Anda di halaman 1dari 3

UAS KOMUNIKASI DAN MULTIKULTURALISME

AULLIA RAHMA P.
071311533096

Rasisme Di Lapangan Hijau

Rasisme, sesuatu yang sudah terjadi sejak berabad-abad lalu dan masih menjadi
kekhawatiran yang tak ada habisnya. Tindakan rasisme ini selalu berujung kepada
diskriminasi sosial, mengkotak-kotakan, dan kekerasan termasuk juga genosida. Rasisme
adalah suatu sistem kepercayaan atau doktrin yang menyatakan bahwa perbedaan biologis
yang melekat pada ras manusia menentukan pencapaian budaya atau individu bahwa suatu
ras tertentu lebih superior dan memiliki hak untuk mengatur yang lainnya. Isu yang
melatarbelakangi rasisme ini adalah keberagaman ras/etnis/ataupun kelompok manusia yang
terdiri dari ragam sejarah, pendidikan, budaya, dan agama.

Rasisme yang sering mendominasi permasalahan di Indonesia adalah rasisme suporter


sepak bola. Pada tahun 2014 lalu, Komdis PSSI menjatuhkan hukuman denda kepada Panpel
Klub Arema sebesar Rp 250 juta akibat nyanyian rasis yang didengungkan suporter tuan
rumah kala pertandingan Arema vs Persija 18 Mei 2014. Hal ini memicu adanya diskriminasi
sosial antara para suporter bola di Indonesia.

Diskriminasi adalah perlakuan yang tidak seimbang terhadap perorangan, atau


kelompok, berdasarkan sesuatu, biasanya bersifat kategorikal, atau atribut-atribut khas,
seperti berdasarkan ras, kesukubangsaan, agama, atau keanggotaan kelas-kelas sosial
(Theodorson & Theodorson (1979:115-116). Diskriminasi yang dilakukan ini, tak jarang
berakhir dengan kerusuhan, kekerasan, hingga kematian.

Sepanjang tahun 2016, terdapat 4 kasus kerusuhan yang berujung pada kematian
anggota salah satu suporter sepak bola di Indonesia. Pada 22 Mei, seorang fans dari
kelompok pendukung PSS Sleman, Brigata Curva Sud (BCS), tewas setelah terlibat bentrok
dengan suporter PSIM Yogyakarta dalam perjalanan pulang dari Semarang. Tanggal 6
September 2016, Seorang suporter The Jakmania tewas dikeroyok massa menjelang pintu tol
Palimanan Cirebon dalam perjalanan pulang ke Jakarta setelah menyaksikan pertandingan
antara Persija dan Persib Bandung. 13 Oktober 2016, seorang fans dari kelompok Singamania
meninggal dunia dalam insiden pengeroyokan sesama suporter Sriwijaya FC pascalaga
Laskar Wong Kito melawan Persegres Gresik United. Suporter Persib Bandung tewas pada
tanggal 23 Oktober 2016 akibat dikeroyok massa setelah menyaksikan pertandingan tim
kesayangannya melawan Persegres Gresik United di Stadion Wibawa Mukti, Cikarang.

Kerusuhan, kekerasan dan kematian ini pemicunya adalah perbedaan identitas


kelompok dari suporter yang berkonflik tersebut. Ketika berada di lapangan hijau, suporter
sepak bola mulai mendengungkan nyanyian, gerakan, bahkan kekompakannya untuk
mendukung klub sepak bola pujaannya. Namun tak jarang juga nyanyian yang didengungkan
ini mengandung unsur SARA ataupun menghina suporter tim lawan. Dari hal kecil inilah
yang akhirnya merambah ke aspek-aspek yang lainnya. Manusia yang awam akan
menganggapnya sebagai sesuatu yang menjatuhkan harga dirinya, sesuatu yang harus
ditindaklajuti dengan kekerasan agar timbul efek jera. Tetapi yang terjadi adalah bukan efek
jera yang timbul, melainkan dendam yang bersarang sampai tujuh turunan. Dari dendam
itulah akhirnya merusak mindset orang-orang dan menganggap bahwa semua orang yang
mendukung tim A, bukan mendukung tim B, adalah orang yang buruk. Kelompok lain yang
bukan kelompoknya adalah kelompok yang kasar dan tidak lebih baik daripada kelompoknya.

Sikap-sikap buruk yang tertanam inilah, yang merusak toleransi keberagaman di


Indonesia, dari dalam. Padahal negara Indonesia ini mempunyai beribu-ribu
suku/kelompok/etnis yang tersebar di seluruh wilayah. Beragam agama, warna kulit, ras,
pendidikan, pekerjaan, perspektif pemikiran, kepercayaan yang melatarbelakangi kehidupan
masyarakat Indonesia. Maka diperlukan sikap toleran yang diusung oleh konsep
multikulturalisme, yakni pandangan normatif tentang cara menata keberagaman di dalam
masyarakat. Dalam arti ini keberagaman bukan sekedar keberagaman suku, ras, ataupun
agama, melainkan keberagaman bentuk-bentuk kehidupan, termasuk di dalamnya adalah
kelompok-kelompok subkultur, seperti suporter bola tadi. Argumen inti multikulturalisme
adalah, bahwa setiap bentuk kehidupan memiliki nilai yang berharga pada dirinya sendiri.
Maka setiap bentuk kehidupan layak untuk hidup dan berkembang seturut dengan pandangan
dunianya, namun tetap dalam koridor hukum legal yang berlaku (bukan hukum moral).
(Taylor, 1994).

Multikultur, menghargai perbedaan, toleransi, sikap menghormati, sepertinya masih


belum sepenuhnya bisa diterapkan di Indonesia. Mungkin orang-orang yang bersikap seperti
itu bisa dihitung dengan jari. Kita hidup dengan berbagai macam latar belakang kebudayaan,
agama, pendidikan, dsb. Pembentukan perbedaan-perbedaan tersebut sudah sejak lahir
dipertunjukkan. Kelompok-kelompok yang berbeda, bersaing untuk tujuan yang sama adalah
bukan hal yang baru lagi dalam kehidupan ini. Tumbuhnya mayoritas, minoritas, dominan,
dan yang dipinggirkan seakan selalu mengikuti setiap sendi kehidupan.

Dari kasus suporter bola tadi misalnya, menyanyikan lirik yang mengandung unsur
SARA dan menghina suporter lainnya, secara etis tentunya hal tersebut jujur saja malah
memperkeruh hubungan keduanya. Fanatisme sebagai pendukung klub bola memang boleh-
boleh saja, tetapi hendaknya memang hal itu didasari dengan rasa persatuan, rasa toleransi,
sehingga tidak menimbulkan rasisme yang nanti berujung pada diskriminasi hingga kasus
kriminal.

Tak dapat dipungkiri memang kita ini adalah bagian dari masyarakat yang majemuk.
Sudah seharusnya untuk menumbuhkan rasa saling menghargai dan rasa toleransi antar
sesama. Sampai kapanpun perbedaan itu pasti ada, sampai kapanpun juga dua orang yang
berbeda tetap tidak bisa untuk sama. Tetapi dengan adanya perbedaan tersebut, akhrnya dapat
memperkaya wawasan dan pengetahuan. Stop Rasisme untuk kehidupan multikultur yang
baik.

Anda mungkin juga menyukai