21 1.06 2.05
SNV 7 0.90 0.94 1.17 1.06 2.05
MC 9 0.90 0.95 1.20 1.12 1.93
MN 8 0.89 0.98 1.21 1.11 1.95
OSC 6 0.90 0.95 1.17 1.09 1.98
DT 9 0.91 0.89 1.18 1.20 1.80
48
Performa PLS dalam menghasilkan dugaan kadar lemak untuk bubuk biji
kakao terlihat lebih baik dibandingkan dengan biji kakao utuh. Hasil dugaan PLS
untuk biji bubuk kakao tergolong good model performmance (RPD > 2) dibanding
dengan biji kakao utuh yang tergolong sufficient performance (1.5 < RPD < 2).
Pemberian pretreatment ternyata tidak begitu banyak membantu PLS untuk
menghasilkan dugaan kadar lemak yang baik dan effesien pada bubuk biji kakao
sementara untuk biji kakao utuh, pemberian pretreatment cukup membantu
meningkatkan kinerja dan efesiensi PLS walau belum mampu mengangkat status
dari sufficient performance menjadi good model performance akan tetapi nilai
RPD-nya sudah hampir mendekati dua. Dapat dikatakan bahwa menambah
pretreatment (khususnya MSC, SNV dan OSC) dalam pengolahan spektrum biji
kakao utuh sudah cukup membantu PLS untuk menghasilkan pendugaan kadar
lemak yang layak dan effesien daripada harus menjadikan biji kakao sebagai
bubuk kakao. Diharapkan ke depan akan ditemukan pretreatment yang mampu
mengangkat nilai RPD sampai mencapai dua. Hal ini menjadi penting agar biji
kakao tidak perlu dibubukkan untuk menduga kadar lemaknya.
Secara umum baik untuk uji kadar air maupun kadar lemak, pretreatment
MSC dan SNV terbukti paling konsisten memberi pengaruh positif dalam
meningkatkan kinerja hasil pendugaan PLS. Pretreatment MSC dan SNV
diketahui mampu menghilangkan multiplicative interference pada sebaran, ukuran
partikel dan perubahan jarak sinar. Keduanya juga diketahui mampu memperbaiki
efek multiplicative dan additive scatter. Semua kemampuan ini ternyata sangat
bermanfaat untuk membantu mengurangi pengaruh celah udara antar biji dan
rongga udara yang terdapat di dalam biji. Hal inilah yang diduga telah menjadikan
MSC dan SNV pada penelitian ini menjadi pretreatment yang paling baik
sehingga mampu meningkatkan kinerja hasil pendugaan PLS untuk biji kakao
utuh baik bagi pada pengujian kadar air maupun kadar lemak.
5.4 Kesimpulan
Penerapan metode PLS yang didukung pretreatment pada biji kakao utuh
telah menghasilkan prediksi yang lebih baik dibanding dengan PLS tanpa
pretreatment baik pada pendugaan kadar air maupun pada kadar lemak. Pada
pendugaan kadar air. PLS yang didukung pretreatment telah menghasilkan
prediksi yang tergolong good model performmance. Pretreatment yang dianggap
sangat nyata meningkatkan kinerja PLS adalah MSC, SNV dan OSC. Dimana
ketiga pretreatment itu menghasilkan nilai r masing-masing 0.92, 0.93 dan 0.93
selanjutnya nilai RMSEP masing-masing 0.54%, 0.54% dan 0.52% serta nilai
RPD yang cukup besar yakni masing-masing 2.21, 2.21 dan 2.26. Selain itu
pretreatment OSC bisa dikatakan sebagai pretreatment yang paling efesien yang
mampu memangkas jumlah latent variable paling banyak yakni dari 10 menjadi 3
latent variable. Pada pendugaan kadar lemak, PLS yang didukung pretreatment
telah menghasilkan prediksi yang tergolong sufficient performance. Pretreatment
yang dianggap paling baik kinerjanya adalah MSC dan SNV. Keduanya
menghasilkan nilai r yang sama yakni 0.91, nilai RMSEP yang juga sama yakni
1.11% dan nilai RPD yang sama yakni 1.95. Selanjutnya MSC, SNV dan OSC
49
6 PEMBAHASAN UMUM
Biji kakao didapat dari buah kakao matang yang telah dikupas, dipisahkan
dari pulpanya dan dikeringkan. Secara fisik biji kakao berbentuk bulat pipih
dengan berat 1.0 1.2 gram untuk bisa memenuhi syarat ekspor. Pemerintah
menetapkan standar mutu biji kakao melalui SNI. Standar itu adalah dilihat secara
fisik seperti dari ukuran biji, kadar air, kontaminasi terhadap serangga, benda
asing dan berbagai aroma yang dapat merusak aroma khas kakao. Namun secara
khusus mutu kakao ditentukan oleh rendemen lemak, aroma dan citarasa, karena
komponen-komponen inilah yang biasanya menentukan sensasi dalam menikmati
coklat. Dari informasi itu dapat disimpulkan ada tiga hal penting yang
menentukan mutu biji kakao yakni kadar air, kadar lemak dan aroma-citarasa
yang didapat dari proses fermentasi.
Badan Standarisasi Nasional dan Pusat Penelitian Kopi dan Kakao
Indonesia sudah memberikan cara standar untuk menguji tiga hal di atas. Uji
kadar air digunakan uji lab kadar air dengan pengeringan dalam oven pada suhu
103 2 0C. Pengujian ini dapat memakan waktu sampai 6 jam. Uji kadar lemak
digunakan uji laboratorium kadar lemak dengan mengekstrak biji kakao
menggunakan pelarut organik non polar. Pengujian dapat memakan waktu 14 jam.
Tingkat fermentasi digunakan uji belah biji kakao dengan melihat warna bagian
dalam biji. Kesemua cara di atas adalah bersifat destruktif dan memakan waktu
cukup lama padahal yang dibutuhkan adalah penelitian yang mampu menjawab
masalah pengujian yang bersifat nondestruktif, praktis, cepat dan tepat. Penelitian
ini telah mampu memetakan kandungan kadar air, kadar lemak dan zat penentu
fermentasi melalui analisis spektrum biji kakao utuh dengan biji yang dibubukkan
sebagai pembanding. Selain itu penelitian ini juga telah menghasilkan pendugaan
yang cukup baik untuk memprediksi ketiga komponen mutu biji kakao utuh. Pada
bab ini akan dibahas secara umum hasil-hasil penting yang didapat dalam
penelitian yang terbagi atas tiga tahap.
Hasil yang didapat adalah ditemukannya fakta bahwa tidak ada perbedaan
antara data spektrum kakao dalam bentuk biji individu dengan kakao dalam
bentuk biji tumpukan sehingga akuisisi spektrum NIRS biji kakao dalam bentuk
tumpukan dapat menggantikan akuisisi spektrum NIRS biji kakao dalam bentuk
biji individu. Untuk kakao dalam bentuk bubuk berbeda nyata dari kedua bentuk
sebelumnya, sehingga biji kakao dalam bentuk bubuk tetap akan dipergunakan
sebagai data pembanding. Hasil ini selanjutnya dipergunakan sebagai dasar
membangun prosedur untuk pengukuran spektrum dalam penelitian selanjutnya,
sehingga untuk pengukuran spektrum akan dibagi atas dua macam yakni
pengukuran kakao dalam bentuk biji tumpukan dan dalam bentuk bubuk.
Selain itu hal menarik lainnya yang didapat dari penelitian awal ini adalah
mendapatkan peta sebaran kandungan zat kimia dalam spektrum biji kakao utuh.
Kadar lemak ternyata kurang terlihat nyata, sementara kadar air dan tingkat
fermentasi cukup tergambar jelas pada spektrum melalui terbentuknya puncak
gelombang sebagai efek dari vibrasi yang terjadi antar ikatan kimia dengan sinar
NIRS.
6.3 Analisis Kadar Air dan Kadar Lemak dengan Metode PLS
Kadar air dan kadar lemak merupakan dua kompomen penting yang
menentukan mutu biji kakao. Kadar air berpengaruh terhadap rendeman hasil
lemaknya dan daya tahan biji kakao terhadap kerusakan terutama saat
penggudangan dan pengangkutan. Kadar air standar untuk biji kakao mutu ekspor
adalah sekitar 6%-7%. Biji kakao yang digunakan pada penelitian ini memiliki
selang kadar air antara 6.7% - 12.1%. Lemak merupakan komponen termahal dari
biji kakao sehingga nilai kadar lemak dipakai oleh konsumen sebagai tolok ukur
harga. Kadar lemak biji kakao Indonesia bisa sampai 52%. Untuk penelitian ini
selang kadar lemak antara 35.3% 45.8%.
Analisis untuk pendugaan kadar air dan kadar lemak menggunakan PLS
sebagai metode pendekatan regresi dengan dibantu oleh 6 metode pretreatment
yaitu Mean Centering (MC), Multiplicative Scatter Correction (MSC), Standard
Normal Variate (SNV), Mean Normalization (MN), Orthogonal Signal
Correlation (OSC) dan De-Trending (DT). PLS dipakai karena data yang didapat
adalah data numerik. PLS merupakan salah satu metode analisis kuantitatif yang
banyak direferensikan untuk evaluasi mutu pangan. PLS mampu mereduksi
dimensi data untuk mencari faktor-faktor yang paling relevan dalam memprediksi
dan menginterpretasi data. PLS sangat cocok untuk analisis linear. Sementara
pemilihan 6 metode spektrum yang mewakili tiga kelompok besar cara kerja
pretreatment yakni centering, normalization dan tranformation bertujuan untuk
membandingkan kinerjanya dalam mendukung kinerja PLS.
Pada penelitian ini dapat dilihat bahwa metode PLS mampu menghasilkan
dugaan yang baik. Tabel 6.1 memperlihatkan bahwa nilai koefesien korelasi untuk
dugaan kadar air dan kadar lemak adalah cukup besar yakni 0.89 dan 0.85.
Kemudian nilai RMSEP juga cukup kecil di bawah nilai standar deviasi data hasil
pendugaan. RPD untuk kadar air biji utuh tergolong good model performmance,
sedangkan hasil dugaan untuk kadar lemak biji utuh tergolong sufficient
performance. Oleh karena itu, bisa dikatakan bahwa hasil pendugaan dengan
menggunakan PLS dari raw data untuk kadar air dan kadar lemak pada biji kakao
utuh adalah cukup baik.
7.1 Kesimpulan
7.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA
Cawan keramik
Timbangan
Oven
Exicator
63
Perlengkapan soxhlet
Rotary evaporator
64
kalibrasi prediksi
65
RIWAYAT HIDUP